Academia.eduAcademia.edu

interaksi obat dan makanan pada infeksi kronis.docx

2015, Interaksi Obat da makanan pada Infeksi Kronis

Paper ini membahas bagaimana interaksi obat dan makanan yang mungkin terjadi pada pasien yang menderita infeksi kronis

INTERAKSI OBAT DAN ZAT GIZI INTERAKSI OBAT DAN ZAT GIZI PADA PASIEN INFEKSI KRONIS Dosen Pembimbing : DR.Iskari Ngadiarti,SKM,M.Sc Disusun Oleh Agustina Pungki Astuti Michelle Caroline Nabella Apriaresta P. D4-A POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN JAKARTA II TAHUN AJARAN 2015/2016 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas karunia-Nya sehingga makalah Interaksi Obat Dan Zat Gizi tentang “Interaksi Obat dan Zat Gizi Pada Pasien Infeksi Kronis” ini dapat kami terselesaikan.Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas dalam melengkapi bahan materi untuk mata kuliah Interaksi Obat Dan Zat Gizi. Makalah ini berisi tentang Interaksi obat dengan zat –zat gizi pada pasien yang menderita infeksi kronis. Ulasan yang kami sediakan ini semoga dapat menambah wawasan sehingga memperjelas pembahasan materi. Kami mengambil sumber dari buku-buku, internet, serta dan lain-lain. Dengan tersusunnya makalah ini kami harap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.Tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada Ibu DR. Iskari Ngadiarti, SKM,M.Sc selaku dosen pembimbing mata kuliah Interaksi Obat dan Zat Gizi atas bimbingannya selama ini dan teman-teman yang telah memberikan dukungan serta saran demi terselesaikannya makalah ini. Makalah kami masih jauh dari sempurna. Saran dan kritik yang membangun akan sangat membantu kami dalam memperbaiki makalah selanjutnya. Jakarta, 16 April 2015 Penyusun DAFTAR ISI KATA PENGANTAR 2 DAFTAR ISI 3 BAB I 4 PENDAHULUAN 4 1.1. Latar Belakang 4 1.2. Rumusan masalah 4 BAB II 5 PEMBAHASAN 5 2.1. Mekanisme Interaksi Obat dan Makanan 5 2.2 Mempelajari dan mengevaluasi efek makanan 6 2.3. Interaksi Obat dan Makanan Pada infeksi virus HIV 7 2.3.1.nucleoside inhibitor transcroptase terbalik (NRTI) 7 2.3.2.Nucleoside reverse Non transcriptase inhibitor (NNRTI) 10 2.3.3 Protease Inhibitors (Pls) 12 2.3.4 Terapi alternatif 15 2.3.5 Dampak metabolik pengobatan infeksi HIV 16 2. 4. Interaksi obat dan makanan pada infeksi Mycobacterium tuberculosis 18 2.5. Interaksi Obat dan Zat Gizi Pada Infeksi Virus Hepatitis Kronis 21 BAB III 22 KESIMPULAN 22 DAFTAR PUSTAKA 23 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat (drug-related problem) yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi obat yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien. Infeksi adalah kolonalisasi yang dilakukan oleh spesies asing terhadap organisme inang, dan bersifat pilang membahayakan inang. Organisme penginfeksi, atau patogen, menggunakan sarana yang dimiliki inang untuk dapat memperbanyak diri, yang pada akhirnya merugikan inang. Patogen mengganggu fungsi normal inang dan dapat berakibat pada luka kronik, gangrene, kehilangan organ tubuh, dan bahkan kematian. Respons inang terhadap infeksi disebut peradangan. Secara umum, patogen umumnya dikategorikan sebagai organisme mikroskopik, walaupun sebenarnya definisinya lebih luas, mencakup bakteri, parasit, fungi, virus, prion, dan viroid. Infeksi kronis merupakan infeksi virus yang berkepanjangan sehingga ada resiko gejala penyakit muncul kembali. Penyakit infeksi berhubungan dengan status gizi yang rendah, hubungan kekurangan gizi dengan penyakit infeksi antara lain dapat dijelaskan melalui mekanisme pertahanan tubuh dimana seseorang yng mengalami kekurangan gizi dengan asupan energi dan protein yang rendah, maka kemampuan tubuh untuk membentuk protein yang baru berkurang. Tubuh akan rawan terhadap serangan infeksi karena terganggunya pembentukan kekebalan tubuh seluler. (Jellife, 1989)\ 1.2. Rumusan masalah Bagaimana mekanisme interaksi obat dan makanan? Bagaimana proses evaluasi dari efek makanan? Bagaimana interaksi obat dan makanan pada penderita HIV? Bagaimana interaksi obat dan makanan pada penderita TBC? Bagaimana interaksi obat dan makanan pada penderita hepatitis kronis? BAB II PEMBAHASAN Interaksi obat dan makanan dapat menyebabkan ketidaknyamanan yang signifikan untuk pasien yang dapat menyebabkan peningkatan ketidakpatuhan pasien. Kecuali bila diinstruksikan sebaliknya, sebagian besar pasien akan mengambil obat mereka bersama dengan makanan, asumsi ini dapat meminimalkan efek samping gastrointestinal (GI) , serta berpotensi memberikan mereka pemicu untuk mengingat meminum obat mereka. Kurangnya pengetahuan tentang potensi DNIS (drug nutrient interaction system). Karena itu dapat menyebabkan hasil klinis yang buruk. Dampak dari hal ini sangat berpotensi pada DNIS pasien yang terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis, human immunodeficiency virus (HIV), atau virus hepatitis virus kronis, terutama yang terjadi antara sediaan oral dan makanan. 2.1. Mekanisme Interaksi Obat dan Makanan Meskipun seringkali sulit untuk menentukan mekanisme yang tepat dimana makanan menyebabkan perubahan dalam bioavailabilitas obat, beberapa mekanisme mungkin terlibat, yaitu: - Penundaan pengosongan lambung - Stimulasi aliran empedu - Perubahan pH gastrointestinal - Peningkatan aliran darah pada organ - Perubahan subtansi obat dalam metabolisme luminal - Interaksi fisik atau kimia dengan bentuk sediaan atau bahan obat Asupan makanan secara langsung akan mempengaruhi sekresi GIT dan pH lambung. Secara umum,sekresi GI akan meningkat sebagai respon terhadap asupan makanan, sehingga terjadi peningkatan sekresi asam dalam lambung dan penurunan pH lambung. Dampak dari perubahan ini adalah bahwa adanya lingkungan yang lebih asam, peleburan an penyerapan obat akan dipercepat, sedangkan agen asam-labil akan terdegradasi lebih cepat. Kuantitas dan isi makan juga akan mempengaruhi penyerapan obat. Asupan makanan dengan konsistensi cairan tinggi memberikan efek pengosongan lambung lebih cepat dibanding makanan padat,dimana dapat berpotensi mengakibatkan peningkatan degradasi agen asam-labil, tetapi dapat meningkatan penyerapan obat yang memiliki efek metabolisme yang lambat. Makanan dengan tinggi cairan cenderung meningkatkan laju pengosongan lambung, efek sebaliknya ditimbulkan dari makanan dengan konsistensi padat. komposisi makanan juga memiliki peran penting pada DNIS. Misalnya, makanan yang mengandung polivalen logam (kalsium, aluminum, magnesium, atau besi) dapat mengikat atau zat atau obat yang memiliki kelat, sehingga obat tidak dapat terserap secara optimal. Contoh jenis interaksi dengan potensi kelat terjadi pada tetrasiklin atau turunan fluorquinolone bila diberikan bersama makanan yang memiliki jumlah tinggi ion polivalen. Komposisi makanan juga dapat menjadi penentu penting perubahan dalam metabolisme obat. Contoh utama yaitu protein, sayuran, jus jeruk, dan daging panggang . Akhirnya, DNIS dapat memberikan efek satu dari tiga hal yang berkaitan dengan penyerapan obat. Penyerapan obat dapat meningkat, menurun, atau tidak berdampak sama sekali. Berkenaan dengan penurunan penyerapan , penting untuk memisahkan penyerapan yang tertunda (tidak ada perubahan pada daerah di bawah konsentrasi-waktu kurva [AUC] tetapi peningkatan waktu untuk mencapai maksimal penyerapan umumnya tidak penting secara klinis) dengan mengurangi penyerapan (penurunan AUC yang terlihat tergantung pada besarnya penurunan AUC mungkin penting secara klinis). 2.2 Mempelajari dan mengevaluasi efek makanan Administrasi makanan dan obat (FDA), melalui evaluasi dan penelitian obat dan makanan, telah menerbitkan pedoman untuk bioavailabilitas efek makanan dan studi bioekivalensi produk pelepasan dan modifikasi obat. Hal ini memberikan pertimbangan pada desain penelitian, pemilihan subjek, jumlah dosis, komposisisi makanan , pemberian obat, pengambilan sampel, dan analisis data. Secara acak, seimbang, dengan dosis tunggal, dua perlakuan (saat makan dan puasa), dua kali, secara urutan desain silang yang melibatkan minimal 12 subyek yang menerima efek obat tertinggi untuk dipasarkan dan dianjurkan untuk studi efek makanan. Khususnya kondisi makanan yang direkomendasikan adalah mereka yang diharapkan dapat memberikan efek terbesar pada GI secara fisiologi sehingga ketersediaan obat sistemik maksimal terpengaruh. Khususnya,makanan tinggi lemak (sekitar 50% dari total kandungan kalori dari makanan) dan tinggi kalori (sekitar 800-1000 kkal) dianjurkan sebagai tes efek biovailability makanan dan studi bioekivalensi makan. Makanan ini harus memiliki 150,250, dan 500-600 kkal yang berasal dari protein, karbohidrat, dan lemak. Secara spesifik desain dan uji makanan harus diuraikan secara jelas pada laporan studi dan sangat penting menafsirkan hasil dari setiap studi efek makanan. 2.3. Interaksi Obat dan Makanan Pada infeksi virus HIV Pengobatan infeksi HIV telah berkembang selama dekade terakhir untuk memasukkan penggunaan beberapa agen simultan. Saat ini, tidak ada obat untuk infeksi ini, karena itu pasien yang menerima perawatan farmakologis melakukan terapi seumur hidup. Kompleksitas dari konsumsi berbagai obat, beberapa kali dalam sehari dibuat yang jauh lebih kompleks ketika biovailability agen antiretroviral 'dapat secara signifikan dipengaruhi oleh makanan. Percabangan klinis ketidakpatuhan dalam pengaturan ini tidak signifikan. Virus ini lebih mampu bermutasi dan kegagalan pengobatan lebih mungkin jika pasien tidak mampu untuk tetap patuh terhadap lebih dari 90% antiretroviral nya ditentukan dari waktu. 2.3.1.nucleoside inhibitor transcroptase terbalik (NRTI) a. Abacavir Abacavir diserap dengan cepat dan merata melalui pemberian oral. Bioavaibilitas mutlak mutlak tablet formulasi adalah 83%. Bioavailabilitas tablet abacavir dinilai saat makan dan puasa . Setelah dosis tunggal abacavir diambil dengan makanan, konsentrasi obat maksimum dalam darah berkurang sebesar 35% dan AUC sebesar 5%. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam paparan sistemik yang tercatat saat makan dan puasa. Dan karenanya obat dapat diberikan dengan atau tanpa makanan. Belum ada penelitian efek makanan khusus yang telah dilakukan pada sediaan oral, tetapi asupan secara oral memberikan paparan sistemik yang sebanding dengan formulasi tablet. Abacavir dieliminasi secara metabolik oleh dehidrogenase alkohol. Karena nasib metabolisme bersama mereka. Interaksi farmakokinetik antara abacavir dan etanol ws dilakukan 24 pasien yang terinfeksi HIV. Setiap pasien menerima perawatan berikut pada kesempatan terpisah dengan dosis tunggal ethanol 600 mg sebanyak 0,7 g / kg . Penggunaan bersama abacavir dan etanol menghasilkan peningkatan 41% dalam AUC abacavir dan peningkatan 26% dalam abcavir paruh (t 1/2). Tidak ada efek oin etanol terlihat pada laki-laki. b. didanosine Didanosine saat ini tersedia sebagai beadlets berlapis enterik dalam kapsul dan formulasi buffer. Formulasi telah menunjukkan pemberian AUC setara dengan formulasi tablet buffer dari fifanosine, tapi Cmax berkurang sebesar 40% dan tmax ini meningkat sekitar 1 1/2 jam bila diberikan sebagai formulasi yang disalut secara enterik. Dampak dari makanan pada dua formulasi sangat berbeda. Makanan mengurangi bioavailabilitas absolut dari formulasi buffered sekitar 50%. Kehadiran makanan mengurangi AUC dari formulasi berlapis enterik sebesar 19%. Waktu pemberian makanan telah dibuktikan pada 10 penderita yang terinfeksi HIV. Studi ini menunjukkan bahwa efek makanan dapat diminimalkan jika mengelola formulasi buffer 30-60 menit sebelum atau 2 jam setelah makan. Disarankan bahwa formulasi buffer diberikan 30-60 menit sebelum atau 2 jam setelah makan dan formulasi salut enterik akan diberikan pada waktu perut kosong. c. Lamivudine Lamivudine cepat diserap dengan bioavailabilitas absolut pada pasien yang terinfeksi HIV dari 86% untuk tablet 150 mg dan 87% untuk larutan oral. Lamivudine diberikan kepada 12 pasien yang terinfeksi HIV dua kali, sekali saat berpuasa dan sekali dengan makanan (1099 kcal, 75gfat, protein 34g, 72g karbohidrat). Penyerapan ini lebih lambat saat bersama makanan (tmax 3.2h vs 0.9h), Cmax sebesar 40% lebih rendah saat bersama makanan dibanding saat puasa, tapi tidak ada perbedaan dalam pemaparan sistemik saat bersama makanan dan saat berpuasa. Oleh karena itu, lamivudine (tablet atau larutan oral) dapat diberikan dengan atau tanpa makanan. d. Stavudine Stavudine cepat diserap dengan pemberian oral dengan Cmax dicapai dalam 1 jam sejak pemberian dosis dari kapsul atau larutan oral. Pemberian stavudine tidak dipengaruhi oleh makanan dan dapat diambil dengan atau tanpa makanan. e.Tenofovir Tenofovir adalah fumarat disoproxil yang merupakan diester prodrug yang larut air dari bahan tenofovir aktif. Setelah pemberian oral, biovailabilitas tenofovir adalah sekitar 25%. pemberian tenofovir setelah makan tinggi lemak (700-1000 kkal mengandung 40-50% lemak) meningkatkan bioavailabilitas oral (kira-kira 39%), dengan peningkatan AUC sekitar 40%, peningkatan Cmax 14 % dan peningkatan tmax menjdi 1 jam. Oleh karena itu disarankan bahwa tenofovir diberikan dengan makanan untuk meningkatkan bioavailabilitas nya. f. zalcitabine Zalcitabine, bila diberikan secara oral kepada pasien yang terinfeksi HIV, memiliki bioavailabilitas absolut rata-rata lebih dari 80%. Pemberian bersama makanan pada 20 pasien menghasilkan tingkat penurunan penyerapan (tmax dari 1.6 hour sedangkan 0.8 hour dalam keadaan berpuasa), penurunan 39% dalam Cmaks, dan 14% pengurangan AUC. Secara klinis hal ini tidak signifikan, dan zalcitabine dapat diberikan dengan atau tanpa makanan. Co-administration dari Maalox (30ml) dengan dosis tunggal 1,5 mg zalcitabine pada 12 pasien terinfeksi HIV mengakibatkan penurunan rata-rata Cmax oleh kira-kira 33% dan pengurangan AUC oleh sekitar 25%. Meskipun signifikansi klinis ini tidak diketahui, direkomendasikan bahwa zalcitabine tidak dicerna secara bersamaan dengan magnesium / aluminium yang mengandung antasida. g. AZT AZT diserap dengan baik setelah pemberian oral dengan biovailability yang rata-rata antara 60-70%. Variabilitas yang cukup besar antara pasien memang ada, dan bioavailabilitas dapat berkisar dari 40 sampai 100%. Beberapa penelitian telah mengevaluasi dampak dari makanan pada penyerapan AZT. Secara umum, konsumsi pangan cenderung menurunkan tingkat penyerapan obat tapi tidak tingkat penyerapan AZT. Hal ini terutama berlaku untuk makanan tinggi lemak. Suatu studi pada 13 pasien dengan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dilakukan bersama makanan dan saat puasa. AUC pada konsumsi obat bersama makanan 24% lebih rendah dari saat berpuasa. Secara umum, AZT dianjurkan untuk diberikan tanpa memperhatikan makanan. Berdasarkan hasil pada pasien penderita AIDS, beadvisable memungkinkan mengelola AZT pada waktu perut kosong. Jika efek samping GIT menghalangi hal tersebut, pemberian bersamaan dengan makanan rendah lemak sangat dianjurkan. AZT tersedia secara komersial sebagai bentuk kombinasi dosis dengan lamivudine (Duviral) dan dengan lamivudine dan abacavir (Trizivir). Duviral telah dipelajari pada 24 subyek sehat dengan bersama makanan dan berpuasa juga. Cmax adalah 32%, 18%, dan 28% lebih rendah pada AZT, lamivudine, dan abacavir bila diberikan dengan makanan tinggi lemak dibandingkan dengan keadaan puasa. Makanan tidak mengubah tingkat absorpsi (AUC) dari salah satu komponen dari Trizivir. Oleh karena itu dianjurkan bahwa Duviral dan Trizivir diberikan dengan atau tanpa makanan. Tabel 1. NRTI Generic Name Brand Name Recommendation Abacavir Ziagen, Trizivir Bisa diberikan tanpa bergantung makanan Didanosine Videx, Videx-EC Berikan saat lambung kosong Lamivudine Epivir, Combivir, Trizivir Tidak bergantung makanan Stavudine Zerit Tidak bergantung pada makanan Tenovofir Viread Diberikan bersama makanan Zalcitabine HIVID Tidak bergantung pada makanan Zidovudine Retrovir, Combivir, Trizivir Tidak bergantung pada makanan 2.3.2.Nucleoside reverse Non transcriptase inhibitor (NNRTI) a. Delavirdine Delavirdine cepat diserap melalui pemberian oral, dengan konsentrasi puncak plasma terjadi kira-kira 1 jam setelah pemberian dengan bioavailabilitas sekitar 85%. Bioavaibilitas dengan dosis tunggal 100 mg tablet dari delavirdine pada 16 subyek sehat dan telah terbukti meningkat sekitar 20% ketika tablet dilarutkan dan membentuk bubur sebelumnya karena tidak mudah larut dalam air. Pengaruh makanan terhadap serapan delavirdine dilihat pada 13 pasien yang terinfeksi HIV dalam beberapa dosis.. Pasien dipertahankan pada diet khas mereka (konten makan tidak standar) dan delavirdine diberikan setiap 8 jam dengan makanan atau 1 jam sebelum atau 2 jam setelah makan. Meskipun Cmax berkurang 25% saat diberi bersama makanan, tidak ada efek pada konsentrasi obat AUC atau minimum dalam darah (Cmin) ketika delavirdine diberikan bersama makanan. Oleh karena itu dianjurkan agar delavirdine dapat diberikan dengan atau tanpa makanan. Farmakokinetik delavirdine dan N-desalkyl metabolit ditentukan atas 8 jam setelah pemberian selama 14 hari. Paparan Devirdine (yang diukur dengan Cmax, AUC, dan Cmin) lebih rendah dan tingkat metabolisme yang lebih besar pada subyek dengan asam lambung rendah. Jus jeruk meningkatkan penyerapan delavirdine oleh 50-70% pada subyek dengan asam lambung yang rendah, tetapi hanya memiliki dampak kecil pada penyerapan seseorang tanpa hypoacidity lambung. b. Efavirenz (sustiva) Bioavailabilitas absolut efavirenz belum ditentukan melalui pemberian oral. Pada pasien terinfeksi HIV, tmax tersebut tercapai dalam 3-5 jam dan pasien mencapai konsentrasi tetap pada hari 6-10. Pemberian kapsul 600mg efavirenz dengan makanan tinggi lemak / tinggi kalori (894 kkal, lemak 54g, 54% calorics fromfat) atau rendah lemak / kalori normal (440kcal, lemak 2g, 4% kalori dari lemak) dikaitkan dengan peningkatan rata-rata 22 % dan 17% pada efavirenz AUC dan peningkatan rata-rata 39% dan 51% di efavirenz Cmax, secara relatif paparan dicapai bila diberikan dalam kondisi berpuasa. Pemberian tablet 600mg efavirenz bersama makanan tinggi lemak / tinggi kalori (sekitar 1000kcal, 500-600 kkal dari lemak) dikaitkan dengan peningkatan 28% pada rata-rata AUC efavirenz dan peningkatan 79% pada rata-rata Cmaks efavirenz terhadap eksposur yang dicapai dalam kondisi berpuasa, disarankan bahwa pemberian efavirenz dengan makanan tinggi lemak harus dihindari untuk meminimalkan kemungkinan efek samping. c. Nevirapine Nevirapine mudah diserap melalui pemberian oral dengan bioavailabilitas mutlak lebih dari 90% pada kedua subyek sehat serta pasien yang terinfeksi HIV. 200mg Nevirapine diujikan pada 24 orang dewasa sehat (12 laki-laki, 12 perempuan) dengan baik,sarapan tinggi lemak (857 kkal ) atau antasid (Maalox 30mL). Pada penyerapan nevirapine sebanding dengan yang diamati dalam kondisi puasa. Dalam uji terpisah dari enam pasien yang terinfeksi HIV, nevirapine diteliti ketika diberikan bersama formulasi buffer didanosine. Sekali lagi, AUC nevirapine tidak memberikan perubahan signifikan. Dianjurkan, bahwa nevirapine dapat diberikan dengan atau tanpa makanan, magnesium / aluminium yang mengandung antasida, atau didanosine. Tabel.2 NNRTI Generic name Brand Name Recommandation Delavirdine Rescriptor Bisa diberikan dengan atau tanpa makanan Efavirenz Sustiva Hindari dikonsumsi bersama makanan tinggi lemak Nevirapine Viramune Bisa diberikan dengan atau tanpa makanan 2.3.3 Protease Inhibitors (Pls) a. amprenavir Kapsul Amprenavir dan larutan oral dengan cepat diserap melalui pemberian oral pada pasien terinfeksi HIV dengan waktu puncak konsentrasi serum (tmax) antara 1 dan 2 jam. Bioavailabilitas oral yang mutlak pada amprenavir belum ditetapkan. Penting dicatat bahwa larutan oral memiliki bioavailabilitas 14% lebih rendah dari kapsul dan karena itu tidak dapatt secara miligram per miligram. Bioavailabilitas relatif kapsul amprenavir telah dinilai saat makan dan saat puasa pada subyek sehat. Subyek diberi 1200mg dosis tunggal amprenavir pada waktu perut kosong atau setelah konsumsi makanan standar (967 kkal, lemak 67g, 33g protein, 58g karbohidrat). Dalam keadaan makan, Cmax dan tmax berkurang sekitar 33%, sedangkan AUC berkurang sekitar 27%. Oleh karena itu dianjurkan agar amprenavir dapat diberikan dengan atau tanpa makanan, tetapi itu tidak harus diambil dengan makanan tinggi lemak. b. Indinavir Indinavir cepat diserap dalam keadaan berpuasa dengan waktu serum konsentrasi puncak 0,8 jam, dengan bioavilabilitas ORL kira-kira 65%.dalam penelitian, Indinavir diberikan kepada 10 subyek dengan konsumsi makanan tinggi lemak / tinggi kalori (784 kkal, 48.6g lemak, 31,3 g protein) dalam keadaan makan, AUC indinavir berkurang sekitar 77% dan Cmaks berkurang 84%. Sebuah penelitian serupa di 13 subyek dilakukan untuk menyelidiki dampak dari "makanan ringan". Subyek diberikan makanan termasuk roti kering dengan jeli, jus apel, dan kopi dengan susu skim, dan gula, atau makanan corn flakes, susu skim dan gula. Jenis makanan ini memiliki sedikit atau tidak ada perubahan dalam AUC, Cmax, atau konsentrasi endapan indinavir. Disarankan bahwa indinavir diambil 1 jam sebelum atau 2 jam setelah makan. Jika GIT sedang kacau, indinavir dapat diberikan dengan susu skim atau makanan rendah lemak seperti yang dijelaskan sebelumnya. Dampak dari jus jeruk pada farmakokinetik indinavir juga dipelajari. 400mg dosis tunggal indinavir diberikan dengan atau tanpa 8 ons jus jeruk. Penambahan jus jeruk menghasilkan penguranga AUC indinavir sekitar 26%.Maka, disarankan hindari pengonsumsian indinavir dengan jus jeruk. Indinavir diujikan pada delapan relawan HIV-negatif untuk menentukan dampak dari diet suplemen St.John wort (Hypericum perforatum, standar untuk 0,3% hypericin) pada tingkat indinavir. Pasien menerima 800mg dari indinavir setiap 8 jam selama empat dosis sebelum dan pada akhir hari ke-14 diberikan St John Wort (sejenis herbal) 300mg tiga kali per hari. Konsentrasi indinavir ditentukan setelah dosis keempat indinavir sebelum dan setelah St John Wort. Setelah perjalanan St John Wort, AUC indinavir mengalami penurunan sebesar 57% dan Cmin mengalami penurunan sebesar 81%. Oleh karena itu disarankan agar indinavir tidak diberikan bersamaan dengan St John Wort. Efek samping yang diberikan indinavir adalah nefrolitiasis. Batu yang terbentuk dalam ginjal terdiri dari kristal indinavir yang terbentuk karena indinavir sangat sulit larut. Untuk meminimalkan efek samping ini, dianjurkan bahwa indinavir dikonsumsi dengan jumlah yang kecil atau sedikit. c. lopinavir / ritonavir Bioavailabilitas oral Kaletra pada manusia belum ditentukan. Pada pasien yang terinfeksi HIV tanpa pembatasan makanan, Kaletra diberikan 400mg atau 100mg pada tahap stabil yang memiliki rata-rata tmax 4 jam. Dalam kondisi tidak puasa (500 kkal, 25% dari lemak), konsentrasi lopinavir adalah serupa setelah pemberian kapsul atau cairan. Dalam kondisi puasa, AUC dan Cmax lopinavir dalam bentuk cairan 22% relatif lebih rendah terhadap formulasi kapsul. Dosis tunggal 400mg/100mg kapsul Kaletra diteliti, bila diberikan dengan makanan lemak sedang (500-682kcal, 23-25% dari lemak) AUC lopinavir mengalami peningkatan sebesar 48% dan Cmax meningkat sebesar 23% dibandingkan dengan keadaan puasa. Untuk konsumsi oral, peningkatan dalam lopinavir AUC dan Cmax adalah 80 dan 54%. Pada saat puasa, pemberian Kaletra dengan makan tinggi lemak (872 kkal, 56% dari lemak) meningkatkan AUC lopinavir dan Cmax oleh 97 dan 43%, untuk kapsul dan 130 dan 56%, masing-masing untuk bentuk enteral.Kaletra sebaiknya diberikan dengan makanan untuk meningkatkan bioavailabilitas dan meminimalkan variabilitas farmakokinetik d. nelfinavir Setelah pemberian oral 750mg (tiga tablet masing-masing 250mg) tiga kali sehari pada 11 pasien yang terinfeksi HIV selama 28 hari, atau 1250 mg dua kali sehari pada 10 pasien terinfeksi HIV, bioavailabilitas oral berkisar 20-80%. Makanan berisi 517-759 kkal (513-313 kkal berasal dari lemak) menyebabkan konsentrasi plasma maksimal dan AUC nelfinavir dua sampai tiga kali lipat lebih tinggi dalam kondisi makan dibandingkan dengan puasa. Pada sukarelawan sehat tablet 625mg yang baru disetujui tidak bioekuivalen dengan tablet 250mg. Dalam kondisi berpuasa pada 27 subjek, AUC dan Cmax adalah 34 dan 24% lebih tinggi, masing-masing untuk tablet 625mg. Dalam sebuah studi bioavailabilitas relatif dalam kondisi makan di 28 subjek, AUC adalah 24% lebih tinggi untuk tablet 625mg, sedangkan Cmax adalah sebanding untuk kedua formulasi. Disarankan bahwa nelfinavir harus diambil dengan makanan untuk memaksimalkan bioavailabilitas. Pasien tidak mampu menelan tablet, dapat melarutkan tablet dalam jumlah air yang sedikit. Setelah dilarutkan, pasien harus mencampur dengan baik cairan jenuh tersebut dan mengkonsumsi segera. Sendok harus dibilas dengan air dan ditelan untuk memastikan seluruh dosis telah dikonsumsi. e.Ritonavir Bioavailabilitas oral yang mutlak dari ritonavir pada manusia belum ditentukan. Setelah pemberian dosis 600mg dengan oral saat makan (514 kkal, 9% lemak, 12% protein, dan 79% karbohidrat) dan kondisi puasa, tmax adalah 4 jam dan 2 jam. Ketika larutan oral diberikan dalam kondisi tidak puasa, konsentrasi ritonavir puncak berkurang 23% dan AUC berkurang 7% dibandingkan saat puasa.. Sehubungan dengan kondisi puasa, tingkat penyerapan (AUC) dari kapsul lunak gelatin adalah 13% lebih tinggi saat bersama makanan, dan sedikit berkurang dengan larutan oral. Perubahan tidak signifikan ini telah dipertimbangkan secara klinis dan oleh karena itu disarankan agar ritonavir dapat diberikan dengan atau tanpa makanan. Penting untuk dicatat bahwa efek samping GI cukup umum dari pemberian ritonavir dan bahwa pasien dapat meminum ritonavir dengan makanan untuk meminimalkan efek ini. Efek samping ini terutama bermasalah dengan larutan oral. Untuk memperbaiki hal ini, larutan oral ritonavir telah dipelajari bila diencerkan dengan 240 ml susu cokelat, atau advera. Dilusi terjadi dalam 1 jam setelah pemberian dan tidak secara signifikan mempengaruhi tingkat penyerapan. f. saquinavir Saquinavir awalnya diperkenalkan sebagai kapsul hard-gelatin (Invirase). Formulasi ini memiliki bioavailabilitas oral mutlak sekitar 4% setelah sarapan tinggi lemak (1006 kkal 48 g protein, 60 g karbohidrat, 57 g lemak). Selain itu,pemberian jus jeruk pada delapan subyek sehat telah terbukti meningkatkan bioavailabilitas dan AUC hingga dua kali lipat. Invirase saat ini paling sering diberikan dalam kombinasi dengan ritonavir. Ketika mdikonsumsi, dapat diberikan tanpa memperhatikan makanan. Jika Invirase diberikan sebagai satu-satunya PI, dianjurkan bahwa itu diberikan dengan makanan tinggi lemak untuk meningkatkan bioavailabilitas. Baru-baru ini, sebuah formulasi kapsul lunak gelatin (fortovase) telah diperkenalkan untuk memperbaiki bioavailabilitas formulasi Invirase yang rendah. Bioavailabilitas oral yang mutlak pada saquinavir diberikan sebagai fortovase belum ditentukan. Namun, setelah dosis 600mg tunggal, bioavailabilitas relatif saquinavir sebagai fortovase dibandingkan dengan Invirase diperkirakan 331%. Pengaruh makanan di fortovase dievaluasi dalam 12 subyek sehat yang menerima 800mg dosis tunggal dengan sarapan (1006 kkal protein 48g, 60g karbohidrat, lemak 57g). AUC saat makan meningkat sekitar 6,7 kali lipat. Maka disarankan bahwa fortovase diberikan dengan makanan. Tabel 3. Protease Inhibitors Generic Name Brand Name Recommandation Amprenavir Ziagen Diberikan tanpa tergantung makanan, hindari konsumsi bersama suplemen mengandung vitamin E Indinavir Crixivan 1 jam sebelum atau 2 jam setelah makan dengan air yang cukup Lopinavir/ Ritonavir Kaletra Konsumsi bersama makanan Nelfinavir Viracept Konsumsi bersama makanan Ritonavir Norvir Tidak bergantung makanan, tetapi unuk menghindari gejolak pencernaan sebaiknya konsumsi bersama makanan Saquinavir Invirase Konsumsi dengan makanan tinggi lemak Saquinavir Forvotase Konsumsi dengan makanan 2.3.4 Terapi alternatif Terapi komplementer dan alternatif yang biasa digunakan oleh pasien dengan infeksi HIV seperti disebutkan sebelumnya, St.John Wort telah terbukti menurunkan AUC indinavir oleh 57% dan Cmin oleh 81%. Penurunan ini cenderung signifikan secara klinis, penggunaan St John Wort harus dihindari pada pasien yang menerima terapi PI. Bawang putih konsumsi pada dua pasien ritonavir telah dilaporkan mengakibatkan gejala GI yang parah. Mekanisme ini belum sepenuhnya dijelaskan dan tidak ada evaluasi interaksi ini pada tahap stabil saat ini. Pengaruh penggabungan bawang putih dengan saquinavir telah dievaluasi lebih formal dalam 10 subyek sehat. Relawan menerima 1200mg dari fortovase tiga kali sehari dengan makanan selama 4 hari penelitian. Penggunaan etanol dalam kombinasi dengan dedinosin dapat meningkatkan risiko pankreatitis dan harus dihindari. Laporan anekdotal penggunaan obat pada pasien yang terinfeksi HIV dan dampaknya terhadap penyakit antiretroviral dan / atau perkembangan penyakit HIV terus muncul. 2.3.5 Dampak metabolik pengobatan infeksi HIV Terapi yang lebih efektif telah dikembangkan untuk pengobatan infeksi HIV, pasien yang menjalani kehidupan yang lebih panjang. Penggunaan agen antiretrovirl telah lama digunakan selama bertahun-tahun. Sebagai hasil dari peningkatan ini dalam perawatan untuk dan hasil pada pasien dengan infeksi HIV berbagai efek samping baru yang terkait dengan kedua penyakit HIV dan pengobatannya telah didokumentasikan. Berbagai komplikasi metabolik telah diidentifikasi pada pasien yang memakai ART jangka panjang. Ini termasuk akumulasi lemak, gangguan lipid dan metabolisme glukosa, hiperlaktatemia dan asidosis laktat, gangguan tulang, dan lipoatrofi a. akumulasi lemak Berbagai sindrom akumulasi lemak telah didokumentasikan pada pasien dengan infeksi HIV,termasuk obesitas. Selain itu, pembesaran payudara telah dilaporkan pada wanita, dan ginekomastia pada pria. Sindrom akumulasi lemak dapat terjadi baik ada dan tidak adanya lipoatrofi. Karena pengakuan akumulasi lemak yang abnormal bertepatan dengan meluasnya penggunaan PI, mungkin awalnya diasumsikan bahwa perubahan ini terkait langsung dengan golongan obat ini. Peran spesifik PI dan NNRTI dalam pengembangan sindrom ini belum jelas, tetapi faktor individu seperti usia, kadar lemak dasar dan indeks massa tubuh, ras, jenis kelamin, dan HIV spesifik faktor juga mempengaruhi risiko untuk mengembangkan sindrom ini. b. hiperlaktatemia dan asidosis laktat Hiperlaktatemia dan asidosis laktat telah diamati pada pasien yang terinfeksi HIV dan menerima terapi antiretroviral. Spektrum penyakit berkisar dari ringan sampai sedang tanpa gejala (subklinis) hiperlaktatemia ke fulminan. Untungnya, hyperlactactemia sindrom jarang terjadi. Asimtomatik dan subklinis hiperlaktatemia telah diamati pada 10-36% dari uji kohort pasien terinfeksi HIV . Bukti menunjukkan bahwa paparan satu atau lebih NRTI berperan sentral melalui efek toksik pada fungsi mitokondria. Intervensi yang harus dipertimbangkan untuk hiperlaktatemia simptomatik dan asidosis laktat meliputi: (a) penghentian rejimen (jumlah dan frekuensi pemberian) ARV saat ini atau beralih ke rejimen tanpa NRTI (b) penambahan salah satu atau semua hal berikut: tiamin, riboflavin, l-karnitin, koenzim-q-10, vitamin C, E, dan / atau A. c. Gangguan Tulang Perubahan dalam mineralisasi tulang dan pengembangan nekrosis avascular (AVN) telah dilaporkan lebih umum pada orang yang terinfeksi HIV dibandingkan pada orang non-terinfeksi HIV. Kontribusi khusus ARV dan infeksi HIV osteoporosis, osteopenia, dan AVN tidak didefinisikan dengan baik. Pasien yang memakai ART terlepas dari kelas obat, memiliki tingkat lebih tinggi dari osteopenia dan osteoporosis dibandingkan pasien yang tanpa pengobatan. Hubungan antara AVN dan terapi anti-retroviral yang lemah. AVN telah sering dilaporkan pada pasien terinfeksi HIV yang tidak menerima ARV dan telah dikaitkan dengan CD4 rendah + jumlah sel, masa infeksi HIV, dan pengobatan kortikosteroid sebelumnya. Berikut ini direkomendasikan berdasarkan hasil yang diperoleh pada orang non-terinfeksi HIV. Modifikasi gaya hidup termasuk penurunan berat badan dan olahraga harus dicoba sebelum mempertimbangkan terapi obat. Penggunaan terapi obat tertentu termasuk kalsium dan suplemen vitamin D, bisphos, Phonates, terapi penggantian hormon, calciton, akhir teriparatide dapat dipertimbangkan. d. Lipoatrofi         Pembuangan lemak perifer pada pasien dengan infeksi HIV diobati dengan terapi antiretroviral yang timbul sebagai komplikasi yang mengancam -treatment panjang virus. Etiologi kehilangan jaringan adiposa di hilangkan. Saat ini informasi yang tersedia menunjukkan bahwa perkembangan lipoatrofi dipengaruhi oleh penggunaan terapi antiretroviral dan beragam faktor individu termasuk usia, ras, dan tingkat imunosupresi baik PIs dan NRTI cenderung berperan dalam patogenesis lipoatrophy. Menariknya, ART terdiri eksklusif dari PI tampaknya memiliki kecenderungan minimal terhadap perkembangan lipoatrofi. Risiko perkembangan lipoatrofi, bagaimanapun, secara dramatis, meningkat ketika NRTI dan PL digunakan dalam kombinasi. Saat ini, belum ada terapi yang terbukti dikenal untuk membalikkan atau mencegah lipoatrofi peripheral terkait dengan infeksi HIV. . Pendekatan yang telah dipertimbangkan termasuk antiretroviral, penggunaan thiazolidinediones. , antioksidan, dan operasi kecantikan. 2. 4. Interaksi obat dan makanan pada infeksi Mycobacterium tuberculosis Penyakit tuberkulosis telah lama menjadi masalah klinis yang sulit, sebagai agen penyebab adalah organisme yang tumbuh lambat dan terapi yang efektif memerlukan penggunaan beberapa obat untuk waktu yang lama, seperti dengan pengobatan infeksi HIV dan perubahan pada lifestlyle seseorang untuk mengakomodasi terapi obat. Untuk waktu awal memiliki kompleksitas dalam mencapai kepatuhan pasien yang optimal. a. Butiran asam Aminosalic (butiran Paser) Asam aminosalisilat adalah secara komersil dirancang dalam butiran untuk dibuat secara bertahap sehingga untuk menghindari tingkat puncak tinggi yang dapat menyebabkan keracunan. Asam aminosalisilat cepat terdegradasi media asam. Setelah 2 jam dalam cairan lambung buatan, 10% asam aminosalisilat tidak dilindungi dekarboksilasi dari metaaminophenol, sebuah totoxin tahu HEPA. Granul kecil yang dirancang untuk menghindari pembatasan biasa pada pengosongan lambung dari granula besar. Dalam kondisi netral seperti yang ditemukan dalam usus kecil atau dalam makanan netral, lapisan-tahan asam dilarutkan dalam 1 menit, lapisan luar resisten asam pelindung cepat dilarutkan dalam saus netral harus digunakan untuk menjaga bioavailabilitas oral. Dalam studi farmakokinetik dosis 4 g tunggal dengan makanan pada subjek sehat, rata-rata waktu puncak serumadalah 6 jam (kisaran 45 menit sampai 24 jam) pasien yang telah dinetralkan asam lambung dengan antasid tidak perlu dilindungi lapisan asam-resistent dengan makanan asam, tetapi pemberian antasida tidak perlu mencapai penyerapan yang baik b. Cycloserine Cyloserine diserap dengan baik melalui pemberian oral, dengan tmax 2-4 jam. Penggabungan cycloserine dengan makanan mengalami pengurangan 16% dalam Cmaks tapi tidak ada perubahan dalam AUC. Data awal menunjukkan bahwa pemberin dengan makanan tinggi lemak mengurangi Cmax sebesar 20% . Dampak administrasi antasida pada cycloserine juga minim dianjurkan bahwa pemberian cycloserine tanpa makanan jika memungkinkan. c. Etambutol Etambutol cepat diserap melalui pemberian oral dengan tmax 2-3 dan bioavailabilitas sekitar 80% . Dua studi terpisah telah mengevaluasi dampak dari makanan pada etambutol. Dampak dari makanan pada rata-rata AUC dari 11 subyek sehat sangat kecil. Penggabungan makanan tinggi lemak dalam 14 subjek (laki-laki dan perempuan) sehat menunjukkan keterlambatan dalam waktu untuk mencapai tingkat puncak serum, penurunan Cmax 16%, tetapi sedikit efek terjadi pada tingkat absorpsi (AUC) yang disertai pemberian antasida 3(Mylanta) dikaitkan dengan 28% penurunan Cmax dan penurunan 10% dalam etambutol AUCof . Oleh karena itu direkomendasikan bahwa etambutol dapat diberikan dengan atau tanpa makanan, tetapi yang tidak boleh diberikan dengan antacid d.etionamid Pada dasarnya benar-benar diserap setelah pemberian oral (kira-kira 80%). Tampaknya tidak ada efek dari pemberian etionamid dengan makanan tinggi lemak atau antasid pada Cmax atau AUC. Etionamid dapat diberikan tanpa memperhatikan makanan atau antasida. e. isoniazid Isoniazid diabsorpsi dengan baik pada dosis oral, dengan tmax antara 1 dan 2 jam. Ada perbedaan data mengenai dampak makanan pada bioavailabilitas isoniazid. Dalam sebuah penelitian, Cmax dan AUC isoniazid mengalami penurunan sebesar 70 dan 40% dengan adanya makanan. Sebuah penelitian yang lebih baru pada 14 sukarelawan sehat mengevaluasi pemadatan pada sarapan tinggi lemak pada penyerapan isoniazid. Makanan tinggi lemak mengurangi Cmax sebesar 51%, meningkatkan dua kali lipat tmax, dan mengurangi AUC sebesar 12%.. Rekomendasi adalah bahwa isoniazid diberikan pada saat perut kosong dan bila memungkinkan, pemberian bersamaan dengan antasid harus dihindari. f. Penyerapan Pirazinamid Pirazinamid berlangsung 1-2 jam. Pengaruh makanan tinggi lemak atau antasid pada bioavailabilitas pirazinamid telah dievaluasi di 14 relawan sehat. Baik makanan tinggi lemak atau antasida memiliki pengaruh yang tidak signifikan pada tingkat penyerapan. Maka pemberiam pirazinamid tidak bergantung pada makanan g. Rifabutin (Mycobutin) Dosis tunggal 300 mg rifabutin sembilan subjectc sehat, obat itu mudah diserap, dengan tmax dari 3,3 jam. Bioavailabilitas formulasi vapsule, relatif terhadap solusi oral 85% pada 12 subjek. Pengaruh makanan tinggi lemak diuji pada 12 subjek laki-laki yang sehat. Meskipun waktu untuk tingkat puncak maksimal yang berkepanjangan 3-5,4 jam, relatif terhadap kondisi puasa, tidak ada dampak signifikan terhadap tingkat penyerapan. Pengaruh antasida pada rifabutin belum diteliti. Dampak formulasi ddI yang buffer telah dievaluasi dan ini telah menunjukkan tidak berpengaruh pada penyerapan rifabutin. Rifabutin dapat diberikan dengan makanan, tetapi pemberian bersamaan dengan antasida harus aavoided sampai secara khusus sudied. h. Rifampisin Rifampisin baik diserap dari saluran pencernaan, wirh tmax dari kira-kira 2 jam (kisaran 2-4 jam). Rifampisin lebih baik diserap dalam lingkungan asam daripada netral atau alkali. Pemberian makanan tinggi lemak dengan rifampisin telah di uji pada 14 subjek sehat. Penambahan makanan tinggi lemak mengurangi Cmax sebesar 36% dan AUC sebesar 6%. Pemberian magnesium / aluminium yang mengandung antasida tidak berpengaruh pada bioavailabilitas rifampisin. Disarankan bahwa rifampisin diambil pada waktu perut kosong bila memungkinkan untuk meminimalkan potensi penurunan penyerapan. Tabel 4. Treatmen pada mycrobacterium tuberkulosis Generic name Recommendation Asam aminosiklik Pemberian de gan makanan berasam sedang dan hindari antasid bila memungkinkan Cycloserine Tidak diberikan bersama makanan Ethambutol Diberikan tanpa makanan, hidari antasid Ethionamide Diberikan tanpa atau dengan makanan atau antasid Isoniazid Diberikan saat perut kosong dan hindari antasid pyrazinamide Diberikan tanpa atau dengan makanan Rifabutin Diberikan bersama makanan, hindari antasid Fitampin Diberikan bersama makanan, hindari antasid 2.5. Interaksi Obat dan Zat Gizi Pada Infeksi Virus Hepatitis Kronis Hepatitis kronis umumnya disebabkan oleh hepatitis c virus (paling umum) atau oleh virus hepatitis BUntuk virus hepatitis B, pengenalan terapi oral termasuk lamivudine dan adefovir telah memungkinkan pasien untuk mencapai hasil terapi yang lebih baik dibandingkan dengan menggunakan terapi interferon. Untuk virus hepatitis C, penggunaan terapi kombinasi dengan interferon plus ribavirin oral, secara bertahap telah meningkatkan respon kompleks untuk mengobati penyakit . a.Adefovir(Hepsera) Adefovir tersedia sebagai prodrug diester. Bioavailabilitas oral adalah sekitar 59%, dengan tmax yang berkisar dari 0,58 sampai 4 jam. Ketika diberikan bersama makanan (100 kkal makanan tinggi lemak) tidak ada pengaruh terhadap farmakokinetika adefovir. Oleh karena itu dianjurkan agar adefovir dapat diberikan tanpa memperhatikan makanan. b.Ribavirin Ribavirin bila diberikan secara oral, maka akan cepat diserap.Dengan tmax dari kira-kira 2 jam. Ketika diberikan bersama makanan tinggi lemak. Penyerapan itu melambat (tmax = 4 jam), AUC meningkat sebesar 42% dan Cmax meningkat sebesar 66%. Bioavailabilitas ditingkatkan dengan adanya makanan, dianjurkan bahwa ribavin diberikan dengan makanan. BAB III KESIMPULAN Dampak dari makanan pada penyerapan obat secara signifikan menyulitkan terapi dari penyakit kronis. Dampak pada orang-orang dengan infeksi kronis berbeda dari kondisi seperti hipertensi dan diabetes. Penurunan penyerapan dalam mengobati infeksi dapat menyebabkan perkembangan infeksi resisten. Penyebaran selanjutnya dari infeksi resisten memiliki konsekuensi kesehatan masyarakat yang signifikan. DAFTAR PUSTAKA McCabe,BJ,Frankle,EH,J.J.2003.Handbook of food drug interactionBoca Raton :.CRC Press http://afdalgizi1c.blogspot.com/2013/01/interaksi-obat-dan-makanan.html