‘Dia Yang Menyerah’ – Zaman Inggris dalam pandangan seorang Pangeran Sastrawan Yogya
Merayakan “Manuskrip Yogya Kembali” dengan membaca kembali Pangeran Aryo Panular (sekitar 1772-1826) – putra-sentana dan sejarawan Keraton Yogya yang mampu mengkisahkan sisi lain zaman Inggris (1811-1816) dari pihak Jawa dalam Babad Bedhah ing Ngayogyakarta (1812-1816)
Peter Carey
(Emeritus Fellow, Trinity College, Oxford; dan Profesor Tamu FIB-UI)
Sinopsis:
Masa pendudukan Inggris yang singkat di Jawa (1811-1816) di akhir Perang Napoleon merupakan titik penting dalam sejarah modern Indonesia. Untuk pertama kali, Pemerintah Kolonial mempunyai cukup aset militer untuk menaklukkan raja-raja pribumi yang sebelumnya meraih daulat yang signifikan. Kekuasaan Eropa yang mutlak ini, yang didukung politik kolonial baru berupa pajak tanah (land-rent), hukum Eropa dan sistem sentralisasi Pemerintah. Terjadilah pergeseran mendasar dalam hubungan politik antara Pemerintah Eropa di Batavia dan kekuasaan lokal di pedalaman Jawa.
Walaupun banyak tulisan dari perspektif Inggris tentang periode ini—khususnya mengenai Letnan Gubernur Inggris, Thomas Stamford Raffles (1781-1826)—sedikit sekali diketahui tentang pandangan Jawa terhadap perubahan mendasar yang diprakarsai Inggris tersebut. ‘Dia yang Menyerah’ adalah sebuah artikel yang mengkajikan sebuah babad (tarikh Jawa dalam bentuk sanjak), berupa buku harian yang ditulis seorang pangeran senior di Yogyakarta, Pangeran Aryo Panular (sekitar 1772-1826). Memoar Panular yang amat pribadi ini memperlihatkan sejarah pendudukan Inggris di Jawa dari perspektif yang berbeda—yaitu perspektif Keraton Yogya.
Dimulai tepat pada saat serangan Inggris ke Yogya pada pagi buta 20 Juni 1812 dan ditutup sedikit sebelum Inggris menyerahkan koloni kembali kepada Belanda pada 19 Agustus 1816, catatan sejarah yang ditulis Panular menghidupkan kembali berbagai kejadian di tanah kerajaan Jawa pada tahun-tahun pendudukan Inggris. Selain itu, Panular juga memberikan pandangan unik tentang sosok Jawa dan Inggris, termasuk Pangeran Diponegoro dan Raffles.
Mengenal Pangeran Aryo Panular (sekitar 1772-1826)—Latar-bekalang keluarga dan hubungan dengan Belanda/VOC
Pengarang dari Babad Bedhah ing Ngayogyakarta (1812-1816), yang kita merayakan hari ini adalah Bendoro Pangeran Aryo Panular (atau pendeknya “Pangeran Aryo”), putra Sultan Pertama Yogyakarta, Sultan Mangkubumi (HB I, 1749-92), dari seorang garwa paminggir (selir kelas dua), Mas Ayu Tondhosari, yang berasal dari Blambangan. Lahir di Keraton Yogyakarta sekitar 1772, Panular terbunuh di Lèngkong, Sleman, dalam suatu sergapan yang dipimpin panglima Diponegoro, Sentot Ali Basah (sekitar 1808-1855), pada 30 Juli 1826.
Di antara banyak detail menarik yang Panular sajikan tentang hidupnya dalam babadnya, ada satu deskripsi yang menarik tentang asal-usul ibunda. Menurut Pangeran Aryo, ia berasal dari kerajaan Blambangan di ujung timur Jawa dan diberikan sebagai istri triman kepada Sultan Mangkubumi tidak lama setelah Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) oleh Gubernur Pantai Timur Laut Jawa, Nicolaas Hartingh (menjabat, 1754-1761). Pejabat VOC yang amat kompeten dan mahir Bahasa Jawa, Hartingh adalah orang yang paling bertanggung jawab atas negosiasi politik yang membuahkan Perdamaian Giyanti. Sebagai cinderamata dari apresiasi pribadinya, HB I memberikan salah seorang istri selir kesayangannya sendiri, Mas Ayu Retno Sekar, kepada Gubernur Hartingh untuk dijadikan garwa paminggir. Sebagai balasannya, Hartingh mengirimkan ibunda Panular, Mas Ayu Tondhasari, kepada Sultan itu. Dengan cara ini, ikatan persahabatan dan kasih sayang antara kedua lelaki itu jadi amat dekat. Panular, anak Hamengku Buwono I dengan Mas Ayu Tondhosari, pun dianggap oleh Sultan sebagai salah satu ‘jimat hidup’ dari hubungan yang mengikatnya dalam persahabatan dengan VOC – sampai Panular sendiri menceriterakan dalam Babad Bedhah bahwa ketika masih kecil, ia bersama dua adiknya, Mangkukusumo dan Adikusumo, sering diajak menghadap wakil Belanda di Jawa Tengah, seperti Residen Yogyakarta, Jan Mathijs van Rhijn (menjabat, 1773-86), dan Gubernur Pantai Timur Laut Jawa, Johannes Robbert van der Burgh (menjabat, 1771-80) (Carey 1992:252-53).
Sayangnya, tidak ada yang menguatkan cerita ini dalam sumber-sumber Belanda. Namun, ada kemungkinan bahwa cerita itu memang benar. Ini jelas menggarisbawahi adanya hubungan yang luar biasa ramah yang bisa timbul dari waktu ke waktu di antara pejabat Belanda yang peka budaya Jawa seperti Hartingh dan raja Jawa seperti Mangkubumi. Keramahan yang sama tampak ada di antara John Crawfurd yang cakap dan cepat mampu berbahasa Jawa yang alus (kromo inggil), dan ayah Diponegoro, HB III (bertakhta, 1812-1814) (Carey 1992:296, 453 catatan 262), meskipun hampir sulit membayangkan orang Skotlandia yang masam itu terlibat dalam semacam “tukar-menukar istri“ seperti dinikmati Hartingh dan Mangkubumi setelah perdamaian Giyanti! Kebiasaan santai para pejabat Kompeni Belanda pada abad ke-18, dan hubungan mereka yang sering kali bersifat intim dengan orang Indonesia dari semua kelas, sangat jauh dari sikap orang Inggris yang sarat rasis dan suka merendahkan bangsa non-Barat.
Hubungan kurang sahabat dengan Paku Alam I (pra-1812, Pangeran Notokusumo)
Asal usul ‘Kompeni’ Panular itu nyata-nyata membuatnya jadi kesayangan Sultan Pertama, meskipun ibunya lahir dari keluarga yang berstatus rendah. Berarti, ketika diangkat menjadi seorang Pangeran tidak lama sebelum Hamengku Buwono I wafat pada Maret 1792, tanah apanase yang dia terima lebih kecil daripada yang diterima oleh adik-adiknya. Ada kemungkinan ibunya sudah meninggal tidak terlalu lama setelah dia lahir pada 1772, karena Panular menyebutkan bahwa dia diangkat (pinèt) oleh ibunda Paku Alam I, Bendoro Raden Ayu Srenggoro, garwa padmi (isteri kelas satu) dari keluarga terkemuka (wangsa) di Kedu (Carey 1992:386, 519 catatan 579). Dengan begitu dia dibesarkan dalam lingkaran keluarga dari salah satu protagonis politik utama dari periode 1810-12, seorang yang pada akhirnya diakui sebagai seorang Pangeran Miji (Pangeran langsung di bawah kekuasaan pemerintah kolonial dengan gelar Paku Alam) oleh Raffles pada 22 Juni 1812. Bagaimanapun juga, relasi masa kecil ini tidak bertahan lama, karena selama tahun-tahun yang sama, Panular menjadi lebih akrab dengan lingkaran seputar Putra Mahkota Yogya (kelak Sultan Hamengku Buwono III; bertakhta, 1812-14), yang tak lama kemudian menjadi seorang lawan sengit dari Paku Alam I yang ambisius itu. Oleh karena itu, secara umum Babad Panular berisi gambaran yang kritis terhadap Paku Alam perdana dan watak sombongnya, yang menjadi satu penawar yang berguna terhadap versi Pakualaman sendiri tentang kejadian-kejadian yang disajikan secara begitu persuasif dalam babad prosa yang dipakai oleh Poensen dalam artikelnya tentang pemerintahan Sultan Kedua (Poensen 1905:73-346; Carey 1992:55).
Panular dalam Pusaran Politik Kasepuhan dan Kanoman di Keraton
Pada waktu ayahnya meninggal pada 1792, masalah dengan Notokusumo/Paku Alam I masih dalam masa depan dan selama bertahun-tahun Panular hampir sama sekali tidak disebutkan dalam babad (hikayat) Jawa dan laporan kolonial Belanda. Faktanya, satu-satunya acuan kepadanya sebelum 1819 ada dalam Memorie van Overgaven (laporan akhir jabatan) dari Residen-residen Belanda di Yogyakarta seperti Wouter Hendrik van IJsseldijk (menjabat, 1786-1798) dan Matthijs Waterloo (menjabat, 1803-1808), di mana Panular disebutkan sebagai salah seorang dari banyak saudara dari HB II (bertakhta, 1792/ 1811-12/1826-28) dan sebagai seseorang yang tidak berbobot alias “konsekuensi politik kecil” (Carey 1992:57 catatan 34).
Setelah 1808, dengan meningkatnya tekanan yang dibebankan pada kerajaan-kerajaan Jawa tengah-selatan oleh Marsekal Herman Willem Daendels (menjabat, 1808-11), dan berkembangnya persaingan politik dengan cepat di keraton, setiap pangeran kerajaan pun mulai dipandang sebagai seorang musuh atau lawan potensial, baik oleh pemerintah Eropa di Batavia maupun oleh fraksi-fraksi keraton yang bersaing di Yogyakarta dan Surakarta.
Di dalam keluarga inti kesultanan, di mana tekanan politik berjalan paling kuat, muncul dua fraksi utama—mereka yang mengelompokkan diri seputar Putra Mahkota yang dikenal sebagai kelompok ‘Karajan’ (yakni pengikut `Raja Putra Naléndra Mataram' yakni sang ahli waris takhta kesultanan)—dan pendukung Sultan “Tua” (Sultan Sepuh; yakni Hamengku Buwono II) yang dijuluki ‘Kasepuhan’ (Carey 1992:57 catatan 35).
Dalam tahun-tahun yang sarat tekanan tersebut, amat sulit bagi para bangsawan Yogya menahan diri untuk tidak terlibat dalam konflik politik, meskipun beberapa dari mereka memang mencoba. Salah satu adalah pangeran yang amat eksentrik, Muhamad Abubakar alias Dipowijoyo I (1767-1826), yang memangkas rambutnya dalam gaya santri dan mengumumkan bahwa ia bermaksud naik haji ke Mekah (Carey 1992:400). Bagi Panular, sikap menjaga jarak seperti itu sekarang jadi mustahil karena putri sulungnya, Raden Ayu Retno Adiningdyah, sudah bertunangan dengan Putra Mahkota. Melalui hubungan keluarga itu dia semakin jauh terseret ke dalam jaringan berbahaya dari intrik dan kontra-intrik di antara dua fraksi bermusuhan di keraton. Pada November 1810, Panular sudah dijuluki oleh Residen Belanda sebagai seorang pendukung kuat Putra Mahkota dan sebagai seorang calon sekutu pemerintah kolonial dengan menghadapi Sultan Kedua yang keras kepala itu (Carey 1992:57 catatan 37).
Babad Bedhahing Ngayogyakarta, yang ditulis Panular sendiri, membahas tahun-tahun itu dengan singkat dan menceritakan bagaimana dia selalu membela putra menantunya yang kelak akan memerintah sebagai Sultan Ketiga (1812-1814). Bahkan, pada saat-saat ancaman bahaya paling besar seperti selama kunjungan Putra Mahkota kepada Sultan Kedua dalam minggu-minggu sebelum serangan Inggris pada Sabtu, 20 Juni 1812, ketika tampaknya raja Yogya yang bengis itu berencana membunuh putranya (Carey 1992:57 catatan 38, 340).
3. Kisah heroik seorang punggawa/kerabat inti keraton yang setia
Satu tema utama dalam babad Panular ini, yang sesungguhnya menjadi alasan untuk penulisannya, merupakan catatan atas kesetiaan tak tergoyahkan dari Pangeran penulis kepada Putra Mahkota Yogya. Tindakan yang setia ini diceriterakan panjang lebar dalam babadnya. Selama bulan-bulan Panular terpaksa bertahan antara hidup dan mati. Sebuah kurun waktu yang mengerikan sebab sarat ancaman dari pihak Kasepuhan hingga serangan Inggris atas Keraton Yogya (18-20 Juni 1812) dan saat Sultan yang baru (HB III) diangkat oleh Raffles untuk menggantikan ayahnya—yang diasingkan ke Pulau Pinang (1812-1815)— bertakhta di Yogya (21 Juni 1812). Permulaan mendadak dari kronik tersebut, seolah di tengah-tengah pengeboman Inggris pertama yang gencar terhadap Keraton Yogya pada sore hari Kamis, 18 Juni 1812, bukanlah suatu rancangan sastra untuk merenggut perhatian pembaca. Tapi justru mengkisahkan heroisme terbesar Panular. Pangeran penulis digambarkan dalam pupuh kelima berani menantang peluru pasukan Sepoy (Spehi) dan Inggris-Skotlandia (Buckinghamshires [Bucks], Nottinghamshires [Notts], Ross-shire Buffs) untuk memandu rombongan Putra Mahkota ke Taman Sari (Istana Air). Panular kemudian menjaga mereka dengan tombak pusakanya, Kiai Kondhang, ketika Putra Mahkota dan rombongannya sedang dihujani mimis (peluru) dari pasukan Inggris-India di atas balowerti (benteng keraton). Pada saat itu, mereka berlindung dalam salah satu pintu gerbang yang terkunci yang menuju ke dalam Taman Sari (Carey 1992:222-223).
Serupa dengan cara para Jenderal Indonesia masa ‘Orde Baru’ Presiden Soeharto (berkuasa, 1966-1998) mendapatkan kedudukan lewat aksi perlawanan terhadap Belanda selama perjuangan kemerdekaan (1945-49) (Roeder 1982:206-7), begitu pulalah Panular memandang tindakannya yang berani selama serangan Inggris. Tindakan gagah berani demikian, menurut Panular, layak membuat dirinya dipertimbangkan secara khusus dalam pemerintahan baru menantunya, Sultan Ketiga itu. Oleh karena itu, karena merasa bahwa dia tidak dihargai sepantasnya, berkali-kali episode-episode awal membahas pangkat Panular di kerajaan, posisi kedudukannya dan tanah apanasenya yang tidak memadai. Frase yang Panular sering memakai di babad – labuh ing tyas dadya tekèng grah lan pati (‘pengorbanan diri hatinya [sampai menderita] sakit dan kematiannya’) (Carey 1992:276-77, 295, 338-39, 348-49, 379) mencerminkan sifat ‘nrima’ batin Panular. Dengan begitu, pembuka pupuh itu telah menetapkan topik untuk keseluruhan babad ini, karena memberinya satu keterkaitan dan makna khusus.
Satu sub-tema, yang erat berkaitan dengan yang telah disebutkan di atas, adalah tentang hubungan putri Panular dengan Sultan Ketiga. Seperti ayahnya, dia tidak mencari perlindungan ketika Putra Mahkota dan beberapa pendukungnya terpaksa lari dari Kadipaten (kediaman Putra Mahkota) pada pagi-pagi buta Sabtu, 20 Juni 1812. Sebagai gantinya, dia tetap tinggal bersama suaminya, menantang bahaya fisik dari peluru musuh sepanjang benteng keraton dan lirikan serdadu Sepoy ketika rombongan Putra Mahkota dikawal menuju Benteng Vredeburg (Carey 1992:220-26). Menurut pendapat Panular, perilaku yang bisa dicontoh ini memberi putrinya satu tempat khusus di antara para istri Sultan Ketiga, meskipun harapan besarnya untuk melihat putrinya itu diangkat sebagai Ratu tampaknya tidak pernah kesampaian (Carey 1992:492 catatan 440, 512 catatan 546).
Oleh karena itu, dalam banyak hal babad tersebut harus dilihat sebagai satu kisah keluarga yang intim mengenai upaya-upaya politik dari kubu bermusuhan kerajaan yang penting itu. Dengan begitu babad tersebut menceritakan kepada kita tentang sekian banyak cobaan dan derita hidup seorang punggawa keraton di Yogya selama zaman Inggris yang gawat ini. Apalagi babad membuka mata kita tentang situasi yang tidak aman yang bergulir terus-menerus dari satu sistem politik yang bergantung pada hubungan politik dengan penguasa.
Tetek-bengek status dan kedudukan untuk seorang punggawa senior Keraton
Kalau kita akan cari contoh dari sejarah Inggris yang paling tepat, saya kira ini adalah Mayor-Jenderal Sir Frederick Henry Ponsonby (1825-1895), yang menjabat sebagai sekretaris pribadi Ratu Victoria (bertakhta 1837-1901) selama 25 tahun (1870-1895). Serat pribadi serta buku harian Ponsonby disunting oleh anaknya, Arthur Ponsonby, dan diterbitkan sebagai Queen Victoria’s Private Secretary; His Life from His Letters (New York: Macmillan, 1943). Buku yang sangat menarik ini mengkisahkan suatu dunia istana yang amat protokoler dimana status dan kedudukan menjadi amat penting bagi punggawa keraton dan keluarga inti Ratu.
Meskipun babad Panular ini mengandung banyak detail menarik tentang kebudayaan dan masyarakat Jawa pada awal abad ke-19, pada dasarnya hal itu tidak merupakan tema utama babad tersebut. Tema utama, menurut saya, adalah upaya dari sebuah keluarga untuk mengonsolidasi suatu posisi pengaruh di pusat istana, pada era penuh kegelisahan.
Para sejarawan modern yang belajar di Barat, yang lalu mempelajari naskah itu untuk data tentang perkembangan non-politik, harus terus-menerus memikirkan kenyataan ini. Tidak seperti memoar berbahasa Barat yang setara, disusun dalam gaya Raja Frederik Sang Agung (Friedrich der Groẞe) dari Prusia (Jerman) (1712-86, bertakhta 1740-1786) berjudul Histoire de Mon Temps (1746), Babad Panular tidak pernah dimaksudkan untuk memberi satu tinjauan tentang kejadian-kejadian sezaman. Apalagi babad tidak bermaksud untuk menceriterakan realpolitik atau sejarah dari pandang politik nyata. Sebaliknya, catatannya selalu dipahami sebagai satu sarana untuk memproyeksikan pemahaman sang pangeran sendiri. Pemahaman ini bersifat sangat pribadi dan berkisar tentang masalah-masalah yang Pangeran menghadapi sekaligus meredakan keinginannya yang sering dikecewakan.
Meskipun berani menggambarkan bagaimana peningkatan kekuasaan keluarga itu tidak dapat dihindari, bisa dikatakan Babad Panular memiliki kelemahan dan kekuatannya sendiri. Penulis sendiri dipandang sebagai satu karakter yang setia, sopan, jujur dan baik hati, tetapi bukanlah seseorang yang punya naluri “berani menantang” (combative) atau “membunuh” (killer instinct). Naluri ini sesungguhnya diperlukan dalam bertahan hidup dan mendapat kemakmuran dalam situasi politik yang curang di lingkungan keraton-keraton Jawa pada awal abad ke-19. Dalam hal ini, ia amat berbeda dari kakaknya yang ambisius, Paku Alam I (1764-1829; bertakta 1812-1829), dan keponakannya, Pangeran Diponegoro (1785-1855), yang keterampilan politik dan daya pengarahannya sering disinggung dalam babad (Carey 1992:290, 450-51 catatan 244). Mari kita ambil kesempatan untuk mempertimbangkan kualitas dari dua sosok kontemporer ini.
Munculnya orang-orang kuat di keraton pasca-1812: Diponegoro dan Paku Alam I
Kenyataannya, amat berbeda dengan Panular yang peka, Diponegoro-lah, yang pada waktu itu belum kepala tiga, sebenarnya muncul sebagai “orang kuat” dari pemerintahan Sultan Ketiga. Oleh karena itu, timbul ledakan kecemburuan di pihak Panular terhadap sanaknya yang jauh lebih muda ini—yang dia gambarkan dalam babadnya sebagai ‘tonggak negara utama negara itu [Yogya]’ (uger praja gung) dan seseorang yang sering bertindak seperti penguasa itu sendiri: Pangćran ing mongsa puniku / […] / pan mèh sasat salirèng Aji (Carey 1992:327). Tetapi pada saat yang lain Panular mengakui sisi positif Diponegoro sebagai penasihat utama sang ayahnya, dan sebenarnya data yang diajukan Panular tentang sosok yang bakal akan menjadi pemimpin Perang Jawa sangat penting bagi sejarawan sebab merupakan sesuatu yang amat langka bagi sejarawan dan penulis biografi—data yang tidak tercampur pandangan ex post facto setelah Pangeran menjadi tersohor (atau tercela dalam pandangan Keraton) akibat peran dalam Perang Jawa (1825-1830):
XXIV. 21. […]
Di antara putra-putra Sultan,
salah satu yang paling terkemuka
adalah Pangeran Diponegoro,
sebab dialah yang tertua,
[dan] hatinya menyatu dengan sang ayah.
22. Ia cerdas, murah hati [dan] bersemangat,
tidak takut di hadapan banyak orang.
Ia fasih berbicara [dan] lembut penuh keakraban,
[dan] ikut merasakan penderitaan semua orang di
kerajaan itu,
sebab dia diberi kepercayaan oleh ayahnya.
Besar [dan] kecil, muda [dan] tua,
semua berada di bawah kewenangannya.
23. Ia menangani segala urusan dengan Karesidenan:
setiap hari Senin [dan] Kamis Sang Pangeran
mengunjungi Karesidenan ditemani
Pangeran Dipowiyono,
adik Sultan. […]
XXIV.21 […]
Semanten putra Sang Katong
ingkang kinarya pangarsa
Pangran Dipanegara
dhasar ingkang putra sepuh
kang tyas condhok lan kang rama
22. lantip beranyak bèrbudi
tan ulap dhateng ing kathah
sabda luwes manis ajèr
anjangkahing wong sapraja
dhasar kaidèn rama
gedhé cilik anom sepuh
samya winengku ing karsa
23. ngadani prakarèng Laji
mila Senèn Kemis Pangran
sowan ing Laji rowangé
Pangéran Dipawiyana
[…]
Dalam konteks ini, pengangkatan Panular sebagai seorang Pangeran Miji langsung merupakan jawaban Sultan pada Oktober 1812, harus dilihat sebagai semacam “hadiah hiburan”, suatu cara menghargai seorang paman tua atau pakdhénya tanpa benar-benar memberinya suatu kekuasaan nyata. Pada saat-saat lebih reflektif, Panular terlihat sudah menyadari bahwa rasa gampang tersinggungnya mengenai kehormatan lebih menunjukkan kelemahan daripada kekuatan.
Babadnya itu ditutup dengan kesan tidak jelas sejauh berkaitan dengan Panular dan putrinya. Pada Mei 1816, putra menantu tercinta Panular—Sultan Hamengku Buwono III—sudah berbulan-bulan wafat (3 November 1814). Kita mengetahui dari sumber-sumber lain bahwa bayi yang dikandung oleh Raden Ayu Retno Adiningdyah ketika HB III mangkat adalah perempuan, bukan laki-laki, sehingga ini menghapuskan setiap harapan yang dibayangkan Panular untuk melihat cucunya suatu hari menjadi Sultan. Pada waktu yang sama pemerintahan baru Sultan bocah ingusan—Hamengku Buwono IV (bertakhta 1814-22)—dimulai secara tidak pasti dengan semua masalah mengiringi sebuah periode perwalian untuk Sultan yang di bawah umur itu (Carey 1992:385, 517-519 catatan 577). Dibutakan oleh kecintaannya kepada sahabat karib Pangeran Adipati itu, Raffles yang tidak berhati-hati itu mengangkat Paku Alam I sebagai seorang Pangeran Wali sehingga meruntuhkan satu Dewan Pewalian (Regency Council)—yang lebih diterima keluarga inti sultan—yang telah didirikan oleh Residen Inggris, Kapten Robert Clement Garnham (menjabat, 1814-15) (Carey 1992:517-19 catatan 577).
Posisi politik baru Paku Alam I pun menghidupkan kembali banyak permusuhan lama di Keraton Yogya. Tetapi, pasca-November 1814, oposisi kepada Sang Pangeran Adipati yang ambisius itu tidak berpusat di sekitar Panular yang sekarang sudah disingkirkan secara politik dan tidak berbobot lagi. Justru tokoh-tokoh utamanya adalah ibunda Sultan muda itu, Ratu Ibu (pasca-1820, Ratu Agung, sekitar 1780-1826) seorang putri bupati mancanegara timur kelahiran Jipang (sekarang Bojonegoro), dan sekutunya yang juga berasal dari Jawa Timur (Japan, pasca-1838, Mojokerto) dari darah campuran Tionghoa (marga Pei dari Sidoarjo) dan Bali (trah Untung Surapati, 1645-1706), yakni Patih yang baru, Danurejo IV (sekitar 1780-1849; menjabat, 1813-47) (Carey 1992:407 catatan 40, 498-99 catatan 486). Pada tahun-tahun menjelang Perang Jawa (1825-1830), yaitu kurang lebih suatu dasawarsa sejak kembalinya Belanda pada 19 Agustus 1816 dan pecahnya perang pada 20 Juli 1825, berkembang satu keretakan besar antara fraksi keraton yang dipimpin oleh kedua orang itu dan Diponegoro yang semakin terkucilkan serta sakit hati.
6. Nasib naas Panular, 1825-1826
Kelihatannya, dari sumber-sumber yang tersedia, Panular tidak mempunyai peran penting di kemelut politik di pusaran keraton pasca-Agustus 1816. Sudah berusia kepala lima pada medio 1820-an, pangeran tua itu tidak terlalu akrab, baik dengan klik Keraton Yogya yang dipimpin Ratu Ibu/Agung, atau dengan Diponegoro yang bersemangat bersungut-sungut di Tegalrejo. Baru setelah perang pecah maka Panular mengalami satu masa pendek dengan posisi politik yang penting: pada November 1825 dia ditarik dari masa semi-pensiunnya untuk menjadi salah seorang dari dua wali Sultan bocah (HB V, bertakhta, 1822-26/1828-55) (Louw dan De Klerck 1894-1909, I:451). Sembilan bulan kemudian dia sudah wafat dalam pertempuran tragis, dibunuh bersama dengan 25 pangeran dan kerabat inti Sultan Yogya lainnya, yang masih setia kepada Belanda, dalam sebuah penyergapan yang dipimpin panglima Diponegoro, Sentot Ali Basah (sekitar 1808-1855) di Lengkong di perbatasan Sleman dan Kedu pada 30 Juli 1826 (Louw dan De Klerck 1894-1909, II:386-87).
Walaupun secara pribadi Diponegoro tidak merencanakan tindakan ini dan benar-benar menyesali hilangnya nyawa secara mengerikan di kalangan sanak saudara dekatnya itu, semua ini seakan-akan mengisyaratkan akhir tragis dari satu persaingan politik yang merentang sejak pemerintahan Sultan Ketiga. Panular yang ramah and bersifat damai pun akhirnya menjadi korban dari semacam kebiadaban yang selalu mendasari manuver politik halus di Keraton dalam dasawarsa-dasawarsa bermasalah sebelum 1825.
7. Persentuhan Panular dengan dunia pewayangan, sastra Islam dan seni tari
Kalau kami memandang kehidupan dan riwayat Panular dari pandanga politik murni tidak bisa dianggap sukses. Akan tetapi ada indikasi bahwa di bidang lainnya Pangeran yang naas itu adalah seorang lelaki cerdas dan sopan dengan rasa keagamaan yang kuat. Salah satu aspek yang langsung mengejutkan pembaca babad ini, adalah bahwa sang pengarang amat mengenal dunia wayang dan aktivitas seni di keraton. Gambar wayang melimpah dalam teks itu dan referensi terkait pewayangan sering menandai keganjilan sesaat maupun satu aspek dari karakter seseorang. Misalnya, adik Sultan Kedua yang cerewet, Pangeran Demang, yang sering menghibur penguasa Yogya itu dengan cerita-ceritanya yang lucu, sesaat sebelum Sultan Kedua itu ditangkap Inggris pada delapan pagi, 20 Juni 1812, dirujuk seperti seorang dalang yang “ketahuan oleh pagi”. Pendek kata, dia tidak pernah tahu kapan harus mengakhiri percakapannya secara tepat (Carey 1992:233, 411 catatan 68). Kelak, ketika pelaut Inggris yang punya banyak bekas luka bertempur, Laksamana Madya (Vice Admiral) Sir Samuel Hood (1762-1814) melakukan kunjungan singkat ke Yogya pada Juli 1814, Panular membuat Residen Inggris, John Crawfurd (menjabat, 1811-1814/1816), secara pas membandingkannya dengan raja-raksasa, Prabu Dasamuka (Rawana), yang menyimpan lima jimat (‘aji pancasona’) dalam tenggorokannya, yang memungkinkannya bangkit dari kematian dalam peperangan dengan cara ajaib menyambung kembali kepala dan tubuhnya (Carey 1992:377, 510 catatan 538). Akhirnya, Panular, yang mengingat keberaniannya yang tidak memikirkan dirinya sendiri pada waktu Putra Mahkota ditangkap sebagai tawanan di Loji Wétan (Benteng Vredeburg), berkomentar bahwa tindakannya agak mirip dengan Patih Prahastha yang setia, yang memohon kepada Batara Guru untuk menyelamatkan hidup tuannya, Dasamuka, dengan menawarkan dirinya sendiri sebagai penggantinya (Carey 1992:339, 487 catatan 409). Referensi-referensi itu biasanya tepat dan menyentuh, menunjukkan bahwa pengarangnya seseorang yang luar biasa fasih dalam pengetahuan pewayangan.
Bagian-bagian lainnya memberi kesan bahwa Panular juga kenal dengan sastra Islam Jawa seperti epik Ménak Amir Hamza yang juga menjadi favorit Diponegoro (Carey 1992:341,487 catatan 414). Deskripsinya yang jelas akan wayang wong, wayang topeng, pertunjukan serimpi dan bedaya di Keraton Yogya selama pemerintahan Sultan Ketiga, juga menunjukkan bahwa dia sungguh mengapresiasi bentuk-bentuk seni tersebut. Lebih jauh lagi, Babad Panular menekankan betapa pentingnya pertunjukan seni ini untuk menegaskan otoritas seorang penguasa baru. Pementasan drama wayang wong yang panjang, yang sering ditulis atau dikoreografi sang raja sendiri, merupakan salah satu cara untuk membuat sanak keluarganya (putra sentana) dan para pejabat keraton terkesan dengan talenta kreatif raja dan sensibilitas artistiknya yang istimewa (Carey 1992:466 catatan 316). Dengan demikian Panular mencatat bahwa dia setuju soal bagaimana putra menantunya suka sekali menghidupkan kembali kreasi-kreasi Sultan Pertama di bidang seni tari, khususnya tarian sakral bedaya dan wayang wong (Carey 1992:336). Menurut pangeran itu, ini mewakili intisari dari pencapaian kebudayaan dan dia selalu mendorong Sultan Ketiga itu untuk mengambil mereka sebagai contoh.
8. Hidup religius Panular dan persentuhan dengan Islam
Pada tingkat yang lebih pribadi, jelaslah bahwa Panular taat secara religius dan punya keterlibatan nyata kepada iman Islamnya. Ternyata dia hafal dan dapat mengutip ayat-ayat Al Quran (Carey 1992:299, 457 catatan 276), dan dengan bangga menyebutkan bahwa dia sudah menyelesaikan satu masjid pribadi dengan satu surambi tertutup dan balumbang untuk ritual wudhu sebelum sembahyang yang dia bangun di dekat kediamannya (Carey 1992:356). Pada waktu ibu-angkatnya, Bendoro Raden Ayu Srenggoro, sakit parah pada November 1814, tampaknya Panular memberi beliau semacam “jampi saking Allah”, mungkin air zamzam dari mata air suci terkenal di dataran Arafat dekat Mekah yang sering dibawa kembali oleh orang Jawa yang naik haji (Carey 1992:389, 410 catatan 60, 521 catatan 588). Di seluruh babad itu juga ada berbagai kesempatan ketika Panular tergerak untuk mohon berkah dari Allah, Nabi Muhammad dan Wali-wali Islam, serta nenek moyang ayahnya yang dihormati bagi mereka yang dia kasihani (Carey 1992:225-26, 265, 382-83). Di lain kesempatan, waktu dia merasa mendapat cobaan berat atau terancam secara pribadi, dia menggambarkan bagaimana dia mempercayakan dirinya sendiri kepada Allah (pasrahing Allah), karena ia merasa pasti bahwa ia akan mendapat penghiburan dan perlindungan ilahi (Carey 1992:207, 226, 299). Semua detail tersebut menggambarkan seseorang, yang mungkin mencerminkan kalangan orang sezamannya, yang benar-benar takut kepada Allah dan taat kepada Islam. Sikap dari lingkaran keraton Jawa tengah-selatan kepada Islam selama periode ini (1812-1816) merupakan satu subjek yang masih membutuhkan riset yang lebih terperinci. Kita ingat disini pembantahan keras seorang ahli Islam Jawa, S. Soebardi, yang dengan keras membantah untuk semakin besar penyerapan ‘ortodoksi’ Islam ke dalam tradisi keraton yang mulai merosot dan semakin pentingnya ketaatan pada Islam sebagai satu bagian intrinsik dari identitas-diri orang Jawa pada tahun-tahun sebelum Perang Jawa (1825-30) (Soebardi 1971:331-49).
Selera humor Panular
Di samping sisi yang serius ini, Panular tampaknya juga punya selera humor yang tajam, berkali-kali dibubuhi ironi yang cekatan. Maka, kakaknya yang eksentrik, calon haji Pangeran Mohammad Abubakar (sekitar 1765-1826), biasanya diacu dalam babad itu dalam nada sindiran dan digambarkan sebagai seorang bodoh yang tidak becus. Dalam pupuh pertama dia diperkenalkan tengah memohon untuk ganti baju karena jubah haji yang dikenakannya melambai-lambai sehingga mudah terlihat oleh para penembak Inggris dari benteng. Kemudian, ketika disediakan baju Jawa yang lebih masuk akal, ternyata dia tidak bisa mengenakan itu semua di depan pengawal perempuan atau prajurit èstri Sultan. Akhirnya dia harus menyatakan dengan gaya jera bahwa konsep yang dulu dibanggakannya tentang pakaian yang mencolok untuk (prang sabil) melawan Inggris ini tidak sesuai (Carey 1992:209, 400 catatan 5). Kelak dalam babad itu, waktu mendiskusikan tentang upaya setengah-hati Abubakar dalam menyiapkan perjalanannya ke Mekah, sekali lagi dia dibuat terlihat konyol, karena ditunjukkan sebagai seseorang yang lebih prihatin soal posisi keuangannya dan basa-basi pamit secara resmi kepada Sultan daripada suatu keterlibatan murni kepada iman Islamnya (Carey 1992:290-92). Hal yang sama juga terjadi dengan acuan Panular yang kasar kepada ulama Yogya yang disamakan dengan kelompok sosial lainnya sebagai langsung bertanggung jawab untuk keruntuhan moral Yogya menghadapi invasi asing. Orang-orang itu, yang sudah mendapatkan kemasyhuran oleh pendidikan mereka, digambarkan oleh Panular sebagai sekadar “kanthong lir watak sudagar”, mengantongi uang seperti pedagang, dan jika mereka akan mendapatkan uang, mereka akan berjuang mati-matian untuk itu, tanpa peduli mendepak teman-temannya (Carey 1992:267, 434 catatan 168). Tampaknya sang pengarang bisa mengenali kalau melihat kecurangan! Memang, deskripsi dari komunitas agama itu begitu menggigit sehingga orang bisa mengira bahwa Panular punya satu kapak khusus untuk menggerus ulama kalau belum mengenali iman pribadinya yang tidak diragukan lagi.
Kalau berurusan dengan tokoh-tokoh dari seksi lain masyarakat, rasa humor Panular juga bersifat ironis, kadang tajam, kadang jenaka. Jadi, dalam pupuh pertama ada satu adegan ‘kasar” dengan seorang Lurah Kěstabel (opsir artileri Jawa) yang, berpura-pura takut menolak kembali ke posnya di dinding bermenara keraton dengan menyatakan bahwa nyawanya hanya satu bukan tujuh dan dia tidak akan dianugerahi pangkat bupati untuk jerih payahnya (Carey 1992:206). Sementara itu, ketika beberapa pangeran dari keraton tergesa-gesa lari, adik Panular yang bongkok (? menderita polio), Pangeran Diposono (lahir 1778-meninggal dalam pengasingan di Ambon pasca-1822), diceritakan sedang diangkat begitu saja ke atas tangga oleh para pengikutnya, dan mendarat ting gedebug di sisi lain tembok keraton dan bergegas lari bahkan tanpa berhenti untuk mengambil kerisnya yang jatuh (Carey 1992:221-22).
Kelak, di Benteng Vredeburg, dalam satu adegan yang diamati secara luar biasa, kedua pesaing untuk Kesultanan Yogya, Putra Mahkota (kelak Sultan Hamengku Buwono III) dan Paku Alam I, digambarkan duduk berdampingan, dengan sengaja saling mengabaikan, “seperti perempuan dengan sesama istri baru yang baru saja ditinggalkan oleh lelaki mereka” (Carey 1992:227). Akhirnya, ketika upacara penobatan Putra Mahkota selesai dan Raffles maju untuk secara resmi memeluk sang raja baru, gerakan kedua lelaki yang berciuman ala kadarnya itu diacu oleh Panular sebagai lir puyuh têtarungan, burung puyuh bertarung (Carey 1992:264). Ujung-ujungnya, pada akhir babad itu (Mei 1816), selama pernikahan Sultan Keempat yang masih bocah dengan seorang putri dari Patih Yogya yang terbunuh, Danurejo II (menjabat: 1799-1811), para kerabat kerajaan digambarkan bergegas maju ke depan, masing-masing ingin sekali menjadi yang pertama memberi selamat kepada raja itu, seperti orang kebanyakan yang berebut mengambil uang picis yang dilemparkan sebagai sumbangan raja pada upacara-upacara (Carey 1992:397, 527). Jadi, yang menggelikan adalah bahwa orang-orang yang berpangkat tinggi dan kuat itu tanpa ampun diejek sebagai mereka yang berkedudukan kurang tinggi.
Nada yang kaya akan humor dan ironi inilah yang menghidupkan seluruh karya itu, kalau tidak, deskripsinya yang angkuh ini akan mendapat semacam bingkai yang pedas. Orang merasa bahwa Panular seharusnya menjadi dalang yang hebat karena jelas dirinya punya bakat narator dengan bahasa. Ia selalu mampu mengubah nadanya agar cocok dengan situasi, dan cepat melihat kelucuan bahkan dalam situasi yang paling resmi. Tentu saja, dengan tujuan merasakan kepenuhan kekayaan naskahnya, karya itu harus dilantunkan dalam sekar macapat seperti yang maksud aslinya, karena hanya dengan begitu maka irama onomatopea, frasa aliteratif dan pasemon-nya, sindirannya, bisa diapresiasi secara memadai. Tetapi bahkan jika dibaca habis begitu saja oleh seorang pembaca yang kurang bisa mengapresiasi puisi Jawa yang halus itu, suatu kelenturan dan kekayaannya sebagai satu karya sastra yang dilantunkan masih bisa sekilas dirasakan. Jadi karya ini menjadi satu sumber yang kaya bagi mahasiswa sastra Jawa pada awal abad ke-19, terutama mereka yang tertarik dalam penulisan babad khas gaya Yogya.
Panular jelas bukan pujangga yang setara dengan sastrawan Surakarta seperti Raden Ngabehi Ranggowarsito (1802-73), Mangkunegoro IV (bertakhta, 1853-81) dan kedua Yosodipuro,
Untuk satu diskusi tentang arti penting pujangga Surakarta ini, lihat Soebardi, 'Raden Ngabehi Jasadipura I, Court Poet of Surakarta. His Life dan his Works', Indonesia no. 8 (Okt. 1969), hlm. 99-112; Id., 'Prince Mangku Negara IV. A Ruler dan a Poet of 19th Century Java', Journal of the Oriental Society of Australia, jilid 8 no. 1/2 (Des. 1971), hlm. 28-58; Id., The Book of Cabolek (The Hague, 1975), hlm. 17-26; M.C. Ricklefs, Modern Javanese Historical Tradition, A Study of an Original Kartasura Chronicle and Relaxed Materials (London: Oxford University Press, 1978). hlm. 211-18; dan Day, 'Meanings of Change', hlm. 167ff. Yosodipuro I (1729-1803) dan putranya, Yosodipuro II (kelak Raden Tumenggung Sostronegoro) (ft 1790-1820), aktif selama pemerintahan PB III (1749-88) dan PB IV (1788-1820). tetapi dia tidak kekurangan bakat sastra. Memang, kerendahan hatinya sebagai seorang sastrawan membuatnya menarik. Dari apa yang kita ketahui tentang Keraton Yogya pada periode ini, ada banyak orang seperti dia, raja maupun pangeran, yang iseng-iseng menekuni kesenian dan sastra sebagai hobi yang pantas bagi seorang Jawa (satria, bangsawan) tanpa bertujuan mencari ketenaran atau pengakuan.
Lihat Carey 1992:404 catatan 29 tentang putra HB I, Pangeran Kusumoyudo, seorang seniman dan penulis minor; catatan 316 babad itu (tentang aktivitas sastrawi/kesusastraan HB III waktu beliau masih Putra Mahkota); Pigeaud, Literature of Java, jilid II, hlm. 417 sub: `LOr 6789’ (tentang versi dari Serat Rama yang ditulis oleh putra HB II, Pangeran Joyokusumo [kelak Pangeran Ngabèhi] (sekitar 1787-1829); dan LOr 8987 no. I, R. Prawirawinarsa dan R. Arya Jayengpranata, Babad Alit, pt. 21 (tentang ‘kelanjutan’ dari lingkaran dongeng romantik Jawa Timur yang populer, Damar Wulan, oleh Raden Ronggo Prawirodirjo III [sekitar 1779-1810; menjabat sebagai Bupati Wedana Yogya di Madiun, 1796-1810], yang jelas menggabungkan tanggung jawab politiknya yang berat dengan minat sastrawi [inggih punika ingkang nyambĕti Sĕrat Damarwulan wiwit Damar Wulan bégal]). Untuk diskusi lebih jauh dari kegiatan sastrawi dari istana Yogya selama periode ini, lihat Carey, Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 (Jakarta: KPG, 2012), Bab. 2.
Sampai sekarang, menurut perkiraan penyunting buku ini, jauh terlalu banyak perhatian yang sudah diberikan kepada karya pujangga Surakarta yang lebih terkenal, sedangkan perhatian terlalu sedikit bagi produksi lebih bersahaja dari sesama mereka yang dari Yogyakarta. Kalau ketidakseimbangan ini diatasi, barulah arti penting apresiasi yang memadai dari para penulis semacam Panular yang ironis itu dan penulis sesamanya di Keraton Yogya bisa dimungkinkan. Baru kemudian akan muncul satu gambaran yang lebih bulat dari evolusi sastra Jawa modern. Karena, mungkin Panular lebih ingin diingat sebagai seorang pengarang, dan bukan seorang politisi.
Kesimpulan
Satu prawacana pendek semacam ini hanya dapat memberi petunjuk soal betapa Babad Panular begitu kaya sebagai satu sumber historis untuk mahasiswa yang mendalami sejarah Jawa pada awal abad ke-19. Sejarawan masa depan pasti tidak ragu menggalinya dalam cara mereka sendiri menurut minat khusus dan bidang studi mereka. Kelas, babad Jawa lainnya dari periode yang sama—termasuk mungkin tiga jilid Babad Inggris yang menarik—agar memberikan satu pemahaman baru pada pandangan orang Jawa tentang pendudukan Inggris yang hanya sebentar dan akan menempatkan Babad Panular dalam konteks. Tetapi tampaknya agak mustahil bahwa Babad ini akan tersaingi oleh kronik Jawa lainnya sebagai sumber kontemporer untuk tahun-tahun tersebut. Ini karena tidak ada naskah Jawa lainnya dari periode tersebut yang ditulis dalam zaman yang sama dengan peristiwa yang tengah mereka deskripsikan, juga tidak ada satu pun naskah (sejauh yang diketahui) yang berupa manuskrip asli yang tanggalnya bisa dipastikan berasal dari sebelum 1816. Jadi, pada titik tertentu, Babad Top of Form
Top of Form
Panular cukup unggul sebagai pembanding untuk banyak sekali sumber Inggris dari periode yang sama. Untuk pertama kalinya, naskah babad ini memberikan sudut pandang yang baru, mengutamakan keprihatinan khusus masyarakat Jawa dan membantu memperbaiki posisi tidak seimbang antara sejarah penjajah dan sejarah yang dijajah di Indonesia.
Dalam meninjau pentingnya sejarah Babad Panular, aspek tertentu lainnya juga menonjol. Pertama, ini adalah satu babad keluarga yang mengandung ketakutan dan aspirasi dari seorang pangeran senior yang dekat dengan pusat kekuasaan di Yogya dalam satu masa singkat setelah 1812. Kedua, dan mungkin yang paling penting, babad ini memberikan satu wawasan akan tantangan dari pihak Inggris kepada rasa percaya diri dan identitas masyarakat Jawa selama satu periode penuh perubahan pesat, sosial politik dan ekonomi. Ketiga, ini suatu sumber yang kaya akan informasi tentang kepribadian, kebudayaan dan masyarakat dari satu keraton yang dihancurkan oleh trauma Perang Jawa (1825-30). Jadi babad ini memetakan nasib satu masyarakat di ambang era yang baru; satu masyarakat yang tidak hanya penuh kesangsian akan masa depan, tetapi juga memelihara banyak kemegahan budaya masa lalu.
Daftar Pustaka
Carey, Peter 1992
The British in Java, 1811-1816. A Javanese Account. Oxford: OUP untuk The British Academy.
Louw, P.J.F. and E.S. de Klerck 1894-1909.
De Java-Oorlog van 1825-1830. ’s-Gravenhage: Nijhoff / Batavia: Landsdrukkerij. Enam jilid.
Poensen, C. 1905
‘Amăngku Buwånå II (Sĕpuh); Ngayogyåkarta’s Tweede Sultan (naar Aanleiding van een Javaansch Handschrift)', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 58:73–346.
Roeder, O.G. 1970
The Smiling General; President Soeharto of Indonesia. Djakarta: Gunung Agung.
Soebardi 1971
`Santri-Religious Elements as Reflected in the Book of Tjentini', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 127.3: 331-49.
24