Academia.eduAcademia.edu

Ksadaran lingkungan

Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara kesadaran lingkungan dan subjective well-being (SWB) pada remaja. SWB diukur berdasarkan dua aspek, yaitu kepuasan hidup dan afeksi. Alat ukur Satisfaction With Life Scale digunakan untuk mengukur kepuasan hidup, sedangkan Positive Affectivity and Negative Affectivity Scale digunakan untuk mengukur afeksi. Kesadaran lingkungan diukur berdasarkan lima aspek, yaitu: kesadaran pada penyebab polusi; tanah dan udara; perlindungan energi; kesehatan manusia; perlindungan kehidupan liar dan kepunahan hewan. Subyek berjumlah 130 pada remaja SMK Semarang. Pengambilan data menggunakan metode cluster sampling. Hasil uji korelasi product moment memperoleh hasil r = 0,506 (p < 0,01) sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara kesadaran lingkungan dengan SWB remaja, dimana sumbangan efektif yang diberikan kesadaran lingkungan pada SWB remaja adalah sebesar 25,6%.

Psikodimensia Vol. 13 No.1, Januari – Juni 2014, 10 - 21 SUBJECTIVE WELL-BEING PADA REMAJA DITINJAU DARI KESADARAN LINGKUNGAN Sonia Visita Here1) dan Pius Heru Priyanto2) Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara kesadaran lingkungan dan subjective well-being (SWB) pada remaja. SWB diukur berdasarkan dua aspek, yaitu kepuasan hidup dan afeksi. Alat ukur Satisfaction With Life Scale digunakan untuk mengukur kepuasan hidup, sedangkan Positive Affectivity and Negative Affectivity Scale digunakan untuk mengukur afeksi. Kesadaran lingkungan diukur berdasarkan lima aspek, yaitu: kesadaran pada penyebab polusi; tanah dan udara; perlindungan energi; kesehatan manusia; perlindungan kehidupan liar dan kepunahan hewan. Subyek berjumlah 130 pada remaja SMK Semarang. Pengambilan data menggunakan metode cluster sampling. Hasil uji korelasi product moment memperoleh hasil r = 0,506 (p < 0,01) sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara kesadaran lingkungan dengan SWB remaja, dimana sumbangan efektif yang diberikan kesadaran lingkungan pada SWB remaja adalah sebesar 25,6%. Kata kunci: Subjective Well-Being dan Kesadaran Lingkungan _________________________ 1) Alumnus Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang 2) Staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang peristiwa bunuh diri yang dilakukan oleh seorang remaja putri berusia tujuh belas tahun di Yogyakarta karena patah hati. Hal serupa juga dilakukan oleh dua orang remaja di China yang melakukan aksi bunuh diri dengan alasan tak mampu mengerjakan tugas liburan sekolahnya (Vivanews, 4 Mei 2013). Sebagai seorang remaja untuk mempersiapkan diri, sebagai masa transisi, dari anakanak menuju masa dewasa (Santrock, 2002, h.23). PERMASALAHAN Pada masa remaja, sebagai periode perkembangan yang unik, banyak yang cenderung tidak puas akan kehidupannya sehingga mengarahkan pada tindakan-tindakan yang mengkhawatirkan. Hal tersebut terbukti dari beberapa artikel berita yang belakangan ini banyak memberitakan peristiwa bunuh diri yang dilakukan oleh remaja. Viva news (12 Mei 2013) dalam situs resminya memberitakan sebuah 10 Subjective Well-Being Pada Remaja Rendahnya kepuasan hidup serta lebih dominannya afeksi negatif seperti depresi dan bingung merupakan indikator bahwa remaja cenderung memiliki subjective well-being yang rendah. Erikson (dalam Santrock, 2002, h.57) menjelaskan bahwa remaja berada pada kondisi psychological moratorium yaitu kesenjangan antara rasa aman pada masa kanak-kanak dan otonomi pada masa dewasa. Kondisi inilah yang diduga turut menjadi pemicu cenderung rendahnya subjective well-being pada remaja. Selain berfokus pada kondisi psychological moratorium yang dialami remaja, terdapat hal lain yang juga dapat mempengaruhi subjective well-being remaja, yaitu rendahnya kesadaran lingkungan yang dimiliki remaja. Belakangan ini berbagai upaya dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran lingkungan sangat gencar serta menyasar para remaja, misalnya kompetisi lingkungan hidup yang diadakan oleh PT Toyota Astra Motor (Investor, 28 Februari 2011) pada berbagai tindakan mulai dari penanaman pohon, penyediaan tempat sampah, pengecatan tempat sampah, kebersihan, dan pembangunan perilaku hidup sehat. Berbagai acara bertemakan peningkatan kesadaran lingkungan tersebut mengarahkan pada kenyataan WHO (dalam Republika, 24 Mei 2013) memprediksi aksi bunuh diri di kalangan remaja akan terus meningkat, bahkan tercatat bahwa bunuh diri adalah penyebab kematian ketiga terbesar untuk kelompok usia 15 hingga 44 tahun. Lebih lanjut Nolen-Hoeksema (1988, dalam Nisfiannor, 2004, h.74-93) menyatakan bahwa bahwa individu remaja memang memiliki level depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang lebih tua. Hal tersebut didukung pula oleh infomasi dari Direktur RSJ Menur, dr. Adi Wirchjanto yang menyatakan bahwa 20% pasien depresi berat yang ditangani adalah remaja dibawah usia dua puluh tahun serta masih berstatus sebagai pelajar (Detik news, 10 Oktober 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Ehrlich dan Isaacowitz pada tahun 2002 (dikutip oleh Nisfiannor dkk 2004, h.7493) rupanya juga memperoleh hasil yang serupa, yaitu bahwa terdapat kecenderungan rendahnya tingkat kepuasan hidup pada orang-orang muda. Lebih lanjut, Arnett (1999, dalam Nisfiannor, 2004, h.74-93) mengemukakan bahwa remaja mengalami kebingungan dua atau tiga kali lebih sering dari pada orang tua mereka, serta mengalami gangguan suasana hati yang lebih sering daripada pra-remaja. 11 Sonia Visita Here dan Pius Heru Priyanto individu mengenai kepuasan hidup serta keseimbangan antara afeksi positif dan negatif. Ketiga definisi tersebut menunjukkan adanya kesamaan yaitu evaluasi yang dilakukan seorang berkaitan dengan kepuasan hidupnya. Di sisi lain Santrock (2002, h.23) mendefinisikan remaja sebagai individu yang berada pada periode perkembangan transisi dari masa anak-anak hingga masa dewasa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa subjective well-being pada remaja adalah kondisi psikologis positif berupa evaluasi kepuasan hidup yang dilakukan oleh individu yang berada pada masa perkembangan transisi dari masa anakanak hingga masa dewasa. Diener dkk (1999, dalam Carr, 2004, h.12 dan dalam Hefferon dan Boniwell, 2011, h.46) menyebutkan bahwa subjective well-being terdiri dari dua aspek, yaitu kepuasan hidup dan afeksi. Kepuasan hidup yang dimaksud disini adalah hasil evaluasi kognitif yang dilakukan oleh individu mengenai seberapa memuaskan kehidupannya secara global. Sedangkan aspek afeksi terdiri dari tingginya afeksi positif serta rendahnya afeksi negatif Hefferon dan Boniwell (2011, h.52-61) menambahkan bahwa subjective well-being dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu: income, pekerjaan, kesehatan, dan religion. Di sisi lain, Ferrer-i-Carbonel bahwa kesadaran lingkungan diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup para remaja, dalam hal ini khusunya subjective well-being. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ferrer-i-Carbonel dan Gowdy (2006, h.1-8) yang membuktikan bahwa kesadaran lingkungan yang dimiliki seorang akan mendatangkan manfaat psikologis positif yang kemudian meningkatkan subjective well-beingnya. Demikian penelitian ini akan menguji hubungan antara kesadaran lingkungan dan subjective well-being khususnya pada remaja siswa kelas X SMKN Semarang. Berdasarkan informasi-informasi awal yang diperoleh, semakin tinggi kesadaran lingkungan maka semakin tinggi pula subjective well-being. A. Subjective Well-Being Subjective well-being adalah kondisi psikologis positif yang khas dengan tingginya tingkat kepuasan hidup, tingginya tingkat afeksi positif, serta rendahnya tingkat afeksi negatif (Carr, 2004, h.45). Diener (dalam Papalia dkk, 2003, h.578) menjelaskan bahwa subjective well-being adalah bagaimana seorang mengevaluasi kehidupannya. Keyes dkk (2002, h.1007-1022) berpendapat bahwa subjective well-being adalah evaluasi kehidupan seorang 12 Subjective Well-Being Pada Remaja dan Gowdy dalam penelitian yang dilakukannya tahun 2006 (h.1-8) membuktikan bahwa subjective wellbeing dapat dipengaruhi oleh kesadaran lingkungan. kesejahteraan dari suatu organisme yang ada di bumi. Kedua definisi tersebut menunjukkan bahwa peran lingkugan sangat penting bagi kehidupan manusia. Di sisi lain Neolaka (2008, h.18) memaparkan bahwa kesadaran lingkungan dalah keadaan tergugahnya jiwa terhadap sesuatu, dalam hal ini terhadap lingkungan, yang terlihat dari perilaku dan tindakan individu yang bersangkutan. Demikian dapat disimpulkan bahwa kesadaran lingkungan adalah kawasan atau kesiagaan individu pada kondisi lingkungannya, baik terhadap ligkungan mati (abiotik) maupun lingkungan hidup (biotik) sehingga individu tersebut dapat mengendalikan diri dan lingkungan. Jha (dalam Shoebiri dkk, 2007, h28-34) mengemukakan bahwa terdapat lima aspek kesadaran lingkungan, yaitu: kesadaran pada penyebab polusi, kesadaran pada tanah dan udara, kesadaran pada perlindungan energi, kesadaran pada perlindungan kehidupan lair dan kepunahan hewan, dan kesadaran pada perlindungan kehidupan liar dan kepunahan hewan. B. Kesadaran Lingkungan Kesadaran menurut Solso (2008, h.240) adalah kesiagaan (awareness) individu terhadap peristiwa-peristiwa di lingkungannya serta peristiwa-peristiwa kognitif meliputi memori, pikiran, perasaan, dan sensasi-sensasi fisik. Murphy (dalam Neolaka, 2008, h.18) mendefinisikan kesadadan sebagai keadaan siuman atau sadar akan tingkah lakunya, yaitu pikiran sadar yang mengatur akal dan dapat menentukan pilihannya mengenai apa yang diinginkan. Kant dkk (2013, h.33-39) menjelaskan bahwa lingkungan adalah kondisi-kondisi yang mempengaruhi perkembangan atau pertumbuhan, meliputi: udara, air, tanah, tumbuhtumbuhan, flora, dan fauna. Definisi tersebut bermakna bahwa lingkungan terdiri dari lingkungan mati (abiotik) seperti udara, air, tanah; dan lingkungan hidup (biotik) seperti flora dan fauna. Lingkungan menurut Gustavo (dalam Hamzah, 2013, h.5) adalah jumlah total dari semua kondisi yang mempengaruhi eksistensi, pertumbuhan, dan HUBUNGAN ANTARA KESADARAAN LINGKUNGAN DENGAN SUBJECTIVE WELLBEING REMAJA 13 Sonia Visita Here dan Pius Heru Priyanto sehingga berdampak negatif. Namun sebaliknya, apabila remaja dapat menjaga kebersihan lingkungan, maka kondisi lingkungan yang bersih akan berdampak positif bagi kesehatan serta mendatangkan kenyamanan tersendiri bagi remaja. Kellert dan Wilson (1993, dalam Ferrer-i-Carbonel dan Gowdy, 2006, h.18) menjelaskan bahwa manusia akan memperoleh efek psikolgis positif oleh karena kesadarannya pada lingkungan. Efek psikologis positif itulah yang kemudian berdampak pada meningkatnya subjective well-being. Remaja yang memiliki kesadaran lingkungan akan tampak pada perilakunya sehari-hari yang berkaitan dengan interaksinya dengan lingkungan. Misalnya berupaya mencegah terjadinya pencemaran dengan selalu membuang sampah pada tempatnya, berupaya menjaga kebersihan diri dan lingkungan, serta memiliki kepedulian pada alam. Perilaku-perilaku remaja yang bersifat pro lingkungan tersebutlah kemudian mendatangkan efek psikologis positif sehingga meningkatkan subjective wellbeing. Adanya efek psikologis positif yang diterima oleh individu yang memiliki kesadaran lingkungan apabila dikaitkan dengan penjelasan sebelumnya mengenai hubungan yang sirkuler antara Subjective well-being yang rendah cenderung dialami oleh remaja. Selain dipicu oleh kondisi psychilogical moratorium, rendahnya subjective wellbeing remaja dapat dipengaruhi juga oleh faktor lain, yaitu permasalahan lingkungan. Lingkungan adalah faktor yang dominan dalam kehidupan setiap manusia. Dalam kesehariannya, setiap manusia, termasuk juga remaja tentu tidak akan pernah terlepas dari interaksinya dengan lingkungan. Misalnya; menghirup udara, membuang sampah, merawat tanaman, dan lain sebagainya. Soemarwoto (2001, dalam Hamzah, h.3) menjelaskan bahwa terjadi hubungan yang bersifat sirkuler antara manusia dan lingkungannya. Hal tersebut bermakna bahwa apapun yang dilakukan manusia pada lingkungannya, dampaknya akan kembali lagi pada manusia, baik itu berupa keuntungan maupun kerugian. Demikan nampak bahwa pada dasarnya setiap manusia dituntut untuk memiliki kesadaran lingkungan agar terjadi hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan antara manusia dan lingkungnnya. Hubungan yang sirkuler tersebut nampak nyata dalam kehidupan sehari-hari remaja, misalnya apabila remaja tidak menjaga kebersihan lingkungan maka bibit penyakit akan mudah timbul 14 Subjective Well-Being Pada Remaja manusia dan lingkungannya maka akan memperjelas hubungan diantaranya keduanya. Individu remaja yang menunculkan perilaku-perilaku yang pro lingkungan akan menjamin hubungan sirkuler yang harmonis dan seimbang antara dirinya dan lingkungan. Demikian hubungan tersebut akan mendatangkan dampak positif bagi kedua belah pihak. Hal tersebut didukung pula oleh penjelasan Wilson (dalam Duroy, 2005, h,1-25) bahwa pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan untuk hidup harmonis dengan dengan alam, seperti misalnya: hewan, popohonan, dan lain sebagainya. Demikian jelaslah bahwa kesadaran lingkungan yang muncul dalam bentuk perilaku kemudian membentuk hubungan yang harmonis antara individu tersebut dan lingkungannya sehingga mendatangkan efek psikologis positif yang kemudian meningkatkan subjective well-being. Berdasarkan uraian diatas maka dapat diasumsikan bahwa terdapat hubungan positif antara kesadaran lingkungan dan subjective well-being remaja. Yaitu semakin tinggi kesadaran lingkungan yang dimiliki remaja, maka akan semakin tinggi pula subjective wellbeingnya. METODE PENELITIAN Subyek Penelitian ini adalah 130 siswa (laki-laki dan perempuan) kelas X SMKN 7 Semarang. Metode pengambilan sampek yang digunakan adalah cluster sampling. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode skala. Terdapat tiga buah skala yang digunakan, yaitu Satisfaction With Life Scale (Watson dkk, 1988), Positive Affectivity and Negative Affectivity Scale (Diener dkk, 1985) dan skala kesadaran lingkungan. Subjective well-being diukur berdasarkan dua aspek, yaitu: 1) Kepuasan hidup diukur dengan Satisfaction With Life Scale 2) Afeksi diukur dengan Positive Affectivity and Negative Affectivity Scale Kesadaran lingkungan diukur dengan berdasarkan lima aspek, yaitu: 1) Kesadaran pada penyebab polusi 2) Kesadaran pada tanah dan udara 3) Kesadaran pada perlindungan energi 4) Kesadaran pada kesehatan manusia 5) Kesadaran pada perlindungan kehidupan liar dan kepunahan hewan Sedangkan metode analisis data yang digunakan adalah analisis product moment dari Pearson. 15 Sonia Visita Here dan Pius Heru Priyanto dengan tingkat subjective well-being seorang. Hal tersebut terjadi karena kesadaran lingkungan yang dimiliki seorang akan mendatangkan keuntungan psikologis positif yang kemudian berdampak pada meningkatnya subjective well-being (Kellert dan Wilson, 1993, dalam Gowdy, 2006, h,18). Kesadaran lingkungan remaja yang terwujud dalam perilakunya yang peduli pada lingkungan nyatanya telah berhasil membangun interaksi timbal balik harmonis dengan lingkungan. Hal tersebut dijelaskan oleh Soemarwoto (dalam Hamzah, 2013, h.3) bahwa terdapat interaksi atau hubungan yang bersifat sirkuler antara manusia dan lingkungannya, yaitu apapun yang dilakukan manusia pada lingkungannya, dampaknya akan kembali lagi pada manusia, baik berupa keuntungan maupun kerugian. Demikian nampak bahwa apabila hubungan sirkuler tersebut dapat berjalan secara harmonis, maka akan mendatangkan keuntungan bagi kedua belah pihak, yaitu remaja dan lingkunngannya. Berkaitan dengan hal tersebut, Wilson (1984, dalam Duroy, 2005, h,125) menjelaskan bahwa manusia pada dasarnya memiliki kebutuhan untuk hidup secara harmonis dengan alam, misalnya: pepohonan, hewan, dan lain sebagainya. Dengan demikian nampak PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubunngan positif yang sangat signifikan (rxy = 0,506; p < 0,01) antara kesadaran lingkungan dan subjective well-being remaja. Hal tersebut berarti bahwa semakin tinggi kesadaran lingkungan maka semakin tinggi pula subjective well-being pada remaja, demikian pula sebaliknya. Hal ini mempertegas bahwa apa yang sebelumnya telah dikemukakan oleh Sylvan & Bennet (dalam Keraf, 2006, h.43) mengenai prudential agurment yaitu bahwa kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia bergantung pada kelestarian dan kualiatas lingkungan karena lingkungan adalah sumber pemenuh berbagai kebutuhan hidup manusia, sehingga setiap individu berkepentingan untuk memiliki kesadaran lingkungan. Dengan demikian apabila individu memiliki kesadaran lingkungan yaitu berupaya untuk menjaga kelestarian dan kualitas lingkungannya maka hal tersebut akan memberikan keuntungan bagi kelangsungan dan kesejahteraan hidupnya. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Ferrer-i-Carbonel dan Gowdy (2006, h.1-8) yang membuktikan bahwa kesadaran lingkungan memiliki korelasi 16 Subjective Well-Being Pada Remaja bahwa perilaku manusia yang muncul oleh karena kesadaran lingkungan yang dimilikinya akan memenuhi kebutuhan manusia tersebut mengenai hubungan yang hamonis dengan alam. Hal tersebut kemudian menunjukkan bahwa semakin tinggi kesadaran lingkungan maka akan semakin harmonis hubungan yang terbentuk sehingga semakin tinggi pula subjective well-being oleh karena manfaat psikologis yang diterima manusia. Tabel 1 Korelasi Antar Aspek Kesadaran Lingkungan dengan Subjectictive Well-Being Subjective Well-Being Kasadaran Kepuasan Hidup Afeksi Lingkungan r Sig Keterangan r Sig Keterangan Kesadaran pada Sangat 0,410" 0,000 0,190' 0,015 Signifikan penyebab polusi Signifikan Kesadaran pada tanah 0,185' 0,018 Signifikan 0,172' 0,025 Signifikan dan udara Kesadaran pada Sangat Sangat 0,214'' 0,007 0,253'' 0,002 perlindungan energi Signifikan Signifikan Kesadaran pada Sangat Sangat 0,249'' 0,002 0,339'' 0,000 kesehatan manusia Signifikan Signifikan Kesadaran pada perlindungan Tidak Tidak -0,02 0,410 0,06 0,248 kehidupan liar dan Signifikan Signifikan kepunahan hewan Hubungan yang harmonis antara remaja dan lingkungannya tersebut, apabila dikaitkan dengan setiap aspek kesadaran lingkungan yang digunakan pada penelitian kali ini maka akan semakin memperjelas hubungan positif antara kesadaran lingkungan dengan subjective well-being pada remaja. Kesadaran pada penyebab polusi sebagai aspek pertama kesadaran lingkungan memiliki hubungan positif yang kuat (r = 0,410 p > 0,01) dengan aspek pertama subjective well-being, yaitu kepuasan hidup. Hal tersebut berarti bahwa semakin tinggi kesadaran remaja pada penyebab polusi, yaitu dengan berusaha meminimalisir terjadinya polusi misalnya dengan tidak membakar sampah, perilaku tersebut akan mendatangkan kepuasan hidup bagi remaja. Kesadaran pada penyebab polusi tersebut juga memiliki hubungan positif yang lemah (r = 0,190 p > 0,05) dengan aspek kedua subjective well-being yaitu afeksi, yang berarti bahwa semakin tinggi kesadaran remaja pada penyebab polusi maka 17 Sonia Visita Here dan Pius Heru Priyanto Kesadaran pada kesehatan manusia sebagai aspek keempat kesadaran lingkungan memiliki hubugan positif yang kuat dengan aspek pertama subjective well-being yaitu kepuasan hidup (r = 0,249 p > 0,01) dan afeksi (r = 0,339 p > 0,01). Hal tersebut bermakna bahwa perilaku remaja dalam berupa menjaga kesehatan misalnya menjaga kebersihan lingkungan, perilaku tersebut akan berpengaruh kuat pada tingginya kepusan hidup, tingginya afeksi positif, serta rendahnya afeksi negatif. Di sisi lain, tidak terdapat hubungan antara aspek kelima kesadaran lingkungan, yaitu kesadaran pada perlindunngan kehidupan liar dan kepunahan hewan dengan kedua aspek subjective well-being yaitu, aspek kepuasan hidup dan aspek afeksi. Hal tersebut diduga karena perlindungan kehidupan lair dan kepunahan hewan adalah hal yang jauh dari kehidupan remaja yang menjadi subyek penelitian, dimana remaja yang menjadi subyek penelitian adalah remaja yang tinggal di kota serta jauh dari kehidupan liar dan hewan yang hampir punah. Faktor tersebutlah yang diduga menjadi penyebab tidak terdapatnya hubungan antara kesadaran pada perlindungan kehidupan liar dan kepunahan hewan dengan subjective well-being remaja. semakin tinggi pula tingkat afeksi positif (tertarik, terinspirasi, bertekad, dan lain sebagainya) serta semakin rendah tingkat afeksi negatif (sedih, gugup, bingung, dan lain sebaginya). Aspek kedua kesadaran lingkungan, yaitu kesadaran pada tanah dan udara memiliki hubungan positif yang lemah dengan kedua aspek subjective well-being, yaitu kepuasan hidup (r = 185 p > 0,05) dan afeksi (r = 172 p > 0,05). Hal tersebut bermakna bahwa apabila remaja berupaya melindungi tanah dan udara, misalnya tidak melakukan tindakan yang mencemari tanah, perilaku tersebut akan berpengaruh pada kepuasan hidup serta afeksi positif dan afeksi negatif meskipun pengaruhnya kecil. Kesadaran pada perlindungan energi sebagai aspek ketiga kesadaran lingkungan memiliki hubugan positif yang kuat dengan aspek pertama subjective well-being yaitu kepuasan hidup (r = 0,214 p > 0,01) dan afeksi (r = 0,253 p > 0,01). Hal tersebut bermakna bahwa perilaku remaja yang mencerminkan perlindungan energi, misalnya hanya menggunakan alat elektronik yang sangat dibutuhkan saja, perilaku tersebut akan berpengaruh kuat pada tingginya kepusan hidup, tingginya afeksi positif, serta rendahnya afeksi negatif. 18 Subjective Well-Being Pada Remaja subjective well-being remaja, hasil olah data Positive Affectivity and Negative Affectivity Scale menunjukkan bahwa rata-rata 40% subyek mengakui lumayan kerap menampilkan afeksi positif serta 34,78% subyek mengakui sangat sering menampilkan afeksi positif seperti terinprirasi, aktif, dan lain sebagainya. Hasil lain yang nampak adalah bahwa rata-rata 34,18% subyek mengaku hanya sedikit menampilkan afeksi negatif serta 24,78% cukup menampilkan afeksi negatif seperti sedih, bingung, dan lain sebaginya. Sedangkan mengenai kesadaran lingkungan, hasil mean empirik (Me) adalah sebesar 47,78 dan standar deviasi (SDe) sebesar 4,16. Hal lain yang nampak pada hasil olah data adalah sejumlah 50 remaja memiliki kesadaran lingkungan yang rendah serta sejumlah 57 remaja memiliki kesadaran lingkungan yang tinggi, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa remaja siswa dan siswi kelas X SMK N 7 (STM Pembangunan) Semarang memiliki tingkat kesadaran lingkungan yang sedang. Remaja yang memiliki kesadaran lingkungan akan mampu memiliki hubungan yang harmonis dengan lingkungan sehingga terciplah keserasian dan keseimbangan antara manusia dan lingkungannya (Keraf, 2006, h.287). Hasil olah data penelitian menunjukkan bahwa hasil mean empirik subjective well-being (Me) adalah sebesar 72,42 dan standar deviasi (SDe) sebesar 9,21. Hal lain yang nampak pada hasil olah data adalah sejumlah 51 remaja memiliki subjective well-being yang rendah serta sejumlah 54 remaja memiliki subjective well-being yang tinggi, dengan demikin dapat disimpulkan bahwa remaja siswa dan siswi kelas X SMK N 7 (STM Pembangunan) Semarang yang merupakan populasi dari penelitian ini memiliki subjective well-being yang sedang. Subjective well-being yang dimiliki oleh remaja inilah yang yang membuat remaja lebih mampu mengontrol emosinya serta mampu menghadapi berbagai peristiwa yang terjadi dengan lebih baik (Myers & Diener, 1995, dalam Nisfiannor dkk, 2004, h.74-93). Berkaiatan dengan aspek kepuasan hidup pada subjective wellbeing remaja, hasil olah data pada Satisfaction With Life Scale yang terdiri dari lima item pernyataan dengan skala pilihan jawaban satu sampai tujuh, dimana tujuh sebagai skala tertinggi menunjukkan bahwa rata-rata 25,7% subyek memilih angka enam dan 24,44% subyek memilih angka lima. Di sisi lain, berkaitan dengan aspek afeksi pada 19 Sonia Visita Here dan Pius Heru Priyanto menjaga kebersihan lingkungan, mencegah terjadinya polusi dengan tidak membakar sampah dan tidak membuangnya di sungai. Hal tersebut pernting karena terbukti bahwa kesadaran KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulannya adalah terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara kesadaran lingkungan dan subjective well-being pada remaja. Hal tersebut berarti semakin tinggi kesadaran lingkungan akan semakin tinggi pula subjective well-being pada remaja. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah kesadaran lingkungan maka semakin rendah pula subjective wellbeing pada remaja. Sumbangan efektif kesadaran lingkungan pada subjective well-being remaja adalah sebesar 25,6%. Bagi Subyek Saran yang diberikan adalaha remaja yang memiliki kesadaran lingkungan yang tinggi hendaknya tetap mempertahankan kesadaran lingkungannya tersebut melalui hal-hal sederhana yang dapat dilakukan di lingkungan rumah maupun lingkungan sekolah. Misalnya, mencegah terjadinya polusi dengan membuang sampah pada tempatnya, turut aktif dalam menjaga kelestarian taman sekolah, dan lain sebagainya. Remaja yang memiliki kesadaran lingkungan yang rendah hendaknya berupaya untuk meningkatkan kesadarannya pada lingkungan dengan mulai terlibat aktif dalam berbagai kegiatan sederhana yang diadakan di lingkungan sekolah dan rumah. Misalnya DAFTAR PUSTAKA Akbar, M. 2013. Bunuh Diri Mengintai Remaja, Yuk Kembali ke Agama. @republika.co.id (Jumat, 24 Mei 2013) Carr, A. 2004. Positive Psychology; The Science of Happiness and Human Strengs. New York: BrunnerRoutledge. Duroy, Quentin M. 2005. The Determinant of Environmental Awareness and Behavior. Departement of Economics. USA: Rensselaer Polytechnic Institute. Effendi, Z. 2012. 20% Persen Remaja Dirawat di RSJ Menur Alami Depresi Berat. @news.detik. comj. (Rabu,10 Oktober 2012) Ferrer-i-Carbonel, A. Gowdy, J.M. 2006. Environmental Degradation and Happiness. -- : Elsevier B.V. Hamzah, S. 2013. Pendidikan Lingkungan; Sekelumit Wawasan Pengantar. Bandung: Refika Aditama. 20 Subjective Well-Being Pada Remaja Handayani, W. 2013. Asmara denga Polisi Kandas, Remaja 17 Tahun Bunuh Diri. @vivanews.com/ news/ (Minggu, 12 Mei 2013) Hefferon, K., Boniwell, I. 2011. Positive Psychology Theory, Reasearch and Applications. New York: McGraw Hill. Indriyani, M. 2013. 2 Remaja Cina Bunuh Diri Karena Tugas Sekolah. @dunia.news.viva.co.id/news/ (Sabtu, 4 Mei 2013) Kant, S., Sharma, Y. 2013. The Environmental Awareness of Secondary School Sudent With Reference to Their Intellegence. A Journal of Science, Technology and Management. --: BPR Technologia. ISSN : 2278-8387 Vol 2 (1), 2013. Keraf, Sony. 2006. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas Keyes, C.L.M., Shmotkin, D., Ryff, C.D. 2002. Opmizing Well-Being: The Empirical Encounter of Two Traditions. Journal of Psychology and Social Psychology. Washington DC: American Psychological Association, Inc. Vol 82. No 6. 1007-1022. Neolaka, A. 2008. Kesadaran Lingkungan. Yogyakarta: Rineka Cipta. Nisfiannor, M., Rostiana., Puspasari, T. 2004. Hubungan Antara Komitmen Beragama dan Subjective Well-Being pada Remaja Akhir di Universitas Tarumanegara. Jurnal Psikologi. - : - . Vol 2. No 1. Juni 2004. Papalia, Diane. 2003. Humant Development. Edisi 9th. USA: McGraw Hill Santrock, J.W. 2002. Live-Span Development; Perkembangan Masa Hidup Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Santoso, H. 2013. Lukis Tong Sampah Gugah Kepedulian Lingkungan. Dalam Suara Merdeka Cetak Senin, 20 Mei 2013. Shoebeiri, S.M., Omidvar, B., Prahallada, N.N. 2007. A Comparative Study of Environmental Awareness among Secondary School Student in Iran and India. Int. J. Environ. Res.1 (1): 28-34. Karnataka: University of Tehran. Solso. 2008. Psikologi Kognitif. Jakarta: Erlangga. -- . 2011. TOYOTA Perkuat Kesadaran Lingkungan Bagi Generasi Muda. @investor.co.id (Rabu, 28 Februari 2011) 21