Academia.eduAcademia.edu

Sejarah Perundang-undangan PI.doc

Makalah/ Artikel : SEJARAH PERUNDANG-UNDANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA Oleh : Abdul Halim, S., M. Ag NIP. 19720809 199803 1 003 Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama Mahasiswa Program Doktor Prodi Manajemen Pendidikan Islam Program Pascasarjana UIN STS Jambi UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI 2019 DAFTAR ISI DAFTAR ISI 1 BAB I PENDAHULUAN 2 Latar Belakang 2 Rumusan Masalah 4 BAB II PEMBAHASAN 5 Sekilas Pandang tentang Pendidikan Islam 5 Sejarah Perkembangan Perundang-Undangan Pendidikan Islam di Indonesia dari Masa ke Masa 7 Pendidikan Islam Pasca Kemerdekaan (1945-1966) 7 Pendidikan Islam Pada Masa Orde Baru (1966-1998) 14 Pendidikan Islam Pada Masa Reformasi (1998-Sekarang) 24 BAB III PENUTUP 28 Kesimpulan 29 DAFTAR PUSTAKA 29 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyelenggaraan pendidikan Islam, setelah Indonesia merdeka (1945), memiliki sejarah panjang. Mulai dari persoalan perjalanan kebijakan pendidikan Islam, hingga persoalan liku-liku perjuangan peran pendidikan Islam dalam kurikulum nasional pendidikan. Selain itu, sejarah pendidikan Islam di Indonesia telah melalui rangkaian proses sejarah yang panjang. Pada masa awal kemerdekaan saja, misalnya mengutip Muhaimin pemerintah dan bangsa Indonesia telah mewarisi sistem pendidikan dan pengajaran  yang dualistis. Pertama,  sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah-sekolah umum yang sekuler dan tidak mengenal ajaran agama merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda. Kedua, sistem pendidikan dan pengajaran Islam yang tumbuh dan berkembang  di kalangan masyarakat  Islam sendiri. Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pelembagaan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum, hingga Strategi Pembelajaran (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009), hlm. 76. Dalam hal ini, terdapat dua corak, yakni (1) isolatif-tradisional (menolak segala yang berbau Barat) dan (2) sintesis dengan berbagai variasi pola pendidikannya. Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pelembagaan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum, hingga Strategi Pembelajaran (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009), hlm. 27 Kedua sistem pendidikan pada awal masa kemerdekaan tersebut, sering dianggap bertentangan serta tumbuh dan berkembang secara terpisah satu sama lain. Sistem yang pertama, pada mulanya, bisa dijangkau oleh kalangan masyarakat atas saja, sedangkan yang kedua tumbuh dan berkembang secara mandiri di kalangan rakyat dan berurat-akar dalam masyarakat. Dalam proses sejarah selanjutnya, Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa pemerintah akan mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang. Sejumlah kebijakan dalam dunia pendidikan pun kemudian dikeluarkan oleh pemerintah. Ada yang berbentuk undang-undang, peraturan pemerintah, dan ada pula yang kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan Nasional (sebelumnya bernama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan). Tulisan ini akan membahas secara khusus tentang perkembangan pendidikan Islam di Indonesia dalam kurun waktu pasca kemerdekaan, yakni dari tahun 1945 hingga pemerintahan Soekarno (1959-1966), pemerintahan Soeharto (1966-1998), dan pemerintahan di era Reformasi (1998–sekarang). Perjalanan sejarah bangsa dan negara yang panjang itu juga tidak terlepas dari perjalanan praksis pendidikan Islam, yang juga mengalami pasang-surut, yang ditandai dengan peristiwa-peristiwa penting sebagai tonggak sejarah dalam merumuskan kebijakan peran pendidikan Islam di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, perjalanan sejarah perundang-undangan pendidikan Islam di Indonesia, semenjak Indonesia merdeka tahun 1945 sampai tahun 1966 akan berbeda dengan tahun 1966 sampai kurun waktu 1990-an yang dikenal dengan masa Orde Baru. Demikian pula kurun waktu 1990-an sampai sekarang, yang dikenal dengan Orde Reformasi. Bagaimana perkembangan pendidikan Islam di Indonesia dalam tiga masa tersebut? Dari deskripsi di atas, cukup penting kiranya penulis jelaskan tentang gambaran sejarah perundang-undangan Pendidikan Islam di Indonesia dan latarbelakang perkembangan posisi Pendidikan Islam dalam perkembangan kajian Politik Sosial dan Budaya dalam Pendidikan Islam di Indonesia. Rumusan Masalah Dari deskripsi yang dikemukakan di atas, dapat diformulasikan permasalahan sebagai berikut: Apa pemahaman tentang Pendidikan Islam? Bagaimana gambaran sejarah perkembangan perundang-undangan tentang Pendidikan Islam di Indonesia? BAB II PEMBAHASAN Sekilas Pandang Tentang Pendidikan Islam Pendidikan merupakan bagian yang inhern dalam kehidupan manusia. Dan, manusia hanya dapat dimanusiakan melalui proses pendidikan. Karena hal itulah, maka pendidikan merupakan sebuah proses yang sangat vital dalam kelangsungan hidup manusia. Tak terkecuali pendidikan Islam, yang dalam sejarah perjalanannya memiliki berbagai dinamika. Eksistensi pendidikan Islam senyatanya telah membuat kita terperangah dengan berbagai dinamika dan perubahan yang ada. Berbagai perubahan dan perkembangan dalam pendidikan Islam itu sepatutnya membuat kita senantiasa terpacu untuk mengkaji dan meningkatkan lagi kualitas diri, demi peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan Islam di Indonesia. Telah lazim diketahui, keberadaan pendidikan Islam di Indonesia banyak diwarnai perubahan, sejalan dengan perkembangan zaman serta ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada. Sejak awal munculnya pendidikan Islam, yang masih berupa pesantren tradisional hingga modern, sejak madrasah hingga sekolah Islam, mulai Sekolah Tinggi Islam sampai Universitas Islam, semua tak luput dari dinamika dan perubahan demi mencapai perkembangan dan kemajuan yang maksimal. Untuk memahami identitas pendidikan Islam itu sendiri, perlu kiranya kita memahami secara komprehenshif makna pendidikan Islam. Oleh karenanya, dalam kajian ini penulis pahamia bahwa pendidikan Islam merupakan suatu upaya yang terstruktur untuk membentuk manusia yang berkarakter sesuai dengan konsekuensinya sebagai seorang muslim. Istilah pendidikan Islam dapat dipahami dari tiga sudut pandang, Pertama, pendidikan agama Islam, Kedua, pendidikan dalam Islam. Ketiga, pendidikan menurut Islam. Dari kerangka akademik ketiga sudut pandang tersebut harus dibedakan dengan tegas karena ketiganya akan melahirkan disiplin ilmu sendiri-sendiri. Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Bandung: PT. Angkasa, 2003), hlm. 58 Selain itu, Ahmad D. Marimba menyatakan pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran Islam atau memiliki kepribadian muslim. Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1996), hlm. 5. Selanjutnya, Azyumardi Azra juga menjelaskan tentang pengertian pendidikan Islam yang menekankan pada “bimbingan”, bukan “pengajaran” yang mengandung konotasi otoritatif pihak pelaksana pendidikan, katakanlah guru. Dengan bimbingan sesuai dengan ajaran-ajaran Islam maka anak didik mempunyai ruang gerak yang cukup luas untuk mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya. Ayumardi Azra, Pendidikan Islam,Tradisi dan Modernisasi Menuju Melinium Baru (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2000), hlm. 31. Sementara pendidikan Islam menurut Zakiyah Darajat adalah pembentukan kepribadian muslim atau perubahan sikap dan tingkah laku sesuai dengan petunjuk ajaran Islam. Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm. 28. Muhammad Qutb sebagaimana dikutip Abdullah Idi dan Toto Suharto memaknai pendidikan Islam sebagai usaha melakukan pendekatan yang menyeluruh terhadap wujud manusia, baik dari segi jasmani maupun ruhani, baik dari kehidupan fisik maupun mentalnya, dalam kegiatan di bumi ini. Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm. 47. Dari uraian di atas, maka tujuan akhir pendidikan Islam adalah pembentukkan tingkah laku Islami (akhlak mulia) dan kepasrahan (keimanan) kepada Allah berdasarkan pada petunjuk ajaran Islam (Alquran dan Hadis). Dengan kata lain tujuan akhir pendidikan Muslim terletak pada realitas kepasrahan mutlak kepada Allah pada tingkat individual, masyarakat, dan kemanusiaan pada umumnya. Nilai-nilai esensi itulah yang tidak dapat ditinggalkan dari substansi pendidikan Islam yang kaffah. Sejarah Perkembangan Perundang-Undangan Pendidikan Islam di Indonesia dari Masa ke Masa Sejarah pendidikan Islam di Indonesia telah melalui beberapa fase perjalanan sejarah, terutama perjalanan panjang kebijakan perundang-undangan tetang pendidikan Islam yang ada di Indonesai. Pada tulisan ini penulis mengelompokkan beberapa fase sejarah perundang-undangan, dimana perkembangan pada masa pasca kemerdekaan, orde baru, dan orde reformasi. Untuk lebih jelaskan penulis akan uraikan sebagimana berikut ini: Pendidikan Islam Pasca Kemerdekaan (1945-1966) Meskipun Indonesia baru memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 dan tengah menghadapi revolusi kemerdekaan (1945-1950), pemerintah Indonesia sudah berbenah, terutama memperhatikan masalah pendidikan yang cukup vital. Untuk itu, dibentuklah Kementerian Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (PP dan K). Dengan terbentuknya kementerian ini maka diadakanlah berbagai upaya, terutama sistem pendidikan dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Kementerian Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan Republik Indonesia, yang Menteri pertamanya pada waktu itu adalah Ki Hadjar Dewantara, mengeluarkan instruksi umum, yang isinya memerintahkan kepada semua Kepada Sekolah dan guru-guru untuk: (1) Mengibarkan sang Merah-Putih tiap-tiap hari di sekolah; (2) Menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya; (3) Menghentikan pengibaran bendera Jepang dan menghapuskan nyanyian Kimigayo, lagu kebangsaan Jepang; (4) Menghapuskan pelajaran bahasa Jepang serta segala ucapan yang berasal dari pemerintah pendudukan Jepang; serta (5) Memberi semangat kebangsaan kepada semua murid-murid. Muhamamd Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hilda Agung, 1985), hlm. 62. Sejalan dengan hal tersebut, setelah Indonesia merdeka, pendidikan agama telah mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik di sekolah negeri maupun swasta. Usaha tersebut dimulai dengan memberikan bantuan sebagaimana anjuran oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) tanggal 27 Desember 1945, disebutkan : "Madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah satu sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang telah berurat dan berakar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, hendaknya mendapatkan perhatian dan bantuan nyata berupa tuntunan dan bantuan material dari pemerintah". http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=sejarahpendis, diakses pada 26 November 2017. Seirama dengan perjalanan sejarah bangsa dan negara Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan (1945) sampai sekarang, pendidikan Islam memang mengalami pasang-surut sesuai dengan peristiwa-peristiwa sejarah bangsa Indonesia. Namun pemerintah tetap terus berupaya melaksanakan amanat UUD (Undang-Undang Dasar) 1945 dalam memajukan pendidikan nasional, sebagaimana tercantum dalam pasal 31 UUD 1945. Hal itu tercermin di masa pasca kemerdekaan, dimana landasan filosofis pendidikan senantiasa terus mengalami perubahan, yaitu: (1) Dari tahun 1945-1950, landasan idiil pendidikan ialah UUD 1945 dan falsafah Pancasila; (2) Pada pertengahan tahun 1949, dengan terbentuknya negara RIS atau Republik Indonesia Serikat, di Negara Indonesia Timur menganut sistem pendidikan kolonial Belanda; (3) Pada tanggal 17 Agustus 1950, dengan terbentuknya kembali NKRI atau Negara Kesatuan Republik Indonesia, landasan idiil pendidikan ialah UUDS atau Undang- Undang Sementara Tahun 1950; (4) Pada tahun 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit untuk kembali ke UUD 1945; serta (5) Pada tahun 1965, sesudah peristiwa G-30S/ PKI atau Gerakan 30 September/ Partai Komunis Indonesia, kembali lagi melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Syamsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), hlm. 347. Sementara itu, dari segi kebijakan pemerintah, Indonesia dalam bidang pendidikan Islam, pada bulan Oktober 1945, para ulama dan pemerintah mengeluarkan fatwa perang jihad melawan Belanda dan tentara Sekutu (Inggris) yang hendak menjajah kembali Indonesia. Adapun isi fatwa ulama tersebut adalah: (1) Kemerdekaan Indonesia 17-8-1945 wajib dipertahankan; (2) Pemerintah Republik Indonesia adalah satu-satunya yang sah dan wajib dibela dan diselamatkan; (3) Musuh-musuh RI atau Republik Indonesia pasti akan menjajah kembali bangsa Indonesia, dan oleh karena itu wajib setiap rakyat mengangkat senjata menghadapi mereka; serta (4) Kewajiban tersebut di atas adalah jihad fisabilillah. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 532. Ditinjau dari aspek pendidikan, isi fatwa tersebut besar artinya, karena memberikan manfaat bahwa para ulama dan santri dapat mempraktekkan ajaran Islam mengenai jihad yang sudah dikaji bertahun-tahun dalam kitab-kitab di pondok atau madrasah. Selain itu, mempertahankan kemerdekaan Tanah Air itu menjadi sempurna terhadap sesama manusia dan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Di tengah-tengah berkobarnya revolusi kemerdekaan (1945-1950), pemerintah Republik Indonesia tetap membina pendidikan agama. Secara khusus, pendidikan Agama diatur secara khusus dalam UU No, 4 Tahun 1950 pada bab XII Pasal 20, yaitu: 1) Di sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut atau tidak; dan 2) Cara penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama. http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=sejarahpendis, diakses pada 26 November 2017. Pada tahun 1950, di mana kedaulatan Indonesia telah pulih untuk seluruh Indonesia, maka rencana pendidikan agama untuk seluruh wilayah Indonesia makin disempurnakan, dengan dibentuknya panitia bersama yang dipimpin oleh Prof. Mahmud Yunus dari Kementerian Agama dan Mr. Hadi dari Kementerian PP dan K. Hasil dari panitia bersama itu adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) yang dikeluarkan pada bulan Januari 1951, yang isinya adalah sebagai berikut: Pertama, pendidikan agama yang diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar, sekarang). Kedua, di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat (mayoritas), misalnya di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan lain-lain maka pendidikan agama diberikan sejak kelas I SR, dengan catatan bahwa pengetahuan umumnya tidak boleh berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya diberikan mulai kelas IV. Ketiga, di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Tingkat Atas (Umum dan Kejuruan) diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam per minggu. Keempat, pendidikan agama diberikan kepada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan mendapat izin dan orang tua atau walinya. Kelima, pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama, dan kurikulum pendidikan agama ditanggung oleh Kementerian Agama. Djumhur & H. Danassuprata, Sejarah Pendidikan (Bandung: Pendidikan Tjerdas, 1961), hlm. 121. Untuk menyempurnakan kurikulum, maka dibentuk lagi kepanitiaan yang dipimpin oleh K.H. (Kyai Haji) Imam Zarkasyi dari Pondok Gontor Ponorogo. Kurikulum tersebut disahkan oleh Menteri Agama pada tahun 1952. A. Timur, Djalani, Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembangunan Perguruan Agama ( Jakarta: Penerbit Darmaga, 1980), hlm. 16. Sementara itu, dalam sidang Pleno MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) pada bulan Desember 1960, diputuskan sebagai berikut: Melaksanakan MANIPOL USDEK (Manifesto Politik tentang Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme, Demokrasi, dan Ekonomi Terpimpin, serta Kepribadian Nasional) di bidang mental agama dan kebudayaan dengan syarat spiritual dan material agar setiap warga negara dapat mengembangkan kepribadiannya dan kebangsaan Indonesia serta menolak pengaruh-pengaruh buruk kebudayaan asing. Dalam ayat 3, pasal 2 dari Undang-Undang MANIPOL USDEK itu dinyatakan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah umum, mulai sekolah rendah (dasar) sampai universitas, dengan pengertian bahwa murid berhak ikut serta atau tidak dalam pendidikan agama jika wali murid/orangtua murid menyatakan keberatan. Ibid. Pada tahun 1966, MPRS mengeluarkan lagi keputusan di bidang pendidikan agama yang telah mengalami kemajuan, yaitu dengan menghilangkan kalimat terakhir dari keputusan yang terdahulu. Dengan demikian, sejak tahun 1966, pendidikan agama menjadi hak wajib mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi Umum (Negeri maupun Swasta) di seluruh Indonesia. Perkembangan pendidikan Islam pada masa orde lama sangat terkait pula dengan peran Departemen Agama yang mulai resmi berdiri pada tanggal 3 Januari 1946. Departemen Agama sebagai suatu lembaga pada masa itu, secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia. Pendidikan Islam pada masa itu ditangani oleh suatu bagian khusus yang mengurus masalah pendidikan agama, yaitu Bagian Pendidikan Agama. Dalam tahana sejarahnya terdapat beberapa fase yang mencerminkan perkembangkan pendidikan di Indonesia khususnya saat orde lama yaitu: Pertama, Perkembangan dan Pembinaan Madrasah. Madrasah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan diakui oleh negara secara formal pada tahun 1950. Undang-undang No. 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah, pada pasal 10 menyatakan bahwa untuk mendapatkan pengakuan Departemen Agama, madrasah harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling sedikit 6 jam seminggu secara teratur disamping pelajaran umum. Kedua, Perkembangan Perguruan Tinggi Islam. Perguruan Tinggi Islam khusus terdiri dari fakultas-fakultas keagamaan mulai mendapat perhatian pada tahun 1950. Pada tanggal 12 Agustus 1950, fakultas agama UII dipisahkan dan diambil alih oleh pemerintah. Pada tanggal 26 September 1951 secara resmi dibuka perguruan tinggi baru dengan nama PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) dibawah pengawasan Kementerian Agama. Pada tahun 1957, di Jakarta didirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA). Akademi ini bertujuan sebagai sekolah latihan bagi para pejabat yang berdinas di penerintahan (Kementerian Agama) dan untuk pengajaran agama di sekolah. Pada tahun 1960 PTAIN dan ADIA disatukan menjadi IAIN. Ketiga, Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum. Peraturan resmi pertama tentang pendidikan agama di sekolah umum, dicantumkan dalam Undang-Undang Pendidikan tahun 1950 No. 4 dan Undang-Undang Pendidikan tahun 1954 No. 20, (tahun 1950 hanya berlaku untuk Republik Indonesia Serikat di Yogyakarta). Undang-Undang Pendidikan tahun 1954 No. 20 berbunyi: a) Pada sekolah-sekolah negeri diselenggarakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya mengikuti pelajaran tersebut atau tidak; dan b) Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur melalui ketetapan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PPK) bersama dengan Menteri Agama. Keempat, Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren. Pondok Pesantren sebagai bagian dari sistem pendidikan Nasional, keberadaan pondok pesantren sebelum Indonesia merdeka diperhitungkan oleh bangsa-bangsa yang pernah menjajah Indonesia. Pada masa pasca kemerdekaan, Pondok Pesantren perkembangannya mengalami pasang surut dalam mengemban misinya sebagai pencetak generasi kaum muslimin yang mumpuni dalam bidang Agama (tafaqquh fiddien). Pada masa priode transisi antara tahun 1950-1965 Pondok Pesantren mengalami fase stagnasi, dimana Kyai yang disimbolkan sebagai figur yang ditokohkan oleh seluruh elemen masyarakat Islam, terjebak pada percaturan politik praktis, yang ditandai dengan bermunculannya partai politik bernuasa Islami peserta PEMILU pertama tahun 1955, contohnya dengan lahirnya Partai Politik NU yang mewaliki warga Nahdiyyin, Partai Politik NU tersebut dapat dikatakan merepresentasikan dunia Pondok Pesantren. Hal ini dikarenakan sebagian besar pengurus dari parpol tersebut adalah Kyai yang mempunyai Pondok Pesantren. http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=sejarahpendis, diakses pada 26 November 2017. Pendidikan Islam Pada Masa Orde Baru (1966-1998) Perkembangan pendidikan Islam selanjutnya pada masa orde baru dimulai dari kebijakan pada pasal 4 TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966 yang memuat kebijakan tentang isi pendidikan. Untuk mencapai dasar dan tujuan pendidikan, maka isi pendidikan adalah: a) Mempertinggi mental, moral, budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama; b) Mempertinggi kecerdasan dan keterampilan; c) Membina dan mengembangkan fisik yang kuat dan sehat. Selain itu, pada awal pemerintahan orde baru, pendekatan legal formal dijalankan tidak memberikan dukungan pada madrasah. Tahun 1972 dikeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 34 Tahun 1972 dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 15 Tahun 1974 yang mengatur madrasah di bawah pengelolaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang sebelumnya dikelola oleh Menteri Agama secara murni. Perkembangan pendidikan pada orde baru selanjutnya dikuatkan dengan UU No. 2 Tahun 1989 tentang pendidikan nasional. Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan berbudi pekerti luhur, memiliki ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=sejarahpendis, diakses pada 26 November 2017. Kehidupan sosial, agama, dan politik di Indonesia, sejak tahun 1966, mengalami perubahan yang berarti. Periode ini menandai munculnya awal pemerintahan Orde Baru yang bertekad untuk melaksanakan UUD (Undang-Undang Dasar) 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekwen. Dalam GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) tahun 1993 ditegaskan dengan jelas bahwa sasaran pembangunan jangka panjang di bidang agama ialah terbinanya iman bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam kehidupan yang selaras, seimbang, serasi antara lahiriah dan rohaniah, mempunyai jiwa yang dinamis dan semangat gotong-royong sehingga bangsa Indonesia sanggup meneruskan perjuangan untuk mencapai citacita tujuan nasional. Demikian juga diusahakan oleh pemerintah agar supaya pembangunan gedung-gedung sekolah terus dilakukan bagi pengembangan kehidupan keagamaan dan kehidupan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang kemudian dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai ke universitasuniversitas. Secara teknis, pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum mengalami perubahan-perubahan tertentu sehubungan dengan berkembangnya cabang ilmu pengetahuan dan perubahan sistem dalam proses belajar-mengajar; misalnya, tentang materi pendidikan agama diadakan pengintegrasian dan pengelompokkan yang lebih terpadu dan diadakan pengurangan alokasi waktu. Adapun pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah agama juga mengalami perubahan dan perbaikan. Kebijakan-kebijakan pemerintah, mulai dari pemerintah kolonial, pra kemerdekaan, dan pasca kemerdekaan hingga masa Orde Baru, terkesan menganaktirikan, mengisolasi, bahkan hampir saja menghapuskan sistem pendidikan Islam hanya karena alasan “Indonesia bukanlah negara Islam”. Namun berkat semangat juang dari tokoh-tokoh pendidikan Islam, akhirnya berbagai kebijakan tersebut mampu diredam untuk sebuah tujuan ideal, yaitu “menciptakan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, berahlak mulia”, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS atau Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003. Dengan demikian, jelas banyak faktor yang mempengaruhi kebijakankebijakan pemerintah terhadap pendidikan Islam, baik dari aspek sosiopolitik maupun aspek religius. Pada awal-awal masa pemerintahan Orde Baru (1966-1998), kebijakan tentang madrasah bersifat melanjutkan dan meningkatkan kebijakan Orde Lama (1959-1966). Pada tahap ini, madrasah belum dipandang sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, tetapi baru bersifat lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan Menteri Agama. Hal ini disebabkan pendidikan madrasah belum didominasi oleh muatan-muatan agama, menggunakan kurikulum yang belum standar, memiliki struktur yang belum seragam, dan kurang terpantau mengenai manajemen madrasah oleh pemerintah. Menghadapi persoalan tersebut, langkah pertama dalam melakukan pembaruan pendidikan Islam adalah dikeluarkannya kebijakan Menteri Agama tahun 1967, sebagai respons terhadap ketetapan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) No.XXVII tahun 1966 dengan melakukan formalisasi dan strukturisasi madrasah. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 248-251. Formalisasi ditempuh dengan menegerikan sejumlah madrasah dengan kriteria tertentu yang diatur oleh pemerintah, di samping mendirikan madrasah yang baru.1 Sedangkan strukturisasi dilakukan dengan mengatur penjenjangan dan perumusan kurikulum sekolah-sekolah yang berada di bawah Depdikbud RI atau Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Mawardi Sutedjo, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Dirjen Bimbaga [Direktur Jenderal Bimbingan Lembaga, 2010), hlm. 132. Salah satunya seperti yang tercantum pada pasal 1 Tap MPRS No.XXVII tahun 1966 yang “menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah, mulai dari Sekolah Dasar sampai ke Universitas-universitas Negeri”. Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia (Jakarta: Penerbit Kencana, 2006), hlm. 150. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa upaya melakukan formalisasi dan strukturisasi madrasah merupakan agenda awal pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama, pada masa Orde Baru. Proses penegerian sejumlah madrasah swasta tampaknya didorong oleh animo masyarakat yang tinggi, yang pada satu sisi ingin mendalami ajaran Islam, namun di sisi lain berkeinginan juga untuk sejajar dengan sekolah-sekolah umum yang sudah berstatus negeri; sehingga, dengan demikian, out put lembaga madrasah juga dapat memiliki peluang dan kesempatan untuk duduk dan memegang jabatan pada instansiinstansi yang ada. Dalam dekade 1970-an, madrasah terus dikembangkan untuk memperkuat keberadaannya, namun di awal-awal tahun 1970-an itu justru kebijakan pemerintah terkesan berupaya untuk mengisolasi madrasah dari bagian sistem pendidikan nasional. Hal ini terlihat dengan langkah-langkah yang ditempuh oleh pemerintah dengan mengeluarkan suatu kebijakan berupa KEPRES (Keputusan Presiden) No.34 tanggal 18 April 1972 tentang “Tanggungjawab Fungsional Pendidikan dan Latihan”. Isi keputusan ini intinya mencakup tiga hal, yaitu: (1) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bertugas dan bertanggungjawab atas pembinaan pendidikan umum dan kejuruan; (2) Menteri Tenaga Kerja bertugas dan bertanggungjawab atas pembinaan dan latihan keahlian serta kejuruan tenaga kerja akan pegawai negeri; serta (3) Ketua Lembaga Administrasi Negara atau LAN bertugas dan bertanggungjawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri. Haidar Nawawi, Perundang-undangan Pendidikan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 77. Selanjutnya, KEPRES No.34 tahun 1972 dipertegas lagi oleh INPRES (Instruksi Presiden) No.15 tahun 1974 yang mengatur operasionalnya. Dalam Tap MPRS (Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) No.XXVII tahun 1966 dijelaskan bahwa agama merupakan salah satu unsure mutlak dalam pencapaian tujuan nasional; dan persoalan keagamaan dikelola oleh Departemen Agama, sedangkan madrasah–dalam Tap MPRS No.2 tahun 1960–adalah lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan Menteri Agama. M. Sirozi, Politik Pendidikan: Dinamika Hubungan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. vii. Dari ketentuan tersebut, Departemen Agama menyelenggarakan pendidikan madrasah tidak saja bersifat keagamaan dan umum, tetapi juga bersifat keguruan. Dengan KEPRES No.34 tahun 1972 dan INPRES No.15 tahun 1974, penyelenggaraan pendidikan umum dan kejuruan sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Secara implisit, ketentuan ini mengharuskan diserahkannya penyelenggaraan pendidikan madrasah yang sudah menggunakan kurikulum nasional kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dua kebijakan pemerintah di atas menggambarkan ketegangan yang cukup kuat antara madrasah dengan pendidikan umum (sekolah). Dalam konteks ini, tampaknya madrasah tidak hanya diisolasi dari sistem pendidikan nasional, juga terdapat indikasi yang kuat untuk dihapuskan. Meskipun sudah ada usaha penegerian madrasah dan penyusunan kurikulum 1973, tampaknya usaha itu tidak cukup sebagai alasan untuk mengakui madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Ali Mahdi Annur, Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional (Jakarta: Pustaka Fahima, 2007), hlm. 160-161. Kebijakan yang tidak menguntungkan umat Islam tersebut menimbulkan respon yang berdatangan dari para ulama dan tokoh-tokoh pendidikan Islam. Respon ini ditunjukan, antara lain, oleh Musyawarah Kerja MP3A (Majelis Pertimbangan dan Pengajaran Agama). Dalam musyawarah ini terdapat kesepakatan untuk meyakinkan pemerintah bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan yang memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam proses pembangunan. Di samping itu, dalam pengelolaan madrasah, MP3A berpendapat bahwa yang paling tepat diserahi tanggungjawab itu adalah Departemen Agama, sebab Menteri Agama lah yang lebih tahu konstelasi pendidikan Islam, bukan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, atau Menteri-menteri lainnya. Amir Hamzah Wiryosukanto, Biografi K.H. Imam Zarkasyi (Ponorogo: Guntur Press, 1996), hlm. 388. Melihat aspirasi umat Islam di atas, yang keberatan dengan kebijakan pemerintah, maka pemerintah Orde Baru pun secara aktif menyikapi tuntutan umat Islam tersebut, sehingga pada tanggal 26 November 1974 diadakan sidang kabinet terbatas yang salah satu hasil dari sidang kabinet tersebut adalah kesepakatan yang dikeluarkan oleh tiga Kementerian, yaitu: Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Dalam Negeri, yang dikenal dengan “SKB (Surat Keputusan Bersama) Tiga Mengeri Tahun 1975”. Kesepakatan tiga menteri itu adalah menyangkut kerjasama dan peningkatan mutu pendidikan madrasah. Secara umum, SKB Tiga Menteri tersebut memuat beberapa ketentuan yang meliputi kelembagaan, kurikulum, dan pengajaran. Dalam keputusan bersama ini, yang dimaksud dengan “madrasah” adalah lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar, yang diberikan sekurang-kurangnya 30%, di samping mata pelajaran umum. Alamsyah Ratu Perwiranegara, Pembinaan Pendidikan Agama (Jakarta: Depag RI [Departemen Agama Republik Indonesia, 1982), hlm. 138. Sejumlah keputusan yang memperkuat posisi madrasah lebih ditegaskan lagi, sehingga menunjukkan kesetaraan madrasah dengan sekolah. Diantara beberapa pasal yang cukup strategis dalam dua hal. Pertama, pada Bab I Pasal 1 ayat 2 dalam SKB (Surat Keputusa Bersama) bebunyi: “Madrasah itu meliputi tiga tingkatan, yaitu Madrasah Ibtidaiyah setingkat dengan Sekolah Dasar, Madrasah Tsanawiyah setingkat Sekolah Menengah Pertama, dan Madrasah Aliyah setingkat Sekolah Menengah Atas”. Dalam peningkatan mutu pendidikan, pada madrasah diupayakan tingkat mata pelajaran umumnya mencapai tingkat yang sama dengan mata pelajaran umum di sekolah. Hal ini memberi pengaruh kepada pengakuan ijazah, lulusan, dan status siswa madrasah. Kedua, dalam Bab II Pasal 2 disebutkan bahwa: (1) ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat, (2) lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih di atas, dan (3) siswa madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat. Sebagaimana perkembangan orde lama, perkembangan pada orde baru juga dapat dibagi dalam beberapa fase yaitu: Pertama, perkembangan dan Pembinaan Madrasah. Dalam tahapan ini, maka muncullah beberapa perjalanan sejarah perubahan yaitu; a) Penegrian madrasah swasta. Pada tahun 1967 terbuka kesempatan untuk menegerikan madrasah swasta untuk semua tingkatan, Madrasah Ibtidayah Negeri (MIN), Madrasah Tsanawiyah Islam Negeri (MTsIN) dan Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN). Namun ketentuan itu hanya berlangsung 3 tahun, dan dengan alasan pembiayaan dan fasilitas yang sangat terbatas, maka keluarnya Keputusan Menteri Agama No. 213 tahun 1970 tidak ada lagi penegerian bagi madrasah madrasah swasta. Namun kebijakan tersebut tidak berlangsung lama, memasuki tahun 2000 kebijakan penegerian dimunculkan kembali, b) Kesejajaran madrasah dan sekolah umum. Lahirnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri No. 6 tahun 1975 dan No. 037/U/1975 antara Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri, tentang Peningkatan Mutu Pendidiikan pada Madrasah khususnya terkait kesejajaran madrasah dan sekolah umum. SKB ini muncul dilatar belakangi bahwa setiap waga negara Indonesia berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan pengajaran yang sama, sehingga lulusan madrasah yang ingin melanjutkan, diperkenankan melanjutkan ke sekolah-sekolah umum yang setingkat di atasnya begitu juga sebaliknya, c) Lahirnya Kurikulum 1984. Pada tahun 1984 dikeluarkan SKB 2 Menteri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama tentang Pengaturan Pembakuan Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah. Lahirnya SKB tersebut dijiwai oleh Ketetapan MPR No. II/TAP/MPR/1983 tentang perlunya Penyesuaian Sistem Pendidikan, sejalan dengan kebutuhan pembangunan disegala bidang, antara lain dengan melakukan perbaikan kurikulum sebagai salah satu di antara pelbagai upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan di sekolah umum dan madrasah. Sehingga sebagai tindak lanjut SKB 2 Menteri tersebut lahirlah "Kurikulum 1984" untuk madrasah, yang tertuang dalam Keputusan Menteri Agama No. 99 tahun 1984 untuk Madrasah Ibtidaiyah, No. 100/1984 untuk Madrasah Tsanawiyah dan No. 101 Tahun 1984 untuk Madrasah Aliyah, d) Lahirnya MAPK. Dengan dilatarbelakangi akan kebutuhan tenaga ahli di bidang agama Islam ("ulama") dimasa mendatang sesuai dengan tuntutan pembangunan nasional, maka dilakukan usaha peningkatan mutu pendidikan pada Madrasah Aliyah. Lebih lanjut dibentuklah Madrasah Aliyah Pilihan Ilmu-Ilmu Agama (MAPK) dengan berdasarkan persyaratan-persyaratan yang ditentukan. Kekhususan MAPK ini adalah komposisi kurikulum 65 studi agama dan 35 pendidikan dasar umum. Sasarannya adalah penyiapan lulusan yang mampu menguasai ilmu-ilmu agama yang nantinya menjadi dasar lulusan untuk terus melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi bidang keagamaan dan akhirnya menjadi calon ulama yang baik. Selanjutnya MAPK berganti nama menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK). Namun lebih lanjut program ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah sehingga nasibnya sampai hari ini belum jelas keberadaannya, e) Lahirnya UU No, 2 Tahun 1989. Lahirnya UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang diundangkan dan berlaku sejak tanggal 27 Maret 1989, memberikan perbedaan yang sangat mendasar bagi pendidikan agama. Pendidikan agama tidak lagi diberlakukan berbeda untuk negeri dan swasta, dan sebagai konsekuensinya diberlakukan Peraturan Pemerintah sebagai bentuk operasional undang-undang tersebut, yaitu PP 27/1990 tentang Pendidikan Pra Sekolah, PP 28/1990 tentang Pendidikan Dasar, PP. 29/1990 tentang Pendidikan Menengah, PP. No. 30/1990 tentang Pedidikan Tinggi (disempurkankan dengan PP.22/1999). Semua itu mengatur pelaksanaan pendidikan agama di lembaga umum. UU dan peraturan pemerintah tersebut telah memberi dampak positif bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam. Sejak diberlakukan UU No. 2 Tahun 1989 tesebut lembaga-lembaga pendidikan Islam menjadi bagian integral (sub-sistem) dari sistem pendidikan nasional. Dengan demikian, kebijakan dasar pendidikan agama pada lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah sebangun dengan kebijakan dasar pendidikan agama pada lembaga-lembaga pendidikan nasional secara keseluruhan, f) Lahirnya Kurikulum 1994. Pada tahun 1994, kebijakan kurikulum pendidikan agama juga ditempatkan di seluruh jenjang pendidikan, menjadi mata pelajaran wajib sejak SD sampai Perguruan Tinggi. Pada jenjang pendidikan SD, terdapat 9 mata pelajaran, termasuk pendidikan agama. Di SMP struktur kurikulumnya juga sama, dimana pendidikan agama masuk dalam kelompok program pendidikan umum. Demikian halnya di tingkatan SMU, dimana pendidikan agama masuk dalam kelompok program pengajaran umum bersama Pendidikan program pendidikan yang lain. Dari sudut pendidikan agama, Kurikulum 1994, hanyalah penyempurnaan dan perubahan-perubahan yang tidak mempengaruhi jumlah jam pelajaran dan karakter pendidikan keagamaan siswa, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Sampai tahun 1998, pendidikan di Indonesia, masih menggunakan UU Pendidikan tahun 1989, dan kuriklum 1994. Tumbangnya rezim orde baru menggulirkan gagasan reformasi sekitar tahun 1998, yang salah satu agendanya adalah perubahan dan pembaruan dalam bidang pendidikan, sebagaimana yang menjadi tema kritik para pemerhati pendidikan dan diharapkan oleh banyak pihak. http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=sejarahpendis, diakses pada tanggal 26 November 2017. Kedua, Pendidikan agama Islam. PAI sejak UU No. 2 Tahun 1989 sampai lahirnya kurikulum 1994 pada dasarnya telah mendapat respon yang positif, dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Pendidikan Nasional, dimana didalamnya diperkenalkan dua Istilah, yaitu Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Pendidikan Agama adalah pendidikan yang diselenggarakan di sekolah umum, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Pendidikan Keagamaan adalah lembaga pendidikan Islam atau satuan pendidikan Islam yang lazim dinamakan dengan perguruan agama. Pendidikan Keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan. http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=sejarahpendis, diakses pada tanggal 26 November 2017. Sekalipun prosentase mata pelajaran agama Islam 30%, sesuai SKB, namun semangatnya tetap 100%. Maksudnya adalah bahwa mata pelajaran agama tetap diberikan 100% di MA (Madrasah Aliyah), hanya saja waktu yang disediakan untuk menyajikan mata pelajaran agama tersebut 30% dari keseluruhan waktu 1 jam pelajaran ada di SMA (Sekolah Menengah Atas). Selain itu, pemerintah melalui Departemen Agama melakukan langkah strategis dalam merestrukturisasi kurikulum madrasah dalam rangka mengatasi kelangkaan para ulama. Diundangkannya UU No. 2 Tahun 1989 memberikan sumbangan besar terhadap pendidikan agama secara umum dan lembaga pendidikan madrasah khususnya. Indikasi itu terlihat dalam pasal 4 bahwa pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan yang mantap dan mandiri, serta rasa tangung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan pendidikan nasional secara umum adalah mengembangkan intelektual, moral, dan spiritual. Tentu dalam hal “moral dan spiritual”, pendidikan agama mempunyai peran strategis. Integrasi pendidikan agama ke dalam sistem pendidikan nasional dalam batas-batas tertentu mengikuti pola sekolah-sekolah swasta Islam, seperti sekolah-sekolah Muhammadiyah dan pendidikan Al-Azhar. Lembaga pendidikan ini mengembangkan kurikulum yang diatur oleh pemerintah secara nasional, di samping menambahkan muatan lokal dari kegiatan keagamaan yang cukup banyak. Pendidikan Islam Pada Masa Reformasi (1998-Sekarang) Lembaga pendidikan madrasah, dalam perkembangannya, telah tumbuh sesuai dengan dinamika perjalanan bangsa Indonesia. Sejak Indonesia merdeka (1945) telah terjadi perkembangan madrasah yang membawa kepada perubahan-perubahan orientasi. Perubahan yang sangat berarti dalam era Reformasi (1998–sekarang) adalah ketika diterapkannya otonomi pendidikan sejalan dengan program Otonomi Daerah. Di tengah-tengah arus perubahan itu, lembaga pendidikan madrasah terlibat langsung didalamnya, dengan pertanyaan mendasar yang perlu diajukan dalam menyikapi diterapkannya Otonom Daerah, yakni kebijakan apakah yang diberlakukan bagi madrasah? Mengenai Hambatan Struktural dan Kultural. Secara struktural, madrasah berada dalam lingkungan Departemen Agama sehingga tanggung jawab pembiayaan berada di pundak Departemen Agama. Akibatnya, terdapat beberapa ketimpangan dalam pendanaan. Oleh sebab itu, disarankan agar alokasi dana yang dikucurkan tidak boleh ada diskriminasi antara sekolah agama dengan sekolah umum; harus mempunyai asas manfaat dan keadilan bersama; serta tidak boleh berbeda antara yang sekolah berbasis agama dengan ilmu dari segi pelayanan oleh negara. Diskriminasi seperti ini harus diakhiri. Mengakhirinya tidak mesti madrasah berada di bawah naungan Depdiknas (Departemen Pendidikan Nasional) atau Pemda (Pemerintah Daerah), tetapi yang perlu diperhatikan adalah alokasi pembiayaan tidak berbeda antara madrasah dan sekolah umum. Jadi, yang perlu dihitung adalah unit cost per siswa, dan unit cost itu harus sama antara sekolah umum dengan madrasah. Pada RAPBN (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) tahun 2002, misalnya, telah diajukan rencana anggaran pendidikan sebesar IDR 11,552 trilyun, sekitar 24.5% dari anggaran pembangunan IDR 47.147 trilyun. Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional diIndonesia (Jakarta: Penerbit Kencana, 2006), hlm. 58-59. Anggaran yang demikian itu haruslah dialokasikan secara proporsional kepada madrasah. Sementara secara kultural, madrasah belum menjadi tipe sekolah ideal bagi kebanyakan umat Islam, terutama golongan menengah ke atas. Hal ini memberi dampak ketika madrasah ingin diberdayakan dengan menerapkan prinsip Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Prinsip dasar dari MBS ini adalah bahwa sekolah mendapat otonomi yang luas dan bertanggungjawab dalam menggali, memanfaatkan, serta mengarahkan berbagai sumber daya, baik internal maupun eksternal, untuk kelancaran proses belajar-mengajar di sekolah. Mengenai Struktur Kurikulum. Agar tercapai esensi madrasah sebagai sekolah yang berciri khas Islam, maka kurikulum yang diterapkan di madrasah persis sama dengan di sekolah umum, baik materi begitu juga dengan waktu pelaksanaannya. Di samping itu, pelaksanaan kurikulum agama tidak hanya terfokus kepada kegiatan intrakurikuler, tapi juga ekstra-kurikuler dan ko-kurikuler. Masalahnya sekarang adalah bagaimana kedudukan madrasah pada era Otonomi Daerah? Ada beberapa pendapat tentang hal ini. Pertama, madrasah tetap berada di bawah naungan Depag (Departemen Agama). Alasannya, karena Depag adalah departemen yang tidak diotonomikan, maka termasuk juga di dalamnya adalah pelajaran agama. Kedua, madrasah di bawah naungan Depdiknas (Departemen Pendidikan Nasional) atau Pemda (Pemerintah Daerah), argumennya adalah karena masalah pendidikan telah diotonomikan, maka dikhawatirkan pendidikan di lingkungan madrasah yang selama ini sudah tertinggal dibanding dengan sekolah umum akan semakin tertinggal. Oleh karena itu, sebaiknya madrasah berada dalam lingkungan Depdiknas dan Pemda. Ketiga, adanya pembagian wewenang antara Departemen Agama dengan Pemda yang secara teknis akan diatur tersendiri. Namun, selain hal itu, yang paling melegakan adalah bahwa sesuai dengan UU (Undang-Undang) No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Republik Indonesia, tidak ada lagi istilah “dikotomi” antara sekolah agama dan sekolah umum. Hal itu dapat dilihat dalam pasal 17 ayat 2, yang berbunyi: “Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat, serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat”. Demikian juga pasal 18 ayat 3 tentang sekolah menengah, yang berbunyi: “Pendidikan menegah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat”. Sisdiknas, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Selain itu, yang lebih menggembirakan lagi pada masa Reformasi ini adalah di dalam bab V pasal 12 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) dijelaskan bahwa: “Setiap peserta didik pada satuan pendidikan berhak mendapat pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”. Sisdiknas, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Dengan lahirnya UU No, 20 Tahun 2003 semakin mempertegas kedudukan pendidikan Islam sebagai salah satu elemen terciptanya tujuan pendidikan nasional secara umum. Sebagaimana pada Pasal 3, Pendidikan Nasional mencerdasakan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi pesersta didik agar menjadi manusian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. BAB III PENUTUP Kesimpulan Ditinjau dari segi falsafah Negara Pancasila, konstitusi UUD (Undang- Undang Dasar) 1945, dan keputusankeputusan MPRS/MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) tentang GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara), maka kehidupan beragama dan pendidikan agama di Indonesia sejak masa proklamasi kemerdekaan tahun 1945 sampai dengan tahun 1998 (masa akhir Orde Baru) telah semakin mantap. Banyak hal yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan mutu dan pelaksanaan pendidikan Islam dengan membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan sampai kepada perlakukan yang sama dalam pelajaran pendidikan antara sekolah agama dengan sekolah umum. Bahkan Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional, baik pada UU No. 2 Tahun 1989 maupun UU No. 20 tahun 2003, tidak ada lagi dikotomi antara sekolah agama dan sekolah umum; antara sekolah swasta dan negeri diperlakukan sama, baik dari segi pendanaan, pengelolaan, pengawasan, dan ketersediaan tenaga guru maupun sarana dan prasarana belajar, semuanya diberikan berdasarkan asas keberimbangan dan keadilan. Pendidikan Islam dan peranannya bukan hanya tanggung jawab sekolah sebagai lembaga pendidikan formal yang penuh dengan keterbatasan, namun juga tanggung jawab keluarga dan lembaga pendidikan non-formal. Oleh karena itu sudah seharusnya pemerintah turut terlibat dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan, khususnya pendidikan Islam untuk diberikan perhatian secara serius. Oleh karena itu, pemerintah harus konsisten melaksanakan penyususnan perundang-undangan yang mampu mengakomodir segara aspek kebutuhan lembaga pendidikan Islam baik negeri maupun swasta secara baik. DAFTAR PUSTAKA A. Timur Djalani. Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembangunan Perguruan Agama. Jakarta: Penerbit Darmaga, 1980. Abdullah Idi dan Toto Suharto. Revitalisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006. Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bandung: PT. Angkasa, 2003. Ahmad D. Marimba. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif, 1996. Alamsyah Ratu Perwiranegara. Pembinaan Pendidikan Agama (Jakarta: Depag RI [Departemen Agama Republik Indonesia, 1982. Ali Mahdi Annur. Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional (Jakarta: Pustaka Fahima, 2007. Amir Hamzah Wiryosukanto. Biografi K.H. Imam Zarkasyi. Ponorogo: Guntur Press, 1996. Ayumardi Azra. Pendidikan Islam,Tradisi dan Modernisasi Menuju Melinium Baru. Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2000. Djumhur & H. Danassuprata. Sejarah Pendidikan. Bandung: Pendidikan Tjerdas, 1961. Haidar Nawawi, Perundang-undangan Pendidikan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983. Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional diIndonesia. Jakarta: Penerbit Kencana, 2006. Haidar Putra Daulay. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Penerbit Kencana, 2006. Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999. Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999. M. Sirozi, Politik Pendidikan: Dinamika Hubungan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Mawardi Sutedjo, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Dirjen Bimbaga [Direktur Jenderal Bimbingan Lembaga, 2010. Muhaimin. Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pelembagaan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum, hingga Strategi Pembelajaran. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009. Muhaimin. Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pelembagaan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum, hingga Strategi Pembelajaran. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009. Muhamamd Yunus. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hilda Agung, 1985. Sisdiknas. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Syamsul Nizar. Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group, 2008. Zakiah Darajat. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2000. http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=sejarahpendis. PAGE \* MERGEFORMAT 1