METODE IJTIHAD MUHAMMAD SYAHRUR
YANG MENENTANG ARUS PENDAPAT FUQAHA
Suansar Khatib*
Abstrak
Penelitian ini mengungkapkan bahwa metode ijtihad yang dipergunakan oleh Muhammad Syahrur tidak merujuk kepada metode ijtihad para ulama ushul terdahulu, baik itu ulama mazhab atau ulama tabiin sesudahnya, akan tetapi Muhammad Syahrur menciptakann sendiri metode baru dalam penafsiran dan pembacaan terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah. Ada dua macam metode yang Syahrur gunakan dalam menghasilkan kesimpulan-kesimpulan hukumnya, yaitu: analisis linguistic (analisa kebahasaan) dan penerapan ilmu eksakta modern. Muhammah Syahrur juga memahami al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw secara kontekstual, mempertimbangkan aspek sosiologis dan menggunakan pemahaman impilisit yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an. Fokus Syahrur terhadap nash-nash al-Qur’an membuat dia tidak mempercayai al-Sunnah al-Nabawiyyah sebagai sumber hukum. Baginya, al-Qur’an sudah cukup karena ayat-ayatnya telah memuat aturan-aturan untuk menjawab realita kehidupan. Tapi kenyataannya harus diakui bahwa Muhammad Syahrur banyak terjebak pada kesalahan fatal dalam aplikasi teori batasnya, sehingga sebagian cendekiawan/ilmuwan muslim memandang pemikiran hukumnya nyeleneh.
Kata Kunci: Metode Ijtihad Muhammad Syahrur, Menentang pendapat fuqaha
LATAR BELAKANG
Muhammad Syahrur adalah salah satu tokoh hukum Islam pada masa kontemporer sekarang ini yang dalam bahasa Weil B.Hallaq ber-aliran liberal. Tokoh ini lahir di Damaskus, Syiria tahun 1938. Ia mulai menapaki jenjang pendidikan dasar dan menengah sebelum ia pergi ke Moskow untuk belajar ilmu tehnik (engineering) di Universitas hingga tahun 1964. Dua tahun kemudian 1968 ia melanjutkan pendidikan master dan doktornya dalam bidang mekanika tanah (soil mecanichs) dan tehnik bangunan (foundation engineering) pada Universitas College Dublin di Irlandia. Sepulang dari Irlandia ia memulai kiprah intelektualnya sebagai seorang professor tehnik di Universitas Damaskus, Syiria hingga sekarang. Sebelum masuk dalam jajaran selebritis intelektual muslim dunia berkat perhatiannya yang mendalam tentang pemikiran Islam yang dituangkan dalam karya monumentalnya al-Kitab wa al Qur’an: Qira’ah al-Muasirah. (M. In’am Esha, 2003: 296)
Karya monumental Syahrur yang telah mencuatkan namanya tersebut merupakan hasil perjalanan panjang intelektualnya sekitar 20 tahun. Pembacaan ulangnya terhadap Islam menghasilkn pemahaman dan kesan yang kuat tentang akurasi istilah-istilah yang digunakan dalam al-Kitab (al-Qur’an) dalam pembacaan ulangnya ini teori yang cukup terkenal yang ditawarkannya adalah teori batas (Nazariyyah al-Hudud).
Syahrur memandang adanya dua sifat pokok yang terdapat dalam al-Kitab yang mutlak harus dimengerti untuk memahami keistimewaan agama Islam, yakni hanifiyyah dan Istiqamah. Kedua sifat ini selalu bertentangan tetapi saling melengkapi. Berdasarkan sejumlah ayat Syahrur menyimpulkan bahwa makna hanafiyah adalah penyimpangan dari sebuah garis lurus, sedangkan istiqanmah artinya sifat atau kualitas dari garis lurus itu sendiri atau yang mengikutinya. Hanifiyah adalah sifat alam yang juga terdapat dalam sifat alamiah manusia.
Syahrur Berargumen dengan dalil fisikanya bahwa tidak ada benda yang gerakkannya dalam bentuk garis lurus. Seluruh benda sejak dari elektron yang paling kecil hingga galaksi yang terbesar bergerak secara hanifiyyah (tidak lurus). Oleh karena itu ketika manusia dapat mengusung sifat seperti ini maka ia akan dapat hidup harmonis dengan alam semesta. Demikian halnya kandungan hanifiyyah dalam hukum Islam yang cenderung selalu mengikuti kebutuhan sebagian anggota masyarakat dengan penyesuaian dengan tradisi masyarakat. Untuk mengontrol perubahan-perubahan ini maka adanya sebuah garis lurus istiqamah menjadi keharuasan untuk mempertahankan aturan-aturan hukum yang dalam konteks inilah teori batas diformulasikan. Garis lurus bukanlah sifat alam ia lebih merupakan karunia Tuhan agar ada bersama-sama dengan hanifiyah untuk mengatur masyarakat. (Amin Abdullah, 2002: 134-135)
Berdasarkan kajiannya terhadap ayat-ayat hukum, Syahrur menyimpulkan adanya enam bentuk dalam teori batas. Pertama, ketentuan hukum yang memiliki batas bawah. Ini terjadi dalam hal macam-macam perempuan yang tidak boleh dinikahi. Kedua, ketentuan hukum yang hanya memiliki batas atas. Ini terjadi pada tindak pidana pencurian. Ketiga, ketentuan hukum yang memiliki batas atas dan bawah. seperti hukum waris dan poligami. Keempat, ketentuan hukum yang mana batas bawah dan atas berada pada satu titik (garis lurus) tidak boleh lebih dan kurang. ini terjadi pada hukuman zina yaitu 100 kali jilid. Kelima, ketentuan yang memiliki batas atas dan bawah tetapi kedua batas tersebut tidak boleh disentuh.
Karena dengan menyentuhnya berarti telah terjatuh pada larangan Tuhan hal ini berlaku pada hubungan pergaulan antara laki-laki dan perempuan Keenam, ketentuan hukum yang memiliki batas atas dan bawah dimana batas atasnya tidak boleh dilampaui dan batas bawahnya boleh dilampaui. Batas atas terjadi pada riba dan batas bawah adalah pinjaman tanpa bunga (al-qard al-hasan). (Amin Abdullah, 2002: 136-138)
Berdasarkan pola ijtihad muhammad syahrur, maka iapun menolarkan hasil ijtihadnya diseputar hukum Islam yang dapat dilihat dalam karyanya berjudul “ Nahwu Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami”.
MASALAH PENELITIAN
Bagaimana pemikiran Hukum Islam (usul fiqh dan fiqh) Muhammad syahrur?
Sejauh mana urgensi dan relevansi konsep ushul fiqh yang ditawarkan oleh Muhammad Syahrur dalam perspektif pembaruan dan pengembangan hukum Islam?
Bagaimanakah pola pendekatan alternatif yang sekiranya dapat dijadikan sebagai acuan dasar (frame of reference) bagi pengembangan metodologi untuk mengistinbathkan Hukum Islam ke depan?
PENELITIAN TERDAHULU
Pemikiran hukum Islam Muhammad Shahrur telah menjadi fokus pembahasan oleh beberapa peminat hukum Islam, namun sifatnya penelitian yang mereka lakukan terjemahan baru sebatas pembahasan tentang prinsip dan dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer. Judul aslinya al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashurah, yang isinya teori hudud dan teori batasnya Muhammad Syahrur. Penterjemah oleh Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin, MA dan Burhanudin Dzikri, S. Th. I.
Sedangkan buku lainnya “Metodologi Fiqih Islam Kontemporer”, judul asli, Nahw Usul Jadidah Li al-Fiqih al-Islami, yang intinya: perbedaan mendasar antara al-Qur’an ( القرآن) dan umm al-kitab (أم الكتاب ).
Sedangkan penelitian yang penulis lakukan ini adalah berkaitan dengan penelaahan terhadap metode ijtihad kontemporer yang digunakan oleh Muhammad Syahrur dalam rangka melakukan istibath hukum Islam. Selain itu juga, untuk menelaah kembali apakah pembaharuan pemikiran hukum Muhammad Syahrur termasuk dalam kategori liberalisme atau memakai teori Utilitarianisme (mazhab al-manfa’ah) yang dikenal dalam filsafat hukum Barat atau ketegori teori lainnya.
METODE PENELITIAN
Studi ini seluruhnya bersifat kepustakaan (library research) dengan fokus kajian pada sistem hukum antara hukum Islam hasil pemikiran Muhammad Syahrur.
Bahan yang digunakan sebagai sumber data di dalam penelitian ini digali melalui dokumentasi, yaitu segala data yang tertulis yang dapat digunakan sebagai sumber informasi tentang konsep “usul fiqh dan fiqh” dalam pemikiran Syahrur.
Selanjutnya, untuk meneliti dan menganalisa data-data yang telah terkumpul, penulis menggunakan metode, komparatif, deskriptif-analitis dan sintesis dengan menggunakan pendakatan histories dan filosofis.
TEMUAN PENELITIAN
Konsep-Konsep Pembaruan Muhammad Syahrur : Antara al-Qur’an, al-Kitab, Umm al-Kitab dan al-Sunnah.
Dalam melakukan pembaruan interpretasi dalam al-Qur’an, Syahrur menggunakan pendekatan hermeneutika dengan penekanan pada aspek filologi (fiqh al-lughah). (Amin Abdullah, 2004: 150) Di mana prinsip yang ia gunakan adalah keyakinannya kepada anti sinonimitas (ketidaksamaan) istilah dalam al-Qur’an. Sebagaimana jelas terlihat dalam karyanya Al-Kitab wa Al-Qur’an, ia menggunakan metode “klasifikasi” istilah yang menjadi bahan awal teori interpretasinya. Al-Kitab terbagi kepada al-Qur’an dan Umm al-Kitab.
Al-Kitab ia gunakan untuk istilah umum yang mencakup pengertian seluruh kandungan teks tertulis (mushaf), yang dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri surat al-Naas.
Sementara Al-Qur’an adalah istilah khusus yang hanya mencakup salah satu bagian dari al-Kitab yang terdiri dari ayat-ayat mutasyabihat yang berdimensi al-nubuwwah dan bersifat istiqamah yang berarti garis lurus, tetap, tidak berubah yang di dalamnya terkandung kumpulan informasi dan pengetahuan tentang kealaman dan kesejarahan yang dengan itu dapat dibedakan antara benar dan salah yang terdapat di alam wujud (realitas empiris). Jadi al-Qur’an yang berdimensi Nubuwwah bersifat objektif di mana ia berisi kumpulan aturan hukum-hukum yang berlaku di alam semesta dan berada di luar kesadaran manusia.
Sementara Umm al-Kitab merupakan salah satu bagian dari al-Kitab yang terdiri dari ayat-ayat muhkamat yang berdimensi al-risalah dan bersifat hanifiyyah yang berarti penyimpangan dari garis lurus, tidak tetap, berubah, dan elastis. Di dalamnya terkandung kumpulan ajaran yang wajib dipatuhi manusia berupa ibadah, mu’amalah, akhlak, dan hukum halal haram. Risalah bersifat subjektif yang berarti kumpulan aturan hukum yang harus dijadikan sebagai bagian dari kesadaran dalam diri manusia di dalam berprilaku. (Muhammad Syahrur, 1990: 54, 90, dan 103) Ia juga melakukan pembedaan terhadap sejumlah pasangan atau kelompok istilah, antara lain antara inzal/tanzil, furqan/qur’an, imam mubin/kitab mubin, ummul kitab/lauh al-mahfuzh, qada/qadar, zaman/waqt, mu’min/muslim, uluhiyyah/rububiyyah, dan manna/salwa. Semuanya didefinisikan secara terpisah. (Muhammad Syahruru, 2004: 17)
Maka proyek hermeneutika Syahrur dari klasifikasi istilah tersebut, membuahkan rumusan dalam menginterpretasi ayat-ayat hukum dengan memaparkan tiga teori filsafat.
al-kaynunah (kondisi berada, dasein, being).
al-sayrurah (kondisi berproses, der prozess, the process).
al-Shairurah (kondisi menjadi, das warden, becoming). Ia menyatakan, “Ketiga kata kerja (istilah) itu selalu menjadi pusat pembahasan dalam filsafat dan landasan inti bagi semua pembahasan teologis (Tuhan), naturalistik (alam), dan antropologis (manusia), dengan memandang bahwa kaynunah atau being adalah awal dari sesuatu yang ada, sayrurah (proses) adalah gerak perjalanan masa, dan shairurah (menjadi) adalah sesuatu yang menjadi tujuan bagi keberadaan pertama setelah melalui fase berproses.” (Muhammad Syahrur, 2000: 27).
Keniscayaan antara tiga kondisi tersebut menunjukan bahwa tidak ada kondisi yang tidak terkait dengan kondisi lainnya. Maka dengan sendirinya, dengan relasi ketiga kondisi ini, dalam hubungannya dengan ayat-ayat hukum, akan melahirkan hukum yang akan terus berubah-ubah mengikuti perkembangan masa ke masa. Dengan kata lain, yang menjadi pijakan hukum adalah kondisi khusus yang terbatasi dalam setting sosial, bukan nash yang ada dalam ayat tersurat dalam al-Qur’an. Syahrur menyebut kondisi perubahan hukum ini dengan hukum dialektika negatif (qānūn al-nafy wa nafy al-nafy; hukum negasi dan penegasian negasi) atau disebut juga dengan dialektika internal. (Muhammad Syahrur, 2000: 30)
Ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an, yang dalam bahasa Syahrur sebagai Umm al-Kitab, walaupun sifatnya qath’i dan dipahami secara dzahir dan maknanya dengan jelas akan pula terjadi penegasan hukum melalui proses waktu yang berputar, dan menghasilkan hukum baru sesuai dengan kondisi dan situasi sosial zamannya yang menyebabkan keniscayaan penafsiran yang relatif. (Muhammad Syahrur, 2004: 97)
Pandangan Syahrur dalam pengklasifikasian al-Kitab kepada al-Qur’ān bersifat tetap, tidak bisa berubah teks atau maknanya, dan tidak ada ijtihad dalam ranah tersebut. Tetapi dalam konteks Umm al-Kitāb, ijtihad tersebut terbuka lebar, meskipun kejelasan nash dzahir didapat (qath’i). Dengan konsep itu, Syahrur secara blak-blakan telah mendekonstruksi konsep ijtihad yang dipahami para ulama. Dia menyatakan bahwa, “ijtihad hanya terdapat pada teks suci”. Adapun kaidah yang mengatakan, tidak (diperkenankan) berijtihad tentang sesuatu yang telah disebutkan dalam teks, tidak diterima. Seandainya ada seseorang yang mengatakan: ”Berijtihadlah (tentang sesuatu) yang berada di luar teks al-Qur’an (atau hadits)!, maka saya akan mengatakan: Mengapa saya harus berijtihad ketika tidak didapati satu teks (ayat) pun dalam al-Qur’an (atau hadits)? Ketika tidak adanya teks, seorang penetap hukum diperkenankan menetapkan hukum sesukanya.” Lebih lanjut dia menyatakan bahwa ketepatan ijtihad ditentukan oleh kesesuaiannya dengan realitas. Jadi hasil sebuah ijtihad bisa dipandang benar dan diterima jika seiring dengan realitas objektif pada saat melakukan pembacaan historis. Pemahaman dan keserasian dengan realitas objektif merupakan tolak ukur seberapa jauh penafsiran atau pembacaan hermeneutika itu benar atau salah. (Muhammad Syahrur, 2004: 104)
Al-Sunnah al-Nabawiyyah, baik mutawatir atau ahad, yang disebutkan dalam semua kitab hadits maupun yang hanya satu kitab hadits, dia katakan, bukan sebagai wahyu kedua, (Muhammad Syahrur, 2004: 106) melainkan hanya pemahaman awal terhadap ayat-ayat ahkam dalam al-Qur’an (dalam istilah Syahrur: al-Tanzil al-Hakim), yang berarti pemahaman Nabi saw. tersebut bersifat relatif dan terbatas sesuai dengan kondisi saat itu. Keputusan hukum akan senantiasa berubah sesuai dengan perubahan ruang dan waktu. (Muhammad Syahrur, 2004: 105) Ia juga menuduh ulama dan mufassir yang mempunyai pandangan bahwa sabda Rasul saw. termasuk hadits Nabi semata-mata wahyu Allah adalah pandangan yang tidak memiliki argumentasi. (Muhammad Syahrur, 2000: 54) Bahkan dengan kasar ia menuduh orang-orang yang meyakini hadits Nabi sebagai wahyu adalah orang-orang yang menyekutukan Allah swt. (Situs berita al-arabiya, dikutip dari thoriq, www.hidayatullah.com, publikasi 29 januari 2008) Di sisi lain pengingkarannya terhadap hadits/sunnah dikarenakan di dalam hadits terdapat bahasan mengenai hal-hal ghaib. Ia beralasan, bahwa hal-hal ghaib hanya tercantum dalam al-Qur’an saja. Ia mengatakan, “Saya tidak beriman kepada hadits Nabi, Allah berfirman, ‘Taatlah kalian kepada rasul..’. Maka ketaatan hanya kepada rasul, bukan kepada Nabi. Dan hadits-hadits Nabi adalah hal-hal ghaib, seperti adzab, gambaran kiamat, alam barzakh. Ini semua adalah kenabian, dan rasul tidak mengetahui hal yang ghaib. Cukuplah bagi kita perkara-perkara yang ghaib yang ada dalam al-Qur’an.” (Situs berita al-arabiya, dikutip dari thoriq, www.hidayatullah.com, publikasi 29 januari 2008)
Sumber hukum Islam lainnya seperti ijma’ pun didekonstruksi, bukan sebagai kesepakatan para sahabat dan ‘Ulama. Bahkan meragukan akan keadilan dan konsensus (ijma’) sahabat. Ia mengatakan, “Kitabullah sudah cukup, tidak perlu hal lain untuk memahaminya, kuncinya ada di dalam, bukan di luar. Maka kita tidak perlu Abu Hurairah, tidak perlu Ibn ‘Abbas.” (Situs berita al-arabiya, dikutip dari thoriq, www.hidayatullah.com, publikasi 29 januari 2008) Ia mendefinisikan ijma’ sebagai kesepakatan orang-orang yang semasa masih hidup di majlis-majlis perwakilan rakyat dan parlemen-parlemen. Orang-orang yang masih hidup dan bersepakat atas masalah penting bagi mereka dalam lingkup perjalanan sejarah yang mereka alami adalah orang-orang yang mampu memahami dan mengatasi problem-problem mereka. Mereka tidak membutuhkan para sahabat, tabi’in, dan para ulama besar terdahulu.
Ia pun menggugurkan konsep qiyas, yang dikatakannya mengacu dan membawa masalah ke masa lampau serta tidak berarti sama sekali. Karena menurutnya, dia berulang kali katakan, bahwa penerapan hukum pada alam realitas adalah aplikasi relatif-historis. Prinsip yang ia gunakan hanya akal pikiran dengan realitas objektif. Pengertian qiyas menurutnya, yakni “mengemukakan dalil-dalil dan bukti-bukti atas kesesuaian ijtihad tentang hal-hal yang dinashkan oleh al-Qur’an dengan kenyataan hidup secara objektif. (Muhammad Syahrur, 2004: 106-107)
Teori Batas Muhammad Syahrur dan Implementasinya terhadap berbagai aturan-aturan dalam Hukum Islam
Buah dari penelitian yang dilakunya di atas adalah lahirnya sebuah teori yang aplikatif, yakni nazhariyyah al-hudud (limit theory/teori batas). Teori batasnya terdiri dari batas bawah (al-hadd al-adna/minimal) dan batas atas (al-hadd al-a’la/maksimal). Terdapat enam bentuk aplikatif teori batas ini dalam kajian terhadap ayat-ayat hukum, yakni:
Pertama, yang hanya memiliki batas bawah. Hal ini berlaku pada perempuan yang boleh dinikahi (QS. [4]: 22-23), jenis makanan yang diharamkan (QS. [5]: 3), [6]: 145-156), hutang piutang (QS. [2]: 283-284), dan pakaian wanita (QS. [4]: 31).
Kedua, yang hanya memiliki batas atas. Berlaku pada tindak pidana pencurian (QS. [5]: 38) dan pembunuhan (QS. [17]: 33, [2]: 178, [4]: 92).
Ketiga, yang memiliki batas atas dan bawah sekaligus. Berlaku pada hukum waris (QS. [4]: 11-14, 176) dan poligami (QS. [4]: 3).
Keempat, ketentuan batas bawah dan atas berada pada satu titik atau tidak ada alternatif lain dan tidak boleh kurang atau lebih. Berlaku pada hukum zina dengan seratus kali cambuk (QS. [24]: 2).
Kelima, ketentuan yang memiliki batas bawah dan atas sekaligus, tetapi keduanya tidak boleh disentuh, jika menyentuhnya berarti telah melanggar aturan Tuhan. Berlaku pada hubungan laki-laki dan perempuan. Jika antara laki-laki dan perempuan melakukan perbuatan mendekati zina tetapi belum berzina, maka keduanya belum terjatuh pada batas-batas hudud Allah.
Keenam, yang memiliki batas atas dan bawah, di mana batas atasnya bernilai positif dan tidak boleh dilampaui. Sedang batas bawahnya bernilai negatif dan boleh dilampaui. Berlaku pada hubungan kebendaan sesama manusia. Batas atas yang bernilai positif berupa riba, sementara batas bawahnya bernilai negatif berupa zakat. (Amin Abdullah, 2004: 156-158)
Keenam bentuk teori batas yang dibuat Syahrur di atas berdampak pada istinbath hukum Islam. Kita ambil contoh dari teori hudud pertama yang hanya memiliki batas bawah, yakni mengenai pakaian dan aurat wanita. Ketika menafsirkan QS. [24]: 31, “Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita”. Menurut Syahrur aurat adalah apa yang membuat seseorang malu apabila terlihat, dan aurat tidak berkaitan dengan halal haram, baik dari dekat maupun jauh. Ia membuat contoh, “Apabila ada orang yang botak dan tidak suka orang melihat kepalanya yang botak, maka dia akan memakai rambut palsu, sebab ia menganggap botak kepalanya sebagai aurat.” Kemudian ia mengutip hadits Nabi, “Barang siapa menutupi aurat mukmin, niscaya Allah akan menutupi auratnya.” Dia berkomentar, menutupi aurat mukmin dalam hadits itu, bukan berarti meletakkan baju padanya agar tidak terlihat. Lantas ia menyimpulkan bahwa aurat berangkat dari rasa malu, yakni ketidaksukaan seseorang ketika terlihatnya sesuatu, baik dari tubuhnya maupun perilakunya. Sedang malu menurutnya relatif, berubah-ubah sesuai dengan adat istiadat, zaman, dan tempat. (Muhammad Syahrur, 2000: 370)
Maka ketika ada ayat yang menyuruh memakai jilbab dalam QS. [33: 59],
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.”
Dia menafsirkan bahwa ayat di atas berbentuk pengajaran, bukan syari’at, dan turun di Madinah yang menunjukan mesti dipahami secara temporal dengan tujuan keamanan dari dua gangguan, yakni gangguan alam atau cuaca dan sosial yang menyesuaikan dengan tradisi setempat sehingga tidak mengundang cemoohan. (Muhammad Syahrur, 2000: 372-373) Maka kesimpulan Syahrur untuk jilbab mempunyai batasan maksimal dan minimal. Batasan maksimalnya yaitu dengan menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, sedang batasan minimalnya adalah yang hanya menutupi juyūb yang menurutnya meliputi belahan dada, bagian tubuh dibawah ketiak, kemaluan, dan pantat. Selain itu tidak termasuk aurat dan hanya menyesuaikan dengan tradisi masyarakat saja. (Muhammad Syahrur, 2000: 376-378)
Kemudian ia menafsirkan ayat, “Janganlah mereka memperlihatkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak daripadanya”. Bahwa perhiasan wanita ada dua, yakni perhiasan benda dan perhiasan tempat. (Muhammad Syahrur, 2000: 606) Perhiasan benda contohnya pakaian dan aksesorisnya, sedang perhiasan tempat adalah seluruh tubuh perempuan yang lazim terlihat seperti perut, punggung, kepala, dan kaki. Maka seluruh bagian tubuh ini boleh terbuka berdasar ayat tadi. Sedang yang tersembunyi adalah al-juyub (kemaluan, pantat, ketiak, dan payudara). Dengan kata lain, seorang perempuan yang hanya mengenakan pakaian dalam saja keluar rumah, tidak dipandang melanggar ketentuan Allah. Atau yang menampakkan tindik di perutnya juga tidak apa-apa.
Lebih dari itu, ia menyatakan bahwa aurat vital wanita (ketiak, payudara, dan kemaluan) boleh diperlihatkan kepada tujuh golongan lelaki yang disebutkan dalam QS. [24]: 31, yaitu saudara, bapak, anak saudara perempuan, anak saudara laki-laki, orang tua istri dan anaknya. Pendapatnya menyatakan seorang muslimah boleh telanjang bulat di depan lelaki tersebut. Ia mengatakan, “Jika orang tua melihat anak perempuannya telanjang bulat, maka tidak dikatakan bahwa hal itu haram, namun hanya aib saja.” (Dikutip dari www.hidayatullah.com publikasi selasa, 29 januari 2011) Bahkan Ia mengatakan bahwa hubungan remaja lawan jenis tanpa didasari pernikahan, alias kumpul kebo sebagai sesuatu yang “halal”. Syahrur mengatakan bahwa apa yang dilakukan para remaja itu, jika hal itu sesuai dengan kemauan mereka, tanpa akad, atau tanpa didampingi seorang syekh atau tanpa mendapat izin, maka hal itu halal. Ia menyatakan, “Bacalah Kitabullah, jangan takut kepadanya, kamu semua bisa melakukan itu tanpa perantara dan tanpa guru, dan pergaulan bebas halal, dengan syarat ada persetujuan diantara kedua pihak,” ujarnya. Ia juga menyatakan, bahwa pergaulan bebas antara seorang laki-laki dan seorang perempuan adalah ganti atas pernikahan, dan tanpa akad tertulis, adalah “halal, secara syar’i.” (Dikutip dari www.hidayatullah.com publikasi selasa, 29 januari 2011)
Kemudian contoh teori hudud kedua, yang hanya memiliki batas atas, mengenai ayat potong tangan bagi pencuri. Syahrur menilai kata kata qata’a bisa berarti pemotongan secara fisik maupun non fisik. Hal ini dengan melihat dasar kata qata’a yang ternyata memililki banyak arti dan tidak semua arti mengacu pada pemotongan fisik. Selain itu dalam Al-quran pun tidak semua kata-kata qata’a bermakna pemotongan secara fisik. Contoh Qata’a yang berarti pemotongan secara fisik terdapat pada QS Al-Maidah: 33, sedangkan yang berarti bukan pemotongan secara fisik terdapat pada QS. Ali-Imran: 127, QS. Al-anfal : 7, QS. Al-Baqarah : 27.
Dari sanalah Syahrur mengambil kesimpulan bahwa kata-kata qata’a dalam konteks pencurian bisa diartikan sebagai pemotongan secara fisik maupun non fisik. Dengan melihat maslahah antara pemotongan fisik dan non fisik, Syahrur menilai bahwa pemotongan fisik pada ayat tersebut merupakan hukum maksimal (batas atas) yang bisa ditetapkan, sedangkan pemotongan non fisik misalnya memasukkannya ke dalam penjara. Artinya pada ayat ini berlaku konsep hudud al-a’la dan ruang ijtihad manusia ada di bawah hudud al-a’la tersebut. Kemudian contoh teori ketiga, yang memiliki batas atas dan bawah sekaligus.
Maksudnya, batas minimum dan maksimum telah ditetapkan al-Quran, adapun ijtihad posisinya ada di antara kedua batas minimum dan maksimum tersebut. Contoh: QS. An Nisa : 11, tentang Pembagian Warisan. Batas maksimum laki-laki adalah 2x perempuan, sedangkan batas minimum perempuan adalah 0.5 dari laki-laki. Ijtihad bergerak di antara dua batas maksimum dan minimum tersebut dengan melihat berbagai aspek yang ada.
Mengenai poligami Syahrur sangat ketat membatasinya. Dengan Teori Batasnya ada dua pembatasan istilah penting yaitu pembatasan pada kuantitas (al- Had al-Kamy), yakni berjumlah empat istri, dan pembatasan pada kualitas (al-Had al-Kalfy), yakni istri kedua, ketiga, dan keempat adalah janda yang memiliki anak.
Syahrur membolehkan poligami dalam dua kondisi, yaitu pertama, istri kedua, ketiga, dan keempat adalah janda-janda beranak yang suaminya meninggalkannya. Kedua, suami harus memiliki perasaan gelisah bahwa dia tak akan dapat berbuat adil kepada anak-anaknya. Jika kedua syarat di atas tidak terpenuhi, poligami akan gagal. Artinya, calon istri harus janda bukan perawan dan harus mempunyai anak, juga calon suami harus bersikap adil dalam segala aspek. Terutama aspek sosial kehidupan/kemasyarakatan. (Muhammad Syahrur, 2004: 307). Syahrur menerapkan dua kondisi ini berdasarkan struktur norma bahasa dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 4.
Syahrur mengambil dua syarat tersebut berdasarkan “struktur kaidah bahasa” dalam firman Allah “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi dua, tiga atau empat.” Syahrur juga melihat bahwa betapa Allah memuliakan seorang janda dengan menggunakan kata-kata yang halus “ma thoba lakum” (perempuan-perempuan yang kamu senangi) bukan “mashi’tum min an-nisa” ini merupakan salah satu penghormatan terhadap perkawinan. (Muhammad Syahrur, 2004: 307)
Mengenai hukum pelaku zina yang termasuk pada Teori Batas keempat yakni ketentuan batas bawah dan atas berada pada satu titik atau tidak ada alternatif lain dan tidak boleh kurang atau lebih. Maksudnya ketentuan batas maksimum juga menjadi batas minimum, sehingga ijtihad tidak memungkinkan untuk mengambil hukum yang lebih berat dan yang lebih ringan. Contoh: QS. An-Nur: 2, tentang hukuman perzinahan. Dalam ayat tersebut hukuman untuk pelaku zina merupakan had maksimum dan minimum sekaligus, karena dalam ayat tersebut ada perintah untuk tidak “ra’fah”, yang berarti tidak ada keringanan.
Selanjutnya mengenai Teori Batas kelima, yakni ketentuan yang memiliki batas bawah dan atas sekaligus, tetapi keduanya tidak boleh disentuh, jika menyentuhnya berarti telah melanggar aturan Tuhan. Berlaku pada hubungan laki-laki dan perempuan. Jika antara laki-laki dan perempuan melakukan perbuatan mendekati zina tetapi belum berzina, maka keduanya belum terjatuh pada batas-batas hudud Allah.
Terakhir, yang memiliki batas atas dan bawah, di mana batas atasnya bernilai positif dan tidak boleh dilampaui. Sedang batas bawahnya bernilai negatif dan boleh dilampaui. Berlaku pada hubungan kebendaan sesama manusia. Batas atas yang bernilai positif berupa riba, sementara batas bawahnya bernilai negatif berupa zakat. Had atas yang tidak boleh dilampaui adalah riba, had bawah yang boleh dilewati adalah zakat (zakat sebagai batas negatif karena zakat merupakan batas minimal harta yang wajib dikeluarkan). Dalam hal ini zakat dapat dilampaui oleh shadaqah, sedangkan riba tidak boleh dilewati karena merupakan batas atas yang tidak boleh dilewati.
Syahrur menyimpulkan adanya tiga kondisi menyangkut riba. Pertama, berdasarkan Q.S. al-Taubah: 60, fakir dan miskin termasuk golongan orang yang berhak menerima zakat. Menurutnya miskin adalah orang yang menurut kondisi sosial dan ekonomi yang ada, tidak mampu menutup hutangnya. Terhadap orang dengan kondisi demikian, berlaku ayat: “Allah akan hapuskan (berkah) riba dan tumbuhkembangkan sedekah” (al-Baqarah: 276), di samping juga ayat-ayat lain yang berisi kecaman keras terhadap praktik riba (al-Baqarah: 275, 278, dan 279). Oleh karena itu, harta yang disalurkan kepada mereka pada prinsipnya bukan dalam bentuk kredit, tetapi dalam bentuk hibah, dan pahalanya terserah kepada Allah. Kedua, terhadap orang yang hanya mampu menutup hutang pokoknya dan tidak mampu membayar bunga, maka diberikan pinjaman yang bebas bunga (al-qard al-hasan). Di sini berlaku ayat 279 al-Baqarah yang menyatakan bahwa hanya harta pokok yang boleh diminta. Kendati demikian, karena orang ini tergolong orang yang berhak menerima sedekah, maka akan lebih utama jika pihak kreditur mau mem-bebaskan piutangnya. Ketiga, terhadap para pengusaha yang notabene bukan berkategori penerima zakat, kredit yang diberikan dapat dipungut bunganya dengan ketentuan besarnya tidak boleh melampaui batas yang telah ditentukan. Batas atasnya adalah jumlah beban bunga yang harus dibayar sama dengan jumlah hutang pokoknya. Hal ini berdasarkan ayat: “Hai orang-orang mu’min jangan makan riba yang berlipat ganda” (Al ‘Imran: 130). (Muhammad Syahrur, 2000: 469-470).
Atas dasar pandangannya tentang riba dengan berbagai kondisi objektif yang melingkupinya sebagaimana disebutkan di atas, Syahrur mengajukan tiga prinsip dasar sistem bank Islam, yaitu: 1) Mereka yang berhak menerima zakat tidak diberikan kredit, melainkah diberi hibah (sedekah); 2) Dalam kondisi tertentu dibuka kemungkinan untuk memberikan kredit yang bebas bunga, yakni bagi mereka yang pantas diberi sedekah; 3) Dalam bank Islam tidak boleh ada kredit yang tempo pembayarannya tidak dibatasi hingga beban bunga yang harus dibayar lebih besar daripada hutang pokoknya. Jika hal ini terjadi juga, maka pihak debitur berhak menolak untuk membayar bunga yang melebihi batas tersebut. (Muhammad Syahrur, 2000: 473).
Demikianlah teori yang dikemukakan Syahrur tentang riba. Dapat disimpulkan bahwa menurutnya, bunga adalah riba, namun ia boleh dipungut asal memperhatikan kondisi objektif pihak debitur. Debitur dari kalangan anggota masyarakat yang termasuk dalam kategori mustahiq zakat dan sedekah, termasuk orang yang hanya mampu membayar hutang pokok, tidak boleh dipungut riba, bahkan sebagian dari mereka hendaknya tidak diberi kredit, melainkan hibah. Selain dari kalangan mereka, riba boleh dipungut, tetapi tidak boleh melebihi batas atas yang telah ditentukan, yakni melebihi harga barang.
Tanggapan, Penilaian Serta Kritik Terhadap Pemikiran M. Syahrur
Syahrur menegaskan bahwa al-Qur’an memuat konsep dan prinsip dialektikal paradoksal dan kata al-Qur’an sendiri berasal dari qara-a dan istiqrā yang berarti eksplorasi teori Marxisme. Ia mengatakan, “Saya menamakan ayat-ayat nubuwwah sebagai al-Qur’an karena berasal dari kata istiqrā (eksplorasi). Dengan al-Qur’an kita dapat mengeksplorasi teori ilmiah tentang materi dan sejarah (materialisme dialektis dan materialisme historis).” Dari sini bisa dilihat, bagaimana kekacauannya menarik kesimpulan bahwa kata al-Qur’an berasal dari istiqrā. Bagaimana mungkin mashdar mujarrad merupakan derivasi dari mashdar mazīd.
Penafsiran subjektif lainnya yang bernada ideologi Marxis Syahrur yang menyimpulkan adanya perubahan tafsir mengikuti ruang dan tempat berdasar klasifikasinya tentang al-Kitab kepada al-hanafiyyah (gerak berubah) dan al-istiqāmah (lurus tetap) yang memiliki relasi dialektis. Padahal kata hanif dan istiqamah adalah sinonim yang berarti lurus, ketetapan, dan tidak ada penyimpangan. Ini bisa dibuktikan dari ayat-ayat al-Qur’an yang mengartikan hanif sebagai antonim dari al-syirk, ini juga dijelaskan dalam kamus-kamus bahasa arab. (Muhammad Syahrur, 2000: 370). Artinya, kata hanif berarti juga istiqomah.
Dengan kerancuan pemahamannya tersebut akhirnya berimbas pada penafsirannya juga terhadap ayat-ayat hukum al-Qur’an. Maka keganjilan dan kerancuan teori dialektis dan materialis sosial historis meruntuhkan teori batasnya (nazariyyah al-hudūd). Untuk lebih jelas melihat kekacauan pemikirannya dalam teori batas kita ambil contoh teori mengenai pakaian dan aurat wanita. Ketika menafsirkan QS. [24]: 31, “Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita”. Syahrur mengartikan aurat dengan apa yang membuat seseorang malu apabila terlihat dan aurat tidak berkaitan dengan halal haram, baik dari dekat maupun jauh. Ia membuat contoh, “Apabila ada orang yang botak dan tidak suka orang melihat kepalanya yang botak, maka dia akan memakai rambut palsu, sebab ia menganggap botak kepalanya sebagai aurat.” Kemudian ia mengutip hadits Nabi, “Barang siapa menutupi aurat mukmin, niscaya Allah akan menutupi auratnya.” Dia berkomentar, menutupi aurat mukmin dalam hadits itu, bukan berarti meletakkan baju padanya agar tidak terlihat. Maka ia menyimpulkan bahwa aurat berangkat dari rasa malu, yakni ketidaksukaan seseorang ketika terlihatnya sesuatu, baik dari tubuhnya maupun perilakunya. Sedang malu menurutnya relatif, berubah-ubah sesuai dengan adat istiadat, zaman, dan tempat. (Muhammad Syahrur, 2000: 372-373) Maka ketika ada ayat yang menyuruh memakai jilbab dalam QS. [33]: 59, “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” Dia menafsirkan bahwa ayat di atas berbentuk pengajaran, bukan syari’at, dan turun di Madinah yang menunjukan mesti dipahami secara temporal dengan tujuan keamanan dari dua gangguan, yakni gangguan alam atau cuaca dan sosial yang menyesuaikan dengan tradisi setempat sehingga tidak mengundang cemoohan. (Muhammad Syahrur, 2000: 374-375) Maka kesimpulan Syahrur untuk jilbab mempunyai batasan maksimal dan minimal. Batasan maksimalnya yaitu dengan menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, sedang batasan minimalnya adalah yang hanya menutupi juyūb yang menurutnya meliputi belahan dada, bagian tubuh dibawah ketiak, kemaluan, dan pantat. Selain itu tidak termasuk aurat dan hanya menyesuaikan dengan tradisi masyarakat saja. (Muhamad Syahrur, 2000: 376-378)
Kemudian dalam menafsirkan ayat, “Janganlah mereka memperlihatkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak daripadanya”. Bahwa perhiasan wanita ada dua, yakni perhiasan benda dan perhiasan tempat. (Muhammad Syahrur, 2000: 606) Perhiasan benda contohnya pakaian dan aksesorisnya, sedang perhiasan tempat adalah seluruh tubuh perempuan yang lazim terlihat seperti perut, punggung, kepala, dan kaki. Maka seluruh bagian tubuh ini boleh terbuka berdasar ayat tadi. Sedang yang tersembunyi adalah al-juyūb (kemaluan, pantat, ketiak, dan payudara). Dengan kata lain, seorang perempuan yang hanya mengenakan pakaian dalam saja keluar rumah, tidak dipandang melanggar ketentuan Allah.
Lebih dari itu, ia menyatakan bahwa aurat vital wanita (ketiak, payudara, dan kemaluan) boleh diperlihatkan kepada tujuh golongan lelaki yang disebutkan dalam QS. [24]: 31, yaitu saudara, bapak, anak saudara perempuan, anak saudara laki-laki, orang tua istri dan anaknya. Pendapatnya menyatakan seorang muslimah boleh telanjang bulat didepan lelaki tersebut. Ia mengatakan, “Jika orang tua melihat anak perempuannya telanjang bulat, maka tidak dikatakan bahwa hal itu haram, namun hanya aib saja. (Muhammad Syahrur, 2000: 607) ”Bahkan Ia mengatakan bahwa hubungan remaja lawan jenis tanpa didasari pernikahan, alias kumpul kebo sebagai sesuatu yang “halal”. Syahrur mengatakan bahwa apa yang dilakukan para remaja itu, jika hal itu sesuai dengan kemauan mereka, tanpa akad, atau tanpa didampingi seorang syekh atau tanpa mendapat izin, maka hal itu halal. Ia menyatakan, “Bacalah Kitabullah, jangan takut kepadanya, kamu semua bisa melakukan itu tanpa perantara dan tanpa guru, dan pergaulan bebas halal, dengan syarat ada persetujuan diantara kedua pihak,” ujarnya. Ia juga menyatakan, bahwa pergaulan bebas antara seorang laki-laki dan seorang perempuan adalah ganti atas pernikahan, dan tanpa akad tertulis, adalah “halal, secara syar’i.” (Muhammad Syahrur, 2000: 606)
Masih dalam kasus ini, banyak hal yang dapat kita kritisi. Pertama, aurat yang diartikannya sebagai sesuatu yang malu apabila terlihat dan tidak ada hubungannya dengan halal haram, menunjukan keterpaksaan pendefinisiannya yang mengalah kepada kenyataan, dimana orang-orang disekitarnya yang sudah biasa dengan budaya telanjang. Hal ini tidak berdasar karena kalau malu yang jadi ukurannya, totalitas relatifitas penafsiran tidak ada batasannya. Bahkan telanjang bulat sekalipun, jika itu sudah biasa (mungkin itu sudah terjadi hari ini), tidak disebut sebagai aurat karena mereka sudah tidak malu lagi untuk bertelanjang bulat. Bahkan dalam hal ini, Syahrur tidak konsisten dengan teori batasnya karena ia melanggar batasan aurat minimal yang jelas pada batas kemaluan, pantat, belahan dada, dan ketiak. Dimana malu sebagai pertimbangan bersifat relatif tak berbatas. Keterangan batasan aurat dalam hadits pun telah jelas. Al-Qurthubi berkata: Pengecualian itu adalah pada wajah dan telapak tangan. Yang menunjukkan hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah bahwa Asma binti Abu Bakr menemui Rasulullah sedangkan ia memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah berpaling darinya dan berkata kepadanya: “Wahai Asma! Sesungguhnya jika seorang wanita itu telah mencapai masa haid, tidak baik jika ada bagian tubuhnya yang terlihat, kecuali ini.” Kemudian beliau menunjuk wajah dan telapak tangannya. Allah Pemberi Taufik dan tidak ada Rabb selain-Nya.”
Menurut Syahrur QS. [24]: 31 tentang aurat perempuan dengan menafsirkan juyūb yang terdiri dari kemaluan, pantat, ketiak, dan payudara merupakan argumentasi tidak logis, karena secara historis (teori yang diklaim digunakannya) saja, wanita zaman jahiliyyah telah menutup badan dengan bajunya. Maka tidak masuk akal, kalau ayat ini turun kepada wanita arab untuk keluar ke jalan-jalan dengan menutup auratnya, minimal dengan pakaian dalam saja. Ketiga, seandainya beralasan menutup badan sesuai dengan cuaca dan gangguan, maka kalau cuaca Madinah panas maka perempuannya menutup badan penuh. Justru kalau panas, seharusnya perempuan Madinah memakai pakaian mini, sebagaimana Barat yang dalam kondisi panas, mereka sering setengah telanjang, apalagi di pantai. Gangguan terhadap wanita pun akan rentan jika ia berbusana minim, karena itulah fitnahnya, bukan pada budayanya saja.
Kesalahan Syahrur dalam mengartikan al-juyūb berasal dari kata jawaba atau a’in fiilnya adalah huruf wawu. Lalu mengambil arti lubang (al-kharqu) dari kata al-jūb, namun ia menisbahkannya sebagai arti dari al-jaib, sehingga lubang al-jaib berarti lubang kemaluan perempuan. Padahal al-juyūb berasal dari kata jayaba atau a’in fiilnya ya, maka kamus arab mengantisipasinya dengan menambahkan bahwa kalimat jabat al-qamis tidak berasal dari al-jaib, tapi dari al-jub. Dapat kita temukan bahwa al-juyūb secara bahasa berarti bagian baju yang terbuka dan saku-saku baju. (Muhammad Syahrur, 2000: 606) Kemudian ketika Syahrur menafsirkan ayat, “Janganlah mereka memperlihatkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak daripadanya”. Bahwa perhiasan wanita ada dua, yakni perhiasan benda seperti pakaian dan aksesorisnya dan perhiasan tempat adalah seluruh tubuh perempuan yang lazim terlihat seperti perut, punggung, kepala, dan kaki. Sedang yang tersembunyi adalah al-juyūb (kemaluan, pantat, ketiak, dan payudara). Padahal pada masa jahiliyyah, perhiasan perempuan ada yang nampak dan tersembunyi. Yang nampak seperti cincin, gelang, kalung, anting, dan hiasan kepala. Sedang yang tersembunyi seperti gelang tangan dan kaki. Maka ayat tadi diperkuat dengan lanjutan, “Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (Muhammad Syahrur, 2000: 606) Kelima, pendefinisian aurat dengan rasa malu adalah pendapat keliru. Menurut Yusuf Qaradhawi, di kalangan ulama sudah ada kesepakatan tentang masalah ‘aurat wanita yang boleh ditampakkan’. Ketika membahas makna “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya” (QS 24:31), menurut Qaradhawi, para ulama sudah sepakat bahwa yang dimaksudkan itu adalah “muka” dan “telapak tangan”. Imam Nawawi dalam al-Majmu’, menyatakan, bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya. Diantara ulama mazhab Syafi’i ada yang berpendapat, telapak kaki bukan aurat. Imam Ahmad menyatakan, aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajahnya saja. Diantara ulama mazhab Maliki ada yang berpendapat, bahwa wanita cantik wajib menutup wajahnya, sedangkan yang tidak cantik hanya mustahab. Qaradhawi menyatakan bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan adalah pendapat Jamaah sahabat dan tabi’in sebagaimana yang tampak jelas pada penafsiran mereka terhadap ayat: “apa yang biasa tampak daripadanya.” (Muhammad Syahrur, 2000: 606) Apalagi kekacauan ijtihadnya tentang kumpul kebo yang dilegalkannya, menjelaskan bagaimana kepicikan berpikir Syahrur yang sangat lemah menggunakan akal sehatnya dengan pasrah begitu saja pada kenyataan dan realitas pergaulan bebas dan perselingkuhan, khususnya yang terjadi di Barat. Hal ini menjadi pemikiran Syahrur yang sangat aneh dicerna, karena disatu sisi dia begitu kelihatan ilmiah dan bergairah ketika membahas ayat poligami, disisi lain dia menegasikan sakralitas pernikahan dengan melegalkan perzinahan lewat kumpul kebo. Berulang kali juga dia melanggar teori batasnya, dimana pada bentuk kelima dikatakan batas bawah dan atas sekaligus, tetapi keduanya tidak boleh disentuh, jika menyentuhnya berarti telah melanggar aturan Tuhan. Bentuk ini berlaku pada hubungan laki-laki dan perempuan. Jika antara laki-laki dan perempuan melakukan perbuatan mendekati zina tetapi belum berzina, maka keduanya belum terjatuh pada batas-batas hudud Allah. Tetapi dengan statemen kumpul kebo dibolehkan sebagai ganti pernikahan, dia sendiri telah melanggar konsepnya tentang pergaulan bebas yang berujung perzinaan.
Sebagai ilmuwan teknik, sudah dapat diduga sebelumnya bahwa studi keislaman Syahrur akan sangat bercorak empirisistik, bahkan positivistik. Apalagi Syahrur mengakui bahwa dalam membangun teori hudud, ia menggunakan analisis matematis sebagai landasannya, yaitu rumus-rumus matematika yang dikembangkan oleh Sir Isaac Newton yang berkaitan dengan persamaan fungsi,yang dirumuskan dengan Y= f(x) dengan satu variable, atau Y=f(x,y) dengan dua variabel. Persamaan fungsi ini oleh Syahrur dijadikan basis teori pengembangan hokum Islam karena teori ini dapat memadukan dua karakter hokum Islam, yakni karakter statis (tsabit-tetap) dan karakter dinamis (al-hanifiyyah-cenderung berubah). Bukti paling awal keterjebakan Syahrur dalam hegemoni positivisme adalah pemanfaatan prestasi ilmu pengetahuan modern secara mutlak dalam penemuan hudud Allah dan juga pemanfaatan metode histories ilmiah dalam penciptaan hukum yang sesuai dengan hudud Allah tersebut. Premis-pemis ilmiah yang dimaksud Syahrur adalah premis-premis empiris-positivistik. Bahkan Syahrur cenderung sampai pada tahap mengideologikan premis-premis empiris-positivistik dalam memahami realitas. Bagi Syahrur, semua hal baru dapat diakui benar bila fakta-fakta empiris-positivistik membuktikannya benar. Oleh karena itu, dapat dipahami bila Syahrur memiliki epistemologi empiris-rasional dan menolak epistemology isyraqiyyah ilhamiyyah sebagaimana dikenal para ahli ‘irfan.
Selain itu, keyakinan Syahrur bahwa wahyu (teks) tidak akan dapat dipahami kecuali berangkat dari hukum-hukum alam (positivisme), juga merupakan bukti yang lain. Walaupun ia telah mengakui relativitas dan perkembangan pengetahuan manusia, semua itu masih dalam koridor positivisme. Dalam hal ini Syahrur menulis: “…At-Tanzin al-Hakim adalah kalam Alllah yang tidak langsung, yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada kalbu rasul Arab Saw., dalam bentuk bunyi, lafaz, sebutan atau bahasa. Adapun kalimat Allah adalah eksistensi dengan dua cabang, yakmi alam dan kemanusiaan…Kita pasti tidak akan memahami kalam-Nya kecuali kita mempelajari kalimat-Nya dalam eksistensi alam dan kemanusiaan dengan sunnah dan hukum-hukumnya. Akan tetapi, pemahaman kita terhadap sunnah dan hukum-hukum ini tunduk pada proses dan becoming. Harus kita katakana bahwa sesungguhnya pemahaman kita terhadap kalam Allah sudah barang tentu merupakan pemahaman yang berkembang, bukan pemahaman yang statis. Sementara kalam Allah itu tetap dalam being-nya sebagai teks. Dari kutipan di atas, tampak bahwa hermeneutika yang dibangun Syahrur dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an adalah hermeneutika yang berbais positivisme sehingga mengandaikan tercapainya objektivitas sebagaimana yang dicapai oleh ilmu-ilmu kealaman. Ini persis seperti yang dialami Wilhelm Dilthey (1833-1911), sejarawan Jerman yang menjadikan pengalaman, ekspresi dan pemahaman sebagai metode hermeneutis yang menghasilkan objektivitas-positivistik.Dengan demikian, hermeneutika Syahrur belum bisa membebaskan eksistensi manusia dari segala bentuk dominasi.
Bukti lain dari keterjebakan Syahrur dalam hegemoni positivisme adalah pengklasifikasinya atas ayat-ayat at-Tanzil al-Hakim menjadi empat macam: Umm al-Kitab, Al-Qur’an, As-Sab’al Masani, dan Tafshil al-Kitab. Klasifikasi tersebut merupakan cara Syahrur memperlakukan al-Qur’an sebagai ilmu pasti yang bersifat “ajek-tetap” dan positif. “keajekan” merupakan pola hubungan ketergantungan ideologis dan bersifat sangat positivistik.
Dalam teori hudud, keterjebakan tersebut masih terus berlanjut. Syahrur bahkan terjebak dalam meminjam istilah Habermas-“dogmatisme ilmu kealaman”. Syahrur menganggap ilmu kealaman sebagai juru tafsir satu-satunya yang benar atas realitas. Walaupun Syahrur sangat mendambakan pemanfaatan konsep-konsep dalam filsafat humaniora dan interaksi teori-teorinya dalam studi Islam, sangat jelas terlihat bahwa dia belum melakukan hal tersebut dalam teori hudud-nya. Teori hudud Syahrur masih cenderung jatuh dalam hegemoni objektivisme-positivistik-nomotetik sebagaimana dipahami oleh ilmu-ilu kealaman. Ilmu-ilmu social budaya yang jatuh pada objektivisme tak lebih dari ideologi untuk menutupi kenyataan yang sesungguhnya atau membiarkan status quo dengan alasan objektivitas. Objektivisme segera memisahkan teori dari praksis, pengetahuan dari kehidupan, dan ilmu pengetahuan dari etika karena pengetahuan menjadi barang objektif yang netral. Perlu dicatat kembali bahwa, menurut Syahrur, terkait dengan hudud Allah ada dua tugas yang harus dijalankan oleh manusia beriman. Pertama, menemukan hudud Allah dalam ayat-ayat Umm al-Kitab. untuk tugas ini, Syahrur merekomendasikan metode perbandingan antra ayat atu dengan ayat lain atau yang biasa disebut dengan al-istiqra’ al-ma’nawi (induksi tematis). Dalam langkah ini, Syahrur tampak sekali jatuh pada aktivitas hermeneutika intra-tekstualitas dan mengabaikan hermeneutika antara teks (intertekstualitas). Akibatnya, ia hanya mengakui teks Umm al-Kitab saja dalam aktivitas hermeneutikanya dan mengabaikan penafsiran nabi, para sahabat, dan apalagi para ulama atas teks suci yang dinilai hanya sebagai para penafsir yang melakukan pribumisasi atas teks suci. Oleh karena itu, penafsiran mereka bukanlah hal yang harus dianggap suci. Kedua, setelah hudud Allah ditemukan, manusia membentuk hukum yang tidak menyalahi hudud Allah tersebut. Untuk tugas ini, Syahrur menawarkan metode historis-ilmiah dengan mengutamakan ilmu-ilmu kealaman. Kedua tugas ini oleh Syahrur disebut sebagai ijtihad. Dalam rekomendasi metode ijtihad tersebut, tampak jelas bahwa Syahrur tersesat pada objektivisme sebagaimana yang pernah dialami oleh Charles Sanders Pierce dengan pragmatismenya dan Dilthey dengan historisismenya. Penggunaan induksi tematis dan pengedepanan prestasi ilmu kealaman yang ditempuh oleh Syahrur merupakan pengakuan atas positivisme yang akan dijadikan dalam wilayah ilmu hukum yang nota bene termasuk ilmu humaniora. Oleh karena itu, sesungguhnya Syahrur dapat dikatakan masih terjebak pada pemikiram abad XIX yang sangat positivistik dalam menyusun teori hudud-nya. Padahal, teori ini diintegrasikan dalam ilmu ushul fiqh yang bukan lagi menjadi bagian dari ilmu alam, melainkan bagian dari ilmu sosial humaniora. Bukti lain bahwa Syahrur masih cenderung pada hegemoni objektivitas-positivistik-nomotetik adalah digunakannya logika penelitian nomotetik-seperti penggunaan statistik, sensus, metode survai, voting, polling dan referendum, disamping metode pemahaman intratekstual (al-istiqra’ al-ma’nawi) dalam menemukan hudud Allah di atas. Dari sini tampak jelas Syahrur belum mampu melepaskan latar belakangnya sebagai ilmuwan alam. Bahkan secara eksplisit, ia menyatakan pemihakannya atas ilmu-ilu kealaman dalmam empat poin di antara dua belas syarat bagi terciptanya hukum Islam modern, yaitu: (1) pemanfaatan landasan ilmiah milik era di mana pembuat hukum hidup;(2) pemanfaatan hukum-hukum ekonomi dan kemasyarakatan milik era di mana pembuat hukum hidup; (3) menganggap para iluwan ilmu kealaman dengan segala macamnya (teknik, kedokteran, astronomi, fisika, kimia,dst…)sebagai patner utama pembuat hukum, dan (4) berpegang secara total pada qiyas syahid (nyata) atas yang syahid (nyata) sebelum pemunculan hukum apa pun berdasarkan banyaknya bukti-bukti materil. Oleh karena itu, ilmuwan statistik, menurut Syahrur, merupakan patner yang tak bisa ditinggalkan.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah penulis lakukan dan kemukakan di atas dapat disimpulkan tentang metode ijtihad yang dipergunakan oleh Muhammad Syahrur bahwa muhamad Sayhrur tidak merujuk kepada metode ijtihad para ulama ushul terdahulu baik itu ulama mazhab atau ulama tabiin sesudahnya, akan tetapi muhamad Syahrur menciptakann sendiri metode baru dalam penafsiran dan pembacaan terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah. Kemudian ada dua macam metode yang Syahrur gunakan dalam menghasilkan kesimpulan-kesimpulan hukumnya, yaitu: analisis linguistic (analisa kebahasaan) dan penerapan ilmu eksakta modern. Disamping itu, Syahrur juga memahami al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw secara kontekstual, mempertimbangkan aspek sosiologis dan emnggunakan pemahaman impilisit yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an.
Pendekatan bahasa yang dilakukan Syahrur dalam mengkaji al-Qur’an akhirnya membuat dia menarik suatu kesimpulan bahwa produk hukumnya sangat tergantung pada konteks sosio-kultural. Syahrur menganggap perlu adanya reinterpretasi terhadap nash-nash al-Qur’an dengan harapan terjadi sinkronisasi nash dengan realitas masyarakat kapanpun dan dimanapun. Fokus Syahrur terhadap nash-nash al-Qur’an membuat dia tidak mempercayai al-Sunnah al-Nabawiyyah sebagai sumber hukum juga. Baginya, al-Qur’an sudah cukup karena ayat-ayatnya telah memuat aturan-aturan untuk menjawab realita kehidupan. Untuk merealisasikan idenya itu Syahrur mengkonsep Teori Limit (Nazoriyyat al-Hudud).
Dengan Teori Limitnya ini, Syahrur mencoba menerapkan nash-nash muhkamat al-Qur’an ke dalam realita kehidupan dengan batasan-batasannya. Hukum-hukum di dalam al-Qur’an menurutnya bersifat elastis yang bisa ditarik dan disesuaikan dengan konteks tempat dan zaman. Kondisi masyarakat berada pada ruang lingkup batasan tersebut, dan selama tidak melewati batasan yang telah ditetapkan, hukumnya boleh untuk dilakukan.
Tapi kenyataannya harus diakui bahwa Muhammad Syahrur banyak terjebak pada kesalahan fatal dalam aplikasi teori batasnya. Kecintaannya pada filsafat Marxisme dan pemaksaannya dalam menggunakan hermeneutika filologi menggiringnya kepada konsep-konsep dan produk hukum al-Qur’an yang di mata sebagian cendekiawan/ilmuwan muslim terasa nyeleneh. Ini bisa dilihat misalnya dari pemaparannya tentang hukum ayat-ayat hijab dan hubungan antara laki-laki dengan perempuan sebaimana yang telah diterangkan dalam pembahasan di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Abû Zahrah, Târikh al-Mazâhib al-Islâmiyah, Juz I Cairo: Dâr al-Fikr, t.t.
Abdullah, Amin, Neo Ushul Fiqih Menuju Ijtihad Kontekstual, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah Press dan Forum Studi Hukum Islam, 2004).
Ad-Dawâlibî, al-Madkhal ilâ,'Ilm al-Ushûl al-Fiqh, (Beirût: Dâr al-Kitâb al-Jadîd, 1965).
Ahmad al-Raisuni, Nazhariyyah al-Maqâshid 'Inda al-Syâthibî, (Riyâdh: Dâr al-Alamiyyah, 1992).
A. Khudori Sholeh (Ed), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003).
Al-Munajjad, Mahir., Munāqasyat al-Isykāliyyah al-Manhajiyyah fi al-Kitāb wa al-Qur’ān: Dirāsah Naqdiyyah, terjemah Burhanudin Dzikri, Membongkar Ideologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2008).
Amin Syukur, dalam kata pengantar Noor Ahmad dkk, Epistemologi Syara’: Mencari Format Baru Fiqh Indonesia.
Amin Abdullah, Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fiqh dan Dampaknya pada Fiqh Kontemporer, dalam Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, (Ar-Ruz, 2002).
Anton Bekker, “Metodologi Penelitian Filsafat”, dalam lampiran bukunya, Metode-Metode Filsafat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984).
Cristoper Berry Gray (ed.), The Philosophy of Law an Encyclopedia, (Vol. I, Grland Publishing, Inc., 1999).
Husaini Usman dan P. Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996).
Idem dan A. Pitlo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, (Bandung: PT Citra Agitya Bakti, 1993).
Jeffrie G. Murphy dan Jules L. Coelman, The Philosophy of Law an Introduction of Jurisprudence, (San Francisco&London: Westview Press, 1990).
M. Amin Abdullah (ed.et.al.), Antologi Studi Islam: Teri dan Metodologi, (Yogyakarta: IAIN Suka, 2000).
Mertohadikusumo, Ilmu Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1988).
M. In’am Esha, Muhammad Syahrur: Teori Batas dalam Khudori Soleh dkk, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003).
Mubarok, Ahmad Zaki., Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir al-Qur’an Kontemporer “ala” M. Syahrur, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2007).
Muhammad Sa'îd Ramdhân al-Bûthî, Dhawâbith al-Mashlahah (Beirût: Dâr al-Fikr, t.t).
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rakesarain, 1996).
Syahrur, Muhammad, Dirāsah Islamiyyah: Nahw Ushūl Jadīdah Li al-Fiqh al-Islamī, terjemah Sahiron Syamsuddin, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (Yogyakarta: eLSAQ Press: 2008).
__________________, Al-Kitab wa Al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, (Damaskus: Dar al-Ahali, 1990).
__________________, Nahwa Ushul Jadidah Li al-Faqih al-Islami, (Damaskus: Al-Ahali, 2000).
__________________, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, (Sleman Yogyakarta: 2004)
Syamsul Anwar, Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Modul Pasca Sarjana UIN-SUKA, 2006)
Syamsul Anwar, Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam, dalam Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh kontemporer, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002).
Qaradhawi, Yusuf., Fatwa-Fatwa Kontemporer, Terj. Oleh Drs. As’ad Yasin, (Jakarta: GIP, 1995).
Taupiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan modernitas, studi atas pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung, 1989)
Manhaj, Vol. 2, Nomor 2, Mei – Agustus 2014
Suansar Khatib;Metode Ijtihad Syahrur
12
13
* Penulis adalah dosen IAIN Bengkulu