PERBEDAAN QIRÂ’ÂT AL-QUR’AN
DITINJAU DARI KAIDAH BAHASA ARAB
Ekawati
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, DPK Sekolah Tinggi Agama Islam Alhikmah,
Jln. Jeruk Purut No. 10, Cilandak Timur Pasar Minggu Jakarta Selatan 12650,
Telp: 021-7890521
Email:
[email protected]
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji dan mendiskripsikan secara analitis perbedaan qirâ‟ât alQur‟an ditinjau dari kaidah Bahasa Arab. Tulisan ini menggunakan metode kualitatif. Dan untuk
membahas persoalan yang ada dalam tulisan ini, penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library
research), dengan pendekatan metode analisis komprehensif dan komparatif. Penulis meyimpulkan bahwa
perbedaan qirâ‟ât al-Qur’an ditinjau dari aspek qawâ`id bahasa Arab meliputi mustawâ sharfî (aspek
morfologi), dan mustawâ nahwî (aspek sintaksis).
Kata Kunci: qirâ‟ât, kaidah
Abstract
The aim of this research is to analyze and describe analitically the difference in " qirâ‟ât al-Qur‟an"
from the point of view of Arabic language structure. The writer applies qualitative method. In discussing
the problems of this research, she applies library research by using comprehensive and comparative
approaches. The result shows that the difference in "qirâ‟ât al-Qur’an" analyzed by " qawâ`id" aspects in
Arabic language can be classified into "mustawâ sharfî" (morphological aspects), and " mustawâ nahw"
(syntactic aspects). Key Words: qirâ‟ât, the arabic language structure.
Pendahuluan
Qirâ‟ât, baik yang disepakati atau diperselisihkan membacanya, adalah wahyu yang
diturunkan oleh Allah SWT dengan menggunakan bahasa Arab kepada Nabi Muhammad SAW.
Bahasa Arab dalam perkembangannya, sebagaimana yang sudah dipaparkan, mempunyai aturanaturan dan ketentuan yang harus dipatuhi oleh sipemakai bahasa itu sendiri. Aturan-aturan dan
ketentuan itulah yang disebut dengan qawâ`id atau undang-undang.
Qawâ`id bahasa Arab, dalam pembahasannya, selalu diawali dengan pembicaraan
tentang bentuk-bentuk pembagian kata (kalimah), yaitu: ism (kata benda), fi`il (kata kerja), dan
harf (huruf). Masing-masing kata, khususnya ism dan fi`il dalam proses perubahannya, tentu
sesuai dengan kebutuhan maknanya, mempunyai aturan-aturan atau kaidah tersendiri pula. Setiap
bentuk perubahan, berupa penambahan atau pengurangan, baik huruf atau harakah, selalu ada
pola dan timbangan yang dijadikan acuan, yang di dalam qawâ`id biasa disebut al-wazn. Proses
pembentukkan dan perubahan kata (ي
) اشdalam qawâ`id biasa disebut tashrîf.
Metodologi Penelitian
Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif yakni merupakan prosedur penelitian yang
menurut Taylor," menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis. (Taylor dalam Lexy J.
Moleong, 2000: 4-6). Adapun karakteristik penelitian kualitatif antara lain adalah ia akan
berlangsung dalam latar belakang yang alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan,
peneliti sendiri merupakan alat pengumpul data yang utama, analisis datanya dilakukan
secara induktif, dan penelitian ini juga lebih menghendaki arah bimbingan penyusunan teori
substantif yang berasal dari data, maksudnya adalah bahwa penyusunan teori di sini berasal
dari bawah ke atas, yaitu dari sejumlah bagian yang banyak data yang dikumpulkan dan
yang saling berhubungan. Karakteristik penelitian kualitatif ini merupakan hasil pengkajian
dan sintesis antara dua versi Bogdan & Biklen (1982) dan Lincoln & Guba (1985). (Taylor dalam
Lexy J. Moleong, 2000: 6).
Dari pendekatan ini diharapkan bisa ditarik interpretasi atau deskripsi-analitis tentang
perbedaan qirâ‟ât yang berhubungan dengan kaidah Bahasa Arab. Untuk membahas persoalan
yang ada dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library research),
dengan pendekatan metode analisis komprehensif dan komparatif. Artinya, penulis mengkaji
beberapa pendapat para ulama yang membahas tema yang serupa, kemudian penulis mencari sisi
perbedaan dan persamaan atas kajian tersebut.
Hasil dan Pembahasan
Menurut `Abduh al-Râjihî dalam al-Lahjât al-`Arabiyyah fi al-Qirâ‟ât al-Qur‟âniyyah
menyatakan bahwa perbedaan qirâ‟ât yang berhubungan dengan aspek kebahasaan meliputi:
pertama, aspek fonetik (al-mustawâ al-shautî). Kedua, aspek morfologi (al-mustawâ al-sharfî).
Ketiga, aspek sintaksis (al-mustawâ al-nahwî). Keempat, aspek semantik (al-mustawâ al-dilâlî).
(lihat `Abduh al-Râjihî, 1999: 113-237) Sedangkan untuk pembahasan yang berkaitan dengan
kaidah bahasa Arab hanya pada aspek morfologi dan aspek sintaksis saja.
Aspek Morfologi (al-Mustawâ al-Sharfî)
1. Ism dan Musytâq
a. Dhamîr
1) Dhamîr Mufrad Mutakallim
Ulama berbeda pendapat dalam membaca firman Allah ( أ أحيana uhyî) mereka
membacanya dengan cara membuang alif dalam lafazh ( أana) ketika mewashalkan,
kecuali Abû ja`far dan Nâfi` yang membaca dengan memakai alif setiap kali washal
bertemu dengan hamzah dalam al-Qur’an. Contoh
( أ أحي أ أخanâ uhyî wa anâ
akhûka). Kecuali pada ayat yang berbunyi ( أ ا ي م يin ana illa nażîrummubîn).
2) Dhamîr Ghâ‟ib
Ulama berbeda pendapat dalam membaca firman Allah ي م
( فfa‟alqihi ilaihim). Ibn
Katsîr dan Ibn `Âmir serta al-Kisâ’î membacanya dengan ي م
( فfa‟alqihî ilaihim)
dengan cara mewashalkannya dengan yâ‟, sedangkan Âshim dan Hamzah membacanya
dengan ي م
( فfa‟alqih ilaihim) dengan mensukunkan hâ‟ .
3) Dhamîr Ghâ‟ib, mutsannâ dan jama`
Ulama berbeda pendapat dalam mendhammahkan hâ‟ atau mengkasrahkannya dari
dhamîr tatsniyah ataupun jamak apabila terletak setelah yâ‟ sukûn seperti (alaihum wa
ilaihum wa ladaihum wa alaihuma, wailaihumâ wafîhumâ, wa`alaihunna wailaihunna
wafîhunna wa „abîhunna, watarmihum wamâ nurîhum). Ya`kûb membacanya dengan cara
mendhamahkan hâ‟, sedangkan Hamzah sepakat dengan Ya`kûb pada lafazh alaihum
wailaihum, sementara pada lafazh-lafazh lainnya dengan cara mengkasrahkan hâ‟.
b. Ism Maqshûr dan Ism Mamdûd
Ulama berbeda pendapat dalam membaca firman Allah ( دdakkan). Ibn Kastîr, Nâfi`
Abû `Amr Ibn Âmîr membacanya dengan cara tanwîn yang maqshûrah ( دdakkan).
Sedangkan Hamzah dan Kisâ’î membacanya dengan cara mamdûd tanpa tanwin yaitu lafazh
( د ءdakkâ‟an).
c. Ism Mashdar
Bentuk mashdar dari fi`il tsulâsî sebagian besar termasuk simâ`î (hasil pendengaran)
sekalipun ulama menjadikannya sebagai qiyâsî dalam bentuk atau lafazh lainnya. Berikut ini
adalah beberapa qirâ‟ât dalam bentuk mashdar yang dinisbatkan sebagai lahjah.
1) Jumhur ulama membaca firman Allah
ب اء م تع
م
ب ا يم أبي
(waiż qâla
ibrâhîmu liabîhi waqaumihi innanî barâ‟un mimma ta`budûn).
2) Jumhur ulama membaca lafazh ( ابkiżżâba) dengan mentasydîd żâl yaitu bentuk mashdar
dari lafazh
(każżaba).
3) Kisâ’î membaca lafazh ( ب ع مbizu`mihim) dengan mendhammahkan huruf zai, sedang
imam tujuh yang lain membacanya dengan fathah zai.
Keutamaan dua qirâ‟ât yang pertama adalah tidak ada perbedaan pendapat di kalangan
ulama atas kedua lafazh tersebut, yang menunjukkan bukti atas kekhususan dialek selain
Hijâz yang telah dikenal sehingga tak tampak silang pendapat di kalangan para qurâ’.
Adapun bacaan yang pertama yaitu lafazh ( ب اءbarrâ‟), merupakan mashdar dari fi`il
tsulâtsî, Abû Hayyân mengatakan bahwa mashdar ( ب اءbarâ‟) adalah dialek kaum al`Âliyah atau `Âliyah Najd yang terdapat di pedusunan Arab (suku Arab Badui). Adapun
bacaan yang kedua yaitu ( ابkidzâban), merupakan fi‟il tsulâtsî mudhâ‟af al-„ain (fi`il
yang ditasydîd `ain fi`ilnya), adapun analoginya dalam bahasa Arab adalah wazan “taf`îl”.
Abû Hayyân mengatakan bahwa ia diambil dari dialek Yaman.
Adapun bacaan yang ketiga yang merupakan bacaan al-Kisâ’î adalah lafazh ( ب ع مbi
zu‟mihim), ulama berkata bahwa fathah dan dhamah adalah mashdar dari fi`il tsulâtsî.
Dhamah (zu`mihim) merupakan dialek Bani Asad.
d. Shîghah al-Mubâlaghah
Adapun shîghah mubâlaghah yang diderivasi dari wazan ( ف عfâ`ilun) yang
menunjukkan makna lebih atau banyak memiliki lima wazan; ( فعfa`âlun), ( م عmif`âlun),
( فعfa`ûlun), ( فعيfa`îl), ( فعfa`ilun). Demikian pula wazan-wazan lainnya seperti wazan
fi`îîlun (dengan dikasrah fa` fi`il dan ditasydîd `ain fi`ilnya), contoh lafazh sikkîr, wazan
maf`îl seperti lafazh ma`thîr, wazan fu`alah seperti lafazh humazah, atau wazan fâ`ûl seperti
lafadz fârûq, dan lain-lain.
Berikut ini adalah contoh shîghah mubâlaghah:
Ulama berselisih pendapat dalam membaca ayat ( ئ فlaraûfun) Ibn katsîr, Nâfi` dan
`Âshim, membacannya dengan qirâ‟ah ( ئ فlaraûf) dari wazan ( فعfa`ûl) dalam semua
lafazh dalam al-Qur’an. Sedangkan `Âshim, Abû Amr, Hamzah dan Kisâ’i membacanya
dengan lafadz ( فlara‟uf) dari wazan ( فعfa`ul). Sedangkan jumhur ulama membaca ayat
berikut ini dengan ا
( م ا م اwamakarû makran kubbârâ), lafazh kubbâran wazan فع
(fu`âl).
2. Fi`il
a. Antara Wazan fa``ala dan af`la
Fi`il tsulâtsî mujarrad terkadang berbentuk lâzim (fi`il yang tidak memerlukan maf`ûl)
dan terkadang pula berbentuk muta`adî (fi`il yang memerlukan maf`ûl). Dalam kondisi
mujarrad bermakna ia membutuhkan kepada maf`ûl, para ahli qirâ‟ât menjadikannya
sebagai tambahan dan hamzah termasuk di antara tambahan tersebut. Yang diikutkan
dalam fi`il sehingga menjadi muta`adî. Akan tetapi ditemukan pula dialek yang
menggunakan fi`il tsulîtsî mazîd dengan hamzah. Sementara di lain sisi -dalam dialek laintidak berbentuk mazîd. Sekalipun arti keduanya adalah sama. Contohnya adalah ayat yang
berbunyi ( م خ م آيmâ nansakh min âyatin). Ulama berselisih pendapat dalam membaca
ayat ini, hanya Ibn `Âmir yang membacanya dengan خ
( مmâ nunsikh), sedang ulama
yang lain membacanya dengan (mâ nansakh). Atau pada ayat
( ا يحwa lâ yahzunka)
atau ayat ( ا يح مwa lâ yahzunhum). Abû Ja`far dan Nâfi’ membacanya dengan
(yuhzinka-yuhzinhum), sedang yang lain membacannya dengan (yahzunka-yahzunhum).
b. Antara Wazan Taf`îl dan Mufâ`alah
Wazan taf`îl dalam kaidah bahasa Arab mempunyai faidah litaktsîr (untuk menunjukkan
arti banyak), sedangkan wazan mufâ`alah mempunyai faidah li al-musyârakah (untuk
menunjukkan arti saling). Akan tetapi terkadang ada qirâ‟ât al-qur’an yang
menggabungkan dua wazan tersebut pada satu fi`il. Ashhâb al-ihtijâj mengatakan bahwa
kedua qirâ‟ât tersebut mempunyai satu makna. Hal tersebut terkadang dibenarkan, karena
tidak semua fi`il yang mengikuti wazan taf`îl itu menunjukkan arti banyak, dan tidak semua
yang mengikuti wazan mufâ`lah itu menunjukkan arti saling. Seperti firman Allah yang
berbunyi `(ع ف ه ت هâfâhullâh wa qâtalahullâh).
Contoh lain terdapat pada firman Allah yang berbunyi
( ا تصع خwalâ tusha`ir
khaddaka linnâs). Ibn Katsîr, `Âshim, dan Ibn `Âmir membacanya dengan ( ا تصعwa lâ
tusha``ir) dengan tanpa alif dan ditasydîd huruf `ainnya., sedang imam lain membacanya
( تص عtushâ`ir) -dengan memakai alif-.
Dalam contoh ini, kedua qirâ‟ât tersebut terdapat didalamnya fi`il yang mengikuti dua
wazan yang berlainan yaitu wazan ( فعfa``ala) dan wazan ( ف عfâ`ala). Dalam hal ini
perbedaan binâ‟ atau bentuk dapat menimbulkan perbedaan makna, akan tetapi para ulama
seringkali menggunakan kedua wazan tersebut untuk makna yang sama. Abû `Alî
menyebutkan bahwa ada beberapa fi`il yang mempunyai dua wazan tetapi satu makna,
seperti lafazh ( ضعفdha`ufa) dan( ض عفdhâ`afa) , maka wazan ( م عmufâ`alah) yaitu
termasuk lahjah Hijâz dan wazan ( ت عيtaf`îl) termasuk lahjah Bani Tamîm.
Aspek Sintaksis (Al-Mustawâ al-Nahwî). (`Abduh al-Râjihî, 1999: 211-227)
1. Grammatical Categoris (Ism jenis)
Ism Jenis termasuk grammatical categoris terpenting yang nampak dalam fenomena
bahasa. Yang jelas bahwa bahasa-bahasa yang ada itu tidak mempunyai aturan baku untuk
membedakan sesuatu dari segi jenisnya. Seperti yang terjadi pada bahasa Arab misalnya yang
mempunyai aturan penentuan muannats dengan mempunyai tanda hâ‟ dan alif serta alif
mamdûdah, di lain sisi terdapat pula isim yang tidak mempunyai tanda muannats seperti
lafazh
( شsyams). Ini adalah contoh perbedaan ism jenis yang disebabkan perbedaan
lahjah.
Sebagai contoh, Ibn Katsîr membaca ayat yang berbunyi مي
ي ا
ي
(walitastabîna sabîl al-mujrimîn) dengan membaca tâ‟ lafazh tastabîna dan rafa` lafazh
sabîlu. Sedangkan Abû Bakr membacanya dengan مي
ي ا
( ي يwaliyastabîna sabîlu)
-dengan dibaca yâ‟ lafazh yastabîna dan merafa`kan lafazh sabîlu-. Kaitannya dengan lahjah
lafazh sabîlu, satu riwayat menyebutkan bahwa lafazh ( يsabîlu) itu mużakkar menurut
Ahli Tamîm dan Ahli Najd, dan muannats menurut Ahli Hijâz.
Yang jelas tidak ada alasan yang baku bagi satu lahjah atau satu bahasa untuk
menentukan jenis kata tersebut, tidak dapat diketahui mengapa orang-orang prancis
menentukan muannats “kata” pintu ( La porte) dan menentukan mużakkar kata “matahari”
(Le soleil).
2. Mâ’ (menurut Ahli Hijâz dan Tamîm)
Ulama nahwu menyebutkan bahwa mâ‟ itu dapat masuk kepada jumlah ismiyah yang
dapat merafa`kan ism dan menashabkan khabar. Hal ini menurut Ahli Hijâz. Sedang menurut
lahjah Bani Tamîm tidak dapat mengamalkan sesuatu. Berikut ini contoh qirâ‟ât yang
terdapat dua lahjah di dalamnya:
a. `Âshim membaca ayat أم ت م
( مmâ hunna ummahâtuhum) dengan membaca dhammah
tâ’, sedang ulama lain membacanya dengan nashab.
b. `Abdullâh ibn Mas`ûd membacanya dengan bâ‟ di awal ب م ت م
( مmâ hunna
biummahâtihim).
c. Jumhur ulama membacanya ayat ( م ا بش اma haża basyaran) dengan membaca nashab,
sedang Ibn Mas`ûd membacanyanya dengan ( م ا بشmâ haża basyarun) dengan dibaca
rafa`.
Berikut ini adalah qirâ‟ât yang kami temukan yang menggambarkan sintesis di atas yaitu:
1)
Huruf mâ‟ yang dapat menashabkan khabar.
2)
Huruf mâ‟ yang tidak beramal.
3)
Terkadang khabar mâ‟ disertai dengan bâ‟
4) Ibn Mas`ûd berpandangan bahwa qirâ‟ât khabar itu dapat dibaca rafa` atau disertai bâ‟,
sedangkan `Âshim berpandangan -dalam sebagian riwayat- bahwa qirâ‟ât khabar itu
hanya dibaca rafa` selaiknya bacaan yang hidup di tradisi ulama Kûfah. Kemudian
seluruh ulama sepakat bahwa pengamalan mâ‟ yang sama dengan laisa adalah dialek
ulama Hijâz. Berbeda dengan dialek Tamîm yang tidak menyamakannya.
Seandainya hal di atas benar, maka sesungguhnya fenomena ini merupakan peralihan dari
pengamalan mâ‟ yang menashabkan khabar kepada ketidak beramalnya mâ‟ atau
penyertaan bâ‟ dalam khabar. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa bahasa
musytarak dalam konteks pembahasan di atas, tidak diambil dari dialek kaum Hijâz.
3. Dhamîr al-Fashl
Dhamîr al-Fashl dalam bahasa Arab itu berfungsi sebagai ta‟kîd, namun tidak memiliki
mahal (kedudukan) dalam i`râb, akan tetapi dalam beberapa lahjah dapat memberikannya
mahal dalam i`râb.
Berikut ini contohnya:
a. Jumhur ulama membaca kalimat
اح م ع
(inkâna huwa al-Haqqa min
`indika) dengan menashabkan lafazh ( ا حhaqqa), Sedangkan A`masy dan Zaid Ibn `Alî
membacanya dengan rafa`.
b. Jumhur ulama membaca kalimat ي
ما
(lâkin kânû hum al-zhâlimîn) dengan
nashab, sedangkan `Abdullâh dan Abû Zaid membacanya dengan rafa` yaitu
( اalzhâlimûn).
Dapat disimpulkan, bahwa tidak beramalnya dhamîr al-fashal itu lebih dipakai dalam
bahasa Arab mengingat para ahli qirâ‟ât sab`ah sepakat dengan hal ini, sedangkan
pandangan yang mengamalkan dhamîr al-fashl lebih dipilih oleh para ahli qirâ‟ât yang
syażżah.
4. Mutsannâ
Mutsannâ dalam setiap dialek bahasa Arab tidak selalu dibaca rafa` dengan alif, dan juga
tidak dinashabkan atau dijarkan dengan yâ‟. Tetapi terdapat lahjah yang mengharuskannya
dii`râbi dengan alif, dan dalam lahjah lainnya dii`rabi dengan nûn.
Adapun contoh mutsnnâ dengan alif adalah sebagai berikut:
a. Ulama berbeda pendapat dalam membaca ayat ح ا
ا
(in hażânî lasâhirâni). Abû
`Amr membacanya dengan
( يhazaini), sedang yang lain membacanya dengan
mentasydîdkan nûn pada lafazh (inna) , dan ( اhażâni) dengan memakai alif .Dan ini
selaras dengan pendapat al-Syanbû î, al-A`masy, dan thalhah.
b. Abû Sa`îd al-Khudrî membaca ayat ( ف أب ا م م يfakâna abawâhu mu‟minâni) dengan
memakai alif lafazh ( م م يmu‟minâni).
Adapun Bacaan yang pertama menjelaskan bahwa para ahli qirâ‟ât sab`ah selain Abû
`Amr membaca mutsannâ‟ dalam kondisi nashab dengan alif.
Dengan demikian bahwa lahjah di atas itu berasal dari semenanjung timur jazirah Arab,
yang Bani tamîm hidup di dalamnya, dan dekat dengan Makkah yang bani Kinânah
berdomisili di dalamnya, serta di Yaman bagian utara yang dihuni oleh kabilah-kabilah
yaman.
5. Fi`il, fâ`il dan Nâ‟ib al-fâ`il
Fi`il dalam bahasa Arab tidak sesuai dengan fi`il dan fâ`ilnya baik dalam bentuk mufrad,
tatsniyah, dan jamak. Melainkan ia mufrad dalam setiap kondisi, sekalipun terdapat lahjah
yang menyesuaikan antara fi`il, fâ`il, dan nâ‟ibnya, yang dikenal dengan bahasa
أ ي
( ا اغيakalûnî al-barâgîts).
Berikut ini adalah contoh-contohnya:
a. Ulama sepakat dalam ayat ا
ا ي
( أ ا اwa asarru al-najwâ al-lażîna zhalamû)
b. Ulama juga sepakat dalam membaca ayat ( م ع ا ص ا ي م مtsumma `ammû
washammû katsîrun minhum).
6. Badal Tamîmî
Badal tamîmî disebut juga dengan ism yang terletak setelah( اilla) yang disebut sebagai
istitsnâ‟ munqathi`. Dalam riwayat dialek Ahli Hijâz sepakat bahwa ism yang terletak
setelah ( اilla) itu dibaca nashab. Dan Bani tamîm menyamakannya dengan ism yang
terletak sebelum illa.
Berikut ini adalah Contohnya:
a. Ulama membaca ayat ( م فع ا ي م مmâfa`alûhu illa qalîlun minhum) dengan dibaca
rafa` lafazh ( يqalîlun), kecuali Ibn `Âmir yang membacanya dengan ( ا يا م مilla
qalîlan minhum).
b. Jumhur ulama membaca ayat ا اب غ ء ج ب اأع
( م أح ع م ع تwa mâ li
ahadin `indahu min ni`matin tujza illa ibtighâ‟a wajhi rabbihi al-a`lâ), dengan
menashabkan hamzah (ibtighâ‟a), sedangkan Yahyâ ibn Witsâb membacanya dengan illa
ibtiughâ‟u (dengan dibaca rafa`)
7. Ism ghair munsharif (al-Mamnu` min al-sharf).
Ism ghair munsharif menurut para ulama, dii`rabkan dengan dhammah ketika rafa`, dan
dibaca fathah ketika nashab dan jar, kecuali jika disandarkan dengan alif lâm. Terkadang
mereka membaca tanwîn oleh sebab darurat atau terkait dengan munâsabah.
Contohnya adalah sebagai berikut:
a. Ulama berbeda pendapat dalam bacaan ( ت ا يkânat qawarîra), Abû Ja`far, Nâfi`,
Ibn Katsîr, dan Kisâ’î membacanya dengan tanwîn lafazh ( ا ي اqawarîran), sedang
yang lain membacanya dengan tanpa tanwîn.
b. A`masy membaca ayat يع
( ا يغwalâ yaghûtsan waya`ûqan) dengan dibaca
tanwîn.
Demikianlah pendapat `Abduh al-Râjihî seputar qirâ‟ât yang berhubungan dengan kaidah
kebahasaan yang meliputi aspek morfologi dan aspek sintaksis. Dari sini penulis menyimpulkan
bahwa sebenarnya substansi perbedaan qirâ‟ât antara ulama yang satu dengan ulama yang
lainnya berpendapat sama, yang membedakan hanyalah istilah yang mereka pakai.
Adapun ragam pengungkapam qirâ‟ât al-Qur’an yang berkaitan dengan kaidah bahasa
Arab adalah sebagai berikut:
1. Perubahan Bentuk Ism
Di antara bentuk perubahan qirâ‟ât al-Qur’an adalah berupa perubahan bentuk ism (kata
benda). Perbedaan qirâ‟ât yang berkaitan dengan perubahan bentuk ism meliputi bentuk
mufrad (tunggal), mutsannâ (dua), jama` (jamak), tażkîr (laki-laki), ta‟nîts (perempuan),
dan perubahan shîghah (bentuk kata). Contoh perubahan Bentuk Ism dari Bentuk
Mutsannâ ke Bentuk Jama`
Perubahan ism dari bentuk mutsannâ ke bentuk Jama`, maksudnya satu versi qirâ‟ât
membaca dengan bentuk mutsanna (dua) dan versi lain membaca dengan bentuk jama`
(banyak). Seperti terdapat pada surat al-Mâ’idah ayat 107 yang berbunyi:
َ قق قك ق ق
ق
َ ك ق ققٓ ق
ق ق َٓ م قق ق ق قك
َۡݎ
ق
ق
ق
ق
ك
ق
ۡ َان ۡݘݐاههݙا ۡݘلݚ ۡٱ
ۡ ليݜٱستح
ِن ۡقݐَݘ ل
فإلنۡ ۡع لِ ۡل ۡأنهݙا ۡٱستحݐۡا ۡإلثݙا ۡفۡٔارا ل
قق ك ق ق
ق
ۡ ۡ٧ۡ...ݚ
ۡعݖي لهݗۡٱۡوليٰ ل
ۡ
Artinya:
Jika diketahui bahwa kedua (saksi itu) membuat dosa, Maka dua orang yang lain di
antara ahli waris yang berhak yang lebih dekat kepada orang yang meninggal
(memajukan tuntutan) untuk menggantikannya… (Q.S. al-Mâ’idah 5: 107)
Lafazh اأ يdalam bentuk mutsannâ bentuk mufradnya adalah أ, dibaca oleh Abû
Bakr dan Hamzah dengan bentuk jama` yaitu lafazh اأ يyang dibaca majrûr, dan
dibaca oleh Imam yang lain اأ يdengan bentuk mutsannâ yang dibaca rafa`. ( Abî
Muhammad Makkî ibn Abî Thâlib al-Qaisiyyi, 1984: 420)
Adapun alasan yang membaca al-awlayâni bahwa lafazh tersebut adalah bentuk
mutsannâ dari lafazh awlâ , dan takdirnya adalah صي ا يت
ب ش د ع
( أyang lebih
dekat dijadikan saksi untuk menerima wasiat si mayit), adapula yang yang mengatakan
. ب يت م غي
( أyang lebih dekat dengan simayit dari pada yang lainnya). Sedangkan
alasan yang membaca al-awwalîna bahwa lafazh tersebut adalah bentuk jama` dari dari
lafazh awwal, dan takdirnya adalah ( م اأ ي ا ي ا ح ع ي م اإيص ء أ اإ مdi antara
orang-orang yang lebih dekat dan berhak untuk diberikan wasiat). Selain itu juga bahwa
penggunaan lafazh al-awwalîna karena terkait dengan ayat sebelumnya yaitu ي أي ا ي
آم ا ش د بي م. . Dengan demikian dalam konteks ini yang lebih sesuai adalah penggunaan
lafazh al-awwalîna.
Dari sisi i`râb kedua bacaan tersebut mempunyai alasan masing-masing. Adapun alasan
bagi yang membacanya dengan al-awlayâni (i`râb rafa`) adalah: Pertama, lafazh alawlayâni sebagai fâ`il dari fi`il
( ا حmabnî li al-ma`lûm). Kedua, lafazh al-awlayâni
sebagai badal dari alif al-itsnain/alif al-tatsniyah pada kata ي م. Ketiga, lafazh tersebut
sebagai badal dari kata ف خ ا. Keempat, lafazh tersebut sebagai mubtada’ muakhkhar,
sedangkan khabarnya adalah ف خ ا. Kelima, bahwa lafazh tersebut sebagai khabar dari
lafazh ف خ ا.
Sedangkan bagi yang membacanya dengan ( اأ يal-awwalîna) beralasan pada i`râb
lafazh tersebut yang berkedudukan sebagai na`at lafazh ا يatau badal dari lafazh ا ي
( ا حallażînastuhiqqa) yang dijarkan (majrûr) dengan min. Lafazh ustuhiqqa adalah
fi`il mabni li al-majhûl.
Dalam hal ini penulis cenderung kepada pendapat mayoritas ulama yaitu menggunakan
lafazh al-awlayâni (bentuk tatsniyah dari lafazh awlâ) yang takdirnya adalah ب صي
أ
ب ي ا ا ب يت. Di sini penulis melihat bahwa antara lafazh al-awlayâni dan lafazh alawwalîna keduanya mempunyai maksud yang sama yaitu “ahli waris atau kerabat
terdekat dengan mayit (yang paling berhak mewaris)”.
2. Perubahan Bentuk Fi`il
Perubahan bentuk fi`il meliputi bentuk mâdhî- mudhâri`- amr, mujarrad- mazîd, lâzimmuta`addî, dan ma`lûm-majhûl.
Contoh perubahan Bentuk Fi`il Mâdhî.
Perubahan bentuk fi`il dari segi zaman atau masa, sepert dari fi`il mâdhî (masa lalu) ke
fi`il mudhâri` (masa sekarang atau akan datang) terdapat dalam surat al-Baqarah ayat
184 yang berbunyi:
قق قق َ ق ق م قكق ق
َ كٞۡۡر
َفݙݚۡتطَعۡرۡاۡفه
ۡ ۡ٤...ّۡۡۡۡۥ
ۡ
Artinya:
...Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang
lebih baik baginya...(Q.S. al-Baqarah 2: 184)
Lafazh
( تtathawwa`a) dalam bentuk fi`il mâdhî dibaca oleh Imam lain
ي
(yuthawwi`u) dengan bentuk fi`il mudhâri`.
Perubahan bacaan pada fi`il, seperti perubahan pada fi`il mâdhî dan fi`il mudhâri` (seperti
ayat ini), dari segi maknanya tentu dapat mengubah makna lafazh. Yaitu lafazh
تyang
berarti “telah merasa patuh” dan lafazh
يyang berati “akan merasa patuh”. Akan
tetapi bila dilihat dari segi maksud atau kandungan ayat, perubahan bacaan di atas tidak
ada pengaruhnya, karena dhamîr (kata ganti) yang tersembunyi pada kedua bacaan itu
sama yaitu
(dia) yang kembali kepada ism maushûl ( ) مsesudahnya.
3. Perubahan Bentuk I`râb
I`râb adalah perubahan harakah akhir suatu kata karena ada perbedaan `awâmil yang
masuk, baik dalam bentuk lafazh ataupun diperkirakan. (Al-`Asymâwî, t.th: 9-10).
Perubahan bentuk i`râb bisa terdapat pada ism atau fi`il. Contoh perubahan i`râb pada ism
terdapat pada surat al-Mâ’idah ayat 45 yang berbunyi:
ق
ققق ق قق
ق ق ق ق
َقٓ ق
ق كك ق
ق
ق
ق
ق
َ
َ
ۡن
ۡ ݛف ۡ ۡوٱۡذ
ۡي ۡبۡ لٱلع ل
ۡ س ۡوۡٱلع
ۡ س ۡبۡ لٱنݍ ل
ۡ وكتبݜا ۡعݖي لهݗ ۡفليها ۡأن ۡٱنݍ
ۡ ݛف ۡۡب لٱۡ ل
ۡ ۡي ۡوۡٱ
كك
ٞ
ق
ق
ّ
ّ
َ
ق
ق
ّ
ك
ك
ۡلس ل
ۡ لس
ۡ ݚۡوۡٱۡا
ۡۡب لٱۡذ ل
ۡ ۡ٥ۡ...ۡوحۡݏ لصاص
نۡوۡٱ ل
ݚۡبۡ لٱ ل
ۡ
Artinya:
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga,
gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya… (Q.S. al-Mâ’idah 4: 45)
Lafazh
ا
ا
ا عي اأ ف اأdibaca oleh Kisâ’i dengan rafa` pada huruf akhirnya
(al-`ainu, al-anfu, wa al-użunu, wa al-sinnu wa al-jurủhu), sedangkan Imâm yang lain
membacanya dengan nashab (al-`aina, al-anfa, wa al-użuna, wa al-sinna wa al-jurủha).
Untuk lafazh
اoleh Nâfi`, `Âshim, dan Hamzah dibaca nashab (wa al-jurủha)
sedang oleh Imâm yang lain dibaca rafa` (wa al-jurûhu).
Adapun alasan bagi yang merafa`kan lafazh tersebut karena di-athaf-kan pada maudhi`
(kedudukan) lafazh al-nafs. Karena lafazh
masuk kepada ibtidâ‟, dan jika sudah
sempurna kalimat tersebut setelah menyebutkan khabarnya yaitu
ب, maka lafazh
ا عيdiathafkan kepada maudhi`nya (kedudukannya sebagai ibtida‟) dan bukan sebagai
ism (dibaca nashab).
Sedangkan alasan yang membacanya dengan nashab karena lafazh ا عيdi-athaf-kan
kepada lafazh
اyang berkedudukan sebagai ism . (Abû Muhammad Makkî ibn
Abî Thâlib al- Qaisiyyi, 1984: 409)
4. Perubahan Bentuk Ibdâl
Pengertian ibdâl dalam qirâ‟ât adalah pergantian huruf dengan huruf dalam satu kata dan
pergantian lafazh dengan lafazh lain dalam suatu ayat serta pergantian harakah. ibdâl ini
bisa terjadi pada ism, fi`il dan harf. Contoh Pergantian Huruf dengan Huruf pada Ism.
Contohnya terdapat pada surat al-Nisâ’ ayat 145 yang berbunyi:
َ
ق ق
ق َ ق ق ق ق قك ق
نۡٱل كݙ قنٰݍݐ ق
َ يِۡۡٱ
ً
ۡ ۡ٥ِۡۡݚَۡܯۡلهݗۡݛ لص
ل
و
ۡ
ۡ
ار
ن
ٱ
ۡ
لݚ
ݘ
ۡ
ۡ
ۡ
ۡ
ۡ
ل
ݍ
س
ٱ
ۡ
ۡكل
ر
د
ل
ل
إل
ل
ل
ل
ل
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling
bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun
bagi mereka. (Q.S. al-Nisâ’ 4: 145)
Para ulama Kủfah dari Imâm qirâ‟ât membaca lafazh
اdengan men-sukủn râ’,
sedangkan Imâm yang lain membacanya dengan mem-fathah-kannya. Keduanya
mempunyai kesamaan makna. Lafazh
( اal-darak) dengan memfathah râ’ lebih
banyak digunakan oleh para Imam.
`Âshim mengatakan jika lafazh
( اal-darak) dengan mem-fathah râ’, maka maknanya
adalah
( اal-suflâ) yang berarti tingkatan yang bawah dari neraka, lebih lanjut ia
mengatakan bahwa al-darak merupakan bentuk jamak dari lafazh
( اal-darakah)
seperti lafazh
اdan
ا, maka lafazh tersebut wajib disifati dengan lafazh
( اalsuflâ) dan bukan
( اأtempat yang paling bawah dari neraka). (Abû Muhammad Makkî
ibn Abî Thâlib al- Qaisiyyi, 1984: 401)
Sehubungan dengan makna
ا
م ا
( اأal-dark al-asfal min al-nâr) Ibn Katsîr
menafsirkannya dengan menukil pendapat al-Walibî yang meriwayatkan dari Ibn
`Abbâs, bahwa
م ا
اأ
( اal-dark) berarti “dasar neraka”. Selain Ibn `Abbâs
mengatakan bahwa neraka itu terdiri atas berbagai tingkatan dasar, sebagaimana surga
pun mempunyai berbagai tingkat ketinggian derajat. (Abû al-Żidâ’ Ismâ`il Ibn Katsîr alQuraisyî al-Dimsyiqî, t.th.: 666)
Sufyân al-Tsaurî meriwayatkan dari `Ashim, dari akwân Abủ Shâlih,
dari
Abủ
Hurairah
sehubungan
dengan makna
م ا
اأ
( اal-darak) yaitu
di dalam peti-peti yang dikocok-kocok, sedangkan mereka berada di dalamnya. Hal yang
sama diriwayatkan oleh Ibn Jarîr, dari Ibn Wakî`, dari Yahyâ Ibn Yamân, dari Sufyân alTsaurî dengan lafazh yang sama. (Abû al-Żidâ’ Ismâ`il Ibn Katsîr al-Quraisyî alDimsyiqî, t.th.: 666)
Ibn abi Hâtim meriwayatkannya dari al-Mun ir ibn Syâ ân, dari `Ubaidillâh ibn Mủsâ,
dari Isrâ’îl, dari `Âshim, dari Abû Shâlih, dari Abû Hurairah sehubungan dengan lafazh
di atas, dikatakan bahwa bagian yang paling bawah merupakan rumah-rumah yang
memiliki banyak pintu, lalu dikunci rapat-rapat, sedangkan mereka (orang-orang
munafik) berada di dalamnya, kemudian dari bagian bawahnya- juga dari bagian atasnyadinyalakan api neraka.
Dalam hal ini penulis melihat bahwa perbedaan qirâ‟ât di atas tidak berpengaruh
terhadap perbedaan makna dan maksud ayat, walaupun terdapat perbedaan dan
pergantian harakah pada lafazh tersebut.
5. Perubahan Bentuk Hażf dan Itsbât
Hażf (membuang) dan itsbât (menetapkan) adalah istilah lain dari naqsh (pengurangan)
dan ziyâdah (penambahan) dalam ilmu qirâ‟ât. Sebagian ulama qirâ‟ât memakai istilah
yang berbeda, untuk maksud yang sama, sebagaimana yang telah dijelaskan pada
pembahasan yang lalu.
Hażf dan Itsbât ini bisa saja terjadi pada huruf, seperti harf al-`athaf, harf al-jarr, dan
atau dhamîr. (Lihat Shubhi al-Shâlih , 1988: 111).
Contoh hażf dan itsbât pada dhamîr.
Hażf dan Itsbât pada dhamîr terdapat pada surat al-Hadîd ayat 24 yang berbunyi:
َ ق ق ق ك ق قق كك ق
ونۡٱنَ ق
ݚۡق قت قَ َلۡفقإ َنۡٱ َ ق
لۡ قو قݘ ق
نۡۡٱ ق
اسۡبۡٱۡك
ّۡ كه قَۡٱل قغ ي
ۡۡ لݙ ك
ۡ
ۡ َٱ
ۡ ۡ٤ۡيܯ
ۡ
ܮ
ۡ
ليݚۡقبܮݖَنۡويأها
ل
ل
ل
ل
Artinya:
...Dan Barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) Maka
Sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (Q.S. al-Hadîd 57:
24)
Kalimat ف ه ا غ ي ا ح يdibaca ole Nafi`dan Ibn `Amir dengan tidak memakai “
”, sedangkan Imam lain membacanya dengan memakai “
”, begitu pula pada
mushhaf ahli Kủfah, Bashrah, dan Makkah. (Abû Muhammad Makkî ibn Abî Thâlib
al- Qaisiyyi, 1984: 312)
6. Perbedaan dari Segi Taqdîm dan Ta‟khîr
Perbedaan qirâ‟ât dari segi taqdîm dan ta‟khîr artinya mendahulukan huruf atau lafazh
yang di belakang atau mengemudiankan yang dahulu.
Contoh perbedaan qirâ‟ât dari segi ini dapat dilihat pada surat Âli `Imrân ayat 195 yang
berbunyi:
ْ ق ققك ْ قك ك
ْ ق َ ق ق ق ك ْ قك ك
ْ قك ك
ق
ق
ٰ
ٰ
ۡ َ ۡفۡٱ...
َِۡيِ ۡوقتݖَِ ۡوݏتلݖ
ليݚ ۡهاجاوِ ۡوأر لاجَِ ۡݘلݚ ۡدلي لاهلݗ ۡوأوذوِ ل
ِۡ ۡسب ل ل
ّ قك قّق َ ق ك ق
ق
ۡٔ ۡك لݍانۡعݜهݗۡس ل
ۡ ۡ٥ۡ...ۡياه ل لهݗ
Artinya:
Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti
pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan
kesalahan-kesalahan mereka ...(Q.S. Ali `Imrân 3: 195)
Kalimat ا
ا
(wa qâtalû wa qutilû) dibaca oleh Hamzah, Kisâ’i dengan ا
( ت اwa qutilû wa qâtalû) yakni dengan mendahulukan fi`il mabnî li al-maf`ủl atas
fi`il mabnî li al- fâ`il, sementara Imâm lain membacanya dengan ا
( ت اwa
qâtalủ wa qutilû) yakni mendahulukan fi`il mabnî li al-fâ`il atas mabnî li al-maf`ủl
seperti pada ayat di atas, semua Imam membacanya dengan tanpa tasydîd yakni ا
(qutilû), kecuali Ibn Katsîr dan Ibn `Âmir membacanya dengan tasydîd
ا
(quttilû).(Abû Muhammad Makkî ibn Abî Thâlib al- Qaisiyyi, 1984: 373)
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan Utama tulian ini yaitu bahwa perbedaan qirâ‟ât al-Qur’an ditinjau dari aspek
qawâ`id bahasa Arab meliputi mustawâ sharfî (aspek morfologi), dan mustawâ nahwî (aspek
sintaksis).
Penelitian mengenai qirâ‟ât al-Qur’an merupakan langkah awal yang harus diikuti
dengan langkah-langkah lanjutan dengan melakukan kajian-kajian yang lebih mendalam lagi
dan lebih komprehensif.
Dengan adanya pembatasan masalah dalam tulisan ini, sudah tentu akan menyisakan
persoalan-persoalan dan memerlukan penelitian-penelitian khusus selanjutnya, misalnya
penelitian yang lebih mendalam lagi kepiawaiannya di bidang kebahasaan yang lain seperti
qirâ‟ât al-Qur’an kaitannya dengan ilmu balaghah dan sebagainya.
Setelah penulis menyimpulkan tulisan ini, maka ada beberapa hal yang ingin penulis
rekomendasikan kepada peneliti di bidang bahasa Arab Rekomendasi itu antara lain:
Pertama, untuk menggali dan mengungkap berbagai rahasia yang terkandung dalam kitab
suci al-Qur’an, melalui berbagai bentuk perbedaan qirâ‟âtnya, dapat diadakan kajian dan
penelitian lebih luas lagi di bidang kebahasaan yang lain.
Kedua, mengingat begitu pentingnya fungsi pengetahuan dan pemahaman bahasa Arab
dalam menjelaskan makna dan kandungan ayat khususnya yang berkaitan dengan perbedaan
bacaan al-Qur’an, para peneliti sebaiknya mengetahui dan mendalami seluk beluk bahasa Arab
dengan berbagai kaidahnya secara baik dan menyeluruh.
Daftar Pustaka
Abî Thâlib (ibn), Abû Muhammad Makkî, Kitâb al-Kasyf `an Wujûh al-Qirâ‟ât al-Sab` wa
`Ilalihâ wa Hijajuhâ, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1984. Cet. Ke-3.
Al-Qur‟ân al-Karim dan Terjemahnya, Madînah al-Munawwarah, Majma` Khâdim al-Haramain
al-Syârifain al-Malik Fahd Li Thabâ`ah al-Mushhaf al-Syarîf, t.th.
Moleong, Lexy. J. 1997. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.
Râjihî (al-), `Abduh, al-Lahjât al-`Arabiyyah fi al-Qirâ‟ât al-Qur‟âniyyah, Riyâdh: Maktabah alMa`ârif li al-Nasyr wa al-Tauzî`,1999.
`Asymâwî (al-), al-`Asymâwî `alâ Matn al-Ajrûmiyyah fî Qawâ`id al-`Arabiyyah, t.tp. : Thâha
Putra Semarang, t.th.
Ibn Kastîr, Imâd al-Dîn Abû al-Żidâ’ al-Quraisy al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur‟ân al-`Azhîm, Mesir:
Dâr al-`Aqîdah li al-Turâts, t.th.
Shâlih (al-), Shubhi, Mabâhits fî `Ulûm al-Qur‟ân, Beirut: Dâr al-`Ilm li-al-Malâyîn, 1988.