Academia.eduAcademia.edu

PERBEDAAN QIRAAT AL QURAN

Perbedaan Qiraat al Quran

Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji dan mendiskripsikan secara analitis perbedaan qirâ " ât al-Qur " an ditinjau dari kaidah Bahasa Arab. Tulisan ini menggunakan metode kualitatif. Dan untuk membahas persoalan yang ada dalam tulisan ini, penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library research), dengan pendekatan metode analisis komprehensif dan komparatif. Penulis meyimpulkan bahwa perbedaan qirâ " ât al-Qur'an ditinjau dari aspekqawâìd bahasa Arab meliputi mustawâ sharfî (aspek morfologi), dan mustawâ nahwî (aspek sintaksis). Kata Kunci: qirâ " ât, kaidah Abstract The aim of this research is to analyze and describe analitically the difference in " qirâ " ât al-Qur " an" from the point of view of Arabic language structure. The writer applies qualitative method. In discussing the problems of this research, she applies library research by using comprehensive and comparative approaches. The result shows that the difference in "qirâ " ât al-Qur'an" analyzed by "qawâìd" aspects in Arabic language can be classified into "mustawâ sharfî" (morphological aspects), and " mustawâ nahw" (syntactic aspects). Key Words: qirâ " ât, the arabic language structure. Pendahuluan Qirâ " ât, baik yang disepakati atau diperselisihkan membacanya, adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT dengan menggunakan bahasa Arab kepada Nabi Muhammad SAW. Bahasa Arab dalam perkembangannya, sebagaimana yang sudah dipaparkan, mempunyai aturan-aturan dan ketentuan yang harus dipatuhi oleh sipemakai bahasa itu sendiri. Aturan-aturan dan ketentuan itulah yang disebut denganqawâìd atau undang-undang. Qawâìd bahasa Arab, dalam pembahasannya, selalu diawali dengan pembicaraan tentang bentuk-bentuk pembagian kata (kalimah), yaitu: ism (kata benda),fìil (kata kerja), dan harf (huruf). Masing-masing kata, khususnya ism danfìil dalam proses perubahannya, tentu sesuai dengan kebutuhan maknanya, mempunyai aturan-aturan atau kaidah tersendiri pula. Setiap bentuk perubahan, berupa penambahan atau pengurangan, baik huruf atau harakah, selalu ada pola dan timbangan yang dijadikan acuan, yang di dalamqawâìd biasa disebut al-wazn. Proses pembentukkan dan perubahan kata (‫ٌفظي‬ ‫اشتماق‬) dalamqawâìd biasa disebut tashrîf. Metodologi Penelitian Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif yakni merupakan prosedur penelitian yang menurut Taylor," menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis. (Taylor dalam Lexy J. Moleong, 2000: 4-6). Adapun karakteristik penelitian kualitatif antara lain adalah ia akan

PERBEDAAN QIRÂ’ÂT AL-QUR’AN DITINJAU DARI KAIDAH BAHASA ARAB Ekawati UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, DPK Sekolah Tinggi Agama Islam Alhikmah, Jln. Jeruk Purut No. 10, Cilandak Timur Pasar Minggu Jakarta Selatan 12650, Telp: 021-7890521 Email: [email protected] Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji dan mendiskripsikan secara analitis perbedaan qirâ‟ât alQur‟an ditinjau dari kaidah Bahasa Arab. Tulisan ini menggunakan metode kualitatif. Dan untuk membahas persoalan yang ada dalam tulisan ini, penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library research), dengan pendekatan metode analisis komprehensif dan komparatif. Penulis meyimpulkan bahwa perbedaan qirâ‟ât al-Qur’an ditinjau dari aspek qawâ`id bahasa Arab meliputi mustawâ sharfî (aspek morfologi), dan mustawâ nahwî (aspek sintaksis). Kata Kunci: qirâ‟ât, kaidah Abstract The aim of this research is to analyze and describe analitically the difference in " qirâ‟ât al-Qur‟an" from the point of view of Arabic language structure. The writer applies qualitative method. In discussing the problems of this research, she applies library research by using comprehensive and comparative approaches. The result shows that the difference in "qirâ‟ât al-Qur’an" analyzed by " qawâ`id" aspects in Arabic language can be classified into "mustawâ sharfî" (morphological aspects), and " mustawâ nahw" (syntactic aspects). Key Words: qirâ‟ât, the arabic language structure. Pendahuluan Qirâ‟ât, baik yang disepakati atau diperselisihkan membacanya, adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT dengan menggunakan bahasa Arab kepada Nabi Muhammad SAW. Bahasa Arab dalam perkembangannya, sebagaimana yang sudah dipaparkan, mempunyai aturanaturan dan ketentuan yang harus dipatuhi oleh sipemakai bahasa itu sendiri. Aturan-aturan dan ketentuan itulah yang disebut dengan qawâ`id atau undang-undang. Qawâ`id bahasa Arab, dalam pembahasannya, selalu diawali dengan pembicaraan tentang bentuk-bentuk pembagian kata (kalimah), yaitu: ism (kata benda), fi`il (kata kerja), dan harf (huruf). Masing-masing kata, khususnya ism dan fi`il dalam proses perubahannya, tentu sesuai dengan kebutuhan maknanya, mempunyai aturan-aturan atau kaidah tersendiri pula. Setiap bentuk perubahan, berupa penambahan atau pengurangan, baik huruf atau harakah, selalu ada pola dan timbangan yang dijadikan acuan, yang di dalam qawâ`id biasa disebut al-wazn. Proses pembentukkan dan perubahan kata (‫ي‬ ‫ ) اش‬dalam qawâ`id biasa disebut tashrîf. Metodologi Penelitian Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif yakni merupakan prosedur penelitian yang menurut Taylor," menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis. (Taylor dalam Lexy J. Moleong, 2000: 4-6). Adapun karakteristik penelitian kualitatif antara lain adalah ia akan berlangsung dalam latar belakang yang alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan, peneliti sendiri merupakan alat pengumpul data yang utama, analisis datanya dilakukan secara induktif, dan penelitian ini juga lebih menghendaki arah bimbingan penyusunan teori substantif yang berasal dari data, maksudnya adalah bahwa penyusunan teori di sini berasal dari bawah ke atas, yaitu dari sejumlah bagian yang banyak data yang dikumpulkan dan yang saling berhubungan. Karakteristik penelitian kualitatif ini merupakan hasil pengkajian dan sintesis antara dua versi Bogdan & Biklen (1982) dan Lincoln & Guba (1985). (Taylor dalam Lexy J. Moleong, 2000: 6). Dari pendekatan ini diharapkan bisa ditarik interpretasi atau deskripsi-analitis tentang perbedaan qirâ‟ât yang berhubungan dengan kaidah Bahasa Arab. Untuk membahas persoalan yang ada dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library research), dengan pendekatan metode analisis komprehensif dan komparatif. Artinya, penulis mengkaji beberapa pendapat para ulama yang membahas tema yang serupa, kemudian penulis mencari sisi perbedaan dan persamaan atas kajian tersebut. Hasil dan Pembahasan Menurut `Abduh al-Râjihî dalam al-Lahjât al-`Arabiyyah fi al-Qirâ‟ât al-Qur‟âniyyah menyatakan bahwa perbedaan qirâ‟ât yang berhubungan dengan aspek kebahasaan meliputi: pertama, aspek fonetik (al-mustawâ al-shautî). Kedua, aspek morfologi (al-mustawâ al-sharfî). Ketiga, aspek sintaksis (al-mustawâ al-nahwî). Keempat, aspek semantik (al-mustawâ al-dilâlî). (lihat `Abduh al-Râjihî, 1999: 113-237) Sedangkan untuk pembahasan yang berkaitan dengan kaidah bahasa Arab hanya pada aspek morfologi dan aspek sintaksis saja. Aspek Morfologi (al-Mustawâ al-Sharfî) 1. Ism dan Musytâq a. Dhamîr 1) Dhamîr Mufrad Mutakallim Ulama berbeda pendapat dalam membaca firman Allah ‫( أ أحي‬ana uhyî) mereka membacanya dengan cara membuang alif dalam lafazh ‫( أ‬ana) ketika mewashalkan, kecuali Abû ja`far dan Nâfi` yang membaca dengan memakai alif setiap kali washal bertemu dengan hamzah dalam al-Qur’an. Contoh ‫( أ أحي أ أخ‬anâ uhyî wa anâ akhûka). Kecuali pada ayat yang berbunyi ‫( أ ا ي م ي‬in ana illa nażîrummubîn). 2) Dhamîr Ghâ‟ib Ulama berbeda pendapat dalam membaca firman Allah ‫ي م‬ ‫( ف‬fa‟alqihi ilaihim). Ibn Katsîr dan Ibn `Âmir serta al-Kisâ’î membacanya dengan ‫ي م‬ ‫( ف‬fa‟alqihî ilaihim) dengan cara mewashalkannya dengan yâ‟, sedangkan Âshim dan Hamzah membacanya dengan ‫ي م‬ ‫( ف‬fa‟alqih ilaihim) dengan mensukunkan hâ‟ . 3) Dhamîr Ghâ‟ib, mutsannâ dan jama` Ulama berbeda pendapat dalam mendhammahkan hâ‟ atau mengkasrahkannya dari dhamîr tatsniyah ataupun jamak apabila terletak setelah yâ‟ sukûn seperti (alaihum wa ilaihum wa ladaihum wa alaihuma, wailaihumâ wafîhumâ, wa`alaihunna wailaihunna wafîhunna wa „abîhunna, watarmihum wamâ nurîhum). Ya`kûb membacanya dengan cara mendhamahkan hâ‟, sedangkan Hamzah sepakat dengan Ya`kûb pada lafazh alaihum wailaihum, sementara pada lafazh-lafazh lainnya dengan cara mengkasrahkan hâ‟. b. Ism Maqshûr dan Ism Mamdûd Ulama berbeda pendapat dalam membaca firman Allah ‫( د‬dakkan). Ibn Kastîr, Nâfi` Abû `Amr Ibn Âmîr membacanya dengan cara tanwîn yang maqshûrah ‫( د‬dakkan). Sedangkan Hamzah dan Kisâ’î membacanya dengan cara mamdûd tanpa tanwin yaitu lafazh ‫( د ء‬dakkâ‟an). c. Ism Mashdar Bentuk mashdar dari fi`il tsulâsî sebagian besar termasuk simâ`î (hasil pendengaran) sekalipun ulama menjadikannya sebagai qiyâsî dalam bentuk atau lafazh lainnya. Berikut ini adalah beberapa qirâ‟ât dalam bentuk mashdar yang dinisbatkan sebagai lahjah. 1) Jumhur ulama membaca firman Allah ‫ب اء م تع‬ ‫م‬ ‫ب ا يم أبي‬ (waiż qâla ibrâhîmu liabîhi waqaumihi innanî barâ‟un mimma ta`budûn). 2) Jumhur ulama membaca lafazh ‫( اب‬kiżżâba) dengan mentasydîd żâl yaitu bentuk mashdar dari lafazh (każżaba). 3) Kisâ’î membaca lafazh ‫( ب ع م‬bizu`mihim) dengan mendhammahkan huruf zai, sedang imam tujuh yang lain membacanya dengan fathah zai. Keutamaan dua qirâ‟ât yang pertama adalah tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama atas kedua lafazh tersebut, yang menunjukkan bukti atas kekhususan dialek selain Hijâz yang telah dikenal sehingga tak tampak silang pendapat di kalangan para qurâ’. Adapun bacaan yang pertama yaitu lafazh ‫( ب اء‬barrâ‟), merupakan mashdar dari fi`il tsulâtsî, Abû Hayyân mengatakan bahwa mashdar ‫( ب اء‬barâ‟) adalah dialek kaum al`Âliyah atau `Âliyah Najd yang terdapat di pedusunan Arab (suku Arab Badui). Adapun bacaan yang kedua yaitu ‫( اب‬kidzâban), merupakan fi‟il tsulâtsî mudhâ‟af al-„ain (fi`il yang ditasydîd `ain fi`ilnya), adapun analoginya dalam bahasa Arab adalah wazan “taf`îl”. Abû Hayyân mengatakan bahwa ia diambil dari dialek Yaman. Adapun bacaan yang ketiga yang merupakan bacaan al-Kisâ’î adalah lafazh ‫( ب ع م‬bi zu‟mihim), ulama berkata bahwa fathah dan dhamah adalah mashdar dari fi`il tsulâtsî. Dhamah (zu`mihim) merupakan dialek Bani Asad. d. Shîghah al-Mubâlaghah Adapun shîghah mubâlaghah yang diderivasi dari wazan ‫( ف ع‬fâ`ilun) yang menunjukkan makna lebih atau banyak memiliki lima wazan; ‫( فع‬fa`âlun), ‫( م ع‬mif`âlun), ‫( فع‬fa`ûlun), ‫( فعي‬fa`îl), ‫( فع‬fa`ilun). Demikian pula wazan-wazan lainnya seperti wazan fi`îîlun (dengan dikasrah fa` fi`il dan ditasydîd `ain fi`ilnya), contoh lafazh sikkîr, wazan maf`îl seperti lafazh ma`thîr, wazan fu`alah seperti lafazh humazah, atau wazan fâ`ûl seperti lafadz fârûq, dan lain-lain. Berikut ini adalah contoh shîghah mubâlaghah: Ulama berselisih pendapat dalam membaca ayat ‫( ئ ف‬laraûfun) Ibn katsîr, Nâfi` dan `Âshim, membacannya dengan qirâ‟ah ‫( ئ ف‬laraûf) dari wazan ‫( فع‬fa`ûl) dalam semua lafazh dalam al-Qur’an. Sedangkan `Âshim, Abû Amr, Hamzah dan Kisâ’i membacanya dengan lafadz ‫ ( ف‬lara‟uf) dari wazan ‫( فع‬fa`ul). Sedangkan jumhur ulama membaca ayat berikut ini dengan ‫ا‬ ‫( م ا م ا‬wamakarû makran kubbârâ), lafazh kubbâran wazan ‫فع‬ (fu`âl). 2. Fi`il a. Antara Wazan fa``ala dan af`la Fi`il tsulâtsî mujarrad terkadang berbentuk lâzim (fi`il yang tidak memerlukan maf`ûl) dan terkadang pula berbentuk muta`adî (fi`il yang memerlukan maf`ûl). Dalam kondisi mujarrad bermakna ia membutuhkan kepada maf`ûl, para ahli qirâ‟ât menjadikannya sebagai tambahan dan hamzah termasuk di antara tambahan tersebut. Yang diikutkan dalam fi`il sehingga menjadi muta`adî. Akan tetapi ditemukan pula dialek yang menggunakan fi`il tsulîtsî mazîd dengan hamzah. Sementara di lain sisi -dalam dialek laintidak berbentuk mazîd. Sekalipun arti keduanya adalah sama. Contohnya adalah ayat yang berbunyi ‫( م خ م آي‬mâ nansakh min âyatin). Ulama berselisih pendapat dalam membaca ayat ini, hanya Ibn `Âmir yang membacanya dengan ‫خ‬ ‫( م‬mâ nunsikh), sedang ulama yang lain membacanya dengan (mâ nansakh). Atau pada ayat ‫( ا يح‬wa lâ yahzunka) atau ayat ‫( ا يح م‬wa lâ yahzunhum). Abû Ja`far dan Nâfi’ membacanya dengan (yuhzinka-yuhzinhum), sedang yang lain membacannya dengan (yahzunka-yahzunhum). b. Antara Wazan Taf`îl dan Mufâ`alah Wazan taf`îl dalam kaidah bahasa Arab mempunyai faidah litaktsîr (untuk menunjukkan arti banyak), sedangkan wazan mufâ`alah mempunyai faidah li al-musyârakah (untuk menunjukkan arti saling). Akan tetapi terkadang ada qirâ‟ât al-qur’an yang menggabungkan dua wazan tersebut pada satu fi`il. Ashhâb al-ihtijâj mengatakan bahwa kedua qirâ‟ât tersebut mempunyai satu makna. Hal tersebut terkadang dibenarkan, karena tidak semua fi`il yang mengikuti wazan taf`îl itu menunjukkan arti banyak, dan tidak semua yang mengikuti wazan mufâ`lah itu menunjukkan arti saling. Seperti firman Allah yang berbunyi ‫`(ع ف ه ت ه‬âfâhullâh wa qâtalahullâh). Contoh lain terdapat pada firman Allah yang berbunyi ‫( ا تصع خ‬walâ tusha`ir khaddaka linnâs). Ibn Katsîr, `Âshim, dan Ibn `Âmir membacanya dengan ‫( ا تصع‬wa lâ tusha``ir) dengan tanpa alif dan ditasydîd huruf `ainnya., sedang imam lain membacanya ‫( تص ع‬tushâ`ir) -dengan memakai alif-. Dalam contoh ini, kedua qirâ‟ât tersebut terdapat didalamnya fi`il yang mengikuti dua wazan yang berlainan yaitu wazan ‫( فع‬fa``ala) dan wazan ‫( ف ع‬fâ`ala). Dalam hal ini perbedaan binâ‟ atau bentuk dapat menimbulkan perbedaan makna, akan tetapi para ulama seringkali menggunakan kedua wazan tersebut untuk makna yang sama. Abû `Alî menyebutkan bahwa ada beberapa fi`il yang mempunyai dua wazan tetapi satu makna, seperti lafazh ‫( ضعف‬dha`ufa) dan‫( ض عف‬dhâ`afa) , maka wazan ‫( م ع‬mufâ`alah) yaitu termasuk lahjah Hijâz dan wazan ‫( ت عي‬taf`îl) termasuk lahjah Bani Tamîm. Aspek Sintaksis (Al-Mustawâ al-Nahwî). (`Abduh al-Râjihî, 1999: 211-227) 1. Grammatical Categoris (Ism jenis) Ism Jenis termasuk grammatical categoris terpenting yang nampak dalam fenomena bahasa. Yang jelas bahwa bahasa-bahasa yang ada itu tidak mempunyai aturan baku untuk membedakan sesuatu dari segi jenisnya. Seperti yang terjadi pada bahasa Arab misalnya yang mempunyai aturan penentuan muannats dengan mempunyai tanda hâ‟ dan alif serta alif mamdûdah, di lain sisi terdapat pula isim yang tidak mempunyai tanda muannats seperti lafazh ‫( ش‬syams). Ini adalah contoh perbedaan ism jenis yang disebabkan perbedaan lahjah. Sebagai contoh, Ibn Katsîr membaca ayat yang berbunyi ‫مي‬ ‫ي ا‬ ‫ي‬ (walitastabîna sabîl al-mujrimîn) dengan membaca tâ‟ lafazh tastabîna dan rafa` lafazh sabîlu. Sedangkan Abû Bakr membacanya dengan ‫مي‬ ‫ي ا‬ ‫( ي ي‬waliyastabîna sabîlu) -dengan dibaca yâ‟ lafazh yastabîna dan merafa`kan lafazh sabîlu-. Kaitannya dengan lahjah lafazh sabîlu, satu riwayat menyebutkan bahwa lafazh ‫( ي‬sabîlu) itu mużakkar menurut Ahli Tamîm dan Ahli Najd, dan muannats menurut Ahli Hijâz. Yang jelas tidak ada alasan yang baku bagi satu lahjah atau satu bahasa untuk menentukan jenis kata tersebut, tidak dapat diketahui mengapa orang-orang prancis menentukan muannats “kata” pintu ( La porte) dan menentukan mużakkar kata “matahari” (Le soleil). 2. Mâ’ (menurut Ahli Hijâz dan Tamîm) Ulama nahwu menyebutkan bahwa mâ‟ itu dapat masuk kepada jumlah ismiyah yang dapat merafa`kan ism dan menashabkan khabar. Hal ini menurut Ahli Hijâz. Sedang menurut lahjah Bani Tamîm tidak dapat mengamalkan sesuatu. Berikut ini contoh qirâ‟ât yang terdapat dua lahjah di dalamnya: a. `Âshim membaca ayat ‫أم ت م‬ ‫( م‬mâ hunna ummahâtuhum) dengan membaca dhammah tâ’, sedang ulama lain membacanya dengan nashab. b. `Abdullâh ibn Mas`ûd membacanya dengan bâ‟ di awal ‫ب م ت م‬ ‫( م‬mâ hunna biummahâtihim). c. Jumhur ulama membacanya ayat ‫( م ا بش ا‬ma haża basyaran) dengan membaca nashab, sedang Ibn Mas`ûd membacanyanya dengan ‫( م ا بش‬mâ haża basyarun) dengan dibaca rafa`. Berikut ini adalah qirâ‟ât yang kami temukan yang menggambarkan sintesis di atas yaitu: 1) Huruf mâ‟ yang dapat menashabkan khabar. 2) Huruf mâ‟ yang tidak beramal. 3) Terkadang khabar mâ‟ disertai dengan bâ‟ 4) Ibn Mas`ûd berpandangan bahwa qirâ‟ât khabar itu dapat dibaca rafa` atau disertai bâ‟, sedangkan `Âshim berpandangan -dalam sebagian riwayat- bahwa qirâ‟ât khabar itu hanya dibaca rafa` selaiknya bacaan yang hidup di tradisi ulama Kûfah. Kemudian seluruh ulama sepakat bahwa pengamalan mâ‟ yang sama dengan laisa adalah dialek ulama Hijâz. Berbeda dengan dialek Tamîm yang tidak menyamakannya. Seandainya hal di atas benar, maka sesungguhnya fenomena ini merupakan peralihan dari pengamalan mâ‟ yang menashabkan khabar kepada ketidak beramalnya mâ‟ atau penyertaan bâ‟ dalam khabar. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa bahasa musytarak dalam konteks pembahasan di atas, tidak diambil dari dialek kaum Hijâz. 3. Dhamîr al-Fashl Dhamîr al-Fashl dalam bahasa Arab itu berfungsi sebagai ta‟kîd, namun tidak memiliki mahal (kedudukan) dalam i`râb, akan tetapi dalam beberapa lahjah dapat memberikannya mahal dalam i`râb. Berikut ini contohnya: a. Jumhur ulama membaca kalimat ‫اح م ع‬ (inkâna huwa al-Haqqa min `indika) dengan menashabkan lafazh ‫( ا ح‬haqqa), Sedangkan A`masy dan Zaid Ibn `Alî membacanya dengan rafa`. b. Jumhur ulama membaca kalimat ‫ي‬ ‫ما‬ (lâkin kânû hum al-zhâlimîn) dengan nashab, sedangkan `Abdullâh dan Abû Zaid membacanya dengan rafa` yaitu ‫( ا‬alzhâlimûn). Dapat disimpulkan, bahwa tidak beramalnya dhamîr al-fashal itu lebih dipakai dalam bahasa Arab mengingat para ahli qirâ‟ât sab`ah sepakat dengan hal ini, sedangkan pandangan yang mengamalkan dhamîr al-fashl lebih dipilih oleh para ahli qirâ‟ât yang syażżah. 4. Mutsannâ Mutsannâ dalam setiap dialek bahasa Arab tidak selalu dibaca rafa` dengan alif, dan juga tidak dinashabkan atau dijarkan dengan yâ‟. Tetapi terdapat lahjah yang mengharuskannya dii`râbi dengan alif, dan dalam lahjah lainnya dii`rabi dengan nûn. Adapun contoh mutsnnâ dengan alif adalah sebagai berikut: a. Ulama berbeda pendapat dalam membaca ayat ‫ح ا‬ ‫ا‬ (in hażânî lasâhirâni). Abû `Amr membacanya dengan ‫( ي‬hazaini), sedang yang lain membacanya dengan mentasydîdkan nûn pada lafazh (inna) , dan ‫( ا‬hażâni) dengan memakai alif .Dan ini selaras dengan pendapat al-Syanbû î, al-A`masy, dan thalhah. b. Abû Sa`îd al-Khudrî membaca ayat ‫( ف أب ا م م ي‬fakâna abawâhu mu‟minâni) dengan memakai alif lafazh ‫( م م ي‬mu‟minâni). Adapun Bacaan yang pertama menjelaskan bahwa para ahli qirâ‟ât sab`ah selain Abû `Amr membaca mutsannâ‟ dalam kondisi nashab dengan alif. Dengan demikian bahwa lahjah di atas itu berasal dari semenanjung timur jazirah Arab, yang Bani tamîm hidup di dalamnya, dan dekat dengan Makkah yang bani Kinânah berdomisili di dalamnya, serta di Yaman bagian utara yang dihuni oleh kabilah-kabilah yaman. 5. Fi`il, fâ`il dan Nâ‟ib al-fâ`il Fi`il dalam bahasa Arab tidak sesuai dengan fi`il dan fâ`ilnya baik dalam bentuk mufrad, tatsniyah, dan jamak. Melainkan ia mufrad dalam setiap kondisi, sekalipun terdapat lahjah yang menyesuaikan antara fi`il, fâ`il, dan nâ‟ibnya, yang dikenal dengan bahasa ‫أ ي‬ ‫( ا اغي‬akalûnî al-barâgîts). Berikut ini adalah contoh-contohnya: a. Ulama sepakat dalam ayat ‫ا‬ ‫ا ي‬ ‫( أ ا ا‬wa asarru al-najwâ al-lażîna zhalamû) b. Ulama juga sepakat dalam membaca ayat ‫( م ع ا ص ا ي م م‬tsumma `ammû washammû katsîrun minhum). 6. Badal Tamîmî Badal tamîmî disebut juga dengan ism yang terletak setelah‫( ا‬illa) yang disebut sebagai istitsnâ‟ munqathi`. Dalam riwayat dialek Ahli Hijâz sepakat bahwa ism yang terletak setelah ‫( ا‬illa) itu dibaca nashab. Dan Bani tamîm menyamakannya dengan ism yang terletak sebelum illa. Berikut ini adalah Contohnya: a. Ulama membaca ayat ‫( م فع ا ي م م‬mâfa`alûhu illa qalîlun minhum) dengan dibaca rafa` lafazh ‫( ي‬qalîlun), kecuali Ibn `Âmir yang membacanya dengan ‫( ا يا م م‬illa qalîlan minhum). b. Jumhur ulama membaca ayat ‫ا اب غ ء ج ب اأع‬ ‫( م أح ع م ع ت‬wa mâ li ahadin `indahu min ni`matin tujza illa ibtighâ‟a wajhi rabbihi al-a`lâ), dengan menashabkan hamzah (ibtighâ‟a), sedangkan Yahyâ ibn Witsâb membacanya dengan illa ibtiughâ‟u (dengan dibaca rafa`) 7. Ism ghair munsharif (al-Mamnu` min al-sharf). Ism ghair munsharif menurut para ulama, dii`rabkan dengan dhammah ketika rafa`, dan dibaca fathah ketika nashab dan jar, kecuali jika disandarkan dengan alif lâm. Terkadang mereka membaca tanwîn oleh sebab darurat atau terkait dengan munâsabah. Contohnya adalah sebagai berikut: a. Ulama berbeda pendapat dalam bacaan ‫( ت ا ي‬kânat qawarîra), Abû Ja`far, Nâfi`, Ibn Katsîr, dan Kisâ’î membacanya dengan tanwîn lafazh ‫( ا ي ا‬qawarîran), sedang yang lain membacanya dengan tanpa tanwîn. b. A`masy membaca ayat ‫يع‬ ‫( ا يغ‬walâ yaghûtsan waya`ûqan) dengan dibaca tanwîn. Demikianlah pendapat `Abduh al-Râjihî seputar qirâ‟ât yang berhubungan dengan kaidah kebahasaan yang meliputi aspek morfologi dan aspek sintaksis. Dari sini penulis menyimpulkan bahwa sebenarnya substansi perbedaan qirâ‟ât antara ulama yang satu dengan ulama yang lainnya berpendapat sama, yang membedakan hanyalah istilah yang mereka pakai. Adapun ragam pengungkapam qirâ‟ât al-Qur’an yang berkaitan dengan kaidah bahasa Arab adalah sebagai berikut: 1. Perubahan Bentuk Ism Di antara bentuk perubahan qirâ‟ât al-Qur’an adalah berupa perubahan bentuk ism (kata benda). Perbedaan qirâ‟ât yang berkaitan dengan perubahan bentuk ism meliputi bentuk mufrad (tunggal), mutsannâ (dua), jama` (jamak), tażkîr (laki-laki), ta‟nîts (perempuan), dan perubahan shîghah (bentuk kata). Contoh perubahan Bentuk Ism dari Bentuk Mutsannâ ke Bentuk Jama` Perubahan ism dari bentuk mutsannâ ke bentuk Jama`, maksudnya satu versi qirâ‟ât membaca dengan bentuk mutsanna (dua) dan versi lain membaca dengan bentuk jama` (banyak). Seperti terdapat pada surat al-Mâ’idah ayat 107 yang berbunyi: َ ‫قق قك ق ق‬ ‫ق‬ َ ‫ك ق ققٓ ق‬ ‫ق ق َٓ م قق ق ق قك‬ َۡ‫ݎ‬ ‫ق‬ ‫ق‬ ‫ق‬ ‫ق‬ ‫ك‬ ‫ق‬ ۡ َ‫ان ۡݘݐاههݙا ۡݘلݚ ۡٱ‬ ۡ ‫ليݜٱستح‬ ‫ِن ۡقݐَݘ ل‬ ‫فإلنۡ ۡع لِ ۡل ۡأنهݙا ۡٱستحݐۡا ۡإلثݙا ۡفۡٔارا ل‬ ‫قق ك ق ق‬ ‫ق‬ ۡ ۡ٧ۡ...‫ݚ‬ ۡ‫عݖي لهݗۡٱۡوليٰ ل‬ ۡ Artinya: Jika diketahui bahwa kedua (saksi itu) membuat dosa, Maka dua orang yang lain di antara ahli waris yang berhak yang lebih dekat kepada orang yang meninggal (memajukan tuntutan) untuk menggantikannya… (Q.S. al-Mâ’idah 5: 107) Lafazh ‫ اأ ي‬dalam bentuk mutsannâ bentuk mufradnya adalah ‫ أ‬, dibaca oleh Abû Bakr dan Hamzah dengan bentuk jama` yaitu lafazh ‫ اأ ي‬yang dibaca majrûr, dan dibaca oleh Imam yang lain ‫ اأ ي‬dengan bentuk mutsannâ yang dibaca rafa`. ( Abî Muhammad Makkî ibn Abî Thâlib al-Qaisiyyi, 1984: 420) Adapun alasan yang membaca al-awlayâni bahwa lafazh tersebut adalah bentuk mutsannâ dari lafazh awlâ , dan takdirnya adalah ‫صي ا يت‬ ‫ب ش د ع‬ ‫( أ‬yang lebih dekat dijadikan saksi untuk menerima wasiat si mayit), adapula yang yang mengatakan . ‫ب يت م غي‬ ‫( أ‬yang lebih dekat dengan simayit dari pada yang lainnya). Sedangkan alasan yang membaca al-awwalîna bahwa lafazh tersebut adalah bentuk jama` dari dari lafazh awwal, dan takdirnya adalah ‫( م اأ ي ا ي ا ح ع ي م اإيص ء أ اإ م‬di antara orang-orang yang lebih dekat dan berhak untuk diberikan wasiat). Selain itu juga bahwa penggunaan lafazh al-awwalîna karena terkait dengan ayat sebelumnya yaitu ‫ي أي ا ي‬ ‫آم ا ش د بي م‬. . Dengan demikian dalam konteks ini yang lebih sesuai adalah penggunaan lafazh al-awwalîna. Dari sisi i`râb kedua bacaan tersebut mempunyai alasan masing-masing. Adapun alasan bagi yang membacanya dengan al-awlayâni (i`râb rafa`) adalah: Pertama, lafazh alawlayâni sebagai fâ`il dari fi`il ‫( ا ح‬mabnî li al-ma`lûm). Kedua, lafazh al-awlayâni sebagai badal dari alif al-itsnain/alif al-tatsniyah pada kata ‫ ي م‬. Ketiga, lafazh tersebut sebagai badal dari kata ‫ف خ ا‬. Keempat, lafazh tersebut sebagai mubtada’ muakhkhar, sedangkan khabarnya adalah ‫ف خ ا‬. Kelima, bahwa lafazh tersebut sebagai khabar dari lafazh ‫ف خ ا‬. Sedangkan bagi yang membacanya dengan ‫( اأ ي‬al-awwalîna) beralasan pada i`râb lafazh tersebut yang berkedudukan sebagai na`at lafazh ‫ ا ي‬atau badal dari lafazh ‫ا ي‬ ‫( ا ح‬allażînastuhiqqa) yang dijarkan (majrûr) dengan min. Lafazh ustuhiqqa adalah fi`il mabni li al-majhûl. Dalam hal ini penulis cenderung kepada pendapat mayoritas ulama yaitu menggunakan lafazh al-awlayâni (bentuk tatsniyah dari lafazh awlâ) yang takdirnya adalah ‫ب صي‬ ‫أ‬ ‫ ب ي ا ا ب يت‬. Di sini penulis melihat bahwa antara lafazh al-awlayâni dan lafazh alawwalîna keduanya mempunyai maksud yang sama yaitu “ahli waris atau kerabat terdekat dengan mayit (yang paling berhak mewaris)”. 2. Perubahan Bentuk Fi`il Perubahan bentuk fi`il meliputi bentuk mâdhî- mudhâri`- amr, mujarrad- mazîd, lâzimmuta`addî, dan ma`lûm-majhûl. Contoh perubahan Bentuk Fi`il Mâdhî. Perubahan bentuk fi`il dari segi zaman atau masa, sepert dari fi`il mâdhî (masa lalu) ke fi`il mudhâri` (masa sekarang atau akan datang) terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 184 yang berbunyi: ‫قق قق َ ق ق م قكق ق‬ ‫ َ ك‬ٞۡ‫ۡر‬ َ‫فݙݚۡتطَعۡرۡاۡفه‬ ۡ ۡ٤...ۡۡ‫ّۡۡۥ‬ ۡ Artinya: ...Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya...(Q.S. al-Baqarah 2: 184) Lafazh ‫( ت‬tathawwa`a) dalam bentuk fi`il mâdhî dibaca oleh Imam lain ‫ي‬ (yuthawwi`u) dengan bentuk fi`il mudhâri`. Perubahan bacaan pada fi`il, seperti perubahan pada fi`il mâdhî dan fi`il mudhâri` (seperti ayat ini), dari segi maknanya tentu dapat mengubah makna lafazh. Yaitu lafazh ‫ ت‬yang berarti “telah merasa patuh” dan lafazh ‫ ي‬yang berati “akan merasa patuh”. Akan tetapi bila dilihat dari segi maksud atau kandungan ayat, perubahan bacaan di atas tidak ada pengaruhnya, karena dhamîr (kata ganti) yang tersembunyi pada kedua bacaan itu sama yaitu (dia) yang kembali kepada ism maushûl ( ‫ ) م‬sesudahnya. 3. Perubahan Bentuk I`râb I`râb adalah perubahan harakah akhir suatu kata karena ada perbedaan `awâmil yang masuk, baik dalam bentuk lafazh ataupun diperkirakan. (Al-`Asymâwî, t.th: 9-10). Perubahan bentuk i`râb bisa terdapat pada ism atau fi`il. Contoh perubahan i`râb pada ism terdapat pada surat al-Mâ’idah ayat 45 yang berbunyi: ‫ق‬ ‫ققق ق قق‬ ‫ق ق ق ق‬ َ‫قٓ ق‬ ‫ق كك ق‬ ‫ق‬ ‫ق‬ ‫ق‬ ‫ق‬ َ َ ۡ‫ن‬ ۡ ‫ݛف ۡ ۡوٱۡذ‬ ۡ‫ي ۡبۡ لٱلع ل‬ ۡ ‫س ۡوۡٱلع‬ ۡ ‫س ۡبۡ لٱنݍ ل‬ ۡ ‫وكتبݜا ۡعݖي لهݗ ۡفليها ۡأن ۡٱنݍ‬ ۡ ‫ݛف ۡۡب لٱۡ ل‬ ۡ ۡ‫ي ۡوۡٱ‬ ‫كك‬ ٞ ‫ق‬ ‫ق‬ ّ ّ َ ‫ق‬ ‫ق‬ ّ ‫ك‬ ‫ك‬ ۡ‫لس ل‬ ۡ ‫لس‬ ۡ ‫ݚۡوۡٱۡا‬ ۡ‫ۡب لٱۡذ ل‬ ۡ ۡ٥ۡ...ۡ‫وحۡݏ لصاص‬ ‫نۡوۡٱ ل‬ ‫ݚۡبۡ لٱ ل‬ ۡ Artinya: Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya… (Q.S. al-Mâ’idah 4: 45) Lafazh ‫ا‬ ‫ا‬ ‫ ا عي اأ ف اأ‬dibaca oleh Kisâ’i dengan rafa` pada huruf akhirnya (al-`ainu, al-anfu, wa al-użunu, wa al-sinnu wa al-jurủhu), sedangkan Imâm yang lain membacanya dengan nashab (al-`aina, al-anfa, wa al-użuna, wa al-sinna wa al-jurủha). Untuk lafazh ‫ ا‬oleh Nâfi`, `Âshim, dan Hamzah dibaca nashab (wa al-jurủha) sedang oleh Imâm yang lain dibaca rafa` (wa al-jurûhu). Adapun alasan bagi yang merafa`kan lafazh tersebut karena di-athaf-kan pada maudhi` (kedudukan) lafazh al-nafs. Karena lafazh masuk kepada ibtidâ‟, dan jika sudah sempurna kalimat tersebut setelah menyebutkan khabarnya yaitu ‫ ب‬, maka lafazh ‫ ا عي‬diathafkan kepada maudhi`nya (kedudukannya sebagai ibtida‟) dan bukan sebagai ism (dibaca nashab). Sedangkan alasan yang membacanya dengan nashab karena lafazh ‫ ا عي‬di-athaf-kan kepada lafazh ‫ ا‬yang berkedudukan sebagai ism . (Abû Muhammad Makkî ibn Abî Thâlib al- Qaisiyyi, 1984: 409) 4. Perubahan Bentuk Ibdâl Pengertian ibdâl dalam qirâ‟ât adalah pergantian huruf dengan huruf dalam satu kata dan pergantian lafazh dengan lafazh lain dalam suatu ayat serta pergantian harakah. ibdâl ini bisa terjadi pada ism, fi`il dan harf. Contoh Pergantian Huruf dengan Huruf pada Ism. Contohnya terdapat pada surat al-Nisâ’ ayat 145 yang berbunyi: َ ‫ق ق‬ ‫ق َ ق ق ق ق قك ق‬ ‫نۡٱل كݙ قنٰݍݐ ق‬ َ ‫يِۡۡٱ‬ ً ۡ ۡ٥ِۡۡ‫ݚَۡܯۡلهݗۡݛ لص‬ ‫ل‬ ‫و‬ ۡ ۡ ‫ار‬ ‫ن‬ ‫ٱ‬ ۡ ‫لݚ‬ ‫ݘ‬ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ‫ل‬ ‫ݍ‬ ‫س‬ ‫ٱ‬ ۡ ۡ‫كل‬ ‫ر‬ ‫د‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫إل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ Artinya: Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. (Q.S. al-Nisâ’ 4: 145) Para ulama Kủfah dari Imâm qirâ‟ât membaca lafazh ‫ ا‬dengan men-sukủn râ’, sedangkan Imâm yang lain membacanya dengan mem-fathah-kannya. Keduanya mempunyai kesamaan makna. Lafazh ‫( ا‬al-darak) dengan memfathah râ’ lebih banyak digunakan oleh para Imam. `Âshim mengatakan jika lafazh ‫( ا‬al-darak) dengan mem-fathah râ’, maka maknanya adalah ‫( ا‬al-suflâ) yang berarti tingkatan yang bawah dari neraka, lebih lanjut ia mengatakan bahwa al-darak merupakan bentuk jamak dari lafazh ‫( ا‬al-darakah) seperti lafazh ‫ ا‬dan ‫ ا‬, maka lafazh tersebut wajib disifati dengan lafazh ‫( ا‬alsuflâ) dan bukan ‫( اأ‬tempat yang paling bawah dari neraka). (Abû Muhammad Makkî ibn Abî Thâlib al- Qaisiyyi, 1984: 401) Sehubungan dengan makna ‫ا‬ ‫م ا‬ ‫( اأ‬al-dark al-asfal min al-nâr) Ibn Katsîr menafsirkannya dengan menukil pendapat al-Walibî yang meriwayatkan dari Ibn `Abbâs, bahwa ‫م ا‬ ‫اأ‬ ‫( ا‬al-dark) berarti “dasar neraka”. Selain Ibn `Abbâs mengatakan bahwa neraka itu terdiri atas berbagai tingkatan dasar, sebagaimana surga pun mempunyai berbagai tingkat ketinggian derajat. (Abû al-Żidâ’ Ismâ`il Ibn Katsîr alQuraisyî al-Dimsyiqî, t.th.: 666) Sufyân al-Tsaurî meriwayatkan dari `Ashim, dari akwân Abủ Shâlih, dari Abủ Hurairah sehubungan dengan makna ‫م ا‬ ‫اأ‬ ‫( ا‬al-darak) yaitu di dalam peti-peti yang dikocok-kocok, sedangkan mereka berada di dalamnya. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibn Jarîr, dari Ibn Wakî`, dari Yahyâ Ibn Yamân, dari Sufyân alTsaurî dengan lafazh yang sama. (Abû al-Żidâ’ Ismâ`il Ibn Katsîr al-Quraisyî alDimsyiqî, t.th.: 666) Ibn abi Hâtim meriwayatkannya dari al-Mun ir ibn Syâ ân, dari `Ubaidillâh ibn Mủsâ, dari Isrâ’îl, dari `Âshim, dari Abû Shâlih, dari Abû Hurairah sehubungan dengan lafazh di atas, dikatakan bahwa bagian yang paling bawah merupakan rumah-rumah yang memiliki banyak pintu, lalu dikunci rapat-rapat, sedangkan mereka (orang-orang munafik) berada di dalamnya, kemudian dari bagian bawahnya- juga dari bagian atasnyadinyalakan api neraka. Dalam hal ini penulis melihat bahwa perbedaan qirâ‟ât di atas tidak berpengaruh terhadap perbedaan makna dan maksud ayat, walaupun terdapat perbedaan dan pergantian harakah pada lafazh tersebut. 5. Perubahan Bentuk Hażf dan Itsbât Hażf (membuang) dan itsbât (menetapkan) adalah istilah lain dari naqsh (pengurangan) dan ziyâdah (penambahan) dalam ilmu qirâ‟ât. Sebagian ulama qirâ‟ât memakai istilah yang berbeda, untuk maksud yang sama, sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan yang lalu. Hażf dan Itsbât ini bisa saja terjadi pada huruf, seperti harf al-`athaf, harf al-jarr, dan atau dhamîr. (Lihat Shubhi al-Shâlih , 1988: 111). Contoh hażf dan itsbât pada dhamîr. Hażf dan Itsbât pada dhamîr terdapat pada surat al-Hadîd ayat 24 yang berbunyi: ‫َ ق ق ق ك ق قق كك ق‬ ‫ونۡٱنَ ق‬ ‫ݚۡق قت قَ َلۡفقإ َنۡٱ َ ق‬ ‫لۡ قو قݘ ق‬ ‫نۡۡٱ ق‬ ‫اسۡبۡٱۡك‬ ‫ّۡ كه قَۡٱل قغ ي‬ ۡ‫ۡ لݙ ك‬ ۡ ۡ َ‫ٱ‬ ۡ ۡ٤ۡ‫يܯ‬ ۡ ‫ܮ‬ ۡ ‫ليݚۡقبܮݖَنۡويأها‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ Artinya: ...Dan Barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) Maka Sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (Q.S. al-Hadîd 57: 24) Kalimat ‫ ف ه ا غ ي ا ح ي‬dibaca ole Nafi`dan Ibn `Amir dengan tidak memakai “ ”, sedangkan Imam lain membacanya dengan memakai “ ”, begitu pula pada mushhaf ahli Kủfah, Bashrah, dan Makkah. (Abû Muhammad Makkî ibn Abî Thâlib al- Qaisiyyi, 1984: 312) 6. Perbedaan dari Segi Taqdîm dan Ta‟khîr Perbedaan qirâ‟ât dari segi taqdîm dan ta‟khîr artinya mendahulukan huruf atau lafazh yang di belakang atau mengemudiankan yang dahulu. Contoh perbedaan qirâ‟ât dari segi ini dapat dilihat pada surat Âli `Imrân ayat 195 yang berbunyi: ْ ‫ق ققك ْ قك ك‬ ْ ‫ق َ ق ق ق ك ْ قك ك‬ ْ ‫قك ك‬ ‫ق‬ ‫ق‬ ٰ ٰ ۡ َ‫ ۡفۡٱ‬... َِۡ‫يِ ۡوقتݖَِ ۡوݏتلݖ‬ ‫ليݚ ۡهاجاوِ ۡوأر لاجَِ ۡݘلݚ ۡدلي لاهلݗ ۡوأوذوِ ل‬ ‫ِۡ ۡسب ل ل‬ ّ ‫قك قّق َ ق ك ق‬ ‫ق‬ ۡٔ ‫ۡك لݍانۡعݜهݗۡس ل‬ ۡ ۡ٥ۡ...ۡ‫ياه ل لهݗ‬ Artinya: Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka ...(Q.S. Ali `Imrân 3: 195) Kalimat ‫ا‬ ‫ا‬ (wa qâtalû wa qutilû) dibaca oleh Hamzah, Kisâ’i dengan ‫ا‬ ‫( ت ا‬wa qutilû wa qâtalû) yakni dengan mendahulukan fi`il mabnî li al-maf`ủl atas fi`il mabnî li al- fâ`il, sementara Imâm lain membacanya dengan ‫ا‬ ‫( ت ا‬wa qâtalủ wa qutilû) yakni mendahulukan fi`il mabnî li al-fâ`il atas mabnî li al-maf`ủl seperti pada ayat di atas, semua Imam membacanya dengan tanpa tasydîd yakni ‫ا‬ (qutilû), kecuali Ibn Katsîr dan Ibn `Âmir membacanya dengan tasydîd ‫ا‬ (quttilû).(Abû Muhammad Makkî ibn Abî Thâlib al- Qaisiyyi, 1984: 373) Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Utama tulian ini yaitu bahwa perbedaan qirâ‟ât al-Qur’an ditinjau dari aspek qawâ`id bahasa Arab meliputi mustawâ sharfî (aspek morfologi), dan mustawâ nahwî (aspek sintaksis). Penelitian mengenai qirâ‟ât al-Qur’an merupakan langkah awal yang harus diikuti dengan langkah-langkah lanjutan dengan melakukan kajian-kajian yang lebih mendalam lagi dan lebih komprehensif. Dengan adanya pembatasan masalah dalam tulisan ini, sudah tentu akan menyisakan persoalan-persoalan dan memerlukan penelitian-penelitian khusus selanjutnya, misalnya penelitian yang lebih mendalam lagi kepiawaiannya di bidang kebahasaan yang lain seperti qirâ‟ât al-Qur’an kaitannya dengan ilmu balaghah dan sebagainya. Setelah penulis menyimpulkan tulisan ini, maka ada beberapa hal yang ingin penulis rekomendasikan kepada peneliti di bidang bahasa Arab Rekomendasi itu antara lain: Pertama, untuk menggali dan mengungkap berbagai rahasia yang terkandung dalam kitab suci al-Qur’an, melalui berbagai bentuk perbedaan qirâ‟âtnya, dapat diadakan kajian dan penelitian lebih luas lagi di bidang kebahasaan yang lain. Kedua, mengingat begitu pentingnya fungsi pengetahuan dan pemahaman bahasa Arab dalam menjelaskan makna dan kandungan ayat khususnya yang berkaitan dengan perbedaan bacaan al-Qur’an, para peneliti sebaiknya mengetahui dan mendalami seluk beluk bahasa Arab dengan berbagai kaidahnya secara baik dan menyeluruh. Daftar Pustaka Abî Thâlib (ibn), Abû Muhammad Makkî, Kitâb al-Kasyf `an Wujûh al-Qirâ‟ât al-Sab` wa `Ilalihâ wa Hijajuhâ, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1984. Cet. Ke-3. Al-Qur‟ân al-Karim dan Terjemahnya, Madînah al-Munawwarah, Majma` Khâdim al-Haramain al-Syârifain al-Malik Fahd Li Thabâ`ah al-Mushhaf al-Syarîf, t.th. Moleong, Lexy. J. 1997. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya. Râjihî (al-), `Abduh, al-Lahjât al-`Arabiyyah fi al-Qirâ‟ât al-Qur‟âniyyah, Riyâdh: Maktabah alMa`ârif li al-Nasyr wa al-Tauzî`,1999. `Asymâwî (al-), al-`Asymâwî `alâ Matn al-Ajrûmiyyah fî Qawâ`id al-`Arabiyyah, t.tp. : Thâha Putra Semarang, t.th. Ibn Kastîr, Imâd al-Dîn Abû al-Żidâ’ al-Quraisy al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur‟ân al-`Azhîm, Mesir: Dâr al-`Aqîdah li al-Turâts, t.th. Shâlih (al-), Shubhi, Mabâhits fî `Ulûm al-Qur‟ân, Beirut: Dâr al-`Ilm li-al-Malâyîn, 1988.