Academia.eduAcademia.edu

QIRA'AT AL-QURAN

Al-qur'an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril sebagai Mu'jizat. Al-Qur'an adalah sumber ilmu yang merupakan dasar-dasar hukum yang mencakup segala hal, baik aqidah, ibadah, etika, mu'amalah dan sebagai tambahan pahala bagi yang membacanya. Dalam membaca al-Quran, ada namanya ilmu Qira'at, yang merupakan salah satu cabang ilmu dalam Ulumul Qur'an, tapi sangat di sayangkan minat orang untuk mempelajari ilmu qira'at ini sangat sedikit dikarenakan ilmu ini memang cukup rumit untuk dipelajari. banyak hal yang harus diketahui oleh peminat ilmu qira'at ini, yang terpenting adalah pengenalan al-Qur'an secara mendalam dalam banyak seginya, hafalan sebagian besar dari ayat-ayat al-Quran, pengetahuan bahasa Arab yang mendalam dan luas dalam berbagai seginya, pengenalan berbagai macam qiraat dan para perawinya. Hal-hal inilah barangkali yang menjadikan ilmu ini tidak begitu populer. Meskipun demikian keadaannya, ilmu ini telah sangat berjasa dalam menggali, menjaga dan mengajarkan berbagai cara membaca al-Qur'an yang benar sesuai dengan yang telah diajarkan Rasulullah SAW. Para ahli qira'at telah mencurahkan segala kemampuannya demi mengembangkan ilmu ini. Ketelitian dan kehati-hatian mereka telah menjadikan al-Qur'an terjaga dari adanya kemungkinan penyelewengan dan masuknya unsur-unsur asing yang dapat merusak kemurnian al-Qur'an. Tulisan singkat ini akan memaparkan secara global tentang ilmu Qira'at al-Qur'an. B. Pembahasan 1. Pengertian Qira'at

QIRA’AT AL-QURAN Pendahuluan Al-qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril sebagai Mu’jizat. Al-Qur’an adalah sumber ilmu yang merupakan dasar-dasar hukum yang mencakup segala hal, baik aqidah, ibadah, etika, mu’amalah dan sebagai tambahan pahala bagi yang membacanya. Dalam membaca al-Quran, ada namanya ilmu Qira’at, yang merupakan salah satu cabang ilmu dalam Ulumul Qur’an, tapi sangat di sayangkan minat orang untuk mempelajari ilmu qira’at ini sangat sedikit dikarenakan ilmu ini memang cukup rumit untuk dipelajari. banyak hal yang harus diketahui oleh peminat ilmu qira’at ini, yang terpenting adalah pengenalan al-Qur’an secara mendalam dalam banyak seginya, hafalan sebagian besar dari ayat-ayat al-Quran, pengetahuan bahasa Arab yang mendalam dan luas dalam berbagai seginya, pengenalan berbagai macam qiraat dan para perawinya. Hal-hal inilah barangkali yang menjadikan ilmu ini tidak begitu populer. Meskipun demikian keadaannya, ilmu ini telah sangat berjasa dalam menggali, menjaga dan mengajarkan berbagai cara membaca al-Qur’an yang benar sesuai dengan yang telah diajarkan Rasulullah SAW. Para ahli qira’at  telah mencurahkan segala kemampuannya demi mengembangkan ilmu ini. Ketelitian dan kehati-hatian mereka telah menjadikan al-Qur’an terjaga dari adanya kemungkinan penyelewengan dan masuknya unsur-unsur asing yang dapat merusak kemurnian al-Qur’an. Tulisan singkat ini akan memaparkan secara global tentang ilmu Qira’at al-Qur’an. Pembahasan Pengertian Qira’at Secara etimologi kata قراءات berasal dari jamak kata قراءة yang berarti “bacaan”, kata tersebut merupakan bentuk mashdar dari Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Imu AL-Qur’an, penerjemah Aunur Rafiq El-Mazni, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,2006), hal.211.قراء. Secara terminologi, Ilmu Qira’at adalah Ilmu yang mengenai cara melafadzkan al-Quran yang disertai perbedaan pembacaannya menurut versi orang yang mengucapkannya, dalam mendefinisi Qira’at terjadi beberapa pendapat para ulama, dan dari definisi-definisi tersebut saya sepakat dengan Az-Zarkani yang mengatakan : مذهب يذهب اٍليه اٍمام من ا ىٍمّة القراء مخالفابه غيره فى النّطق بالقران الكريم مع اتّفاق الرّوايات والطّرق عنه سواءٌ أكا نت هذه المخالفة في نطق الحروف أم في نطق هيئا تها Artinya : Suatu mazhab yang dianut oleh imam qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan al-Qur’an al-Karim serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan ini dalam pengucapan huruf-huruf ataupun dalam pengucapan keadaan-keadaannya. Rosihon Anwar, Ulum Al-Quran, (Bandung : Pustaka Setia,2012).hal.140. Dari definisi yang di ungkapkan Az-Zarkani tersebut pemakalah mengambil tiga unsur pokok : Qira’at dimaksudkan menyangkut bacaan ayat-ayat al-Quran, cara membacanya dari satu imam dengan imam qira’at lainnya. Cara bacaan yang dianut dalam suatu mazhab qira’at didasarkan atas riwayat dan bukan atas qiyas ataupun ijtihad. Perbedaan antara qira’at-qira’at bisa terjadi untuk menukar letak huruf dan ayat-ayatnya dari satu tempat ke tempat lain. Dengan begitu qira’at adalah bagian dari al-Quran itu sendiri, maka qira’at juga bersumber dari wahyu Allah SWT yang hanya Allah sajalah yang membuatnya. al-Quran itu adalah wahyu Allah yang tidak ada campur tangan Rasulullah ataupun Jibril dalam hal wahyu-Nya itu, apalagi kekuasaan untuk menukar letak huruf dan ayat-ayatnya dari satu tempat ke tempat lain. Dengan begitu qira’at adalah bagian dari pada al-Quran itu sendiri, maka qira’at juga bersumber dari wahyu Allah SWT yang hanya Allah sajalah yang membuatnya. Ada banyak sekali dalil, baik dari al-Quran maupun Hadis mengenai qira’at yang tidak ada campur tangan makhluk manapun di antaranya : Artinya : Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan Pertemuan dengan Kami berkata: "Datangkanlah Al-Quran yang lain dari ini Maksudnya: datangkanlah kitab yang baru untuk Kami baca yang tidak ada di dalamnya hal-hal kebangkitan kubur, hidup sesudah mati dan sebagainya. atau gantilah dia Maksudnya: gantilah ayat-ayat yang menerangkan siksa dengan ayat-ayat yang menerangkan rahmat, dan yang mencela tuhan-tuhan Kami dengan yang memujinya dan sebagainya.". Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)". (QS.Yunus:15) Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, ( Semarang : Toha Putra,1989),hal.210. Artinya : Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.( QS. An-Najm : 3-5) Artinya : Seandainya Dia (Muhammad) Mengadakan sebagian Perkataan atas (nama) Kami, Niscaya benar-benar Kami pegang Dia pada tangan kanannya Maksudnya: Kami beri tindakan yang sekeras-kerasnya.. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.( QS. Al-Haqqah : 44-46) Ayat-ayat tersebut menyatakan bahwa Rasulullah SAW sedikitpun tidak sanggup mengganti atau menukar letak huruf-huruf Al-Qur’an, sekalipun menunjukkan bahwa selain Rasulullah SAW pun pasti tidak akan sanggup mengganti atau menukar letak huruf-huruf pada Al-Qur’an. Adapun dalil hadis yang menjelaskan tentang sumber qira’at adalah wahyu Allah SWT yaitu : Suatu ketika Umar bin Al-Khatab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Hakim ketika membaca ayat Al-Qur’an. Umar tidak puas terhadap bacaan Hisyam sewaktu ia membaca surat Al-Furqan. Menurut Umar, bacaan Hisyam tidak benar dan bertentangan dengan apa yang diajarkan Nabi kepadanya. Namun, Hisyam menegaskan pula bahwa bacaannya pun berasal dari Nabi. Seusai shalat, Hisyam diajak menghadap Nabi seraya melaporkan peristiwa di atas. Nabi menyuruh Hisyam mengulangi bacaannya sewaktu shalat tadi. Setelah Hisyam melakukannya, Nabi berkata : هكذا أنزلت اٍنّ هذا القران أنزل على سبعة أحرف فاقرءواماتيسّر منه “Memang begitulah Al-Qur’an diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu.”(HR.Bukhari Muslim). Latar Belakang Timbulnya Qira’at Bangsa Arab mempunyai komunitas dari berbagai suku yang mempunyai ejaan yang bermacam-macam, ini merupakan suatu tabi’at fitrah mereka dalam mengeluarkan suara, bunyi, dialek, maupun hurufnya yang berbeda. Hal ini dapat diketahui dari kitab-kitab sastranya, tiap kabilah mempunyai cara pengucapkan kata atau dialek yang berbeda dengan kabilah lainnya. Di antara kabilah Arab, Quraisylah yang banyak bekerja sebagai buruh, bahasa mereka menjadi ibu dari bahasa orang Arab, karena mereka berdekatan dengan Ka’bah sekaligus menjadi pelayan orang-orang yang naik haji dan yang ikut meramaikan Masjidil Haram. Mereka juga sangat berperan dalam dunia perdagangan, sehingga seluruh orang Arab sangat terpengaruh dengan Quraisy Manna al-Qaththan, Pembahasan Ilmu al-Quran,terjemahan Halimuddin (Jakarta : Renika Cipta,1998),hal.172.. Rasulullah SAW lahir sebagai suku Quraisy, sehingga al-Quran diturunkan kepada Rasulullah dalam bahasa Arab Quraisy, namun tidak seorangpun orang Quraisy dapat menyamai al-Quran ketika al-Quran itu sampai ke tangan mereka. Di sisi lain dengan adanya perbedaan dialek (lahjah) itu akhirnya membawa konsekuensi lahirnya bermacam-macam qiraa’ah, oleh kerena itu Rasulullah SAW sendiri membenarkan pelafasan al-Quran itu sendiri dengan berbagai macam qira’ah yang tidak beliau buat-buat sendiri. Pada masa itu yang dijadikan pedoman dalam penghafalan al-Quran atau proses trasformasinya dari generasi ke generasi lainnya dengan cara talaqqi Talaqqi adalah sebuah sistem pengajaran dengan trun temurun dari generasi ke generasi dengan menggunakan lisan dan hafalan sebagai media utamanya dalam proses transformasi dan penjagaan, biasanya antara murit dengan guru bertemu dalam satu majlis. dari guru ke guru hingga sampai pada Rasulullah SAW. Namun seiring dengan perjalanan waktu dan tuntunan zaman akhirnya al-Quran pun di bukukan pada masa Utsman bin Affan yang kemudian dikenal dengan sebutan Rasm Usmani Nasaruddin Umar, Op.Cit, hal.77.. Kerekteristik yang tampa dalam model Rasm Usmani ini hurufnya tidak diberi harakat dan titik Nasaruddin Umar, Ulumul Quran,(Jakarta : Al-Ghazali Center, 2010), hal.78. . Agar al-Quran itu dapat dibaca sesuai dengan beberapa pariasi bacaan yang ada. Jika dalam satu kalimat mengandung beberapa pariasi bacaan yang lain, maka model bacaan tersebut ditulis dalam mushaf yang lain. Dengan kondisi mushaf yang semacam itu maka tidak heran jika pada awal periode Islam, mushaf tidak dijadikan mediator utama dalam proses penjagaan dan transformasi al-Quran dan serta membacanya. Ketika Usman mengirim mushaf al-Quran ke beberapa negara tetangga, secara bersamaan ia juga mengirim orang yang mampu menguasai model bacaan al-Quran tersebut. Konsekuensi dari kebijakan Usman ini menyebabkan terjadinya perbedaan bacaan antara satu daerah dengan daerah lain. Dari peristiwa ini pemakalah dapat mengambil kesimpulan, pertama, pada masa proses turunya al-Quran dengan kondisi orang Arab yang terdiri dari berbagai suku dan yang berbeda dialeknya, sehingga terjadilah kesulitan dalam menyesuaikan dialeknya dengan dialek Quraisy dalam mengikuti qira’ah al-Quran, dengan kondisi seperti inilah yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan qira’ah. Yang kedua sahabat yang belajar al-Quran berbeda cara pengambilan bacaannya dari Rasulullah SAW. Kemudian sahabat ini berpencar dari satu daerah ke daerah lain dan bacaan ini di sebarluaskan dari generasi ke generasi lainnya, hingga timbullah perbedaan dari satu guru ke guru yang lainnya. Yang ketiga pada masa Usman bin Affan, dengan membuat mushaf al-Quran yang satu mushaf berbeda Qira’ahnya dengan mushaf lainya dan mushaf itu dikirim ke berbagai daerah, tentu hal ini menimbulkan qira’ah yang berbeda pula antara satu daerah dengan daerah lainnya. Sebab-Perbedaan Qira’at Diantara penyebab munculnya perbedaan qira’at dapat diperiodekan pada dua periode, pada masa Rasulullah dan sesudah masa Rasulullah : Pada masa Rasulullah SAW yang menjadi dasar dari perbedaan qira’ah itu dikarenakan : Perbedaan Qira’at Nabi. Dalam mengajarkan al-Quran kepada para sahabat, Nabi memakai beberapa persi qira’at, misalnya Nabi pernah membaca surah As-Sajadah (32) ayat 17: آُخْفِيْ قُرَّاتِ Pengakuan dari Nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku dikalangan kaum muslim waktu itu. Hal ini menyangkut dialek antara mereka dalam mengucapkan kata-kata di dalam al-Quran, contoh : Ketika Hudzail membaca dihadapan Rasul عَتَّى حِيْنٍ (atta hin) padahal ia mengkehendaki حَتَّى حِيْنٍ (hatta hin), Rasul pun membolehkannya sebab memang begitulah orang hudzail mengucalkan dan menggu nakannya. Ketika orang Asadi membaca di hadapan Rasul تسودّ وجوه (tiseaddun wujuh) huruf ta pada tiswaddu dikasrahkan. Trus pada kalimat الم اعهد اليكم (alam i’had ilaikum) huruf hamzah pada kata i’had di kasrahlan. Rasul pun membolehkannya, sebab memang demikianlah orang Asadi menggunakan dan mengucapkannya. Ketika seorang Tamim mengucapkan hamzah pada suatu kata yang tidak di ucapkan Quraisy, Rasul pun mendiamkannya, sebab begitulah orang Tamim mengucapkan dan menggunakannya. Dan contoh-sontoh yang lainnya Rosihon Anwar, Op.Ci.,hal.149.,. Masa perkembangan qira’at pada masa sahabat, tabi’in, tabi’it’ tabi’in dan seterusnya, itu hanya pengucapan yang bersumber dari Nabi, bukan yang di buat-buat lagi walaupun terjadi perbedaan dialeknya. Qira’at itulah yang di bacakan sahabat dan yang ajarkannya. Sahabat-sahat yang terkenal sebagai guru dan ahli qira’at al-Quran ada tujuh orang yaitu : Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abu Ad-Darda, Ibnu Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari. Mayoritas sahabat mempelajari qira’at dari Ubay di antaranya ; Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan Abdullah bin As-Sa’ib Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Imu AL-Qur’an, Penerjemah Aunur Rafiq El-Mazni Loc.Cit.. Ibnu Abbas Juga belajar kepada Zaid kemudian kepada para sahat itulah sejumlah sahabat tabi’in di setiap negara mempelajari qira’at. Beberapa tabi’in yang terkenal sebagai ahli qira’at berdasarkan tempat mereka, yakni : Kota Makkah : Mujahid, Ikrimah, Thawus, Ibnu Abi Mulaikah, Ubaidi bin Umar dll. Kota Madinah : Umar bin Abdul Aziz, Ibnu Al-Musayyab, Zaid bin Aslam, Urwah bin Zubair, Sulaiman bin Yasar, Az-Zuhri, Ibnu Syihab, Abdurrahman bin Hurmuz dan Mu’adz bin Harits dll. Kota Bashrah : Abu Aliyah, Abu Raja, Nashar bin Ashim, Yahya bin Ya’mar, Ibnu Sirin, dll. Kota Kufah : Abu Abdurrahman As-Salami, Alqamah, Al-Aswad, Sa’id bin Jubair , Amr bin Maimun, Al-Harits bin Qais, dan lain-lain. Kota Syam : Al-Mughirah bin Abi Syihab,Al-Makhzumi, Khalifah bin Sa’id. Ibid,. Hal.212 Pada permulaan abad pertama Hijriah di masa tabi’in, tampillah sejumlah ulama yang konses terhadap masalah qira’at secara sempurna karena keadaan memang menuntun demikian. Saat itu pula ilmu tentang al-Qur’an telah banyak sekali cabang-cabangnya. Orang yang pertama kali mengumpulkan berbagai qira’at adalah Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam. Ia mengumpulkan dua puluh lima ulama ahli qira’at selain dari imama yang tujuh itu, kitabnya itu bernama “Al-Qiraa’aat”, dan ia wafat pada tahun 224 H. Sesudah itu Abu Bakar Ahmad bin Musa bin Abbas bin Mujahid merupakan orang yang membatasi hanya pada. Sesudah itu, Abu Bakar Ahmad bin Musa bin Abbas bin Mujahid merupakan orang pertama yang membatasi hanya pada qira’at tujuh orang saja. Persoalannya, mengapa hanya yang tujuh imama qira’at saja yang mashyhur padahal masih banyak imam-imam yang lain yang lebih tinggi kedudukannya atau setara dengan mereka ?, sehingga persepsi orang bahwa qira’at yang lain di anggap keliru, hal ini dikarenakan sangat banyanya periwayat qira’at mereka. Ibnu Jabr al-Makki telah menyusun sebuah Kitab qira’at yang hanya membatasinya hanya pada lima qira’at saja dengan alasan bahwa mushaf yang dikirim Utsman ke negeri-negeri itu hanya lima buah. Adapun Nama-nama imam qira’at itu ialah : Imam qira’at tujuh yang sebut dengan Qira’ah Saba’ah ialah : Abu Amru bin al-Ala’. Seorang syaikh para perawi. Nama lengkapnya adalah Zabban bin ‘Ala’ bin Ammar al-Mazini al-Bashri, Disebut juga sebagai namanya dengan Yahya, menurut sebagian orang nama Abu Amru itu nama panggilannya. Beliau wafat di Kufah pada tahun 154 H. Kedua perawinya adalah ad-Duri wafat pada tahun 246 H. dan as-Susy wafat pada tahun 261 H. Ibnu Katsir. Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Katsir al-Makki, ia adalah imam dalam hal qira’at di Makkah, wafat di Makkah pada tahun 120 H. Perawinya adalah al-Bazzi wafat pada tahun 250 H. dan Qunbul wafat pada tahun 291 H. Nafi al-Madani. Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi’ bin Abdurrahman bin Abi Na’im al-Laitsi, asalnya dari Isfahan. Beliau wafat pada tahun 169 H. Perawinya adalah Qalun wafat pada tahun 12 H, dan Warasi wafat pada tahun 197 H. Ibnu Amir Asy-Syami. Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Amir al-Yahsubi seorang qadhi di Damaskus pada masa pemerintahan Walid ibnu Abdul Malik. Pannggilannya adalah Abu Imran, Dia adalah seorang tabi’in, Wafat di Damaskus pada tahun 118 H. Dua orang perawinya adalah Hisyam wafat pada tahun 245 H, Ibnu Dzakwan wafat tahun 242 H. Ashim al-Kufi. Nama lengkapnya adalah Ashim bin Abi an-Nujud. Disebut juga dengan Ibnu Bahdalah. Panggilannya adalah Abu Bakar, ia adalah seorang tabi’in yang wafat di Kufah tahun 128 H. Kedua Perawinya adalah; Syu’bah wafat pada tahun 193 H dan Hafsah wafat pada tahun 180 H. Hamzah al-Kufi.Nama lengkapnya adalah Hamzah bin‘Imarah az-Zayyat al-Fardhi at-Thaimi, dipanggil dengan Abu Imarh, wafat di Hawan pada masa Khalifah Abu Ja’far al-Manshur tahun 156 H. Kedua perawinya adalah Khalaf wafat tahun 229 H. Dan Khallad wafat tahun 220 H. Al-Kisa’i al-Kufi Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Hamzah, seorang imam nahw di Kufah. Ia digelari dengan nama Abul Hasan, dipanggil dengan sebutan al-Kisaiy karena memakai kisa (potongan kain penutup Ka’bah/ Kiswa) pada waktu ihram. Beliau wafat di Ranbawiyyah yaitu sebuah desa di Negeri Ray ketika ia dalam perjalanan ke Khurasan bersama ar-Rasyid pada tahun 189 H. Perawinya adalah Abul Harits wafat pada tahun 424 H, dan ad-Duri wafat tahun 246 H Ibid,. Hal. Ibid,. 223-225. Adapun tambahan ketiga imam qira’at sebagai pelengkap imam qira’at tujuh (Qira’at Asyarah) adalah : Abu Ja’far al-Madani, ia bernama Yazid al-Qa’qa meninggal 130 H. Dua orang periwayatnya Ibnu Wardan dan Ibnu Jammaz. Ya’kub al-Bashri. Ia bernama Ya’kub bin Ishaq bin Zaid al-Hadhrami wafat di Bashrah 205 H. Dua orang periwayatnya adalah Ruwais dan Raum. Khalaf. Ia adalah Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam, Wafat tahun 229 H. Dua orang periwayatnya adalah Ishaq dan Idris Ibid,.. Sebagian ulama juga menempatkan empat imam qira’at kepada qira’at sepuluh (Qira’at Arba’ata Asyar’) adalah: Qira’at al-Hasan al-Bashri. Meninggal 110 H. Qira’at Muhammad bin Abdirrahman yang dipanggil Ibnu Muhaishan. Wafat 123 H. Qira’at Yahya al-Mubarak al-Yazidi an-Nahwi. Wafat 202 H. Qira’at Abul Faraj Muhammad bin Ahmad Asy- Syanbudzi. Wafat 388 H Ibid,. Hal.226. Sebahagian ulama berpendapat bahwa qira’at itu ada yang mutawatir Mutawatir ialah : yang disampaikan sekelompok orang mulai sampai pada akhir sanat, yang tidak mungkin sepakat untuk berbuat dusta., ahad Ahada ialah : yang memiliki sanad sahih tetapi menyalahi tulisan Mushaf Usmani dan kaidah Bahasa Arab tidak memiliki ke mashuran., syadz Syadz ialah : menyimpang, yang sanatnya tidak sahih. Contoh مَلَكَ يوم الدين) ) atau ( ايّاك يعبد ) dan Maudhu Maudhu ialah : qira’at yang palsu seperti qira’atnya al-Khazzani, Ash-Suyuthi.. Menurut sebahagian ulama bahwa qira’ah yang tujuh itu adalah qira’ah yang mutawatir, tiga qira’at pelengkap menjadi sepuluh adalah qira’at yang ahad, tambahan qira’at yang empatnya lagi adalah qira’at yang syadz. Namun ada juga yang perpendapat bahwa kesepuluh qira’at itu mutawatir semua, mengenai qiraah empat belas terjadi perbedaan ulama tentang kemutawatirannya ataukah itu termasuk kategori syadz. yang menjadi pegangan dalam hal qira’at itu adalah Qira’at yang Shahih baik yang qira’at tujuh, qira’at sepuluh maupun qira’at yang lainnya, jadi tidak ada istilah pengkata gorian Qira’at. Untuk mengetahui suatu diterimanya suatu qira’ah maka maka perlu di teliti apakah qira’at itu masuk dalam syarat-syarat sebagai berikut : Tiap bacaan sesuai dengan grametika Arab (nahwu) Dan sesuai dengan rasmk Utsmani walaupun secara perkiraan. Serta nanadnya shahih. Sebagai mana hal ini dijumpai dalam kitab at-Thayyibah yang saya kutib dalam bukunya Nasaruddin Umar : وكان للرّسم احتمالاً يحوي الثّلا ثة الآركان Nasaruddin Umar, Op.Cit,.hal.84. وكلّ ما وافق وجه النّحو وصحّ اسنادًا،هو القران فهذ ه Dalam menanggapi perbedaan tersebut, pemakalah sepakat dengna pendapat yang ketiga yang menjadi tolak ukur qira’at itu adalah shahih atau tidaknya dan memang tidak ada anjuran dari Rasulullah mengenai pengkatagorian qira’ah tersebut. Mengenai hadis Rasul yang mengatakan : انّ هذا القران أنزل على سبعة أحرف Yang dimaksud dengan tujuh dalam hadis ini bukanlah tujuh dalam bilangan yang sebenarnya, tujuh yang dimaksut disini merupakanbanyaknya kemungkinan cara dalam membaca al-Quran, namun ada juga dari sebahagian ulama yang mengatakan tujuh yang dimaksut dalam hadis itu adalah bilangan yang di kenal. Sedangkan kata ahruf merupakan bentuk jamak dari harf dalam bahasa Indonesia selalu ditertemahkan dengan huruf. Dalam bahasa Arab kata harf adalah lafas musytarak sesuai dengan penggunaan harf bisa berarti tapi sesuatu, puncak, satu huruf ejaan, unta yang kurus, aliran air, bahasa , bentuk dan sebagainya. Sehingga سبعة أحرف itu bisa di artikan dengan tujuh bahasa, tujuh ilmu, tujuh makna, tujuh bacaan, tujuh bentuk. Jadi yang tepat dengan سبعة أحرف dalam al-Quran itu adalah tujuh bentuk perbedaan yang mungkin terjadi. Macam-Macam Qira’at Sebagaiman telah di sebutkan sebelumnya dalam persoalan al-Quran diturunkan dengan tujuh huruf merupakan hadis yang tidak diragukan lagi kesahihannya, namun dalam memahaminya terdapat keragaman para ulama. Ibnu Qutaibah menfsirkan saba’ah uhruf itu dengan tujuh bentuk perubahan, yaitu : Perbedaan pada bentuk isim , antara ifrat,tazkir, dan cabang-cabangnya, Contohnya : Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. (QS,23:8) Lafad bergaris dibaca لأمَانَاتِهِمْ yaitu dengan jamak, ada juga yang membaca لأمَانتِهِمْ yaitu dengan ifrad. Perbedaan bentuk fi’il madhi , mudhari’ atau amar, Contohnya : Maka mereka berkata: "Ya Tuhan Kami jauhkanlah jarak perjalanan kami. (QS,34 : 19) Sebahagian qiraat membaca lafad ‘rabbana’ dengan rabbuna, dan dalam kedudukan yang lain lafas ‘ba’idu’ dengan ‘ba’ada’. Perubahah pada lafas ننسر ها dengan ra dan ننشزها dengan zai. Perubahan pada lafaspengganti huruf yang berhampiran makhrajnya, seperti طلح منضود dengan طلع منضود Perubahan dengan cara Mendahulukan (taqdim) dan mengakhirkan (ta’khir). Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya.(QS,50 : 19) dibaca dengan di dahulukan ‘al-haq’ dan diakhirkan ‘al-maut’, بالموت سكرة الحقجاءتو perubahan dengan penambahan dan pengurangan kalimat Dan penciptaan laki-laki dan perempuan,(QS,92 : 3) dengan kalimat الذ كر والانشى Perubahan dengan penggantian suatu kata dengan kata yang lain Dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan.(QS,101 : 6) dibaca dengan وتكون الجبال كالصّوف المنفوش Hasan Zaid, Ulumul Quran, (Batusangkar : STAIN Press,2011), hal.152. Hikmah Turunya Al-Quran Atas Tujuh Huruf Adanya perbedaan qira’at dalam al-Quran adalah hikmah yang cukup besar bagi umat Islam. Hikmah-hikmat tersebut antara lain : Memudahkan umat Islam dalam memahami al-Quran. Ketika al-Quran memiliki model bacaan, maka umat Islam juga akan terbentuk dalam peroses membaca dan memahaminya. Mempersatukan umat Islam melalui bahasa satu yaitu bahasa Arab Quraisy. Menjelaskan hukum Islam dengan mudah. Dalam al-Quran terdapat beberapa ayat tasyri’ (hukum) yang tidak mudah dimengerti setiap orang, maka dengan adanya beberapa alternatif bacaan ini, memudahkan dalam peroses penjelasan hukum tersebut. Menunjukkan keutamaan dan kemuliaan al-Quran diantara kitad-kitab samawi yang lainnya. Kerena kitab-kitab selain al-Quran tidak memiliki pariasi qira’atnya, kitab tersebut hanya memiliki satu model bacaan. Melipatgandakan pahala pembacanya, karena dengan adanya beberapa qira’at pembaca akan lebih giat untuk mempelajari, menggali dan memperdalam bacaan yang ada baik dari sisi tajwitnya, makhrij huruf, panjang pendeknya dan penggalian hukum-hukumnya. Menguak rahasia Allah SWT. Yang tersimpan dalam al-Quran dan penjagaan-Nya terhadap kitab-Nya dari interfensi manusia. Membuka tabir kemukjizatan al-Quran lewat redaksi yang singkat, padat dan penuh arti. Secara sekilas perbedaan qira’at memang menunjukkan adanya inkonsistensi kalam Allah, tapi setelah diteliti lebih mendalam, ternyata perbedaan bacaan itu tidak mengubah esensi dan makna yang terkandung dalam al-Quran, inilah yang disebut dengan Mikjizat Nasaruddin Umar, Op.Cit.,95-96.. Menghilangkan pemahaman yang salah terhadap ayat al-Quran seperti furman Allah : Artinya : Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(SQ,62 : 9) Sebagian ada yang membacanya dengan فاامضوا الى ذكر الله bacaan ini menyingkap pemahaman sebahagian orang yang mengartikan فاسعوا sebagai kewajiban mempersepat langkah ketika menuju shalat jum’at. Padal sebenarnya yang dimaksud dengan فاسعوا adalah فامضوا yang berarti bergegas atau bersegera memenuhi panggilan Allah untuk melaksanakan shalat jum’at. Menjelaskan lafas yang mubham. Seperti firman Allah : Dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan. Sebagian ulama membacanya dengan كااصوف المنفوش , bacaan yang kedua ini memberikan penjelasan bahwa yang dimaksut dengan العهن adalah الصف (bulu domba). Penutup Al Quran adalah pedoman utama umat Islam sepanjang zaman. Al Quran juga merupakan mu’jizat terbesar yang diturunkan Allah. Sebagaimana Allah SWT telah berjanji untuk menjaganya, maka keragaman qira’at Al Quran menjadi bukti begitu dahsyatnya al-Quran itu, waluapun ada keragaman dalam bacaannya tapi masih tetap terjaga keasliannya. Keragaman bacaan al-Quran bukanlah semata-mata tidak ada hikmahnya atau itu menunjukkan ketidak konsistenan Kaalamnya, justru disitulah letak kelebihannya yang tidak dijumpai dalam kitab-kitab lain. Adanya keragaman qira’at dalam al-Quran tujuannya untuk Mepermudah umat Islam dalam mempelajarinya dan memahaminya, apalagi pada masa Rasulullah SAW yang dimana orang Arab itu banyak yang tidak bisa baca tulis, sehingga sukar rasanya mereka menyesuaikan dialeknya dengan qira’at al-Quran. Degna adanya perbedaan qira’at juga dapat mempersatukan umat Islam melalui bahasa satu yaitu bahasa Arab Quraisy, Menjelaskan hukum Islam dengan mudah. Dengan demikina pembaca juga akan lebih giat dalam mempelajari, menggali dan memperdalamnya. Berkaitan dengan qira’at sab’ah, asyrah dan Arba’atta Asyar pemakalah melihat itu hanya sebagai pengkelompokan dikalangan ulama, yang tidak adanya anjuran Rasul dalam hal itu, mengenai hadisnya yang mengatakan سبعة أحرف itu bukanlah menunjuk kan Qira’at Sab’ah, tapi itu mempunyai arti yang sangat luas bisa berarti tujuh bahasa, tujuh ilmu, tujuh makna, tujuh bacaan, tujuh bentuk dan sebagainya. Daftar Pustaka Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Semarang : Toha Putra,1989. Manna al-Qaththan, Pembahasan Ilmu al-Quran,terjemahan Halimuddin Jakarta : Renika Cipta,1998. Pengantar Studi Imu AL-Qur’an, penerjemah Aunur Rafiq El-Mazni, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,2006. Hasan Zaid, Ulumul Quran, Batusangkar : STAIN Press, 2011 Nasaruddin Umar, Ulumul Quran,Jakarta : Al-Ghazali Center, 2010. Rosihon Anwar, Ulum Al-Quran, Bandung : Pustaka Setia, 2012. 14