Academia.eduAcademia.edu

Pengertian pendidikan

Pendidikan diartikan dalam banyak versi, hal ini sejalan dengan nilai, kepercayaan, pandangan atau asumsi yang dipegang oleh para pembuat definisi pendidikan khususnya berkaitan dengan hakikat manusia itu sendiri. Seller dan Miller (1988) menyebutnya sebagai orientasi. Dengan kata lain, definisi pendidikan dibuat merujuk pada sistem filsafat yang dipegang. Cabang Filsafat yang mempelajari tentang hakikat atau makna dibalik suatu fenomena yaitu metafisika. Sehingga dengan demikian, karena yang menjadi objek kajian pendidikan dan pendidikan itu berkaitan dengan manusia sehingga pendidikan sangat berkaitan sekali dengan metafisika manusia. Oleh karena itu, pendidikan selalu mengacu pada metafisika. E.F. Schumaker (1994) menjelaskan bahwa pendidikan tidak akan mampu menolong kita apabila tidak memberi tempat kepada metafisika. Sebab itu, materi dan metode pendidikan perlu dipilih atas dasar asumsi tentang hakikat manusia dan tujuan pendidikan yang diturunkan dari padanya.

Pengertian pendidikan             Pendidikan diartikan dalam banyak versi, hal ini sejalan dengan nilai, kepercayaan, pandangan atau asumsi yang dipegang oleh para pembuat definisi pendidikan khususnya berkaitan dengan hakikat manusia itu sendiri.  Seller dan Miller (1988) menyebutnya sebagai orientasi. Dengan kata lain, definisi pendidikan dibuat merujuk pada sistem filsafat yang dipegang. Cabang Filsafat yang mempelajari tentang hakikat atau makna dibalik suatu fenomena yaitu  metafisika. Sehingga dengan demikian, karena yang menjadi objek kajian pendidikan dan pendidikan itu berkaitan dengan manusia sehingga pendidikan sangat berkaitan sekali dengan metafisika manusia. Oleh karena itu, pendidikan selalu mengacu pada metafisika. E.F. Schumaker (1994) menjelaskan bahwa  pendidikan tidak akan mampu menolong kita apabila tidak memberi tempat kepada metafisika. Sebab itu, materi dan metode pendidikan perlu dipilih atas dasar asumsi tentang hakikat manusia dan tujuan pendidikan yang diturunkan dari padanya.          Pandangan atas manusia itu sendiri sangar beragam, sehingga tidak heran apabila terdapat definisi pendidikan yang beragam pula.  Berikut ini adalah beberapa penjelasan yang berkaitan dengan pengertian pendidikan. a. Pengertian pendidikan berdasarkan arti kamus      Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998) setidaknya ada lima kata yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu: didik, mendidik, didikan, pendidik, dan pendidikan.     Didik atau mendidik diartikan sebagai memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai ahlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan kata didikan diartikan dalam tiga pengertian. Hasil mendidik, contoh : Anak-anak didikan Taman Siswa pada umumnya  memiliki rasa kebanggsaan yang tebal. Anak atau hewan (sic) yang dididik, contoh: Anak saleh itu didikan orang  tuanya. Cara mendidik, contoh : Bukan karena apa anak itu, hanya salah didikan.     Pendidik adalah orang yang mendidik. Sedangkan pendidikan itu sendiri berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; atau proses, cara, perbuatan mendidik. b. Pengertian pendidikan berdasarkan pandangan teoritik tertentu dan    kebijakan nasional pendidikan Indonesia.     Untuk memperluas cakrawala tentang pengertian pendidikan selanjutnya berikut ini adalah beberapa pengertian pendidikan yang didasarkan pada pandangan teoritik tertentu, dan menurut kebijakan pendidikan nasional Indonesia sebagaimana tercantum dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.  Pendidikan sebagai proses transformasi budaya      Pandangan ini merujuk pada konsep yang ada pada kajian sosiologi dan antropologi. Disiplin ilmu yang memperlajari tentang institusi dan kebudayaan masyarakat. Dalam hal ini pendidikan diartikan sebagai aktivitas pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi lainnya. Melalui pendidikan inilah kepercayaan, nilai-nilai, adat-istiadat, bahasa, sistem moral di wariskan dan dilestarikan antar generasi. Dengan  tujuan untuk membekali generasi muda dengan sistem nilai, adat, kebiasaan, dan keterampilan yang dipandang akan berguna bagi kehidupannya di masa depan kelak. Disamping itu, dengan konsep pendidikan ini pula, nilai-nilai dan adat kebiasaan yang dipandang baik akan tetap lestrari. Menurut pandangan Nana Syaodih Sukmadinata (2004) konsep pendidikan yang menekankan pada upaya pewarisan nilai masa lampau kepada generasi selanjutnya masuk ke dalam kategori teori atau konsep pendidikan klasik. 2. Pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi             Menurut pandangan ini, “pendidikan diartikan sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik” (Tirtarahardja dan Sulo, 2005:34). Proses pembentukan pribadi meliputi dua sasaran yaitu pembentuan peribadi yang membekali generasi muda dengan sistem nilai, adat, kebiasaan, dan keterampilan yang dipandang akan berguna bagi kehidupannya di masa depan kelak. Disamping itu, dengan konsep pendidikan ini pula, nilai-nilai dan adat kebiasaan yang dipandang baik akan tetap lestrari. Menurut pandangan Nana Syaodih Sukmadinata (2004) konsep pendidikan yang menekankan pada upaya pewarisan nilai masa lampau kepada generasi selanjutnya masuk ke dalam kategori teori atau konsep pendidikan klasik belum dewasa oleh mereka yang sudah dewasa, atau yang sudah dewasa melalui upayanya sendiri. Bentuk yang kedua di sebut juga dengan  pendidikan diri sendiri, yang dalam istilah pendidikan Belanda disebut dengan zelf vorming.             Inti dari pengertian pendidikan menurut pandangan ini adalah bahwasanya pengembangan diri itu sifatnya alamiah dan merupakan keharusan. Pembentukan pribadi itu terjadi akibat adanya kontak dengan lingkungan pendidikan tertentu. Bayi yang terlahir baru sebatas sebagai individu, belum menjadi pribadi yang utuh. Untuk menjadi pribadi yang utuh perlu adanya bimbingan, latihan dan pengalaman yang diperoleh dari pergaulan dengan lingkungan. Pengembangan pribadi ini mencakup cipta, rasa dan karsa atau kognitif, afektif, dan psikomotor.             Disiplin ilmu yang paling jelas mendasari atau sejalan dengan pengertian pendidikan kategori ini adalah psikologi. 3. Pendidikan sebagai proses penyiapan warga negara             Pendidikan adalah suatu proses terencana untuk penyiapan peserta didik agar menjadi warganegara yang baik (civilization). Batasan warga negara yang baik di sini tentu saja bergantung kepada batasan baik yang berlaku atau digunakan oleh suatu negara tertentu. Ada kemungkinan perbedaan definisi warganegara yang baik antara satu negara dengan negara lainnya, disamping anggapan baik yang universal berlaku diberbagai negara. Disiplin ilmu yang mendasari definisi pendidikan sebagai proses penyiapan warga negara agar menjadi warga negara yang baik yaitu ilmu politik. Dalam kategori teori pendidikan Sukmadinata, masuk ke dalam teori pendidikan sosial/interaksi sosial. 4.  Pendidikan sebagai proses penyiapan tenaga kerja             Selanjutnya pengertian pendidikan yang didasarkan pada disiplin ilmu ekonomi. Dalam hal ini, pendidikan dipandang sebagai pemberian bekal kepada peserta didik agar mampu bekerja. Bekal yang diberikan dalam pendidikan berupa pengetahuan, sikap, dan keterampilan kerja. Selain itu, dalam pengertian  pendidikan ini terkandung makna lainnya yaitu memandang pendidikan sebagai suatu investasi. Dimana suatu saat nanti, dari investasi yang ditanamkan dalam pendidikan akan memberi balikan yang lebih besar.             Dalam pandangan Nana Syaodih Sukmadinata, konsep pendidian yang menekankan pada upaya pemberian dan pembentukan kemampuan kerja masuk ke dalam kategori konsep pendidikan teknologis.             Dari sekian pengertian di atas, bahkan mungkin masih ada pengertian pendidikan lainnya, semestinya kita bisa mengharmonikan keseluruh definisi tersebut. Karena, dalam anggapan penulis, tak satupun dari definisi tersebut yang lengkap, masih bersifat parsial artinya tertumpu pada suatu pandangan tertentu. Untuk mencapai definisi yang lengkap, sesuai dengan karakteristik dimensi kehidupan manusia yang kompleks, maka kita bisa menggunakan semua definisi itu secara komprehensif dan proporsional. Artinya pendidikan harus mencakup unsur pengembangan dengan porsi yang dalam pelaksanaannya diselaraskan dengan umur, jenjang, dan jenis pendidikannya. Sehingga upaya mengembangkan individu bisa utuh.             Permasalahan yang mengemuka dari batasan-batasan pendidikan di atas adalah mengenai budaya apa, pribadi seperti apa, warga negara yang bagaimana, serta kemampuan kerja apa dan dengan kualifikasi bagaimana yang harus dimiliki peserta didik? Tidak mudah memang untuk menjawab permasalahan ini. Karena setiap definisi memiliki pandangan dasar  atau orientasi pendidikan yang berbeda, dimana orientasi ini merupakan basic concept yang akan menentukan arah kemana pendidikan akan di bawa, serta proses pendidikan seperti apa yang harus diselenggarakan. Sehingga dengan demikian, terbuka ruang debat diantara berbagai pandangan yang berbeda tersebut.             Kasus rivalitas antara berbagai pandangan pendidikan pernah terjadi di beberapa negara maju, diantaranya di Inggris yaitu antara pandangan perenialisme yang menekankan pentingnya pendidikan menekankan pada pengembangan intelektual melalui pengkajian subject matter dan progresivisme yang menekankan pengembangan pribadi, sekitar tahun 1960-1970-an (John Boyd, 1984). Kemudian di Amerika dalam dasawarsa yang hampir sama dengan di Inggris, terjadi debat antara pandangan progresivisme dan essensialisme yang menekankan pendidikan untuk penyiapan kerja (Ralph W. Tyler, 1975). Kasus di dua negara tersebut terselesaikan dengan cara mempertemukan pihak-pihak yang berbeda pandangan tersebut untuk duduk bersama dan  mengkaji tujuan pendidikan nasional. Melihat tujuan dan kepentingan yang lebih luas, tidak mementingkan tujuan dan kepentingan yang berdasarkan pandangan sempit, isme pendidikan yang parsial dan isoterik.       Sekaitan dengan itu, untuk menjembatani adanya ragam pengertian pendidikan sebagai mana telah dipaparkan di muka, ada baiknya kita lihat bagaimana definisi pendidikan menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Indonesia.       Dalam Undang-undang Nomor 20 tentang Sistem Pendidian Nasional Indonesia dinyatakan, bahwa:         Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. (Himpunan Perundang-undangan RI tentang Sistem Pendidikan Nasional, 2005:11).         Definisi pendidikan menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Indonesia tampak mencakup tekanan yang menjadi perhatian semua definisi pendidikan yang diajukan berdasarkan suatu pandangan tertentu, yang dipaparkan sebelumnya. Dalam pengertian pendidikan menurut Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional di dalamnya mencakup unsur pengembangan individu sebagai mahluk ciptaan Tuhan, pengembangan kemampuan personal, pengembangan  kemampuan dan kegunaan sosial, pengembangan sebagai warga masyasarakat dan warga negara. Artinya definisi pendidikan menurut Undang-undang Sisdiknas lebih komprehensif dan lengkap.  b.  Fungsi pendidikan dalam kehidupan manusia             Secara general, pendidikan setidaknya memiliki dua fungsi yaitu konsevarsi dan fungsi kreasi, fungsi konservasi. Fungsi konservasi yaitu pendidikan memiliki fungsi untuk mempertahankan segala sesuatu yang telah yang dianggap baik. Fungsi konservasi merujuk pada suatu asumsi bahwa terdapat nilai-nilai, pengetahuan, norma, kebiasaan, sifat-sifat kemanusiaan dan lain sebagainya yang dijunjung tinggi, dipandang berharga, berguna dan penting untuk dipertahankan. Dalam hal ini sejalan dengan konsep pendidikan atau pengertian pendidikan sebagai  proses transformasi budaya.             Kedua fungsi kreasi. Fungsi kreasi pendidikan adalah fungsi untuk membuat atau mengembangkan kehidupan dengan segala aspeknya. Fungsi kreasi berlandaskan pada suatu asumsi bahwa realitas tidak bersifat terberi (given) sebagaimana yang diajarkan sain modern. Akan tetapi realitas terwujud oleh kehadiran partisipan. Seluruh anggota semesta berpartisipasi dalam mewujudkan realitas, termasuk di dalamnya manusia. Dengan demikian, manusia baik secara individual maupun kelompok memiliki peran untuk merajut realitas yang diinginkannya namun tetap dengan mempertimbangkan lingkungannya, sehingga realitas yang dirajutnya bisa diterima oleh lingkungan.             Oleh karena itu, pendidikan diharapkan dapat menemukenali dan mengembangkan potensi yang dimiliki individu agar selain mampu memahami perubahan juga bisa melakukan perubahan. “Perubahan merupakan suatu keharusan atau kenyataan yang tidak dapat kita tolak, sehinggga pelajar-pelajar harus kita didik untuk menguasainya dan bukan sebaliknya, mereka menjadi dikuasai oleh perubahan (J.A. Battle & Robert L.Shanon; Syarifudin, 2006:10).             Fungsi pendidikan sebagai fungsi kreasi, sejalan dengan pengertian pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi, pembentukan warga negara, dan pembentukan kemampuan kerja. Penjelasan kedua fungsi pendidikan di atas serta kesesuaiannya dengan pengertian pendidikan yang telah dibahas sebelumnya, memperkuat pernyataan bahwasanya seluruh pengertian pendidikan, atau lebih tepatnya pemaknaan pendidikan, yang ada semestinyalah bisa diakomodir dalam praktik karena tidak ada pengertian yang sempurna dan bahwasanya kehidupan ini kompleks sehingga tidak mungkin masalah kehidupan, khususnya dalam upaya pengembangan  manusia, dipecahkan hanya oleh satu pandangan atau teori tertentu saja.  c.  Tujuan Pendidikan             Dalam paparan tentang tujuan pendidan ini tidak akan membahas hierarki pendidikan yang ada dalam sistem pendidikan nasional kita atau bagaimana bunyi dan cara merumuskan tujuan pendidikan dari sifatnya umum hingga yang sangat khusus, akan tetapi tujuan pendidikan yang bersifat esensial dan universal. Konsisten dengan topik kajian yaitu membahas hakikat pendidikan.             Tujuan pendidikan secara umum yaitu untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki manusia ke arah yang lebih baik secara optimal, sehingga  manusia bisa berkembang dan menjadi manusia yang berperikemanusian secara holistik: sebagai individu, sebagai anggota masyarakat, sebagai bagian dari alam itu sendiri, dan sebagai mahluk hamba Tuhan. Dalam redaksi rumusan tujuan pendidikan nasional disebut dengan manusia Indonesia seutuhnya. Tujuan pendidikan dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan hakikat dari manusia itu sendiri yang memiliki berbagai dimensi yang saling terhubung, yaitu : Dimensi keindividualan Dimensi kesosialan Dimensi kesusilaan Dimensi keberagamaan (Tirtarahardja dan Sulo, 2006:17). Dimensi keindividualan             Individu adalah “orang-seorang” , sesuatu yang merupakan suatu keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (individe). Selanjutnya individu diartikan sebagai pribadi  (Lysen; Tirtarahardja dan Sulo, 2005:17). Artinya setiap orang atau individu yang terlahir ke dunia, memiliki ciri khas yang berbeda dengan orang atau individu lainnya. Bahkan orang yang terlahir kembar dari satu indung telur (kembar identik) sekalipun. Pakar pendidikan teoritis Belanda M.J. Langefeld (1955) mengatakan bahwa setiap orang memiliki individualitas. Hal ini telah dibuktikan pula oleh penelitian yang dilakukan oleh Francis Galton, ahli matematika dan biologi Inggris, terhadap pasangan kembar satu telur ternyata tak satu pun dari pasangan-pasangan kembar yang ditelitinya ada yang betul-betul persis sama.             Dengan demikian tugas pendidikan adalah memunculkan potensi karakteristik keindividualan  peserta didik yang masih laten sehingga muncul dan berkembang secara baik. Pola pendidikan yang demokratis dipandang akan mampu mengembangkan potensi-potensi keindividualan setiap orang. Prinsip-prinsip pendidikan yang dikembangkan Ki Hajar Dewantara juga telah menyatakan akan pentingnya pengembangan dan pelayanan akan individualitas dalam pendidikan, yaitu: ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani. Di depan menjadi teladan, di tengah menjadi pembangun karsa, dari belakang mendukung dan mengarahkan 2. Dimensi kesosialan             Salah satu naluri yang dimiliki manusia adalah naluri untuk hidup berkelompok, yang oleh ahli psikologi sosial di sebut dengan instink gregarious. Sedangkan menurut antropologi sosial disebut dengan homo socius, yaitu mahluk yang bermasyarakat, saling menolong dalam mengembangkan kehidupannya. Dalam tinjauan pendidikan dari Langefeld naluri tersebut disebut dengan potensi sosialitas.             Dengan adanya naluri tersebut mengandung pengertian bahwa setiap individu  dikaruniai benih kemampuan untuk bergaul dan memiliki kebutuhan untuk bergaul. Saling berkomunikasi antara sesama manusia yang pada hakikatnya adalah proses saling memberi dan menerima. Menurut Langefeld, adanya kesediaan untuk memberi dan menerima ini merupakan kunci untuk suksesnya pergaulan. Dorongan dan gejala untuk saling memberi dan menerima sudah ada sejak bayi, yaitu ketika menerima belaian dan kehangatan dari ibunya dan memberikan senyum kebahagiaan kepada ibunya. Makin dewasa individu makin kompleks dan luas proses sosial saling memberi dan menerima.             Gejala adanya kebutuhan sosialitas pada manusia ini bisa kita amati bahkan mungkin kita alami juga, orang akan merasa tidak nyaman ketika diasingkan oleh seseorang atau kelompok komunitas tertentu tempat dimana kita berada. Kemampuan dan potensi individualitas sehingga seorang individu bisa eksis, juga sebenarnya berkembang karena adanya atau dalam dimensi sosialitas. Contoh lainnya yang lebih ekstrim tentang kebutuhan adanya komunikasi sosial untuk perkembangan manusia yaitu kasus tentang manusia yang diasuh srigala di India. Pada tahun 1920 di bulan Oktober, ketika sedang berburu tuan Singh menemukan dua orang anak yang berusia delapan dan dua tahun di sarang serigala. Kemudian kedua anak itu diambil dan diasuh di panti asuhan. Anak yang berusia dua tahun diberi nama  Amala, bertahan hidup hingga usia sepuluh tahun. Sedang yang berusia delapan tahun diberi nama Kamala, hidup hingga usia tujuh belas tahun. Berdasarkan pengamatan perkembangan Kamala selama sembilan tahun tersebut, semula Kamala hanya dapat bertingkah seperti serigala yaitu :  Berjalan merangkak Siang hari tidur, dan kalau bangun menghindari tempat yang kena     sinar matahari Malam hari tidur, kadang-kadang meraung, makannya daging   mentah, suka menggerogoti tulang, tidak menggunakan jari-jari tangan untuk memegang.             Setelah satu setengah tahun diasuh, diberi pertolongan di panti asuhan, kemampuan Kamala berkembang: Dapat berdiri tegak lurus, dan kemudian dapat berjalan tegak. Dapat memegang piring.            Perkembangan selanjutnya setelah enam tahun Kamala dapat berbahasa dengan mengucapkan empat puluh buah kata dan menyusun kalimat yang terdiri dari dua dan tiga kata. Pada masa usia tujuh belas tahun, yaitu akhir hidupnya, Kamala baru dapat berbahasa setarap anak usia lima atau enam tahun.             Dari kasus Kamala di atas tampak, bahwa potensi dan kemampuan  kemanusiaan hanya dapat berkembang jika berada dalam siutasi komunikasi sosial manusia lagi. Dari sini semakin jelas bahwa dimensi sosialitas merupakan potensi dan kebutuhan yang harus dikembangkan dalam pendidikan serta yang harus diperhatikan secara seksama sebagai tujuan pendidikan 3. Dimensi kesusilaan             Susila berasal dari kara su dan sila yang berarti kepantasan yang lebih tinggi. Pengertian ini selanjutnya berkembang menjadi kebaikan yang lebih tinggi. Kepantasan dan kebaikan merupakan dua konsep yang berbeda. Kepantasan lebih menunjuk pada kepantasan atau kesopanan (etiket), sedangkan kebaikan menunjuk pada kualitas moral (etika) yang mendasari perbuatan etiket. Meskipun tidak selamanya orang berbuat pantas dilandasi oleh moral atau etika yang baik. Contohnya penipu, berbuat baik pada orang lain untuk mengecoh orang lain agar tujuan jahatnya (menipu) bisa terlaksana. Penipu berbuat pantas yang tidak didasari moral/etika yang baik.             Dari penjelasan di atas bisa kita bedakan antara etiket dan etika, meskipun terkadang orang tidak membedakannya, dengan alasan karena keduanya penting dalam kehidupan.  Kesusilaan berkaitan erat dengan masalah nilai-nilai yang dianut. “Pada hakikatnya manusia memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan untuk mengambil keputusan susila, serta melaksanakannya sehingga manusia itu dikatakan sebagai mahluk susila” (Tirtarahardja dan Sulo, 2005). Drijakarya mengartikan manusia susila adalah manusia yang memiliki nilai-nilai, dan melaksanakan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan. Nilai-nilai di sini adalah nilai-nilai baik yang dijunjung tinggi, yang asalnya bisa dari pendapat seseorang (nilai otonom), nilai baik menurut kelompok orang (nilai heteronom), dan nilai yang berasal dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu (nilai theonom). Semestinya nilai theonom inilah yang mendasari seluruh nilai-nilai lainnya, dalam sistem kesusilaan manusia.             Pendek kata, untuk kehidupan yang baik perlu bersandar pada sistem susila yang baik, yang didasari oleh nilai ke-Tuhanan. Manusia, untuk mencapai manusia yang susila itu sendiri perlu suatu upaya yaitu pendidikan, jadi dengan demikian kesusilaan adalah merupakan salah satu tujuan dari pendidikan. 4.   Dimensi keberagaman       Pada dasarnya manusia adalah mahluk religi. Manusia yang tidak mengenal agama, percaya terhadap adanya kekuatan supranatural yang berada di luar kendali manusia, bahkan sebaliknya bersifat mengendalikan manusia. Sehingga timbul kepercayaan animisme dan dinamisme. Dalam ajaran agama, terutama bagi yang beragama Islam, diterangkan bahwa sejak ruh ditiupkan pada janin ajaran tauhid telah disampaikan, hingga fitrahnya manusia itu adalah mahluk religi. Hanya karena unsur lingkungan terkadang ajaran tauhid yang telah dibawa sejak lahir itu terlupakan.            Inti dari penjelasan di atas yaitu bahwsanya manusia memiliki potensi dasar dan kebutuhan untuk beragama, sehingga dengan demikian pendidikan harus bisa menumbuhkembangkan dimensi keberagamaan manusia.                   Selain daripada itu, pemahaman terhadap tujuan pendidikan universal lainnya bisa kita lihat dari empat pilar pendidikan (four pillars of education) yang kembangkan oleh UNESCO yaitu untuk: Mengembangkan individu agar memiliki jati diri (Learning to be) Mengembangkan individu agar memiliki kemampuan kerja (Learning to do) Mengembangkan individu agar mau, mampu dan pandai untuk belajar   (Learning  to learn) Mengembangkan individu agar mampu dan pandai menjalin hubungan sosial dan hidup bersama di masyarakat secara harmoni (Learning to live together).             Tujuan pendidikan dari UNESCO ini sejalan dengan tujuan pendidikan yang telah dipaparkan di atas sebelumnya, yaitu untuk mengembangkan dimensi-dimensi kemanusian manusia. Hanya saja apabila tujuan pendidikan UNESCO ini kita kritisi, tujuan pendidikan UNESCO ini dikembangkan oleh sekelompok orang (merujuk pada nilai-nilai heteronom), yang perlu dilengkapi dan didasari oleh nilai yang lebih dasar lagi yaitu nilai theonom.             Selain daripada itu, apabila mencoba untuk konsisten dengan asumsi bahwa pendidikan ditujukan untuk membantu dan memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya potensi-potensi kemanusian manusia pada setiap diri individu, dan bahwasanya pendidikan itu tidak terlepas dari metafisika manusia itu sendiri, maka tujuan pendidikan juga  bisa disandarkan pada pandangan filsafat eksistensilisme yaitu pandangan yang mencoba memahami keberadaan hakikat manusia. Tujuan  pendidikan yang berlandaskan pada filsafat eksistensilisme  yaitu ditujukan untuk: a. mengembangkan kemampuan untuk menyadari diri b. mengembangkan kemampuan bereksistensi c. mengembangkan kepemilikan kata hati d. menanamkan dan mengembangkan moral e. mengembangkan rasa tanggung jawab. 6. menumbuhkembangkan berpikir dan rasa kemerdekaan f. mengembangkan kesediaan untuk melaksanakan kewajiban dan menyadari hak, serta; g. mengembangkan kemampuan menghayati kebahagian Dari sekian tujuan pendidikan, baik yang dikembangkan dari empat dimensi manusia dari Tirtarahardja dan Sulo, empat pilar pendidikan UNESCO, dan filsafat eksistensialisme pada dasarnya adalah sejalan dan saling melengkapi. C. Pengembangan Potensi Laten Dimensi Kemanusiaan Manusia sebagai  Esensi pendidikan          Dari seluruh penjelasan tentang pengertian, fungsi dan tujuan pendidikan di atas, bisa kita fahami bahwa pendidikan itu adalah proses pengembangan dimensi-dimensi  kemanusiaan yang ditujukan untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi dimensi kemanusiaan yang dibawa sejak lahir, sehingga bisa tumbuh dan berkembang secara optimal.  Sesuai dengan nilai-nilai dan harapan masyarakat tempat dimana manusia itu berada. Dimensi-dimensi kemanusiaan selain manjadi unsur yang akan dikembangkan, sekaligus sebagai suatu keberadaan yang harus dipertimbangkan dalam praktik kependidikan itu sendiri, agar tidak terjadi proses pendidikan yang patologis, tidak sehat alias sakit.   Dimana pendidikan adalah pengembangan seluruh potensi kemanusiaan individu secara komprehensif meliputi kognitif, afektif, sosial, dan psikomotor. “Pendidikan tidak dapat dilepaskan atau selalu terkait antara unsur individual dan unsur sosial” (John Boyd, 1988).