Academia.eduAcademia.edu

TANTANGAN NASIONALISME KITA

2017, Times Indonesia (18/09/2017)

Globalisasi secara pasti mengubah wajah nasionalisme. Karenanya, narasi politik Indonesia sejak pilpres 2014 dan berlanjut pada pilgub Jakarta 2017 menggaungkan kegamangan akan kebhinekaan dan kemandirian ekonomi. Di belahan bumi Barat, menariknya, kondisinya tak jauh berbeda. Brexit di Inggris Raya dan terpilihnya Trump di Amerika juga menjadi pertanda tantangan globalisasi pada nasionalisme bisa menawarkan akhir cerita yang menyentak.

TANTANGAN NASIONALISME KITA Yusli Effendi Patriotism is when love of your own people comes first. Nationalism is when hate for people other than your own comes first. ~Charles de Gaulle~ Globalisasi secara pasti mengubah wajah nasionalisme. Karenanya, narasi politik Indonesia sejak pilpres 2014 dan berlanjut pada pilgub Jakarta 2017 menggaungkan kegamangan akan kebhinekaan dan kemandirian ekonomi. Di belahan bumi Barat, menariknya, kondisinya tak jauh berbeda. Brexit di Inggris Raya dan terpilihnya Trump di Amerika juga menjadi pertanda tantangan globalisasi pada nasionalisme bisa menawarkan akhir cerita yang menyentak. Narasi tentang kebangsaan yang terbiasa dibangun dari atas oleh elit politik, kini telah gagal. Maka masyarakat pun membangun narasi kebangsaannya sendiri. Bagi elit politik, mantra globalisasi menawarkan kesejahteraan, namun rakyat lebih melihatnya sebagai kutukan yang makin memberatkan hidup karena persaingan kerja dengan tenaga kerja asing, disparitas ekonomi kian menganga, dan ketidakpastian masa depan. Nasionalisme dari atas kini menemukan lawan tandingnya dari bawah: nasionalisme nan agresif. Uniknya, elit politik malah kini ikut menyambutnya dan merayakannya sebagai komoditas. Meski globalisasi pula yang menggoda bangsa ini untuk menjadi terbuka karena terlipatnya jarak dan waktu sehingga menjadi kian kosmopolitan, namun ia tak bisa menggerakkan sentimen massa semanjur nasionalisme. Kini, globalisasi telah membuat nasionalisme juga tumbuh subur namun dengan karakteristik yang tak lagi sama dengan lima puluh tahun lampau. Meski di sekitar paruh abad ke-20 kita menyaksikan kelahiran negara-bangsa baru di Asia dan Afrika, nasionalisme di awal abad ke-21 kini sedang menapaki jalan turunnya. Bahkan, nasionalisme— bagi sejarahwan Inggris—Eric Hobsbawm, telah lama melewati masa puncaknya di abad 19, dan hari ini telah kehilangan kekuatan, daya pukau, serta relevansinya. Nasionalisme lama telah menjelang masa senjanya, dan di saat yang bersamaan kita menyaksikan nasionalisme baru nan gelap dalam bentuknya yang ekstrim sebagai bentuk kekalutan terhadap sengkarut globalisasi. Nasionalisme dan Globalisasi: Tiga Pandangan Terma nasionalisme secara sederhana merujuk pada rasa keterikatan suatu bangsa satu sama lain dan rasa bangga pada dirinya sendiri (Kacowicz, 1998). Sebagai ideologi, nasionalisme bisa dimanfaatkan untuk mempromosikan atau membela suatu budaya atau cara hidup. Saat globalisasi menghilangkan garis batas dan hambatan perdagangan, komunikasi, dan pertukaran budaya, maka ia memunculkan budaya dominan yang juga berpotensi menghancurkan warisan budaya bangsa lainnya.  Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Brawijaya (UB) dan Sekretaris Eksekutif Pusat Studi Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat (PSP2M) UB Globalisasi, dalam beragam pustaka, seringkali diklaim akan menggerus batas-batas negara/bangsa. Secara lebih luas, ia bahkan bisa mengeroposkan batas-batas identitas serta akan membonceng penyakit sosial: dari krisis identitas akibat tergerusnya nilai-nilai setempat, menghilangnya keterlibatan masyarakat, hingga hilangnya makna hidup. Para pengkaji globalisasi meyakini proses global akan mencerabut komunitas dan langgam hidupnya dari akar sejarah, geografis, dan budaya mereka (Giddens, 1990). Sejatinya, tak semua meyakini dampak buruk globalisasi, terutama terkait nasionalisme. Hubungan antara nasionalisme dan globalisasi setidaknya bisa didedahkan dalam tiga premis utama (Abdulsattar, 2013). Pertama, globalisasi akan menghilangkan nasionalisme, kedua, globalisasi dan nasionalisme bisa saling menguatkan, dan ketiga, globalisasi meningkatkan nasionalisme. Argumen pertama meyakini bahwa globalisasi akan meningkatkan kesalingtergantungan dan mengaburkan batas nasional antarnegara. Deteritorialisasi ditambah terlipatnya jarak dan waktu berkat teknologi membuat orang kian cepat berinteraksi, kondisi yang disebut Scholte sebagai internasionalisasi. Perbedaan tiap bangsa menghilang atau setidaknya menjadi tak lagi relevan. Argumen kedua mengimani bahwa nasionalisme dan globalisasi saling menguatkan satu sama lain. Negara bangsa yang telah ada sebelum globalisasi merupakan penyumbang kelahiran sistem global sekaligus penyangga keberlangsungannya. Maka, saat globalisasi berlangsung, negarabangsa masih akan berfungsi dan menguatkannya. Sementara argumen ketiga percaya bahwa justru kesalingterhubungan antarbangsa akan meningkatkan sentimen kebangsaan. Bagi pendukung argumen ini, nasionalisme sebagai bentuk perlawanan atas globalisasi juga memperkuat pemilahan biner di dalam/di luar wilayah negara-bangsa. Garis batas khayali ini membuat garis demarkasi apa dan siapa kita, dan sekaligus: siapa yang bukan kita. Nasionalisme Barat, Nasionalisme Timur Lahir pertama kali di Eropa sebagai penanda akhir Perang 30 Tahun (1618-1648)—perang agama antara kerajaan-kerajaan Katolik dan Protestan yang saling bertikai dan dilatari keruntuhan imperium Katolik Roma—nasionalisme memiliki karakter yang bertolak belakang: di Eropa ia bercorak agresor khas kolonial. Sementara di belahan dunia lainnya ia bercorak reaksioner khas negara jajahan. Kesadaran nasionalisme Asia-Afrika yang dirayakan lewat Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung dan disusul dengan kemerdekaan negara-negara deklaratornya, meneguhkan kecenderungan ini. Hingga kini, terutama bagi bangsa Afrika, KAA Bandung masih menjadi ingatan kolektif yang menyuntikkan kebanggan bahwa mereka adalah bangsa merdeka serta memiliki harga diri di hadapan penjajahnya. Kesadaran, kebanggaan dan identitas baru, yang ironisnya, lahir atas “jasa baik” kaum penjajah: dominasi politik serta pengaruh budaya mereka (yang dianggap buruk) atas bangsa jajahan. Namun, globalisasi tak hanya mengaburkan batas fisik, ia juga mengaburkan batas imajiner: kebanggaan Barat atas Timur. Warga negara Eropa-Amerika kini juga segamang warga negara Asia-Afrika dalam menatap tunggang-langgangnya dunia. Brexit di Inggris Raya dan terpilihnya Trump di AS menjadi bukti sahih bahwa kesenjangan (sosial-ekonomi) bukanlah akar penyebab munculnya populisme atau nasionalisme kanan (jauh). Quah dan Mahbubani (2016) menyatakan, perasaan kehilangan kontrol atas dunia dan masa depanlah musababnya. Berseberangan dengan narasi populer yang menuduh ketimpangan sebagai pendorong kemunculan nasionalisme nan jahat (bad nationalism), hasil elektoral di AS dan referendum di Inggris menyatakan hal berbeda. Di AS, berdasarkan jajak pendapat dalam kategori tingkat pendidikan pemilih, ras, dan jenis kelamin, Donald Trump memikat 53% lulusan universitas berkulit putih pria, dan 52% pemilih wanita kulit putih wanita, sementara hanya 43% pemilih kulit putih perempuan yang mendukung Hillary Clinton. Dalam kategori umur, Trump memenangkan hati 47% pemilih kulit putih dalam rentang umur 18-29 tahun, sementara Clinton hanya 43%. Dari kategori pendapatan, lebih dari separuhnya 36% pemilih Hillary Clinton berasal dari warga berpendapatan kurang dari USD 50 ribu/tahun. Sementara 64% sisanya, warga berpendapatan di atas USD 50 ribu/tahun, 49% memilih Trump dan 47% memilih Clinton. Disinilah paradoks itu muncul. Berbeda dengan pandangan umum, muasal pendidikan, kelas, kelamin, serta pendapatan para pemilih Trump ini membantah stereotipe yang muncul dari tesis ketimpangan ekonomi sebagai penyebab populisme. Di kasus yang berbeda, pembuat kebijakan di negara berkembang, termasuk Indonesia, masih meyakini ketimpangan sebagai masalah utama serta berupaya keras untuk memfasilitasi mobilitas sosial, termasuk mencegah agar jangan sampai globalisasi dan teknologisasi menggantikan kelas menengah maupun kelas pekerja sehingga fenomena terpilihnya Trump dan Brexit tak menular ke mereka. Resep yang mereka pakai ialah melindungi dan memberi perhatian pada warga yang kurang beruntung, memberi pelatihan, serta membuka lowongan kerja baru bagi pengangguran (Quah dan Mahbubani, 2016). Solusi yang ekonomistik di atas lahir dari cara pandang yang menganggap ketimpanganlah yang menyebabkan nasionalisme agresif. Narasi yang juga diyakini oleh sebagian sarjana, termasuk Popov (2016) yang menyatakan bahwa meski ketimpangan di sebagian negara tak menyulut sentimen nasionalis dan anti-globalisasi, di sebagian besar negara lainnya peningkatan ketimpangan pendapatan dan kekayaan yang dimulai sejak 1980an menjadi lahan subur bagi menguatnya nasionalisme yang agresif. Senada dengan argumen ketimpangan di atas ialah pandangan strukturalis Hadiz (2016) yang menganggap Islam politik dan populisme Islam baru di Indonesia—seperti gerakan 212 dan 411 untuk menentang Ahok—lahir sebagai pengisi kekosongan kekuatan politik berbasis kelas serta meruyaknya neo-liberalisasi ekonomi. Baginya, populisme Islam di Indonesia adalah gerakan lintas kelas dan merupakan respon terhadap globalisasi dalam bentuk solidaritas dan identitas komunal berlandaskan agama.