TANTANGAN NASIONALISME KITA
Yusli Effendi
Patriotism is when love of your own people comes first.
Nationalism is when hate for people other than your own comes first.
~Charles de Gaulle~
Globalisasi secara pasti mengubah wajah nasionalisme. Karenanya, narasi politik Indonesia sejak
pilpres 2014 dan berlanjut pada pilgub Jakarta 2017 menggaungkan kegamangan akan
kebhinekaan dan kemandirian ekonomi. Di belahan bumi Barat, menariknya, kondisinya tak jauh
berbeda. Brexit di Inggris Raya dan terpilihnya Trump di Amerika juga menjadi pertanda
tantangan globalisasi pada nasionalisme bisa menawarkan akhir cerita yang menyentak.
Narasi tentang kebangsaan yang terbiasa dibangun dari atas oleh elit politik, kini telah gagal.
Maka masyarakat pun membangun narasi kebangsaannya sendiri. Bagi elit politik, mantra
globalisasi menawarkan kesejahteraan, namun rakyat lebih melihatnya sebagai kutukan yang
makin memberatkan hidup karena persaingan kerja dengan tenaga kerja asing, disparitas
ekonomi kian menganga, dan ketidakpastian masa depan. Nasionalisme dari atas kini
menemukan lawan tandingnya dari bawah: nasionalisme nan agresif. Uniknya, elit politik malah
kini ikut menyambutnya dan merayakannya sebagai komoditas.
Meski globalisasi pula yang menggoda bangsa ini untuk menjadi terbuka karena terlipatnya jarak
dan waktu sehingga menjadi kian kosmopolitan, namun ia tak bisa menggerakkan sentimen
massa semanjur nasionalisme. Kini, globalisasi telah membuat nasionalisme juga tumbuh subur
namun dengan karakteristik yang tak lagi sama dengan lima puluh tahun lampau. Meski di
sekitar paruh abad ke-20 kita menyaksikan kelahiran negara-bangsa baru di Asia dan Afrika,
nasionalisme di awal abad ke-21 kini sedang menapaki jalan turunnya. Bahkan, nasionalisme—
bagi sejarahwan Inggris—Eric Hobsbawm, telah lama melewati masa puncaknya di abad 19, dan
hari ini telah kehilangan kekuatan, daya pukau, serta relevansinya. Nasionalisme lama telah
menjelang masa senjanya, dan di saat yang bersamaan kita menyaksikan nasionalisme baru nan
gelap dalam bentuknya yang ekstrim sebagai bentuk kekalutan terhadap sengkarut globalisasi.
Nasionalisme dan Globalisasi: Tiga Pandangan
Terma nasionalisme secara sederhana merujuk pada rasa keterikatan suatu bangsa satu sama lain
dan rasa bangga pada dirinya sendiri (Kacowicz, 1998). Sebagai ideologi, nasionalisme bisa
dimanfaatkan untuk mempromosikan atau membela suatu budaya atau cara hidup. Saat
globalisasi menghilangkan garis batas dan hambatan perdagangan, komunikasi, dan pertukaran
budaya, maka ia memunculkan budaya dominan yang juga berpotensi menghancurkan warisan
budaya bangsa lainnya.
Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Brawijaya (UB) dan Sekretaris Eksekutif Pusat Studi Pesantren
dan Pemberdayaan Masyarakat (PSP2M) UB
Globalisasi, dalam beragam pustaka, seringkali diklaim akan menggerus batas-batas
negara/bangsa. Secara lebih luas, ia bahkan bisa mengeroposkan batas-batas identitas serta akan
membonceng penyakit sosial: dari krisis identitas akibat tergerusnya nilai-nilai setempat,
menghilangnya keterlibatan masyarakat, hingga hilangnya makna hidup. Para pengkaji
globalisasi meyakini proses global akan mencerabut komunitas dan langgam hidupnya dari akar
sejarah, geografis, dan budaya mereka (Giddens, 1990).
Sejatinya, tak semua meyakini dampak buruk globalisasi, terutama terkait nasionalisme.
Hubungan antara nasionalisme dan globalisasi setidaknya bisa didedahkan dalam tiga premis
utama (Abdulsattar, 2013). Pertama, globalisasi akan menghilangkan nasionalisme, kedua,
globalisasi dan nasionalisme bisa saling menguatkan, dan ketiga, globalisasi meningkatkan
nasionalisme. Argumen pertama meyakini bahwa globalisasi akan meningkatkan
kesalingtergantungan dan mengaburkan batas nasional antarnegara. Deteritorialisasi ditambah
terlipatnya jarak dan waktu berkat teknologi membuat orang kian cepat berinteraksi, kondisi
yang disebut Scholte sebagai internasionalisasi. Perbedaan tiap bangsa menghilang atau
setidaknya menjadi tak lagi relevan.
Argumen kedua mengimani bahwa nasionalisme dan globalisasi saling menguatkan satu sama
lain. Negara bangsa yang telah ada sebelum globalisasi merupakan penyumbang kelahiran sistem
global sekaligus penyangga keberlangsungannya. Maka, saat globalisasi berlangsung, negarabangsa masih akan berfungsi dan menguatkannya. Sementara argumen ketiga percaya bahwa
justru kesalingterhubungan antarbangsa akan meningkatkan sentimen kebangsaan. Bagi
pendukung argumen ini, nasionalisme sebagai bentuk perlawanan atas globalisasi juga
memperkuat pemilahan biner di dalam/di luar wilayah negara-bangsa. Garis batas khayali ini
membuat garis demarkasi apa dan siapa kita, dan sekaligus: siapa yang bukan kita.
Nasionalisme Barat, Nasionalisme Timur
Lahir pertama kali di Eropa sebagai penanda akhir Perang 30 Tahun (1618-1648)—perang
agama antara kerajaan-kerajaan Katolik dan Protestan yang saling bertikai dan dilatari
keruntuhan imperium Katolik Roma—nasionalisme memiliki karakter yang bertolak belakang:
di Eropa ia bercorak agresor khas kolonial. Sementara di belahan dunia lainnya ia bercorak
reaksioner khas negara jajahan. Kesadaran nasionalisme Asia-Afrika yang dirayakan lewat
Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung dan disusul dengan kemerdekaan negara-negara
deklaratornya, meneguhkan kecenderungan ini. Hingga kini, terutama bagi bangsa Afrika, KAA
Bandung masih menjadi ingatan kolektif yang menyuntikkan kebanggan bahwa mereka adalah
bangsa merdeka serta memiliki harga diri di hadapan penjajahnya. Kesadaran, kebanggaan dan
identitas baru, yang ironisnya, lahir atas “jasa baik” kaum penjajah: dominasi politik serta
pengaruh budaya mereka (yang dianggap buruk) atas bangsa jajahan.
Namun, globalisasi tak hanya mengaburkan batas fisik, ia juga mengaburkan batas imajiner:
kebanggaan Barat atas Timur. Warga negara Eropa-Amerika kini juga segamang warga negara
Asia-Afrika dalam menatap tunggang-langgangnya dunia. Brexit di Inggris Raya dan terpilihnya
Trump di AS menjadi bukti sahih bahwa kesenjangan (sosial-ekonomi) bukanlah akar penyebab
munculnya populisme atau nasionalisme kanan (jauh). Quah dan Mahbubani (2016) menyatakan,
perasaan kehilangan kontrol atas dunia dan masa depanlah musababnya.
Berseberangan dengan narasi populer yang menuduh ketimpangan sebagai pendorong
kemunculan nasionalisme nan jahat (bad nationalism), hasil elektoral di AS dan referendum di
Inggris menyatakan hal berbeda. Di AS, berdasarkan jajak pendapat dalam kategori tingkat
pendidikan pemilih, ras, dan jenis kelamin, Donald Trump memikat 53% lulusan universitas
berkulit putih pria, dan 52% pemilih wanita kulit putih wanita, sementara hanya 43% pemilih
kulit putih perempuan yang mendukung Hillary Clinton. Dalam kategori umur, Trump
memenangkan hati 47% pemilih kulit putih dalam rentang umur 18-29 tahun, sementara Clinton
hanya 43%. Dari kategori pendapatan, lebih dari separuhnya 36% pemilih Hillary Clinton berasal
dari warga berpendapatan kurang dari USD 50 ribu/tahun. Sementara 64% sisanya, warga
berpendapatan di atas USD 50 ribu/tahun, 49% memilih Trump dan 47% memilih Clinton.
Disinilah paradoks itu muncul. Berbeda dengan pandangan umum, muasal pendidikan, kelas,
kelamin, serta pendapatan para pemilih Trump ini membantah stereotipe yang muncul dari tesis
ketimpangan ekonomi sebagai penyebab populisme.
Di kasus yang berbeda, pembuat kebijakan di negara berkembang, termasuk Indonesia, masih
meyakini ketimpangan sebagai masalah utama serta berupaya keras untuk memfasilitasi
mobilitas sosial, termasuk mencegah agar jangan sampai globalisasi dan teknologisasi
menggantikan kelas menengah maupun kelas pekerja sehingga fenomena terpilihnya Trump dan
Brexit tak menular ke mereka. Resep yang mereka pakai ialah melindungi dan memberi
perhatian pada warga yang kurang beruntung, memberi pelatihan, serta membuka lowongan
kerja baru bagi pengangguran (Quah dan Mahbubani, 2016).
Solusi yang ekonomistik di atas lahir dari cara pandang yang menganggap ketimpanganlah yang
menyebabkan nasionalisme agresif. Narasi yang juga diyakini oleh sebagian sarjana, termasuk
Popov (2016) yang menyatakan bahwa meski ketimpangan di sebagian negara tak menyulut
sentimen nasionalis dan anti-globalisasi, di sebagian besar negara lainnya peningkatan
ketimpangan pendapatan dan kekayaan yang dimulai sejak 1980an menjadi lahan subur bagi
menguatnya nasionalisme yang agresif.
Senada dengan argumen ketimpangan di atas ialah pandangan strukturalis Hadiz (2016) yang
menganggap Islam politik dan populisme Islam baru di Indonesia—seperti gerakan 212 dan 411
untuk menentang Ahok—lahir sebagai pengisi kekosongan kekuatan politik berbasis kelas serta
meruyaknya neo-liberalisasi ekonomi. Baginya, populisme Islam di Indonesia adalah gerakan
lintas kelas dan merupakan respon terhadap globalisasi dalam bentuk solidaritas dan identitas
komunal berlandaskan agama.