Academia.eduAcademia.edu

PROSES PEMBENTUKAN UNDANG UNDANG DAN PERATURAN DAERAH

Abstract

Mengenai pembentukan undang-undang pertama kali dibukakan pada UUD 1945 pasal 20 ayat (1) dan (2) yang berisikan, 1. Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. 2. Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama Hal ini lah yang menjadi dasar pertama kali pembentukan UU yang selalu menjadi acuan dalam pembentukan undang-undang. Secara khusus pembentukan undang-undang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Undang-undang

Mengenai pembentukan undang-undang pertama kali dibukakan pada UUD 1945 pasal 20 ayat (1) dan (2)

Pembahasan

Pembahasan materi RUU antara DPR dan Presiden (juga dengan DPD, khusus untuk topik-topik tertentu) melalui 2 tingkat pembicaraan. Tingkat 1 adalah pembicaraan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat badan legislasi, rapat badan anggaran atau rapat panitia khusus. Tingkat 2 adalah pembicaraan dalam rapat paripurna. Pengaturan sebelum adanya putusan MK 92/2012 hanya "mengijinkan" DPD untuk ikut serta dalam pembahasan tingkat 1, namun setelah putusan MK 92/2012, DPD ikut dalam pembahasan tingkat 2. Namun peran DPD tidak sampai kepada ikut memberikan persetujuan terhadap suatu RUU. Persetujuan bersama terhadap suatu RUU tetap menjadi kewenangan Presiden dan DPR.

Apa yang terjadi pada tahap pembahasan adalah "saling kritik" terhadap suatu RUU. Jika RUU tersebut berasal dari Presiden, maka DPR dan DPD akan memberikan pendapat dan masukannya. Jika RUU tersebut berasal dari DPR, maka Presiden dan DPD akan memberikan pendapat dan masukannya.

Jika RUU tersebut berasal dari DPD, maka Presiden dan DPR akan memberikan masukan dan pendapatnya.

Pengesahan

Setelah ada persetujuan bersama antara DPR dan Presiden terkait RUU yang dibahas bersama, Presiden mengesahkan RUU tersebut dengan cara membubuhkan tanda tangan pada naskah RUU.

Penandatanganan ini harus dilakukan oleh presiden dalam jangka waktu maksimal 30 hari terhitung sejak tanggal RUU tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Jika presiden tidak menandatangani RUU tersebut sesuai waktu yang ditetapkan, maka RUU tersebut otomatis menjadi UU dan wajib untuk diundangkan. Segera setelah Presiden menandatangani sebuah RUU, Menteri Sekretaris negara memberikan nomor dan tahun pada UU tersebut.

Pengundangan

Pengundangan adalah penempatan UU yang telah disahkan ke dalam Lembaran Negara (LN), yakni untuk batang tubung UU, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) yakni untuk penjelasan UU dan lampirannya, jika ada. TLN.Sebelum sebuah UU ditempatkan dalam LN dan TLN, Menteri Hukum dan HAM terlebih dahulu membubuhkan tanda tangan dan memberikan nomor LN dan TLN pada naskah UU.

Tujuan dari pengundangan ini adalah untuk memastikan setiap orang mengetahui UU yang akan mengikat mereka.

Penyebarluasan

Penyebarluasan adalah kegiatan yang selalu "melekat" dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan. Pasal 88 ayat (1) UU 12/2011 (setelah dimaknai oleh MK dalam putusan MK 92/2012) menyebutkan bahwa, "Penyebarluasan dilakukan oleh DPR, DPD dan Pemerintah sejak Penyusunan Prolegnas, pembahasan RUU, hingga Pengundangan Undang-Undang," hal tersebut dilakukan untuk,"memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan."

Peraturan Daerah

Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) maupun dari Gubernur/Bupati/Walikota. Apabila dalam satu kali masa sidang Gubernur/Bupati dan DPRD menyampaikan rancangan Perda dengan materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan Perda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan Perda yang disampaikan oleh Gubernur/Bupati/Walikota dipergunakan sebagai bahan persandingan. Program penyusunan Perda dilakukan dalam satu Program Legislasi Daerah, sehingga diharapkan tidak terjadi tumpang tindih dalam penyiapan satu materi Perda.

Proses pembentukan perda usulan pemerintah daerah maupun perda inisiatif DPRD mekanismenya sama saja, karena kedua lembaga itu apabila membuat peraturan daerah berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Proses pembentukan Perda terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu: a. Proses penyiapan rancangan Perda yang merupakan proses penyusunan dan perancangan di lingkungan DPRD atau di lingkungan Pemda, terdiri penyusunan naskah akademik dan naskah rancangan Perda. b. Proses mendapatkan persetujuan, yang merupakan pembahasan di DPRD. c. Proses pengesahan oleh Gubernur/Bupati/Walikota dan pengundangan oleh Sekretaris Daerah.

Sebenarnya penentuan arah kebijakan untuk kepentingan daerah bukanlah terletak pada keharusan membuat perda-perda yang banyak, akan tetapi pencocokan sumber daya alam maupun manusia lebih diperhitungkan agar daerah itu dapat menyesuaikan kemampuan pada anggaran pendapatan daerah. Faktor adanya peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat juga sebagai bahan refrensi daerah atas kepatuhan terhadap aturan hukum yang menyesuaikan dengan kondisi lingkungan didaerahnya. Oleh karena itu agar kebijakan daerah yang effektip, efisiensi, dan accountability dibutuhkan rencana yang matang dengan kadar waktu jangka 1 (satu) tahun, menengah, dan panjang terkonsepkan dalam draf rencana kerja.

Berharap pada pembentukan peraturan daerah membawakan rasa keadilan yang nyata bagi masyarakat daerah agar kelangsungan hidup ekonomi dapat dirasakan. Keadilan adalah perekat tatanan kehidupan bermasyarakat yang beradab. Hukum diciptakan agar agar setiap individu anggota masyarakat dan penyelenggara negara melakukan sesuatu tidakan yang diperlukan untuk menjaga ikatan sosial dan mencapai tujuan kehidupan bersama atau sebaliknya agar tidak melakukan suatu tindakan yang dapat merusak tatanan keadilan. Keadilan memang merupakan konsepsi yang abstrak. Namun demikian di dalam konsep keadilan terkandung makna perlindungan hak, persamaan derajat dan kedudukan di hadapan hukum, serta asas proporsionalitas antara kepentingan individu dan kepentingan sosial. Sifat abstrak dari keadilan adalah karena keadilan tidak selalu dapat dilahirkan dari rasionalitas, tetapi juga ditentukan oleh atmosfir sosial yang dipengaruhi oleh tata nilai dan norma lain dalam masyarakat.

Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan. Dengan adanya kepastian hukum setiap orang dapat memperkirakakan apa yang akan dialami jika melakukan tindakan hukum tertentu. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa diskriminasi.

Aturan terhadap pembuatan raperda inisiatif DPRD, penulis mengkaji secara seksama dengan tinjauan isi materi permendagri nomor 53 tahun 2011 tentang pembuatan produk hukum daerah.

Mekanisme penyusunan raperda inisiatif DPRD telah diatur sebagaimana dalam pasal-perpasal permendagri, faktor yang mendukung jalannya proses pembuatan raperda inisiatif DPRD dalam fungsinya karena adanya aturan itu agar proses penyusunan raperda dilingkungan DPRD secara prosedural agar hasil yang dicapai dengan maksimal, ini signifikan menyangkut kepentingan daerah.

Selanjutnya bagaimana proses penyusunan raperda inisiatif DPRD dari awal sampai disahkannya menjada perda, yaitu:  Penyampaian Rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.

Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Daerah

Dalam pembuatan undang-undang maupun peraturan daerah, penting memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan yang baik yang sesuai dengan ketentuan Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 yaitu sebagai berikut :

a. kejelasan tujuan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, yaitu setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang dan dapat dibatalkan atau batal demi hukum bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang. c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu dalam pembentukan peraturan perundangundangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangan. d. dapat dilaksanakan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. e. kedayagunaan dan kehasilgunaan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benarbenar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara. f. kejelasan rumusan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. g. keterbukaan, yaitu dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan.

Pada pasal 6 undang-undang yang sama juga mengharuskan dalam pembentukan peraturan materi muatan peraturan tersebut harus mengandung asas-asas sebagai berikut :

a. asas pengayoman, bahwa setiap materi muatan peraturan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat. b. asas kemanusiaan, bahwa setiap materi muatan peraturan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi c. asas kebangsaan, bahwa setiap muatan peraturan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistic (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia. d. asas kekeluargaan, bahwa setiap materi muatan peraturan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. e. asas kenusantaraan, bahwa setiap materi muatan peraturan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesiadan materi muatan Perda merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila. f. asas bhinneka tunggal ika, bahwa setiap materi muatan peraturan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi daerah dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. g. asas keadilan, bahwa setiap materi muatan peraturan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali. h. asas kesamaan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa setiap materi muatan peraturan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial. i. asas ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap materi muatan peraturan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. j. asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara. k. asas lain sesuai substansi peraturan yang bersangkutan.

Khusus dalam Peraturan Daerah selain asas dan materi muatan di atas, DPRD dan Pemerintah Daerah dalam menetapkan Perda harus mempertimbangkan keunggulan lokal /daerah, sehingga mempunyai daya saing dalam pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat daerahnya.

Dasar Hukum