HADIS TENTANG ISLAM, IMAN, DAN IHSAN
Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Hadis III
Dosen Pengampu:
KH. Abdullah Mubarok, Lc., M. Th. I
Disusun Oleh:
Difa’ul Umam
M. Unais Khudzaifi
PROGRAM STUDI ILMU AL QURAN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL ANWAR
GONDANROJO KALIPANG SARANG REMBANG 59274 JAWA TENGAH
TAHUN AJARAN 2016
Pendahuluan
Sebagai seorang manusia kita pasti menginginkan kehidupan yang tenang dan bahagia. Untuk mencapai keinginan itu kita pasti membutuhkan tuntunan dalam manjalankan hidup, yaitu agama. Dengan agama, hidup kita akan lebih terarah karena kita senantiasa dituntut untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Dalam mendalami agama kita juga membutuhkan sebuah keyakinan karena kita mempelajari hal yang gaib. Dengan hal tersebut mendorong kita untuk selalu berbuat baik.
Dalam agama Islam kita mengenal konsep iman dan ihsan. Kedudukan Ihsan dalam kehidupan merupakan hal yang penting. Kadang kala kita sebagai seorang muslim yang sudah diberikan tuntunan masih saja melakukan hal-hal yang tidak baik. Ini diakibatkan karena tingkat keimanan yang tidak stabil. Kita tahu bahwa ihsan merupakan realisasi dari Iman.
Oleh karena itu, kita harus mengetahui bagaimana kaitan antara Islam, Iman, dan Ihsan. Karena dari ketiga konsep di atas merupakan kunci untuk mencapai suatu kehidupan yang bahagia. Seseorang yang hanya menganut Islam sebagai agamanya belumlah cukup tanpa diiringi dengan iman. Sebaliknya, iman tidaklah berarti apa-apa jika tidak didasari dengan Islam. Selanjutnya, kebermaknaan Islam dan iman akan mencapai kesempurnaan jika diiringi dengan ihsan, sebab ihsan mengandung konsep keikhlasan tanpa pamrih dalam ibadah. Ada keterkaitan antara ketiga konsep di atas (Islam, iman, dan ihsan) dengan hari Kiamat, karena hari Kiamat merupakan tujuan dari segala perjalanan manusia, yaitu tempat menerima ganjaran dari segala aktifitas manusia yang bisa dipastikan kedatangannya.
Hadis dan Terjemahnya
حَدَّثَنِي أَبُو خَيْثَمَةَ زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ كَهْمَسٍ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ، ح وحَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ مُعَاذٍ الْعَنْبَرِيُّ - وَهَذَا حَدِيثُهُ - حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا كَهْمَسٌ، عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ، قَالَ: كَانَ أَوَّلَ مَنْ قَالَ فِي الْقَدَرِ بِالْبَصْرَةِ مَعْبَدٌ الْجُهَنِيُّ، فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَحُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحِمْيَرِيُّ حَاجَّيْنِ - أَوْ مُعْتَمِرَيْنِ - فَقُلْنَا: لَوْ لَقِينَا أَحَدًا مَنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلْنَاهُ عَمَّا يَقُولُ هَؤُلَاءِ فِي الْقَدَرِ، فَوُفِّقَ لَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ دَاخِلًا الْمَسْجِدَ، فَاكْتَنَفْتُهُ أَنَا وَصَاحِبِي أَحَدُنَا عَنْ يَمِينِهِ، وَالْآخَرُ عَنْ شِمَالِهِ، فَظَنَنْتُ أَنَّ صَاحِبِي سَيَكِلُ الْكَلَامَ إِلَيَّ، فَقُلْتُ: أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّهُ قَدْ ظَهَرَ قِبَلَنَا نَاسٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ، وَيَتَقَفَّرُونَ الْعِلْمَ، وَذَكَرَ مِنْ شَأْنِهِمْ، وَأَنَّهُمْ يَزْعُمُونَ أَنْ لَا قَدَرَ، وَأَنَّ الْأَمْرَ أُنُفٌ، قَالَ: «فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ، وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي»، وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ «لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ» ثُمَّ قَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ، إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ، شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعَرِ، لَا يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلَا يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ، وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ، وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنِ الْإِسْلَامِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الْإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُومَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلًا»، قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ: فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ، وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ الْإِيمَانِ، قَالَ: «أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ»، قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ الْإِحْسَانِ، قَالَ: «أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ»، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: «مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ» قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَتِهَا، قَالَ: «أَنْ تَلِدَ الْأَمَةُ رَبَّتَهَا، وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِي الْبُنْيَانِ»، قَالَ: ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ لِي: «يَا عُمَرُ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلُ؟» قُلْتُ: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: «فَإِنَّهُ جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِينَكُمْ»
Imam Muslim, Shahih Muslim, no. 8, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats, ttp), hal. 36, juz 1.
“Telah menceritakan kepadaku Abu Khaitsamah Zuhair bin Harb, telah menceritakan kepada kami Waki’, dari Kahmas, dari Abdullah bin Buraidah, dari Yahya bin Ya’mar, (perpindahan sanad) dan telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Mu’adz al-‘Anbari, telah menceritakan kepada kami ayahnya, telah menceritakan kepada kami Kahmas, dari bin Buraidah, dari Yahya bin Ya'mar, ia berkata, "Orang yang pertama kali membicarakan masalah takdir di Basrah adalah Ma'bad Al Juhani. Kemudian aku bersaama Humaid bin Abdurrahman Al Himyari pergi menuju kota suci Mekah untuk melaksanakan ibadah haji atau Umrah. Saat itu, kami berkata, "Jika kami bertemu dengan salah seorang sahabat Nabi SAW, maka kami akan tanyakan tentang permasalahan takdir. Kemudian kami bertemu dengan Abdullah bin Umar ra. yang sedang masuk masjid. Kami mendekatinya dan aku mengira sahabatku itu mempersilahkanku untuk menjadi juru bicara kami. Maka aku berkata kepada Ibnu Umar, "Wahai Abu Abdurrahman, telah muncul di daerah kami orang-orang yang membaca Al Qur'an dan mereka juga menuntut ilmu. Mereka memiliki keyakinan bahwa tidak ada takdir atas apa yang terjadi dan apa yang terjadi adalah hal yang baru tanpa campur tangan takdir." Ibnu Umar RA menjawab, "Jika kalian bertemu dengan orang-orang yang bersikap demikian, maka kabarkanlah kepada mereka sesungguhnya aku berlepas diri dari mereka. Dan mereka berlepas diri dariku. Demi Dzat yang Abdullah bin Umar bersumpah atas-Nya; kalau saja mereka menyedekahkan emas sebesar gunung uhud, maka Allah SWT tidak akan menerimanya sehingga mereka beriman kepada takdir.""Umar bin Khaththab ra. telah berbicara kepadaku, ia berkata, 'Sewaktu kami berada bersama Rasulullah saw., tiba-tiba saja datang seorang lelaki yang pakaiannya sangat putih, rambutnya sangat hitam; Tidak nampak bahwa ia telah menempuh suatu perjalanan, namun tidak seorang pun diantara kami yang mengenalnya. Kemudian ia mendekati Rasulullah saw.; duduk berdekatakan dengan Nabi hingga kedua lututnya bersentuhan dengan lutut Nabi saw. dan meletakan kedua tangannya di atas pahanya. Setelah itu, ia berkata, 'Wahai Muhammad, jelaskanlah kepaaku tentang Islam?' Rasulullah saw. menjawab, 'Islam adalah engkau bersaksi tiada Tuhan melainkan Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, hendaknya engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan melaksanakan haji jika kau mampu.' Mendengar jawaban tersebut, lelaki itu berkomentar, 'Engkau benar!' Saat itu, kami pun merasa heran dengan sikap lelaki itu, ia bertanya, namun setelah itu membenarkan jawaban yang diberikan Nabi saw.. Lelaki itu berkata lagi, 'Jelaskanlah kepadaku tentang iman.'Rasulullah saw. menjawab, ''Kamu beriman kepada Allah, kepada para malaikat-Nya, para Rasul-Nya, beriman kepada hari akhir dan beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk.' Lelaki itu berkomentar lagi, 'Engkau benar.' Kemudian ia berkata lagi, 'Jelaskanlah kepadaku tentang ihsan.' Rasulullah saw. menjawab, ''Kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.' Lelaki itu berkata lagi, 'Jelaskanlah kepadaku tentang Kiamat.' Rasulullah saw. menjawab, ' Yang ditanya tidaklah lebih mengetahui daripada si penanya.' Lelaki itu bertanya lagi, 'Jika demikian, jelaskanlah kepadaku mengenai tanda-tandanya?' Rasulullah saw. menjawab, 'Jika seorang budak telah melahirkan tuannya, jika orang-orang yang miskin telah berlomba-lomba membangun rumahnya secara megah'. "Umar meneruskan kisahnya, "Kemudian lelaki itu pergi dan kami tinggal selama tiga hari, kemudian Rasulullah saw. berkata, ' Wahai Umar, tahukah kamu siapa yang bertanya kemarin?'Aku (Umar ra.) menjawab, 'Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.' Beliau bersabda, 'la adalah malaikat Jibril, datang kepada kalian untuk mengajarkan kepada kalian tentang agama kalian'.” (HR. Abu Dawud)
Muhammad Nashiruddin al-Bani, Shahih Sunan Abu Dawud (ebook), jilid 3, bab Sunnah, Tentang Takdir, 2007.
Mufrodat
Musthafa Dib al-Bugha, al-Wâfî Syarah Hadis Arbai’in an-Nawawi, (Yogyakarta: Darul Uswah, 2006), hal. 35.
بَيْنَمَا : menjelaskan waktu atau masa, mâ adalah tambahan. Dalam riwayat lain disebutkan baina.
إِذْ طَلَعَ : idz merupakan huruf yang menunjukkan tiba-tiba. Artinya muncul secara tiba-tiba kepada kami.
رِعَاءَ : jamak ra’in, yaitu penjaga, jamaknya juga bisa ra’at.
الشَّاءِ : jamak dari Syât, yang artinya sekor kambing.
Kajian Sanad
Abū Khaitsamah Zuhair bin Ḥarb bin Syaddād al-Ḥarasyi
Syamsuddin Abu Abdullah, Sîru A’lām al-Nubāla’, (ttp: Mu’assasah al-Risalah, ttp), hal. 489, juz 11.
Beliau dilahirkan pada tahun 160 H. di Baghdad, wafat pada tahun 234 H. Beliau merupakan pembesar golongan yang mengambil hadits dari tabi’ut tabi’in. Di antara guru beliau adalah Isma’il bin Abi Uwais, Jarir bin Abdul Ḥumaid, Hafs bin Ghiyats, Sufyan bin Abi ‘Uyainah, ‘Abdul Razak bin Hammam, Muhammad bin ‘Ubaid, Waki’ bin al-Jarah, al-Walid bin Muslim, Yazid bin Harun. Sementara murid beliau adalah Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah. Ibnu Hajar berkata, beliau tsiqah, tsabit. Sedangkan menurut al-Dzahabi beliau al-Hafidz. Ya’qub bin Syaibah berkomentar, beliau lebih kuat hafalannya dari Abu Bakr bin Abi Syaibah.
Wakî’ bin al-Jarrāh bin Malîh bin ‘Adî al-Ruāsî
Syamsuddin Abu Abdullah, hal. 140-141, juz 9.
Beliau lahir tahun 129 H., wafat pada tahun 196 H. Ada yang mengatakan 197 H.. beliau berguru kepada Idris bin Yazid, Jarir bin Hazim, Dawud bin Abi ‘Abdillah, Zakaria bin Abi Zaidah, Kahmas bin al-Hasan, Malik bin Anas, Muhammad bin Tsabit, al-Mughirah bin Ziyad, Malih bin Jarrah (saudaranya). Di antara yang menjadi murid beliau yaitu Ibrahim bin Sa’id, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawiyah, Abu Khaitsamah Zuhair, Muhammad bin ‘Abdullah bin Numair, Abu Kuraib, Malih bin Waki’ (putranya). Komentar Ibnu Hajar tentang Waki’ yaitu tsiqah, hafidz, orang yang ahli beribadah.
Kahmas bin al-Ḥasan al-Tamîmî Abū al-Ḥasan al-Basharî
Syamsuddin Abu Abdullah, hal. 316-317, juz 6.
Beliau seorang yang ahli dalam beribadah, dikatakan dalam sehari semalam beliau melaksanakan salat mencapai seribu rakaat. Beliau wafat pada tahun 149 H. Di antara guru beliau adalah ‘Abdullah bin Syaqiq, Abi al-Salil Dhuraib bin Nuqair, Yazid bin ‘Abdullah bin al-Syikhkhir, ‘Abdullah bin Buraidah, Abi al-Thuffail. Murid beliau antara lain yaitu Ja’far bin Sulaiman, Kholid bin al-Harits, Abdullah bin al-Mubarak, Mu’adz bin Mu’adz, Waki’ bin al-Jarrah, Mu’tamar bin Sulaiman, Yahya bin Sa’id, Yazid bin Harun, Yusuf bin Ya’qub. Ibnu Hajar dan al-Dzahabi memberi komentar yang sama, yakni tsiqah.
‘Abdullāh bin Buraidah bin al-Ḥashîb al-Aslamî al-Marwazî
Syamsuddin Abu Abdullah, hal. 50-51, juz 5.
Beliau merupakan golongan tabi’in yang lahir pada tahun 15 H. dan wafat tahun 105 H. ada yang mengatakan wafat tahun 115 H. Beliau berguru kepada Anas bin Malik, Buraidah bin al-Hashib, Basyir bin Ka’ab, Humaid bin Abdurrahman, Samrah bin Jundub, ‘Abdullah bin Mughaffal, Yahya bin Ya’mar, ‘Imran bin Hashin, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Ummu Salamah. Di antara yang berguru kepada beliau adalah Basyir bin al-Muhajir, Husain bin Waqid, ‘Abdullah bin ‘Atha’, Kahmas bin al-Hasan, al-Walid bin Tsa’labah, Abu Rabi’ah, ‘Abdul Mu’min bin Khalid. Beliau tsiqah menurut Ibnu Hajar, sedangkan menurut al-Dzahabi bukan hanya tsiqah, tetapi beliau juga menjadi seorang hakim (Qadhi).
Yahyā bin Ya’mar Abū Sulaimān al-‘Adwānî al-Bashrî
Syamsuddin Abu Abdullah, hal. 443-445, juz 4.
Beliau adalah al-Faqîh al-‘Allamāh, al-Muqrî’ Abū Sulaimān al-‘Adwānî al-Bashrî al-Qādhî, beliau wafat sebelum tahun 9 H. ada yang mengatakan sebelum tahun 10 H. dan setelah tahun 10 H. Ibnu Hajar berkomentar tentang Yahya bin Ya’mar bahwasanya beliau seorang yang tsiqah dan fashih bacaannya. Menurut al-Dzahabi beliau seorang yang tsiqah dan juga seorang muqri’ (guru ngaji). Di antara yang menjadi guru beliau adalah ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab, Jabir bin ‘Abdullah, ‘Ustman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, Abu Dzar al-Ghifari, Abu Sa’id al-Khudri, Abu Musa al-‘Asy’ari, Abu Hurairah, ‘Aisyah (ummul mu’minin). Sedangkan murid beliau adalah Sulaiman bin Buraidah, Sulaiman al-Taimi, ‘Abdullah bin Buraidah, ‘Abdullah bin Quthbah, ‘Atha’ al-Khurasani, ‘Ikrimah, ‘Umar bin ‘Atha’, Qatadah, Yahya bin ‘Aqil.
Kedudukan Hadist
Musthafa Dib al-Bugha, hal. 37.
Menurut ibn Daqîq al-‘Aid mengatakan bahwa hadis ini mempunyai kedudukan yang tinggi karena meliputi keseluruhan fungsi-fungsi amal perbuatan, baik lahir maupun batin. Selain itu, juga merupakan muara seluruh ilmu syari’at dan kesempurnaannya. Hadis ini mengandung seluruh himpunan ilmu Sunnah, ibarat induk bagi Sunnah, sebagaimana surat al-Fatihah disebut Ummul Qur’an. Dikatakan demikian karena al-Fatihah mengandung seluruh himpunan makna-makna al-Qur’an.
Dilihat dari segi jumlah perawinya hadis tersebut merupakan hadist mutawatir, karena hadis tersebut bersumber dari delapan riwayat para sahabat mulia. Mereka itu adalah Abu Hurairah, Umar, Abu Dzar, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Amir al-Asy’ari, dan Jarir al-Bajali. Semoga Allah swt. meridai mereka semua. Tidak hanya itu, hadis tersebut banyak siriwayatkan pada setiap thabaqat dari tingkatan sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in hingga seterusnya.
Sedangkan pengertian hadits mutawatir sendiri adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang secara tradisi tidak mungkin mereka sepakat untuk berdusta dari sejumlah perawi yang sepadan dari awal sanad sampai akhirnya, dengan syarat jumlah itu tidak kurang pada setiap tingkatan sanadnya.
Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, penerjemah, H. M. Qodirun Nur, Ahmad Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), hal. 271.
Fiqhul Hadist
Musthafa Dib al-Bugha, Dr. Muhyiddin Mistu, al-Wâfî Syarah Hadis Arbai’in an-Nawawi, (Solo: Insan Kamil, 2013), hal. 48-51.
Membaguskan Pakaian
Anjuran untuk memakai pakaian yang bersih dan wewangian yang harum ketika hendak masuk masjid serta menghadiri pengajian. Selain itu juga mengajarkan etika dalam majelis ilmu dengan para ulama, bahwa malaikat Jibril as. Datang untuk mengajarkan kepada manusia dengan keadaannya dan perkataannya.
Apakah Islam itu
Kata Islam berasal dari Bahasa Arab adalah bentuk masdar dari kata kerjaاسلم – يسلم – اسلاما Yang secara etimologi mengandung makna sejahtera, tidak cacat, selamat. Seterusnya kata salm dan silm mengandung arti kedamaian, kepatuhan, dan penyerahan diri.
Louis Ma’luf, Kamus al-Munjid, (Beirt : al-Maktabah al-Katulikiyah, ttp), hal. 48. Islam menurut pandangan Iman Nawawi dalam Syarh Muslim adalah sebagai berikut.
الاسلام وهو الاستسلام والانقياد الظاهر
Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats, ttp), hal. 148. Juz 1.
“Islam berarti menyerah dan patuh yang dilihat secara zahir”.
Sedangkan dalam istilah syara’ terdiri dari lima fondasi, syahadat lâ ilâha illallah wa anna Muhammad Rasulullah, mendirikan salat pada waktunya, memenuhi rukun dan syarat, memperhatikan sunnah-sunnah dan etikanya, menunaikan zakat pada bulan Ramadhan, dan haji ke baitullah sekali dalam setahun bagi yang mampu dan memilikibekal untuk perjalanan, memiliki kendaraan (biaya perjalanan), serta nafkah untuk keluarga dan anak-anak.
Apakah Iman itu
Kata iman berasal dari bahasa Arab yaitu bentuk masdar dari kata kerja (fi’il). امن- يؤمن - ايمانا yang mengandung beberapa arti yaitu percaya, tunduk, tentram dan tenang.
Louis Ma’luf, Kamus al-Munjid, hal.16. Sedangkan menurut istilah berarti percaya dengan sepenuh hati akan adanya Allah Sang Maha Pencipta dan bahwa Dia adalah Esa, tidak ada sekutu. Iman kepada ciptaan Allah, para malaikat, mereka merupakan hamba-hamba yang dimuliakan, tidak pernah bermaksiat, melaksanakan apa yang diperintahkan. Malaikat diciptakan dari cahaya, tidak makan dan minum, tidak disifati dengan ciri lelaki dan perempuan, serta tidak berketurunan. Tidak ada yang mengetahui persis berapa jumlah bilangan mereka selain Allah swt.. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal definisi dari iman adalah sebagai berikut.
قول و عمل و نية و ثمسك بالسنة
“Ucapan diiringi dengan ketulusan niat dan dilandasi dengan berpegang teguh kepada Sunnah”.
Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, Terj. H. Firdaus, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal.257.
Beriman kepada kitab samawi yang diturunkan dari sisi Allah swt., bahwa kitab tersebut disyariatkan oleh Allah sebelum sampai ke tangan-tangan kotor manusia dengan penyimpangan dan perubahan. Beriman kepada para Rasulullah yang dipilih Allah swt. untuk memberikan petunjuk kepada para makhluknya. Para Rasulullah tersebut dibekali dengan kitab wahyu samawi, juga yakin bahwa para utusan adalah manusia suci atau ma’sum.
Beriman kepada hari Akhir (Kiamat), pada hari itu Allah membangkitkan seluruh manusia dari kuburnya., menghisab amal perbuatan mereka dan memberinya pahala, jika baik maka diberi balasan yang baik, dan jika buruk maka diberi balasan yang buruk. Beriman bahwa semua yang terjadi dalam alam semesta ini adalah takdir Allah swt. dan kehendak-Nya, merupakan hikmah yang hanya diketahui oleh Allah swt. saja.
Semua ini merupakan rukun-rukun iman, siapa yang meyakininya akan meraih sukses dan keberhasilan, sebaliknya siapa yang mengingkarinya akan tersesat dan musnah binasa, seperti yang telah dijelaskan dalam firman Allah swt.,
Al-Qur’ân al-Karîm QS. al-Nisa’ [4]: 136
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. al-Nisa’ [4]: 136)
Islam dan Iman
Berdasarkan penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa Islam dan iman adalah dua hakikat yang saling menjelaskan satu sama lain, baik secara bahasa maupun syara’ dan ini merupakan pokok dari nama-nama yang berbeda. Terkadang istilah syara’ bermakna luas sehingga memasukkan yang satu pada yang lainnya. Tidaklah disebut iman tanpa Islam, seperti tidak disebut Islam tanpa iman, karena keduanya saling berkaitan. Oleh karena itu, haruslah iman dengan hati dan melaksanakannya dengan seluruh anggota badan.
Apakah Ihsan itu
Ihsan adalah ikhlas dan sungguh-sungguh yaitu ikhlas melaksanakan ibadah karena Allah saja dan melakukannya dengan sungguh-sungguh seolah-olah anda melihat-Nya ketika melakukan ibadah tersebut. Maka jika tidak bisa seperti itu, ingatlah bahwa Allah melihat semua perbuatan anda, baik itu yang kecil maupun besar.
Hari Kiamat dan Tanda-Tandanya
Musthafa Dib al-Bugha, Muhyiddin Mistu, al-Wâfî Syarah Hadis Arbai’in an-Nawawi, (Yogyakarta: Darul Uswah, 2006), hal. 40-41.
Pengetahuan tentang hari kiamat hanya Allah swt. yang tahu. Hal itu tidak deberitahukan kepada satu pun dari makhluknya, baik dari kalangan mailaikat maupun rasul. Oleh karena itu, Nabi saw. berkata kepada malaikat Jibril, “Tidaklah orang yang ditanya lebih mengetahui dari orang yang bertanya.” Akan tetapi Nabi saw. menjawab tanda-tanda hari Kiamat serta dekatnya hari tersebut, berikut tanda-tandanya.
Rusaknya zaman dan dekadensi (kemerosotan) moral, banyak anak-anak durhaka yang membangkang terhadap perintah orangtua mereka, sedangkan ia berbuat baik terhadap temannya. Mereka memperlakukan orang tua mereka seperti perlakuan seorang tuan terhadap budaknya.
Segala perkara menjadi kacau-balau dan terbolak-balik, hingga manusia paling bodoh bisa menjadi penguasa dan pemimpin umat, segala urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya. Tangan-tangan manusia dipenuhi dengan harta, kesombongan dan kemewahan merajalela, manusia berlomba-lomba saling meninggikan bangunan rumah mereka, banyak terdapat kesenangan-kesenangan dan sarana-sarana kehidupan. Manusia saling membanggakan diri di hadapan orang lain dan mempercayakan urusan mereka kepada orang fakir dan buruk. Mereka hidup dengan memperhatikan kemewahan kepada orang lain.
Bertanya Tentang Ilmu
Seorang muslim hanya bertanya tentang hal yang mendatangkan kebaikan, baik itu di dunia maupun di akhiratnya dan tidak bertanya tentang hal yang tidak mendatangkan manfaat baginya. Sebagaimana orang yang mendatangi majelis ilmu dan merasakan bahwa orang-orang lain yang hadir hendak bertanya tentang sesuatu, namun tidak ada seorang pun yang berani menanyakannya. Seyogianya ia menanyakan hal itu walaupun ia sudah mengetahui jawaban tersebut. Barang siapa yang ditanya tentang sesuatu yang tidak diketahuinya maka ias harus menjawab, “saya tidak tahu”, karena itu merupakan tanda dari kehati-hatian, ketakwaan dan ilmunya yang benar.
Metode Pendidikan
Di antara metode pendidikan adalah dengan tanya jawab. Ini merupakan metode pendidikan yang berhasil, baik pada masa dahulu maupun sekarang. Di dalam banyak hadis disebutkan bahwa Nabi saw. sering mengulang-ulang metode ini dalam pengajaran kepada sahabat. Sebab, metode ini dapat menarik perhatian para pendengar dan mempersiapkan pikiran mereka untuk menerima jawaban yang benar.
Status Hadis
Hady Mufa’at Ahmad, Dirasah Islamiyah, (Semarang: CV. Sarana Aspirasi, 1994), hal. 219.
Dalam hadis tersebut kita hanya menemukan satu perawi saja, yaitu Sayyidina Umar bin Khaththab yang menyandarkan hadis tersebut kepada Rasulullah saw.. Hadits marfu’ menurut bahasa berarti yang ditinggikan, yang diangkat. Sedangkan menurut bahasa hadits marfu’ adalah hadis yang disandarkan kepada Rasulullah saw. baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapannya, baik sanadnya muttashil (bersambung-sambung), munqati’ (terputus), maupun mu’dhol.
Dengan ta’rif tersebut, maka dapatlah dimengerti bahwa hadits marfu’ walaupun jelas datangnya dari Nabi Muhammad saw., namun tidak semuanya sahih. Dalam arti hadits marfu’ tersebut terdapat cacat, atau terdapat illat, dan syudzdzudz, atau mungkin juga sanadnya tidak bersambung-sambung.
Oleh karena itulah tentunya hadis yang dapat diterima dalam arti yang dapat dijadikan hujah adalah hadits marfu’ yang sahih. Dan karenanya pula orang perlu berhati-hati dalam masalah ini, yakni perlu adanya penyelidikan yang seksama, apakah hadis tersebut sahih atau dha’if.
Kesimpulan
Hadis dengan kedudukannya yang mutawatir tersebut menjelaskan tentang Islam, iman, ihsan, dan juga tanda-tanda hari Kiamat. Pada fiqhul hadist di atas telah banyak dijelaskan pengertian dari Islam, iman, ihsan, dan juga tanda-tanda hari Kiamat. Banyak juga hikmah yang dapat diambil dari hadis di atas antara lain, anjuran untuk memakai pakaian yang bersih dan wewangian yang harum ketika hendak masuk masjid serta menghadiri pengajian. Kita juga dianjurkan untuk bertanya tentang ilmu kepada ahlinya, seperti sekarang ada uluma fuqaha. Hadis tersebut juga menerangkan bahwasanya Nabi saw. mengajarkan metode pendidikan dengan cara tanya jawab, karena hal ini cukup berhasil.
Hadis di atas adalah hadis yang statusnya marfu’, karena hadis tersebut diriwayatkan oleh sahabat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.. Hukum beramal dengan hadits marfu’ adalah boleh jika hadits marfu’ tersebut sahih dan tidak boleh mengingkarinya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’ân al-Karîm dan Terjemahnya
Hady Mufa’at Ahmad, Dirasah Islamiyah, Semarang: CV. Sarana Aspirasi, 1994
Imam Muslim, Shahih Muslim, Beirut: Dar Ihya’ al-Turats, ttp
Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Beirut: Dar Ihya’ al-Turats, ttp
Louis Ma’luf, Kamus al-Munjid, Beirt : al-Maktabah al-Katulikiyah, ttp
Musthafa Dib al-Bugha, al-Wâfî Syarah Hadis Arbai’in an-Nawawi
Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, penerjemah, H. M. Qodirun Nur, Ahmad Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.
Musthafa Dib al-Bugha, Dr. Muhyiddin Mistu, al-Wâfî Syarah Hadis Arbai’in an-Nawawi, Solo: Insan Kamil, 2013.
Syamsuddin Abu Abdullah, Sîru A’lām al-Nubāla’, ttp, Mu’assasah al-Risalah, ttp.