BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sindroma kompartmen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan intestinal di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam kompartemen osteofasial yang tertutup. Ruangan tersebut berisi otot, saraf dan pembuluh darah. Ketika tekanan intrakompartemen meningkat, perfusi darah ke jaringan akan berkurang dan otot di dalam kompartemen akan menjadi iskemik. Tanda klinis yang umum adalah nyeri, parestesia, disertai denyut nadi yang hilang.
Sindroma kompartemen dapat diklasifikasikan menjadi akut dan kronik, tergantung dari penyebab peningkatan tekanan kompartemen dan lamanya gejala. Penyebab umum terjadinya sindroma kompartemen akut adalah fraktur, trauma jaringan lunak, kerusakan arteri, dan luka bakar. Sedangkan sindroma kompartemen kronik dapat disebabkan oleh aktivitas yang berulang misalnya lari.
Di Amerika, ekstremitas bawah distal anterior adalah yang paling banyak dipelajari untuk sindroma kompartemen. Dianggap sebagai yang kedua paling sering untuk trauma sekitar 2-12%. Dari penelitian McQueen [2000], sindroma kompartemen lebih sering didiagnosa pada pria daripada wanita, tapi hal ini memiliki bias, dimana pria lebih sering mengalami luka trauma. McQueen memeriksa 164 pasien yang didiagnosis sindroma kompartemen, 69% berhubungan dengan fraktur dan sebagian adalah fraktur tibia.
Tingkat morbiditas sindrom kompartemen abdominal didasarkan dari efek terhadap system seluruh organ. Oleh karena itu, sindrom kompartemen abdominal mempunyai tingkat mortalitas yang tinggi meskipun dengan penanganan yang cukup. Sindrom kompartemen abdominal sering menjadi sekuel cedera yang berat, yang secara tidak langsung meningkatkan tingkat morbiditas dan mortalitas. Pada awal 1900-an Eddy dan Morris mencatat tingkat mortalitas sindrom kompartemen abdominal sebesar 68%, ini sesuai dengan literature yang mengatakan tingkat mortalitas yaitu 25-75% (Paula,R. 2009).
Rumusan Masalah
Apa definisi dari abdomen dan anatomi fisiologi dinding abdomen?
Apa definisi dari Kompartemen Syndrome Abdomen?
Apa saja klasifikasi dari Kompartemen Syndrom Abdomen?
Apa saja etiologi dari Kompartemen Syndrom Abdomen?
Apa saja faktor resiko dari Kompartemen Syndrom Abdomen?
Bagaimana patofisiologi dari Kompartemen Syndrom Abdomen?
Apa saja manifestasi klinis dari Kompartemen Syndrom Abdomen?
Apa saja pemeriksaan diagnostik dari Kompartemen Syndrom Abdomen?
Apa saja penatalaksanaan dari Kompartemen Syndrom Abdomen?
Apa saja komplikasi dari Kompartemen Syndrom Abdomen?
Bagaimana prognosis dari Kompartemen Syndrom Abdomen?
Bagaimana pencegahan dari Kompartemen Syndrome Abdomen?
Bagaimana asuhan keperawatan klien dengan Kompartemen Syndrom Abdomen?
Tujuan
Tujuan Umum
Menjelaskan konsep dasar tentang Kompartemen Syndrom Abdomen dan asuhan keperawatan pada klien dengan Kompartemen Syndrom Abdomen.
Tujuan Khusus
Asuhan keperawatan ini disusun sebagai tugas mata kuliah Keperawatan Pencernaan II. Setelah menyusun atau mempelajari makalah ini mahasiswa diharapkan mampu:
Mengetahui dan memahami definisi dari abdomen dan anatomi fisiologi dinding abdomen.
Mengetahui dan memahami definisi Kompartemen Syndrom Abdomen.
Mengetahui dan memahami klasifikasi dari Kompartemen Syndrom Abdomen.
Mengetahui dan memahami etiologi Kompartemen Syndrom Abdomen.
Mengetahui dan memahami Insiden dan faktor resiko dari Kompartemen Syndrom Abdomen.
Mengetahui dan memahami patofisiologi dari Kompartemen Syndrom Abdomen.
Menyebutkan dan memahami manifestasi klinis Kompartemen Syndrom Abdomen.
Menyebutkan dan memahami pemeriksaan diagnostik dari Kompartemen Syndrom Abdomen.
Menyebutkan dan memahami penatalaksanaan dari Kompartemen Syndrom Abdomen.
Mengetahui dan memahami komplikasi dari Kompartemen Syndrom Abdomen.
Memahami prognosis dari Kompartemen Syndrom Abdomen.
Mengetahui cara pencegahan dari Kompartemen Syndrome Abdomen.
Mengetahui, memahami, dan menyusun asuhan keperawatan klien dengan Kompartemen Syndrom Abdomen.
Manfaat
Menambah pengetahuan dan keterampilan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien Kompartemen Syndrom Abdomen.
Dapat memberikan asuhan keperawatan yang baik dan tepat pada klien dengan gangguan sistem pencernaan Kompartemen Syndrom Abdomen.
Dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi mahasiswa tentang asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem pencernaan Kompartemen Syndrom Abdomen.
Sebagai referensi tambahan dalam proses pembeajaran mata kuliah sistem pencernaan. Akademik mendapatkan tambahan referensi untuk melengkapi bahan pembelajaran.
Memberikan informasi tentang penyakit Kompartemen Syndrom Abdomen, penyebab, manifestasi klinis, serta cara perawatan dan pengobatanya.
BAB 2
PEMBAHASAN
Definisi dan Anatomi Fisiologi Abdomen
Abdomen adalah rongga terbesar dalam tubuh. Bentuknya lonjong dan meluas dari atas dari diafragma sampai pelvis di bawah. Rongga abdomen dilukiskan menjadi dua bagian, abdomen yang sebenarnya yaitu rongga sebelah atas dan yang lebih besar dari pelvis yaitu rongga sebelah bawah dan lebih kecil. Batas-batas rongga abdomen adalah di bagian atas diafragma, di bagian bawah pintu masuk panggul dari panggul besar, di depan dan di kedua sisi otot-otot abdominal, tulang-tulang illiaka dan iga-iga sebelah bawah, di bagian belakang tulang punggung dan otot psoas dan quadratus lumborum. Bagian dari rongga abdomen dan pelvis beserta daerah-daerah (Pearce, 1999).
Rongga Abdomen dan Pelvis (Pearce, 1999)
Keterangan :
1. Hipokhondriak kanan
2. Epigastrik
3. Hipokhondriak kiri
4. Lumbal kanan
5. Pusar (umbilikus)
6. Lumbal kiri
7. Ilium kanan
8. Hipogastrik
9. Ilium kiri
Isi dari rongga abdomen adalah sebagian besar dari saluran pencernaan, yaitu lambung, usus halus dan usus besar (Pearce, 1999).
Lambung
Lambung terletak di sebelah atas kiri abdomen, sebagian terlindung di belakang iga-iga sebelah bawah beserta tulang rawannya. Orifisium cardia terletak di belakang tulang rawan iga ke tujuh kiri. Fundus lambung, mencapai ketinggian ruang interkostal (antar iga) kelima kiri. Corpus, bagian terbesar letak di tengah. Pylorus, suatu kanalis yang menghubungkan corpus dengan duodenum. Bagian corpus dekat dengan pylorus disebut anthrum pyloricum.
Fungsi lambung:
Tempat penyimpanan makanan sementara
Mencampur makanan.
Melunakkan makanan.
Mendorong makanan ke distal.
Protein diubah menjadi pepton.
Susu dibekukan dan kasein dikeluarkan.
Faktor antianemi dibentuk.
Khime yaitu isi lambung yang cair disalurkan masuk duodenum (Pearce, 1999).
Usus halus
Usus halus adalah tabung yang kira-kira sekitar dua setengah meter panjang dalam keadaan hidup. Usus halus memanjang dari lambung sampai katup ibo kolika tempat bersambung dengan usus besar. Usus halus terletak di daerah umbilicus dan dikelilingi usus besar.
Usus halus dapat dibagi menjadi beberapa bagian :
Duodenum adalah bagian pertama usus halus yang panjangnya 25 cm.
Yeyenum adalah menempati dua per lima sebelah atas dari usus halus.
Ileum adalah menempati tiga pertama akhir.
Fungsi usus halus adalah mencerna dan mengabsorpsi khime dari lambung isi duodenum adalah alkali. (Pearce, 1999)
Usus besar
Usus besar adalah sambungan dari usus halus dan dimulai dari katup ileokdik yaitu tempat sisa makanan. Panjang usus besar kira-kira satu setengah meter.
Fungsi usus besar adalah:
Absorpsi air, garam dan glukosa.
Sekresi musin oleh kelenjer di dalam lapisan dalam.
Penyiapan selulosa.
Defekasi (pembuangan air besar) (Pearce, 1999)
Hati
Hati adalah kelenjer terbesar di dalam tubuh yang terletak di bagian teratas dalam rongga abdomen di sebelah kanan di bawah diafragma. Hati Secara luar dilindungi oleh iga-iga.
Fungsi hati adalah:
Bersangkutan dengan metabolisme tubuh, khususnya mengenai pengaruhnya atas makanan dan darah.
Hati merupakan pabrik kimia terbesar dalam tubuh/sebagai pengantar matabolisme.
Hati mengubah zat buangan dan bahan racun.
Hati juga mengubah asam amino menjadi glukosa.
Hati membentuk sel darah merah pada masa hidup janin.
Hati sebagai penghancur sel darah merah.
Membuat sebagian besar dari protein plasma.
Membersihkan bilirubin dari darah (Pearce, 1999).
Kandung Empedu
Kandung empedu adalah sebuah kantong berbentuk terong dan merupakan membran berotot. Letaknya di dalam sebuah lekukan di sebelah permukaan bawah hati, sampai di pinggiran depannya. Panjangnya delapan sampai dua belas centimeter. Kandung empedu terbagi dalam sebuah fundus, badan dan leher.
Fungsi kangdung empedu adalah :
Kandung empedu bekerja sebagai tempat persediaan getah empedu.
Getah empedu yang tersimpan di dalamnya dibuat pekat. (Pearce, 1999).
Pankreas
Pankreas adalah kelenjar majemuk bertandan, strukturnya sangat mirip dengan kelenjar ludah. Panjangnya kira-kira lima belas centimeter, mulai dari duodenum sampai limpa. Pankreas dibagi menjadi tiga bagian yaitu kepala pankreas yang terletak di sebelah kanan rongga abdomen dan di dalam lekukan abdomen, badan pankreas yang terletak di belakang lambung dalam di depan vertebre lumbalis pertama, ekor pankreas bagian yang runcing di sebelah kiri dan menyentuh limpa.
Fungsi pankreas adalah :
Fungsi exokrine dilaksanakan oleh sel sekretori lobulanya, yang membentuk getah pankreas dan yang berisi enzim dan elektrolit.
Fungsi endokrine terbesar diantara alvedi pankreas terdapat kelompok-kelompok kecil sel epitelium yang jelas terpisah dan nyata.
Menghasilkan hormon insulin → mengubah gula darah menjadi gula otot (Pearce, 1999).
Ginjal
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen, terutama di daerah lumbal di sebelah kanan dari kiri tulang belakang, di belakang peritoneum. Dapat diperkirakan dari belakang, mulai dari ketinggian vertebre thoracalis sampai vertebre lumbalis ketiga ginjal kanan lebih rendah dari kiri, karena hati menduduki ruang banyak di sebelah kanan. Panjang ginjal 6 sampai 7½ centimeter. Pada orang dewasa berat kira-kira 140 gram. Ginjal terbagi menjadi beberapa lobus yaitu : lobus hepatis dexter, lobus quadratus, lobus caudatus, lobus sinistra.
Fungsi ginjal adalah :
Mengatur keseimbangan air.
Mengatur konsentrasi garam dalam darah dan keseimbangan asam basa darah.
Ekskresi bahan buangan dan kelebihan garam. (Pearce, 1999)
Limpa
Terletak di regio hipokondrium kiri di dalam cavum abdomen diantara fundus ventrikuli dan diafragma.
Fungsi limpa adalah :
Pada masa janin dan setelah lahir adalah penghasil eritrosit dan limposit
Setelah dewasa adalah penghancur eritrosit tua dan pembentuk homoglobin dan zat besi bebas.
Limpa dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu :
Dua facies yaitu facies diafraghmatika dan visceralis.
Dua kutub yaitu ekstremitas superior dan inferior.
Dua margo yaitu margo anterior dan posterior
Rongga Abdomen Bagian Depan (Pearce, 1999).
Keterangan :
Diafragma
Esofagus
Lambung
Kaliks kiri
Pankreas
Kolon desenden
Kolon transversum
Usus halus
Kolon sigmoid
Kandung kencing
Apendiks
Sekum
Illium
Kolon asenden
Kandung empedu
Liver
Lobus kanan
Lobus kiri
Definisi Kompartemen Syndrom Abdomen
ACS adalah kondisi klinis disfungsi organ yang disebabkan oleh hipertensi intra abdomen yang memerlukan intervensi bedah dengan laparotomi. sebagian besar setuju bahwa tekanan perut intra lebih dari 25 mmHg, ACS merusak aliran balik vena dan menurunkan curah jantung, kerusakan organ akhir telah dijelaskan dengan IAP AS10 serendah mm Hg. ACS merusak cardiovaskuler, paru, ginjal, dinding perut, dan gangguan intrakranial dari peningkatan IAP terlepas dari penyebabnya. hanya 40% dari pasien dengan ini parah dari peningkatan presure intra abdominal. (jean louis vincent, 2009)
Sindrom kompartemen abdominal (ACS) muncul bila disfungsi organ terjadi sebagai hasil dari hipertensi intra-abdomen. Sindrom ini didefinisikan dengan menetap atau berulangnya tekanan intra-abdomen lebih dari 20 mmHg atau tekanan perfusi abdomen kurang dari 60 mmHg dengan disertai onset satu atau lebih kegagalan sistem organ. Tekanan intra-abdomen normal antara 0-5 mmHg, tapi pada pasien dewasa yang kritis normal IAP dapat mencapai antara 5-7 mmHg.
Sindrom kompartemen abdominal adalah suatu kondisi yang sangat berpotensi akan terjadinya kematian, hal ini dapat diakibatkan oleh beberapa kasus yang menyebabakan hipertensi intra-abdominal; penyebab tersering adalah trauma tumpul abdominal. Peningkatan tekanan intra-abdominal menyebabkan hipoperfusi dan iskemik usus besar, dan selaput perut lainnya. Efek patofisiologi termasuk pelepasan sitokin, oksigen radikal bebas, dan penurunan produksi sel (adenosine triphosphat). Proses ini memungkinkan terjadinya translokasi bakteri yang berasal dari usus dan edema usus besar, yang merupakan faktor pencetus terjadinya sindrom disfungsi organ pada pasien. Konsekuensi dari sindrom kompartemen abdomen sangat besar dan mempengaruhi banyak sistem vital pada tubuh. Hemodinamik, respirasi, renal, dan abnormalitas neurologi adalah bagian-bagian yang dipengaruhi sindrom kompartemen abdomen. Penatalaksanaan medis berupa laparatomi. Asuhan keperawatan berupa keterlibatan perawat terhadap monitoring kondisi klien, termasuk ukuran tekanan intra-abdominal. (Richard Paula, 2015)
Menurut Sugrue (2005) berdasarkan penyebabnya, Abdominal Compartment Syndrome (ACS) dibagi menjadi tiga yaitu:
Primer atau ACS akut : jika patologi intra abdominal terjadi secara langsung di bagian proksimal. Keadaan yang berhubungan dengan cedera atau penyakit di region pelvis-abdomen yang sering memerlukan penanganan bedah atau intervensi radiologis intervensional. Kondisi yang berkembang setelah operasi perut (seperti perut cedera organ yang membutuhkan bedah perbaikan atau kerusakan control pembedahan, peritonitis sekunder, perdarahan patah tulang panggul, atau penyebab lainnya hematoma retroperitoneal besar, transplantasi hati).
ACS sekunder : jika tidak terdapat luka intraabdominal, tetapi di luar abdominal yang dikarenakan akumulasi cairan (seperti sepsis dan kebocoran kapiler, utama luka bakar, dan kondisi lain yang membutuhkan resusitasi cairan besar).
ACS kronik : jika disebabkan oleh sirosis dan asites (biasanya pada stadium lanjut ACS). Keadaan dimana ACS kembali terjadi akibat tindakan bedah sebelumnya atau terapi medis pada primer atau ACS sekunder.
Klasifikasi Kompartemen Syndrom Abdomen
Klasifikasi kompartemen sindrom abdomen (ACS) menurut indian Journal of Critical Care Medicine adalah:
ACS primer
Biasanya terjadi pada keadaan cedera dan berawal dari perdarahan serta edema viseral yang sering memerlukan penanganan bedah atau intervensi radiologis intervensional. Penyebab utamanya yaitu trauma penetrasi, pendarahan intraperitoneal, pankreatitis, fraktur panggul, dll. contoh trauma yaitu peritonitis, ileus, dan perdarahan.
ACS sekunder
Sindrom kompartemen abdomen sekunder dapat terjadi pada pasien tanpa cedera intra-abdominal, ketika cairan menumpuk dalam volume yang cukup untuk menyebabkan IAH. Terdiri dari tekanan tinggi dan disfungsi organ yang disebabkan oleh edema dan resusitasi. Contoh resusitasi: pasien syok hemoragik, luka bakar. Terjadi baik pada pasien bedah maupun medis yang berhubungan dengan volume resusitasi yang besar menyebabkan pembentukan akut asites serta edema viseral, sehingga meningkatkan tekanan intra abdominal dan terjadinya ACS. Sindrom kompartemen sekunder umumnya meningkat pada periode awal terapi langsung untuk penanganan resusitasi sepsis. Penyebab meliputi: Penetrasi atau trauma tumpul tanpa cedera diidentifikasi pascaoperasi, Packing dan penutupan fasia primer, yang meningkatkan insiden keracunan darah, dll.
ACS rekuren (ACS tersier)
Menunjukkan bahwa ACS terjadi berulang setelah penanganan medis awal atau pembedahan pada sindrom kompartemen sekunder. Hal yang umum terjadi pada edema organ yaitu iskemia jaringan. Tingkat kematian sangat tinggi. Penyebab sindrom kompartemen perut meliputi: dialisis peritoneal, Obesitas mengerikan, Sirosis, sindrom Meigs, massa intra-abdomen.
Menurut Sugrue (2005) berdasarkan penyebabnya, Abdominal Compartment Syndrome (ACS) dibagi menjadi tiga yaitu:
Primer atau ACS akut : jika patologi intra abdominal terjadi secara langsung di bagian proksimal. Keadaan yang berhubungan dengan cedera atau penyakit di region pelvis-abdomen yang sering memerlukan penanganan bedah atau intervensi radiologis intervensional. Kondisi yang berkembang setelah operasi perut (seperti perut cedera organ yang membutuhkan bedah perbaikan atau kerusakan control pembedahan, peritonitis sekunder, perdarahan patah tulang panggul, atau penyebab lainnya hematoma retroperitoneal besar, transplantasi hati).
ACS sekunder : jika tidak terdapat luka intraabdominal, tetapi di luar abdominal yang dikarenakan akumulasi cairan (seperti sepsis dan kebocoran kapiler, utama luka bakar, dan kondisi lain yang membutuhkan resusitasi cairan besar).
ACS kronik : jika disebabkan oleh sirosis dan asites (biasanya pada stadium lanjut ACS). Keadaan dimana ACS kembali terjadi akibat tindakan bedah sebelumnya atau terapi medis pada primer atau ACS sekunder.
Etiologi Kompartemen Syndrom Abdomen
Sindrom kompartemen abdomen terjadi ketika IAP terlalu tinggi, mirip dengan kompartemen sindrom di ekstremitas. 3 jenis sindrom perut kompartemen (primer, sekunder, dan kronis) memiliki penyebab yang berbeda dan kadang-kadang tumpang tindih.
ACS utama
Penyebab utama (yaitu, akut) sindrom kompartemen abdomen adalah sebagai berikut:
trauma penetrasi
Perdarahan intraperitoneal
Pankreatitis
Tabrakan kendaraan bermotor atau setelah ledakan struktur besar
fraktur panggul
Pecahnya aneurisma aorta abdominal
ulkus peptikum perforasi
ACS sekunder
Sindrom kompartemen abdomen Sekunder dapat terjadi pada pasien tanpa cedera intra-abdominal, ketika cairan menumpuk dalam volume yang cukup untuk menyebabkan IAH. Penyebab meliputi:
Bervolume besar resusitasi: Literatur menunjukkan peningkatan risiko secara signifikan dengan infus lebih besar dari 3 L
Daerah besar ketebalan penuh luka bakar:
Penetrasi atau trauma tumpul tanpa cedera diidentifikasi
Pascaoperasi
Packing dan penutupan fasia primer, yang meningkatkan insiden
keracunan darah
Sebuah studi retrospektif melaporkan pada faktor risiko terkait langsung dengan mortalitas pada pasien dengan kedua hipertensi intra-abdominal dan ACS. Polytransfusion adalah prediktor kuat kematian, bersama dengan riwayat dilaporkan diabetes dan jumlah total produk darah yang digunakan.
ACS sekunder pada pasien dengan ekstremitas bawah cedera vaskular dari penetrasi cedera atau trauma tumpul dikaitkan dengan kematian 60% dalam satu penelitian (Macedo FI, 2015 ).
Kronis
Penyebab sindrom kompartemen perut kronis meliputi berikut ini:
dialisis peritoneal
Obesitas mengerikan
Sirosis
sindrom Meigs
massa intra-abdomen (Richard Paula, 2015)
Insiden dan Faktor Resiko Kompartemen Syndrom Abdomen
Abdominal compartement syndrome belum jelas namun total populasi yang didiagnosis dengan ACS semakin meningkat. Ini termasuk pasien-pasien dengan luka tusuk dan luka tumpul terbuka, ruptur aneurysma aorta abdomen, perdarahan retroperitoneal, pneumoperitoneum, neoplasma pancreatitis, ascites yang masif dan transplantasi hepar. Resusitasi cairan yang masif, akumulasi darah dan pembekuan edema usus dan penutupan secara paksa pada dinding abdomen yang tidak komplians adalah faktor-faktor yang bisa menyebabkan ACS. Tambahan pula, jaringan parut luka bakar di sekeliling abdomen cenderung terjadinya kompresi dinding abdomen menyebabkan peningkatan pada tekanan intra-abdominal.
Selain itu faktor yang sering terjadinya ACS adalah pada pasien yang dalam proses penyembuhan luka jaringan akibat laparotomi, terutama bila ada kasa atau pack yang intra-abdominal. Dalam penelitian yang dijalankan telah didapatkan sebanyak 14% dari 145 orang pasien berisiko tinggi terkena ACS. Pasien yang mengalami ACS akibat dari ruptur aneurysma aorta abdomen dilaporkan sebanyak 4%
Patofisiologi Kompartemen Syndrom Abdomen
Setiap kelainanan meningkatkan tekanan dalam rongga perut dapat menimbulkan hipertensi intra abdomen. Dalam beberapa situasi, seerti pancreatitis akut atau pecahnya aneurisma aorta abdominal. Obstruksi mekanis usus halus dan pembesaran abdomen bisa menimbulkan hipertensi intra abdomen. Namun, trauma tumpul abdomen dengan pendarahan intra abdomen dari lienalis, hati dan cedera mesenterika adalah penyebab paling umum dari hipertensi intra abdomen, pembedahan perut dengan tujuan untuk mengendalikan pendarahan juga dapat menimbulkan tekanan dalam ruang peritoneal. Distensi usus debagai akibat dari syok hipovolemik dan perpindahan volume yang besar, merupakan penyebab penting hipertensi intra abdomen, dan selanjutny menyebabkan ACS pada pasien trauma. Pada kondis syok, vasokonstriksi dimediasi oleh system saraf simpatik mengakibatkan kurangnya suplai darah ke kulit, ginjal, oto, dan saluran pencernaan, hal ini bertujuan untuk menyuplai darah ke jantung dan otak. Redistribusai darah dari usus menghasilkan hipoksia seluler di jaringan usus. Hipoksia ini berhubungan dengan 3 bagian penting dari perkembanga kompensasi positif yang mencrikan pathogenesis hipertensi intra abdomen, dan perkembangannya menjadi ACS :
Pelepasan sitokinin
Pembentukan oksgen radikal bebas
Penurunan produksi adenosine trifosfat
Sebagai respon terhadap jaringan yang mengalami hipopksia, maka stokinin dilepaskan. Molekul molekul ini meningkatkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas kapiler yag mengarah pada terjadinya edema. Setelah seluler mengalami reperfusi, oksigen radikal bebas dihasilka. Agen ini memiliki efek toksik pada membrane sel yang kondisinya diperparah oleh adany sitoknin, yang merangsang pelepasan radikel lebih banyak lagi. Selain itu, kurangnya penghantaran oksigen ke jaringan yang mengalami keterbatasan produksi adenosine triphospat dan penurunan persediaan dari adenosine triphospat ini tergantung pada aktivitas seluler. (Paula Richard,1009)
Yang terkena dampak adalah pompa natrium kaliaum. Efisien fungsi pompa sangat penting untuk peratura intraseluler elektrolit. Ketika pompa gagal, erjadi kebocorn natrium ke dalam sel sehingga menark air. Sel membengkak, selaput kehilangan integritas, isi intrasel keluar ke ekstraseluler dan mengakibatkan inflamasi (peradangan). Inflamasi dengan cepat berubah menjadi edema, sebagai akibat dari kebocoran kapiler, da jaringan usus semakin membengkak akibat dari semakin meningkatny tekanan intra abdomen. Pada awal tekanan, perfusi usus terganggu, hipoksia seluler, ematian sel, peradangan, edema terus berlanjut. (Pleva Mayzlik,J. 2004)
Jadi, pada hipertensi intra abdomen dapat menyebabka vasokonstriks sehingga terjadi peningkatan tekana Intra abdomen. Apabila tekanan intra abdomen terus meningkat, dapat menyebabkan terjadinya penurunan perfusi jaringan dn akhirnya terjadi edema yang juga dapat memperparah peningkatan tekanan intra abdomen. Meningkatnya tekanan intra abdomen inilah yang menyebabkan terjadinya kompartemen sindrom abdominal.
Patofisiologi dampak ACS pada berbagai sistem organ :
a. Disfungsi ginjal
Disfungsi ginjal merupakan dampak yang paling sering terjadi. Efek klasik IAH/ACS pada system ginjal yaitu oliguria hingga menjadi anuria dengan IAP yang meningkat. IAP 15±20 mmHg dapat terjadi oliguria, sementara IAP lebih dari 30 mmHg dapat terjadi anuria. Mekanisme terjadinya disfungsi ginjal terdapat banyak faktor. ACS membuat gangguan pada kardiovaskular dengan menurunkan curah jantung sehingga menurunkan aliran arteri ginjal, meningkatkan resistensi vaskular ginjal, menurunkan filtrasi glomerulus dan kompresi vena ginjal.
b. Disfungsi paru
Peningkatan IAP berdampak langsung pada fungsi paru. Komplians paru mengalami resultan reduksi progresif pada kapasitas total paru, kapasitas residu fungsional dan volume residu. Ini ditunjukkan secara klinis dengan elevasi hemidiafragma pada radiografi dada. Perubahan ini ditunjukkan pada IAP diatas 15 mmHg. Terjadi kegagalan respirasi selanjutnya akibat hipoventilasi dari hasil elevasi progresif IAP. Resistensi vascular paru meningkat sebagai hasil dari pengurangan tekanan oksigen alveolus dan peningkatan tekanan intra-torak. Pada akhirnya, disfungsi organ paru ditunjukkan dengan keadaan hipoksia, hiperkapnia dan peningkatan tekanan ventilasi.
c. Disfungsi jantung
Peningkatan IAP secara konsisten berkorelasi dengan penurunan curah jantung.Ini ditinjukkan pada IAP diatas 20 mmHg. Penurunan jurah jantung merupakanhasil dari penurunan alur balik vena jantung dari kompresi langsung pada venacava dan vena porta. Peningkatan tekanan intra-thorak juga membuat penurunan aliran vena cava superior dan inferior. Resistensi maksimal aliran darah vena cava terjadi di hiatus cavum diafragma. Ini berhubungan dengan gradient tekanan tiba-tiba antara abdomen dan rongga dada. Peningkatan tekanan intra-thorak menyebabkan kompresi jantung dan pengurangan volume akhir diastolik. Kenaikan resistensi vascular sistemik berasal dari efek gabungan vasokonstriksi arteriolar dan IAP yang meningkat. Gangguan ini membuat stroke volume berkurang dimana hanya satu-satunya yang dikompensasi dengan meningkatkan detak jantung dan kontraktilitas. Kurva Starling kemudian bergeser ke bawah dan ke kanan dan curah jantung secara progresif menurun dengan IAP yang meningkat. Kelainan ini terjadi eksaserbasi bersamaan dengan hipovolemia.Perubahan hemodinamik signifikan ditunjukkan pada IAP diatas 20 mmHg.
d. Disfungsi hepar
Penurunan aliran darah arteri hepatic, vena porta dan sirkulasi mikro berhubungan dengan IAH. Ketika babi yang teranestesi IAP-nya meningkat hingga 20 mmHg, kebalikan dari Q konstan dan tekanan arteri rata-rata, aliran arteri hepatic berkurang hingga 55%, aliran vena porta menurun hingga 35% dan aliran sirkulasimikro hepatic berkurang hingga 29% dibandingkan dengan control. Penurunan pada aliran sirkulasi mikro hepatik yang sama juga terjadi pada pasien dengan kolesistektomi per laparoskopi. Pasien dengan trauma kemungkinan meningkat resiko sekunder terhadap penurunan aliran darah portal dan visceral yang terjadiselama syok.
e. Disfungsi Splaknik
Sama seperti dampak yang terjadi pada hati, ginjal dan vena cava inferior, efek predominan dari peningkatan IAP juga mengurangi perfusi splaknik. Hipoperfusisplaknik dapat terlihat pada IAP 15 mmHg dengan laporan kasus iskemiaintestinal yang memerlukan intervensi operatif setelah laparoskopik elektif mempertahankan 15 mmHg pneumoperitonium. Bagaimanapun aliran darah arterimesenterikum, mukosa usus, dan vena porta telah menurun dengan peningkatan IAP. Ini dapat diukur pada pengaturan klinis dengan tonometri gaster yangmengindikasikan penurunan perfusi pada perut. Sebuah studi menunjukkan bahwapenurunan perfusi gaster disimpulkan dengan penurunan pHi gaster yangberkurang lebih awal dari tanda-tanda ACS (oliguria, tekanan puncak inspirasimeningkat). Penurunan perfusi gastrointestinal ini terjadi tidak bergantung pada penurunan Q. IAP yang meningkat juga menunjukkan tekanan vena porta yangmeningkat. Ini kemungkinan salah satu factor kontribusi pada patofisiologi varises esophagus pada pasien dengan gagal hati. Meningkatnya IAP hingga 10 mmHgmenghasilkan peningkatan tekanan varises, volume, radius dan ketegangan dinding. Sebagai tambahan, penurunan perfusi splaknik dan cedera reperfusi ditunjukkan dengan produksi sitokin dari usus. Ini berperan dalam perkembangan komplikasi septic dan atau sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS) dankegagalan organ multipel.
f. Disfungsi system saraf pusat
Meskipun ACS tidak menyebabkan kegagalan system saraf pusat, terdapathubungan erat antara IAH dan ICP yang meningkat dengan reduksi sekunder pada CPP yang ditunjukkan pada dua hewan percobaan. Ini akibat mekanismepeningkatan tekanan intrathora dimana dihasilkan dari IAH, elevasi media padadiafragma. Peningkatan tekanan intra-thorak meningkatkan tekanan vena jugular dan ICP. Pasien dengan ACS secara klinis dan ICP yang meningkat telahterkoreksi ICP dengan laparotomi dekompresi. Dengan demikian pemantauan IAPdisarankan pada pasien dengan neurotrauma dan cedera abdomen atau curiga IAHdengan pemikiran untuk dekompresi pada peningkatan ICP.
Manifestasi Klinis Kompartemen Syndrom Abdomen
Manifestasi klinis ACS:
Distensi abdomen yang berat
Penurunan output urin (kurang dari 0,5 ml/kgBB/jam)
Peningkatan tekanan puncak inspirasi (lebih dari 40 cmH2O)
Penurunan indeks transpor O2
Gangguan kardiovaskular dan ditandai dengan peningkatan vena central (CVP)
Gagal napas yang ditandai dengan PCO2 yang meningkat,volume tidal yang berkurang
Curah jantung menurun
Tekanan darah yang labil
pH rendah yang menetap
Oliguria yang tidak repon terhadap terapi konvensional
Tekanan intra abdomen yang meningkat (>40 mmHg)
(Paula Richard MD, 2013)
Pemeriksaan Penunjang Kompartemen Syndrom Abdomen
Pada kasus-kasus dengan sindrom kompartemen dapat dilakukan pemeriksaan penunjang, antara lain :
Laboratorium
Hasil laboratorium biasanya normal dan tidak dibutuhkan untuk mendiagnosis kompartemen sindrom, tetapi dapat menyingkirkan diagnosis banding lainnya.
Complete Metabolic Profile [CMP]
Hitung sel darah lengkap
Kreatinin fosfokinase dan urin myoglobin
Serum myoglobin
Toksikologi urin : dapat membantu menentukan penyebab, tetapi tidak membantu dalam menentukan terapi pasiennya.
Urin awal : bila ditemukan myoglobin pada urin, hal ini dapat mengarah ke diagnosis rhabdomyolisis.
Protombin time [PT] dan activated partial thromboplastin time [aPTTT]
Imaging
Rongen : pada ekstremitas yang terkena.
USG
USG membantu untuk mengevaluasi aliran arteri dalam memvisualisasi Deep Vein Thrombosis [DVT] .
Pemeriksaan lainnya
Pengukuran tekanan kompartemen
Pulse Oximetry
Sangat membantu dalam mengidentifikasi hipoperfusi ekstremitas, namun tidak cukup sensitif.
Penatalaksanaan Kompartemen Syndrom Abdomen
Tekanan Intra Abdomen dibagi atas:
1. Grade I : IAP 12 – 15 mmHg
2. Grade II : IAP 16 – 20 mmHg
3. Grade III : IAP 21 – 25 mmHg
4. Grade IV : IAP > 25 mmHg
Studi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa penilaian klinis dan pemeriksaan klinis adalah tidak akurat dalam memprediksi IAP pasien. Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengukur IAP, yakni dengan cara langsung (misalnya punksi abdomen saat dialisis peritoneal atau laparoskopi) dan secara tidak langsung (misalnya pengukuran tekanan intrabuli, tekanan gaster, colon, atau tekanan uterus). Dari beberapa metode ini, teknik pengukuran tekanan intrabuli telah diterima secara luas di seluruh dunia oleh karena lebih sederhana dan biaya lebih minimal. Dalam usaha untuk melakukan standardisasi dari pengukuran IAP, makan hasil pengukuran IAP dinyatakan dalam mmHg dan diukur saat ekspirasi akhir pada posisi supine setelah menjamin absennya kontraksi otot abdomen. Nilai normal IAP adalah 5-7 mmHg. (Malbrain, 2006).
Teknik pengukuran intravesika merupakan cara tidak langsung yang cukup tepat untuk mengukur tekanan intra abdomen. Perubahan tekanan intra peritoneal direfleksikan pada tekanan intravesika. Validasi metode ini menunjukkan bahwa tekanan intra vesika identik dengan tekanan intraperitoneal. (Iberti, 1997).
Penanganan harus berdasarkan pada pemeriksaan klinis dengan peningkatan IAP. IAP kritis yang menimbulkan berbagai disfungsi organ bergantung pada keadaan premorbid pasien. Pasien gemuk setiap saat meningkat IAP tetapi telah terkompensasi dengan hal tersebut. Grade I IAH secara umum hanya memerlukan resusitasi volume dengan pemantauan tekanan berkelanjutan. Beberapa pasien tidak membaik keadaannya. Pasien dengan grade II harus ditangani berdasarkan gejalanya. Bila oliguria ringan dengan kompresi jantung dan paru minimal, dapat diresusitasi lebih lanjut dan dilanjutkan dengan memantau tekanan. Bila pasien mengalami cedera intra-kranial atau kompresi berat yang lebih, operasi dekompresi harus dipikirkan. Grades III dan IV ditangani dengan operasi dekompresi. Saat ini sebagian besar penulis menyetujui bahwa tekanan kritis untuk ACS adalah antara 20 hingga 25 mmHg.
a. Sistem grade kompartemen abdominal
Tekanan buli-buli Grade (mmHg) Rekomendasi
I 10–15 Pertahankan normovolemia
II 16–25 Resusitasi Hipervolemik
III 26–35 Dekompresi
IV >35 Dekompresi dan re-eksplorasi
Pilihan terapi medis untuk mengurangi IAP :
1. Memperbaiki komplians dinding abdomen
- Sedasi dan analgesik
- Blokade neuromuskular
- Hindari ketinggian kepala tempat tidur > 30 degrees
2. Evakuasi isi intra-lumen
- Dekompresi nasogaster
- Dekompresi rektum
- Agent gastro-/colo-prokinetik
3. Evakuasi kumpulan cairan abdominal
- Parasentesis
- Drainase perkutan
4. Koreksi keseimbangan cairan positif
- Hindari resusitasi cairan berlebih
- Diuretik
- Koloid / cairan hipertonik
- Hemodialisis / ultrafiltrasi
5. Organ Pendukung
- Pertahankan APP > 60 mmHg dengan vasopressor
- Optimalkan ventilasi, alveolar recruitment
- Gunakan tekanan jalan napas transmural (tm)
- Pplattm = Pplat – IAP
- Pikirkan untuk menggunakan volumetric preload indices
- Jika menggunakan PAOP/CVP, gunakan tekanan transmural
- PAOPtm = PAOP - 0.5 * IAP
- CVPtm = CVP - 0.5 * IAP
Terdapat manajemen nonoperatif pada IAH/ACS yang terdiri dari lima intervensi terapi, tiap terapi mengandung beberapa langkah tingkat terapi :
1. Evakuasi isi intralumen
2. Evakuasi space-occupying lesion intra-abdomen
3. Memperbaiki komplians dinding abdomen
4. Optimalkan kebutuhan cairan
5. Optimalkan perfusi jaringan regional dan sistemik
b. Manajemen pembedahan
Laparotomi dekompresi merupakan gold standard dalam penanganan pasien dengan ACS. Pendekatan dekompresi abdomen sangat beragam. Temporary abdominal closure (TAC) telah banyak digunakan sebagai mekanisme mengembalikan dampak akibat peningkatan IAP. Beberapa penulis menganjurkan penggunaan TAC sebagai profilaksis untuk mengurangi komplikasi post operasi dan mempermudah re-eksplorasi yang telah direncanakan. Setelah laparotomi dekompresi, dilakukan temporer abdominal closure yang dilanjutkan dengan permanen abdominal closure pada hari berikutnya.
c. Temporary abdominal closure
Beberapa metode dari temporary abdominal closure dapat digunakan. Keputusan pertama yang harus dibuat adalah apakah menutup fascia dengan bahan sintetis atau membiarkannya terbuka. Fascia tidak boleh ditutup primer, ini berkaitan dengan tingginya tingkat rekuren dari ACS. Jika fascia ditutup dengan bahan sintetis, berbagai bahan (absorbable/nonabsorbable; porous/nonporous) bisa digunakan. Berbagai tipe dari mesh dapat digunakan termasuk polyglycolic acid (Vicryl™), polypropylene (Marlex™), atau polytetrafluoroethylene (PTFE). Bahan yang dapat diserap lebih dipilih. Penutup dengan alat burr artificial (Velcro-like), kantung cairan intravena (“Bogotá bag”), kantung kaset x-ray steril, dan kertas Silastic telah digunakan.
Jika fasia dibiarkan terbuka dan abdomen penuh, kulit bisa tertutup atau dibiarkan terbuka. Kulit bisa ditutup menggunakan jahitan, penjepit kain, perban lateks Esmarch atau mesh. Jika mesh dijahit ke kulit, akan ditutup dengan adesif drape yang steril dan drape (Vi-drape™ or Steri Drape™). Menjahit bahan sintetis ke kulit bukan ke fasia, mempersiapkan fasia untuk definitive closure berikutnya. Jika penutupan kulit saja menyebabkan peningkatan IAP, kulit dibiarkan terbuka. Usus ditutupi dengan nonadhesive, nonporous materi (seperti tas atau perekat usus terlipat menggantungkan dirinya sendiri sehingga sisi perekat menempel pada dirinya sendiri).
Tepi bahan nonadhesive, nonporous diselipkan di bawah tepi dinding abdomen anterior untuk mencegah pengeluaran isi dari usus. Selanjutnya, handuk steril ditempatkan, diikuti oleh tirai perekat (Vidrape ™ atau tirai Steri ™) yang menempel pada dinding perut dan mencegah lebih lanjut pengeluaran isi, pengeringan dari usus, dan cairan kerugian dari perut yang terbuka. Aplikasi langsung dari tirai perekat ke usus meningkatkan risiko enterocutaneous fistula dan tidak disarankan.
Sebuah cairan irigasi urologis tas dijahit ke kulit dan saluran eksternal ditempatkan untuk mengontrol dan kuantifikasi dari kebocoran cairan atau perdarahan.
d. Permanent abdominal closure
Penutupan perut permanen dilakukan setelah hipovolemia, hipotermia, coagulapathy, dan asidosis telah diperbaiki; yang biasanya tiga sampai empat hari setelah dekompresi abdomen. Beberapa metode penutupan perut telah dideskripsikan. Primer penutupan fasia dapat dilakukan atau cangkok kulit dapat ditempatkan diikuti oleh dinding perut tertunda rekonstruksi.
Setelah mobilisasi signifikan cairan, dimungkinkan untuk menutup fasia tanpa ketegangan yang signifikan. Namun, sebuah "pemisahan bagian" teknik mungkin diperlukan untuk reapproximate fasia.
Jika mesh ditempatkan sebagai perut sementara penutupan (sebaiknya bahan yang diserap), jala dapat dibiarkan in situ selama dua minggu kemudian ditutup dengan kulit ketebalan parsial grafts ke jaringan granulasi yang mendasarinya. Jala biasanya akan dimasukkan ke dalam jaringan granulasi pada titik waktu ini. Jika fasia tidak ditutup dan pasien yang tersisa dengan cacat dinding perut, dinding perut rekonstruksi dapat dilakukan enam hingga dua belas bulan kemudian.
Berbagai metode rekonstruksi telah dijelaskan, termasuk medial bilateral kemajuan abdominus rektus otot dan fasia dengan atau tanpa sayatan kulit-relaksasi. Expanders jaringan subkutan diikuti oleh flaps kemajuan myocutaneous bilateral juga telah digunakan. Garis tengah perut flap cacat mungkin memerlukan rekonstruksi atau rekonstruksi dengan nonabsorbable mesh.
Pasien yang dirawat di ICU sebaiknya diskrining untuk melihat faktor resiko terjadinya IAH/ACS dan dengan kegagalan organ yang baru atau progresif. Biladua atau lebih faktor resiko dijumpai, pengukuran IAP harus dilakukan. Dan bila IAH ditemukan, pengukuran IAP serial harus dilakukan pada pasien tersebut.
Pengukuran IAP terdiri dari berbagai teknik yaitu penempatan metal intra-abdomen langsung (sudah lama ditinggalkan), tekanan vena kava inferior (beresiko thrombosis dan infeksi), tekanan gaster (jarang digunakan tetapi berguna bila terdapat trauma buli-buli dimana distensi buli merupakan kontraindikasi) dan tekanan buli-buli. Gold standard pengukuran IAP adalah dengan tekanan buli-buli.
Untuk mengukur tekanan buli-buli, suntikkan 50-100 ml saline steril kedalam Foley kateter melalui lubang aspirasi; klem silang selang steril dari drainkantong urin letak distal dari lubang aspirasi; hubungkan ujung selang drainkantong urin ke Foley kateter; lepaskan klem sesaat agar cairan dari buli keluar dan kemudian klem ulang; Y-connect transduser tekanan ke kantong drain melalui lubang aspirasi menggunakan jarum G 16; pastikan IAP dari transduser menggunakan puncak dari tulang simfisis pubis sebagai titik nol dalam posisitelentang. Manometer tangan yang dihubungkan ke Foley kateter melalui kolom cairan di selang dapat digunakan untuk menentukan tekanan sebagai ganti transduser.
Komplikasi Kompartemen Syndrom Abdomen
Jika pada sindrom kompartemen abdominal tidak mendapatkan penanganan dengan segera maka akan menimbulkan beberapa komplikasi berikut ini (Irga, 2008) :
Nekrosis pada syaraf dan otot dalam kompartemen
Kontraktur volkman, merupakan kerusakan otot yang disebabkan oleh terlambatnya penanganan sindrom kompartemen sehingga timbul deformitas pada tangan, jari, dan pergelangan tangan karena adanya trauma pada lengan bawah
Trauma vascular
Gagal ginjal akut
Sepsis
Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
Prognosis Kompartemen Syndrom Abdomen
Jika tidak diobati, sindrom kompartemen abdomen akan mengalami kefatal. Menurut, Eddy (1997) kematian dari 68% pasien dengan sindrom kompartemen perut dari 1984-1996 sebagian besar penduduk adalah laki-laki (70%), dan sebagian besar telah mengalami trauma tumpul (80%) dan angka kematian telah berkisar 25-75% (Eddy V, 1997 ).
Mortalitas yang tinggi pada sindrom kompartemen abdominal, bahkan dengan pengobatan, mencerminkan fakta bahwa kondisi yang mempengaruhi beberapa sistem organ. Selanjutnya, sindrom kompartemen abdomen seringkali sekuele cedera parah yang independen membawa morbiditas dan mortalitas tinggi tinggi. Malbrain et al menunjukkan bahwa dengan sendirinya, peninggian tekanan perut berkorelasi dengan peningkatan angka kematian sebelum perkembangan aktual sindrom kompartemen abdomen (Richard Paula, 2015)
Pencegahan Kompartemen Syndrom Abdomen
Pencegahan awal sangat efektif terutama pada yang telah diketahui berisiko tinggi terkena ACS dan intervensi preventif akan mengurangkan risiko peningkatan tekanan intra-abdominal. Biasanya pasien yang berisiko ACS diketahui pada pasien yang dilaparotomi dan operasi harus diberhentikan jika didapatkan ada gangguan pada fisiologis pasien seperti hipotermi, asidosis, dan coagulopati. Terdapat berbagai cara untuk menutup luka terbuka pada abdomen. Telah terbukti bahwa ACS dapat dicegah dengan penutupan luka dengan menggunakan jaringan yang bersifat menyerap terutama pada pasien yang menjalani laparotomi yang paling berisiko ACS. Resusitasi yang optimal harus diterapkan berbanding over resusitasi untuk mencegah terjadi komplikasi dalam penanganan intensif. Terdapat berbagai cara resusitasi yang telah dievaluasi. Laktat defisit basa dan pH mukosa abdomen adalah sebagai indikator untuk resusitasi.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN UMUM
Pengkajian
Identitas Klien
Lakukan pengkajian pada identitas klien (Biodata klien) yang meliputi: nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa, tanggal lahir, alamat, agama, pekerjaan, tanggal pengkajian, nomor register, dan diagnosa medis.
Keluhan Utama
Klien dengan abdominal kompartement syndrome mengalami keluhan utama mengeluh adanya distensi abdomen dan nyeri abdomen bawah.
Riwayat Kesehatan Sekarang
Mengkaji perjalanan penyakit pasien saat ini dari awal gejala muncul dan penanganan yang telah dilakukan hingga saat dilakukan pengkajian. Riwayat kesehatan sekarang keluhan yang muncul adalah perut membesar/ distensi abdomen yang berat, gagal napas, sesak nafas, oliguria yang tidak respon terhadap terapi konvensional keadaan tersebut terjadi setelah adanya /kondisi pembedahan abdomen, trauma mayor seperti luka bakar, gastroparesis, pseudo- obtruksi kolon, pancreatitis, oliguria, sepsis,dll.
Riwayat Kesehatan Terdahulu
Penyakit yang pernah dialami oleh pasien sebelum masuk rumah sakit, kemungkinan pasien pernah menderita penyakit sebelumnya, seperti obstruksi mekanis usus halus, trauma tumpul pada perut karena kecelakaan, pembesaran abdomen dan hipertensi intra abdomen, Trauma Penetrating, Perdarahan intraperitoneal, Pankreatitis, Fraktur panggul, dll.
Riwayat Kesehatan Keluarga
Keluarga tidak memiliki riwayat penyakit yang sama.
Pemeriksaan Fisik
Amati arah gejala dalam pernapasan dan detak jantung (RR dan HR, masing-masing) dan penurunan urin. Tanda dan gejala nonspesifik dan halus mungkin dimasukkan ke kondisi klinis lain. Peningkatan IAP mempengaruhi sistem kardiovaskular, paru-paru, ginjal, dan neurologis.
Kardiovaskular
Hipotensi mungkin hasil dari penurunan CO, yang dihasilkan dari vasokonstriksi IAH-diinduksi. Tanda-tanda syok, termasuk pucat, takikardi, kulit dingin dan lembab, mungkin ada. aliran balik vena berkurang karena kompresi dari IVC, yang mengakibatkan hilangnya pemenuhan (peningkatan tekanan IVC) dan penurunan preload (volume), yang selanjutnya mengurangi CO. Peningkatan IAP kompres aorta, sehingga peningkatan SVR (peningkatan afterload), yang mengurangi CO. Kompensasi vasokonstriksi mempengaruhi aliran darah ke pembuluh darah hati dan ginjal, yang mengarah ke kompromi ginjal, oliguria, dan hipoperfusi hati; jika tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal dan hati.
Paru-paru
Gangguan pernapasan hasil dari tekanan perut yang meningkat dapat menghambat gerakan diafragma dengan memaksa diafragma ke atas, yang menurunkan kapasitas residual fungsional, meningkatkan atelektasis, dan mengurangi luas permukaan paru-paru. Takipnea dan peningkatan kerja pernapasan dapat hadir. hipoksemia yang memburuk dapat menaikkan tekanan puncak inspirasi, mirip dengan sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS). dukungan ventilasi alternatif sering diperlukan untuk mempertahankan oksigenasi dan ventilasi.
Neurologis
Mengubah hasil status mental dari obstruksi aliran vena serebral, menyebabkan kemacetan pembuluh darah dan meningkatkan ICP. Peningkatan IAP meningkatkan tekanan intratoraks, yang menekan pembuluh darah di dalam rongga dada, sehingga sulit bagi pembuluh darah otak mengalir denga baik. Kombinasi penurunan CO dan peningkatan ICP dapat menyebabkan penurunan CPP, yang mendorong penurunan lebih lanjut dalam tingkat kesadaran (LOC).
Ginjal
Hasil disfungsi ginjal seperti peningkatan tekanan perut meningkatkan kompres kandung kemih dan uretra serta arteri dan vena ginjal. Pengeluaran Urin berkurang dan peningkatan serum BUN dan kreatinin walaupun keduanya mungkin tidak melakukannya secara proporsional satu sama lain (rasio BUN/kreatinin).
Berikut nilai yang mungkin meningkat:
1. Jantung dan pernapasan
2. Tekanan intrakranial (ICP)
3. Nilai hemodinamik : tekanan vena sentral (CVP), tekanan arteri paru oklusif (PAOP), sistemik vaskular resisten (SVR), tekanan vena cava inferior (IVC)
4. Pernapasan: tekanan pleura, tekanan puncak inspirasi
5. Pemeriksaan laboratorium nilai: PaCO2, kreatinin serum, serum darah urea nitrogen (BUN)
Berikut Nilai-nilai yang mungkin akan menurun:
1. Tekanan darah sistolik (BP)
2. Pernapasan: volume tidal, PaO2
3. Curah jantung (CO)
4. volume urine
5. Tekanan perfusi serebral (CPP)
6. Tingkat filtrasi glomerulus (GFR)
7. Tekanan Perfusi Perut (APP)
Analisa Data
Data
Etiologi
Masalah
DS : Klien mengeluh nyeri
DO :
P: Nyeri timbul akibat adanya benturan tumpul pada abdomen saat kecelakaan
Q: Nyeri yang dirasakan seperti ditusuk-tusuk
R: Terasa nyeri di bagian perut bawah
S: Skala nyeriantara 1-10)
T: Nyeri timbul ketika klien melakukan pergerakan
Trauma tumpul abdomen
Perdarahan intra abdomen
Hipertensi intra-abdomen
Nyeri
Nyeri
DS: Klien mengeluh sesak saat bernafas
DO: RR meningkat, RR = 25 x/menit
Tekanan intra-abdomen meningkat
Relaksasi diafragma terhambat
Kapasitas residual fungsional
Suplai O2 menurun
Sesak
Gangguan pertukaran gas
Gangguan pertukaran gas
DS: Klien mengeluh lemas
DO: Klien terlihat pucat
TTV:
Nadi : 70 x/menit
TD : 90/60 mmHg
RR : 25 x/menit
Akral : Dingin dan lembab
CRT : 3 detik
Trauma abdomen
Perdarahan antara peritonial
Penurunan volume darah
Penurunan arus balik vena
Penurunan isi sekuncup
Penurunan curah jantung
Penurunan perfusi jaringan
Penurunan perfusi jaringan
DS: Klien mengeluh jarang buang air kecil
DO: Urine output sedikit, urin berwarna kuning pekat
Peningkatan tekanan intra-abdomen
Tekanan di pembuluh ginjal
Resistensi vaskular ginjal
Oliguria
Perubahan pola eliminasi Urin
Perubahan pola eliminasi urin
DS: Klien mengeluh tidak nafsu makan dan mual
DO:
A (antropometri):
BB → menurun
B (biokimia):
kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit
C (clinical):
Klien merasa mual dan terlihat lemas, membran mukosa pucat
D (diit):
Klien hanya menghabiskan setengah porsi ketika makan. Jenis diet tinggi kalori, tinggi protein
Nyeri
Mual & muntah
Penurunan intake nutrisi
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
DS: Klien mengeluh cemas dengan keadaan penyakit yang dialaminya.
DO: Insomnia dan gelisah
Penatalaksanaa pembedahan
`Pre Operasi
Kurang pengetahuan
Anxietas
Anxietas
Diagnosa keperawatan
Nyeri berhubungan dengan adanya peningkatan tekanan intra abdomen yang mengakibatkan iskemik jaringan.
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan distensi abdomen yang mengakibatkan penekanan diafragma (penghambatan relaksasi diafragma).
Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan perdarahan.
Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan oliguri.
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan nafsu makan menurun akibat adanya mual dan muntah.
Anxietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan : Potensial komplikasi GI yang berkenaan dengan adanya penyakit, dan tindakan yang dapat mencegah kekambuhan.
Intervensi Keperawatan
Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intra abdomen
Tujuan: Nyeri yang dirasakan berkurang atau dapat diadaptasi oleh klien
Kriteria hasil:
Klien mengungkapkan nyeri yang dirasakan berkurang atau dapat diadaptasi.
Klien tidak merasa kesakitan.
Dapat mengidentifikasi aktifitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah.
Intervensi
Rasional
Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman.
Mengajarkan tehnik relaksasi dan metode distraksi.
Beritahu pasien untuk menghindari mengejan, meregang, batuk, dan mengangkat benda yang berat. Ajarkan pasien untuk menekan insisi dengan tangan atau bantal selama episode batuk; ini khususnya penting selama periode pascaoperasi awal dan selama 6 minggu setelah pembedahan.
Kolaborasi analgesik.
Observasi tingkat nyeri dan respon motorik klien, 30 menit setelah pemberian analgesik untuk mengkaji efektivitasnya dan setiap 1-2 jam setelah tindakan perawatan selama 1-2 hari.
Istirahat akan merelaksasi semua jaringan sehingga akan meningkatkan kenyamanan.
Akan melancarkan peredaran darah, dan dapat mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan.
Menghindari adanya tekanan intra abdomen
Analgesik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri berkurang
Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang objektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat.
Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan distensi abdomen
Tujuan: Dalam waktu 3x 24 jam tidak terjadi perubahan pola napas. Klien dapat bernapas normal.
Kriteria hasil: Klien tidak sesak napas, RR dalam batas normal16- 20x/ menit, ekspansi dada normal.
Intervensi
Rasional
Kaji frekuensi, irama, kedalaman pernafasan.
Auskultasi bunyi nafas.
Pantau penurunan bunyi nafas.
Pastikan kepatenan O2 binasal.
Berikan posisi yang nyaman (semi fowler).
Berikan instruksi untuk latihan nafas dalam.
Catat kemajuan yang ada pada klien tentang pernafasan.
Kolaborasi : operasi abdomen terbuka (OA)
Frekuensi, irama, dan kedalaman napas yang normal menunjukkan pola napas yang efektif.
Mendengarkan suara napas klien normal atau tidak.
Penurunan bunyi napas klien menunjukkan adanya gangguan pada jalan napas.
Memenuhi kebutuhan oksigenasin klien.
Posisi semi fowler mempermudah udara masuk sehingga klien dapat bernapas dengan optimal.
Dengan latihan napas yang rutin, klien dapat terbiasa untuk napas dalam yang efektif.
Sebagai indikator efektif atau tidakkah intervensi yang dilakukan perawat pada klien.
Menghindari komplikasi kritis dan hasil klinis yang buruk
Syok hipovelemik berhubungan dengan defisit volume cairan
Tujuan: Mempertahankan tingkat kesadaran yang baik.
Kriteria hasil: Menunjukkan tingkat kesadaran yang baik, fungsi kognitif dan motorik, mendemonstrasikan tanda-tanda vital stabil dan tidak adanya tanda-tanda peningkatan TIK.
Intervensi
Rasional
Pantau tanda-tanda vital dan CVP, perhatikan adanya derajat perubahan tekanan darah postural. Observasi terhadap peningkatan suhu/demam. Palpasi nadi perifer. Perhatikan pengisian kapiler, warna/suhu kulit: kaji status mental.
Awasi jumlah dan tipe masukan cairan .Ukur , haluran urin dengan akurat.
Timbang berat badan badan setiap hari dan bandingkan dengan keseimbangan cairan 24 jam.
Indikator keadekuatan volume sirkulasi. Hipotensi ortostatikdapat terjadi dengan risiko jatuh atau cedera segera setelah perubahan posisi.
Pasien tidak mengkonsumsi cairan. Oliguria bisa terjadi dan toksin dalam sirkulasi mempengaruhi antibiotik.
Memberikan informasi tentang keadekuatan masukan diet/ penentuan kebutuhan nutrisi.
Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan oliguri
Tujuan: mengembalikan pola eliminasi urin normal.
Kriteria hasil: Klien menunjukkan pola pengeluaran urin yang normal, klien menunjukkan pengetahuan yang adekuat tentang eliminasi urin.
Intervensi
Rasional
Pantau pengeluaran urine, catat jumlah dan warna saat dimana diuresis terjadi.
Pantau/hitung keseimbangan pemaukan dan pengeluaran selama 24 jam.
Pertahakan duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler selama fase akut.
Pantau TD dan CVP (bila ada)
Kaji bisisng usus. Catat keluhan anoreksia, mual, distensi abdomen dan konstipasi.
Pengeluaran urine mungkin sedikit dan pekat karena penurunan perfusi ginjal. Posisi terlentang membantu diuresis sehingga pengeluaran urine dapat ditingkatkan selama tirah baring.
Terapi diuretic dapat disebabkan oleh kehilangan cairan tiba-tiba/ berlebihan (hipovolemia) meskipun edema/ asites masih ada.
Posisi tersebut meningkatkan filtrasi ginjal dan menurunkan produksi ADH sehingga meningkatkan dieresis.
Hipertensi dan peningkatan CVP menunjukkan kelebihan cairan dan dapat menunjukkan terjadinya peningkatan kongesti paru, gagal jantung.
Kongesti visceral (terjadi pada GJK lanjut) dapat mengganggu fungsi gaster/intestinal.
Evaluasi Hasil
Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intra abdomen
Setelah dilakukan tindakan keperawatan,klien tidak merasakan nyeri
Klien tidak merasa kesakitan
Klien dapat menidentifikasi aktivitas yang dapat meningkatkan atau menurunkan nyeri
Klien tampak rileks
Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan distensi abdomen
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam, klien tidak lagi sesak nafas, RR dalam bats normal (16-20x/mnt)
Penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan perdarahan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan,tingkat kesadaran klien meningkat, tanda tanda vital klien stabil
Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan oliguri
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, urin klien kembali normal
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan nafsu makan manurun akibat adanya mual dan muntah
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, dalam 1 mingguberat badan klien stabil tidak naik atau mengalami penurunan
BAB 4
ASUHAN KEPERAWATAN SEMU
Kasus semu
Tuan Y (35 Tahun) seorang karyawan swasta, datang ke RSUA. Tuan Y mengeluh rasa tidak nyaman pada abdomen dan mual muntah. 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, klien mengeluh nyeri hebat pada perut bagian bawah saat melakukan aktivitas berat dan mereda dalam keadaan rileks. Saat dalam keadaan nyeri, klien meminum analgesic untuk mrredakan nyeri yang dirasakan. Klien tidak memeriksakan keadaannya tersebut sampai bagian perutnya membesar disertai nyeri hebat dan sesak. Tuan Y mengatakan bahwa sekitar setahun yang lalu, klien pernah kecelakaan dan mengalami trauma tumpul pada perut. Klien mengaku tidak mempunyai penyakit gastritis, apendisitis, asma dan mengaku tidak memiliki riwayat alergi.
PENGKAJIAN
Identitas klien
Nama : Tuan Y
Jenis kelamin : Pria
Umur : 35 tahun
Agama : islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Karyawan swasta
Alamat : Surabaya
Masuk RS : 11 Mei 2016
Keluhan Utama
Klien mengeluh nyeri di bagian perut bawah
Riwayat penyakit saat ini
Klien mengeluh rasa tidak nyaman pada abdomen dan mual muntah. 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, klien mengeluh nyeri hebat pada perut bagian bawah saat melakukan aktivitas berat dan mereda dalam keadaan rileks. Saat dalam keadaan nyeri, klien meminum analgesic untuk mrredakan nyeri yang dirasakan. Klien tidak memeriksakan keadaannya tersebut sampai bagian perutnya membesar disertai nyeri hebat dan sesak.
Riwayat pernyakit terdahulu
Sekitar setahun yang lalu, klien pernah kecelakaan dan mengalami trauma tumpul pada perut. Klien mengaku tidak mempunyai penyakit gastritis, apendisitis, asma dan mengaku tidak memiliki riwayat alergi.
Riwayat penyakit kelurga
Tidak ada
Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Intrapersonal : klien merasa cemas
Interpersonal : -
Pemeriksaan fisik
B1 (Breath) : sesak, nafas tidaak teratur
B2 (Blood) : pucat, peningkatan tekanan darah, penurunan nadi
B3 (Brain) : ada perasaan takut, penampilan yang tidak tenang, data psikologis klien nampak gelisah
B4 (Bladder) : oliguria
B5 (Bowel) : mual, muntah, nafsu makan turun, nyeri tekan pada abdomen
B6 (Bone) : kelemahan, lelah
Pemeriksaan penunjang
ANALISA DATA
Data
Etiologi
Masalah
1. DS : Klien mengeluh nyeri
DO :
P : Nyeri timbul akibat adanya benturan tumpul pada abdomen saat kecelakaan
Q : Nyeri yang dirasakan seperti ditusuk-tusuk
R : Terasa nyeri di bagian perut bawah
S : Skala nyeri 8 (skala antara 1-10)
T : Nyeri timbul ketika klien melakukan pergerakan
Trauma tumpul abdomen
Perdarahan intra abdomen
Hipertensi intra-abdomen
Nyeri
Nyeri
2. DS : Klien mengeluh sesak saat bernafas
DO : RR meningkat, RR = >20 x/menit
Tekanan intra-abdomen meningkat
Relaksasi diafragma terhambat
Kapasitas residual fungsional
Suplai O2 menurun
Sesak
Ketidakefektifan pola nafas
Ketidakefektifan pola nafas
3. DS : Klien mengeluh lemas
DO : Klien terlihat pucat
Nadi : < 60 x/menit
TD : 90/60 mmHg
RR : < 20 x/menit
Akral : Dingin dan lembab
CRT : > 3 detik
Trauma abdomen
Perdarahan antara peritonial
Penurunan volume darah
Penurunan arus balik vena
Penurunan isi sekuncup
Penurunan curah jantung
Penurunan perfusi jaringan
Penurunan perfusi jaringan
4. DS : Klien mengeluh jarang buang air kecil
DO : Urine output sedikit, <400 cc/24 jam, urin berwarna kuning pekat
Peningkatan tekanan intra-abdomen
Tekanan di pembuluh ginjal
Resistensi vaskular ginjal
Oliguria
Perubahan pola eliminasi
urin
Perubahan pola eliminasi urin
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Nyeri berhubungan dengan adanya peningkatan tekanan intra abdomen yang mengakibatkan iskemik jaringan
Ketidakefektifan pola nafas berhubunga dengan distensi abdomen yang mengakibatkan penekanan diafragma (penghambatan relaksasi diafragma)
Penurunan perfus jaringan berhubngan dengan perdarahan yang mengakibatkan syok hipovolemik
Perubahan eliminasi urin berhubungan dengan oliguria
INTERVENSI
Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intra abdomen
Tujuan : nyeri yang dirasakan berkurang tau dapat diadaptasi oleh klien
Kriteria hasil :
Klien mengungkapkan nyeri yang dirasaka berkurang atau dapat diadaptasi
Klien tidak kesakitan
Dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri
Klien tampak rileks
TD = 120.80 mmHg, N = 80x/menit, RR = 15x/menit
Intervensi
Rasonal
Berikan kesempatam waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman
Mengajarkan teknik relaksasi dan metode distraksi
Beri tahu pasien untuk menghindari mengejan, meregang, batuk, dan mengangkat benda yang berat. Ajarkan pasien untuk menekan insisi dengan tangan atau bantal selama episode batuk; ini khususnya penting selama periode pascaoperasi awal dan selama 6 minggu setelah pembedahan
Kolaborasi analgesic
Observasi tingkay nyeri dan respon motorik klien, 30 menit stelah pemberian analgesk untuk mengkaji efektivitasnya dan setiap 1-2 jam setelah tindakan perawatan selama 1-2 hari
Istirahat akan merelaksasi semua jaringan sehingga akan meningkatkan kenyamana
Akan melancarkan peredaran darah dan dapat mengalihka perhatian nyeri ke hal hal yang menyenangkan
Menghindari adanya tekanan intra abdomen
Analgesic mem-blok lintasan nyeri sehingga nyeri berkurang
Keridakefektifan pola nafs berhubungan dengaan distensi abdomen
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam tidak terjadi perubahan pola nafas, klien dapat bernafas normal
Kriteria hasil : klien tidak sesak nafas, RR dalam batas normal 16-20x/menit, ekspansi dada normal
Intervensi
Rasional
Kaji frekuensi, irama, dan kedalaman nafas
Auskultasi bunyi nafas
Pantau penurunan bunyi nafas
Penuhi kebutuhan O2
Berikan posisi yang nyaman semi fowler
Berikan instruksi untuk latihan nafas dalam
Catat kemajuan yang ada pada klien tentag pernafasan
Frekuensi, irama, dan kedalaman nafas yang noermal menunjukkan pola nafas yang efektif
Mendengarkan suara nafas klien normal atau tidak
Penurunan bunyi nafas klien menunjukkan adanya gangguan pada jalan nafas
Memenuhi kebutuhan oksigen klien
Posisi semi fowler memepermudah udara masuk sehingga klien dapt bernafas dengan optimal
Dengan latihan nafas yang rutin, klien dapat terbiasa untuk nafas dalam yang efektif
Sebagai indicator efektif atau tidakkah intervensi yang dilakukan perawat pada klien
Penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan perdarahan
Tujuan : perfusi jaringan membaik ditandai dengan tanda tanda vital stabil
Kriteria hasil :
Terpeliharanya dan meningkatnya kesadaran
Menampakkan stabilitas tanda tanda vital
Peran pasien menampakkan tidak adanya kemunduran atau kekambuhan
Intervensi
Rasional
Monitor dan catat status neurologis secara teratur
Evaluasi pupil (ukuran, bentuk, kesamaan, dan reaksi terhadap cahaya)
Monitor tanda tanda vital
Bantu untuk mengubah pandangan, misalnya pandangan kabur, perubahan lapang pandang / presepsi lapang pandang
Bantu meningkatkan fungsi, termasuk bicara jika pasien mengalami gangguan fungsi bicara
Pertahankan tirah baring, seiakan lingkungan yang tenang, atur kunjungan sesuai indikasi
Memantau keadaan klien berhubungan dengan system sarafnya
Mengetahui fungsi pupil masih normal atau tidaka
Memantau keadaan klien melalui ttv
Membantu klien memperjelas penglihatannya untuk kenyamanan klien
Dengan bicara normal, klien bisa berkomunikasi dengan baik
Member kesempatan klien untuk istirahat total agar staminanya bisa pulih
Dengan posisi dviasi, klien bisa bernafas dengan mudah dan mencegah pusing
Memenuhi kebutuhan oksigen klien agar klien dapat bernafas dengan normal
Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan oliguria
Tujuan : mengembalikan pola eliminasi urin normal
Kriteria hasil : klien menunjukkan pola pengeluaran urin yang normal, klien menunjukkan pengetahuan yang adekuat tentang eliminasi urin
Intervensi
Rasional
Pantau pengeluaran urin, catat jumlah dan warna saat dimana dieresis terjadi
Pantau / hitung keseimbagan pemasukan dan pengeluaran selama 24jam
Pertahankan duduk atau tirah baring dengan posisi semi fowler selama fase akut
Pantau TD dan CVP bila ada
Kaji bisng usus, catat keluhan anoreksia, mual, distensi abdomen dan konstipasi
Pengeluaran urin mungkin sedikit, dan pekat karena penurunan perfusi ginjal. Posisi terlentang membantu dieresis sehingga pengeluaran urin dapat ditingkatkan selama tirah baring
Terapi diuretic dapat disebabkan oleh kehilagan cairan tiba tiba / berlebihan (hipovolemia) meskipun edema atau asites masih ada.
Posisi tersebut meningkatkan filtrasi ginjal dan menurunkan produksi ADH sehingga meningkatkan dieresis
Hipertensi dan peningkatan CVP menunjukkan kelebihan cairan dan dapat menunjukkan peningkatan kongesti paru, gagal jantung
Kongesti visceral (terjadi pada GJK lanjut) dapat mengganggu fungsi gaster intestinal
BAB 5
PENUTUP
Kesimpulan
Sindrom kompartemen abdominal adalah suatu kondisi yang sangat berpotensi akan terjadinya kematian, hal ini dapat diakibatkan oleh beberapa kasus yang menyebabakan hipertensi intra-abdominal; penyebab tersering adalah trauma tumpul abdominal. Peningkatan tekanan intra-abdominal menyebabkan hipoperfusi dan iskemik usus besar, dan selaput perut lainnya. Efek patofisiologi termasuk pelepasan sitokin, oksigen radikal bebas, dan penurunan produksi sel (adenosine triphosphat). Proses ini memungkinkan terjadinya translokasi bakteri yang berasal dari usus dan edema usus besar, yang merupakan faktor pencetus terjadinya sindrom disfungsi organ pada pasien. Konsekuensi dari sindrom kompartemen abdomen sangat besar dan mempengaruhi banyak sistem vital pada tubuh. Hemodinamik, respirasi, renal, dan abnormalitas neurologi adalah bagian-bagian yang dipengaruhi sindrom kompartemen abdomen. Penatalaksanaan medis berupa laparatomi. Asuhan keperawatan berupa keterlibatan perawat terhadap monitoring kondisi klien, termasuk ukuran tekanan intra-abdominal. (Richard Paula, 2015)
Jika tidak diobati, sindrom kompartemen abdomen akan mengalami kefatal. Menurut, Eddy (1997) kematian dari 68% pasien dengan sindrom kompartemen perut dari 1984-1996 sebagian besar penduduk adalah laki-laki (70%), dan sebagian besar telah mengalami trauma tumpul (80%) dan angka kematian telah berkisar 25-75% (Eddy V, 1997 ).
Abdominal compartement syndrome belum jelas namun total populasi yang didiagnosis dengan ACS semakin meningkat. Ini termasuk pasien-pasien dengan luka tusuk dan luka tumpul terbuka, ruptur aneurysma aorta abdomen, perdarahan retroperitoneal, pneumoperitoneum, neoplasma pancreatitis, ascites yang masif dan transplantasi hepar. Resusitasi cairan yang masif, akumulasi darah dan pembekuan edema usus dan penutupan secara paksa pada dinding abdomen yang tidak komplians adalah faktor-faktor yang bisa menyebabkan ACS. Tambahan pula, jaringan parut luka bakar di sekeliling abdomen cenderung terjadinya kompresi dinding abdomen menyebabkan peningkatan pada tekanan intra-abdominal.
28