MAKALAH
ILLEGAL FISHING
Disusun oleh:
Destarana Jalu W (125080601111047)
Ronny Sasmito S (125080601111051)
Resti Ariani Y (135080600111001)
Feri Pahrudin (135080600111005)
Rahmad Saleh (135080600111006)
Yulianti Widiyastuti (135080600111007)
Ayu Puji Larasati (135080600111009)
Tomi Aris (135080600111012)
Zahriza. P (135080600111013)
Zulkhair. A (135080600111017)
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
FAKUTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan izin dan ridhonya yang telah memberikan berbagai inspirasi dan imajinasi sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu.
Makalah “Illegal Fishing” ini dalah rangkaian tugas yang harus diselesaikan dalam memenuhi mata kuliah Hukum Peraturan Kelautan dan Peikanan di Program Studi Ilmu Kelautan Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya.
Melalui makalah ini, penulis berusaha memberikanpembahasan tentang segala sesuatu mengenai Illegal Fishing yang mencakup penyebab, dampak, studi kasus, dan terutama akan membahas pada hukum-hukum yang mengatur Illegal Fishing.
Dalam penulisan makalah ini, tentu ada kesalahan yang terjadi baik kesalahan penulis atau kesalahan sistematika metode penulisan.Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat diperlukan dalam rangka penyempurnaan makalah ini.
Malang, April 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan 3
BAB II PEMBAHASAN 4
2.1 Pengertian Illegal Fishing 4
2.1.1 Menurut Undang-undang (UU) 4
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Menurut Hutajulu,et.all (2014), Penegakan hukum dan peningkatan keamanan di laut Indonesia (Perairan) Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif) yang luasnya 6 juta km2 tersebut (3 kali dari luas darat) masih memerlukan perhatian yang besar, termasuk penegakan hukum dan pengamanan di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Peningkatan kemampuan penegakan hukum dan pengamanan ini mencakup suatu kerja sama yang erat antara kegiatan-kegiatan di darat, laut, dan udara. Usaha-usaha meningkatkan monitoring, kontrol, surveillance, serta kegiatan-kegiatan penyelidikan dan proses pengadilan harus ditata dengan sebaik-baiknya.
Upaya penegakan memerangi pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, selama ini Kementerian Kelautan dan Perikanan, instansi penegak hukum, dan Pemerintah Daerah berjalan sendiri-sendiri. Tidak ada gerakan serentak dan serius untuk memeranginya.Bahkan ada instansi tertentu yang ikut bertugas sebagai pengawas dan penyidik terhadap pencurian ikan sengaja membiarkan praktek ini karena menikmati setoran dari pelaku pencurian ikan.
Upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia sangat terkait dengan peraturan hukum dan institusi penegak hukum, kalau yang pertama menyangkut peraturan perundang-undangannya, sedangkan yang kedua menyangkut institusi penggeraknya, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI-AL, Kepolisian RI, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Penegak hukum merupakan bagian tak terpisahkan dari pembangunan hukum, sedangkan pembangunan hukum itu sendiri adalah komponen integral dari pembangunan nasional.Salah satu penyebab utama pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia ialah lemahnya pengawasan akibat rendahnya integritas moral serta kurangnya sarana dan prasarana yang memadai.Keadaan yang kurang menggembirakan ini menyebabkan suburnya pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, namun kelemahan sistem tersebut tidak dapat berdiri sendiri.Ia adalah produk dari integritas moral, karena yang dapat berfikir perlunya diperbaiki sistem ialah yang bermoral. Orang yang tidak bermoral atau bermoral rendah meskipun tidak mungkin terdorong untuk memperbaiki sistem karena kelemahan sistem itu sendiri diperlukannya untuk melakukan penyelewengan.Pola perbuatan ini sudah menjadi salah satu gejala umum yang sulit diberantas, karena terbatasnya akses ke laut untuk melihat perilaku aparat pengawas perikanan.
Tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia oleh nelayan asing menurut audit BPK mencapai 30 trilyun rupiah pertahun. Menarik pula, pelaku tindak pidana pencurian ikan yang dilakukan nelayan asing di perairan Zona Ekonomi Eksklusif tidak boleh dijatuhi pidana penjara selama belum ada perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah Negara yang bersangkutan.
Menurut Silalahi (2006), hasil penelitian menunjukkan bahwa akibat atau dampak yang timbul dari pencurian ikan (illegal fishing) yaitu hilangnya pendapatan dan penerimaan Negara dan juga terlebih lagi yaitu rusaknya lingkungan sumberdaya perikanan, berkurangnya pendapatan dan bertambahnya biaya operasional nelayan untuk melaut. Pertanggungjawaban pidana pelaku usaha pencurian ikan yang dilakukan tanpa SIPI dan SIUP diatur dalam pasal 92 dan pasal 93 ayat (1) dan (2) UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
1.2Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, dapat dirumuskan beberapa rumusan masalahsebagai berikut:
Apa itu Ilegal Fishing?
Apa saja penyebab terjadinya Illegal Fishing
Bagaimana dampak yang ditimbulkan akibat adanya Illegal Fishing?
Apa saja hukum-hukum yang mengatur tentang Illegal Fishing?
Seperti apa contoh kasus dalam Illegal Fishing?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah mengenai Illegal Fishing ini adalah:
Untuk mengetahui apa yang dimasud Illegal Fishing
Untuk mengetahui penyebab terjadinya Illegal Fishing
Untuk mengetahui dampak dari Illegal Fishing
Untuk mengetahui tentang hukum yang mengatur Illegal Fishing
Untuk mengetahui kasus/aktivitas dari Illegal Fishing
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Illegal Fishing
2.1.1 Menurut Undang-undang (UU)
Acuan laangan keita ilegal fishing dalam undang-ndang yaiu sebagai berikut :
Dalam ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan disebutkan bahwa orang atau badan hukum asing itu dapat masuk ke wilayah ZEE Indonesia untuk melakukan usaha penangkapan ikan berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional.
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan sebagaimana dalam pasal 8 yakni: “Setiap orang dilarang melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau banguanan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan atau/lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia”
2.1.2 Menurut Literaur
Sedangkan menurut Qodir dan Udiyo Basuki ( 2014), Illegal fishing secara sederhana berarti bahwa penangkpaan ikan dilakukan dengan melanggar aturan-aturan yang telah ada, atau kegiatan penangkapan ikan dapat dikatakan illegal jika terdapat aturan-aturan tetapi ternyata dalam pelaksanaannya aturan-aturan tersebut tidak efektif ditegakkan di lapangan. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan ilegal fishing merupakan kegiatan yang menyalahi aturan baik UUD maupun hukum adat.
2.2 Penyebab Terjadinya Illegal Fishing
Penyebab illegal fishing :
1. Faktor Ekonomi
Sebagai mana telah dikemukakan oleh Aristoteles bahwa kemiskinan dapat menimbulkan kejahatan/pemberontakan. Demikian pula illegal fishing, alas an pokok yang dikemukakan oleh pelaku adalah karena factor ekonomi. Pelaku mengaku bahwa mereka melakukan illegal fishing karena tidak memiliki pekerjaan atau karena hidup mereka bergantung pada hasil penangkapan ikan mereka, sedangkan keluarga mereka memerlukan berbagai kebutuhan hidup.Oleh karena itu melakukan illegal fishing menjadi alternative mereka untuk kelangsungan hidup mereka.
Kondisi ekonomi Indonesia yang tak menentu membuat tuntutan hidup juga semakin besar serta penyediaan lapangan kerja yang kurang menyebabkan tuntutan hidup masyarakat juga ikut bertambah sehingga mereka membutuhkan penghasilan yang besar pula untuk menopang perekonomian individu agar bisa hidup layak.
Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Kasat Polair Polres Pelabuhan KOMBES POL H.Harisanyoto, AMKA (wawancara tanggal 25 September 2013) bahwa adanyakasus illegal fishing di wilayah hokum Direktorat Polair Polda sulselbar dikarenakan tingkat kesejahteraa nnelayan yang rendah sehingga mereka memiliki pemikiran untuk mendapatkan pendapatan dari hasil tangkapan yang lebih dengan cara-cara instan meskipun melanggar ketertiban dan peraturan perundang-undangan dalam meningkatkan tingkat kesejahteraannya.
2. Faktor Pengetahuan
Selain faktor ekonomi, maka factor rendahnya pengetahuan nelayan juga mendorong terjadinya illegal fishing. Nelayan cenderung tidak mengetahui larangan illegal fishing terutama penggunaan bahan peledak. Nelayan kurang mengetahui dampak penggunaan bahan peledak yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan laut. Berdasarkan wawancara dengan Kanit Patroli AKBP Takbir (wawancara tanggal 25 September 2013) bahwa Nampak ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya illegal fishing yakni salah satunya adalah rendahnya pengetahuan masyarakat tentang larangan penggunaan bahan peledak dan dampak yang ditimbulkan dari penggunaan bahan peledak terhadap kehidupan biota laut. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat yang terjerumus menggunakan bahan peledak untuk meningkatkan hasil tangkapannya.
Kurangnya penyuluhan dan peningkatan pengetahuan masyarakat nelayan menyebabkan banyak di antara masyarakat nelayan tidak mengetahui bahaya yang dapat ditimbulkan dari penggunaan bahan peledak termasuk dampak yang lebih jauh terhadap lingkungan laut. Apabila persoalan ini tidak ditangani secara seriusmaka hal ini dapat menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar bagi generasi yang akan datang, diantaranya matinya flora dan fauna laut bersama habitatnya.
3. Faktor Pendidikan
Faktor lain adalah pendidikan. Tingkat pendidikan seseorang dapat mempengaruhi tindakan mereka untuk melakukan suatu tindak kejahatan. Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, dalam bertindak dan berperilaku cenderung berpikir dengan menggunakan kerangka pikir yang baik dan sistematis sehingga segala perbuatannya cenderung dapat dipertanggungjawabkan, lain halnya dengan orang yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah dalam melakukan tindakan terkadang berpikiran sempit.
Menurut SATPOLAIR Polres pelabuhan KOMBES POL H.Harisanyoto, AMKA (wawancara tanggal 25 September 2013), para pelaku yang tertangkap umumnya hanya memiliki pendidikan setingkat SD ataupun tidak bersekolah. Sehingga disimpulkan pelaku illegal fishing memiliki pendidikan yang tergolong rendah.
Dampak akibat illegal fishing
Dampak ekonomi
Berdasarkan data dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization / FAO) menyatakan bahwa kerugian Indonesia akibat ILEGAL Fishing diperkiraan mencapai Rp. 30 triliun per tahun. FAO menyatakan bahwa saat ini stok sumberdaya ikan di dunia yang masih memungkinkan untuk ditingkatkan penangkapanya hanya tinggal 20 persen, sedangkan 55 persen sudah dalam kondisi pemanfaatan penuh dan sisanya 25 persen terancam kelestariannya.
Hal ini diperjelas dengan pernyataan dari Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) bahwa tingkat kerugian tersebut sekitar 25 persen dari total potensi perikanan yang dimiliki Indonesia sebesar 1,6 juta ton per tahun. Berdasarkan data tersebut, setiap tahun diperkirakan Indonesia mengalami kerugian akibat ILEGAL Fishing sebesar Rp. 101.040 trilliun/tahun. Kerugian ekonomi lainnya, adalah hilangnya nilai ekonomis dari ikan yang dicuri, pungutan hasil perikanan (PHP) akan hilang, dan subsidi BBM dinikmati oleh kapal perikanan yang tidak berhak. Selain itu Unit Pengelolaan Ikan (UPI) kekurangan pasokan bahan baku, sehingga melemahkan upaya pemerintah untuk mendorong peningkatan daya saing produkperikanan.
Dampak politik
Salah satu pemicu konflik atau ketegangan hubungan diplomatik diantara negara-negara adalah permasalahan ILEGAL Fishing. Terutama mengganggu kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), menimbulkan citra negatif, karena beberapa negara menganggap kita tidak mampu mengelola sumberdaya kelautan dengan baik. Apalagi menyangkut hubungan bilateral antar negara yang berdekatan / bertetangga, yang dilakukan oleh kapal nelayan tradisional (traditional fishing right), atau kapal-kapal pukat( trawlers) yang dimiliki oleh setiap negara. Pada beberapa kasus tradisional fishing right, yang sering terjadi adalah di perbatasan Indonesia – Malaysia dan Indonesia – Australia. Sebagai upaya untuk memperkecil ketegangan diantara kedua negara, diperlukan telaah ulang terhadap perjanjian bilateral terkait dengan hal tersebut.
Dampak sosial
Kegiatan ILEGAL Fishing di Perairan Indonesia, menjadi perhatian dan komitmen Pemerintah untuk mengatasinya. Bagi Indonesia dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara, sector perikanan dan kehutanan menjadi sumber utama bagi ketahanan pangan di Kawasan tersebut Eksploitasi secara besar-besaran dan drastis sebagai upaya utama perbaikan ekonomi Negara dan kesejahteraan penduduk menjadi alasan dan penyebab utama berkurangnya secara drastis sumberdaya perikanan. Dampak social muncul dengan rawannya terjadi konflik / sengketa diantara para nelayan tradisional antar Negara dan pemilik kapal pukat / trawl.
Seiring dengan berkurangnya hasil tangkapan dan kegiatan ILEGAL Fishing, makasecara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup karyawan pengolahan pabrik ikan. Pasokan ikan yang berkurang, menyebabkan beberapa perusahaan tidak beroperasi lagi dan banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) karena tidak ada lagipasokanbahanbaku.
Dampak ekologis
Dampak yang muncul adalah kejahatan pencurian ikan yang berakibat pada rusaknya sumberdaya kelautan dan perikanan. Alat tangkap yang digunakan dalam bentuk bahan beracun yang akan merusak terumbu karang (alat tangkapikan yang tidak ramah lingkungan), sebagai tempat berpijahnya ikan, akan berakibat makin sedikitnya populasi ikan dalam suatu perairan tertentu, atau menangkap menggunakan alat tangkap ikan skala besar (seperti trawl dan Pukat harimau) yang tidak sesuaidengan ketentuan dan keadaan laut Indonesia secara semena-mena dan eksploitatif, sehingga menipisnya sumberdaya ikan , hal ini akan mengganggu keberlanjutan perikanan.
Kebijakan Pemerintah terkait dengan penangkapan ikan harus memenuhi aturan dan kriteria adanya Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI), penetapan zona penangkapan (fishing ground), jenis tangkapan ikan, jumlah tangkapan yang sesuai dengan jenis kapal dan wilayah tangkap (total allowable catch), dan alat tangkapnya.
Hukum Illegal fishing
Sistem peradilan pidana merupakan istilah yang digunakan sebagai padanan Criminal Justice System.Buku Romli Atmasasmita dalam bukunya “ Sistem Peradilan Pidana Kontemporer”.Pengertian itu lebih banyak menekankan pada suatu pemahaman mengenai jaringan di dalam lembaga peradilan.Pengertian itu juga menekankan pada fungsi dari jaringan tersebut untuk menegakkan hukum pidana.Tekanannya bukan semata-mata pada adanya penegakan hukum oleh peradilan pidana, melainkan lebih jauh lagi dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum tersebut, peradilan menjalankannya dengan membangun suatu jaringan.
a. Pengaturan Hukum Terhadap Perampasan Benda dan/atau Alat yang dipergunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari Tindak Pidana Pencurian Ikan.
Pemerintah menilai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tidak dapat lagi mencegah secara efektif tindak pidana pencurian ikan di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia yang semakin lama semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif, serta bentuk kejahatannya yang semakin terorganisir. Secara subtansial, perubahan yang signifikan pada Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 dibandingkan dengan undang-undang yang terdahulu, adalah penekanan pada ketentuan sanksi pidana berat terhadap kapal asing yang melakukan tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Sejarah lahirnya Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 ini ada tersirat bahwa undang-undang ini dirubah karena terdapat kekurangan. Beberapa hal yang dapat kita cermati tentang perubahan-perubahan substansial antara undang-undang nomor 31 Tahun 2004 dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 antara lain pada ;
1. Hal Pembatasan Penangkapan
Kapal penangkap ikan berbendera asing tidak diperbolehkan menangkap ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia tanpa memiliki Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia.
2. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ( ZEEI )
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 93 tidak menyebutkan secara jelas mengenai Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ( ZEEI ), melainkan Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Melalui Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, penyebutan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sudah sangat tegas dan jelas. Penegasan itu dapat dilihat pada Bab XV Ketentuan Pidana Pasal 93 ayat (2) menyatakan, “Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di ZEEI yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh milyar rupiah).
3. Hal Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan yang di emban TNI-AL dan Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kewenangan besar bagi TNI-AL dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kelautan dan Perikanan yang diberikan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 untuk mencegah dan memberantas pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) perairan Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia merupakan salah satunya tugas berat yang harus dilaksanakan. Dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya, penyidik dan pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
4. Putusan Perampasan Benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/ atau yang dihasilkan dari Tindak Pidana Pencurian Ikan.
Pasal 104 ayat (2) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan digunakan untuk menempatkan benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana pencurian ikan menjadi rampasan melalui putusan pengadilan.
5. Peran Serta Masyarakat Diperlukan
Selain TNI-AL dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Penegak Hukum lainnya, Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, juga diikutsertakan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
6. Tidak Mementingkan Unsur Kesengajaan
Tindak Pidana Pencurian Ikan di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia “setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan “ dalam beberapa pasal Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dengan tidak memperdulikan unsur kesengajaan, dapat menjerat orang-orang yang memang sebenarnya tidak mempunyai niat melakukan tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
7. Penggunaan Sistem Pidana Penjara
Penggunaan Sistem Pidana Penjara terhadap pelaku tindak pidana pencurian ikan oleh Nelayan Asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia tidak diberlakukan.Penahanan pun tidak boleh dilakukan oleh penyidik.Ketika ditangkap di Tempat Kejadian Perkara, selanjutnya tersangka di bawa untuk diproses dengan membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP).Setelah selesai diperiksa, tersangka harus secepatnya dipulangkan ke negara asalnya tanpa ditahan terlebih dahulu.
8. Persamaan Hukuman Bagi Percobaan dan Tindak Pidana
Selesai Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyamakan hukuman pidana bagi pelaku tindak pidana selesai dengan pelaku tindak pidana percobaan. Tindak Pidana Pencurian Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI ) adalah suatu kejahatan karena perbuatan tersebut memiliki efek yang sangat besar yaitu merugikan Negara lebih kurang 30 trilyun rupiah per tahun. Dari ketentuan pidana yang diatur dalam Bab XV Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dapat dikelompokkan dari segi bentuk perbuatannya yaitu Kejahatan dan pelanggaran.
Pasal 93 ayat ( 2 ) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang berbunyi : “ Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapa ikan di ZEEI yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat ( 2 ), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp.20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah )”.
Studi Kasus
Satgas Illegal Fishing Menangkap Dua Kapal Tanpa Bendera
TEMPO.CO, Jakarta - Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal kembali menangkap dua kapal asing di perairan Indonesia.Komandan Satgas Susi Pudjiastuti mengatakan Kapal Patroli Hiu Macan Tutul 001 menangkap dua kapal yang memasuki perairan Indonesia secara ilegal.Kapal itu adalah RGJ dan Green Mile yang sama-sama memasuki Wilayah Penangkapan Ikan (WPP) 117 Samudera Pasifik.
“Kedua kapal tanpa bendera.Untuk kapal Green Mile sekarang sudah dibawa ke Sorong, Papua,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis, 10 Desember 2015.Susi mengatakan kedua kapal berbobot sekitar 30 GT. Kapal RGJ membawa 25 anak buah kapal yang keseluruhannya merupakan warga negara asing.
Dalam operasi itu, turut diamankan 100 ekor ikan tuna.Sementara kapal Green Mile membawa 24 ABK asing dengan 200 ekor ikan tuna.“Ada informasi tambahan kalau ada izin dari Filipina.Tapi ini tetap menyalahi aturan karena menangkap di perairan Indonesia,” ujar Menteri Kelautan dan Perikanan ini.
Susi mengatakan Satgas akan mengencarkan patroli di wilayah-wilayah laut rawan seperti utara Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan utara-selatan Papua. Dia juga meminta aparat secara khusus mengawasi pergerakan kapal Thailand yang terindikasi memasuki laut Kalimantan Barat.
Kasus Penangkapan Kapal Berbendera Malaysia Di Kawasan Selat Malaka
Petugas pengawas perairan Indonesia menangkap dua kapal asing berbendera Malaysia di wilayah ZEE Indonesia pada bulan September 2013. Dari kedua kapal ini berhasil diamankan barang bukti berupa hasil tangkapan dan juga alat tangkap yang merupakan alat tangkap terlarang yaitu berupa Trawl(pukat harimau). Keduanya juga ditangkap karena tidak mempunyai Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dari pemerintah RI.
Dari 10 orang ABK, tiga diantaranya kapten kapal telah dinyatakan sebagai tersangka karena ketiga kapten tersebut adalah orang yang paling bertanggung jawab, sementara yang lainnya rencananya akan di deportasi.
Kasus Penangkapan Kapal Berbendera Vietnam Di Kawasan Perairan Sorong, Papua Barat
Petugas pengawas perairan Indonesia jugamenangkapkapal berbendera Vietnam di kawasan perairan Sorong, Papua Barat. Kapal berbendera Vietnammemasuki wilayah perairan Indonesia tanpa izin dan tidak memiliki dokumen pelayaran serta kedapatan melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak. Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan mendeportasi keduabelas nelayan Vietnam pelaku pelanggaran illegal fishingtersebut.Kebijakan ini diambil karena beberapa faktor, diantaranya karena hubungan bilateral antara Indonesia-Vietnam yang selama ini sudah terjalin dengan baik diharapkan tidak terputus karena faktor ini.
Kasus Ilegal Fishing di Kepulauan Natuna
Pada hari Selasa tanggal 22 mei 2012 jam 14.35 wib, terdakwa mengoperasikan kapal penangkapan ikan BV 5347 TS miliknya berada pada posisi 06°-11°- 45°LS, 109°- 11°-18° BT di Zona Ekonomi Ekonmi Eksklusif I ndonesia (ZEEI) tepatnya di perairan laut Cina Selatan/peraian Natuna wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Kapal penangkap ikan BV 5347 TS berbendera Vietnam di nahkodai oleh Mr. Pam Ngoc Tam. Bahwa setelah di lakukan pemeriksaan oleh petugas dari Dirjen Kelautan dan Perikanan RI di temukan alat tangkap ikan menggunakan jaring purse seine dan ikan hasil tangkap kurang lebih 100 kg (seratus kilogram) yang terdiri ikan laying, ikan kembung dan jenis ikan campuaran lainnya. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Perikanan Jakarta Utara menjatuhkan vonis pidana terhadap terdakwa Mr. Pam Ngoc Tam oleh karena itu dengan pidana denda Rp. 15.000.000, (lima belas juta rupiah). Menyatakan Barang bukti Dirampas untuk negara berup 11 :
a. Kasko KM BV 5347 TS.Jarin Ikan Purse Seine.
b. Kompas.Gps Navigator.
c. Radio.Fish Finder.
d. Radio SSB.
e. Uang Rp.300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) hasil lelang campuran sebanyak kurang lebih 100 kg.
Analisa Kasus
Aturan mengenai pelanggaran di wilayah laut Indonesiasebenarnya sudah tertulis secara tegas dalam Undang-Undang Perikanan Indonesia namun dalam penerapannya masih lemah dan tidak konsisten sehingga sering dipermainkan oleh negara-negara tetangga.
Hal ini sangatbertentangan dengan rencana aksi nasional yang terdapat dalam Keputusan Menteri No. KEP/50/MEN/2012 tentang rencana aksi nasional pencegahan dan penanggulangan Illegal, Unreported And Unregulated Fishing (IUU Fishing). Dalam Kepmen tersebut salah satunya menyebutkan bahwa Indonesia akan meningkatkan konsistensi dalam menerapkan sanksi bagi para pelaku IUU Fishing.
Sikap tidak konsisten Indonesia dalam menerapkan sanksi bagi pelaku kasus illegal fishing di wilayah perairan Indonesia dapat dilihat dari tindakanyang diambil Indonesia pada kasus nelayan Malaysia dan Vietnam di atas. Dua kasus di atas jika dilihat secara seksama sebetulnya sama, yaitu baik kapal berbendera Malaysia maupun Vietnam sama-sama memasuki wilayah ZEE Indonesia tanpa izin dari pemerintah Indonesia disertai menangkap ikan dengan menggunakan alat penangkap ikan terlarang. Namun dalam memproses kasusnya Indonesia menerapkan kebijakan yang berbeda.
2
1