PERSPEKTIF KRITIS PENERAPAN PAJAK PENGHASILAN 1% PADA
UMKM
Yuyung Rizka Aneswari1
I Nyoman Darmayasa 2
Elana Era Yusdita3
1
Akuntansi, STIE Kesuma Negara Blitar, Jalan Mastrip No.59, Kepanjen Kidul, Blitar,
Jawa Timur, 66111
2
Akuntansi, Politeknik Negeri Bali
Jalan Kampus Bukit Jimbaran, Kuta Selatan, Badung, Bali 80364
3
Program Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, MT
Haryono 169, Malang, Jawa Timur, 65145
Surel:
[email protected]
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk mengkritisi penerapan pajak penghasilan 1% bagi UMKM
yang beromzet di bawah 4.8 M per tahun. Penelitian ini menggunakan paradigma kritis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama PP 46 tahun 2013 tidak sesuai dengan
asas keadilan perpajakan. Kedua kepatuhan pajak di Indonesia dapat dilihat dengan dua
teori, yakni psikologi fiskal dan slippery slope framework dan kebijakan perpajakan
yang dicanangkan pemerintah dapat mengacu pada teori ini. Ketiga perlu disusun skema
perpajakan yang adil bagi pemerintah dan UMKM. Penelitian ini memiliki kontribusi
kebijakan dan teori. Kontribusi kebijakannya adalah memberikan wacana bagi
pemerintah mengenai skema penerapan pajak yang adil terutama bagi UMKM.
Kontribusi teorinya adalah menambah khasanah ilmu mengenai teori yang berkaitan
dengan kepatuhan pajak.
Kata kunci: Keadilan, Kepatuhan Pajak, Kritis, PPh 1%, Self Assessment System
(SAS), UMKM
PENDAHULUAN
Pemerintah mengeluarkan peraturan yang cukup mengejutkan pada 1 Juli 2013
dengan menerapkan pajak 1% bagi UMKM (Yusuf, 2013b). Peraturan tersebut
dituangkan dalam PP 46 tahun 2013 yang dinilai sebagai bentuk penindasan pemerintah
dengan kedok legislasi penyederhanaan perhitungan PPh terhadap pengusaha kecil.
Penyederhanaan perhitungan PPh hanya merupakan kata pemanis yang sebetulnya
menjadikan pengusaha kecil yang selama ini termarjinalkan menjadi korban. Faktanya,
pengusaha kecil di Tanah Abang lebih memilih dan merasa aman untuk membayar
retribusi pada petugas di Pasar Tanah Abang daripada membayar pajak pada pemerintah
1
(Yusuf, 2013a). Keengganan pengusaha kecil untuk membayar pajak ini sebab mereka
memiliki pemahaman yang keliru terhadap pajak, yakni menganggap bahwa pajak atau
retribusi yang dibayarkan merupakan hubungan timbal balik secara langsung, artinya
harus ada insentif yang secara langsung mereka peroleh dari pajak yang dibayarkan
(Sugiono, Ludigdo, & Baridwan, 2015).
UMKM merupakan bentuk usaha yang mampu menyerap banyak tenaga kerja
karena mayoritas UMKM berupa usaha padat karya. Peraturan pemerintah ini
mengundang banyak protes sebab pajak 1% diterapkan bukan dari laba namun dari
omzet. Setiap UMKM memiliki omzet, namun belum tentu setiap bulan akan memiliki
laba yang cukup baik terlebih setelah dipajaki 1%. Dilihat dari asas keadilan maka PPh
final 1% ini melanggar asas tersebut.
UMKM merupakan suatu bentuk usaha yang merupakan komponen penting di
Indonesia hingga dibuatkan undang-undang khusus yang mengatur mengenai UMKM
Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 (Government of Indonesia, 2008). UMKM
merupakan objek pajak potensial bagi pemerintah mengingat perkembangan UMKM
yang pesat di Indonesia. UMKM memiliki peran besar dalam pertumbuhan
perekonomian di Indonesia (Supriyati & Wulanditya, 2012).
Sejak diberlakukan reformasi perpajakan tahun 1983 melalui implementasi Self
Assessment System (SAS), pemerintah Indonesia berusaha meningkatkan kinerja
perpajakannya. Indonesia merupakan negara dengan penduduk yang besar dan terdiri
dari banyak daerah yang potensial untuk menjadi objek pajak. Namun faktanya tax
coverage1 Indonesia masih di bawah target. Banyak daerah di Indonesia yang berpotensi
ekonomi tinggi, namun tidak dapat terjangkau oleh petugas pajak, sehingga pada
pertengahan tahun 2014 tax coverage Indonesia hanya 50% dari angka maksimal 70%
(bisnis.com, 2014). Masalah tax coverage ini merupakan masalah utama bagi Bangsa
Indonesia, sebab akan sulit mengejar tax ratio yang tinggi apabila tax coverage rendah.
Banyak kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kinerja
perpajakannya, salah satunya adalah pemberlakuan pajak 1% dari omzet UMKM sejak
1 Juli 2013 yang dilegitimasi melalui PP 46 Tahun 2013. Pemerintah mengajukan
alasan kuat atas penerapan PP kontroversial ini, yakni dengan dipajaki maka UMKM
akan memiliki NPWP sehingga lebih mudah untuk memperoleh modal melalui bantuan
1
Tax coverage adalah perbandingan antara besarnya pajak yang telah dipungut dibandingkan dengan
besarnya potensi pajak yang seharusnya dapat dipungut
2
kredit bank (Yusuf, 2013b). Selain itu PPh final 1% ini merupakan bentuk
penyederhanaan dalam membayar PPh, terutama bagi UMKM yang tidak familiar
dengan pembukuan.
Beberapa penelitian telah dilakukan mengenai kebijakan pemerintah terhadap
UMKM. Penelitian yang dilakukan oleh Supriyati & Wulanditya (2012) adalah
mengenai pengaruh pemahaman UKM pada SAK ETAP terhadap kepatuhan pajak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemahaman UKM terhadap SAK-ETAP tidak
berpengaruh pada kepatuhan pajak. Hal ini karena kebiasaan UKM yang menggunakan
pihak ketiga dalam pembuatan laporan keuangan dan UKM merasa bahwa kepatuhan
pajak merupakan paksaan.
Penelitian lain mengenai regulasi perpajakan dilakukan di Nigeria oleh Atawodi &
Ojeka (2012). Hasil penelitian menunjukkan bahwa UKM di Nigeria mengalami
kebijakan pajak yang berat dengan tarif pajak yang tinggi, pajak berganda, regulasi
perpajakan yang kompleks dan kurangnya pendidikan atau informasi mengenai isu-isu
yang terkait dengan pajak. Meskipun secara umum pajak diasumsikan sebagai sumber
penting untuk mengembangkan perekonomian, hasil studi justru menunjukkan
hubungan negatif antara pajak dengan kemampuan UKM di Nigeria untuk bertahan dan
mengembangkan bisnisnya. Maka diperlukan insentif yang menguntungkan bagi UKM
ini yakni dengan mengurangi tarif pajak yang membebani dan meningkatkan dukungan
berupa layanan dari otoritas pajak.
Penelitian ini berusaha melakukan telaah kritis pengenaan PPh final 1% bagi
UMKM dengan peredaran bruto di bawah 4.8 milyar. Tujuan penulisan artikel ini
adalah pertama, mengkritisi kebijakan PPh final 1% bagi UMKM dari perspektif asas
keadilan yang mencederai SAS. Kedua, mengusulkan beberapa poin yang dapat
dijadikan pertimbangan sebagai win-win solution bagi pemerintah dan pengusaha
UMKM agar tidak terbebani dengan pajak yang dapat menghambat perkembangan
usahanya namun tetap mematuhi perpajakan secara sukarela.
Penelitian ini memberikan dua kontribusi yakni kontribusi kebijakan dan kontribusi
teori. Kontribusi kebijakan artikel ini adalah memberikan pertimbangan bagi pemerintah
mengenai kebijakan yang perlu disusun sebagai skema perpajakan yang tepat bagi
UMKM. Kontribusi teori artikel ini adalah menambah khasanah ilmu mengenai teori
yang berkaitan dengan kepatuhan pajak.
3
METODE
Penelitian ini menggunakan paradigma kritis. Asumsi dasar teori kritis adalah: 1)
ilmu sosial tidak hanya memahami ketidakadilan suatu distribusi kekuasaan beserta
distribusi resources, namun berupaya membantu menciptakan kesamaan dan emansipasi
kehidupan, 2) pendekatan teori kritis memiliki keterikatan moral dalam rangka
mengkritik status quo beserta membangun masyarakat yang lebih adil (Muhadjir,
2000:198; Tashakkori & Teddlie, 2010:122). Proses berpikir kritis ini menuntut untuk
berpikir terbuka dalam mengumpulkan, menganalisa dan evaluasi terhadap informasi
relevan untuk selanjutnya merumuskan pertanyaan yang terkait dengan masalah dan
mengajukan ide-ide serta secara efektif berkomunikasi dengan pihak lain (Duron,
Limbach, & Waugh, 2006).
Penentuan paradigma perlu untuk meninjau segi ontologi dan epistemologi. Secara
ontologi, realitas tidak bersifat tunggal dan kebenaran bukan merupakan suatu yang
pasti dan terukur serta secara epistemologi dunia sosial merupakan hal yang kompleks
dan dinamis. Realitas adalah suatu konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu,
namun kebenaran suatu realitas sosial yang bersifat pasti atau terukur, berlaku sesuai
konteks spesifik yang relevan oleh pelaku sosial (Bungin, 2012:81). Maka berdasarkan
pertimbangan tersebut kami berpandangan bahwa paradigma kritislah yang akan dapat
menyoroti, memberikan pemahaman dan perubahan yang menuju arah positif dari
peraturan perpajakan yang tidak adil dari sudut pandang UMKM.
Unit analisis penelitian ini adalah kebijakan perpajakan yang dituangkan melalui PP
46 bagi UMKM. Data penelitian ini berasal dari berbagai literatur, data atau dokumen
yang terkait dengan tema besar penelitian. Kami juga melakukan wawancara dengan
beberapa informan. Pemilihan informan berdasarkan kemudahan kami mengakses dan
kesesuaian latar belakang mereka yang dapat menjawab pertanyaan penelitian.
Klasifikasi informan dalam penelitian ini adalah konsultan pajak, pegawai pajak,
akademisi, dan pengusaha UMKM. Nama dan instansi informan bukan merupakan
nama sebenarnya, sesuai dengan permintaan dari informan. Daftar informan tersaji
dalam tabel 1.1.
4
No
1
2
3
4
5.
6.
7.
Subjek Informan
Bapak Polos
Bapak Udin
Ibu Tutik
Bapak Iman
Ibu Rista
Bapak Salam
Ibu Sari
Tabel 1.1
Informan Penelitian
Keterangan
Konsultan Pajak
Pegawai Pajak
Akademisi
Pengusaha UMKM jual beli mobil dan motor bekas
Pengusaha UMKM Salon Kecantikan
Pengusaha sewa guna usaha kios pasar
Akuntan perusahaan swasta dan pengusaha UMKM
jual beli makanan hewan
Sumber: Tim Peneliti
Pengumpulan dan analisis data kami lakukan secara bersamaan. Proses
pengumpulan data, analisis data, dan penulisan laporan merupakan proses yang saling
berhubungan dan simultan (Creswell, 2007:150). Kesulitan wawancara adalah terdapat
beberapa hal yang menyebabkan kami tidak mendapat jawaban yang sesuai, mungkin
karena alasan pribadi informan. Sehingga kami melakukan alternatif teknik probing
yakni: 1) peneliti memberikan kesan mengerti dan mendengarkan, 2) membuat situasi
wawancara menyenangkan, dan 3) menghindari rasa takut responden untuk
berpartisipasi (Hartono, 2014:116-117).
Wawancara yang kami lakukan dengan informan seluruhnya berjalan dengan santai
dan rileks sehingga mudah bagi tim peneliti untuk memperoleh informasi yang ingin
digali. Wawancara dengan informan berjalan secara terencana dan tidak terencana.
Wawancara secara tidak terencana kami lakukan bersama informan Tutik, yang berawal
dari beliau bertanya mengenai tema utama dari artikel ini yang selanjutnya berlanjut
menjadi wawancara untuk menggali informasi. Beberapa wawancara tidak dapat kami
lakukan secara langsung, namun menggunakan teknologi BBM karena kesibukan
informan. Kami menggunakan teknologi untuk mendukung pengumpulan data melalui
wawancara ini yakni alat perekam dan melalui teknologi sosial media (BBM).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dasar Hukum Pengenaan Pajak
Pajak berfungsi sebagai sumber dana untuk pengeluaran pemerintah serta sarana
untuk melaksanakan kebijakan sosial dan ekonomi (Mardiasmo, 2013:3). Memahami
5
definisi pajak2 di Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa pajak tak dapat dipungut
tanpa adanya Undang-Undang (UU). UU berperan sebagai kekuatan, pondasi serta
legitimasi atas kewajiban seseorang dalam membayar pajak. Tanpa aturan yang jelas
tertuang dalam UU, iuran wajib (pajak) tersebut dapat diartikan sebagai pungutan liar.
Pemungutan pajak di Indonesia berdasarkan pasal 23 ayat 2 UUD 1945 yang
merupakan aspek formal pemungutan pajak (Jan, 2013:2).
Menyadari potensi UMKM untuk berkontribusi dalam penyelenggaraan negara,
pemerintah mengeluarkan PP No 46 Tahun 2013 yang berisi mengenai ketentuan PPh
atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu. PPh yang dimaksud dalam PP ini dikenakan pada penghasilan
usaha yang diperoleh wajib pajak dengan peredaran bruto (omzet) yang tidak melebihi
4,8 milyar rupiah dalam 1 tahun pajak dan pajak yang harus dibayar adalah 1 persen
dari omzet tersebut. Cara ini disebut presumptive regime, yaitu pendekatan pengenaan
pajak yang diterapkan khusus pada pelaku ekonomi yang masih memiliki keterbatasan
kemampuan administrasi dan pembukuan (kemenkeu.go.id, 2015). Sehingga DJP
menilai UMKM perlu dimudahkan pelaksanaan pembayaran pajaknya dengan
menerapkan tarif 1 persen.
Hukum perpajakan di Indonesia menganut lex speciali derogat lex generali, artinya
bahwa hukum khusus akan mengesampingkan hukum yang umum. PP 46 tahun 2013
ini dikeluarkan berdasarkan UU No. 36 tahun 2008. Dasar utama dari UU No. 36 2008
yang dijadikan pertimbangan dalam PP 46 tahun 2013 adalah pasal 4 ayat (2) huruf e
dan pasal 17 ayat (7). Perlu dicermati bahwa meskipun dalam hal ini PP 46 tahun 2013
memiliki kekuatan hukum lebih dibandingkan UU no. 36 tahun 2008 apakah PP 46 ini
telah mencerminkan dan menjalankan amanah UU no. 36 tahun 2008.
Reformasi Sistem Perpajakan dan Kinerja Perpajakan Indonesia
Indonesia telah melaksanakan reformasi perpajakan sejak tahun 1983 dengan
menerapkan SAS. SAS merupakan suatu mekanisme pajak yang memberi kebebasan
bagi wajib pajak untuk menghitung dan membayar pajak mereka sendiri tanpa campur
2
Definisi Pajak berdasarkan pasal 1 UU No 28 Tahun 2007: kontribusi wajib kepada negara yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UU, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
6
tangan pegawai pajak (Okello, 2014). SAS merupakan upaya utama pemerintah untuk
meningkatkan kepatuhan wajib pajak untuk membayar pajaknya secara sukarela
(voluntary tax compliance) dan keberhasilan SAS tentu saja akan sangat tergantung
pada voluntary tax compliance dan pengawasan dari petugas perpajakan (DJP, 2015).
Beberapa penelitian justru menunjukkan bahwa penerapan SAS tidak dapat
menjamin untuk meningkatkan kepatuhan pajak sukarela (Belkaoui, 2004; Saad, 2012,
2014). Bahkan SAS justru menjadi memicu munculnya celah untuk dilakukan
penghindaran pajak (tax avoidance) maupun manipulasi pajak (tax evasion) (Takril &
Sanusi, 2014; Wahyuni, 2011). Menurut Mangoting, Sukoharsono, Rosidi, & Nurkholis
(2015) manipulasi pajak atau tax evasion disebabkan karena rasa tidak percaya terhadap
otoritas pajak untuk mengatur penerimaan pajak.
SAS merupakan skema besar pemerintah Indonesia untuk meningkatkan
penerimaan pajak (Darmayasa & Aneswari, 2015). Sehingga kinerja perpajakan
seringkali diukur dengan jumlah peningkatan penerimaan pajak setiap tahunnya. Namun
hingga 31 Agustus 2015, realisasi penerimaan pajak masih mencapai Rp.598,270 triliun
atau 46,22% dari target penerimaan pajak yang ditetapkan sesuai APBN-P 2015 sebesar
Rp.1.294,258 triliun (Pajak.go.id, 2015). Nominal penerimaan pajak tidak dapat
dijadikan tolok ukur penerimaan karena akan menimbulkan penilaian kinerja yang bias,
misalnya karena adanya faktor inflasi (Setiyaji & Amir, 2005).
Tolok ukur kinerja perpajakan yang lain adalah dengan menggunakan tax ratio3.
Tax ratio merupakan jumlah penerimaan pajak yang dapat dipungut dari setiap rupiah
pendapatan nasional atau produk domestik bruto. Artinya tax ratio ini dapat digunakan
untuk mengetahui seberapa besar komposisi penerimaan pajak terhadap perekonomian
nasional (Prasetyo, 2014). Implikasi dari ketidakpatuhan wajib pajak adalah masih
rendahnya tax ratio Indonesia yang hanya berada pada level 12% pada tahun 2014
(Hidayat, 2014).
Apabila dibandingkan dengan negara lain maka tax ratio Indonesia termasuk
rendah. Tax ratio yang rendah menunjukkan bahwa implementasi SAS tidak berjalan
efektif (Belkaoui, 2004; Kusumawati, 2005; Permita, Fauziati, Yulistia, & Minovia,
2014; Saad, 2014). Namun akan sulit membandingkan kinerja perpajakan Indonesia di
dalam pergaulan perekonomian internasional, karena perbedaan formula dan dasar
3
Tax Ratio menunjukkan jumlah penerimaan pajak yang dapat dipungut dari setiap rupiah pendapatan
nasional atau produk domestik bruto (PDB)
7
perhitungan tax ratio, bahwa Indonesia tidak menggunakan standar OECD (Amir, 2014;
dpr.go.id, 2003; Prasetyo, 2014). Indonesia tidak memasukkan pajak daerah dan sumber
daya alam dalam perhitungan tax ratio-nya (Pajak.go.id, 2012; Setiyaji, 2007).
Meskipun begitu tax ratio dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat
perkembangan penerimaan pajak setiap tahun (Amir, 2014).
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia
UMKM menjadi salah satu sarana penting untuk meningkatkan taraf hidup rakyat.
Tahun 2013 total unit usaha berbentuk UMKM yang ada di dunia mencapai 95%,
menyediakan lapangan kerja sebanyak 60% dari keseluruhan tenaga kerja yang tersedia
saat itu, serta memberikan kontribusi sebesar 50% terhadap GDP4. Sumbangsih UMKM
di Indonesia terhadap PDB meningkat setiap tahunnya. Tahun 2012, sumbangan PDB
dari UMKM mencapai Rp.1.504.928,20 milyar yang artinya meningkat 9,9% dari tahun
sebelumnya dengan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja 2,41%5. Angka tersebut tidak
dapat dibilang sebagai angka yang kecil. Keunggulan ketiga UMKM adalah
ketangguhannya dalam keadaan krisis yang terbukti saat Indonesia mengalami PHK
besar-besaran pada 1997/1998. UMKM bertahan karena struktur modalnya merupakan
dana pribadi dan ketergantungan yang besar terhadap bahan baku di sekitarnya.
Indonesia merupakan negara penganut Sistem Ekonomi Pancasila. Untuk
melaksanakan nilai Pancasila, khususnya sila kelima, yaitu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia, sudah sepatutnya para pelaksana atau pengusaha UMKM yang
memegang peranan strategis dalam perekonomian di Indonesia mendapat kedudukan
yang jelas di mata hukum. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai
peraturan negara tertinggi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia
menghendaki pembangunan perekonomian bangsa Indonesia demi mewujudkan
masyarakat adil dan makmur lewat salah satu pasalnya, yaitu Pasal 33. Di dalam pasal
tersebut terdapat asas keseimbangan, keserasian, keselarasan, persamaan, kekeluargaan,
dan yang paling penting adalah asas perlindungan dan pembinaan pihak yang lemah.
Berdasarkan UUD 1945 dan TAP MPR RI no XVI/MPR-RI/1998, maka disusunlah
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
4
Disampaikan pada Rapat Koordinasi Nasional Kementrian Koperasi dan UKM dengan Dinas Koperasi
dan UKM Seluruh Indonesia, Desember 2013.
5
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik.
8
Kecil, dan Menengah (UMKM). Pengesahan UU RI ini memiliki tujuan bahwa
pemerintah akan
memberdayakan UMKM
secara
menyeluruh,
optimal,
dan
berkesinambungan melalui iklim yang kondusif, pemberian kesempatan berusaha,
dukungan, perlindungan, dan pengembangan usaha seluas-luasnya, sehingga usahausaha tersebut
dianggap mampu untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi,
pemerataan, dan peningkatan pendapatan rakyat, penciptaan lapangan kerja, dan
pengentasan kemiskinan. Dijelaskan lebih lanjut, bahwa iklim usaha dipupuk dengan
menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang meliputi aspek
pendanaan, sarana dan prasarana, informasi usaha, kemitraan, perizinan usaha,
kesempatan berusaha, promosi dagang, dan dukungan kelembagaan. Demi mewujudkan
hal tersebut, pada 2014 pemerintah Indonesia mengeluarkan UU RI Nomor 7 Tahun
2014 tentang perdagangan yang pro pemberdayaan UMKM6.
Telaah Kritis Pengenaan Pajak Final 1%
Pro dan Kontra PP No 46 Tahun 2013.
Latar belakang pemberlakuan pajak 1 persen pada pajak UMKM disinyalir
berangkat dari dua pandangan: 1) mampu mengubah status UMKM dari informal
menjadi formal, sehingga layak mendapat kredit bank, 2) mampu menambah
pendapatan pemerintah (kadinjateng.com, 2015). Berdasarkan data Direktorat Jenderal
Perbendaharaan Negara Kemenkeu, pajak kuartal I-2013 hanya sebesar 18,5% dari
target. Belum cukup, jika dibandingkan dengan data kuartal I-2012, terjadi penurunan
realisasi dari sebesar 20% (bisniskeuangan.kompas.com, 2013). Hal tersebut merupakan
pencapaian yang jauh di bawah standar, sehingga menjadi alasan kuat bagi pemerintah
untuk memperketat aturan pajak UMKM. Sosialisasi pajak 1% terus dilaksanakan,
namun tidak menunjukkan hasil yang bagus. Penerimaan pajak yang berasal dari
UMKM hanya sebesar Rp 2 T, dari target Rp 30 T, dengan asumsi UMKM akan
memberikan porsi pada PDB sebesar Rp 3000 T.
Sebelum membicarakan mengapa target tak terpenuhi, mari kita cermati dasar
pemberlakuan PP No 46 Tahun 2013 dari prinsip pajak itu sendiri. Dari berbagai prinsip
yang terdapat dalam UU PPh, prinsip keadilan merupakan satu hal yang disorot di
dalam perpajakan. Pajak seharusnya dikenakan pada pertambahan kemampuan
6
lihat pasal 73.
9
ekonomis. Sedangkan omzet hanyalah pemasukan yang belum dipotong beban dalam
kegiatan usaha.
Berdasarkan argumen inilah, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI)
sangat berharap agar pemerintah merevisi PP No 46 tahun 2013 karena dinilai
memberatkan para pengusaha UMKM (ekbis.sindonews.com, 2015). Selain masalah
objek pajaknya, tak adanya pertimbangan apakah UMKM tersebut masih dalam tahap
tumbuh, yang kerap menanggung rugi, namun pembebanan pajak tetaplah 1 persen.
Padahal jika omzet di 4,8 milyar rupiah alias perusahaan besar dan sedang menanggung
rugi, terdapat kompensasi rugi fiskal. Keadilan jelas tidak tampak dalam perlakuan
pemungutan pajak antara UMKM dan perusahaan besar.
Informan kami Udin menyatakan ketidaksetujuannya pada PP 46 tahun 2013
sebagai berikut:
“Saya tidak setuju sama PP ini..”
Sepanjang UU kerahasian perbankan belum dibuka maka aturan apa saja yang
dibuat tidak akan efektif”
Berdasarkan pandangan dari informan, maka dapat disimpulkan bahwa dari sisi
internal pegawai pajak sendiri tidak mendukung penuh PP 46. Informan merasakan
bahwa PP ini sebenarnya tidak adil, tidak memberikan ruang bagi UMKM untuk
memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Pandangan lain dari informan adalah hal yang paling penting adalah akses DJP terhadap
data perbankan yang masih dibelenggu oleh UU Kerahasian Bank. Tanpa adanya akses
tersebut aturan yang dibuat DJP belum mampu bekerja secara optimal. Maka perlu ada
kerjasama baik antara Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan
DJP dengan menyingkirkan kepentingan politik masing-masing pemegang jabatan demi
meningkatnya kinerja perpajakan Indonesia.
Posisi kontra pada PP 46 2013 ini juga ditunjukkan oleh informan kami ibu Tutik
yang ditunjukkan dalam kutipan wawancara berikut:
“Penerapan pajak 1 persen ini gimana maksudnya? Saya kok ngga paham...”
“Saya jual mobil niiih misalnya. Katakan harga mobil itu saya jual 120 juta, yaa
dapetlah laba 15 juta sampe 20 jutaan niih. Terus piye maksude dipotong 1%. Itu
dari omzet ato labaku itu seh?”
“Terus saya dapet apa kalo 120 juta itu disetor sak persen buat pajak??”
“Pajak di Indonesia itu sama sekali tidak memiliki rasa keadilan terhadap usaha
kecil, contohnya saja ya tadi itu, makelar mobil yang menjual mobil, omzetnya
kan besar trus pajaknya kan dari omzetnya, padahal marginnya tidak besar.”
10
“Kebetulan ni disertasi saya juga tentang akuntansi lingkungan yaaa. Kalau
diperhatikan juga pajak tersebut kapitalis sekali... dia tidak memihak pada
lingkungan, terlihat dari fungsi pajak hanya untuk budget dan mengatur
Ekonomi.”
Asumsi bahwa pajak ini tidak adil bagi UMKM dengan margin yang rendah, maka
perlu ada skema untuk melakukan segmentasi UMKM berdasarkan omzetnya.
Segmentasi tersebut dapat dijadikan basis mengenai besaran pajak yang akan
dikenakan.
Definisi
pajak
juga
perlu
dilakukan
dekonstruksi
dengan
mempertimbangkan aspek-aspek seperti lingkungan agar menyeimbangkan dengan
komposisi ekonomi yang dominan untuk menghindari terseret arus kapitalisme. Praktikpraktik perpajakan juga perlu mulai memperhatikan lingkungan dengan membuat
regulasi perpajakan yang berdampak positif bagi lingkungan (Liu, 2013).
Terdapat syarat ekonomis yang harus terpenuhi dalam pemungutan pajak, yaitu
tidak boleh mengganggu perekonomian. Omzet didapatkan oleh pengusaha UMKM
akan digunakan untuk membayar gaji karyawan, biaya listrik, sewa, bunga pinjaman,
dan menutup biaya start-up yang tinggi. Sehingga dengan adanya beban pajak yang
minta didahulukan di atas kewajiban pembayaran lainnya, pemerintah terkesan tidak
pro-UMKM, serta bertentangan dengan niat pemberdayaan UMKM seperti yang
tertuang dalam UU No 20 tahun 2008. PP 46 tahun 2013 ini juga bertentangan dengan
konsep SAS yang secara jelas tampak dalam ketentuan Pasal 12 UU No 28 Tahun 2007.
Yang lebih mengejutkan, pemerintah merasa PP no 46 tahun 2013 belum cukup, dan
akan
merevisinya
untuk
tahun
penerapan
2016
menjadi
lebih
ketat
(bisniskeuangan.kompas.com, 2015).
Menggenjot Target Penerimaan Pajak.
Target penerimaan pajak yang jauh di bawah target memaksa pemerintah untuk
meningkatkan kinerja untuk menggenjot penerimaan pajak. Beberapa strategi telah
dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan pioneer-nya adalah penerapan SAS tahun
1983 sebagai tonggak dilakukannya reformasi perpajakan. Kemudian pemerintah juga
mengeluarkan berbagai layanan e-government berkaitan dengan layanan pajak seperti efiling agar Wajib Pajak (WP) dapat dengan mudah melaporkan SPT dan yang terbaru
tahun 2015 adalah e-faktur. Semua upaya tersebut tujuan akhirnya tentu saja
penerimaan pajak dan tax ratio yang meningkat dari tahun ke tahun. Kepatuhan WP
11
merupakan penentu utama atas semua keberhasilan agenda pemerintah untuk
meningkatkan kinerja perpajakannya.
Setelah PP No. 46 tahun 2013 akan dikeluarkan PP revisi pada tahun 2016 untuk
memajaki UMKM. Melihat peran besar UMKM pada penyerapan tenaga kerja dan pada
PDB Indonesia maka UMKM ini merupakan objek pajak yang betul-betul potensial.
Menerapkan peraturan mengenai pajak bagi UMKM dapat merupakan hal yang
menguntungkan dan tidak menguntungkan bagi perkembangan UMKM. Perlu dicermati
dari sudut pandang prinsip keadilan perpajakan.
Kepatuhan wajib pajak di Indonesia memang perlu menjadi perhatian utama.
Masalah serius bangsa ini merupakan tax coverage yang rendah. Data tahun 2011
menunjukkan persentase kepatuhan pajak di Indonesia sebesar 52% dan mengalami
penurunan 2% jika dibandingkan dengan tahun 2010 (Pudjono, 2014). Banyak orang
pribadi maupun badan yang potensial menjadi WP namun tidak terdaftar. Data tahun
2012 menunjukkan bahwa orang pribadi yang potensi sebagai WP 60 juta orang namun
yang terdaftar 20 juta orang dan yang melaporkan SPT 8,8 juta orang (Manurung,
2013). Sementara tahun 2012 dari 5 juta badan usaha yang terdaftar, 1,9 juta yang
mendaftarkan diri sebagai WP dan hanya 520 ribu yang melaporkan SPT (Manurung,
2013). Maka pemerintah perlu melakukan agenda-agenda untuk meningkatkan
kepatuhan pajak.
Keadilan Pajak bagi UMKM.
Pada pembahasan ini kita perlu fokus pada UMKM. Menerapkan peraturan pajak
yang ketat bagi UMKM dapat memberikan hal positif dan sebaliknya bagi UMKM.
Beberapa hal positifnya adalah akan mendorong UMKM yang berada di sektor informal
akan memperbaiki usahanya sehingga berada di sektor formal. Hal ini juga akan
mendatangkan kemudahan bagi UMKM untuk mendapakan bantuan kredit dari
perbankan.
Hasil wawancara dengan informan Polos menunjukkan beberapa ketidakadilan
yang dialami UMKM berkenaan dengan PP 46 ini. Berikut kutipan wawancara tersebut:
“Kasian banget usaha usaha kecil, khususnya yang marginnya dibawah 8 %,
dengan PP ini, akan membayar pajak yang lebih tinggi dari yang seharusnya, hal
ini sama dengan mengibuli WP dengan dalih SAS namun sebenarnya hampir
sama dengan Official Sistem”
12
Berkaitan dengan segmentasi UMKM yang menunjukkan persentase laba yang
bervariasi antar UMKM karena bidang usaha yang berbeda. Informan kami Rista
menyampaikan pendapatnya sebagai berikut:
“Taruhlah.. penghasilan perhari rata-rata 250.000-300.000 yak..karena jasa,
profit marginnya sekitar 75%..kalau pajaknya diambil dari omzet..kan 3000
pajaknya perday..tapi aku pribadi walau semurah..itu ya pajak..bagiku berat
entah kesadarannya yang kurang atau apa ya yang pasti dikarenakan
feedbacknya langsung..gak ada ya jadi berat deh”
“Makanya kurang berkeadilan. Harusnya hitungnya proporsional. Dibedakan
juga jenis usahanya juga.”
“UMKM ya harus digrade juga.”
Bagi bentuk usaha jasa yang marginnya dapat mencapai 75% maka penerapan
pajak 1% tidak akan terasa memberatkan, namun akan lain ceritanya bagi usaha yang
labanya di bawah 8%. Pajak 1% tidak dapat disamaratakan bagi seluruh UMKM. Usaha
tingkat mikro dan kecil terutama yang berada di sektor informal akan menjadi korban
dari PP 46 tahun 2013. Marjin laba yang tidak seberapa akan makin terkikis apabila
harus dipajaki sebesar 1%.
Terdapat dua keadilan dalam pajak, keadilan horizontal dan keadilan vertikal (Jan,
2013:27; Rosdiana & Irianto, 2014:161-162). Maka dari prinsip keadilan perpajakan,
peraturan ini tidak mencerminkan keadilan vertikal, karena tidak mempertimbangkan
kemampuan bayar. Karena dasar tarif pajaknya berasal dari peredaran bruto maka dalam
keadaan rugi akan tetap dipajaki. Membuat segmentasi atau melakukan grade UMKM
berdasarkan jenis usaha perlu dipertimbangkan untuk menegakkan keadilan perpajakan.
Bahkan bagi UMKM yang masih berada di sektor usaha mikro dan kecil justru harus
dikeluarkan dari subjek pajak. Sebab usaha yang masih berada di level ini masih dalam
taraf berkembang dan rawan mengalami kerugian.
Informan Polos menambahkan pendapatnya mengenai tidak adanya edukasi bagi
UMKM menuju arah lebih baik dalam hal pembukuan serta ketimpangan ketidakadilan
bagi UMKM yang menderita kerugian sebagai berikut:
“Dengan menetapkan pajak sebesar 1 % dari Omzet sudah tidak memberikan
ruang kepada WP untuk menyelenggarakan pembukan, penetapan 1 % tersebut
sama dengan pola perhitungan norma penghasilan netto lhoo...”
13
“Jika WP mengalami kerugian yang menurut UU KUP bisa dikompensasikan
selama maksimal 5 tahun, dengan PP ini, hal tersebut menjadi gugur dengan
sendirinya.”
Pernyataan informan Polos yang berkaitan dengan tidak adanya kompensasi
kerugian ini senada dengan pernyataan informan kami ibu Sari sebagai berikut:
“Kalau pajak bukannya dari laba ya?”
“Lah kalau rugi kan kasian, udah rugi harus bayar pajak lagi. Meskipun cuma
1%.”
“Penerimaan kotor nggak selalu bisa nutup biaya.”
“Bukan pajak namanya kalau nggak lihat untung rugi. Kok jadinya kayak tarikan
liar.”
Bagi pengusaha UMKM bahkan muncul kesalahpahaman mengenai pengenaan
pajak ini serupa ditunjukkan oleh Pak Salam:
“Kan saya nanya ke petugas di KPP, loh mas saya sudah bayar retribusi dan
listrik tiap bulan ke pemkot, masa nggak dipotong?”
“Jawabnya nggak gitu. Saya harus bayar pajak dihitung dari pendapatan kotor.”
PP 46 tahun 2013 ini sangat memberatkan bagi UMKM yang menderita kerugian,
sebab kerugian tidak akan mungkin dapat dibebankan. Bahkan besar kemungkinan akan
menimbulkan kesalahpahaman dari pengusaha UMKM karena adanya tax phobia yang
berkembang di masyarakat yang menganggap pajak 1% ini seolah-olah pungutan liar
atau memungut pajak secara dobel. Hal ini tentu saja bertentangan dengan konsep
kompensasi kerugian seperti yang tertuang dalam DJP SE No. 03/PJ.31/2004 tentang
Kompensasi Kerugian Fiskal dalam Penghitungan Pajak Penghasilan dan UU No. 36
Pasal 6 Ayat 2 tentang Pajak Penghasilan. Peraturan ini juga tidak memberikan edukasi
baik bagi UMKM untuk menyelenggarakan pembukuan yang baik berdasarkan SAK
ETAP.
Keadilan mengenai hak WP berkenaan dengan konsep PTKP juga telah dilanggar
oleh PP 46 tahun 2013 ini. Hal tersebut dinyatakan secara gamblang oleh Polos:
“PTKP yang merupakan hak dari WPOP juga nyaris mati suri, tidak bisa
digunakan dalam perhitungan dalam menentukan Penghasilan Kena Pajak. “
Penindasan dengan melanggar asas keadilan dari PP 46 tahun 2013 di atas akan
jelas terlihat apabila dibandingkan dengan beberapa aturan lainnya. Apabila
dibandingkan dengan PMK 122/PMK.010/2015 maka PP 46 tahun 2013 ini telah
menabrak konsep PTKP. PP 46 tidak memungkinkan bagi pengusaha pribadi untuk bisa
14
mengurangi penghasilan bruto dengan PTKP sebagai biaya minimal untuk bertahan
hidup.
Pemungutan pajak harus memenuhi syarat ekonomis, yaitu tidak boleh
mengganggu perekonomian. Dengan adanya beban pajak yang minta didahulukan di
atas kewajiban pembayaran lainnya, pemerintah terkesan tidak pro-UMKM, serta
bertentangan dengan niat pemberdayaan UMKM di dalam UU No 20 tahun 2008. PP 46
tahun 2013 ini juga bertentangan dengan konsep SAS yang secara jelas tampak dalam
ketentuan Pasal 12 UU No 28 Tahun 2007. PP no 46 tahun 2013 akan direvisi pada
tahun penerapan 2016 menjadi lebih ketat (bisniskeuangan.kompas.com, 2015).
Maka perlu dilakukan skema perpajakan yang lebih friendly bagi UMKM. Usaha
mikro dan kecil yang berada di sektor informal harus dikeluarkan sebagai objek pajak.
PPh final 1% perlu dikaji ulang, tidak akan adil apabila tidak mempertimbangkan
marjin. Maka seharusnya skema pajak yang paling adil adalah dengan menjadikan
marjin sebagai basisnya. UMKM juga perlu diberi opsi untuk menjamin kebebasan
memilih, sebagaimana disampaikan oleh informan Udin:
“Harusnya ada opsi untuk UMKM, opsi memilih PP 46 atau skema umum yaitu
pembukuan atau pencatatan”
Berdasarkan pandangan dari informan tersebut, kami simpulkan bahwa PP 46
menghilangkan hak dari wajib pajak orang pribadi (WPOP) untuk memilih
menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan. PP 46 ini mengarahkan WPOP untuk
menggunakan norma perhitungan dalam tanda kutip. PP 46 sudah menutup ruang
pembukuan yang bisa membukukan beban atau biaya memperoleh, menagih dan
memelihara penghasilan sesuai dengan pasal 6 UU Pajak Penghasilan.
Kepatuhan warga negara secara sukarela terhadap kebijakan perpajakan merupakan
salah satu cerminan dari masyarakat modern (van Dijke & Verboon, 2010).
Meningkatkan kepatuhan pajak bagi UMKM artinya pemerintah harus menjalin
komunikasi yang baik dan membangun kepercayaan bagi UMKM sebelum menerapkan
sanksi dan berbagai variabel deterrence. Hal ini sesuai dengan slippery slope
framework, bahwa berdasarkan teori ini kepatuhan pajak akan ditentukan oleh: pertama
kekuasaan atau kekuatan otoritas dan yang kedua adalah rasa percaya terhadap otoritas
(Kastlunger, Lozza, Kirchler, & Schabmann, 2013; Kirchler, Hoelzl, & Wahl, 2008;
15
Kogler, Muehlbacher, & Kirchler, 2013; Kogler, Batrancea, et al., 2013; Lisi, 2014;
Mas’ud, Manaf, & Saad, 2014).
Maka berdasarkan slippery slope framework ini pemerintah Indonesia perlu untuk
melakukan pembenahan dalam beberapa hal secara holistik. Menegakkan kekuasaan
atau kekuatan otoritas artinya bahwa pemerintah harus menunjukkan bahwa hukum di
negara ini betul-betul ditegakkan dengan baik tanpa ada tebang pilih. Pelanggaran baik
yang dilakukan oleh wajib pajak maupun penggelapan pajak oleh pegawai pajak diberi
sanksi tegas. Penegakan hukum ini juga akan secara otomatis mampu meningkatkan
rasa percaya warga negara terhadap otoritas.
Anteseden kedua slippery slope framewok berkaitan dengan rasa percaya terhadap
otoritas, penelitian yang dilakukan oleh Lisi (2014) menunjukkan bahwa pembangunan
hubungan yang dilandasi rasa percaya jauh lebih efektif dari pada menerapkan variabel
deterrence seperti teori yang diajukan Allingham & Sandmo (1972). Usaha membangun
kepercayaan ini dapat dilakukan dengan pembenahan kualitas instansi dan membangun
komunikasi yang baik. Penelitian Torgler, Demir, Macintyre, & Schaffner (2008) di
USA dan Turki menunjukkan bahwa kualitas institusi seperti tingkat korupsi juga
mempengaruhi moral pajak.
Berdasarkan data Transparency International Corruption Perception Index (CPI)
tahun 2014 Indonesia berada di urutan 107 dari 174 negara. Makin besar urutannya
menunjukkan tingkat korupsi yang makin buruk di intansi pemerintahan. Data dari
tahun 2010 sampai 2013 juga menunjukkan Indonesia selalu berada di urutan di atas
110an. Artinya perlu dilakukan pembenahan kualitas institusi di negara Indonesia.
Membangun komunikasi yang baik juga perlu dilakukan melalui pemberian pendidikan
dan informasi mengenai isu perpajakan, pencanangan berbagai kebijakan perpajakan
yang adil dan tidak memberatkan serta membenahi kualitas pegawai perpajakan
sehingga jangan muncul lagi Gayus lainnya yang akan melukai kepercayaan
masyarakat.
Kepatuhan yang kurang dari pengusaha UMKM karena mereka merasa belum ada
insentif yang mereka dapatkan seperti kutipan wawancara dengan Rista sebagai berikut:
“Apa kucuran.. dana mungkin. Pinjaman KUR Jokowi yang bunga ringan itu.
Gak semua juga bisa kita ambill.”
“Trus masalah pelatihan.. pelatihan UMKM dengan fasilitas ab c n d yang
datangnya ke desa. Siapa yang nikmati?”
16
“Mereka yang dekat birokrasi desa. Paling yo Bu RT, Bu RW mereka.. yang
deket..deket aja. Orang juga itu ituu aja.”
Tidak adanya insentif yang dirasakan pengusaha UMKM juga didukung oleh
pernyataan Iman:
“Pajak itu sebenarnya apa kembalinya buat kita? BPJS juga masih mbayar”
Rasa percaya UMKM akan muncul apabila pemerintah mampu memberikan
insentif yang tepat sasaran dan adil. Insentif yang pokok bagi UMKM adalah dengan
memberikan bantuan modal yang adil berupa KUR, yang artinya memperhatikan sektor
bisnis dan jenis usaha UMKM bukannya menyamaratakan semua UMKM mendapat
bantuan Kredit Usaha Rakyat (KUR) 20 juta (Yusuf, 2013a). KUR yang ditawarkan
pemerintah juga harus dapat terjangkau oleh seluruh UMKM. Seluruh pihak dapat
mengakses bantuan tersebut. Demikian juga pelatihan-pelatihan bagi UMKM juga harus
dapat diakses oleh seluruh UMKM secara adil. Insentif lain yang menjadi dasar bagi
warga negara merupakan fasilitas kesehatan seperti yang diutarakan oleh informan
Iman.
Konsep meningkatkan kepatuhan pajak dengan cara ini disebut dengan psikologi
fiskal. Teori Psikologi Fiskal menekankan pada hilangnya motivasi dari wajib pajak
untuk membayar pajak disebabkan oleh tidak adanya keuntungan secara langsung dari
pembayaran pajak (Hasseldine & Bebbington, 1991). Teori ini awalnya dikenalkan oleh
Schmolders (1959) yaitu kurangnya motivasi wajib pajak untuk membayar pajak yang
disebabkan oleh tidak memperoleh keuntungan nyata. Tingkat ketaatan secara sukarela
lebih disebabkan oleh kepercayaan wajib pajak kepada pemerintah karena sistem
perpajakannya (Kogler, Batrancea, et al., 2013). Teori ini menekankan pada pentingnya
persepsi pembayar pajak terhadap pemerintah (Damayanti, Sutrisno, Subekti, &
Baridwan, 2015).
Pemerintah dan berbagai pihak terkait perlu memberikan informasi dan edukasi
agar UMKM memahami sistem pembukuan berdasarkan SAK ETAP. Informasi dan
edukasi berkaitan dengan peraturan perpajakan, UU perpajakan dan berbagai isu-isu
perpajakan yang berkaitan dengan UMKM juga sangat penting diberikan bagi UMKM.
Sebab semakin baik pengetahuan mengenai perpajakan, maka akan lebih mudah untuk
mematuhi perpajakan (Darmayasa & Aneswari, 2015; Kołodziej, 2011).
17
SIMPULAN
Kebijakan PPh final 1% yang tertuang dalam PP 46 Tahun 2013 tidak sesuai
dengan asas keadilan perpajakan. Asas keadilan yang dilanggar antara lain pertama
kebijakan ini tidak mempertimbangkan kemampuan ekonomis dari objek pajak, sebab
dipotong dari omzet bukan dari margin. Kedua kebijakan ini melanggar konsep PTKP
sebagai biaya minimal untuk bertahan hidup sesuai dengan PMK 122/PMK.010/2015
mengenai penyesuaian besarnya PTKP. Ketiga kebijakan ini tidak memberi ruang bagi
UMKM yang menderita kerugian untuk dapat membebankan kerugiannya dan tetap
dipajaki. Artinya PP 46 bertentangan dengan DJP SE No. 03/PJ.31/2004 mengenai
kompensasi kerugian. Kebijakan PPh final 1% juga merupakan kemunduran dari konsep
SAS yang diberlakukan sejak reformasi pajak di Indonesia. Padahal konsep SAS telah
secara jelas tercermin dalam Pasal 12 UU No 28 Tahun 2007.
Kepatuhan wajib pajak di Indonesia dapat dilihat dengan dua teori yakni psikologi
fiskal dan slippery slope framework. Berdasarkan psikologi fiskal maka kepatuhan akan
meningkat tergantung persepsi pembayar pajak terhadap pemerintah dan insentif yang
didapat pembayar pajak. Berdasarkan slippery slope framework kepatuhan dapat
dibangun melalui kekuatan otoritas dan rasa percaya terhadap otortitas. Bila diterapkan
di Indonesia maka penegakan hukum tanpa tebang pilih untuk menunjukkan kekuatan
otoritas sekaligus memunculkan rasa percaya. Rasa percaya dapat dibangun melalui
komunikasi dengan memberikan pendidikan dan informasi yang baik tentang
perpajakan, pencanangan kebijakan perpajakan yang adil dan tidak memberatkan, serta
membenahi kualitas instansi pemerintah dan pegawai pajak. Kebijakan PP 46 tahun
2013 juga perlu dikaji ulang apakah telah menjalankan amanah UU no. 36 tahun 2008.
Beberapa skema perpajakan yang dapat dijadikan pertimbangan antara lain pertama
usaha mikro dan kecil yang berada di sektor informal perlu dikeluarkan dari objek
pajak. Kedua PPh bukan lagi menjadikan peredaran bruto sebagai basis perhitungan
pajak, namun perlu mempertimbangkan marjin. Ketiga pemerintah harus memberi
pilihan bagi UKM untuk memilih PP 46 tahun 2013 atau skema umum. Keempat perlu
dilakukan segmentasi atau mebuat grade UMKM berdasarkan jenis usahanya sebelum
memberlakukan kebijakan pajak. Kelima perlu dibuka UU Kerahasiaan perbankan yang
memungkinkan kerjasama PPATK dan DJP sehingga semua aturan perpajakan yang
18
dibuat akan dapat berjalan efektif. Semua usulan tersebut perlu dipertimbangkan pada
revisi PP 46 tahun 2013 yang rencanaya akan dilakukan pada tahun 2016.
Penelitian selanjutnya perlu dikembangkan dengan menggali informasi secara
mendalam dari sudut pandang pemilik usaha dengan margin yang rendah. Penelitian
selanjutnya juga perlu untuk membuat suatu skema perhitungan pajak yang berasal dari
informasi omzet usaha informan dari berbagai tingkatan persentase margin untuk
mengetahui ketidakadilan penyamaan tarif 1%. Paradigma yang direkomendasikan
untuk penelitian selanjutnya adalah transcendental fenomenologi dengan menekankan
pengalaman pengusaha UMKM yang menjadi objek PPh final 1% ini. Penelitian
selanjutnya juga perlu membahas kepatuhan UMKM dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya.
Daftar Pustaka
Allingham, G. M., & Sandmo, A. (1972). Income Tax Evasion: A Theoretical Analysis.
Jounal of Public Economics, 1, 323–338.
Amir,
H.
(2014).
Potensi
Pajak
dan
Kinerja
Pemungutannya.
http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/Pajak
Potensi
Dan
Pengumpulannya.pdf.
Atawodi, O. W., & Ojeka, S. A. (2012). Relationship between Tax Policy, Growth of
SMEs and the Nigerian Economy. International Journal of Business and
Management. http://doi.org/10.5539/ijbm.v7n13p125
Belkaoui, A. R. (2004). Relationship Between Tax Compliance Internationally and
Selected Determinants of Tax Morale. Journal of International Accounting,
Auditing
and
Taxation,
13(2),
135–143.
http://doi.org/10.1016/j.intaccaudtax.2004.09.001
bisnis.com. (2014). Rasio Pemungutan Pajak Masih Rendah. Retrieved July 2, 2015,
from finansial.bisnis.com
Bungin, H. M. B. (2012). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya (Kedua). Jakarta: Prenada Media Group.
Creswell, J. W. (2007). Qualitative Inquiry & Research Design Choosing among Five
Approaches (2nd ed.). USA: Sage Publications Inc.
Damayanti, T. W., Sutrisno, Subekti, I., & Baridwan, Z. (2015). The Role of Taxpayer’s
Perception of the Government and Society to Improve Tax Compliance.
Accounting and Finance Research, 4(1). http://doi.org/10.5430/afr.v4n1p180
Darmayasa, I. N., & Aneswari, Y. R. (2015). The Ethical Practice of Tax Consultant
Based on Local Culture. In Book of Conference Proceedings 2nd Global
Conference on Business&Social Sciences 17th-18th September 2015 Bali,
Indonesia (p. 169).
DJP. (2015, August 25). Begini Cara DJP Cek Kebenaran SPT Wajib Pajak. Bisnis
Indonesia, p. 5.
DJP SE No. 03/PJ.31/2004. (2004). Kompensasi Kerugian Fiskal dalam Penghitungan
Pajak Penghasilan.
19
dpr.go.id. (2003). Meningkatkan Tax Ratio Indonesia.
Duron, R., Limbach, B., & Waugh, W. (2006). Critical Thinking Framework For Any
Discipline. International Journal of Teaching and Learning in Higher Education,
17(2),
160–166.
Retrieved
from
http://www.isetl.org/ijtlhe/pdf/IJTLHE17(2).pdf#page=89
Government of Indonesia. Act of The Republic of Indonesia No. 20 of 2008 on Small
Medium Enterprise (2008).
Hartono, J. (2014). Metodologi Penelitian Bisnis Salah Kaprah dan PengalamanPengalaman (6th ed.). Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
Hasseldine, D. J., & Bebbington, K. J. (1991). Blending Economic Deterrence and
Fiscal Psychology Models in The Design of Responses to Tax Evasion: The New
Zealand Experience. Journal of Economic Psychology, 12, 299–324.
http://doi.org/10.1016/0167-4870(91)90018-O
Hidayat, A. (2014). Kewenangan Otoritas Pajak untuk Meningkatkan Tax Ratio.
Jan, T. S. (2013). Pengadilan Pajak Upaya Kepastian Hukum dan Keadilan Bagi Wajib
Pajak. Bandung: PT. Alumni.
Kastlunger, B., Lozza, E., Kirchler, E., & Schabmann, A. (2013). Powerful authorities
and trusting citizens: The Slippery Slope Framework and tax compliance in Italy.
Journal
of
Economic
Psychology,
34,
36–45.
http://doi.org/10.1016/j.joep.2012.11.007
Kirchler, E., Hoelzl, E., & Wahl, I. (2008). Enforced versus voluntary tax compliance:
The “slippery slope” framework. Journal of Economic Psychology, 29(2), 210–
225. http://doi.org/10.1016/j.joep.2007.05.004
Kogler, C., Batrancea, L., Nichita, A., Pantya, J., Belianin, A., & Kirchler, E. (2013).
Trust and power as determinants of tax compliance: Testing the assumptions of the
slippery slope framework in Austria, Hungary, Romania and Russia. Journal of
Economic Psychology, 34, 169–180. http://doi.org/10.1016/j.joep.2012.09.010
Kogler, C., Muehlbacher, S., & Kirchler, E. (2013). Trust , power , and tax compliance :
Testing the “ slippery slope framework ” among self-employed taxpayers
Christoph Kogler Stephan Muehlbacher. WU International Taxation Reserach
Paper Series, 05, 2–18.
Kołodziej, S. (2011). The role of education in forming voluntary tax compliance.
General
and
Professional
Education,
22–25.
Retrieved
from
http://genproedu.com/paper/2011-01/022-025.pdf
Kusumawati, T. I. (2005). Analisis Perilaku Wajib Pajak Orang Pribadi Terhadap
Pelaksanaan Self Assesment System. In Simposium Riset Ekonomi II. Surabaya:
23-24 November 2005.
Lisi, G. (2014). The interaction between trust and power: Effects on tax compliance and
macroeconomic implications. Journal of Behavioral and Experimental Economics,
53, 24–33. http://doi.org/10.1016/j.socec.2014.07.004
Liu, A. A. (2013). Tax Evasion and Optimal Environmental Taxes. Journal of
Environmental
Economics
and
Management,
66(3),
656–670.
http://doi.org/10.1016/j.jeem.2013.06.004
Mangoting, Y., Sukoharsono, E. G., Rosidi, & Nurkholis. (2015). Developing a Model
of Tax Compliance from Social Contract Perspective: Mitigating the Tax Evasion.
In 2nd Global Conference on Business and Social Science-2015, GCBSS-2015, 1718 September 2015, Bali, Indonesia (Vol. 00, p. 144).
20
Manurung, S. (2013). Kompleksitas Kepatuhan Pajak. Retrieved September 18, 2015,
from http://www.pajak.go.id/content/article/kompleksitas-kepatuhan-pajak
Mardiasmo. (2013). Perpajakan Edisi Revisi. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Mas’ud, A., Manaf, N. A. A., & Saad, N. (2014). Do Trust and Power Moderate Each
Other in Relation to Tax Compliance? Procedia - Social and Behavioral Sciences,
164, 49–54. http://doi.org/10.1016/j.sbspro.2014.11.049
Muhadjir, N. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Okello, A. (2014). Managing Income Tax Compliance through. IMF Working Paper,
41(March), 4–32.
Pajak.go.id. (2012). Dirjen Pajak: “Tax Ratio Indonesia Tinggi, Ada Kesalahan
Penghitungan Tax Ratio!”
Pajak.go.id. (2015). Realisasi Penerimaan Pajak per 31 Agustus 2015. Retrieved
September 18, 2015, from http://www.pajak.go.id/content/realisasi-penerimaanpajak-31-agustus-2015
Permita, A. C., Fauziati, P., Yulistia, R., & Minovia, A. F. (2014). Pengaruh Persepsi
Wajib Pajak Orang Pribadi atas Pelaksanaan Self Assessment System Terhadap
Tindakan Tax Evasion di Kota Padang. In Simposium Nasional Akuntansi XVII.
Mataram: Universitas Mataram, 24-27 September 2014.
PMK 122/PMK.010/2015. (2015). Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP).
Prasetyo,
K.
A.
(2014).
Quo
Vadis
Tax
Ratio
Indonesia.
http://doi.org/http://www.bppk.kemenkeu.go.id
Pudjono, A. N. S. (2014). Meningkatkan Rasio Kepatuhan Pajak di Indonesia. Retrieved
September 18, 2015, from http://www.pajak.go.id/content/article/meningkatkanrasio-kepatuhan-pajak-di-indonesia
Rosdiana, H., & Irianto, E. S. (2014). Pengantar Ilmu Pajak Kebijakan dan
Implementasi di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Saad, N. (2012). Tax Non-Compliance Behaviour: Taxpayers’ View. Social and
Behavioral
Sciences,
65(ICIBSoS),
344–351.
http://doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.11.132
Saad, N. (2014). Tax Knowledge , Tax Complexity and Tax Compliance: Taxpayers’
View. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 109(1), 1069–1075.
http://doi.org/10.1016/j.sbspro.2013.12.590
Setiyaji, G. (2007). Ruwetnya Urusan Tax Ratio. Harian Sindo 4 September 2007.
http://doi.org/https://gsetiyaji.files.wordpress.com/2007/09/ruwet-tax-ratio.pdf
Setiyaji, G., & Amir, H. (2005). Evaluasi Kinerja Sistem Perpajakan Indonesia. Jurnal
Ekonomi, 7(November), 1–13.
Sugiono, A., Ludigdo, U., & Baridwan, Z. (2015). Makna Pajak dan Retribusi:
Perspektif Wajib Pajak Pedagang Kaki Lima. Jurnal Akuntansi Multiparadigma,
6(No. 1 April), 53–78. http://doi.org/10.18202/jamal.2015.04.6006
Supriyati, & Wulanditya, P. (2012). The SME Perception towards the Accounting
Standard without Public Accountability (SAK-ETAP) and Self-Assessment System
for Increasing Voluntary Tax Compliance. IAMURE International Journal of
Business and Management, 4(1), 1–20.
Takril, N. F. B., & Sanusi, S. W. S. A. (2014). An Exploratory Study of Malaysian Tax
Practitioners’ Perception on the Practice of Aggressive tax Avoidance. In Eproceeding of the Conference on Management and Muamalah (CoMM 2014)
Synergizing Knowledge on Management and Muamalah (pp. 978–983).
21
Tashakkori, A., & Teddlie, C. (2010). Handbook of Mixed Methods in Social &
Behavioral Research (Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Torgler, B., Demir, I. C., Macintyre, A., & Schaffner, M. (2008). Causes and
Consequences of Tax Morale: An Empirical Investigation. Economic Analysis and
Policy, 38(2), 313–339. Retrieved from http://qut.summon.serialssolutions.com
Transparency International - the global coalition against Corruption. (2010-2014).
Corruption
Perception
Index.
Retrieved
from
http://www.transparency.org/policy_research/surveys_indices/cpi/2010/results
Undang Undang No. 28 Tahun 2007. (2007). Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan. Jakarta.
Van Dijke, M., & Verboon, P. (2010). Trust in authorities as a boundary condition to
procedural fairness effects on tax compliance. Journal of Economic Psychology,
31(1), 80–91. http://doi.org/10.1016/j.joep.2009.10.005
Wahyuni, M. A. (2011). Tax Evasion : Dampak dari Self Assessment System. Jurnal
Ilmiah Akuntansi Dan Humanika, 12.
Yusuf, E. M. (2013a). Mau Tarik Upeti Berdayakan UKM Dulu. Retrieved September
16, 2015, from http://keuanganlsm.com/mau-tarik-upeti-berdayakan-ukm-dulu/
Yusuf, E. M. (2013b). Membedah Aturan Pajak Penghasilan Terbaru Bagi UMKM.
Retrieved September 16, 2015, from http://keuanganlsm.com/membedah-aturanpajak-penghasilan-terbaru-bagi-umkm/
22