PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia melalui Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas mendeklarasikan diri sebagai negara kesatuan yang berbentuk republik dengan kedaulatannya berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Pasal 1 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Demi menjalankan amanah kedaulatan rakyat tersebut, maka Undang-Undang Dasar 1945 kemudian menjabarkannya dalam berbagai lembaga negara yang bisa mewakili rakyat.
Kedaulatan rakyat selama ini sering diterjemahkan dengan pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Pemerintahan dari rakyat berarti mereka yang duduk sebagai penyelenggara pemerintahan terdiri atas rakyat itu sendiri dan memperoleh dukungan rakyat. Pemerintahan oleh rakyat mengandung pengertian, bahwa pemerintahan yang ada diselenggarakan dan dilakukan oleh rakyat sendiri. Keterlibatan rakyat membentuk pemerintahan sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui sebuah mekanisme sebagaimana diatur oleh undang-undang. Pemerintahan untuk rakyat artinya pemerintahan yang dilaksanakan sesuai dengan kehendak rakyat dan demi kesejahteraan rakyat.
Agar hal tersebut terlaksana dengan baik maka jalan yang ditempuh bisa melalui demokrasi. Demokrasi yang dipilih bisa langsung dimana rakyat langsung ikut ambil bagian dalam roda pemerintahan atau demokrasi tak langsung di mana rakyat memilih wakil mereka untuk menjalankan jalannya pemerintahan. Karena Indonesia memiliki ratusan juta penduduk dan wilayah yang sangat luas, maka demokrasi melalui perwakilan yang dipilih. Demokrasi tak langsung sendiri berarti bahwa seluruh rakyat memilih perwakilan mereka melalui pemilihan umum (pemilu) untuk menyampaikan pendapat dan sebagai pengambil keputusan bagi mereka. Demokrasi tak langsung intinya semua rakyatnya memiliki hak dan daulat, namun kedaulatannya tersebut diwakilkan melalui perwakilan sehingga disebut dengan demokrasi tak langsung (perwakilan). Demokrasi tak langsung juga berarti seluruh rakyat telah diwakili oleh seseorang (kalau di Indonesia DPR) untuk menyampaikan pendapat dan pengambilan keputusan kepemerintahan.
Agar bisa memilih wakil untuk menjalankan pemerintahan, maka diperlukan sebuah mekanisme yang menjamin aspirasi masyarakat tanpa kecuali. Mekanisme yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 untuk menjamin hal tersebut adalah pemilihan umum.
Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945, pemilihan umum di Indonesia bertujuan memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Di sana diatur juga bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik sementara DPD diikuti oleh perorangan. Untuk menjalankan pemilihan umum, maka konstitusi memandatkannya kepada suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Hal ini diterjemahkan sebagai Komisi Pemilihan Umum yang disingkat KPU.
Pasal 22E Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Komisi Pemilihan Umum sendiri adalah nama yang diberikan oleh Undang-Undang tentang Pemilihan Umum untuk lembaga penyelenggaraan pemilu. Dalam pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 sendiri, nama penyelenggara tersebut tentu saja tidak harus Komisi Pemilihan Umum atau KPU.
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika, tahun), hlm.201
Mengingat demografi Indonesia yang luas dan beragam, maka diperlukan sistem pemilihan umum yang efektif dan efisien. Berbagai sistem pemilihan umum telah diterapkan di Indonesia sejak merdeka. Pada jaman Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi, pemilihan umum di Indonesia telah diadakan dengan sistem yang berbeda. Sistem pemilihan umum tersebut berubah tentu saja disesuaikan dengan kondisi dan demi mencapai hasil optimal.
Perjalanan panjang bangsa Indonesia tentu saja masih terus berkembang menuju konsep yang paling sesuai dengan kepribadian bangsa dan tuntutan jaman. Perubahan sistem pemilihan umum semata dilakukan untuk mengakomodir kehendak masyarakat sekaligus menemukan formula yang tepat dalam mengeksekusi sekaligus menyalurkan hak-hak rakyat Indonesia dalam menjalankan amanat konstitusi.
Orde Reformasi sendiri sebagai karpet merah terhadap kesadaran kolektif bangsa akan hak-hak konstitusi menyediakan ruang yang cukup bagi penyaluran aspirasi rakyat. Maka, desain pemilihan umum tidak lagi dilakukan seadanya sebagaimana di masa lalu di mana pemilu hanya dianggap legitimasi semu. Kini, setelah partisipasi publik mengalami sumbatan selama 32 tahun, kebebasan digunakan semaksimal mungkin oleh setiap pihak dalam mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Sayangnya, kini muncul suara-suara sumbang terkait mekanisme penyaluran aspirasi trsebut.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang kemudian masalah di atas, berikut rumusan masalah dari makalah ini:
Bagaimana implemestasi kedaulatan rakyat di Indonesia?
Demokrasi seperti apa yang diterapkan di Indonesia?
Seperti apa sistem pemilu di Indonesia pascareformasi?
Pembatasan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka makalah ini hanya membatasi masalah pada “sistem pemilu di Indonesia pascareformasi”.
Pembahasan
Pengertian Demokrasi
Jean Bodin sebagai Bapak Teori Kedaulatan mungkin akan terkejut mengetahui betapa jauh bergesernya apa yang dahulu ia teorikan. Awalnya, kedaulatan “hanya” diartikan sebagai “kekuasaan tertinggi terhadap para warga negara dan rakyat tanpa suatu pembatasan oleh peraturan perundang-undangan.”
Andi Mutari Pide, Pengantar Hukum Tata Negara, (Jakarta: Wildan Akademika dan Universitas Ekasakti Press. 2008) hlm. 16 Dengan kata lain, raja adalah pemilik negara.
Setelah itu munculah kedaulatan negara yang sayangnya kemudian melahirkan kekuasaan absolut para penguasanya. Meski ada pembatasan kekuasaan melalui konstitusi, pada praktiknya penguasa dengan kekuasaan absolut ini sering sama seperti raja.
Baru pada abad yang lebih modern, kedaulatan raja yang menjelma menjadi kedaulatan negara berhasil tersungkur dan memunculkan kedaulatan baru, dimana kekuasaan berada di tangan rakyat. Ajaran kedaulatan rakyat ini memberikan kekuasaan tertinggi kepada rakyat atau disebut pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kita kemudian menyebutnya sebagai demokrasi.
Dalam demokrasi sebagaimana JJ Rousseu pelopori, kekuasaan dilaksanakan wakil-wakil rakyat maupun oleh mereka yang dipilih langsung oleh rakyat. Untuk itu, perlu dilaksanakan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, serta rahasia.
Ibid, hlm. 17
Jauh sebelum JJ Rousseu mendeklarasikan kedaulatan rakyat, adalah Yunani di masa-masa sebelum Masehi telah mengenal demokrasi. Maka, pengertian demokrasi dalam tinjauan bahasa (etimology) baik asal kata maupun asal bahasanya adalah gabungan dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu “Demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu wilayah, dan “Cratein” atau “Cratos” yang berarti pemerintahan atau pemerintahan/otoritas, Sehingga demokrasi sederhananya mengandung arti berarti pemerintahan rakyat atau kedaulatan/otoritas rakyat.
Ruslan Abdulgani, Beberapa Catatan tentang Pengamalan Pancasila dengan Penekanan kepada Tinjauan Sila ke-4 yaitu Demokrasi Pancasila, dalam Demokrasi Indonesia Tinjauan Politik, Sejarah, Ekonomi-Koperasi dan Kebudayaan, (Yogkarta: Widya Patria , 1995), hlm:1 Demokrasi dalam konsep ilmu pengetahuan modern, khususnya dalam kajian politik dan hukum ketatanegaraan pertama kali dilaksanakan di negara Athena yang berbentuk polis, dimana dalam pelaksanaan pemerintahan yang berhubungan dengan kepentingan-kepentingan umum (public), masyarakat dilibatkan dalam kebijakan pengambilan keputusan. Ciri utama pemerintahan demokrasi Athena ini adalah adanya partisifasi atau keterlibatan langsung masyarakat dalam pemerintahan, tanpa melihat apakah masyarakat yang dilibatkan tersebut mengerti atau tidak. Jadi titik sentral dari pemerintahan demokrasi saat itu adalah partisifasi masyarakat dalam bidang-bidang pemerintahan sebagai dampak dari kedaulatan rakyat.
Mengingat kedaulatan itu melekat pada diri orang untuk mengatur dan mempertahankan dirinya, serta mengingat rakyat itu bukan pula satu atau dua orang, tetapi merupakan gabungan atau kumpulan dari orang-orang yang secara sadar bergabung untuk mengatur diri mereka, maka kedaulatan itu pun kemudian digabung pula. Kedaulatan rakyat ini pun bukan untuk melindungi sebagian rakyat dan menindas sebagian yang lain. Tetapi untuk melindungi keseluruhan rakyat dalam wilayah kedaulatan negara, sesuai dengan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam konstitusi.
Ruslan Abdulgani mengutip dari buku Sejarawan Yunani Thucidides “History of the Peloponnesian War” yang juga mengutip ucapan beberapa negarawan dan ilmuwan Yunani memberikan penjelasan tentang arti materiil dari demokrasi, diantaranya:
Ibid, hlm. 2
Pericles, “Our constitution is named a democracy because it is in the hands not of the few, but of the many” (Konstitusi kita dinamakan demokrasi, karena kekuasaan tidak ditangan segolongan kecil, tapi ditangan banyak rakyat).
Athenagores, “I say first, that the word demos, or people, include the whole state, oligarchy only a part; next, that if the best guardians of property are the richt, and the best counselors the wise, none can hear and decide so well as the many; and that all these talents, severally and collectively, have their just place in a democracy” (Bagi saya, pertama, kata demos atau rakyat mencakup seluruh negara, oligarki hanya sebagian. Kedua, apabila orang-orang kaya adalah penjaga yang terbaik bagi harta milik, dan orang-orang arif pandai adalah penasehat-penasehat terbaik, tapi tidak ada yang mengalahkan orang banyak dalam kearifan mendengar dan memutuskan. Semua kepandaian, bakat, dan akal budi itu, secara sendiri-sendiri dan kolektif, mempunyai tempat yang adil wajar dalam demokrasi)
Herts dalam bukunya Political Realism and Political Idealism sebagaimana dikutip oleh Sukarna dalam buku Sistem Politik, menyebutkan bahwa “Democracy is a form of government in which no one member, has political prerogative over any other. Government thus the rule of all overall in the common, as opposed to the individual or separate group interest),
Sukarna, Sistem Politik, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1990), hlm: 37 yang berarti bahwa “Demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana tidak satu orangpun anggota (rakyat/kelompoknya), mempunyai hak prerogatif politik terhadap anggota (rakyat/kelompoknya) lainnya. Pemerintahan adalah dilakukan dengan aturan oleh keseluruhan anggota (rakyat/kelompoknya) untuk keseluruhan masyarakat, sebagai suatu penentangan terhadap kepentingan perseorangan atau kelompok terpisah.
Josefh A. Schmeter menyebutkan, “demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai suatu keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk menentukan dan memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat”, sedangkan Sidney Hook, menyebutkan “demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa”, adapun Philippe C. Schmiiter dan Terry Lynn Karl menyebutkan bahwa “demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai pertanggungjawaban atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama para wakil mereka yang telah terpilih”.
U. Ubaidillah, , Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), hlm: 162
Dari pendapat para ahli di atas terdapat benang merah atau titik singgung tentang pengertian demokrasi, yaitu rakyat sebagai pemegang kekuasaan, pembuat dan penentu keputusan dan kebijaksanaan tertinggi dalam penyelenggaran negara dan pemerintahan serta pengontrol terhadap pelaksanaan kebijakannya baik yang dilaksanakan secara langsung oleh rakyat atau mewakilimya melalui lembaga perwakilan. Karena itu negara yang menganut sistem demokrasi diselengarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat mayoritas serta tidak mengesampingkan rakyat minoritas.
Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa negara yang negara yang menganut asas demokrasi, maka kekuasaan pemerintah berada di tangan rakyat. Pada negara yang menganut asas demokrasi ini didalamnya mengandung unsur; pemerintahan dari rakyat (government of the people), pemerintahan oleh rakyat (government by the people), dan pemerintahan untuk rakyat (government for the people).
Moh Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gama Media,1999), hlm: 8
Pengertian Pemilu
Pemilihan umum adalah merupakan institusi pokok pemerintahan perwakilan yang demokratis, karena dalam suatu negara demokrasi, wewenang pemerintah hanya diperoleh atas persetujuan dari mereka yang diperintah. Mekanisme utama untuk mengimplementasikan persetujuan tersebut menjadi wewenang pemerintah adalah melalui pelaksanaan pemilihan umum yang bebas, jujur dan adil, khususnya untuk memilih presiden / kepala daerah. Bahkan dinegara yang tidak menjunjung tinggi demokrasi sekalipun, pemilihan umum diadakan untuk memberi corak legitimasi kekuasaan (otoritas).
Marzuki, Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat Pada DPRD-DPRD Di Provinsi Sumatera Utara, Studi Konstitusional Peran DPRD Pada Era Reformasi Pasca Pemilu 1999, Disertasi, (Medan: Program Pasca Sarjana USU, 2007), hlm. 143.
Oleh karena itu, pemilihan umum yang dituntut demokrasi bukanlah sembarang pemilihan umum, akan tetapi pemilihan umum dengan syarat-syarat tertentu. Pemilihan umum yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut hanyalah merupakan simbol belaka yang tidak banyak artinya bagi perkembangan demokrasi. Meskipun ketentuan perundang-undangan yang ada memang sudah memberikan syarat-syarat tersebut, sebagaimana misalnya istilah langsung, umum, bebas, rahasia yang bila dilaksanakan sesuai arti yang terkandung didalamnya sudah menjamin terselenggaranya pemilihan umum yang demokratis, akan tetapi yang diperlukan adalah meningkatkan kualitas pemilihan umum dari pemilihan umum ke pemilihan umum, sehingga pemilihan umum yang diadakan semakin lama semakin baik.
Dengan demikian, pemilihan umum yang demokratis haruslah diselenggarakan dalam suasana keterbukaan, adanya kebebasan berpendapat dan berserikat, atau dengan perkataan lain pemilihan umum yang demokratis harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
Sebagai aktualiasi dari prinsip keterwakilan politik.
Aturan permainan yang fair.
Dihargainya nilai-nilai kebebasan.
Diselenggarakan oleh lembaga yang netral atau mencerminkan berbagai kekuatan politik secara proporsional.
Tiadanya intimidasi.
Adanya kesadaran rakyat tentang hak politiknya dalam pemilihan umum.
Mekanisme pelaporan hasilnya dapat dipertanggungkawabkan secara moral dan hukum.
Rusli M. Karim, Pemilu Demokratis Kompetitif, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1991), hlm. 37
Dalam hubungan yang demikian, maka pemilihan umum sangat erat kaitannya dengan sistem pemilihan umum (electoral system). Akan tetapi, berkaitan dengan electoral system tersebut harus dibedakan antara electoral laws dengan electoral process. Didalam ilmu kepemiluan yang disebut dengan electoral laws adalah proses pembentukan pemerintahan melalui pilihan sistem pemilihan umum yang diartikulasikan kedalam suara, dan kemudian suara tersebut diterjemahkan kedalam pembagian kewenangan pemerintahan diantara partai politik yang bersaing.
Dahlan Thaib dan Ni’matul Huda, Pemilu dan Lembaga Perwakilan Dalam Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: Jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1992), hlm. 31.
Berdasarkan pandangan yang demikian, electoral laws berkenaan dengan sistem pemilihan dan aturan yang menata jalannya pemilihan umum serta distribusi hasil pemilihan umum. Dalam kaitan ini sistem pemilihan umum adalah rangkaian aturan yang menurutnya pemilih mengekspresikan prefensi politik mereka, dan suara pemilih diterjemahkan menjadi kursi. Defenisi ini mengisyaratkan bahwa sistem pemilihan umum mengandung elemen-elemen struktur kertas suara dan cara pemberian suara, besar distrik serta penerjemahan suara menjadi kursi. Dengan demikian hal-hal seperti administrasi pemilihan umum dan hak pilih, walaupun penting berada diluar lingkup pembahasan sistem pemilihan umum.
Dahlan Thaib dan Ni’matul Huda, Op.cit, hlm. 31
Sedangkan electoral process adalah menyangkut mekanisme yang dijalankan didalam mengelola pemilihan umum, mulai dari pendaftaran pemilih, pencalonan, kampanye (baik yang menyangkut isi, tema, prosedur, dan teknik) pemberian suara, serta penghitungan suara.
Abdul Bari Azed, Sistem-Sistem Pemilihan Umum, Suatu Himpunan Pemikiran, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000), hlm. 72.
Sistem Pemilu
Polarisasi partai politik sedikit banyak juga dipengaruhi oleh sistem pemilunya, ada dua sistem pemilihan umum, yaitu: perwakilan distrik/mayoritas (single member constituency) dan sistem perwakilan berimbang (proportional representation)
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, jilid II, (Jakarta: Sekretarian Jenderal dan Kepanitiaan MK RI, 2006 ) hlm. 182.
Sistem Distrik
Sistim ini merupakan sistim pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis yang dinamakan sebagai distrik memperoleh satu kursi di parlemen. Negara diabagi kedalam wilayah/distrik yang sama jumlah penduduknya. Dalam sistem ini, calon yang mendapatkan suara terbanyak yang akan menjadi pemenang, meskipun selisih dengan calon lain hanya sedikit. Suara yang pendukung calon lain akan dianggap hilang dan tidak dapat membantu partainya untuk mendapatkan jumlah suara partainya di distrik lain
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, edisi revisi, cet ke 6, (Jakarta: Gramedia, 2013), hlm. 462 .
Beberapa keunggulan dari sistim distrik
Ibid., hlm. 466-467:
Sistim ini lebih mendorong ke arah integrasi parpol karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan dapat mendorong parpol menyisihkan perbedaan yang ada dan mengadakan kerjasama.
Fragmentasi partai dan kecenderungan partai baru dapat dibendung dan akan mendorong ke arah penyederhanaan partai tanpa ada paksaan. Di Amerika dan Inggris sistem ini telah menunjang bertahanya sistem dwi partai.
Karena kecilnya distrik, wakil yang dipilih dapat dikenal oleh komunitasnya sehingga hubunganya dengan konstituen lebih erat dan orang yang tekah terpilih akan cenderung memperjuangkan kepentingan distriknya.
Bagi partai besar, sistem ini menguntungkan karena melalui distortion effect dapat meraih suara dari pemilih-pemilih lain, sehingga memperoleh dukungan mayoritas. Sehingga partai pemenang dapat mengendalikan parlemen
Lebih mudah bagi partai pemenang untuk menguasai parlemen sehingga tidak perlu mengadakan koalisi
Sistem distrik memang akan mengarahkan penyederhanaan partai secara alami, namun sistem ini juga tidak luput dari kelemahan, diantaranya sebagai berikut:
Kurang memperhatkan kepentingan partai kecil dan golongan minoritas
Kurang representatif, karena partai yang calonnya kalah dalam suatu distrik akan kehilangan suarau yang telah mendukungnya
Sistem distrik kurang efektif dalam masyarakat yang plural karena terbagi dalam berbagai kelompok dan suku.
Sistem Proporsional
Dalam sistim ini, presentase kursi di lembaga perwakilan rakyat dibagikan kepada tiap-tiap parpol sesuai dengan presentase jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap parpol. Jimly Asshidiqie mencontohkan model dari sistim ini, misalkan jumlah pemilih yang sah dalam pemilu 1 juta orang sedangkan jumlah kursi di perwakilan rakyat 100 kursi, maka untuk satu orang wakil rakyat membutuhkan 10 ribu suara
Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 183. Pembagian kursi di parlemen tergantung seberapa suara yang diperoleh setiap parpol.
Kelebihan/keuntungan sistem proporsional:
Sistem proporsional dianggap representatif karena jumlah kursi partai dalam parlemen sesuai dengn jumlah suara masyarakat yang diperoleh dalam pemilu
Sistem ini dianggap lebih demokratis karena tidak ada distorsi (kesenjangan antara suara nasional dan jumlah kursi dalam parlemen tanpa adanya suara yang hilang). Semua golongan dalam masyarakat memperoleh peluang untuk menampilkan wakilnya dalam parlemen
Kelemahan/kerugian sistem proporsional:
Kurang mendorong partai untuk berintegrasi atau bekerja sama satu sama lain dan memanfaatkan persamaan-persamaan yang ada, tapai cenderung mempertjam perbedaan-perbedaan. Sehingga berakibat pada bertembahnya jumlah partai
Memberikan kedudukan yang kuat pada pimpinan partai menentukan daftar calon
Hal ini berlaku jika menggunakan sistem nomor urut, sehingga yang diuntungkan adalah nomor urut yang pertama. Tetapi yang terjadi di Indonesia sekarang menggunakan sistem terbukan dengan suara terbanyak, sehingga hal ini tidak terlalu berpengaruh. .
Oleh karena banyaknya partai yang bersaing, maka akan menyulitkan suatau partai untuk meraih suara mayoritas (50% lebih)
Miriam Budiardjo, op. cit., hlm. 469
Sistim proporsional ada dua, yaitu sistim daftar tertutup dan daftar terbuka. Dalam sistim daftar tertutup, para pemilih harus memilih partai politik dan bukan calon legislatifnya. Sedangkan dalam sistim daftar terbuka, selain memilih gambar parpol para pemilih juga memilih gambar kandidat yang diusung oleh parpol tersebut
Novi Hendra, Sistem Pemilihan Umum, http://www.slideshare.net/Hennov/sistem-pemilihan-umum, akses tanggal 19 Februari 2013 .
Gabungan sistem distrik dan sistem proporsional
Karena dari kedua sistem di atas mempunyai kelebihan dan kekuarangan masing-masing, maka beberapa negara mencoba untuk menggabungkan kedua sistem tersebut. Jerman adalah salah satu contoh negara yang berhasil menerapkan gabungan kedua sistem ini, di Jerman setengah dari parlemen dipilih dengan sistem distrik dan setengahnya lagi dengan sistem proporsional. Setiap pemilih mempunyai dua suara; pemilih memilih calon atas dasar sistem distrik (sebagai suara pertama) dan pemilih juga memilih partai dengan dasar sistem proporsional (sebagai suara kedua). Di Jerman juga diterapkan model parliamentary threshold sebagaimana yang kita kenal sekarang. Di sana, sebuah partai akan mempunyai kursi di parlemen jika meraih minimal 5% dari jumlah suara sah secara nasional atau memenagnkan setidaknya 3% distrik pemilihan
Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 472.
Perjalanan Sistem Pemilu di Indonesia
Sejak dulu sampai sekarang Indonesia tidak pernah berhenti mencari sistem pemilu yang benar-benar cocok. Namun yang pasti, sejak dahulu sampai sekarang Indonesia selalu menerapkan model proporsional meskipun belakangan ini model proporsional yang berlaku bukan semurni asalnya. Pada tahun 1955 pemilu diadakan dua kali; memilih anggota DPR pada bulan September dan memlih anggota Konstituante pada bulan Desember dengan model proporsional karena pada waktu itu hanya sistem proporsional yang dikenal di Indonesia. Pemilu tersebut menghasilkan 27 partai dan satu perorangan, partai yang sangat menonjol adalah Masyumi, PNI, NU dan PKI
Ibid., hlm. 474.
Pada tahun 1966 dan 1967 sistem distrik sudah mulai didiskusikan, pada saat itu, sistem distrik dirasa dapat mengurangi jumlah partai secara alamiah. Namun hasil tersebut ditolak ketika pada tahun 1967 DPR membahas RUU yang terkait dengannya. Sehingga pemilu tahun 1971 masih tetap menggunakan sistem proporsional dengan beberapa modifikasi. Pertama, setiap daerah tingkat II/Kabupaten dijamin mendapatkan satu kursi di DPR. Kedua, dari 460 anggota DPR, 100 diangakat; 75 dari ABRI dan 25 dari Non-ABRI yang diangkat dari utusan golongan dan daerah. Pada tahun 1971, pemilu diikuti oleh 10 partai politik
Ibid., hlm. 475.
Pada tahun 1973 Soeharto menyuruh agar partai yang ada melakukan fusi, sehingga pada pamilu tahun 1977 anggota pemilu hanya tiga partai, yakni Golkar, PPP dan PDIP. Setelah reformasi bergulir, ada sedikit perbedaan dalam susunan parlemen dan model pemilihanya. DPD dipilih dengan model distrik, sedangkan DPR dan DPRD masih menggunakan sistem proporsional daftar terbuka. Pada pemilu 2004, ada unsur distrik dalam model proprsionalnya, yakni suara perolehan suatu partai sisebuah Dapil yang tidak cukup untuk satu bilangan pembagi pemilih (BPP) tidak bisa ditambahkan ke perolehan partai di Dapil lain
Ibid., hlm. 488.
Mencari Sistem Pemilu Yang Terbaik
Pada pemilu 1999 Indonesia menggunakan sistim proporsional tertutup, tahun 2004 menggunakan sistim proporsional semi terbuka. Dinamakan dengan semi terbuka karena penentuan siapa yang akan mewakili partai dalam perolehan kursi di parlemen tidak didasarkan pada perolehan suara terbanyak melainkan tetap berdasarkan nomor urut
Wirat Sasongko, Sistem Pemilihan Umum di Indonesia, http://suci.blog.fisip.uns.ac.id/2012/04/20/32/, akses tanggal 1 Juli 2015. Tahun 2009 menjadi proporsional daftar terbuka setelah MK mengabulkan judicial review dengan menghapuskan pasal 214 UU No 10 th 2008 yang mengatur penetapan caleg berdasarkan nomor urut jika tidak memenuhi ketentuan 30 % dari BPP. Pada tahun 2009 calon dipilih sesuai dengan suara terbanyak sehingga proporsional daftar terbuka benar-benar diterapkan. Sistim proporsional daftar terbuka dapat juga dikatakan sebagai sistim semi distrik, sebab sistim ini mengkombinasikan ciri-ciri atau lebih tepatnya kelebihan-kelebihan yang terdapat dalam sistem distrik dan proporsional, sekaligus menimalisir kekurangan yang ada pada keduanya
Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 107.
Pada pemilu 2004, 2009, dan 2014, sisa suara yang terdapat dalam suatu dapil tidak bisa ditambahkan ke dapil lain. Sisa kursi akan diberikan kepada sisa suara terbanyak namun tidak mencapai BPP. Sebagai contoh, partai A mendapatkan suara 150.000 sedangkan BPPnya 10.000, maka partai tersebut akan mendapatkan 10 kursi. Sedangkan sisa 5000 kursinya tidak bisa ditambahkan ke dapil lain. Jika dalam dapil tersebut sisa suara dari berbagai partai yang paling banyak adalah 5000 suara, maka sisa kursinya diserahkan kepada partai A.
Mengenai pengaruh dari sistim pemilu dan keberadaan partai, Maurice Duverger berpendapat bahwa sistim distrik cenderung mendorong terbentuknya dua partai, sedangkan sistim proporsional cenderung mendorong terbentuknya sistim multi partai. Sistim proporsional cenderung memperbesar fraksionalisme dan mendorong terbentuknya partai-partai kecil, sehingga ia berkeyakinan kalau sistim proporsional kondusif bagi bekembangnya multi partai
Ibid. hlm. 106.
Untuk mengurangi banyaknya partai yang tumbuh dalam sistem proporsional, Indonesia menerapkan electoral threshold dan parliamentary threshold. Pada pemilu tahun 1999 Indonesia menggunakan electoral threshold sebagaimana yang terdapat dalam pasal 39 UU No 3 tahun 1999 yang menegaskan bahwa partai politik harus memiliki 2% dari kursi DPR atau 3% kursi DPRD I atau II sekurang-kurangnya di setengah jumlah propinsi dan kabupaten seluruh Indonesia. Batas electoral threshold dalam pemilu 2004 naik lagi menjadi 3% dari kursi DPR dan 4% kursi DPRD yang tersebar di setengah jumlah provinsi atau kabupaten di Indonesia
Pasal 9 UU No 12 th 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Mengenai pembatasan partai politik, dalam UU pemilu 2009 yakni UU No 10 tahun 2008, ketentuan parliamentary threshold mulai diberlakukan yang diatur dalam pasal 202. Dengan mulai digunakannya parliamentary threshold, maka ketentuan electoral threshold mulai dihilangkan.
Pemilu tahun 2014 diatur dengan UU No 8 tahun 2012. Dalam UU teresebut, besaran PT yang pada 2009 sebesar 2.5 % dinaikkan menjadi 3.5%, hal ini diharapkan dapat membuat parlemen lebih ramping. Sebagaimana yang ada, partai yang berhasil lolos menjadi peserta pemilu tingkat pusat hanya 12. Yang membedakan pemilu 2014 dan pemilu sebelumnya adalah adanya verifikasi yang ketat bagi semua parpol, baik yang sudah ada di parlemen maupun parpol baru. Pada mulanya ambang batas parliamentary threshold sekaligus akan dijadikan electoral threshold, namun setelah MK mengeluarkan putusan No.52/PUU-X/2012 semua parpol mengkuti tahapan-tahapan verifikasi. Putusan tersebut menguatkan perspektif dalam proses penyederhanaan partai, yakni dengan menghapuskan ketentuan electoral threshold dan diganti dengan parliamentary threshold sekaligus tahapan-tahapan verfikasi bagi semua parpol. Terkait hal ini, Saldi Isra Pernah menuliskannya dalam sebuah opini di harian Kompas
Saldi Isra, “Sembilan Tambah Satu”, Kompas, 15 januari 2013,
“secara jujur harus diakui, sepanjang pelaksanaan pemilu setelah reformasi, verifikasi faktual untuk keseluruhan parpol calon peserta pemilu baru kali ini dilaksanakan. Misalnya, pada pemilu 2004, parpol peserta pemilu 1999 yang memperoleh 2 persen atau lebih jumlah kursi DPR atau paling kurang 3 persen jumlah kursi DPRD ditetapkan sebagai peserta pemilu tanpa verifikasi. Sementara parpol yang bergabung dengan sesama yang tak memenuhi ambang batas diverifikasi terbatas. Verifikasi lebih ketat hanya ditujukan kepada parpol baru. Dalam pemilu 2009, parpol peserta pemiluu 2004 yang memperoleh minimal 3 persen kursi DPR atau paling kurang 4 persen kursi DPRD secara otomatis menjadi peserta pemilu.”
Sistem proporsional daftar terbuka dengan suara terbanyak, peningkatan parliamentary threshold dan semakin ketatnya persyaratan bagi partai untuk mengikuti pemilihan umum memang dirasakan lebih demokratis dibandingkan menggunakan sistem lainnya yang telah digunakan di Indonesia.
Meski saat ini banyak yang menginginkan sistem pemilu Indonesia kembali ke sistem proporsional tertutup namun mengingat pengalaman masa lalu, maka proporsional daftar terbuka masih layak dipertahankan. Sebagai pengingat, kuatnya pengaruh partai politik dalam menentukan wakil rakyat sebagaimana yang ada dalam sistem proporsional tertutup adalah alasan Indonesia beralih ke sistem yang sekarang. Mungkin sistem yang digunakan sekarang masih ada kekurangan, namun setidaknya sistem ini lebih mengakomodir suara rakyat dibanding sistem lainnya.
Penutup
Kesimpulan
Implemestasi kedaulatan rakyat di Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 dilaksanakan oleh lembaga-lembaga yang dibentuk dan diisi oleh wakil-wakil rakyat atau atas pilihan wakil rakyat. Dengan kata lain, kedaulatan rakyat di Indonesia dilaksanakan oleh orang-orang yang benar-benar mengikutsertakan peran rakyat dalam pengisian posisinya. Hal ini sesuai dengan doktrin dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat sebagaimana digaungkan oleh pelopor kedaulatan rakyat.
Karena dalam pelaksanaan pemerintahan rakyat diwakili oleh lembaga-lembaga sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, dengan demikian jelas bahwa demokrasi tidak langsunglah yang diterapkan bangsa Indonesia. Hal ini lebih sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia yang memiliki demografi majemuk dan wilayah kekuasaan yang luas. Demokrasi tak langsung sendiri berarti bahwa seluruh rakyat memilih perwakilan mereka melalui pemilihan umum (pemilu) untuk menyampaikan pendapat dan sebagai pengambil keputusan bagi mereka. Demokrasi tak langsung intinya semua rakyatnya memiliki hak dan daulat, namun kedaulatannya tersebut diwakilkan melalui perwakilan sehingga disebut dengan demokrasi tak langsung (perwakilan).
Agar bisa memilih wakil untuk menjalankan pemerintahan, maka diperlukan sebuah mekanisme yang menjamin aspirasi masyarakat tanpa kecuali. Mekanisme yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 untuk menjamin hal tersebut adalah pemilihan umum. Sejak diadakanya pemilihan umum, Indonesia masih tetap menggunakan sistem proporsional dengan berbagai tambahan warna distrik. Kini, Indonesia memilih sistem proporsional daftar terbuka dengan suara terbanyak senbagai sistem pemilihan umum. Selain itu, digunakan juga parliamentary threshold yang kian meningkat setiap tahun dan semakin ketatnya persyaratan bagi partai untuk mengikuti pemilihan umum. Hal tersebut semata semata demi menjaga marwah demokrasi bagi Indonesia.
Saran
Bangsa Indonesia harus tetap menjalankan sistem demokrasi sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Hal ini wajib dilakukan demi tetap tegaknya bangsa ini dalam menjalankan sistem demokrasi.
Meski banyak pihak yang menggaungkan untuk kembali pada sistem pemilihan umum proporsional daftar tertutup, namun sejatinya sistem proporsional daftar terbuka memiliki keunggulan dari sisi terpenuhinya hak rakyat. Memang saat ini sistem pemilu di Indonesia masih banyak kekurangan, namun bukan berarti harus menggantinya.
Justru yang harus dilakukan adalah memperkuat sistem peraturan yang mengiringi sistem pemilu ini agar pesta demokrasi di Indonesia kian bersih dari praktek-praktek pelanggaran yang selama ini dianggap biasa terjadi. Bangsa Indonesia juga harus mau terus menggali dan mencari hal-hal terkait demokrasi demi menyempurnakan sistem yang ada sehingga bisa benar-benar sesuai dengan kepribadian dan sesuai dengan tujuan bangsa Indonesia.
Daftar Pustaka
Buku dan Artikel
Abdulgani, Ruslan, Beberapa Catatan tentang Pengamalan Pancasila dengan Penekanan kepada Tinjauan Sila ke-4 yaitu Demokrasi Pancasila, dalam Demokrasi Indonesia Tinjauan Politik, Sejarah, Ekonomi-Koperasi dan Kebudayaan, Yogkarta: Widya Patria. 1995.
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, jilid II, Jakarta: Sekretarian Jenderal dan Kepanitiaan MK RI, 2006
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, jilid II, Jakarta: Sekretarian Jenderal dan Kepanitiaan MK RI, 2006
Asshiddiqie, Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar Grafika, tahun.
Azed, Abdul Bari, Sistem-Sistem Pemilihan Umum, Suatu Himpunan Pemikiran, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2000.
Isra, Saldi, Sembilan Tambah Satu, Kompas, 15 januari 2013.
MD, Mahfud, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gama Media. 1999.
Mainwaring, Scott, Presidentialism, Multiparty Sistems and Democracy: The Difficult Equation, Working Paper #144-September 1990.
Marzuki, Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat Pada DPRD-DPRD Di Provinsi Sumatera Utara, Studi Konstitusional Peran DPRD Pada Era Reformasi Pasca Pemilu 1999, Disertasi, Medan: Program Pasca Sarjana USU.2007.
Pide, Andi Mutari, Pengantar Hukum Tata Negara, Jakarta: Wildan Akademika dan Universitas Ekasakti Press. 2008.
Sukarna, Sistem Politik, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.1990.
U. Ubaidillah, Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Jakarta Press.2000.
Yuda AR, Hanta, Presidensialisme Setengah Hati, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010
Peraturan Perundang-Undangan dan Putusan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
UU No. 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum
UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD
UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD
UU No. 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD
Putusan Mahkamah Konstitusi No.52/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang No. 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD
Internet
Hendra, Novi, Sistem Pemilihan Umum, http://www.slideshare.net/Hennov/sistem-pemilihan-umum, akses tanggal 1 Juli 2015
Sasongko, Wirat, Sistem Pemilihan Umum di Indonesia, http://suci.blog.fisip.uns.ac.id/2012/04/20/32/ akses tanggal 1 Juli 2015
21