BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN
A. Istilah dan Pengertian Hukum Jaminan
Istilah hukum jaminan merupakan terjemahan dari security of law,
zekerheidstelling, atau zekerheidsrechten. Istilah hukum jaminan meliputi jaminan
kebendaan maupun perorangan. 11 Jaminan kebendaan meliputi utang-piutang
yang diistimewakan, gadai, dan hipotek. Sedangkan jaminan perorangan, yaitu
penanggungan utang (borgtocht).
Sehubungan dengan pengertian, beberapa pakar merumuskan pengertian
umum mengenai hukum jaminan. Pengertian itu antara lain menurut Satrio,
hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan
piutang seorang kreditur terhadap seorang debitur. Intinya hukum jaminan adalah
hukum yang mengatur tentang jaminan piutang seseorang. Disamping itu, Salim
HS juga memberikan perumusan tentang hukum jaminan, yaitu keseluruhan
kaidah – kaidah hukum yang mengatur hubungan antara pemberi dan penerima
jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan
fasilitas kredit.
Dari dua pendapat perumusan pengertian hukum jaminan di atas dapat
disimpulkan inti dari hukum jaminan adalah ketentuan hukum yang mengatur
hubungan hukum antara pemberi jaminan atau debitur dengan penerima jaminan
11
Keputusan Seminar Hukum Jaminan yang diselenggarakan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman bekerja sama dengan Fakultas
Hukum UGM, tanggal 9-11 Oktober 1978, di Yogyakarta.
Universitas Sumatera Utara
atau kreditur sebagai pembebanan suatu utang tertentu atau kredit dengan suatu
jaminan (benda atau orang tertentu).
Berdasarkan pengertian di atas, unsur-unsur yang terkandung didalam
perumusan hukum jaminan, yakni sebagai berikut.
1. Serangkaian ketentuan hukum, baik yang bersumberkan kepada ketentuan
hukum yang tertulis dan ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan
hukum jaminan yang tertulis adalah ketentuan hukum yang berasal dari
peraturan perundang-undangan, termasuk yurisprudensi, baik itu berupa
peraturan yang original (asli) maupun peraturan yang derivatif (turunan).
Adapun ketentuan hukum jaminan yang tidak tertulis adalah ketentuan
hukum yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan
pembebanan utang suatu jaminan.
2. Ketentuan hukum jaminan tersebut mengatur mengenai hubungan hukum
antara pemberi jaminan (debitur) dan penerima jaminan (kreditur).
Pemberi jaminan yaitu pihak yang berutang dalam suatu hubungan utangpiutang tertentu, yang menyerahkan suatu kebendaan tertentu sebagai
(benda) jaminan kepada penerima jaminan (kreditur).
3. Adanya jaminan yang diserahkan oleh debitur kepada kreditur.
4. Pemberian jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan dimaksudkan
sebagai jaminan (tanggungan) bagi pelunasan utang tertentu.
Universitas Sumatera Utara
B. Sumber dan Sistem Hukum Jaminan Dalam Kitab Undang - Undang
Hukum Perdata
Sumber hukum adalah tempat dimana ditemukan hukum. Dalam hal ini,
hukum jaminan bersumber dari Kitab Undang - Undang Hukum Perdata. Kitab
Undang - Undang Hukum Perdata sebagai terjemahan dari Burgerlijk Wetboek
merupakan kodifikasi hukum perdata material yang diberlakukan pada tahun 1848
berdasarkan asas konkordansi.
Ketentuan hukum jaminan dapat dijumpai dalam buku II Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang mengatur mengenai hukum kebendaan. Dilihat dari
sistematika Kitab Undang - Undang Hukum Perdata, pada prinsipnya hukum
jaminan merupakan bagian dari hukum kebendaan, sebab dalam Buku II Kitab
Undang - Undang Hukum Perdata diatur mengenai pengertian, cara membedakan
benda dan hak-hak kebendaan, baik yang memberikan kenikmatan dan jaminan.
Ketentuan dalam pasal-pasal buku II Kitab Undang - Undang Hukum
Perdata yang mengatur mengenai lembaga dan ketentuan hak jaminan dimulai
dari Titel Kesembilan Belas sampai dengan Titel Dua Puluh Satu, Pasal 1131
sampai dengan Pasal 1232. Dalam pasal-pasal Kitab Undang - Undang Hukum
Perdata tersebut diatur mengenai piutang-piutang yang diistimewakan, gadai, dan
hipotek. Secara rinci materi kandungan ketentuan-ketentuan hukum jaminan yang
termuat dalam buku II Kitab Undang - Undang Hukum Perdata tersebut, sebagai
berikut:
a. Bab XIX
: Tentang Piutang-Piutang Diistimewakan (Pasal 1131
sampai dengan Pasal 1149); Bagian Kesatu tentang Piutang-Piutang yang
Diistimewakan Pada Umumnya (Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1138);
Universitas Sumatera Utara
Bagian Kedua tentang Hak-Hak Istimewa mengenai Benda-Benda
Tertentu (1139 sampai dengan Pasal 1148); Bagian ketiga atas Semua
Benda Bergerak dan Benda Tidak Bergerak Pada Umumnya (Pasal 1149);
b. Bab XX
: Tentang Gadai (Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160,
Pasal 1161 dihapuskan).
c. Bab XXI
: Tentang Hipotek (Pasal 1162 sampai dengan Pasaal
1232); Bagian Kesatu tentang Ketentuan-Ketentuan Umum (Pasal 1162
sampai dengan Pasal 1178); Bagian Kedua tentang PembukuanPembukuan Hipotek serta Bentuk Cara Pembukuannya (Pasal 1179
sampai dengan Pasal 1194); Bagian Ketiga tentang Pencoretan
Pembukuan (Pasal 1195 sampai dengan 1197); Bagian Keempat tentang
Akibat-Akibat Hipotek Terhadap Orang Ketiga yang menguasai benda
yang Dibebani (Pasal1198 sampai dengan Pasal 1208); Bagian Kelima
tentang hapusnya Hipotek (1209 sampai dengan Pasal 1220); Bagian
Keenam tentang Pegawai-Pegawai yang Ditugaskan Menyimpan Hipotek,
Tanggung Jawab Pegawai-Pegawai yang Ditugaskan Menyimpan Hipotek
dan Hal Diketahuinya Register-Register oleh Masyarakat (Pasal 1221
sampai dengan Pasal 1232).
Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah,
maka pembebanan hipotek atas hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan
dengan tanah tidak lagi menggunakan lembaga dan ketentuan hipotek
sebagaimana diatur dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 Kitab
Undang - Undang Hukum Perdata. Sementara itu pembebanan hipotek atas benda-
Universitas Sumatera Utara
benda tidak bergerak lainnya selain hak atas tanah beserta benda-benda yang
berkaitan dengan tanah, hipotek kapal laut misalnya, tetap menggunakan lembaga
dan ketentuan-ketentuan hipotek sebagaimana diatur dalam Pasal 1162 sampai
dengan Pasal 1232 Kitab Undang - Undang Hukum Perdata.
Selain mengatur hak jaminan kebendaan, dalam Kitab Undang - Undang
Hukum Perdata diatur pula mengenai jaminan hak perseorangan, yaitu
penanggungan utang (borghtocht) dan perikatan tanggung-menanggung. Jaminan
hak perseorangan ini diatur ’’yaitu pada Titel Ketujuh Belas dengan judul
“Penanggungan Utang”, yang dimulai dari Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850.
Pasal-pasal tersebut mengatur mengenai pengertian dan sifat penanggungan utang,
akibat-akibat penanggungan utang antara debitur (yang berutang) dan penjamin
(penanggung) utang serta antara para penjamin hutang dan hapusnya
penanggungan utang. Secara rinci kandungan materi yang terdapat dalam Pasal
1820 sampai dengan Pasal 1850 Titel Ketujuh Belas Buku III Kitab Undang Undang Hukum Perdata sebagai berikut:
Bab Ketujuh Belas tentang penanggungan utang
Bagian Kesatu tentang Sifat Penanggungan (Pasal 1820 sampai dengan Pasal
1830);
Bagian Kedua tentang Penanggungan Antara Debitur dan Penanggungan Utang
(Pasal 1831 sampai dengan Pasal 1838);
Bagian Ketiga tentang Akibat-Akibat Penanggungan Antara Debitur dan
Penanggung Utang dan Antara Penanggung Utang Sendiri (Pasal 1839 sampai
dengan Pasal 1844);
Universitas Sumatera Utara
Bagian Keempat tentang Hapusnya Penanggungan Utang (Pasal 1845 sampai
dengan Pasal 1850).
Selain itu didalam Buku III Kitab Undang - Undang Hukum Perdata juga
diatur mengenai jaminan hak perseorangan lainnya, yaitu
a) Perikatan
Tanggung-menanggung
(Perikatan
Tanggung
Renteng)
sebagaimana diatur dalam Titel Kesatu Bagian Kedelapan dari Pasal 1278
sampai dengan Pasal 1295 di bawah judul “tentang Perikatan-Perikatan
Tanggung Renteng atau Perikatan-Perikatan Tanggung-menanggung”;
b) Pejanjian Garansi sebagaimana diatur dalam Pasal 1316 Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
Dengan demikian ketentuan-ketentuan hukum jaminan dalam Kitab
Undang - Undang Hukum Perdata tidak hanya bersumber kepada Buku II,
melainkan juga bersumber kepada Buku III, yaitu mengatur hak jaminan
kebendaan dan hak jaminan perseorangan.
Pada umumnya jenis-jenis lembaga jaminan yang dikenal dalam sistem
hukum Indonesia dikelompokkan menjadi :
(1) Menurut cara terjadinya, yaitu jaminan yang lahir karena undang-undang
dan perjanjian;
(2) Menurut sifatnya, yaitu jaminan yang bersifat kebendaan dan bersifat
perorangan;
(3) Menurut kewenangan menguasainya, yaitu jaminan yang menguasai
bendanya dan tanpa menguasai bendanya,
(4) Menurut bentuk golongannya, yaitu jaminan yang tergolong jaminan
umum dan jaminan khusus
Universitas Sumatera Utara
C. Kedudukan Jaminan Produk (Garansi) Dalam Sistem Kitab Undang Undang Hukum Perdata
Bila dilihat dari pengelompokan jenis-jenis lembaga jaminan diatas, maka
sesuai uraian diatas maka kedudukan jaminan produk dalam sistem hukum
Indonesia dikelompokkan kedalam kelompok yang terjadinya akibat perjanjian
dan sifatnya merupakan jaminan perorangan. Sebelum kedudukan jaminan produk
(garansi) dalam sistem Kitab Undang - Undang Hukum Perdata diuraikan, terlebih
dahulu dijelaskan apa yang dimaksud dengan Jaminan Produk itu sendiri.
1. Pengertian Jaminan Produk (Garansi)
Jaminan Produk atau yang lazim disebut dengan kata garansi adalah surat
keterangan dari suatu produk bahwa pihak produsen menjamin produk tersebut
bebas dari kesalahan pekerja dan kegagalan bahan dalam jangka waktu tertentu.12
Biasanya pelanggan sebagai pengguna terakhir dan penjual melengkapi
pengisian data pada surat keterangan tersebut untuk kemudian dikirim ke
produsen agar didaftarkan tanggal mulai periode jaminan produk atau pun
garansinya.
Adrian Sutedi mengemukakan pengertian jaminan produk (warranty)
adalah suatu jaminan atau garansi bahwa barang-barang yang dibeli akan sesuai
dengan standar kualitas produk tertentu.13 Misalnya laptop, maka jaminan yang
dimaksud adalah jaminan atau garansi bahwa barang – barang yang dibeli sesuai
dengan standar kualitas produk laptop. Jika standart itu tidak dipenuhi, maka
12
http://id.wikipedia.org/wiki/Garansi/2009/01/02 diakses pada tanggal 30
September 2010, Wikipedia Indoesia, “Garansi”,
13
Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk (dalam Hukum Perlindungan
Konsumen), (Bogor : Ghalia Indonesia, 2008). Hal. 75.
Universitas Sumatera Utara
pembeli atau konsumen dapat memperoleh ganti rugi dari pihak produsen /
penjual.
Istilah jaminan produk dalam Bahasa Inggris sering kita dengar dengan
kata “warranty”.
2. Macam – Macam Jaminan Produk (Garansi)
Jaminan atas kualitas produk dapat dibedakan atas dua macam, yaitu sebagai
berikut.14
1. Express Warranty (Jaminan secara tegas)
Express Warranty adalah suatu jaminan atas kualitas produk, baik
dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dengan adanya express warranty
ini, berarti produsen sebagai pihak yang menghasilkan barang (produk)
dan juga penjual sebagai pihak yang menyalurkan barang atau produk dari
produsen
atau
pembeli
bertanggung
jawab
untuk
melaksanakan
kewajibannya terhadap adanya kekurangan atau kerusakan dalam produk
yang dipasarkan. Dalam hal demikian, konsumen dapat mengajukan
tuntutannya berdasarkan wan prestasi.
2. Implied Warranty
Implied warranty adalah suatu jaminan yang dipaksakan oleh undang –
undang atau hukum, sebagai akibat otomatis dari penjualan barang –
barang dalam keadaan tertentu. Jadi, dengan implied warranty dianggap
bahwa jaminan ini selalu mengikuti barang yang dijual, kecuali dinyatakan
lain. Misalnya, kewajiban penjual untuk menanggung cacat tersembunyi
(verborgen gebrek) pada barang yang dijualnya, meskipun ia tidak
14
Ibid. Hal.75.
Universitas Sumatera Utara
mengetahui adanya cacat tersebut, kecuali ia dalam keadaan demikian
telah minta diperjanjikan bahwa ia tidak diwajibkan menanggung suatu
apapun (pasal 1506 Kitab Undang - Undang Hukum Perdata)
3. Jaminan Produk (Garansi) sebagai Bentuk Layanan Purna Jual
Dalam pengertian
dan prakteknya,
jaminan
produk
baru
dapat
menjalankan fungsinya sebagai penjamin atas kualitas atau mutu barang pada saat
setelah proses jual – beli terlaksana. Sebab perjanjian jaminan Produk merupakan
perjanjian assesoir atau perjanjian yang mengikuti perjanjian lain. Jadi tanpa
adanya perjanjian atau kesepakatan sebelumnya, misalnya jual – beli maka tidak
akan ada pulalah perjanjian jaminan produk atau garansi. Bentuk jaminan yang
baru dapat berjalan fungsinya setelah terjadinya proses jual – beli ini disebut
bentuk Layanan Purna Jual (after sales).
Layanan Purna Jual adalah jasa yang ditawarkan oleh Produsen kepada
konsumennya setelah transaksi penjualan dilakukan sebagai jaminan atas kualitas
atau mutu produk yang ditawarkannya. 15
Layanan purna jual tidak terbatas hanya pada produk konkret, namun
produk abstrak seperti pendidikan pun oleh produsen (misalnya universitas)
kadang – kadang memiliki layanan purna jual, dimana mahasiswa dijanjikan
mendapatkan pekerjaan setelah lulus dengan berbagai macam saluran untuk
mencari pekerjaan yang disediakan.
Layanan purna jual dimaksudkan bertujuan untuk menjaga minat
konsumen atau calon konsumen dan memperluas sikap positif dari keunggulan
produk yang telah dijanjikan.
15
http: //id.wikipedia.org/wiki/Layanan_purna_jual. Diakses 30 September 2010.
Universitas Sumatera Utara
4. Kedudukan Jaminan Produk (Garansi) Dalam Sistem Kitab Undang Undang Hukum Perdata
Seperti yang telah diuraikan pada pembahasan sub bab sebelumnya (Bab
II, sub Bab B), bahwa salah satu bentuk jaminan perseorangan adalah perjanjian
garansi. Dalam skema dibawah ini dapat diperlihatkan kedudukan Perjanjian
Garansi tersebut dalam sistem hukum Perdata :16
Piutang yang
Diistimewakan
Buku Kedua
Gadai
Hipotek
Di dalam
KUH Perdata
Penanggungan Utang
Tempat dan
Sumber Hukum
Jaminan
Buku Ketiga
Perikatan Tanggung
Menanggung
Perjanjian Garansi
KUH Dagang
Di Luar
KUH Perdata
Perundangundangan
Jaminan
Lainnya
Hipotek atas
Kapal Laut
Hak Tanggungan UU No. 4 Tahun 1996
Jaminan Fidusia UU No. 42 Tahun 1999
Perundangundangan
Jaminan
lainnya yang
Terkait dengan
Jaminan
16
UU No. 16 Tahun 1982
UU No. 7 Tahun 1992
Juncto UU No. 10
Tahun 1998
UU No. 15 Tahun 1992
UU No. 17 tahun 2008
Rachmadi, Hukum Jaminan Keperdataan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009). Hal.30
Universitas Sumatera Utara
Dalam Kitab Undang - Undang Hukum Perdata, kedudukan perjanjian
garansi adalah dalam Buku Ke III (tiga) yaitu tentang perikatan dan landasan
hukum dasarnya adalah pasal ketentuan-ketentuan umum perikatan seperti Pasal
1233 dan 1234.
Pasal 1233 berbunyi : “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena
persetujuan, baik karena undang-undang.” Dalam hal ini, perjanjian garansi lahir
karena adanya persetujuan.
Pasal 1234 berbunyi : “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan
sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.” Dalam hal ini,
perjanjian garansi adalah perikatan yang ada untuk berbuat sesuatu, yaitu
menjamin atau berbuat “menjamin”.
Seperti yang telah diuraikan dalam pengertian tentang Jaminan produk
atau Garansi, pada dasarnya perjanjian garansi yang dimaksud dalam hal jaminan
produk ini adalah suatu perjanjian penjaminan dimana pihak ketiga (dalam hal ini
podusen atau importir) menjamin bahwa produk yang dijual oleh pihak pertama
(yaitu penjual atau distributor) kepada pihak kedua (pembeli atau konsumen)
adalah produk yang terbebas dari kesalahan pekerja dan kegagalan bahan.
Dalam Pasal 1316 Kitab Undang - Undang Hukum Perdata dikatakan
bahwa adalah diperbolehkan untuk menanggung atau menjamin seorang pihak
ketiga, dengan menjanjikan bahwa orang ini akan berbuat sesuatu, dengan tidak
mengurangi tuntutan pembayaran ganti rugi terhadap siapa yang telah
menanggung pihak ketiga itu atau yang telah berjanji, untuk menyuruh pihak
Universitas Sumatera Utara
ketiga tersebut menguatkan sesuatu, jika pihak ini menolak memenuhi
perikatannya.
Menurut sorang praktisi hukum Rachmadi Usman pasal tersebut
merupakan landasan hukum dasar perjanjian garansi dan ini juga dapat dijadikan
dasar hukum garansi jaminan produk dengan menggunakan penafsiran analogi,
karena bila langsung menjadi dasar hukum tanpa adanya penafsiran analogi maka
substansi yang terkandung dalam pasal tersebut sedikit berbeda dengan garansi /
jaminan produk. Kalau pada pasal tersebut substansi perjanjian lebih cenderung
mengarah pada perjanjian garansi yang dicontohkan pada bank garansi misalnya.
Dimana pihak bank merupakan suatu pihak yang menjamin atau disebut
“penanggung”, “guarantor”, atau “borg” yang bersedia bertindak sebagai
penanggung bagi nasabahnya yang menjadi debitur dalam mengadakan suatu
perjanjian (pokok) dengan pihak lain sebagai kreditur. Perjanjian (pokok) tersebut
biasanya adalah perjanjian kerjasama antara nasabah bank (A) dengan pimpinan
proyek (Y) untuk mengerjakan suatu proyek tertentu. Dan pengerjaan proyek oleh
si “A” inilah yang dijamin oleh si Bank, sehingga Pimpinan Proyek “Y” dapat
merasa aman bila bekerjasama dengan si “A” (tentunya proyek yang dijaminkan
dengan bank garansi adalah proyek yang mahal atau yang menghabiskan dana
besar). Sedangkan bila dikaitkan dengan perjanjian garansi dalam hal jaminan
produk maka akan ditemukan kesesuaian sebab pada dasarnya adalah sama-sama
suatu perjanjian jaminan, dimana kalau dalam hal ini, produsen atau pelaku usaha
lah yang berperan sebagai penjamin atau penanggung atau guarantor atau borg
yang bersedia bertindak sebagai penanggung akan kualitas produk yang
diperjualbelikan oleh penjual (distributor) kepada pembeli (konsumen). Jadi bila
Universitas Sumatera Utara
dianalogikan maka peran produsen atau pelaku usaha dalam perjanjian garansi
jaminan produk sama dengan peran bank dalam perjanjian garansi bank garansi
sama-sama sebagai penjamin, peran produk yang dijual si penjual atau distributor
sama dengan peran kerja nasabah bank ( atau si “A”) yaitu sama-sama yang
menjadi objek jaminan dengan perbedaan kalau si penjual atau distributor yang
dijamin adalah kualitas produk yang dijualkannya sedangkan si nasabah bank (si
“A”) yang dijamin adalah kualitas kerjanya yaitu baahwa dia mampu
mengerjakan proyek tersebut, sedangakan peran pembeli (konsumen) sama
dengan peran si Pimpinan Proyek (si “Y”), dalam hal ini sama-sama mendapat
penjaminan sehingga merasa aman dan terlindungi dari berbagai bentuk kerugian,
dimana si pembeli atau konsumen produk akan merasa aman dan terlindungi dari
cacat bahan atau kerusakan dari kesalahan pekerja sedangkan Pimpinan proyek
atau “Y” merasa aman dan terlindungi dari kerugian kegagalan proyek. Sebab
kedua pihak yang mendapat penjaminan itu pun telah membayar mahal segala
sesuatunya jadi memang pantaslah mendapatkan suatu jaminan atau garansi.
Uraian diatas inilah yang dimaksudkan penafsiran analogi tadi.
Dalam Kitab Undang - Undang Hukum Perdata perjanjian garansi serupa
dapat kita lihat juga pengaturannya pada Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850
dengan juga meperhatikan Pasal 1831 Kitab Undang - Undang Hukum Perdata
atau Pasal 1832 Kitab Undang - Undang Hukum Perdata.
Sedangkan untuk menjamin produk dari cacat tersembunyi yang
mengakibatkan kerugian dipihak konsumen maka Pasal 1504 Kitab Undang Undang Hukum Perdata mewajibkan penjual untuk menjamin cacat tersembunyi
yang terdapat pada barang yang dijualnya tersebut.
Universitas Sumatera Utara