Academia.eduAcademia.edu

Sengketa Sabah Oleh kesultanan Sulu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akhir-akhir ini, media massa dan media pemberitaan di Indonesia lagi gencar - gencarnya memberitakan tentang konflik yang terjadi antara Sulu (Filiphina) dan Sabah (Malaysia). Banyak dari orang Indonesia yang kebingungan dalam memahami konflik Sabah tersebut, dikarenakan kurangnya perhatian akan wilayah timur dan utara Kalimantan dimana konflik Sabah selama ini berlangsung, serta minimnya catatan sejarah yang diinformasikan mengenai wilayah ini. Bahkan banyak yang tidak tahu dimana letak kesultanan Sulu. Posisi dan letak kerajaan Sulu juga agak membingungkan, Sulu merupakan bagian dari Filipina tetapi mereka mempunyai tentara dan persenjataan sendiri, dan mereka bisa menyerang Sabah yang menjadi Negara bagian Malaysia. Konflik sengketa internasional ini melibatkan antara Pemerintahan Malaysia dan Kesultanan Sulu atas kepemilikan kekuasaan Sabah secarah sah. Upaya Sultan Sulu untuk menghidupkan kembali klaim kekuasaannya atas wilayah Sabah telah memicu pertikaian berdarah dan membawa hubungan diplomatik Malaysia dan Filipina ke titik terburuk dalam beberapa dekade terakhir dan yang sampai saat ini belum mendapatkan titik tempuh perdamaian. Pihak-pihak yang bertikai harus segera berunding untuk menyelesaikan persoalan sebelum pertikaian meluas dan mengganggu stabilitas kawasan ASEAN. Sultan Sulu bersikukuh mengklaim Sabah adalah wilayah teritorial kesultanan Sulu, dan Malaysia hanya menyewanya, dan menginginkan hak tersebut kembali, dan malaysia siap mempertahankan sabah karena merupakan salah satu dari negara bagian di pemerintahan malaysia. Maka dari itu, untuk pemenuhan tugas tentang sengketa internasional saya akan membhasa pertikaian kepemilikan Sabah. 1.2 Perumusan Masalah 1. Pengertian dari Sabah dan sejarah dibentuknya dan studi kasus Malaysia - Sulu 2. Penjelasan tentang kronologi penyerangan Sabah oleh Kesultanan Sulu. 3. Klaim yang dilakukan Kesultanan Sulu terhadap Sabah. 4. Sikap Pemerintah Malaysia dan Filiphina dalam sengketa Sabah. 5. Penjelasan tentang Faktor Kesultanan Sulu mengklaim Sabah. 6.Upaya yang dilakukan untuk damai dalam menyelesaikan sengketa. 1.3 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Internasional dan menganalisa studi kasus sengketa internasional antara Malaysia dan Kesultanan Sulu dalam konflik Sabah. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Sejarah Sabah Sengketa Internasional adalah Perselisihan yang terjadi antara negara dengan negara, Negara dengan individu – individu, atau negara dengan badan – badan / lembaga yang menjadi subyek hukum internasioanal. Didalam kasus sengketa ini, Pihak Kesultanan Sulu mencoba mengklaim Sabah didasarkan karena ambisi untuk menguasai wilayah kedaulatan pemerintahan malaysia berdasarkan interprestasi sejarah yang berlebihan. Secara historis wilayah Sabah pernah menjadi wilayah kesultanan Sulu. Kesultanan Sulu sendiri berdiri di sebuah pulau yang sekarang berada di wiliyah Mindano, Filipina selatan. Kesultanan Sulu berdiri sekitar abad ke 14 dan bertahan hingga sekarang. Daerah kesultanan ini membentang dari pulau-pulau kecil di Filipina selatan seperti Tawi-tawi, Languyan, Pandami sampai ke daerah Sabah di Kalimantan Utara. Sabah sebelumnya merupakan daerah Kesultanan Brunei yang saat itu mencakup wilayah hampir seluruh dataran Kalimantan Utara. Karena sebuah perjanjian atas jasa Kesultanan Sulu membantu menyelesaikan perang sipil di kerajaan Brunai, Sabah diberikan oleh Sultan Brunai ke Kesultanan Sulu. Singkat kata, setelah itu Sabah adalah daerah kesultanan Sulu. Sampai datanglah orang-orang Inggris ke wilayah itu. Perusahaan Inggris bernama Perusahaan Inggris Kalimantan Utara menduduki Kalimantan Utara. Setelah lama bernegosiasi untuk menguasai Sabah sebagai pos perdagangan Inggris, akhirnya Kesultanan Sulu menandatangai surat perjanjian 'Kontrak' dimana Sabah di 'kontrakkan' kepada British North Borneo Company'. BNBC diwakili oleh Gustavus Baron de Overback dan Alferd Dent, sementara Kesultanan Sulu diwakili oleh Sultan Muhammad Jamalu Ahlam Kiram. (Perjanjian itu diteken pada 22 Januari 1878).   Kesultanan Sulu tidak sadar sedang ditipu oleh Inggris. Perjanjian itu dibuat dalam dua rangkap, dimana satu menggunakan bahasa Arab dan satu menggunakan bahasa Inggris. Dalam versi yang dipegang Sultan Sulu, Sabah itu 'disewakan' atau 'dikontrakkan' pada perusahaan Inggris itu. Namun dalam versi Inggris dikatakan bahwa Sabah itu 'diberikan dan diserahkan' pada Inggris. Sampai sekarang hal ini masih jadi perdebatan. Namun uniknya, sampai sekarang ternyata pemerintah Malaysia, melalui Kedutaannya di Manila, masih rutin memberikan uang sejumlah 5000 ringgit kepada keluarga Kesultanan Sulu sebagai uang 'Kontrak' atas wilayah Sabah. Dokumen yang didapat menyebutkan uang itu sebagai 'cession fee' atau 'biaya penyerahterimaan'. Jika masih menyerahkan uang 'sewa' pada Kesultanan Sulu, bukankah ini berarti secara tidak langsung Malaysia masih 'mengontrak' tanah Sabah pada Sulu? Pada 1963, setelah Inggris hengkang dari Malaysia, Pemerintah Inggris berniat mengembalikan Sabah pada Kesultanan Sulu. Dilakukanlah referendum pada warga untuk memilih apakah mau bergabung pada Sulu yang saat itu menjadi bagian dari Filipina atau mau bergabung bersama Malaysia. Referendum itu akhirnya berujung pada bergabungnya Sabah pada Malaysia. Namun referendum itu sendiri banyak disangsikan orang. Apakah berlangsung dengan objektif? Juga masyarakat Sabah yang sebagian besar adalah warga Sulu lebih memilih bergabung dengan Malaysia karena opsinya adalah Malaysia atau Filipina. Kedaulatan Sulu saat itu sudah berada dibawah kedaulatan Filipina. Tentu orang lebih memilih Malaysia karena kedekatan budaya dan agama. Jika pilihannya adalah Malaysia dan Kesultanan Sulu, mungkin lain ceritanya. Perlu juga dicatat, Sulu dan wilayah lain di Filipina selatan sampai sekarang tidak mau bergabung dengan Filipina. Mereka kukuh ingin merdeka dengan mengusung perjuangan Bangsa Moro merdeka. 2.2 Kronologi Penyerangan Sabah Oleh Kesultanan Sulu Konflik bermula pada awal Februari, saat itu Sultan Sulu Kiram III mengutus adik bungsunya, Agbimuhiddin Kiram, untuk merebut kembali wilayah Sabah dari Malaysia. Sekitar 200 orang asal Filiphina selatan, yang mengaku sebagai warga Kesultanan Sulu, berlabuh dan mendirikan tempat tinggal dikawasan Lahad Datu pada 9 Februari 2013. Inilah awal dari malapetaka yang didera malaysia. Tak ayal lagi, Pemerintah Malaysia meminta orang-orang tersebut kembali ke Filipina, tapi ditolak mentah-mentah. Tak hanya itu, ribuan pengikut Sultan Sulu berlayar menuju Sabah untuk menduduki wilayah ini. Tanpa ragu dan takut para pengikut setia tersebut rela menyerahkan nyawanya untuk berhadapan dengan tentara Malaysia yang dipersenjatai dengan senjata yang lebih maju. Kesultanan Sulu di bawah pimpinan Sultan Jamalul Kiram III ingin menunjukkan kembali kekuatannya dengan mencoba membangkitkan cita-cita yang telah lama terkubur. Sulu menganggap bahwa Sabah adalah wilayahnya yang telah dimiliki sebagai hadiah kenang-kenangan dari Kesultanan Brunei atas bantuan Sulu melawan pemberontakan di Brunei. Berdasarkan fakta tersebut, Kesultanan Sulu mempunyai hak sepenuhnya atas wilayah dan segala sesuatu yang ada di Sabah. Sebagai wujud kepemilikan tersebut adalah dikeluarkannya kebijakan untuk menyewakan sebagian tanah di wilayah Sabah kepada kolonial Kerajaan Inggris. Perjanjian sewa tanah berlangsung selama masa kolonial. Akibatnya, ketika Inggris meninggalkan tanah jajahannya, Malaysia merasa berhak untuk meneruskan kontrak pendahulunya.   Faktor lainnya, kesultanan Sulu mengalami pergeseran status. Kesultanan Sulu yang sebelumnya pernah menjadi kerajaan penuh kini hanya menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintahan Filipina. Statusnya yang semakin mengecil ini telah dialaminya sejak Filipina di bawah kekuasaan Amerika. Dengan semakin sempitnya ruang gerak Sultan, menjadikan ambisi untuk mewujudkan kembali ambisi leluhur yang telah lama terkubur muncul. Konflik Sabah adalah sebuah insiden yang muncul setelah sekelompok orang sekitar 100-400 orang, beberapa dari mereka bersenjata, tiba dengan perahu di Kg. Tanduo, Lahad Datu, Sabah dari pulau Simunul, Tawi-Tawi dari Filipina selatan pada tanggal 11 Februari 2013. Kelompok ini, yang menyebut diri mereka Pasukan Keamanan Kerajaan Kesultanan Sulu dan Borneo Utara, yang dikirim oleh Jamalul Kiram III, salah satu penuntut tahta Kesultanan Sulu. Kiram menyatakan bahwa tujuan mereka adalah untuk menegaskan klaim teritorial mereka yang belum terselesaikan di timur Sabah (bekas Borneo Utara). Menurut Kepolisian Malaysia, 61 loyalis Sulu dan 8 polisi Malaysia tewas dalam bentrokan itu. Pada tanggal Selasa 5 Maret 2013, Terdengar suara mendesing sebelum gelegar bom menggetarkan tanah di Desa Tanjung Labian, Lahad Datu, Sabah. Kengerian mulai menyergap warga setempat.  Di kejauhan, ada suara truk militer menderum melintasi Tanjung Labian menuju Tanduo. Sekitar setengah jam, Desa Tanduo, 7 kilometer dari Tanjung Labian, diharubiru ledakan bom. Lalu senyap sebentar, sebelum tembakan rentetan senapan riuh bersahutan. Rupanya, ratusan serdadu Malaysia menyisir Tanduo yang membentang di pesisir timur Sabah itu. Mereka mencari para militan dari Kesultanan Sulu, Filipina, yang sudah dua pekan menguasai kampung itu. "Setelah serangan pertama, saya menegaskan para penyusup itu harus menyerah dan jika mereka menolak, maka aparat akan bertindak tegas," kata Perdana Menteri Malaysia M Najib Razak menjelaskan “serangan fajar” itu. “Pemerintah harus mengambil tindakan menegakkan marwah dan kedaulatan.” Diduga ada 180 orang Sulu di Tanduo.  Di bawah pimpinan Putra Mahkota Sulu Raja Muda Agbimuddin Kiram, mereka menduduki sejumlah kawasan di Lahad Datu, Sabah. Mereka menyatakan Sabah milik Kerajaan Sulu, dan meminta Malaysia menambah bayaran atas “rental” Sabah. "Ini adalah waktunya,” kata Kiram. “Kami akan tetap bertempur demi hak-hak kami. Mereka tidak bisa menakut-nakuti kami karena kami bertarung demi hak Bangsa Sulu, dan Bangsa Filipina secara umum. Itu jika pemerintah Filipina masih menganggap kami orang Filipina," kata Kiram kepada radio dzMM. Dan jawaban Kuala Lumpur adalah aksi polisionil yang dilancarkan Selasa pagi itu. Bagi Malaysia, Sabah adalah wilayah kedaulatannya. Rabu, keesokan harinya, puluhan mayat ditemukan bergelimpangan. Malaysia mengklaim, 31 militan Sulu dan 8 polisi Malaysia tewas dalam serangan belasan jam itu. Sampai sekarang konflik masih terus berlanjut, tak ada kata damai dan mengalah, karena kedua belah pihak merasa benar. Pihak Kesultanan Sulu telah menawarkan gencatan senjata sepihak untuk menekan jumlah korban jiwa. Namun, Pemerintah Malaysia menolak tawaran itu. Menurut Perdana Menteri Malaysia, gencatan senjata akan dilakukan jika kaum militan meletakan senjata mereka. “Militan Sulu harus meletakkan senjata dan menyerah tanpa syarat dan operasi terhadap mereka akan berjalan selama dibutuhkan," kata Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Najib Tun Razak dalam sebuah konferensi pers, Kamis (7/3/2013), seperti dikutip dari The Star. 2.3 Klaim Kesultanan Sulu Pada tanggal 12 Februari 2013, sekelompok orang bersenjata yang dipimpin oleh Datu Raju Muda Agbimuddin Kiram menyebut dirinya Tentara Kesultanan Sulu (Royal Sulu Army) mendarat di desa pesisir Lahad Datu, Sabah, Malaysia. Tujuan mereka adalah untuk mengklaim wiayah tersebut sebagai milik mereka, serta menuntut pemerintah Malaysia meningkatkan pembayaran uang sewa tanah mereka. Wilayah Sabah masuk menjadi kekuasaan Kesultanan Sulu pada tahun 1658 atas pemberian Sultan Brunei sebagai tanda terima kasih atas bantuan para pejuang Tausug asal Sulu dalam menghapuskan pemberontakan pada 1660– 1700-an di Brunei. Kemudian pada tahun 1878, di masa penjajahan Inggris, wilayah Sabah disewa oleh British North Borneo Company dengan membayarkan uang sewa senilai USD1.600 per tahun. Berdasarkan kontrak tersebut, uang sewa akan terus dibayarkan selama Sabah masih dikuasai perusahaan tersebut. Setelah Inggris pergi, dan Sabah kemudian menjadi bagian dari wilayah negara Malaysia sejak tahun 1963, pembayaran sejumlah uang tersebut masih terus berlangsung. Sampai saat ini, pemerintah Malaysia masih membayar sekitar 5.000 Ringgit Malaysia per tahun kepada pewaris Kesultanan Sulu. Akan tetapi terdapat perbedaan interpretasi atas kontrak yang disepakati sebelumnya. Bagi pihak Inggris, uang yang dibayarkan pada Kesultanan Sulu merupakan pembayaran untuk pengalihan kepemilikan Sabah, sementara pihak Kesultanan Sulu menganggap uang tersebut sebagai uang sewa wilayah mereka di Sabah tanpa merubah status kepemilikan. Bertentangan dengan klaim Sultan Sulu, dengan berlandaskan pada fakta sejarah sebagian pihak berpandangan bahwa kekuasaan Kesultanan Sulu atas wilayah Sabah sudah sejak lama gugur. Di antara pandangan tersebut, salah satunya berlandaskan pada Traktat Bates. Traktat Bates merupakan perjanjian yang ditandatangani pada 1899 oleh Sultan Jamalul Kiram II dan Jenderal John C Bates (Komandan Pasukan AS di Filipina) yang pada praktiknya melucuti kekuasaan Kesultanan Sulu di wilayah kekuasaannya sendiri. Sejak saat itu, praktis kekuasaan Sultan Sulu dibatasi menjadi sekedar simbol kepemimpinan agama dan adat. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah mengapa Sultan Sulu memutuskan untuk melancarkan aksi tersebut saat ini? Sejumlah analisis pun berkembang, salah satunya mengaitkan dengan proses perundingan damai antara Pemerintah Filipina dengan kelompok separatis Front Pembebasan Islam Moro (MILF) di Filipina Selatan. Perundingan damai yang difasilitasi oleh Malaysia tersebut berujung pada penandatanganan kesepakatan damai pada Oktober 2012. Diketahui bahwa Jamalul Kiram III dikecualikan dari proses perundingan tersebut. Hal itu kemudian menimbulkan kekecewaan Jamalul Kiram III, sehingga mendorongnya untuk memisahkan diri dan berupaya mengumpulkan kembali seluruh wilayah kerajaannya yang tersebar di sejumlah kepulauan di Filipina Selatan hingga Sabah. Kondisi kerajaan yang terus melemah sehingga tak mampu memberikan kesejahteraan untuk rakyatnya diduga juga menjadi salah satu faktor pendorong. 2.4 Sikap Pemerintahan Malaysia dan Filiphina Sejak awal pasukan Sulu masuk, Pemerintah Malaysia menolak tuntutan dan meminta mereka untuk meninggalkan wilayah Sabah. Malaysia telah memberikan mereka waktu menunda serangan guna memberi kesempatan kelompok tersebut untuk menyerahkan diri. Pemerintah Filipina pun melakukan hal yang sama, berulang kali mengatakan kepada kelompok itu bahwa Filipina siap untuk berunding, serta mendesak mereka untuk meletakkan senjata dan pulang ke kampung halaman. Sampai pada tahap ini, Sultan Sulu menyatakan tidak akan menyerah dan siap berperang sampai tentara terakhir. Ketegangan meningkat setelah pecahnya kontak senjata antara Tentara Kesultanan Sulu dengan Polis Diraja Malaysia yang mengakibatkan tewasnya delapan personel polisi Malaysia. Peristiwa tersebut memicu kemarahan pemerintah Malaysia, sehingga kemudian pemerintah Malaysia melakukan operasi militer dan pencarian besar-besaran terhadap tentara kesultanan Sulu dan orang-orang lainnya yang dianggap terlibat. Merespon keputusan Malaysia untuk menggelar operasi militer, Filipina mengutus Menlu Albert Del Rosario ke Kuala Lumpur untuk mendesak pemerintah Malaysia memberikan toleransi maksimum kepada kelompok bersenjata Sulu yang berada di Negara bagian Sabah. Menlu Filipina juga mengajukan permintaan langsung kepada Malaysia agar diizinkan mengirimkan kapal angkatan laut guna mengangkut bantuan kemanusiaan dan medis ke Sabah, juga untuk memberikan bantuan konsuler serta mengangkut warga Filipina pulang. Terhadap kelompok bersenjata Kesultanan Sulu, ia kembali meminta mereka untuk menyerahkan diri secara damai. Operasi militer yang dilakukan oleh Malaysia menimbulkan kekhawatiran dan keprihatinan banyak pihak, termasuk Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon. Ban mendesak agar kekerasan di Sabah segera dihentikan dan kedua pihak menempuh jalur perundingan untuk menyelesaikan sengketa. Sekjen PBB mengkhawatirkan dampak situasi tersebut pada warga sipil, termasuk para pekerja migran di wilayah itu. Ia mendesak semua pihak untuk memfasilitasi masuknya bantuan kemanusiaan dan bertindak dengan menghormati penuh norma serta standar hak asasi manusia internasional. Merespon himbauan Sekjen PBB serta laporan yang menyatakan bahwa telah terjadi pembantaian 40 warga sipil di Lahad Datu oleh militer Malaysia, Sultan Sulu melalui juru bicaranya Abraham Idjirani menyerukan gencatan senjata demi menghindari pertumpahan darah lebih lanjut di Sabah. Namun pihak Malaysia menolak gencatan senjata dan terus melakukan penangkapan dan pengejaran. Malaysia menegaskan bahwa bentrokan hanya dapat dihentikan jika Tentara Kesultanan Sulu menyerah tanpa syarat. 2.5 Faktor Penyebab Terjadinya Konflik Sabah 1. Sengketa teritorial Nasional Filipina mengklaim memiliki hak teritorial ke Sabah timur, sebelumnya dikenal sebagai Borneo Utara, melalui warisan Kesultanan Sulu. Dasar dari pernyataan ini adalah bahwa kekuasaan kesultanan secara historis membentang dari Kepulauan Sulu ke bagian utara Kalimantan. Setiap tahun, Kedutaan Besar Malaysia di Filipina menerbitkan suatu cek dengan jumlah 5.300 ringgit (US 1710 $ atau sekitar 77.000 peso Filipina) ke penasehat hukum dari ahli waris dari Sultan dari Sulu dalam menjaga dengan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian 1878. Malaysia menganggapnya sebagai jumlah pembayaran penyerahan tahunan untuk negara yang disengketakan, sementara keturunan sultan menganggapnya sebagai "sewa." Malaysia, bagaimanapun, telah pasti menolak setiap klaim teritorial Filipina ke Sabah. 2. Sengketa Suksesi Sulu Faktor lain di balik terjadinya kebuntuan adalah status Kesultanan Sulu yang belum terselesaikan. Kelompok Filipina di Lahad Datu mengklaim mewakili Jamalul Kiram III sebagai Sultan Sulu. Namun, statusnya sebagai sultan ini dibantah oleh beberapa pengklaim lainnya. Meninjau kenapa Sulu menyerbu atau mempermasalahkan kepemilikan Sabah, pakar Resolusi Konflik HI UMY Sugito,S.IP,M.Si berpendapat bahwa, penyebab konflik antara Malaysia dan Sulu merupakan alasan yang klasik yaitu frustasi atas kekuasaan. Klaim Sulu atas Sabah, mempunyai keterkaitan dengan perundingan antara Filipina dengan Moro National Liberation Front (MNLF). Perundingan yang dimediasi oleh Malaysia pada Oktober 2012 lalu, menghasilkan keputusan bahwa Mindanao termasuk juga Sulu sebagai wilayah otonomi dan diberikan sebagian besar wilayah untuk dikelola secara independen oleh Mindanao. Kesepakatan tersebut menyebabkan Kesultanan Sulu yang terletak di Filipina bagian selatan tidak mendapat lahan lagi dan berniat merebut wilayah mereka di tempat lain, yaitu Sabah. Yang mana Sabah merupakan tanah Kesultanan Sulu jika dilihat dari sejarah kolonialisme dulu. Selain itu, Sabah mempunyai kekayaan alam yang banyak, terhitung pada tahun 2011, wilayah Sabah memiliki cadangan gas alam 11 triliun kaki kubik dan cadangan minyak sekitar 1,5 miliar barel. Jumlah tersebut tidaklah sedikit, jika hasil alam tersebut menjadi milik Kesultanan Sulu tentu saja akan membuat kesejahteraan di Sulu semakin membaik. Keberanian Sulu mengklaim Sabah, tentu saja di pengaruhi oleh bertambahnya kekuatan Kesultanan Sulu dari Pejuang Moro. Sulu selama ini sebagai daerah basis kedua dari pejuang Moro, tentu saja pejuang Moro akan membantu Kesultanan Sulu untuk mendapatkan apa yang mereka sebut sebagai wilayahnya. Karena memang dilihat dari sejarah, Sabah merupakan milik Kesultanan Sulu dulunya. 2.6 Upaya Perdamaian Antara Malaysia Dan Kesultanan Dalam Konflik Sabah Sudah Terhitung 8 bulan lebih konflik sulu berlangsung dan belum mencapai titik temu perdamaian antara kedua belah pihak sampai saat ini. Konflik Sabah ini sedang dalam tahap Perundingan. Dalam pernyataan Presiden Filipina Benigno Aquino mengatakan pada Minggu (17/3/2013), bahwa perundingan adalah satu-satunya cara untuk menyelesaikan klaim Kesultanan Sulu atas wilayah Sabah. Aquino juga mengecam penyerbuan loyalis Sulu ke wilayah Malaysia itu. Sedangkan di lain pihak, Sultan Sulu Jamalul Kiram III menginginkan pihak asing turut campur mengatasi konflik antara Kesultanan Sulu dengan Pemerintah Malaysia. Sultan Kiram menginginkan Amerika Serikat (AS) dan Inggris turut campur mengatasi masalah ini. Di sisi lain, Duta Besar AS ke Filipina, Harry K. Thomas, Jr. mengatakan bahwa Manila dan Kuala Lumpur dapat bekerja sama mengenai hal ini dengan baik. Beliau juga menambahkan bahwa kedua negara ini akan duduk bersama dan berbincang, konflik ini dapat diatasi tanpa pertumpahan darah. Mungkin juga dengan cara Arbritase, membawa perkara ini ke peradilan internasional menjadi salah satu solusi konkrit untuk menyelesaikan konflik historis antara Malaysia dan Kesultanan Sulu serta Filiphina tanpa berlarut – larut dan tidak menelan korban jiwa lagi. Sampai pada saat Jamalul Kiram III meninggal, konflik ini masih tetap berlanjut,Jamalul Kiram III meninggal dalam usia 75 tahun. Jamalul yang pernah melakukan penyerangan berdarah di negara bagian Sabah Malaysia awal tahun 2013 lalu meninggal di sebuah rumah sakit di Manila, Filipina, Minggu (20/10/2013). Jamalul Kiram III meninggal akibat gagal ginjal yang dideritanya. Semasa sakit, Kiram mendapatkan tindakan dialisis dua kali seminggu. "Sultan meninggal sebagai orang miskin dan terhormat," kata istri Jamalul Kiram, Fatima Kiram, kepada AFP dan dilansir dalam Channel News Asia, Minggu (20/10/2013). Menurut Fatima, meninggalnya Sultan Sulu bukan berarti perjuangan dalam merebut kembali Sabah sebagai bagian dari kesultanan Sulu, Filipina Selatan, berhenti. "Perjuangannya untuk merebut kembali Sabah sebagai bagian dari wilayah kesultanan akan terus berlanjut," kata Fatima. Meski demikian, Fatima melanjutkan, perebutan bukan berarti harus dilakukan dengan jalan kekerasan seperti yang terjadi awal tahun ini dimana puluhan korban dinyatakan tewas dari dua kelompok, Filipinan dan Malaysia. Dia mengatakan, bahwa pihak keluarga bersedia untuk melakukan perundingan dengan Malaysia. Peristiwa berdarah di Sabah berawal ketika sekitar 200 pengikut Sultan Sulu tiba di wilayah ini pada 9 Februari lalu dengan menggunakan kapal. Kedatangan mereka untuk mengklaim tanah yang menurut mereka merupakan milik leluhur mereka berdasarkan dokumen-dokumen sejarah. Baku tembak dengan aparat Malaysia pun tak terhindarkan. Tercatat lebih dari 70 orang, sebagian besar pengikut Sultan Sulu, tewas dalam bentrokan tersebut. Juni lalu, pengadilan Malaysia mengadili 8 warga negara Filipina atas dakwaan terorisme. Kedelapan warga Filipina ini terancam hukuman mati karena terlibat dalam bentrokan berdarah di Sabah, Malaysia. Kedelapan orang yang diadili ini merupakan kelompok pertama yang disidangkan terkait konflik Sabah. Mereka adalah bagian dari 100 orang yang ditangkap oleh aparat Malaysia karena diyakini terlibat konflik Sabah. Delapan orang ini dijerat bermacam dakwaan, mulai dari menyembunyikan orang-orang yang terlibat aksi terorisme, hingga melancarkan perang melawan Malaysia. Empat bulan berlalu, pemerintah Malaysia menghentikan pengejaran terhadap sisa-sisa pengikut Sultan Sulu. Namun demikian pengamanan militer secara permanen tetap digalakkan, di sepanjang garis pantai, tempat para pengikut kesultanan Sulu berlabuh. BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Tindakan Sultan Sulu mengirimkan kelompok bersenjata ke Sabah untuk menghidupkan kembali klaim kekuasaannya terhadap wilayah Sabah dapat dikatakan sebagai kekeliruan yang telah mengganggu hubungan diplomatik Malaysia dan Filipina. Respon pemerintah Malaysia yang menggunakan kekuatan militer sehingga menimbulkan banyak korban jiwa serta dugaan pelanggaran hak asasi manusia juga merupakan kekeliruan lainnya. Filipina pun telah dianggap lamban merespon situasi yang berkembang sehingga menyebabkan telah terjadi kemungkinan penggunaan kekerasaan terhadap warganya yang tidak bersalah di daerah konflik. Sekalipun konflik ini dapat dikatakan tidak cukup signifikan untuk mengancam stabilitas kawasan, pemerintah Indonesia dalam hal ini kiranya perlu mengambil inisiatif untuk memfasilitasi pihak-pihak yang bertikai agar dapat menyelesaikan persoalan melalui meja perundingan. Hal ini perlu dilakukan sebagai bagian dari upaya pemerintah Indonesia dalam melindungi keselamatan warga negaranya serta dalam upaya turut menjaga stabilias kawasan 3.2 Saran Sebaiknya segera mengajukan masalah sengketa ini ke Mahkamah Internasional, Antara kedua belah pihak, atau dijalankannya arbritase, negoisasi ataupun mediasi, agar segera mendapatkan akhir titik temu perdamaian, Hingga tak ada korban yang berjatuhan lagi. DAFTAR PUSTAKA m.detik.com/news/read/2013/10/21/032152/2390522/1148/sultan-sulu-meninggal-dunia-perebutan-sabah-tetap-berlanjut ms.m.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Sabah one-kotabelud.blogspot.com/2013/03/sejarah-silam-sabah-kaitan-dengan.html?m=1 edisicetak.joglosemar.co/berita/di-balik-konflik-sabah-124704.html pendidikan4sejarah.blogspot.com/2011/03/bangsa-moro-di-filipina.html?m=1 internasional.kompas.com/read/2013/03/06/08064895/Liku-liku.Sejarah.Klaim.Sabah wiantazka-fib11.web.unair.ac.id PAGE \* MERGEFORMAT 9