EKUMENISME DALAM KONTEKS PLURALISME AGAMA DI INDONESIA
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah: Ekumenika
Dosen Pengampu: Ramli Harahap, D.Th.
Disusun oleh:
Ameng Simanjuntak (23.01.2170)
Josua Five Bradez Sembiring (23.01.2225)
Nada Suangro Sitanggang (23.01.2233)
Satria Tupsidi Hutasoit (23.01.2248)
Thora Ondos Parades Purba (23.01.2257)
PROGRAM STUDI TEOLOGI
SEKOLAH TINGGI TOLOGI (STT)
ABDI SABDA MEDAN
2024
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas kehadirat Allah Tritunggal atas kasih karunia, berkat dan hikmat-Nya sehingga kelompok dapat menulis makalah ini yang berjudul “Ekumenisme dalam Konteks Pluralisme Agama di Indonesia”. Makalah ini kami susun untuk menggali tantangan dan peluang yang dihadapi oleh gerakan ekumenis dalam konteks Indonesia yang multireligius sekaligus membahas peran ekumenis dalam memunculkan toleransi dan kerjasama antaragama. Makalah ini juga tidak hanya berisikan teori tetapi juga berisi strategi praktis yang dapat diterapkan oleh oleh gereja-gereja di Indonesia untuk memperkuat hubungan ekumeis. Kami menyadari bahwa ekumenisme memiliki potensi besar untuk menjawab tantangan keberagaman di Indonesia, asalkan gereja-gereja di Indonesia mampu berpartisipasi atau bersinergi dalam dialog dan tindakan nyata.
Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung penyusunan makalah ini, baik berupa masukan, saran maupun motivasi. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada bapak dosen pengampu mata kuliah ekumenika yaitu, bapak Ramli Harahap, D.Th. yang memberikan bimbingan atau arahan kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Kami juga sebagai kelompok mengucap syukur atas kerjasama yang baik sehingga tercapai penyusunan makalah ini.
Kami juga menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami terbuka terhadap kritik dan saran yang dapat membangun demi kemajuan dan kesempurnaan makalah ini di masa mendatang. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang tertarik pada kajian ekumenisme dan pluralisme agama di Indonesia.
Medan, 25 November 2024
Kelompok 4
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I 4
PENDAHULUAN 4
1.1. Latar Belakang Masalah 4
1.2. Rumusan Masalah 5
BAB II 6
PEMBAHASAN 6
2.1. Tantangan Gerakan Ekumenis di Indonesia 6
2.1.1. Perbedaan Pandangan Antar Denominasi Kristen 6
2.1.2. Stereotip dan Diskriminasi Antar Umat Beragama 7
2.1.3. Peraturan Pemerintah dalam Membatasi Dialog Antaragama 7
2.2. Peluang Gerakan Ekumenis di Indonesia 8
2.2.1. Dasar Teologis yang Kuat Kepada Umat Kristen 8
2.2.2. Meningkatnya Kebutuhan Akan Dialog dan Toleransi 8
2.2.3. Dukungan Organisasi Ekumenis Tingkat Lokal Maupun Internasional 9
2.3.1. Dialog Antar Agama 9
2.3.2. Proyek Sosial Bersama 10
2.3.3. Contoh Kerjasama Antaragama di Indonesia 10
2.4. Strategi Praktis untuk Memperkuat Hubungan Ekumenis 11
2.4.1. Mengintegrasikan Materi Tentang Ekumenisme dalam Kurikulum Pendidikan Gereja 11
2.4.2. Mengadakan Kegiatan Sosial Bersama, Seperti Bakti Sosial atau Bantuan Bencana 11
2.4.3. Membentuk Forum Diskusi Reguler Antar Gereja dan Lintas Agama 12
BAB III 13
PENUTUP 13
A. Kesimpulan 13
B. Saran 14
BAB IV 15
DAFTAR PUSTAKA 15
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang kaya akan keberagaman, baik suku, budaya, dan agama. Dalam konteks agama, Indonesia mengakui enam agama resmi: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Pluralisme agama ini merupakan salah satu ciri bangsa yang mencerminkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Namun keberagaman tersebut kerap menimbulkan ketegangan sosial, terlebih apabila masing-masing agama tetap menjaga eksklusivitas dan cenderung menutup diri dari dialog dengan agama lain. Dalam situasi seperti ini, ekumenisme menjadi pendekatan yang relevan untuk mendorong kerukunan dan keharmonisan antar agama.
Secara etimologis, ekumenisme berasal dari kata Yunani oikoumene, yang berarti “seluruh dunia yang dihuni”. Awalnya, konsep ekumenisme digunakan untuk merujuk pada upaya menyatukan umat Kristiani lintas denominasi. Namun dalam perkembangan teologis dan sosial, ekumenisme kini tidak hanya terbatas pada lingkup internal gereja saja, namun juga merambah pada hubungan antar umat beragama. Dalam konteks Indonesia, ekumenisme mempunyai tantangan yang unik, mengingat keberagaman agama di satu sisi merupakan kekayaan bangsa, namun di sisi lain kerap menjadi pemicu konflik.
Pentingnya ekumenisme dalam konteks pluralisme agama di Indonesia terlihat dari peran dialog antaragama dalam menciptakan masyarakat yang harmonis. Franz Magnis-Suseno dalam bukunya Etika Politik menyatakan bahwa dialog antaragama merupakan kebutuhan mendasar dalam masyarakat majemuk. Menurutnya, dialog bukan sekadar memahami keyakinan agama lain, tetapi juga membangun rasa saling menghormati perbedaan yang ada).
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 112. Dalam hal ini ekumenisme merupakan sarana membangun jembatan komunikasi antar umat beragama, khususnya dalam menghadapi permasalahan sosial seperti keadilan, kemiskinan dan perdamaian.
Namun ekumenisme di Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah eksklusivisme agama yang masih kuat di banyak komunitas. Eksklusivisme ini seringkali menimbulkan prasangka dan stereotip negatif terhadap agama lain. Misalnya, pendirian tempat ibadah yang seringkali menjadi isu sensitif yang memicu konflik antar umat beragama. Dalam bukunya Agama dalam Dialog (2004), M. Amin Abdullah menegaskan bahwa untuk mengatasi tantangan tersebut diperlukan pendekatan teologis yang inklusif dan dialogis. Ia menekankan bahwa agama-agama harus bekerja sama untuk membangun keharmonisan sosial, bukan saling mendominasi.
M. Amin Abdullah, Agama dalam Dialog: Perspektif Filosofis dan Praktis (Jakarta: Rajawali Press, 2004), 58.
Selain itu, gereja-gereja di Indonesia mempunyai peran strategis dalam memajukan ekumenisme. Gereja dapat menjadi agen transformasi sosial yang mendorong dialog antaragama melalui program pelayanan sosial, pendidikan dan advokasi perdamaian. Eka Darmaputera dalam bukunya Pancasila dan Agama menyoroti pentingnya gereja menerapkan nilai-nilai cinta kasih dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam hubungannya dengan umat agama lain.
Eka Darmaputera, Pancasila dan Agama (Jakarta: Gunung Mulia, 1987), 132.
Dengan demikian, ekumenisme dalam konteks pluralisme agama di Indonesia menjadi tema yang sangat relevan untuk dikaji. Selain memberikan wawasan teologis, pendekatan ekumenis juga menawarkan solusi praktis dalam mengatasi berbagai konflik sosial yang muncul akibat perbedaan agama. Melalui upaya tersebut diharapkan masyarakat Indonesia dapat hidup damai dan harmonis, sesuai dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.
Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah yang akan dipecahkan dalam makalah ini adalah sebagai berikut;
1. Apakah yang menjadi tantangan dalam gerakan ekumenis dalam menghadapi pluralisme di Indonesia yang multireligius?
2. Apakah yang menjadi peluang dalam gerakan ekumenis dalam menghadapi pluralisme di Indonesia yang multireligius?
3. Apakah peran ekumenisme dalam meningkatkan toleransi dan kerjasama antaragama?
4. Apakah yang menjadi strategi praktis yang dapat dilakukan gereja di Indonesia untuk memperkuat hubungan ekumenis?
1.3. Tujuan Penelitian
Melalui penyusunan makalah ini kita dituntun untuk menganalisis tantangan dan peluang gerakan ekumenis dalam konteks agama di Indonesia. Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk menggali apa strategi praktis yang dapat diterapkan oleh gereja-gereja untuk memperkuat hubungan ekumenis di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Tantangan Gerakan Ekumenis di Indonesia
2.1.1. Perbedaan Pandangan Antar Denominasi Kristen
Hambatan teologis merupakan salah satu tantangan utama gerakan ekumenis di Indonesia. Denominasi Kristen sering kali memiliki doktrin yang berbeda, terutama mengenai isu-isu seperti baptisan, Ekaristi, kepemimpinan gereja, dan penafsiran Alkitab. Dalam bukunya Menyambut Dialog Keagamaan (2008), John A. Titaley menyoroti bahwa perbedaan-perbedaan ini menciptakan hambatan yang tidak dapat ditembus dalam dialog ekumenis.
Misalnya, ada denominasi yang memandang baptisan hanya sah jika dilakukan dengan cara tertentu, sedangkan denominasi lain lebih fleksibel. Ketegangan juga muncul dalam pandangan mengenai otoritas gereja, dimana beberapa denominasi mendasarkan keputusan mereka pada sinode, sementara yang lain mengikuti pola kepemimpinan pastoral yang terpusat. Akibatnya, dialog teologis seringkali berakhir tanpa kesepakatan yang nyata, karena masing-masing pihak mempunyai penafsiran masing-masing.
Kemudian, perbedaan doktrinal tersebut juga diperparah dengan sejarah misi kolonial yang menanamkan eksklusivisme dalam komunitas Kristen. Alasan teologis sering dijadikan pembenaran penolakan kerja sama antar gereja, sehingga gerakan ekumenis cenderung bersifat seremonial tanpa membangun sinergi yang mendalam.
John A. Titaley, Menyambut Dialog Agama (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 76.
2.1.2. Stereotip dan Diskriminasi Antar Umat Beragama
Hambatan sosial juga menimbulkan tantangan besar bagi gerakan ekumenis di Indonesia. Dalam konteks masyarakat majemuk, stereotip terhadap kelompok agama lain seringkali menjadi kendala utama dalam membangun dialog yang sejati. Benny Susetyo dalam Rekonsiliasi Umat Beragama di Indonesia (2012) mencatat bahwa prasangka sosial terhadap kelompok agama lain muncul karena kurangnya interaksi bermakna antar umat beragama.
Misalnya, denominasi Kristen tertentu seringkali dianggap terlalu eksklusif atau dominan oleh denominasi lain sehingga menimbulkan ketegangan internal. Selain itu, terdapat persepsi bahwa denominasi besar lebih berorientasi politik dibandingkan denominasi kecil, yang seringkali dianggap lebih murni dalam misi spiritualnya. Stereotip-stereotip ini tidak hanya menghambat kerja sama internal gereja tetapi juga mempengaruhi hubungan gereja dengan kelompok agama lain.
Diskriminasi juga merupakan masalah serius yang memperburuk hambatan sosial. Kasus penolakan pendirian tempat ibadah atau pembatasan kegiatan keagamaan kerap memicu sentimen eksklusivis di kalangan umat Kristiani. Ketegangan ini memperkuat mentalitas “kita versus mereka”, yang pada akhirnya melemahkan semangat ekumenis.
Benny Susetyo, Rekonsiliasi Agama di Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2012), 89.
2.1.3. Peraturan Pemerintah dalam Membatasi Dialog Antaragama
Dalam peraturan pemerintah juga dapat dmenjadi tantangan besar bagi gerakan ekumenis di Indonesia. Beberapa peraturan yang ada seringkali lebih berorientasi pada pengendalian konflik dibandingkan menciptakan ruang dialog inklusif. Dalam buku Pluralisme dan Toleransi di Indonesia (2009), Al Makin mengamati peraturan seperti Peraturan Bersama Menteri tentang pendirian rumah ibadah seringkali dianggap bias dan tidak berpihak pada kelompok agama minoritas.
Misalnya, untuk membangun rumah ibadah, diperlukan persetujuan mayoritas masyarakat sekitar. Hal ini menjadi permasalahan di daerah yang mayoritas penduduknya berbeda agama. Kondisi ini tidak hanya membatasi kebebasan beragama tetapi juga menimbulkan ketegangan antaragama yang menghambat inisiatif ekumenis.
Selain itu, dinamika politik lokal kerap mengeksploitasi isu agama untuk kepentingan tertentu. Beberapa tokoh politik cenderung menghindari dialog antaragama karena takut kehilangan dukungan dari kelompok mayoritas. Dalam konteks seperti itu, gereja-gereja yang berupaya mendorong dialog sering kali dianggap bertentangan dengan nilai-nilai lokal atau bahkan menjadi ancaman.
Al Makin, Pluralisme dan Toleransi di Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 65.
Jadi, tantangan-tantangan yang dihadapi oleh gerakan ekumenis di Indonesia menunjukkan bahwa upaya untuk membangun harmoni dan kerjasama lintas denominasi membutuhkan strategi yang holistik. Dalam mengatasi hambatan teologis, gereja-gereja perlu membuka ruang dialog yang fokus pada kesamaan iman dan misi bersama, tanpa mengabaikan perbedaan. Untuk mengatasi hambatan sosial, diperlukan program pendidikan lintas agama yang mendorong pemahaman dan penghormatan terhadap kelompok lain.
Sementara itu, hambatan politik dapat diatasi melalui advokasi regulasi yang lebih inklusif dan kolaborasi dengan tokoh masyarakat yang mendukung dialog antaragama. Dengan strategi ini, gerakan ekumenis dapat memberikan kontribusi nyata dalam membangun masyarakat Indonesia yang lebih harmonis dan toleran.
2.2. Peluang Gerakan Ekumenis di Indonesia
2.2.1. Dasar Teologis yang Kuat Kepada Umat Kristen
Landasan teologis merupakan pilar utama dalam menunjang gerakan ekumenis. Alkitab memberikan dasar yang jelas bagi kesatuan umat Kristiani, seperti dalam Yohanes 17:21, di mana Yesus berdoa agar semua pengikut-Nya "menjadi satu". Hal ini menunjukkan pentingnya persatuan sebagai kesaksian iman Kristiani. Dalam buku Christianity in Dialogue (2009), S. B. Simanjuntak menyoroti bahwa kesadaran akan seruan persatuan merupakan salah satu kekuatan utama yang dapat mendorong kerja sama antar gereja.
Landasan teologis ini semakin diperkuat oleh keyakinan yang sama terhadap doktrin-doktrin inti, seperti pengakuan Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Meskipun terdapat perbedaan denominasi, gereja-gereja di Indonesia memiliki banyak kesamaan dalam misinya untuk membawa kasih Tuhan kepada dunia. Kesetaraan ini memberikan ruang untuk membangun hubungan yang lebih erat melalui kegiatan bersama, seperti bakti sosial, pendidikan, dan ibadah lintas agama.
Selain itu, konsensus teologis yang dihasilkan dari berbagai dialog internasional, seperti dokumen Dewan Gereja Dunia (WCC), dapat menjadi rujukan penting dalam mempersatukan gereja-gereja di Indonesia. Dengan memanfaatkan landasan teologis tersebut, maka gerakan ekumenis mempunyai peluang besar untuk memperkuat persatuan umat Kristiani di Indonesia.
S. B. Simanjuntak, Kekristenan dalam Dialog (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 45.
2.2.2. Meningkatnya Kebutuhan Akan Dialog dan Toleransi
Konflik agama yang masih terjadi di beberapa wilayah Indonesia, seperti Poso atau Ambon di masa lalu, menunjukkan pentingnya dialog antaragama untuk mencegah terulangnya konflik serupa. Dalam buku Rekonsiliasi dan Perdamaian (2011), Wellem S. Lasut mengamati bahwa masyarakat Indonesia semakin sadar akan pentingnya toleransi untuk menjaga stabilitas sosial. Kondisi ini membuka peluang bagi gerakan ekumenis untuk berperan lebih aktif dalam mendorong dialog dan perdamaian.
Gereja dapat menjadi fasilitator dialog antaragama dengan menjadikan nilai-nilai cinta kasih, pengampunan dan rekonsiliasi sebagai inti interaksinya. Selain itu, meningkatnya peran media sosial memberikan platform baru untuk menyebarkan pesan-pesan toleransi dan mendorong kerja sama antaragama. Dengan memanfaatkan teknologi tersebut, gereja dapat menjangkau khalayak yang lebih luas, khususnya generasi muda yang merupakan aktor penting dalam membangun masa depan bangsa.
Perlunya dialog juga tercermin dalam inisiatif bersama antaragama, seperti proyek kemanusiaan yang melibatkan berbagai kelompok agama. Misalnya saja program bantuan kemanusiaan dalam penanganan bencana alam di Indonesia yang menjadi contoh keberhasilan kerja sama antaragama. Melalui inisiatif seperti ini, gereja dapat menunjukkan bahwa persatuan dalam keberagaman adalah hal yang mungkin dan penting.
Wellem S. Lasut, Rekonsiliasi dan Perdamaian (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 67.
2.2.3. Dukungan Organisasi Ekumenis Tingkat Lokal Maupun Internasional
Peluang lain yang signifikan adalah dukungan dari organisasi ekumenis internasional dan lokal. Dewan Gereja-Gereja se-Dunia (World Council of Churches/WCC) dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) telah memberikan kontribusi besar dalam memajukan gerakan ekumenis di Indonesia. Dalam buku Gereja dan Perubahan Sosial (2007), Eka Darmaputera mencatat bahwa keberadaan organisasi seperti PGI telah memperkuat solidaritas antar gereja di Indonesia, khususnya dalam menghadapi tantangan sosial dan politik.
Dukungan internasional juga terlihat dalam bentuk program pelatihan, seminar, dan publikasi yang mempromosikan dialog lintas denominasi. Organisasi seperti WCC menyediakan platform untuk berbagi pengalaman dan strategi dengan gereja-gereja di negara lain. Hal ini memberikan wawasan baru bagi gereja-gereja di Indonesia untuk mengembangkan gerakan ekumenis yang lebih efektif.
Di tingkat lokal, PGI telah berperan dalam menyatukan berbagai denominasi Kristen di Indonesia melalui program-program seperti Pekan Doa untuk Kesatuan Umat Kristen. Acara-acara ini tidak hanya mempererat hubungan antar gereja tetapi juga memberikan kesaksian positif kepada masyarakat luas tentang pentingnya persatuan. Dukungan dari organisasi ini, baik di tingkat internasional maupun lokal, memberikan momentum yang kuat bagi gerakan ekumenis di Indonesia untuk berkembang lebih jauh.
Eka Darmaputera, Gereja dan Perubahan Sosial (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 112.
Demikianlah peluang yang dimiliki oleh gerakan ekumenis di Indonesia menunjukkan bahwa persatuan umat Kristen dapat menjadi kenyataan jika didukung oleh dasar teologis yang kuat, kesadaran akan pentingnya dialog lintas agama, dan dukungan dari organisasi ekumenis. Dengan memanfaatkan peluang ini, gereja-gereja di Indonesia dapat memainkan peran yang lebih signifikan dalam menciptakan harmoni di tengah keberagaman agama dan budaya. Untuk mewujudkan hal ini, dibutuhkan komitmen dari seluruh denominasi Kristen untuk bekerja sama dalam semangat persatuan dan kasih. Gerakan ekumenis di Indonesia tidak hanya relevan untuk gereja-gereja, tetapi juga untuk masyarakat secara keseluruhan, sebagai upaya untuk membangun Indonesia yang lebih inklusif dan damai.
2.3. Peran Ekumenisme dalam Mempromosikan Toleransi dan Kerjasama Antar Agama
2.3.1. Dialog Antar Agama
Dialog antaragama merupakan aspek penting dalam gerakan ekumenis. Sebagai bagian dari misi ekumenis, dialog ini bertujuan untuk menciptakan saling pengertian, menghilangkan prasangka, dan membangun hubungan yang lebih harmonis antar umat beragama. Dalam buku Pluralisme dan Kerukunan Beragama (2010), Bambang Pranoto menjelaskan bahwa dialog antaragama tidak hanya menyelesaikan konflik, tetapi juga memperkuat solidaritas sosial di masyarakat.
Dialog antaragama yang dilakukan gereja-gereja di Indonesia seringkali berfokus pada isu-isu bersama, seperti keadilan sosial, lingkungan hidup, dan penanggulangan bencana. Misalnya, dalam dialog antara gereja dan komunitas Muslim, topik seperti pengentasan kemiskinan dan pendidikan menjadi prioritas utama. Pendekatan ini membantu menciptakan hubungan yang lebih baik, karena berfokus pada isu-isu yang relevan bagi kedua belah pihak.
Selain itu, dialog ini juga melibatkan pemahaman tradisi agama masing-masing. Gereja-gereja yang terlibat dalam gerakan ekumenis seringkali mengundang para pemimpin agama lain untuk berdiskusi dalam forum terbuka. Forum seperti ini tidak hanya mempererat hubungan antaragama tetapi juga memberikan contoh positif bagi masyarakat luas.
Bambang Pranoto, Pluralisme dan Kerukunan Agama (Yogyakarta: Kanisius, 2010). 78.
2.3.2. Proyek Sosial Bersama
Proyek sosial bersama adalah wujud nyata dari kerjasama lintas agama yang diinisiasi oleh gerakan ekumenis. Dalam buku Gereja dan Masyarakat Plural (2008), T. Sumartana menyoroti bahwa gereja-gereja dapat memainkan peran penting dalam menggalang solidaritas lintas agama melalui kegiatan sosial seperti bantuan kemanusiaan.
Salah satu contoh konkret adalah penanganan bencana alam di Indonesia. Ketika terjadi gempa bumi di Yogyakarta tahun 2006, berbagai denominasi Kristen bekerja sama dengan kelompok agama lain untuk menyediakan bantuan bagi para korban. Kegiatan ini mencakup distribusi makanan, perawatan medis, dan pembangunan kembali fasilitas umum. Dalam situasi seperti ini, perbedaan agama tidak menjadi penghalang, melainkan justru mendorong solidaritas antarumat manusia.
Proyek sosial bersama juga sering kali berfokus pada pendidikan. Gereja-gereja yang terlibat dalam gerakan ekumenis telah bekerja sama dengan lembaga-lembaga Islam untuk mendirikan sekolah-sekolah yang inklusif. Sekolah-sekolah ini tidak hanya menerima siswa dari berbagai agama, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai toleransi dan keadilan. Dengan cara ini, gereja tidak hanya memberikan kontribusi pada pembangunan sosial, tetapi juga mempromosikan dialog lintas agama secara tidak langsung.
T. Sumartana, Gereja dan Masyarakat Plural (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 91
2.3.3. Contoh Kerjasama Antaragama di Indonesia
Kerjasama lintas agama di Indonesia telah memberikan banyak contoh sukses yang dapat menjadi inspirasi bagi gerakan ekumenis. Salah satu contoh adalah Komunitas Bhinneka Tunggal Ika di Semarang, yang terdiri dari berbagai kelompok agama termasuk Kristen, Islam, Hindu, dan Buddha. Dalam buku Membangun Indonesia yang Toleran (2015), A. Suparta mencatat bahwa komunitas ini telah berhasil menciptakan harmoni melalui kegiatan bersama, seperti perayaan hari besar agama yang melibatkan semua anggota komunitas.
Contoh lain adalah peran Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dalam mempromosikan kerjasama antaragama. PGI sering kali menjadi fasilitator dalam dialog lintas agama di tingkat nasional. Salah satu inisiatif mereka adalah program pelatihan kepemimpinan lintas agama untuk pemuda. Program ini tidak hanya membangun kapasitas pemimpin muda tetapi juga menciptakan jaringan lintas agama yang dapat mendukung perdamaian di masa depan.
Keberhasilan ini menunjukkan bahwa gerakan ekumenis tidak hanya relevan bagi umat Kristen, tetapi juga dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat secara keseluruhan. Dengan melibatkan berbagai kelompok agama dalam kegiatan sosial dan dialog, gerakan ini dapat menjadi kekuatan yang signifikan untuk membangun harmoni di Indonesia.
A. Suparta, Membangun Indonesia yang Toleran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015). 102.
Peran ekumenisme dalam mempromosikan toleransi dan kerjasama antaragama di Indonesia sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan inklusif. Melalui dialog antaragama, proyek sosial bersama, dan inisiatif sukses lainnya, gereja-gereja yang terlibat dalam gerakan ekumenis telah menunjukkan bahwa kerjasama lintas agama adalah mungkin dan membawa manfaat besar.
Untuk memaksimalkan peran ini, gereja-gereja perlu terus memperkuat komitmen mereka terhadap dialog dan kerjasama, serta melibatkan lebih banyak pihak dalam kegiatan ekumenis. Dengan cara ini, gerakan ekumenis dapat memberikan kontribusi yang lebih besar dalam membangun Indonesia yang damai dan toleran.
2.4. Strategi Praktis untuk Memperkuat Hubungan Ekumenis
2.4.1. Mengintegrasikan Materi Tentang Ekumenisme dalam Kurikulum Pendidikan Gereja
Pendidikan ekumenis merupakan salah satu fondasi utama untuk memperkuat hubungan antar denominasi Kristen. Dengan mengintegrasikan materi tentang ekumenisme dalam kurikulum pendidikan gereja, umat dapat lebih memahami pentingnya persatuan dan kerjasama. Dalam buku Ekumenisme dan Gereja Masa Depan (2012), E. Saragih menyatakan bahwa pendidikan yang sistematis tentang ekumenisme dapat membentuk pola pikir inklusif di kalangan jemaat sejak usia dini.
Materi pendidikan ekumenis dapat mencakup sejarah gerakan ekumenis, prinsip-prinsip teologis yang mendukung persatuan, dan contoh praktik kerjasama lintas denominasi yang berhasil. Selain itu, gereja-gereja juga dapat menyelenggarakan pelatihan dan seminar yang melibatkan pendeta, guru sekolah minggu, dan pemimpin gereja lainnya.
Di beberapa wilayah di Indonesia, program pendidikan ekumenis telah mulai diterapkan. Misalnya, Sekolah Teologi di Jawa Tengah mengadakan mata kuliah khusus tentang ekumenisme sebagai bagian dari kurikulumnya. Melalui program ini, mahasiswa tidak hanya belajar tentang teologi ekumenis, tetapi juga terlibat langsung dalam kegiatan lintas denominasi, seperti pelayanan bersama dan diskusi lintas agama.
E. Saragih, Ekumenisme dan Gereja Masa Depan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 45.
2.4.2. Mengadakan Kegiatan Sosial Bersama, Seperti Bakti Sosial atau Bantuan Bencana
Pelayanan bersama merupakan cara efektif untuk memperkuat hubungan antar denominasi sekaligus menunjukkan kesaksian bersama di tengah masyarakat. Menurut J. Simatupang dalam Gereja dan Masyarakat (2007), pelayanan bersama seperti bakti sosial atau bantuan bencana dapat menjadi titik temu bagi gereja-gereja yang berbeda doktrin dan tradisi.
Contoh konkret dari pelayanan bersama ini adalah ketika gereja-gereja di Manado bersatu dalam memberikan bantuan bagi korban banjir tahun 2014. Gereja-gereja ini tidak hanya mengumpulkan dana dan kebutuhan logistik secara bersama-sama, tetapi juga bekerja sama dalam mendistribusikan bantuan tanpa memandang latar belakang agama atau denominasi penerima bantuan.
Selain bantuan bencana, pelayanan bersama juga dapat berbentuk kegiatan rutin, seperti klinik kesehatan gratis, program literasi, atau pendampingan masyarakat marginal. Melalui kegiatan ini, gereja-gereja dapat membangun kepercayaan satu sama lain dan menunjukkan bahwa perbedaan denominasi tidak menghalangi mereka untuk bekerja sama demi kebaikan bersama.
J. Simatupang, Gereja dan Masyarakat (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 62.
2.4.3. Membentuk Forum Diskusi Reguler Antar Gereja dan Lintas Agama
Dialog berkelanjutan antara gereja-gereja adalah strategi penting untuk memperkuat hubungan ekumenis. Dialog ini tidak hanya berfungsi untuk menyelesaikan perbedaan, tetapi juga sebagai sarana untuk saling belajar dan memperkaya iman masing-masing. Dalam Ekumenisme di Tengah Pluralisme (2010), L. Marbun mencatat bahwa forum diskusi reguler antar gereja dapat membantu menciptakan rasa saling percaya dan menghormati (hlm. 88).
Dialog ini dapat difasilitasi oleh organisasi seperti Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) atau lembaga ekumenis lokal. Forum diskusi reguler dapat membahas berbagai topik, seperti isu-isu teologis, tantangan sosial, atau strategi pelayanan bersama. Dalam forum ini, setiap denominasi diberi kesempatan untuk berbagi pandangan dan pengalaman, sehingga tercipta pemahaman yang lebih mendalam tentang kekayaan tradisi masing-masing.
Sebagai contoh, di Yogyakarta, gereja-gereja Protestan dan Katolik telah membentuk kelompok diskusi rutin yang membahas isu-isu lingkungan. Kelompok ini tidak hanya mempertemukan para pemimpin gereja, tetapi juga melibatkan akademisi dan aktivis lingkungan. Melalui dialog ini, mereka berhasil menyusun program aksi bersama untuk mengurangi dampak perubahan iklim di daerah tersebut.
L. Marbun, Ekumenisme di Tengah Pluralisme (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 88.
Strategi praktis untuk memperkuat hubungan ekumenis, seperti pendidikan ekumenis, pelayanan bersama, dialog berkelanjutan, dan kolaborasi antar denominasi, memiliki potensi besar untuk menciptakan persatuan di tengah pluralisme agama di Indonesia. Implementasi strategi ini membutuhkan komitmen bersama dari seluruh denominasi Kristen, serta dukungan dari organisasi ekumenis nasional dan lokal.
Dengan melaksanakan strategi-strategi ini secara konsisten, gereja-gereja di Indonesia dapat menjadi teladan dalam membangun persatuan di tengah keberagaman, sekaligus memberikan kontribusi positif bagi harmoni sosial di masyarakat multireligius.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ekumenisme sebagai gerakan untuk mempererat hubungan antar denominasi Kristen memegang peranan penting dalam konteks Indonesia yang multiagama. Sebagai negara dengan keberagaman agama yang sangat tinggi, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menjaga kerukunan antarumat beragama. Di tengah keberagaman tersebut, ekumenisme dapat menjadi jembatan yang mempertemukan umat Kristen dengan umat beragama lain, meredakan ketegangan, dan mendorong toleransi.
Gerakan ekumenisme memiliki peran strategis dalam mendorong dialog antaragama dan menciptakan kerja sama lintas agama. Melalui ekumenisme, gereja-gereja Kristen dapat mempromosikan nilai-nilai kasih, kedamaian, dan saling pengertian yang menjadi fondasi utama ajaran Kristen. Hal ini memungkinkan gereja-gereja dari berbagai denominasi untuk bekerja sama dalam proyek-proyek sosial, kegiatan kemanusiaan, dan berbagai inisiatif yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Dengan demikian, ekumenisme dapat membentuk hubungan yang harmonis antarumat beragama dan meredakan ketegangan yang muncul akibat perbedaan agama.
Namun, di samping banyaknya peluang, gerakan ekumenisme di Indonesia juga menghadapi tantangan yang tidak kalah besar. Salah satu kendala utamanya adalah perbedaan teologis yang mendalam antar denominasi Kristen, yang sering kali menjadi penghalang untuk membangun kerja sama yang lebih erat. Selain itu, perbedaan sosial dan prasangka antar kelompok agama, baik di kalangan Kristen maupun antar agama, juga masih menjadi kendala. Ketegangan politik, yang sering kali melibatkan sentimen agama, juga memperburuk iklim pluralisme di Indonesia.
Namun, tantangan tersebut hendaknya tidak menghalangi upaya penguatan ekumenisme. Justru, peluang untuk membangun kerja sama antar denominasi dan lintas agama semakin terbuka lebar. Pendidikan tentang ekumenisme, penguatan dialog antaragama, dan kolaborasi sosial merupakan kunci penting untuk membangun kerukunan di Indonesia. Gereja dapat memperkuat rasa persatuan dalam keberagaman dan meningkatkan pemahaman terhadap kelompok agama lain, serta memperluas jaringan kerja sama yang dapat menciptakan masyarakat yang lebih damai dan toleran.
Secara keseluruhan, ekumenisme memiliki potensi besar untuk memperkuat toleransi dan kerja sama antar agama di Indonesia. Dengan berfokus pada nilai-nilai universal yang ada dalam setiap agama, ekumenisme dapat menjadi agen perubahan dalam menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan inklusif.
Saran
Ekumenisme adalah sebuah gerakan yang bertujuan mempersatukan kembali berbagai gereja dan denominasi Kristen yang terpecah-belah karena perbedaan doktrin, sejarah, atau praktik. Namun, dalam konteks yang lebih luas, ekumenisme juga merujuk pada upaya membangun kerjasama dan pemahaman antar semua agama.
Di Indonesia, dengan keberagaman agama yang begitu kaya, ekumenisme memiliki peran yang sangat penting. Negara kita merupakan rumah bagi berbagai macam kepercayaan, mulai dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, hingga kepercayaan lokal. Keberagaman ini menjadi kekayaan sekaligus tantangan tersendiri. Dengan terciptanya Ekumenisme itu sendiri membuat antar umat saling memahami dan menghormati,
Ekumenisme membantu membangun rasa persatuan dan kesatuan di antara masyarakat Indonesia yang beragam. Juga Membuka ruang komunikasi yang terbuka dan saling menghormati antar pemeluk agama. Ini bisa dilakukan melalui diskusi, seminar, atau kegiatan bersama lainnya, Lalu hal ini menanamkan nilai-nilai toleransi, saling menghormati, dan perdamaian dalam pendidikan agama. Ini penting agar generasi muda tumbuh dengan sikap yang inklusif dan menghargai perbedaan, Meningkatkan pemahaman tentang agama lain melalui studi agama, kunjungan ke tempat ibadah, atau pertukaran budaya. Ini membantu menghilangkan miskonsepsi dan prasangka, Membuka jaringan antar umat beragama untuk memperkuat kerjasama dan solidaritas. Jaringan ini bisa berupa forum diskusi, komunitas, atau organisasi lintas agama,
Menghindari generalisasi yang negatif terhadap agama lain dan pemeluknya. Ini penting untuk mencegah terjadinya stereotipe dan prasangka, Menerima bahwa perbedaan adalah hal yang wajar dan memperkaya kehidupan bermasyarakat. Kita harus belajar menghargai keragaman sebagai anugerah dan Menunjukkan sikap toleransi dan saling menghormati dalam kehidupan sehari-hari.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Amin. Agama dalam Dialog: Perspektif Filosofis dan Praktis, Jakarta: Rajawali Press, 2004.
Benny Susetyo, Rekonsiliasi Agama di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2012.
Daermaputera Eka, Gereja dan Perubahan Sosial, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007.
Darmaputera Eka, Pancasila dan Agama, Jakarta: Gunung Mulia, 1987.
Frans Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Laust.S.Wellem, Rekonsiliasi dan Perdamaian , Yogyakarta: Kanisius, 2011.
Makin Al, Pluralisme dan Toleransi di Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Marbun.L, Ekumenisme di Tengah Pluralisme, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Pranoto Bambang, Pluralisme dan Kerukunan Agama , Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Saragih. E, Ekumenisme dan Gereja Masa Depan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.
Simanjuntak B.S, Kekristenan dalam Dialog, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
Simatupang.J, Gereja dan Masyarakat, Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Sumartana, T, Gereja dan Masyarakat Plural, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.
Suparta, A, Membangun Indonesia yang Toleran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Titaley John, Menyambut Dialog Agama, Yogyakarta: Kanisius, 2008.
14