APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama
Volume 21, Nomor 1, 2021 | Page: 45-58
ISSN 1411-8777 (p) | ISSN 2598-2176 (e)
ONLINE: ejournal.uin-suka.ac.id/pusat/aplikasia
KONSEP AWAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
OLEH ‘AISYIYAH
Kajian Media terhadap Suara ‘Aisyiyah Edisi Pra-Kemerdekaan
Adib Sofia
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Indonesia
[email protected]
Abstract - One of the social capital that the Indonesian nation has to conduct community empowerment since
the pre-independence era until today is ‘Aisyiyah. Since its establishment in 1917, ‘Aisyiyah has owned many
models of social empowerment through its movements spread throughout Indonesia and abroad. ‘Aisyiyah has
also conducted the community empowerment through a media, Suara ‘Aisyiyah. The initial concept of
community empowerment by ‘Aisyiyah needs to be revealed because it is the basic identification conducted by
‘Aisyiyah as a whole until today. This writing reveals two things. First, the initial concept of community
empowerment by ‘Aisyiyah contained in Suara ‘Aisyiyah in the era of national movement. Second, the
community empowerment sectors conducted by Suara ‘Aisyiyah in the era of national movement. As a whole this
writing reveals a phenomenon that is different from a description happening in the colonial era. Generally in
the pre-independence era women were described as the members of society who were uneducated, backward, and
had no actions in public domain. This writing reveals that women in the pre-independence era had the concept
of community empowerment complete with its sectors.
Keyword: community empowerment, national movement, Suara ‘Aisyiyah.
Abstrak - Salah satu modal sosial yang dimiliki bangsa Indonesia untuk melakukan pemberdayaan
masyarakat sejak sebelum kemerdekaan hingga saat ini adalah ‘Aisyiyah. Sejak berdiri pada 1917
‘Aisyiyah memiliki banyak model pemberdayaan masyarakat melalui gerakannya yang tersebar di
seluruh Indonesia dan di luar negeri. ‘Aisyiyah juga melakukan pemberdayaan masyarakat melalui
media, yaitu Suara ‘Aisyiyah. Konsep awal pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh
‘Aisyiyah perlu diungkap karena merupakan dasar identifikasi pemberdayaan masyarakat yang
dilakukan oleh ‘Aisyiyah secara keseluruhan hingga saat ini. Tulisan ini mengungkap dua hal.
Pertama, konsep awal pemberdayaan masyarakat oleh ‘Aisyiyah yang terdapat dalam Suara
‘Aisyiyah era pergerakan nasional. Kedua, bidang-bidang pemberdayaan masyarakat yang
dilakukan melalui Suara ‘Aisyiyah era pergerakan nasional. Secara keseluruhan tulisan ini
mengungkap sebuah fenomena yang berbeda dari gambaran yang selama ini terjadi pada era
penjajahan. Biasanya pada masa sebelum kemerdekaan, perempuan digambarkan sebagai anggota
masyarakat yang tidak berpendidikan, terbelakang, dan tidak mempunyai kiprah di ranah publik.
Tulisan ini mengungkap bahwa perempuan sebelum era kemerdekaan memiliki konsep
pemberdayaan masyarakat lengkap dengan bidang-bidangnya.
Kata kunci: pemberdayaan masyarakat, pergerakan nasional, Suara ‘Aisyiyah.
This article is distributed under the terms of the Creative Commons AttributionNonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0)
Adib Sofia
A. PENDAHULUAN
Konsep pemberdayaan masyarakat terus berkembang seiring dengan perkembangan
pemikiran manusia serta dinamisnya problematika kehidupan yang terjadi dalam setiap masa.
Berbagai terminologi dikembangkan dengan fokus dan cara yang berbeda. Akan tetapi, prinsip dasar
pemberdayaan masyarakat sebagai ‘sebuah upaya yang dilakukan agar suatu masyarakat memiliki
kemampuan dan kekuatan dalam menjalani hidup dengan lebih berkualitas’ masih mendasari semua
konsep ini.
Secara konseptual pemberdayaan masyarakat (empowerment) berasal dari kata power yang
memiliki arti kekuasaan atau keberdayaan. Pemberdayaan masyarakat mencakup tiga dimensi, yaitu
kemampuan kerakyatan, kemampuan sosiopolitik, dan kemampuan partisipatif. Selain itu,
pemberdayaan merujuk pada tiga hal. Pertama, sebuah proses pembangunan yang bermula dari
pertumbuhan individual kemudian berkembang menjadi perubahan sosial yang lebih besar. Kedua,
sebuah keadaan psikologis yang ditandai oleh rasa percaya diri, berguna, dan mampu mengendalikan
diri dan orang lain. Ketiga, pembebasan yang dihasilkan dari sebuah gerakan sosial. Pembebasan ini
dimulai dari pendidikan terhadap orang-orang lemah dan selanjutnya melibatkan upaya-upaya
kolektif dari orang-orang lemah tersebut untuk memperoleh kekuasaan dan mengubah strukturstruktur yang masih menekan (Suharto, 2006).
Pemberdayaan dapat dilakukan dengan adanya sebuah modal sosial yang terdapat dalam
masyarakat. Modal sosial itu merupakan hubungan-hubungan antara manusia, yaitu orang-orang
yang melakukan aksi kepada sesamanya karena adanya kewajiban sosial dan timbal balik, solidaritas
sosial, dan komunitas. Modal sosial ini merupakan perekat yang menyatukan masyarakat. Oleh
karena itu, suatu pemberdayaan akan berhasil jika memperkuat masyarakat madani atau masyarakat
sipil, yaitu struktur-struktur formal maupun semiformal yang dibentuk masyarakat secara sukarela
dengan inisiatif mereka sendiri, bukan sebagai konsekuensi dari program maupun arahan tertentu
dari masyarakat (Ife dan Tesoriero, 2008)
Salah satu modal sosial sebagaimana yang diuraikan di atas adalah Muhammadiyah dengan
berbagai organisasi otonom di bawahnya. Pendirian Muhammadiyah berawal dari kegelisahan serta
keprihatinan social religious dan moral yang disebabkan oleh pendidikan yang rendah, kemiskinan,
maupun keterbelakangan. Pendiri Muhammadiyah, yaitu K. H. Ahmad Dahlan, pada waktu itu
sangat prihatin terhadap kondisi bangsa Indonesia, seperti belum memadainya lembaga pendidikan,
lemahnya kepemimpinan, serta tekanan dunia Barat, terlebih bangsa Belanda yang bersikap acuh
hingga merendahkan msayarakat. Selain itu, Muhammadiyah juga lahir karena munculnya gerakan
pembaharuan di dunia. Muhammadiyah berdiri pada 18 November 1912. Untuk memperkuat
gerakannya, Muhammadiyah membentuk organisasi otonom, di antaranya ‘Aisyiyah, Pemuda
Muhammadiyah, Nasyiatul ‘Aisyiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Tapak Suci Putera
Muhammadiyah, serta Hizbul Wathan (Miswanto dan Arofi, 2012).
Di antara organisasi otonom tersebut, ‘Aisyiyah memiliki kekhasan sebagai organisasi
otonom khusus karena kiprah dan amal usahanya yang besar. Pada awalnya, perempuan
46
APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 1, 2021
Konsep Awal Pemberdayaan Masyarakat oleh ‘Aisyiyah
Muhammadiyah, seperti Siti Walidah istri K. H. Ahmad Dahlan, memperkenalkan pemikiran
bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dan mereka menentang praktik
pernikahan paksa. Pada 1914 semangat perempuan Muhammadiyah dalam memperjuangkan
perempuan dilakukan dengan membuat kelompok pengajian yang beranggotakan perempuan, di
antaranya Sopo Tresno, Wal ‘Asri, serta Magribi School. Upaya tersebut tidak mudah karena
mendapat tentangan dari masyarakat. Meskipun demikian, usaha tersebut mampu memberi
penyadaran kepada kaum perempuan tentang pentingnya pendidikan untuk melawan penjajah
(Andriyani, 2017).
‘Aisyiyah resmi didirikan pada 19 Mei 1917. ‘Aisyiyah pun berinisiatif mendirikan sekolah
untuk usia anak di bawah lima tahun (balita) karena sekolah dipandang sebagai pondasi pertama
dalam pendidikan selain keluarga. Di sekolah itu anak-anak diajari menyanyi, mengaji, menulis huruf
latin, dan sebagainya. Hingga saat ini ‘Aisyiyah telah memiliki puluhan ribu Taman Kanak-Kanak
‘Aisyiyah Bustanul Athfal (TK ABA), Taman Pendidikan Al-Qur’an, serta pendidikan sejenis
lainnya di seluruh penjuru Nusantara (Safitri dan Haryanto, 2020).
‘Aisyiyah juga dikenal sebagai salah satu organisasi yang berpartisipasi aktif dalam Kongres
Wanita Indonesia pertama yang diselenggarakan pada 22-25 Desember 1928. Hingga saat ini
‘Aisyiyah masih eksis dan berkembang dengan pesat. Tidak hanya beroperasi di seluruh provinsi di
Indonesia, ‘Aisyiyah kini berkembang hingga ke luar negeri, seperti Australia, Mesir, Hongkong,
Malaysia, hingga Taiwan (Siti Syamsiyatun, 2020). Pada era sekarang ‘Aisyiyah juga merambah
dalam mendukung SDGs, dengan berkontribusi pada aspek ekonomi, yaitu melalui Bina Usaha
Ekonomi Keluarga ‘Aisyiyah (BUEKA) (Saud dkk., 2020).
Selain pemberdayaan dalam bentuk pendirian berbagai amal usaha, ‘Aisyiyah juga
menjalankan pemberdayaan masyarakat melalui media, yaitu melalui majalah. Perintisan majalah ini
dilakukan pada 1923 dalam sebuah upaya pemberantasan buta huruf, baik buta huruf Arab maupun
Latin. Selanjutnya, pada 1926 ‘Aisyiyah mulai menerbitkan majalah yang bernama Suara ‘Aisyiyah
yang pada penerbitan pertama masih berbahasa Jawa (Pangestuty, 2017). Majalah ini terbit sebulan
sekali, berisi agama Islam serta berbagai gagasan mengenai pemberdayaan perempuan (Nasution
dkk., 2019). Hingga pada 2021 atau usia 95 tahun, Suara ‘Aisyiyah masih eksis dan mengikuti
perkembangan zaman dengan menjadi majalah digital, walaupun majalah cetaknya juga masih
diproduksi untuk berbagai kalangan di seluruh Indonesia (Suara Muhammadiyah, 2021).
Pemberdayaan masyarakat melalui media ini memiliki fungsi untuk mengkomunikasikan
beberapa informasi dalam beragam tujuan, program, dan segmen. Fungsi utama media tersebut
adalah memberi informasi (to inform), mendidik masyarakat (to educate), menyajikan hiburan (to
entertaint), dan mempengaruhi masyarakat (to influence) (Herdiana, 2010). Tentu fungsi-fungsi
tersebut selaras dengan kepentingan ‘Aisyiyah karena setiap media selalu merefleksikan kepentingan
pihak yang mengelolanya (McQuail, 1996). Media massa merupakan alat atau mediator yang efektif
dalam publikasi pemberdayaan masyarakat. Teks di media massa merupakan salah satu bentuk
praktik ideologi. Bahasa, tulisan, pilihan kata, maupun struktur gramatika dipahami sebagai pilihan
APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21 No. 1, 2021
47
Adib Sofia
yang diungkapkan membawa makna ideologi tertentu dalam taraf memenangkan dukungan publik
(Eriyanto, 2011).
Untuk mengungkap konsep awal pemberdayaan masyarakat melalui media yang dilakukan
oleh ‘Aisyiyah, diperlukan pembahasan terhadap Suara ‘Aisyiyah. Objek material yang dipilih dalam
tulisan ini ialah Suara ‘Aisyiyah yang terbit pada era pergerakan nasional, yaitu pada awal
dilakukannya pemberdayaan melalui media (1926) hingga tahun 1940. Konsep awal ini penting
untuk diungkap karena merupakan dasar identifikasi pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh
‘Aisyiyah secara keseluruhan hingga saat ini. Era pra-kemerdekaan atau pergerakan nasional menjadi
penting karena beberapa hal. Pertama, pada tahun itu terjadi pergerakan nasional dari tahap
pertengahan hingga tahap akhir yang memperjuangkan kemandirian bangsa. Pada masa itu pula,
gerakan perempuan Indonesia tengah gencar melakukan pemberdayaan perempuan. Kedua, sebagai
edisi permulaan, tepatnya 15 tahun pertama, idealisme yang dibangun oleh Suara ‘Aisyiyah hingga
saat ini menjadi napas bagi perkembangan majalah tersebut.
Tulisan ini setidaknya mengungkap dua hal. Pertama, konsep awal pemberdayaan
masyarakat ‘Aisyiyah yang terdapat dalam Suara ‘Aisyiyah pada edisi pra-kemerdekaan. Kedua,
bidang-bidang pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh ‘Aisyiyah melalui Suara ‘Aisyiyah
pada edisi pra-kemerdekaan. Dengan demikian, secara keseluruhan tulisan ini mengungkap sebuah
fenomena yang berbeda dari gambaran yang selama ini terjadi pada era penjajahan. Biasanya pada
masa sebelum kemerdekaan perempuan digambarkan sebagai anggota masyarakat yang tidak
berpendidikan, terbelakang, dan tidak mempunyai kiprah di ranah publik. Tulisan ini mengungkap
bahwa perempuan sebelum era kemerdekaan memiliki konsep pemberdayaan masyarakat lengkap
dengan bidang-bidangnya.
B. METODE
Secara umum media dipahami sebagai alat maupun sarana komunikasi yang menjadi
penghubung antar-manusia, baik berupa majalah, radio, koran, film, televisi, spanduk, poster,
maupun berbagai jenis alternatif yang terdapat di internet. Dalam kajian komunikasi massa, media
dipahami sebagai perangkat yang diorganisasi untuk berkomunikasi secara terbuka dalam situasi
berjarak maupun dalam kurun waktu yang singkat kepada khalayak luas (Junaedi, 2007). Dalam
konteks ini, media memiliki pengertian mediasi yang menjembatani jarak (distance) antara ide
dengan kehidupan yang empiris.
Media juga disebut sebagai (1) jendela yang memungkinkan seseorang melihat fenomena
yang terjadi melebihi lingkungan sekitarnya, (2) penerjemah yang membantu seseorang memiliki
rasa mengalami, (3) platform atau pembawa yang menyalurkan informasi serta komunikasi
interaktif yang meliputi umpan balik kepada khalayak, (4) penanda yang memberikan instruksi dan
petunjuk, (5) penyaring bagian-bagian pengalaman dan berfokus pada suatu hal, (6) cermin yang
memantulkan realitas, serta (7) pembatas yang menghalangi kebenaran (McQuail dalam Junaedi,
2007).
48
APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 1, 2021
Konsep Awal Pemberdayaan Masyarakat oleh ‘Aisyiyah
Pada abad ke-20, tepatnya pasca-berkembangnya teori kebebasan pers yang libertarian,
berkembanglah teori tanggung jawab dan kontribusi kepada masyarakat. Media massa berkewajiban
menjalankan fungsi-fungsi esensial tertentu di luar fungsi utama yang diembannya. Dengan
demikian, media memiliki peran signifikan dalam pengembangan kehidupan sosial, ekonomi, dan
politik masyarakat, di samping peran utamanya sebagai pencari dan penyebar informasi. Dalam
pemberdayaan masyarakat, media bahkan sering disebut sebagai salah satu pilar dalam
pengembangan masyarakat madani (civil society). Media memiliki fungsi sebagai sosialiasi gagasan,
ide, bahkan citra untuk diletakkan dalam konteks kehidupan yang lebih empiris. Selain itu, sebagai
alat untuk menyampaikan informasi, penilaian, atau gambaran umum tentang banyak hal, media
memiliki kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang membentuk opini publik (Abidin dan
Kurniawati, 2004).
Tidak dapat dimungkiri bahwa dalam konteks semacam ini, media sering dirangkai dengan
kata massa sehingga menjadi frase media massa. Terminologi massa (mass) yang melekat dalam frase
ini dapat diartikan dalam dua sisi. Sisi pertama melihat massa sebagai sekumpulan orang yang tidak
teratur, sedangkan sisi kedua melihat massa sebagai sekumpulan orang yang teratur dan berperan
sebagai agen perubahan sosial (agent of social change). Dalam hal ini massa tidak dapat dipisahkan
dengan institusi media dalam berbagai bentuknya (Junaedi, 2007).
Salah satu bentuk media massa adalah media organisasi. Keberadaann media semacam ini
dapat diihat dalam dua peran strategis. Dalam lingkup internal, media organisasi dapat berperan
menumbuhkan komunikasi dialogis sekaligus menambahkan budaya organisasi. Dari sudut
kepentingan organisasi, komunikasi internal bersifat fungsional dalam membangun sistem internal
dalam organisasi itu. Tujuan diadakannya media organisasi dan setiap individu membangun human
relationship antara organisasi dan setiap individu di dalam organisasi. Dengan demikian, setiap
langkah organisasi mendapat pemahaman serta dukungan secara internal. Sementara itu, dalam
lingkup eksternal media organisasi dapat berperan dalam membentuk citra organisasi. Komunikasi
eksternal dimaksudkan untuk mendukung keberadaan organisasi secara sosial di tengah masyarakat.
Ia merupakan upaya untuk membangun public relationsip yang baik dengan pihak luar sehingga
terbentuk citra sosial (social image) yang positif atas organisasi (Siregar dan Pasaribu, 2000).
Pemenuhan akan dua kepentingan di atas dipengaruhi oleh tiga persoalan, yaitu (1) apa yang
dikomunikasikan, (2) bagaimana komunikasi diselenggarakan, dan (3) kapan komunikasi
berlangsung. Persoalan apa yang dikomunikasikan ini berkaitan dengan substansi informasi yag
disampaikan. Jika substansi informasi itu hanya bersinggungan dengan kepentingan satu pihak atau
komunikasi berlangsung searah, akan sulit diketahui apakah informasi berhasil mencapai tujuan.
Sementara itu, persoalan cara berkomunikasi berkaitan dengan bahasa maupun format
penyampaian informasi. Jika format maupun bahasa tidak dimengerti oleh salah satu pihak, maka
informasi pun tidak dapat dimengerti. Demikian pula dalam persoalan kapan komunikasi
berlangsung. Persoalan ini terkait dengan pemilihan saat yang tepat untuk berkomunikasi (Siregar
dan Pasaribu, 2000).
APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21 No. 1, 2021
49
Adib Sofia
Pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan, termasuk pemberdayaan melalui
media massa, dapat dicapai dengan menerapkan pendekatan pemberdayaan yang terdiri atas
pemungkinan, penguatan, perlindungan, penyokongan, dan pemeliharaan. Pemungkinan
merupakan upaya menciptakan suasana atau iklim yang memungkinan potensi masyarakat
berkembang secara optimal, sedangkan penguatan merupakan upaya memperkuat pengetahuan dan
kemampuan yanng dimiliki oleh masyarakat dalam memecahkan masalah dan memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya. Sementara itu, perlindungan merupakan upaya melindungi masyarakat
agar tidak tertindas oleh kelompok yang lebih kuat dan penyokongan sebagai upaya memberikan
bimbingan dan dukungan agar masyarakat mampu menjalankan peran dan tugas-tugas
kehidupannya. Terakhir, pemeliharaan adalah upaya memelihara kondisi yang kondusif agar tetap
terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan anatra berbagai kelompok dalam masyarakat (Suharto,
2006).
Uraian mengenai metode di atas yang dirangkai dengan beberapa pendekatan pemberdayaan
yang diuraikan pada awal tulisan ini, digunakan untuk melihat upaya ‘Aisyiyah dalam
memberdayakan masyarakat melalui Suara ‘Aisyiyah.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Suara ‘Aisyiyah sebagai Media Pemberdayaan Masyarakat
Terbitnya majalah Suara ‘Aisyiyah dilatarbelakangi oleh kondisi bangsa Indonesia yang kala
itu berada dalam era Pergerakan Nasional. Era ini adalah masa seusai bangsa Indonesia menjalani era
eksploitasi oleh Belanda pada akhir abad ke-19 yang dilakukan melalui tangan Verenigde Oost
Indische Compagnie (VOC) atau Kongsi Dagang India Timur, sistem Cultuurstelse atau tanam
paksa, imperialisme modern dan politik kolonial liberal, serta politik kolonial etika. Pada era yang
muncul sesudah abad ke-19 ini tumbuhlah organisasi-organisasi yang bereaksi dan memberikan
perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Di antara organisasi pergerakan nasional modern itu ialah
Budi Utomo, Sarekat Dagang Islam, Sarekat Islam, Muhammadiyah, Indische Partij, Perhimpunan
Indonesia, dan Partai Nasional Indonesia. Oganisasi-organisasi ini tidak lagi melakukan perlawanan
yang bersifat lokal, irasional, dan tanpa follow up yang jelas, melainkan lebih bersifat nasional,
menggunakan diplomasi, terorganisasi dalam AD/ART, serta memiiliki konsep (Moedjanto, 1998).
Lahirnya majalah Suara ‘Aisyiyah berawal dari inisiatif Siti Hajinah yang pada saat itu masih
berusia 19 tahun. Ia memiliki kecakapan dalam hal menulis, memiliki wawasan yang luas, serta
memiliki kemampuan dalam berorasi sehingga ia kerapkali ditugasi untuk melakukan kegiatan di
luar Muhammadiyah. Ia juga pernah mengusulkan untuk mendirikan bibliotheek atau
perpustakaan untuk perempuan serta menerbitkan surat kabar, majalah, dan kitab untuk kaum ibu.
Pada 1938-1940 ia diangkat menjadi pimpinan redaksi majalah Suara ‘Aisyiyah (Nura’ini, 2013).
Suara ‘Aisyiyah merupakan majalah perempuan tertua di Indonesia yang sampai tahun 2021
ini masih terbit tanpa pernah berhenti. Suara ‘Aisyiyah telah melewati zaman kolonial Belanda,
zaman Jepang, zaman Kemerdekaan, hingga zaman ini. Selain sebagai alat untuk mempublikasikan
program-program ‘Aisyiyah, majalah bulanan ini juga merupakan alat yang strategis dalam
50
APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 1, 2021
Konsep Awal Pemberdayaan Masyarakat oleh ‘Aisyiyah
memberikan perluasan pengetahuan, penyadaran peran perempuan dalam dunia domestik dan
publik, serta pemberdayaan bagi masyarakat pembaca yang menjadi sasarannya, yaitu perempuan di
Indonesia (Suara ‘Aisyiyah, 2021).
Suara ‘Aisyiyah diterbitkan pertama kali oleh Muhammadiyah Bagian ‘Aisyiyah pada
Oktober 1926 dalam bahasa Jawa. Pada tahun pertama, majalah ini hanya terbit sembilan nomor
dan setiap nomornya dicetak sebanyak 600 hingga 900 eksemplar. Meskipun dibagikan secara
percuma (gratis), redaksi menuliskan bahwa majalah itu mengharapkan derma dari pembaca demi
keberlangsungannya. Selanjutnya, pada 1927 Suara ‘Aisyiyah mulai menggunakan bahasa Melayu
dalam beberapa artikelnya dan terbitannya genap 1000 eksemplar setiap bulan. Pada tahun ketiga,
yaitu edisi-edisi pada ahun 1928, artikel di Suara ‘Aisyiyah lebih banyak menggunakan bahasa
Melayu (Wasool dan Mawardi, 1940).
Pada tahun 1929-1933 Suara ‘Aisyiyah sempat mengalami krisis akibat kekurangan
dukungan derma dan kekurangan naskah. Meskipun demikian, redaksi dan Pimpinan Pusat
‘Aisyiyah terus berupaya menerbitkan Suara ‘Aisyiyah. Pengurus Suara ‘Aisyiyah terus berupaya
mencari pemasukan hingga pada 1934 mereka memiliki mesin cetak dan seperangkat meja tulis
sebagai peralatan kantor. Dengan modal kedua hal itu ditambahkan dengan manajemen yang mulai
tertata, sejak 1934 hingga 1940 Suara ‘Aisyiyah dapat terbit memenuhi keinginan pembaca untuk
memberikan pengetahuan dan isu-isu terbaru yang menyangkut kehidupan perempuan pada masa
itu.
Sampai tahun 1940, pengurus Suara ‘Aisyiyah terdiri atas enam orang, yaitu Siti Hajinah,
Siti Wachidah, Siti Aminah, Siti Moemtichanah, Siti Zaharijah, dan Siti Rr. Hidanah. Mereka secara
konsisten berperan sebagai redaksi dan komisaris majalah Suara ‘Aisyiyah hingga genap berusia 15
tahun pada 1940. Suara ‘Aisyiyah yang awalnya dengan ejaan Soeara Aisjijah, oplah atau jumlah
cetakan yang diedarkan kini sudah mencapai 6000 eksemplar dan tidak hanya dijangkau di Indonesia
saja, bahkan hingga ke beberapa negara seperti Singapura, Australia, Mesir, maupun Amerika (Suara
‘Aisyiyah, 2021).
2. Bentuk Pemberdayaan Masyarakat
Pada era pergerakan nasional Suara ‘Aisyiyah menurunkan berbagai tulisan dan liputan yang
berupaya menciptakan suasana atau iklim pembaca sehingga memungkinkan potensi pembaca
dapat berkembang secara optimal pada masa itu. Di antara upaya pemungkinan itu terdapat pada
edisi pertama (Oktober 1926). Dalam pembukaan disebutkan bahwa jumlah perempuan yang
memiliki pengetahuan untuk menulis, membaca, dan memanfaatkan media pada saat itu masih
sangat sedikit. Hal ini terdapat dalam paragraf berikut.
“...Mangga para sederek, koela atoeri menggalih, poendi wonten serta kabar estri ingkang
kawedalaken kaoem estri, toewin oegi namoeng toemoedjoe dateng kita sadaja para estri? O,
dereng wonten! Mila kita para pangreh ‘Aisjijah mrihatosaken sanget dateng kawontenan
ingkang kados makaten waoe, supados sageda ngindakaken kemadjengan kita para estri...”
APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21 No. 1, 2021
51
Adib Sofia
Artinya: “........Mari saudara, saya minta untuk berpikir, adakah surat kabar perempuan yang
diterbitkan oleh kaum perempuan, serta hanya ditujukan untuk para perempuan? O, belum
tentu ada! Oleh karena itu, pengurus ‘Aisyiyah merasa sangat prihatin dengan keadaan yang
demikian supaya dapat melakukan kemajuan bagi kita para perempuan”
(Wasool dan Mawardi, 1940)
Sementara itu, sebagai pendekatan pemberdayaan yang berupa penguatan pengetahuan dan
kemampuan yang dimiliki pembaca, Suara ‘Aisyiyah memberikan gambaran bahwa perempuan
memiliki kekhasan dibandingkan dengan laki-laki sebagai berikut.
“...Kita sadaja para istri oegi kedah nggadahi ngamal pijambak, ingkang saged damel
kawiloedjengan kita, ing donja doemoegi acherat. Poenapa malih kita sadaja poenika ingkang
wadjib djagi dateng para poetra, ingkang nglangkoengi awratipoen tinimbang sederek
kakong...”
Artinya: “”Kita para perempuan semua juga harus memiliki amal sendiri yang bisa membuat
keselamatan kita di dunia hingga akhirat. Apalagi kita semua ini yang wajib menjaga anak-anak
sekaligus yang menjalani beratnya daripada laki-laki...”
(Wasool dan Mawardi, 1940)
Gagasan tentang perempuan ini terus dituliskan pada edisi-edisi berikutnya. Pada edisi IV
tahun 1927, misalnya, tertuang ide bahwa perempuan memiliki derajat yang sama dengan laki-laki.
Artikel yang secara khusus menuliskan hal ini berjudul “Derajading Tijang Estri Wonten ing Agami
Islam” atau “Derajat Perempuan dalam Agama Islam”. Artikel ini menjelaskan derajat perempuan
sejak zaman jahiliyah hingga tahun 1927, sekaligus mengungkapkan pandangan seorang ilmuwan
Eropa, Annie Bessant, tentang betapa hukum dalam Islam telah menempatkan perempuan dengan
adil.
Pada edisi itu juga dimuat sebuah artikel kiriman dari pembaca di Purwokerto tentang
perlunya kesadaran menjadi guru. Ia mengharapkan pembaca Suara ‘Aisyiyah tergerak untuk
menjadi pendidik ditempatnya masing-masing sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang terdidik dan
memiliki pengetahuan yang luas. pembaca dari Cilacap juga menulis tentang perlunya dibentuk
kelompok-kelompok pengajian dan diskusi untuk mengulas persoalan-persoalan peran perempuan
pada masa pergerakan nasional.
Selain mengajak untuk meningkatkan akhlak dengan berkerudung, edisi ini juga
mensosialisasikan hasil kongres Muhammadiyah yang terkait dengan ‘Aisyiyah, di antaranya
‘Aisyiyah di berbagai tempat perlu membuat Bagian Wal Ashri untuk memberdayakan masyarakat,
mengadakan Serikat Ibu yang mengurusi kesehatan anak di lingkungannya masing-masing,
memberikan beasiswa kepada anak perempuan supaya mau bersekolah, memabngun pondok bagi
anak-anak perempuan, membuat gerakan anti-membeli makanan yang tidak sehat, mengadakan
52
APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 1, 2021
Konsep Awal Pemberdayaan Masyarakat oleh ‘Aisyiyah
lembaga pengurusan jenazah, pernikahan, dan menyunatkan, serta menghimpun dana untuk aksi
sosial.
Menurut Hajinah, hal yang paling menarik dari edisi tahun 1927 di samping perubahan
secara fisik majalah adalah mulai ditulisnya riwayat tentang tokoh-tokoh perempuan, termasuk para
pengarang perempuan. Sementara itu, hal yang sempat ramai menjadi perdebatan pembaca dan
perundingan dalam berbagai majlis adalah ketika Suara ‘Aisyiyah menurunkan tulisan tentang
perlunya perempuan bisa mengendarai sepeda (fiets) (Wasool dan Mawardi, 1940)
Memasuki tahun 1930, Suara ‘Aisyiyah masih terus menurunkan tulisan seputar derajat
perempuan serta sosialisasi pengadaan bagian-bagian yang disebutkan di atas. Sebuah artikel dari
Gorontalo pada edisi V tahun 1930 menyebutkan bahwa kewajiban perempuan saat itu sama seperti
laki-laki, yaitu membela bangsa. Menurutnya, hal yang paling mudah dilakukan dalam membela
bangsa adalah dengan menyelenggarakan pendidikan. Karena itulah di Gorontalo dilaporkan telah
dibangun kelompok-kelompok kajian perempuan serta telah dibuka pula Bustanul Athfal. 1931
lebih banyak memberikan ruang pada tulisan tentang tafsir. Hal yang baru dari edisi ini adalah
munculnya rubrik obat-obatan. Rubrik ini dibuat mengingat gerakan ‘Aisyiyah pada waktu itu
peduli pada kesehatan.
Pada 1932 bangsa ini tengah resah oleh adanya kebiasaan menjual dan membeli lotre. Karena
itu, di Suara ‘Aisyiyah diturunkan tulisan tentang larangan mengadakan, membeli, meminta, dan
menggunakan lotre. Edisi ini menyerukan agar pembaca mengajak para pemuda-pemuda yang
sedang “gandrung” dengan lotre untuk menghindarinya.
“...kalau kita akan membangoen bangsa kita ketengah-tengah kemadjoean haroeslah iboe kita
lebih didahoeloekan pada menanamkan rasa soetji dan mendidiknya dengan pendidikan
jang bergoena sekali padanja. Ingatlah wahai bangsakoe perempoean! Selama kita dalam
kedjahilan dan kelalaian tidaklah akan sempoerna kemadjouan jang telah ditjita-tjijakan
itoe...” (edisi V tahun 1932 hlm. 308-309).
Pada edisi yang sama diturunkan tulisan dari pembaca di Kendal tentang derajat perempuan
dalam Islam. Tulisan ini dapat dimasukkan dalam kategori pendekatan pemberdayaan yang
berupaya melindungi masyaraka agar tidak tertindas oleh kelompok yang lebih kuat. Pada tulisan
yang berjudul “Dapatkah Islam Mendjondjoeng Derajat Kaoem Putri?” ini diambil ayat-ayat yang
menunjukkan bahwa perempuan memiliki potensi dan tidak boleh dilecehkan, dalam penutupnya,
pembaca ini menuliskan sebagai berikut.
“Kalau sidang pembaca soeka memfaham ajat terseboet dengan semasak-semasaknja,
tentoelah akan mengetahoei bahwa Igama Islam selaloe menghalang-halangi segala
pekerdjaan jang dipandang hina dan meroesak moreel manoesia atau lagi menjakitkan hati
perempoean jang dimilikinja. Dengan ini dapatlah sidang pembatja mengetahoei bahwa
Igama Islam dapat atau tidak mendjoenjoeng deradjat kaoem poetri.” (edisi V tahun 1932
hlm. 313).
APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21 No. 1, 2021
53
Adib Sofia
Selain itu, dalam edisi V tahun 1932 itu ditampilkan 10 hadis yang mengajak pembaca untuk
berkata dengan baik, mengajarkan kebaikan pada orang lain, mengutamakan kehidupan bersama
atau berjamaah, menciptakan lingkungan yang sehat, melakukan amal kebaikan yang berguna bagi
masyarakat, serta ajakan untuk menggunakan masjid sebagai sentra aktivitas kebaikan.
Dalam edisi itu juga dikabarkan bahwa ‘Aisyiyah di Madura, Minangkabau, Palembang,
Tegal, Surakarta, Sulawesi Utara, dan Pontianak telah bergerak untuk mendirikan lembaga-lembaga
pendidikan, kursus-kursus bagi perempuan, serta melakukan program-program ‘Aisyiyah untuk
pemberdayaan masyarakat sebagaimana telah disebutkan di atas. Yang khas dari edisi ini adalah
dimuatnya berita luar negeri seperti Mesir, Eropa, dan Jepang serta berita nasional lain yang
menyangkut pemberdayaan masyarakat.
Suara ‘Aisyiyah pernah juga mengalami kekurangan terbitan akibat permintaan yanng
sangat tinggi, yaitu pada tahun 1937 atau tahun ke-12. Kala itu Suara ‘Aisyiyah menurunkan tulisan
tentang perkawinan dan memuat tulisan tentang perkawinan dan memuat tulisan-tulisan
kontroversial seputar Kawin Bertjatat atau kawin tidak langsung yang dipandang merugikan
perempuan, persoalan sikap kaum ibu di Barat, perkawinan Radja di Mesir, dan sebagainya
(Hajinah, 1940: 23) (Wasool dan Mawardi, 1940).
Pada tahun ke-13, yaitu tahun 1938, Suara ‘Aisyiyah semakin eksis di masyarakat dan tidak
lagi bermasalah dengan keuangan. Dengan keadaan ini, redaksi dituntut untuk semakin
meningkatkan kualitas isinya. Oleh karena itu, isi Suara ‘Aisyiyah pun dibuat lebih padat dan
bermanfaat dengan rubrik agama, pengetahuan, nasihat, pendidikan, percontohan, berita,
keasyiyahan, pergerakan kaum ibu, kesehatan, pandangan dan pendapat, cerita pendek, dan iklan.
Setahun berikutnya, yaitu 1939, Suara ‘Aisyiyah memiliki suplemen yang bernama Taman Nasyiah
sebagai upaya mencerdaskan generasi muda.
Meskipun pada 1940 harga kertas membumbung dan harga ongkos cetak tidak terkendali,
Suara ‘Aisyiyah tetap terbit seperti biasa. Bahkan pada tahun ini Suara ‘Aisyiyah juga menerbitkan
buku yang menjadi tuntunan pembaca, seperti Hidoep Perempoean dalam Maatchappij,
Menghadapi Pengaroeh Luaran, Riwajat Siti ‘Aisyah, dan 15 Tahoenan Soeara ‘Aisjijah. Dalam
buku yang terakhir ini dimuat tulisan tentang penanganan anak yatim dan orang miskin, ulasan
tentang tokoh-tokoh perempuan di dunia, perlunya olahraga bagi perempuan, dan pentingnya
vitamin bagi kehidupan. Selain itu, ada dua tulisan menarik yang memuat dua tulisan menarik yang
memuat tentang perlunya pendidikan dan gerakan perempuan untuk memajukan bangsa. Tulisan
pertama dengan judul “Doea Faham dalam Gerakan Perempoean” mengulas feminisme dan neofeminisme dan tulisan kedua dengan judul “Kedoedoekan Perempoean dalam Masjarakat Hidoep”
menjelaskan tentang peran perempuan di berbagai bidang untuk memajukan bangsa. (Hajinah,
1940). Kedua tulisan tersebut sangat berhubungan dengan pergerakan perempuan di Indonesia yang
sejak 1928 telah dimulai dengan Kongres Perempuan Pertama.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa lima model pemberdayaan masyarakat melalui Suara
‘Aisyiyah telah dilakukan. Kelima hal itu meliputi upaya pemungkinan dalam menciptakan suasana
54
APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 1, 2021
Konsep Awal Pemberdayaan Masyarakat oleh ‘Aisyiyah
atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat pembaca dapat berkembang secara optimal;
penguatan dalam memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat
pembaca dalam memecahkan masalah dan menenuhi kebutuhan-kebutuhannya; perlindungan agar
masyarakat pembaca perempuan tidak tertindas oleh kelompok yang lebih kuat; dan penyokongan
sebagai upaya memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat pembaca mampu
menjalankan peran dan tugas-tugas kehidupannya; serta pemeliharaan kondisi yang kondusif agar
tetap terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok dalam masyarakat.
3. Bidang Pemberdayaan Masyarakat
Berdasarkan data yang dijelaskan di atas terlihat bahwa ada beberapa bidang yang menjadi
fokus pembahasan majalah Suara ‘Aisyiyah pada lima belas tahun pertama terbitan Suara ‘Aisyiyah
pra-kemerdekaan. Pembahasan yang beberapa kali diulang-ulang itu dapat dirumuskan sebagai
berikut.
a. Derajat perempuan. Dalam tulisan-tulisan yang dimuat di Suara ‘Aisyiyah diberikan
penekanan bahwa Islam memandang perempuan memiliki derajat yang sama dengan lakilaki. Oleh karena itu, perempuan harus beribadah dan beramal saleh bagi diri dam
masyarakat ketika ia menginginkan keselamatan di dunia dan di akhirat. Bagian ini sering
ditulis dengan membandingkan pandangan mengenai derajat perempuan di berbagai
zaman dan berbagai negara di dunia.
b. Perluasan pengetahuan. Ide memperluas pengetahuan ini sering diulang dengan
menyebutkan bahwa perempuan yang hidup pada 1926-1940 belum banyak yang
mengenyam pendidikan tinggi dan berpengetahuan luas. Oleh karena itu, disarankan
dalam beberapa tulisan agar pembaca membuat kelompok-kelompok kajian, kursuskursus, dan lembaga pendidikan.
c. Kesehatan dan lingkungan. Kepedulian terhadap kesehatan beberapa kali menjadi tema
tulisan, terkait dengan kesehatan anak, pengetahuan akan obat-obatan, lingkungan yang
bersih dan sehat, serta pendirian musala sebagai contoh bangunan sehat.
d. Amal usaha. Adanya pelaporan terhadap diadakannya amal usaha seperti panti asuhan,
Taman Kanak-Kanak, pengajian, koperasi, dan sebagian dari daerah-daerah menandakan
bahwa pembaca ‘Aisyiyah tidak ingin sekadar berwacana, melainkan mewujudkannya
sebagai amal yang nyata.
Keempat hal tersebut dikemas dalam berbagai bentuk tulisan, mulai dari pendahuluan,
artikel lepas, liputan, hingga komentar pembaca. Dasar dari semua pembahasan itu ialah ajaran
agama Islam. Selain kerap menampilkan ayat dan hadis, seluruh gagasan dikemas dalam kerangka
pemikiran Islam yang berkembang pada saat itu.
APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21 No. 1, 2021
55
Adib Sofia
D. KESIMPULAN
Secara teknis, pemberdayaan masyarakat melalui media, dalam hal ini pemberdayaan
masyarakat pembaca oleh majalah Suara ‘Aisyiyah dapat dikatakan mencapai sasaran. Hal ini
dibuktikan dengan adanya laporan dari daerah-daerah yang memberikan respons positif terhadap
gagasan yang dimunculkan dari edisi sebelumnya. Umumnya daerah-daerah yang merespons itu
telah merealisasikan program dan gagasan yang tertulis di Suara ‘Aisyiyah pada masyarakat di
sekitarnya atau masyarakat yang menjadi sasarannya.
Meskipun demikian, pemberdayaan masyarakat melalui media yang dilakukan pada era
pergerakan nasional ini memiliki beberapa kekurangan. Pertama, pemberdayaan melalui media ini
tidak sepenuhnya dapat diukur keberhasilannya. Hal ini mengingat belum semua daerah
memberikan respons terhadap program-program dan gagasan yang ditawarkan melalui media. Perlu
pengamatan secara khusus untuk mengetahui apakah pada saat itu redaksi atau penggagas dari Suara
‘Aisyiyah juga terjun memantau atau melakukan survei terhadap keberhasilan program di lapangan.
Dalam struktur kepengurusan ‘Aisyiyah hal ini telah ditata, tetapi akan lebih baik pemberdayaan
masyarakat melalui media itu dapat diukur keberhasilannya.
Kedua, adanya ide kemandirian ekonomi bangsa yang muncul menjelang tahun 1940 pada
dasarnya telah direspons oleh pembaca yang menyebutkan bahwa koperasi-koperasi sederhana lelah
didirikan di daerah-daerah. Hal ini memang sempat ditampilkan dalam Suara ‘Aisyiyah, tetapi
sebagai ide yang besar persoalan ekonomi ini kurang mendapatkan tempat di Suara ‘Aisyiyah.
Meskipun demikian, munculnya Suara ‘Aisyiyah pada 1926 dan seterusnya merupakan
kemajuan signifikan dalam upaya membangun masyarakat, terutama terkait dengan program
unggulan ‘Aisyiyah kala itu, yakni melakukan pemberantasan buta huruf serta menyadari
perempuan sebagai entitas yang sederajat dengan laki-laki. Uraian di atas memberikan gambaran
bahwa pemberdayaan masyarakat melalui media juga efektif untuk dilakukan pada zaman ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Hamid dan Kurniawati. (2004). Galang Dana Ala Media. Jakarta: Piramedia.
Andriyani, Dian, (2017). “Konsep Pendidikan Perempuan Siti Walidah”, Tajdida: Jurnal
Pemikiran dan Gerakan Muhammadiyah, Vol. 15, No. 1, 2017.
Eriyanto. (2001). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS.
Halwati, Umi. (2016). “Pemberdayaan Masyarakat di Media Massa: Discourse Analysis
Pemberdayaan Perempuan dalam Rubrik ‘Sosok’ Harian Kompas Tahun 2016”. Jurnal
Komunika Vol. 10. No. 2, Juli-Desember 2016, 181-200.
Haris, Andi. (2014). “Memahami Pendekatan dan Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pemanfaatan
Media”. Jurnal Jupiter Vol. XIII No. 2, 2014, 50-62.
Herdiana (2010). “Pemberdayaan dan Fungsi Media dalam Pemberdayaan Masyarakat”. Jurnal
Insan. Vo. 2 No. 03, Desember 2010, 160-165.
Hermanto, Budhi. (2007). “Televisi Komunitas: Media Pemberdayaan Masyarakat”. Jurnal
Komunikasi Vol. 2 No. 1 Oktober 2007, hlm. 243-252.
56
APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 1, 2021
Konsep Awal Pemberdayaan Masyarakat oleh ‘Aisyiyah
Ife, Jim dan Frank Tesoriero. (2008). Community Development terj. Sastrawan Manulang.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 35.
Junaedi, Fajar. (2007). Komunikasi Massa. Yogyakarta: Santusta.
McQuail, Denis. (1996). Teori Komunikasi Massa. Terj. Agus Dharma dan Aminuddin Ram.
Jakarta: Erlangga.
Miswanto, Agus dan M. Zuhron Arofi. (2012). Sejarah Islam dan Kemuhammadiyahan.
Universitas Muhammadiyah Magelang: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Studi Islam.
Moedjanto. (1998). Indonesia Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius.
Nasution, Halimatussa’diyah (dkk.). (2019). “Studi Analisis Pemikiran Siti Walidah (Nyai Ahmad
dahlan) dalam Pendidikan Perempuan”, Ihya al-Arabiyah: Jurnal Pendidikan Bahasa Arab
dan Sastra Arab, Vol. 5, No. 2.
Nura’ini, Dyah Siti. (2013). “Corak Pemikiran dan Gerakan Aktivis Perempuan: Melacak
Pandangan Keagamaan Aisyiyah Periode 1917-1945, Profetika: Jurnal Studi Islam, Vol. 14,
No. 2, Desember.
Pangestuty, Nina Dwi. (2017) “Perkembangan Majelis Kesehatan ‘Aisyiyah Barat Tahun 19902005”, AVATARA: e-Journal Pendidikan Sejarah, Vol. 5, No. 2, Juli.
Safitri, Candra Rizki Dwi dan Budi Haryanto. (2020). “Nyai Walida sebagai Tokoh Pendidikan
Nasional”, Journal of Islamic and Muhammadiyah Studies, Vol. 1 No. 1, Februari.
Saud, Indah Wardaty (dkk.). (2020). “Analisis Peran ‘Aisyiyah Wilayah Gorontalo dalam
Mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs)”, PUBLIK: Jurnal Ilmu
Administrasi, Vol. 9, No. 1, Juni.
Siregar, Ashadi dan Rondang Pasaribu. (2000). Bagaimana Mengelola Media KorporasiOrganisasi. Yogyakarta: Kanisius.
Suara ‘Aisyiyah dalam https://suaraaisyiyah.id diakses pada 28 Mei 2021.
Suara Muhammadiyah, “Spirit Baru Suara ‘Aisyiyah” dalam https://suaramuhammadiyah.id
diakses pada 27 Mei 2021.
Suharto, Edi. (2006). Membangun Masyarakat Memberdayakan Masyarakat. Bandung: Refika
Aditama, 63.
Syafi’i, Abdul Manan. 2014. Islah Wanita di Indonesia: Kajian Pemikiran Hamka dalam Tafsir
Al-Azhar dan Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, Padang: Hayfa Press.
Syamsiyatun, Siti. (2020). “Conflict and Ishlah Strategy of Muslim Women Organization: Case
Study of ‘Aisyiyah in Intra and Inter-Organizational Divergence”, Al-Jami’ah: Journal of
Islamic Studies, vol. 58, No. 2.
Wasool, Siti Fatimah dan Siti Hajinah Mawardi. (1940). 15 Tahun Suara ‘Aisyiyah. Yogyakarta:
Hoofbestuur Muhammadiyah Majlis ‘Aisyiyah.
APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21 No. 1, 2021
57
Adib Sofia
Halaman ini sengaja dikosongkan
58
APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 1, 2021