Academia.eduAcademia.edu

Konsep Awal Pemberdayaan Masyarakat Oleh ‘Aisyiyah

2021, Aplikasia: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama

One of the social capital that the Indonesian nation has to conduct community empowerment since the pre-independence era until today is ‘Aisyiyah. Since its establishment in 1917, ‘Aisyiyah has owned many models of social empowerment through its movements spread throughout Indonesia and abroad. ‘Aisyiyah has also conducted the community empowerment through a media, Suara ‘Aisyiyah. The initial concept of community empowerment by ‘Aisyiyah needs to be revealed because it is the basic identification conducted by ‘Aisyiyah as a whole until today. This writing reveals two things. First, the initial concept of community empowerment by ‘Aisyiyah contained in Suara ‘Aisyiyah in the era of national movement. Second, the community empowerment sectors conducted by Suara ‘Aisyiyah in the era of national movement. As a whole this writing reveals a phenomenon that is different from a description happening in the colonial era. Generally in the pre-independence era women were described as the memb...

APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama Volume 21, Nomor 1, 2021 | Page: 45-58 ISSN 1411-8777 (p) | ISSN 2598-2176 (e) ONLINE: ejournal.uin-suka.ac.id/pusat/aplikasia KONSEP AWAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT OLEH ‘AISYIYAH Kajian Media terhadap Suara ‘Aisyiyah Edisi Pra-Kemerdekaan Adib Sofia Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Indonesia [email protected] Abstract - One of the social capital that the Indonesian nation has to conduct community empowerment since the pre-independence era until today is ‘Aisyiyah. Since its establishment in 1917, ‘Aisyiyah has owned many models of social empowerment through its movements spread throughout Indonesia and abroad. ‘Aisyiyah has also conducted the community empowerment through a media, Suara ‘Aisyiyah. The initial concept of community empowerment by ‘Aisyiyah needs to be revealed because it is the basic identification conducted by ‘Aisyiyah as a whole until today. This writing reveals two things. First, the initial concept of community empowerment by ‘Aisyiyah contained in Suara ‘Aisyiyah in the era of national movement. Second, the community empowerment sectors conducted by Suara ‘Aisyiyah in the era of national movement. As a whole this writing reveals a phenomenon that is different from a description happening in the colonial era. Generally in the pre-independence era women were described as the members of society who were uneducated, backward, and had no actions in public domain. This writing reveals that women in the pre-independence era had the concept of community empowerment complete with its sectors. Keyword: community empowerment, national movement, Suara ‘Aisyiyah. Abstrak - Salah satu modal sosial yang dimiliki bangsa Indonesia untuk melakukan pemberdayaan masyarakat sejak sebelum kemerdekaan hingga saat ini adalah ‘Aisyiyah. Sejak berdiri pada 1917 ‘Aisyiyah memiliki banyak model pemberdayaan masyarakat melalui gerakannya yang tersebar di seluruh Indonesia dan di luar negeri. ‘Aisyiyah juga melakukan pemberdayaan masyarakat melalui media, yaitu Suara ‘Aisyiyah. Konsep awal pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh ‘Aisyiyah perlu diungkap karena merupakan dasar identifikasi pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh ‘Aisyiyah secara keseluruhan hingga saat ini. Tulisan ini mengungkap dua hal. Pertama, konsep awal pemberdayaan masyarakat oleh ‘Aisyiyah yang terdapat dalam Suara ‘Aisyiyah era pergerakan nasional. Kedua, bidang-bidang pemberdayaan masyarakat yang dilakukan melalui Suara ‘Aisyiyah era pergerakan nasional. Secara keseluruhan tulisan ini mengungkap sebuah fenomena yang berbeda dari gambaran yang selama ini terjadi pada era penjajahan. Biasanya pada masa sebelum kemerdekaan, perempuan digambarkan sebagai anggota masyarakat yang tidak berpendidikan, terbelakang, dan tidak mempunyai kiprah di ranah publik. Tulisan ini mengungkap bahwa perempuan sebelum era kemerdekaan memiliki konsep pemberdayaan masyarakat lengkap dengan bidang-bidangnya. Kata kunci: pemberdayaan masyarakat, pergerakan nasional, Suara ‘Aisyiyah. This article is distributed under the terms of the Creative Commons AttributionNonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0) Adib Sofia A. PENDAHULUAN Konsep pemberdayaan masyarakat terus berkembang seiring dengan perkembangan pemikiran manusia serta dinamisnya problematika kehidupan yang terjadi dalam setiap masa. Berbagai terminologi dikembangkan dengan fokus dan cara yang berbeda. Akan tetapi, prinsip dasar pemberdayaan masyarakat sebagai ‘sebuah upaya yang dilakukan agar suatu masyarakat memiliki kemampuan dan kekuatan dalam menjalani hidup dengan lebih berkualitas’ masih mendasari semua konsep ini. Secara konseptual pemberdayaan masyarakat (empowerment) berasal dari kata power yang memiliki arti kekuasaan atau keberdayaan. Pemberdayaan masyarakat mencakup tiga dimensi, yaitu kemampuan kerakyatan, kemampuan sosiopolitik, dan kemampuan partisipatif. Selain itu, pemberdayaan merujuk pada tiga hal. Pertama, sebuah proses pembangunan yang bermula dari pertumbuhan individual kemudian berkembang menjadi perubahan sosial yang lebih besar. Kedua, sebuah keadaan psikologis yang ditandai oleh rasa percaya diri, berguna, dan mampu mengendalikan diri dan orang lain. Ketiga, pembebasan yang dihasilkan dari sebuah gerakan sosial. Pembebasan ini dimulai dari pendidikan terhadap orang-orang lemah dan selanjutnya melibatkan upaya-upaya kolektif dari orang-orang lemah tersebut untuk memperoleh kekuasaan dan mengubah strukturstruktur yang masih menekan (Suharto, 2006). Pemberdayaan dapat dilakukan dengan adanya sebuah modal sosial yang terdapat dalam masyarakat. Modal sosial itu merupakan hubungan-hubungan antara manusia, yaitu orang-orang yang melakukan aksi kepada sesamanya karena adanya kewajiban sosial dan timbal balik, solidaritas sosial, dan komunitas. Modal sosial ini merupakan perekat yang menyatukan masyarakat. Oleh karena itu, suatu pemberdayaan akan berhasil jika memperkuat masyarakat madani atau masyarakat sipil, yaitu struktur-struktur formal maupun semiformal yang dibentuk masyarakat secara sukarela dengan inisiatif mereka sendiri, bukan sebagai konsekuensi dari program maupun arahan tertentu dari masyarakat (Ife dan Tesoriero, 2008) Salah satu modal sosial sebagaimana yang diuraikan di atas adalah Muhammadiyah dengan berbagai organisasi otonom di bawahnya. Pendirian Muhammadiyah berawal dari kegelisahan serta keprihatinan social religious dan moral yang disebabkan oleh pendidikan yang rendah, kemiskinan, maupun keterbelakangan. Pendiri Muhammadiyah, yaitu K. H. Ahmad Dahlan, pada waktu itu sangat prihatin terhadap kondisi bangsa Indonesia, seperti belum memadainya lembaga pendidikan, lemahnya kepemimpinan, serta tekanan dunia Barat, terlebih bangsa Belanda yang bersikap acuh hingga merendahkan msayarakat. Selain itu, Muhammadiyah juga lahir karena munculnya gerakan pembaharuan di dunia. Muhammadiyah berdiri pada 18 November 1912. Untuk memperkuat gerakannya, Muhammadiyah membentuk organisasi otonom, di antaranya ‘Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul ‘Aisyiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Tapak Suci Putera Muhammadiyah, serta Hizbul Wathan (Miswanto dan Arofi, 2012). Di antara organisasi otonom tersebut, ‘Aisyiyah memiliki kekhasan sebagai organisasi otonom khusus karena kiprah dan amal usahanya yang besar. Pada awalnya, perempuan 46 APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 1, 2021 Konsep Awal Pemberdayaan Masyarakat oleh ‘Aisyiyah Muhammadiyah, seperti Siti Walidah istri K. H. Ahmad Dahlan, memperkenalkan pemikiran bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dan mereka menentang praktik pernikahan paksa. Pada 1914 semangat perempuan Muhammadiyah dalam memperjuangkan perempuan dilakukan dengan membuat kelompok pengajian yang beranggotakan perempuan, di antaranya Sopo Tresno, Wal ‘Asri, serta Magribi School. Upaya tersebut tidak mudah karena mendapat tentangan dari masyarakat. Meskipun demikian, usaha tersebut mampu memberi penyadaran kepada kaum perempuan tentang pentingnya pendidikan untuk melawan penjajah (Andriyani, 2017). ‘Aisyiyah resmi didirikan pada 19 Mei 1917. ‘Aisyiyah pun berinisiatif mendirikan sekolah untuk usia anak di bawah lima tahun (balita) karena sekolah dipandang sebagai pondasi pertama dalam pendidikan selain keluarga. Di sekolah itu anak-anak diajari menyanyi, mengaji, menulis huruf latin, dan sebagainya. Hingga saat ini ‘Aisyiyah telah memiliki puluhan ribu Taman Kanak-Kanak ‘Aisyiyah Bustanul Athfal (TK ABA), Taman Pendidikan Al-Qur’an, serta pendidikan sejenis lainnya di seluruh penjuru Nusantara (Safitri dan Haryanto, 2020). ‘Aisyiyah juga dikenal sebagai salah satu organisasi yang berpartisipasi aktif dalam Kongres Wanita Indonesia pertama yang diselenggarakan pada 22-25 Desember 1928. Hingga saat ini ‘Aisyiyah masih eksis dan berkembang dengan pesat. Tidak hanya beroperasi di seluruh provinsi di Indonesia, ‘Aisyiyah kini berkembang hingga ke luar negeri, seperti Australia, Mesir, Hongkong, Malaysia, hingga Taiwan (Siti Syamsiyatun, 2020). Pada era sekarang ‘Aisyiyah juga merambah dalam mendukung SDGs, dengan berkontribusi pada aspek ekonomi, yaitu melalui Bina Usaha Ekonomi Keluarga ‘Aisyiyah (BUEKA) (Saud dkk., 2020). Selain pemberdayaan dalam bentuk pendirian berbagai amal usaha, ‘Aisyiyah juga menjalankan pemberdayaan masyarakat melalui media, yaitu melalui majalah. Perintisan majalah ini dilakukan pada 1923 dalam sebuah upaya pemberantasan buta huruf, baik buta huruf Arab maupun Latin. Selanjutnya, pada 1926 ‘Aisyiyah mulai menerbitkan majalah yang bernama Suara ‘Aisyiyah yang pada penerbitan pertama masih berbahasa Jawa (Pangestuty, 2017). Majalah ini terbit sebulan sekali, berisi agama Islam serta berbagai gagasan mengenai pemberdayaan perempuan (Nasution dkk., 2019). Hingga pada 2021 atau usia 95 tahun, Suara ‘Aisyiyah masih eksis dan mengikuti perkembangan zaman dengan menjadi majalah digital, walaupun majalah cetaknya juga masih diproduksi untuk berbagai kalangan di seluruh Indonesia (Suara Muhammadiyah, 2021). Pemberdayaan masyarakat melalui media ini memiliki fungsi untuk mengkomunikasikan beberapa informasi dalam beragam tujuan, program, dan segmen. Fungsi utama media tersebut adalah memberi informasi (to inform), mendidik masyarakat (to educate), menyajikan hiburan (to entertaint), dan mempengaruhi masyarakat (to influence) (Herdiana, 2010). Tentu fungsi-fungsi tersebut selaras dengan kepentingan ‘Aisyiyah karena setiap media selalu merefleksikan kepentingan pihak yang mengelolanya (McQuail, 1996). Media massa merupakan alat atau mediator yang efektif dalam publikasi pemberdayaan masyarakat. Teks di media massa merupakan salah satu bentuk praktik ideologi. Bahasa, tulisan, pilihan kata, maupun struktur gramatika dipahami sebagai pilihan APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21 No. 1, 2021 47 Adib Sofia yang diungkapkan membawa makna ideologi tertentu dalam taraf memenangkan dukungan publik (Eriyanto, 2011). Untuk mengungkap konsep awal pemberdayaan masyarakat melalui media yang dilakukan oleh ‘Aisyiyah, diperlukan pembahasan terhadap Suara ‘Aisyiyah. Objek material yang dipilih dalam tulisan ini ialah Suara ‘Aisyiyah yang terbit pada era pergerakan nasional, yaitu pada awal dilakukannya pemberdayaan melalui media (1926) hingga tahun 1940. Konsep awal ini penting untuk diungkap karena merupakan dasar identifikasi pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh ‘Aisyiyah secara keseluruhan hingga saat ini. Era pra-kemerdekaan atau pergerakan nasional menjadi penting karena beberapa hal. Pertama, pada tahun itu terjadi pergerakan nasional dari tahap pertengahan hingga tahap akhir yang memperjuangkan kemandirian bangsa. Pada masa itu pula, gerakan perempuan Indonesia tengah gencar melakukan pemberdayaan perempuan. Kedua, sebagai edisi permulaan, tepatnya 15 tahun pertama, idealisme yang dibangun oleh Suara ‘Aisyiyah hingga saat ini menjadi napas bagi perkembangan majalah tersebut. Tulisan ini setidaknya mengungkap dua hal. Pertama, konsep awal pemberdayaan masyarakat ‘Aisyiyah yang terdapat dalam Suara ‘Aisyiyah pada edisi pra-kemerdekaan. Kedua, bidang-bidang pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh ‘Aisyiyah melalui Suara ‘Aisyiyah pada edisi pra-kemerdekaan. Dengan demikian, secara keseluruhan tulisan ini mengungkap sebuah fenomena yang berbeda dari gambaran yang selama ini terjadi pada era penjajahan. Biasanya pada masa sebelum kemerdekaan perempuan digambarkan sebagai anggota masyarakat yang tidak berpendidikan, terbelakang, dan tidak mempunyai kiprah di ranah publik. Tulisan ini mengungkap bahwa perempuan sebelum era kemerdekaan memiliki konsep pemberdayaan masyarakat lengkap dengan bidang-bidangnya. B. METODE Secara umum media dipahami sebagai alat maupun sarana komunikasi yang menjadi penghubung antar-manusia, baik berupa majalah, radio, koran, film, televisi, spanduk, poster, maupun berbagai jenis alternatif yang terdapat di internet. Dalam kajian komunikasi massa, media dipahami sebagai perangkat yang diorganisasi untuk berkomunikasi secara terbuka dalam situasi berjarak maupun dalam kurun waktu yang singkat kepada khalayak luas (Junaedi, 2007). Dalam konteks ini, media memiliki pengertian mediasi yang menjembatani jarak (distance) antara ide dengan kehidupan yang empiris. Media juga disebut sebagai (1) jendela yang memungkinkan seseorang melihat fenomena yang terjadi melebihi lingkungan sekitarnya, (2) penerjemah yang membantu seseorang memiliki rasa mengalami, (3) platform atau pembawa yang menyalurkan informasi serta komunikasi interaktif yang meliputi umpan balik kepada khalayak, (4) penanda yang memberikan instruksi dan petunjuk, (5) penyaring bagian-bagian pengalaman dan berfokus pada suatu hal, (6) cermin yang memantulkan realitas, serta (7) pembatas yang menghalangi kebenaran (McQuail dalam Junaedi, 2007). 48 APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 1, 2021 Konsep Awal Pemberdayaan Masyarakat oleh ‘Aisyiyah Pada abad ke-20, tepatnya pasca-berkembangnya teori kebebasan pers yang libertarian, berkembanglah teori tanggung jawab dan kontribusi kepada masyarakat. Media massa berkewajiban menjalankan fungsi-fungsi esensial tertentu di luar fungsi utama yang diembannya. Dengan demikian, media memiliki peran signifikan dalam pengembangan kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat, di samping peran utamanya sebagai pencari dan penyebar informasi. Dalam pemberdayaan masyarakat, media bahkan sering disebut sebagai salah satu pilar dalam pengembangan masyarakat madani (civil society). Media memiliki fungsi sebagai sosialiasi gagasan, ide, bahkan citra untuk diletakkan dalam konteks kehidupan yang lebih empiris. Selain itu, sebagai alat untuk menyampaikan informasi, penilaian, atau gambaran umum tentang banyak hal, media memiliki kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang membentuk opini publik (Abidin dan Kurniawati, 2004). Tidak dapat dimungkiri bahwa dalam konteks semacam ini, media sering dirangkai dengan kata massa sehingga menjadi frase media massa. Terminologi massa (mass) yang melekat dalam frase ini dapat diartikan dalam dua sisi. Sisi pertama melihat massa sebagai sekumpulan orang yang tidak teratur, sedangkan sisi kedua melihat massa sebagai sekumpulan orang yang teratur dan berperan sebagai agen perubahan sosial (agent of social change). Dalam hal ini massa tidak dapat dipisahkan dengan institusi media dalam berbagai bentuknya (Junaedi, 2007). Salah satu bentuk media massa adalah media organisasi. Keberadaann media semacam ini dapat diihat dalam dua peran strategis. Dalam lingkup internal, media organisasi dapat berperan menumbuhkan komunikasi dialogis sekaligus menambahkan budaya organisasi. Dari sudut kepentingan organisasi, komunikasi internal bersifat fungsional dalam membangun sistem internal dalam organisasi itu. Tujuan diadakannya media organisasi dan setiap individu membangun human relationship antara organisasi dan setiap individu di dalam organisasi. Dengan demikian, setiap langkah organisasi mendapat pemahaman serta dukungan secara internal. Sementara itu, dalam lingkup eksternal media organisasi dapat berperan dalam membentuk citra organisasi. Komunikasi eksternal dimaksudkan untuk mendukung keberadaan organisasi secara sosial di tengah masyarakat. Ia merupakan upaya untuk membangun public relationsip yang baik dengan pihak luar sehingga terbentuk citra sosial (social image) yang positif atas organisasi (Siregar dan Pasaribu, 2000). Pemenuhan akan dua kepentingan di atas dipengaruhi oleh tiga persoalan, yaitu (1) apa yang dikomunikasikan, (2) bagaimana komunikasi diselenggarakan, dan (3) kapan komunikasi berlangsung. Persoalan apa yang dikomunikasikan ini berkaitan dengan substansi informasi yag disampaikan. Jika substansi informasi itu hanya bersinggungan dengan kepentingan satu pihak atau komunikasi berlangsung searah, akan sulit diketahui apakah informasi berhasil mencapai tujuan. Sementara itu, persoalan cara berkomunikasi berkaitan dengan bahasa maupun format penyampaian informasi. Jika format maupun bahasa tidak dimengerti oleh salah satu pihak, maka informasi pun tidak dapat dimengerti. Demikian pula dalam persoalan kapan komunikasi berlangsung. Persoalan ini terkait dengan pemilihan saat yang tepat untuk berkomunikasi (Siregar dan Pasaribu, 2000). APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21 No. 1, 2021 49 Adib Sofia Pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan, termasuk pemberdayaan melalui media massa, dapat dicapai dengan menerapkan pendekatan pemberdayaan yang terdiri atas pemungkinan, penguatan, perlindungan, penyokongan, dan pemeliharaan. Pemungkinan merupakan upaya menciptakan suasana atau iklim yang memungkinan potensi masyarakat berkembang secara optimal, sedangkan penguatan merupakan upaya memperkuat pengetahuan dan kemampuan yanng dimiliki oleh masyarakat dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Sementara itu, perlindungan merupakan upaya melindungi masyarakat agar tidak tertindas oleh kelompok yang lebih kuat dan penyokongan sebagai upaya memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat mampu menjalankan peran dan tugas-tugas kehidupannya. Terakhir, pemeliharaan adalah upaya memelihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan anatra berbagai kelompok dalam masyarakat (Suharto, 2006). Uraian mengenai metode di atas yang dirangkai dengan beberapa pendekatan pemberdayaan yang diuraikan pada awal tulisan ini, digunakan untuk melihat upaya ‘Aisyiyah dalam memberdayakan masyarakat melalui Suara ‘Aisyiyah. C. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Suara ‘Aisyiyah sebagai Media Pemberdayaan Masyarakat Terbitnya majalah Suara ‘Aisyiyah dilatarbelakangi oleh kondisi bangsa Indonesia yang kala itu berada dalam era Pergerakan Nasional. Era ini adalah masa seusai bangsa Indonesia menjalani era eksploitasi oleh Belanda pada akhir abad ke-19 yang dilakukan melalui tangan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) atau Kongsi Dagang India Timur, sistem Cultuurstelse atau tanam paksa, imperialisme modern dan politik kolonial liberal, serta politik kolonial etika. Pada era yang muncul sesudah abad ke-19 ini tumbuhlah organisasi-organisasi yang bereaksi dan memberikan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Di antara organisasi pergerakan nasional modern itu ialah Budi Utomo, Sarekat Dagang Islam, Sarekat Islam, Muhammadiyah, Indische Partij, Perhimpunan Indonesia, dan Partai Nasional Indonesia. Oganisasi-organisasi ini tidak lagi melakukan perlawanan yang bersifat lokal, irasional, dan tanpa follow up yang jelas, melainkan lebih bersifat nasional, menggunakan diplomasi, terorganisasi dalam AD/ART, serta memiiliki konsep (Moedjanto, 1998). Lahirnya majalah Suara ‘Aisyiyah berawal dari inisiatif Siti Hajinah yang pada saat itu masih berusia 19 tahun. Ia memiliki kecakapan dalam hal menulis, memiliki wawasan yang luas, serta memiliki kemampuan dalam berorasi sehingga ia kerapkali ditugasi untuk melakukan kegiatan di luar Muhammadiyah. Ia juga pernah mengusulkan untuk mendirikan bibliotheek atau perpustakaan untuk perempuan serta menerbitkan surat kabar, majalah, dan kitab untuk kaum ibu. Pada 1938-1940 ia diangkat menjadi pimpinan redaksi majalah Suara ‘Aisyiyah (Nura’ini, 2013). Suara ‘Aisyiyah merupakan majalah perempuan tertua di Indonesia yang sampai tahun 2021 ini masih terbit tanpa pernah berhenti. Suara ‘Aisyiyah telah melewati zaman kolonial Belanda, zaman Jepang, zaman Kemerdekaan, hingga zaman ini. Selain sebagai alat untuk mempublikasikan program-program ‘Aisyiyah, majalah bulanan ini juga merupakan alat yang strategis dalam 50 APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 1, 2021 Konsep Awal Pemberdayaan Masyarakat oleh ‘Aisyiyah memberikan perluasan pengetahuan, penyadaran peran perempuan dalam dunia domestik dan publik, serta pemberdayaan bagi masyarakat pembaca yang menjadi sasarannya, yaitu perempuan di Indonesia (Suara ‘Aisyiyah, 2021). Suara ‘Aisyiyah diterbitkan pertama kali oleh Muhammadiyah Bagian ‘Aisyiyah pada Oktober 1926 dalam bahasa Jawa. Pada tahun pertama, majalah ini hanya terbit sembilan nomor dan setiap nomornya dicetak sebanyak 600 hingga 900 eksemplar. Meskipun dibagikan secara percuma (gratis), redaksi menuliskan bahwa majalah itu mengharapkan derma dari pembaca demi keberlangsungannya. Selanjutnya, pada 1927 Suara ‘Aisyiyah mulai menggunakan bahasa Melayu dalam beberapa artikelnya dan terbitannya genap 1000 eksemplar setiap bulan. Pada tahun ketiga, yaitu edisi-edisi pada ahun 1928, artikel di Suara ‘Aisyiyah lebih banyak menggunakan bahasa Melayu (Wasool dan Mawardi, 1940). Pada tahun 1929-1933 Suara ‘Aisyiyah sempat mengalami krisis akibat kekurangan dukungan derma dan kekurangan naskah. Meskipun demikian, redaksi dan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah terus berupaya menerbitkan Suara ‘Aisyiyah. Pengurus Suara ‘Aisyiyah terus berupaya mencari pemasukan hingga pada 1934 mereka memiliki mesin cetak dan seperangkat meja tulis sebagai peralatan kantor. Dengan modal kedua hal itu ditambahkan dengan manajemen yang mulai tertata, sejak 1934 hingga 1940 Suara ‘Aisyiyah dapat terbit memenuhi keinginan pembaca untuk memberikan pengetahuan dan isu-isu terbaru yang menyangkut kehidupan perempuan pada masa itu. Sampai tahun 1940, pengurus Suara ‘Aisyiyah terdiri atas enam orang, yaitu Siti Hajinah, Siti Wachidah, Siti Aminah, Siti Moemtichanah, Siti Zaharijah, dan Siti Rr. Hidanah. Mereka secara konsisten berperan sebagai redaksi dan komisaris majalah Suara ‘Aisyiyah hingga genap berusia 15 tahun pada 1940. Suara ‘Aisyiyah yang awalnya dengan ejaan Soeara Aisjijah, oplah atau jumlah cetakan yang diedarkan kini sudah mencapai 6000 eksemplar dan tidak hanya dijangkau di Indonesia saja, bahkan hingga ke beberapa negara seperti Singapura, Australia, Mesir, maupun Amerika (Suara ‘Aisyiyah, 2021). 2. Bentuk Pemberdayaan Masyarakat Pada era pergerakan nasional Suara ‘Aisyiyah menurunkan berbagai tulisan dan liputan yang berupaya menciptakan suasana atau iklim pembaca sehingga memungkinkan potensi pembaca dapat berkembang secara optimal pada masa itu. Di antara upaya pemungkinan itu terdapat pada edisi pertama (Oktober 1926). Dalam pembukaan disebutkan bahwa jumlah perempuan yang memiliki pengetahuan untuk menulis, membaca, dan memanfaatkan media pada saat itu masih sangat sedikit. Hal ini terdapat dalam paragraf berikut. “...Mangga para sederek, koela atoeri menggalih, poendi wonten serta kabar estri ingkang kawedalaken kaoem estri, toewin oegi namoeng toemoedjoe dateng kita sadaja para estri? O, dereng wonten! Mila kita para pangreh ‘Aisjijah mrihatosaken sanget dateng kawontenan ingkang kados makaten waoe, supados sageda ngindakaken kemadjengan kita para estri...” APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21 No. 1, 2021 51 Adib Sofia Artinya: “........Mari saudara, saya minta untuk berpikir, adakah surat kabar perempuan yang diterbitkan oleh kaum perempuan, serta hanya ditujukan untuk para perempuan? O, belum tentu ada! Oleh karena itu, pengurus ‘Aisyiyah merasa sangat prihatin dengan keadaan yang demikian supaya dapat melakukan kemajuan bagi kita para perempuan” (Wasool dan Mawardi, 1940) Sementara itu, sebagai pendekatan pemberdayaan yang berupa penguatan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki pembaca, Suara ‘Aisyiyah memberikan gambaran bahwa perempuan memiliki kekhasan dibandingkan dengan laki-laki sebagai berikut. “...Kita sadaja para istri oegi kedah nggadahi ngamal pijambak, ingkang saged damel kawiloedjengan kita, ing donja doemoegi acherat. Poenapa malih kita sadaja poenika ingkang wadjib djagi dateng para poetra, ingkang nglangkoengi awratipoen tinimbang sederek kakong...” Artinya: “”Kita para perempuan semua juga harus memiliki amal sendiri yang bisa membuat keselamatan kita di dunia hingga akhirat. Apalagi kita semua ini yang wajib menjaga anak-anak sekaligus yang menjalani beratnya daripada laki-laki...” (Wasool dan Mawardi, 1940) Gagasan tentang perempuan ini terus dituliskan pada edisi-edisi berikutnya. Pada edisi IV tahun 1927, misalnya, tertuang ide bahwa perempuan memiliki derajat yang sama dengan laki-laki. Artikel yang secara khusus menuliskan hal ini berjudul “Derajading Tijang Estri Wonten ing Agami Islam” atau “Derajat Perempuan dalam Agama Islam”. Artikel ini menjelaskan derajat perempuan sejak zaman jahiliyah hingga tahun 1927, sekaligus mengungkapkan pandangan seorang ilmuwan Eropa, Annie Bessant, tentang betapa hukum dalam Islam telah menempatkan perempuan dengan adil. Pada edisi itu juga dimuat sebuah artikel kiriman dari pembaca di Purwokerto tentang perlunya kesadaran menjadi guru. Ia mengharapkan pembaca Suara ‘Aisyiyah tergerak untuk menjadi pendidik ditempatnya masing-masing sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang terdidik dan memiliki pengetahuan yang luas. pembaca dari Cilacap juga menulis tentang perlunya dibentuk kelompok-kelompok pengajian dan diskusi untuk mengulas persoalan-persoalan peran perempuan pada masa pergerakan nasional. Selain mengajak untuk meningkatkan akhlak dengan berkerudung, edisi ini juga mensosialisasikan hasil kongres Muhammadiyah yang terkait dengan ‘Aisyiyah, di antaranya ‘Aisyiyah di berbagai tempat perlu membuat Bagian Wal Ashri untuk memberdayakan masyarakat, mengadakan Serikat Ibu yang mengurusi kesehatan anak di lingkungannya masing-masing, memberikan beasiswa kepada anak perempuan supaya mau bersekolah, memabngun pondok bagi anak-anak perempuan, membuat gerakan anti-membeli makanan yang tidak sehat, mengadakan 52 APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 1, 2021 Konsep Awal Pemberdayaan Masyarakat oleh ‘Aisyiyah lembaga pengurusan jenazah, pernikahan, dan menyunatkan, serta menghimpun dana untuk aksi sosial. Menurut Hajinah, hal yang paling menarik dari edisi tahun 1927 di samping perubahan secara fisik majalah adalah mulai ditulisnya riwayat tentang tokoh-tokoh perempuan, termasuk para pengarang perempuan. Sementara itu, hal yang sempat ramai menjadi perdebatan pembaca dan perundingan dalam berbagai majlis adalah ketika Suara ‘Aisyiyah menurunkan tulisan tentang perlunya perempuan bisa mengendarai sepeda (fiets) (Wasool dan Mawardi, 1940) Memasuki tahun 1930, Suara ‘Aisyiyah masih terus menurunkan tulisan seputar derajat perempuan serta sosialisasi pengadaan bagian-bagian yang disebutkan di atas. Sebuah artikel dari Gorontalo pada edisi V tahun 1930 menyebutkan bahwa kewajiban perempuan saat itu sama seperti laki-laki, yaitu membela bangsa. Menurutnya, hal yang paling mudah dilakukan dalam membela bangsa adalah dengan menyelenggarakan pendidikan. Karena itulah di Gorontalo dilaporkan telah dibangun kelompok-kelompok kajian perempuan serta telah dibuka pula Bustanul Athfal. 1931 lebih banyak memberikan ruang pada tulisan tentang tafsir. Hal yang baru dari edisi ini adalah munculnya rubrik obat-obatan. Rubrik ini dibuat mengingat gerakan ‘Aisyiyah pada waktu itu peduli pada kesehatan. Pada 1932 bangsa ini tengah resah oleh adanya kebiasaan menjual dan membeli lotre. Karena itu, di Suara ‘Aisyiyah diturunkan tulisan tentang larangan mengadakan, membeli, meminta, dan menggunakan lotre. Edisi ini menyerukan agar pembaca mengajak para pemuda-pemuda yang sedang “gandrung” dengan lotre untuk menghindarinya. “...kalau kita akan membangoen bangsa kita ketengah-tengah kemadjoean haroeslah iboe kita lebih didahoeloekan pada menanamkan rasa soetji dan mendidiknya dengan pendidikan jang bergoena sekali padanja. Ingatlah wahai bangsakoe perempoean! Selama kita dalam kedjahilan dan kelalaian tidaklah akan sempoerna kemadjouan jang telah ditjita-tjijakan itoe...” (edisi V tahun 1932 hlm. 308-309). Pada edisi yang sama diturunkan tulisan dari pembaca di Kendal tentang derajat perempuan dalam Islam. Tulisan ini dapat dimasukkan dalam kategori pendekatan pemberdayaan yang berupaya melindungi masyaraka agar tidak tertindas oleh kelompok yang lebih kuat. Pada tulisan yang berjudul “Dapatkah Islam Mendjondjoeng Derajat Kaoem Putri?” ini diambil ayat-ayat yang menunjukkan bahwa perempuan memiliki potensi dan tidak boleh dilecehkan, dalam penutupnya, pembaca ini menuliskan sebagai berikut. “Kalau sidang pembaca soeka memfaham ajat terseboet dengan semasak-semasaknja, tentoelah akan mengetahoei bahwa Igama Islam selaloe menghalang-halangi segala pekerdjaan jang dipandang hina dan meroesak moreel manoesia atau lagi menjakitkan hati perempoean jang dimilikinja. Dengan ini dapatlah sidang pembatja mengetahoei bahwa Igama Islam dapat atau tidak mendjoenjoeng deradjat kaoem poetri.” (edisi V tahun 1932 hlm. 313). APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21 No. 1, 2021 53 Adib Sofia Selain itu, dalam edisi V tahun 1932 itu ditampilkan 10 hadis yang mengajak pembaca untuk berkata dengan baik, mengajarkan kebaikan pada orang lain, mengutamakan kehidupan bersama atau berjamaah, menciptakan lingkungan yang sehat, melakukan amal kebaikan yang berguna bagi masyarakat, serta ajakan untuk menggunakan masjid sebagai sentra aktivitas kebaikan. Dalam edisi itu juga dikabarkan bahwa ‘Aisyiyah di Madura, Minangkabau, Palembang, Tegal, Surakarta, Sulawesi Utara, dan Pontianak telah bergerak untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, kursus-kursus bagi perempuan, serta melakukan program-program ‘Aisyiyah untuk pemberdayaan masyarakat sebagaimana telah disebutkan di atas. Yang khas dari edisi ini adalah dimuatnya berita luar negeri seperti Mesir, Eropa, dan Jepang serta berita nasional lain yang menyangkut pemberdayaan masyarakat. Suara ‘Aisyiyah pernah juga mengalami kekurangan terbitan akibat permintaan yanng sangat tinggi, yaitu pada tahun 1937 atau tahun ke-12. Kala itu Suara ‘Aisyiyah menurunkan tulisan tentang perkawinan dan memuat tulisan tentang perkawinan dan memuat tulisan-tulisan kontroversial seputar Kawin Bertjatat atau kawin tidak langsung yang dipandang merugikan perempuan, persoalan sikap kaum ibu di Barat, perkawinan Radja di Mesir, dan sebagainya (Hajinah, 1940: 23) (Wasool dan Mawardi, 1940). Pada tahun ke-13, yaitu tahun 1938, Suara ‘Aisyiyah semakin eksis di masyarakat dan tidak lagi bermasalah dengan keuangan. Dengan keadaan ini, redaksi dituntut untuk semakin meningkatkan kualitas isinya. Oleh karena itu, isi Suara ‘Aisyiyah pun dibuat lebih padat dan bermanfaat dengan rubrik agama, pengetahuan, nasihat, pendidikan, percontohan, berita, keasyiyahan, pergerakan kaum ibu, kesehatan, pandangan dan pendapat, cerita pendek, dan iklan. Setahun berikutnya, yaitu 1939, Suara ‘Aisyiyah memiliki suplemen yang bernama Taman Nasyiah sebagai upaya mencerdaskan generasi muda. Meskipun pada 1940 harga kertas membumbung dan harga ongkos cetak tidak terkendali, Suara ‘Aisyiyah tetap terbit seperti biasa. Bahkan pada tahun ini Suara ‘Aisyiyah juga menerbitkan buku yang menjadi tuntunan pembaca, seperti Hidoep Perempoean dalam Maatchappij, Menghadapi Pengaroeh Luaran, Riwajat Siti ‘Aisyah, dan 15 Tahoenan Soeara ‘Aisjijah. Dalam buku yang terakhir ini dimuat tulisan tentang penanganan anak yatim dan orang miskin, ulasan tentang tokoh-tokoh perempuan di dunia, perlunya olahraga bagi perempuan, dan pentingnya vitamin bagi kehidupan. Selain itu, ada dua tulisan menarik yang memuat dua tulisan menarik yang memuat tentang perlunya pendidikan dan gerakan perempuan untuk memajukan bangsa. Tulisan pertama dengan judul “Doea Faham dalam Gerakan Perempoean” mengulas feminisme dan neofeminisme dan tulisan kedua dengan judul “Kedoedoekan Perempoean dalam Masjarakat Hidoep” menjelaskan tentang peran perempuan di berbagai bidang untuk memajukan bangsa. (Hajinah, 1940). Kedua tulisan tersebut sangat berhubungan dengan pergerakan perempuan di Indonesia yang sejak 1928 telah dimulai dengan Kongres Perempuan Pertama. Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa lima model pemberdayaan masyarakat melalui Suara ‘Aisyiyah telah dilakukan. Kelima hal itu meliputi upaya pemungkinan dalam menciptakan suasana 54 APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 1, 2021 Konsep Awal Pemberdayaan Masyarakat oleh ‘Aisyiyah atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat pembaca dapat berkembang secara optimal; penguatan dalam memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat pembaca dalam memecahkan masalah dan menenuhi kebutuhan-kebutuhannya; perlindungan agar masyarakat pembaca perempuan tidak tertindas oleh kelompok yang lebih kuat; dan penyokongan sebagai upaya memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat pembaca mampu menjalankan peran dan tugas-tugas kehidupannya; serta pemeliharaan kondisi yang kondusif agar tetap terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok dalam masyarakat. 3. Bidang Pemberdayaan Masyarakat Berdasarkan data yang dijelaskan di atas terlihat bahwa ada beberapa bidang yang menjadi fokus pembahasan majalah Suara ‘Aisyiyah pada lima belas tahun pertama terbitan Suara ‘Aisyiyah pra-kemerdekaan. Pembahasan yang beberapa kali diulang-ulang itu dapat dirumuskan sebagai berikut. a. Derajat perempuan. Dalam tulisan-tulisan yang dimuat di Suara ‘Aisyiyah diberikan penekanan bahwa Islam memandang perempuan memiliki derajat yang sama dengan lakilaki. Oleh karena itu, perempuan harus beribadah dan beramal saleh bagi diri dam masyarakat ketika ia menginginkan keselamatan di dunia dan di akhirat. Bagian ini sering ditulis dengan membandingkan pandangan mengenai derajat perempuan di berbagai zaman dan berbagai negara di dunia. b. Perluasan pengetahuan. Ide memperluas pengetahuan ini sering diulang dengan menyebutkan bahwa perempuan yang hidup pada 1926-1940 belum banyak yang mengenyam pendidikan tinggi dan berpengetahuan luas. Oleh karena itu, disarankan dalam beberapa tulisan agar pembaca membuat kelompok-kelompok kajian, kursuskursus, dan lembaga pendidikan. c. Kesehatan dan lingkungan. Kepedulian terhadap kesehatan beberapa kali menjadi tema tulisan, terkait dengan kesehatan anak, pengetahuan akan obat-obatan, lingkungan yang bersih dan sehat, serta pendirian musala sebagai contoh bangunan sehat. d. Amal usaha. Adanya pelaporan terhadap diadakannya amal usaha seperti panti asuhan, Taman Kanak-Kanak, pengajian, koperasi, dan sebagian dari daerah-daerah menandakan bahwa pembaca ‘Aisyiyah tidak ingin sekadar berwacana, melainkan mewujudkannya sebagai amal yang nyata. Keempat hal tersebut dikemas dalam berbagai bentuk tulisan, mulai dari pendahuluan, artikel lepas, liputan, hingga komentar pembaca. Dasar dari semua pembahasan itu ialah ajaran agama Islam. Selain kerap menampilkan ayat dan hadis, seluruh gagasan dikemas dalam kerangka pemikiran Islam yang berkembang pada saat itu. APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21 No. 1, 2021 55 Adib Sofia D. KESIMPULAN Secara teknis, pemberdayaan masyarakat melalui media, dalam hal ini pemberdayaan masyarakat pembaca oleh majalah Suara ‘Aisyiyah dapat dikatakan mencapai sasaran. Hal ini dibuktikan dengan adanya laporan dari daerah-daerah yang memberikan respons positif terhadap gagasan yang dimunculkan dari edisi sebelumnya. Umumnya daerah-daerah yang merespons itu telah merealisasikan program dan gagasan yang tertulis di Suara ‘Aisyiyah pada masyarakat di sekitarnya atau masyarakat yang menjadi sasarannya. Meskipun demikian, pemberdayaan masyarakat melalui media yang dilakukan pada era pergerakan nasional ini memiliki beberapa kekurangan. Pertama, pemberdayaan melalui media ini tidak sepenuhnya dapat diukur keberhasilannya. Hal ini mengingat belum semua daerah memberikan respons terhadap program-program dan gagasan yang ditawarkan melalui media. Perlu pengamatan secara khusus untuk mengetahui apakah pada saat itu redaksi atau penggagas dari Suara ‘Aisyiyah juga terjun memantau atau melakukan survei terhadap keberhasilan program di lapangan. Dalam struktur kepengurusan ‘Aisyiyah hal ini telah ditata, tetapi akan lebih baik pemberdayaan masyarakat melalui media itu dapat diukur keberhasilannya. Kedua, adanya ide kemandirian ekonomi bangsa yang muncul menjelang tahun 1940 pada dasarnya telah direspons oleh pembaca yang menyebutkan bahwa koperasi-koperasi sederhana lelah didirikan di daerah-daerah. Hal ini memang sempat ditampilkan dalam Suara ‘Aisyiyah, tetapi sebagai ide yang besar persoalan ekonomi ini kurang mendapatkan tempat di Suara ‘Aisyiyah. Meskipun demikian, munculnya Suara ‘Aisyiyah pada 1926 dan seterusnya merupakan kemajuan signifikan dalam upaya membangun masyarakat, terutama terkait dengan program unggulan ‘Aisyiyah kala itu, yakni melakukan pemberantasan buta huruf serta menyadari perempuan sebagai entitas yang sederajat dengan laki-laki. Uraian di atas memberikan gambaran bahwa pemberdayaan masyarakat melalui media juga efektif untuk dilakukan pada zaman ini. DAFTAR PUSTAKA Abidin, Hamid dan Kurniawati. (2004). Galang Dana Ala Media. Jakarta: Piramedia. Andriyani, Dian, (2017). “Konsep Pendidikan Perempuan Siti Walidah”, Tajdida: Jurnal Pemikiran dan Gerakan Muhammadiyah, Vol. 15, No. 1, 2017. Eriyanto. (2001). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS. Halwati, Umi. (2016). “Pemberdayaan Masyarakat di Media Massa: Discourse Analysis Pemberdayaan Perempuan dalam Rubrik ‘Sosok’ Harian Kompas Tahun 2016”. Jurnal Komunika Vol. 10. No. 2, Juli-Desember 2016, 181-200. Haris, Andi. (2014). “Memahami Pendekatan dan Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pemanfaatan Media”. Jurnal Jupiter Vol. XIII No. 2, 2014, 50-62. Herdiana (2010). “Pemberdayaan dan Fungsi Media dalam Pemberdayaan Masyarakat”. Jurnal Insan. Vo. 2 No. 03, Desember 2010, 160-165. Hermanto, Budhi. (2007). “Televisi Komunitas: Media Pemberdayaan Masyarakat”. Jurnal Komunikasi Vol. 2 No. 1 Oktober 2007, hlm. 243-252. 56 APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 1, 2021 Konsep Awal Pemberdayaan Masyarakat oleh ‘Aisyiyah Ife, Jim dan Frank Tesoriero. (2008). Community Development terj. Sastrawan Manulang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 35. Junaedi, Fajar. (2007). Komunikasi Massa. Yogyakarta: Santusta. McQuail, Denis. (1996). Teori Komunikasi Massa. Terj. Agus Dharma dan Aminuddin Ram. Jakarta: Erlangga. Miswanto, Agus dan M. Zuhron Arofi. (2012). Sejarah Islam dan Kemuhammadiyahan. Universitas Muhammadiyah Magelang: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Studi Islam. Moedjanto. (1998). Indonesia Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius. Nasution, Halimatussa’diyah (dkk.). (2019). “Studi Analisis Pemikiran Siti Walidah (Nyai Ahmad dahlan) dalam Pendidikan Perempuan”, Ihya al-Arabiyah: Jurnal Pendidikan Bahasa Arab dan Sastra Arab, Vol. 5, No. 2. Nura’ini, Dyah Siti. (2013). “Corak Pemikiran dan Gerakan Aktivis Perempuan: Melacak Pandangan Keagamaan Aisyiyah Periode 1917-1945, Profetika: Jurnal Studi Islam, Vol. 14, No. 2, Desember. Pangestuty, Nina Dwi. (2017) “Perkembangan Majelis Kesehatan ‘Aisyiyah Barat Tahun 19902005”, AVATARA: e-Journal Pendidikan Sejarah, Vol. 5, No. 2, Juli. Safitri, Candra Rizki Dwi dan Budi Haryanto. (2020). “Nyai Walida sebagai Tokoh Pendidikan Nasional”, Journal of Islamic and Muhammadiyah Studies, Vol. 1 No. 1, Februari. Saud, Indah Wardaty (dkk.). (2020). “Analisis Peran ‘Aisyiyah Wilayah Gorontalo dalam Mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs)”, PUBLIK: Jurnal Ilmu Administrasi, Vol. 9, No. 1, Juni. Siregar, Ashadi dan Rondang Pasaribu. (2000). Bagaimana Mengelola Media KorporasiOrganisasi. Yogyakarta: Kanisius. Suara ‘Aisyiyah dalam https://suaraaisyiyah.id diakses pada 28 Mei 2021. Suara Muhammadiyah, “Spirit Baru Suara ‘Aisyiyah” dalam https://suaramuhammadiyah.id diakses pada 27 Mei 2021. Suharto, Edi. (2006). Membangun Masyarakat Memberdayakan Masyarakat. Bandung: Refika Aditama, 63. Syafi’i, Abdul Manan. 2014. Islah Wanita di Indonesia: Kajian Pemikiran Hamka dalam Tafsir Al-Azhar dan Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, Padang: Hayfa Press. Syamsiyatun, Siti. (2020). “Conflict and Ishlah Strategy of Muslim Women Organization: Case Study of ‘Aisyiyah in Intra and Inter-Organizational Divergence”, Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, vol. 58, No. 2. Wasool, Siti Fatimah dan Siti Hajinah Mawardi. (1940). 15 Tahun Suara ‘Aisyiyah. Yogyakarta: Hoofbestuur Muhammadiyah Majlis ‘Aisyiyah. APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21 No. 1, 2021 57 Adib Sofia Halaman ini sengaja dikosongkan 58 APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 1, 2021