The Clash Of Ideologi Muhammadiyah
Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
© Dr. Sholihul Huda M.Fil.I, 2017
All right reserved
Editor : Hatib Rahman
Desain Sampul : Riki D. A. Saputro
Cetakan Ke-1, September 2017
Penerbit:
Semesta Ilmu
Jl. Gg. Melati No.329 RT 18 RW 06 Karangsari Rejowinangun
Kec. Kotagede Kota Yogyakarta 55171
Kerjasama:
Institut Studi Islam Indonesia (InSID)
Jl. Grand Masangan Blok C2/No.3 Sukodono Sidoarjo Indonesia, email.
[email protected], www.insid.com, InSID.news
14 x 21cm, 268 halaman
ISBN : 978-602-6923-63-9
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang
mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi
buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit
SEKAPUR SIRIH
Puji syukur al-hamdulillah kami panjatkan ke hadirat Allah
SWT yang memberikan karunia luar biasa pada penulis sehingga dapat menyelesaikan buku ini. Buku yang ada di tangan
pembaca ini sesungguhnya berasal dari tesis penulis di Program
Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya. Secara keseluruhan buku ini merupakan hasil dari penelitian lapangan (kualitatif)
terhadap fenomena radikalisasi ideologi di kalangan aktivis Muhammadiyah. Fenomena ini terjadi dikarenakan sebagian aktivis Muhammadiyah mengalami pergeseran ideologi, dari ideologi
Muhammadiyah ke gerakan Islam radikal (FPI).
Ketertarikan penulis mengamati fenomena radikalisasi ideologi Muhammadiyah secara pemikiran, telah dimulai sejak 2005.
Sejak ramai perbincangan tentang dinamika pemikiran dan gerakan infiltrasi ideologi yang dilakukan oleh sejumlah kelompok
Islam radikal ke lingkungan Muhammadiyah. Hal tersebut sangat
menonjol, khususnya melalui publikasi ilmiah dalam bentuk buku
dan opini di media massa. Bahkan, untuk menanggapi hal ini,
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengeluarkan sikap resmi
terhadap posisi dan relasi gerakan Islam radikal.
Fenomena infiltrasi ideologi radikal terjadi diseluruh tingkat
kepengurusan Muhammadiyah, mulai di tingkat pusat hingga
ranting Muhammadiyah. Masalah tersebut juga menjalar ke
sebagian besar Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), seperti di
beberapa sekolah, perguruan tinggi/universitas, masjid, Taman
Pendidikan Al-Qur’an (TPQ), dan Rumah Sakit. Salah satu kasus yang tidak bisa dibantah terjadi di Muhammadiyah Lamongan. Padahal, selama ini Lamongan merupakan kawasan yang
masyarakatnya banyak yang menjadi anggota Muhammadiyah.
Dalam bermuhammadiyah, warga Lamongan dapat dikatakan
“fanatik”, memiliki keanggotaan, kader, tokoh (pimpinan) dan
AUM dalam jumlah besar.Tetapi fakta yang sesungguhnya justru
masih rapuh dari sisi ideologi. Tidak heran bila sebagian aktivisnya terlibat pada gerakan Islam radikal (FPI).
Berdasarkan realitas tersebut penulis tertantang untuk
mengeksplorasi fenomena radikalisasi ideologi di MuhammadThe Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
iii
iyah. Selama proses penelitian dan penulisan penelitian ini,
penulis berterima kasih kepada Prof. Dr. Syafiq A Mughni, MA
selaku pembimbing. Ditengah kesibukannya, beliau telah membaca, mengoreksi dan memberikan sejumlah catatan penting
untuk perbaikan sehingga hasil penelitian ini menjadi lebih baik.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr.
M. Ridlwan Nasir, MA selaku Direktur Pascasarjana IAIN Sunan
Ampel Surabaya, DR. Dr. Sukadiono, MM selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya, Drs. Moh. Naim, M.Pd.I selaku
Dekan FAI UMSurabaya, Drs, Hamri Al-Jauhari, M.Pd.I selaku
Kaprodi Perbandingan Agama FAI UMSurabaya dan Ustadz
Sholihin Fanani, M.MPsdm (Ketua Majleis Tabiligh PWM Jawa
Timur) yang telah banyak membantu penulis selama ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman
aktivis Pemuda Muhammadiyah Paciran Lamongan (Mas Burhan, Mas Nafik, Mbah Masrur, dan sahabat-sahabat FPI Paciran Lamongan terutama Mas Zainal Anshory (Ketua DPW FPI
Lamongan).
Ucapan terima kasih setinggi tinggi, penulis haturkan kepada
kedua orang tua penulis (H. Atrup & Hj. Rasmoah), dan Mertua
Bpk Pudjianto & Eko Seno Anawati) dan Sudara-saudara Penulis. Pada istri penulis tercinta (Maulida Puji Ayu, Amd.Keb) dan
Putri penulis yang ”cantik & Imut” sedang tumbuh berkembang
(G.H Nadda Ignacia) di ucapkan banyak terima kasih. Mereka
selama ini telah memberikan kasih sayang dan menjadi sumber
inspirasi, motivasi, hiburan, dan dengan cara masing-masing telah banyak membantu penulis selama ini, semoga Allah selalu
merahmati mereka.
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih pada Prof. Dr.
Zainuddin Maliki, M.Si, Guru Besar Sosiologi Politik dan Wakil
Ketua Muhammadiyah Jawa Timur dan Prof, Masdar Hilmy, MA
P.hD yang telah berkenan memberikan prolog dan Epilog untuk
buku ini. Dan kepada kawan-kawan aktivis Pemuda Muhammadiyah Jawa Timur (Mas Abduh, Mas Eki, Mas Alfi, Pak Jemadi, Pak Ali Fauzi, Mas Anam, Mas Rizqon, Mas Mukayat, Mas
Labib, Mas Slundu, Mas Jumadi, dll), penulis berterima kasih
kepada semua pihak yang sudah membantu hingga buku ini
dapat diterbitkan. Semoga ikhtiar ini dapat menjadi amal shaleh
dan bermanfaat bagi dunia keilmuan dan menambah khazanah
pemikiran Islam khususnya di Muhammadiyah.
Surabaya, Agustus 2017
Dr.Sholihul Huda, M.Fil.I
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
v
DAFTAR ISI
SEKAPUR SIRIH ............................................................................iii
PROLOG .......................................................................................viii
BAGIAN PERTAMA PENDAHULUAN ............................................1
BAGIAN KEDUA PERGULATAN GERAKAN DAKWAH
MUHAMMADIYAH DI INDONESIA ................................................23
BAGIAN KETIGA DINAMIKA GERAKAN ISLAM RADIKAL
DI INDONESIA ...............................................................................55
BAGIAN KEEMPAT MELACAK PERGESERAN IDEOLOGI
MUHAMMADIYAH KE GERAKAN ISLAM RADIKAL (FPI)
DI PACIRAN LAMONGAN.............................................................91
BAGIAN KELIMA BENTURAN IDEOLOGI: SEBUAH
IMPLIKASI TRANSISI IDEOLOGI DI MUHAMMADIYAH ...........121
BAGIAN KEENAM PENUTUP.....................................................143
EPILOG .......................................................................................151
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................158
DAFTAR SINGKATAN ...............................................................168
BIOGRAFI PENULIS .................................................................175
vi
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
vii
PROLOG
PERLUASAN PETA IDEOLOGI GERAKAN
ISLAM DI INDONESIA
Prof. Dr. Zainuddin Maliki, M.Si
Guru Besar Sosiologi Politik
Sejak memasuki era reformasi, kehidupan bangsa Indonesia
menjadi tidak lagi monolitik. Seting sosial kemasyarakatan dan
keagamaan menjadi pluralistik. Muncul berbagai diskursus dan
gerakan-gerakan praxis berbangsa, bernegara dan beragama
dalam formasi sosial yang pluralistik. Tak pelak, peta gerakan
Islam di Indonesia pasca Orde Baru pun juga semakin plural.
Dampaknya lalu umat Islam dihadapkan pada perluasan area
pergulatan ideologi. Masyarakat kemudian mendapatkan sumber pilihan identitas budaya, politik, ideologi maupun keagamaan
yang semakin banyak.
Dalam tempo yang cukup lama arus gerakan Islam di Indonesia cenderung di dominasi oleh ideologi Islam moderat yang dinarasikan oleh dua kekuatan besar Islam, dalam hal ini Nahdlatul
‘Ulama (NU) dan Muhammadiyah. NU cenderung menarasikan
upaya membangun harmoni antara Islam dengan tradisi lokal
yang kaya dan menyebar di seluruh wilayah nusantara. Sementara itu Muhammadiyah lebih berorientasi pada upaya membangun harmoni antara Islam dengan etos kerja dan ide-ide progresive yang muaranya berdampak signifikan pada tumbuhnya
masyarakat berkemajuan. Kendati memiliki perbedaan pilihan
identitas, namun pada pilihan warna ideologi kedua organisasi
ini memiliki kesamaan. Kedua kekuatan ini sama-sama memilih
viii
sikap format Islam moderat.
Begitu hegemoniknya dua kekuatan Islam di Indonesia ini sehingga mampu menjadikan moderasi sebagai typical Islam Indonesia. Islam moderat atau wasatiyah menjadi corak dari tradisi
besar (great tradition) Islam Indonesia. Muhammadiyah dengan
jargon Islam berkemajuan dan belakangan NU dengan semakin
gencar mempopulerkan Islam Nusantara menebarkan spirit toleransi, keterbukaan dan moderasi. Peran Muhammadiyah dan
NU dalam menjaga moderasi tak urung menjadi inspirasi bagi
dunia Islam.
Memasuki abad 21, yang ditandai dengan semakin meningkatnya kompleksitas kehidupan, seting sosial bergerak meninggalkan pola monolitik dengan membuka ruang lebar bagi masuknya keanekaragaman identitas. Dari situlah muncul pilihan
ideologi dan gerakan Islam yang semakin luas. Perluasan peta
ideologi keagamaan di Indonesia menjadi sesuatu yang tidak
terelakkan. Masing-masing pilihan ideologi muncul dalam berbagai model gerakan. Bersamaan dengan itu muncul identitas
Islam yang lebih beragam, mulai dari kutub liberal di satu sisi,
dan tumbuhnya kutub Islam radikal di sisi lain. Masing-masing
saling berebut arena di tengah masyarakat.
Kelompok revivalisme Islam kontemporer di Timur Tengah
yang cenderung memilih garis keras kemudian memperoleh momentum untuk menyebar juga ke Indonesia. Kehadirannya menjadi semacam counter terhadap diskursus besar yang bercorak
moderasi maupun yang bercorak liberal. Munculnya Ikhwanul
Muslimin, Hizbut Tahrir, Gerakan Salafi mengindikasikan proliferasi atau persebaran dari gerakan counter moderasi Islam
tersebut.
Islam di Indonesia semakin kompleks. Kajian taxonomi keagamaan yang dilakukan antropolog Clifford Geertz yang mengangkat trikotomi santri, priyayi dan abangan bukan saja tidak
memadai lagi tetapi benar-benar kehilangan relevansinya untuk
digunakan membaca realitas Islam di Indonesia saat ini. Geertz
harus mengubah diskripsinya tentang Islam yang ia ketahui di
Indonesia dan Maroko. Peta sudah jauh berubah. Tradisi besar
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
ix
NU-Muhammadiyah pun dihadapkan kepada realitas munculnya
Islam Liberal di satu sisi, dan di sisi lain realitas munculnya gerakan bergaris keras seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI),
Lasykar Jihad, Front Pembela Islam (FPI), dan juga Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI).
Perluasan peta ideologi keagamaan di Indonesia merupakan
implikasi dari banyak hal. Akses informasi yang mudah dan terbuka, tidak hanya memudahkan penyebaran faham moderasi,
tetapi juga memberi peluang beredarnya penyebaran ajaran-ajaran radikal. Wacana radikalisasi lalu tidak hanya muncul di ranah
ekonomi, dan politik tetapi juga memasuki ranah agama.
Ada yang cenderung memahami persebaran radikalisasi
menggunakan argumen ekonomi-politik. Kesenjangan ekonomi
politik memicu munculnya gerakan perlawanan dari mereka
yang teralienasi. Gerakan itu tentu saja untuk melawan kelompok mapan. Kekerasan dalam hal ini tiada lain adalah produk
dari ketidak adilan. Gerakan melawan kelompok mapan ini memperoleh sumber legitimasi dari agama.
Perlawanan terhadap ketidak adilan dengan memilih garis
keras itu semakin memperoleh energi ketika dijustifikasi dari
sumber agama. Gerakan radikal atas nama agama di sini dengan demikian merupakan upaya melakukan perlawanan terhadap kelompok mapan yang mereka nilai sebagai penyebab dan
atau melakukan pembiaran terhadap ketidak adilan.
Di masa lalu perlawanan terhadap ketidak adilan mengambil
bentuk gerakan mesianis, ditandai dengan pengharapan yang
kuat terhadap datangnya ratu adil yang diyakini bisa menciptakan keadilan dan ketenteraman. Gerakan perlawanan mesianis itu kini bukan hanya memunculkan sang ratu adil, tapi juga
kepercayaan terhadap datangnya nabi-nabi baru yang dianggap
bisa jadi sang penyelamat. Dalam melakukan penyelamatan, di
antara mereka memilih cara-cara radikal, bahkan menggunakan
bom bunuh diri.
Faktor-faktor di atas tentu saja berpengaruh terhadap konstruksi paham atau ideologi keberagamaan umat Islam kontem-
x
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
porer di masyarakat. Pengaruh tersebut menjadikan ideologi
keberagamaan Islam menjadi tidak tunggal dan monolitik tetapi
bervarisi dan pluralistik. Kondisi inilah kemudian yang dipetakan
penulis buku ini ke dalam tiga arus besar ideologi keagamaan
Islam yang saling berebut “peta” pengaruh di masyarakat. Tiga
arus ideologi Islam tersebut adalah, ideologi Islam moderat, ideologi Islam liberal dan ideologi Islam radikal.
Penulis buku ini mendeskripsikan konstruksi dari tiga arus ideologi Islam yang sedang berkembang di Indonesia tersebut yang
jika dikemukakan secara ringkas kurang lebih begini:
Pertama, gerakan Islam Moderat (Islam Wasathiyah). Karakter Islam moderat yang paling menonjol adalah sikap moderasinya (tawasuth) di tengah dan akomodatif. Konstruksi dasar dari
Islam moderat adalah adanya pengakuan secara sadar akan
keanekaragaman (prulitas) kehidupan sosial, politik, budaya,
dan keberagamaan di masyarakat dan itu merupakan bagian dari
hukum Tuhan (sunnatullah). Sehingga konstruksi ini menjadikan
kesadaran bahwa dalam kehidupan ini dibutuhkan sikap yang
fleksibel (tidak ekstrim), saling menghormati akan keberadaan
yang lain.
Islam moderat menjadikan ijtihad sebagai jalan yang lebih disukai untuk mendorong perubahan sosial dan politik masyarakat.
Ijtihad merupakan jiwa dalam pemikiran Islam yang diperlukan
untuk menjamin hidupnya ide-ide dan peradaban Islam. Tanpa
ijtihad, pemikiran dan peradaban akan mati. Ijtihad merupakan jalan hidup yang harus dilakukan secara berkesinambungan. Kebebasan berfikir dalam hal ini menjadi modal dasarnya.
Al-Quran, al-Hadits dan hukum Islam (fiqih) dalam hal ini selalu
terbuka untuk di interpretasikan. Tentu hasil interpretasinya bisa
beraneka ragam. Berbeda hasil interpretasi tidak dianggap masalah. Perbedaan tidak dinilai sebagai beban melainkan rahmat.
Bagi Islam moderat gerakan pengembangan masyarakat
dilakukan dengan cara memperlakukan semua orang dengan
rasa hormat. Prinsip yang dikembangkan adalah tidak ada paksaan dalam beragama. Tidak boleh ada intimidasi dan pemaksaan, apalagi dengan kekerasan. Dengan menjiwai dan menyeThe Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
xi
barkan pesan-pesan Islam secara bijak diyakini justru Islam akan
mampu mentransformasikan masyarakat berkemajuan.
Kedua, gerakan Islam Liberal. Gerakan ini menjadi arus ideologi keberagamaan Islam di Indonesia pasca di perkenalkan
oleh beberapa sarjana Barat seperti Charles Kurzman (2003),
Leonard Binder (2001), dan Greg Berton (1999). Di Indonesia,
Ulil Abshar Abdall, tokoh yang paling dihitung dalam pengembangan arus ini dengan Jaringan Islam Liberalnya.
Islam Liberal merupakan kelompok yang risau dengan narasi
agung (grand naration) yang berkembang di kalangan umat Islam di Indonesia seperti kerisauannya terhadap begitu kokohnya
pegangan terhadap faham teokrasi. Begitu diagungkan sehingga
tidak ada keberanian untuk mempertanyakan, apalagi mengkritisi dan menggugat kesahihannya. Islam Liberal ingin membebaskan diri dari narasi agung itu lalu melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks atau tradisi yang sebelumnya termasuk wilayah
yang tidak boleh disentuh itu.
Dari kerangka berfikir seperti itu, Islam Liberal menghasilkan
berbagai gagasan yang mendukung wacana yang telah digulirkan pemikir-pemikir Barat tentang demokrasi, pluralisme, jaminan terhadap hak kaum perempuan (gender), hak Non-Muslim
di negara Islam, kebebasan berfikir dan potensi kemampuan
manusia.
Greg Barton (1999) menggambarkan prinsip dasar yang dipegang oleh Islam liberal menekankan pentingnya kontekstualisasi ijtihad, komitmen terhadap rasionalitas dan pembaharuan
(agama), penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme
agama-agama, pemisahan agama dari partai politik dan kedudukan negara yang nonsektarian.
Oleh karena tema gagasan yang digulirkan kelompok Islam
Liberal itu adalah tema-tema “jualan” pemikir-pemikir Barat seperti digambarkan di atas, oleh karena itu mudah dimaklumi jika
muncul pemahaman bahwa Islam Liberal tiada lain adalah “juru
bicara” Barat.
Ketiga, gerakan Islam radikal. Gerakan ini meyakini Islam sexii
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
bagai agama yang sempurna dan lengkap. Islam adalah cara
hidup yang sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan
manusia secara paripurna. Islam radikal ingin mengembalikan
model awal perkembangan Islam secara fundamental persis di
zaman Nabi Muhammad dan para sahabatnya (salaf as-shalih).
Slogan yang dijadikan pijakan adalah ar-ruju’ ilal qur’an wa sunnah --kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad
saw.
Teks, dalam hal ini Qur’an dan Sunnah difahami secara scripturalis, literal-tekstualis. Mereka tidak tertarik dengan pendekatan kontekstual. Pendekatan literal-tekstual melahirkan pemahaman ajaran agama secara formalistik. Teks diartikan dengan
pendekatan direct meaning, apa adanya, tanpa memperhatikan
konteks di balik teks tersebut.
Mereka menggunakan teori kebenaran tunggal yang menjadikan pemahaman mereka sempit. Kebenaran hanya milik
mereka, yang muaranya kemudian sulit menerima perbedaan
terhadap pendapat orang atau kelompok lain. Kecenderungan
mereka jadi mudah menyalahkan pihak lain dan bahkan pada
sikap takfiriyah dalam arti mudah mengkafirkan orang lain. Sikap
yang dibangun atas dasar teori kebenaran tunggal itulah yang
menjadikan mereka cenderung berwatak radikal yang mudah
memicu timbulnya kekerasan atas nama agama.
Kebenaran tunggal yang mereka yakini membawa mereka
pada kesimpulan bahwa mendirikan negara Islam adalah sebuah
keniscayaan syar’iy. Menolaknya berarti mengingkari syari’at Islam, yang berarti kafir, dan oleh karena itu halal darahnya.
Jadi buku yang ada di tangan anda ini, mencoba meneguhkan bahwa Islam di Indonesia tidak lagi homogen. Varian Islam
di Indonesia menjadi plural. Bukan hanya Islam moderasi atau
wasathiyah, tetapi juga varian yang berada dua kutub yang bertolak belakang. Kutub Islam Liberal di satu pihak, dan kutub Islam
radikal di lain pihak. Di tengah kehadiran dua kutub varian Islam
yang bertolak belakang itu, Islam wasathiyah masih menunjukkan hegemoninya. Namun, tidak jarang mereka dikejutkan dengan berbagai ulah radikal yang dimunculkan kedua belah kutub
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
xiii
dari varian “baru” di kalangan Islam di Indonesia itu.
Ulah radikal dari Islam Liberal pada galibnya cenderung mengambil bentuk pemikiran, sementara ulah kelompok Islam radikal
cenderung mengambil bentuk kekerasan dan teror atas nama
agama. Kedua ulah itu tentu memberi pekerjaan tersendiri bagi
kalangan Islam moderat untuk memberi respon yang semestinya. Buku ini salah satu bentuk respon dari penulis yang tampak
jelas ia berangkat dari kacamata Islam moderat itu.
xiv
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
BAGIAN PERTAMA
PENDAHULUAN
A. Kegelisahan Akademik
Dalam beberapa dekade belakangan ini, tepatnya pasca tragedi 11 September 2001 yang menghancurkan gedung Pentaghon dan World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat (AS),
fenomena gerakan radikal Islam menjadi perbincangan global.
Di Indonesia, kajian mengenai tema ini juga cukup ramai, terlebih peristiwa tersebut memberi pengaruh cukup besar terhadap tumbuh dan berkembangnya gerakan dan pemikiran revivalisme di negara berpenduduk mayoritas Muslim ini. Selain hal
itu, oleh sebagian pihak, fenomena ini dianggap terkait dengan
isu “kebangkitan Islam”, khususnya di Indonesia.1 Hingga saat
ini, belum ada kesepakatan di antara pengamat (pemikir) Islam
tentang satu istilah untuk menggambarkan fenomena kebangkitan tersebut. Namun, ada sebagian pemikir Islam yang menggambarkannya dengan istilah revivalisme Islam,2 fundamen1 Kebangkitan Islam adalah formulasi dari gejala-gejala keagamaan (religiusitas) yang
di tandai oleh menguatnya kecenderungan orang Islam untuk kembali kepada ajaran
Islam secara formal pada semua aspek kehidupan. Baca dalam Imdadun Rahmat, Arus
Baru Islam Radikal (Jakarta: Erlangga, 2002), x
2 Revivalisme Islam gerakan yang ingin mengembalikan Islam ke dalam keadaanya
yang asli dan murni. Karakter umum gerakan revivalisme Islam adalah seputar hijrah
dan jihad, sementara karakter khusus adalah a) kembali ke Islam yang murni sebagai
sebuah agama tauhid, b) anjuran membuka ijtihad dan melarang taklid buta, c) keharusan hijrah meninggalkan daerah yang di kuasai orang kafir, d) kepercayaan yang
kuat terhadap seorang pemimpin tunggal sebagai sang pembaharu atau Imam Mahdi
yang di tunggu-tunggu. Youssef M. Choueiri, Islam Garis Keras: Melacak akar Gerakan
Fundamentalisme (terj), penerjemah Humaidi Syuhud (Yogyakarta: Qonun, 2003), 20
1
talisme Islam, radikalisme Islam, Islamisme, puritanisme Islam
dan ekstremisme Islam.3 Meski mempunyai sebutan beragam,
kebangkitan Islam bertemu pada satu titik yaitu semangat radikalisme Islam atau ide tentang kesatuan Islam secara internasional melalui penerapan sistem syariat Islam atau negara Islam
(daulah Islamiyyah).4
Hrair Dekmejian menggunakan terma revivalisme Islam untuk menunjuk fenomena munculnya gerakan keagamaan Islam
kontemporer di Timur Tengah. Menurutnya, kebangkitan Islam
menggambarkan tingginya kesadaran Islam di kalangan umat
Islam dan rangkaian kesatuan yang dinamis antara spiritualisme
pasif-apolitis dengan militansi dan radikalisme.5
Oliver Roy menggunakan terma Islamisme dan Neo-Fundamentalisme untuk menyebut gerakan Islam yang berorientasi
pada pemberlakuan syariat, seperti Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir (HT).6 Sementara John L Esposito mencirikan fundamentalisme pada sifat kembali kepada kepercayaan fundamental agama. Mereka mendasarkan aktivitasnya pada pemahaman
literal dalam memahami al-Qur’an dan al-Sunnah.7
Kebangkitan Islam terjadi di berbagai negara Islam, terutama di
Timur Tengah. Kebangkitan Islam tersebut dipresentasikan dengan munculnya beberapa organisasi Islam seperti Neo-Ikhwan3 Ekstremisme Islam digunakan oleh Abid Al-Jabiri untuk menggambarkan kelompok Islam ekstrem yang biasanya menggerakkan permusuhan kepada gerakan Islam
“tengah/moderat”. Lihat Muhammad Abid al-Jabiri, Agama, Negara, dan Penerapan
Syariah (Yogyakarta: Pustaka, 2001), 139. Sementara Said Al Asymawi menggunakan
istilah Ekstrem untuk menggambarkan suatu kelompok untuk merebut kekuasaan
dengan menunggangi isu-isu agama. Di sebutkan bahwa faktor paling menonjol dari
kemunculan ekstremisme Islam adalah krisis kepercayaan kepada lembaga-lembaga
Negara, lembaga agama, dan lembaga politik. Lihat, Muhammad Said Al-Symawi,
Al-Islam Al-Siyasi (Kairo: Sina li al-Nasyr, 1987), 66
4 Deni Al As’ary, Selamatkan Muhammadiyah:Agenda Mendesak (Yogyakarta: Kibar
Press,2009), 21
5 Shireen T Hunter, Politik Kebangkitan Islam Keragaman dan Kesatuan (terj), penerjemah Ajat Sudrajat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), 3. Imdadun Rahmat, Arus
Baru, xvi
6 Imadadun Rahmat, Arus Baru, xvi. Oliver Roy, The Failure of Political Islam (London: I.B Tauris&Co.Ltd, 1994), 2-4
7 Imadadun Rahmat, Arus Baru, xvi. John L Esposito, The Islamic Threat Myth or
Reality (Oxford: Oxford University Press, 1992), 7-8
2
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
ul Muslimin di Mesir, Jama’at al-Islami (JI) di Pakistan, Hamas
di Palestina danHizbullah di Lebanon. Sementara, kebangkitan
Islam di Indonesia dipresentasikan dengan kemunculan ormas
keagamaan seperti Ikhwanul Muslimin (Tarbiyah), Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI), Jama’ah Anshoru Tauhid (JAT) dan Laskar Jihad. Beberapa kelompok Islam di atas cenderung menampilkan
ideologi dakwah yang radikal-fundamental dan mengusung tema
ideologi Islam dalam setiap aksi dengan suatu tujuan menawarkan Islam sebagai ideologi alternatif.8
Kemunculan gerakan Islam radikal merupakan hal wajar akibat dari eskalasi dunia global saat ini yang tidak ada sekat tradisi,
teritorial dalam akses informasi dan wacana (ideologi). Seperti,
pandangan Ian Adams, kemunculam gerakan Islam radikal merupakan hal wajar karena fundamentalisme (radikalisme) dapat
ditemukan dalam berbagai macam lingkungan dan tampil dalam
berbagai bentuk yang beragam, termasuk dalam wajah agama
(kelompok agama).9
Meski menampilkan wajah dakwah, berbagai gerakan Islam
yang datang belakangan tersebut secara geneologis mereka
memiliki akar ideologi dan paham keislaman dari Timur Tengah.
Sebagaimana pandangan Akh Muzakki, kemunculan gerakan
Islam radikal atau juga dikenal dengan Islam radikal tidak lebih dari representasi total Islam Timur Tengah.10 Pandangan ini
diperkuat Haidar Nashir, kemunculan Islam radikal atau Islam
yang mengusung gagasan syariat Islam merupakan bentuk reproduksi gagasan dan ideologis Islam salafiyah di Timur Tengah.
11
Salafisme adalah faham keagamaan yang didirikan pada
akhir abad ke-19 oleh para reformis muslim seperti Muhammad
8 Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2004),
19
9 Ian Adams, Ideologi Politik (Yogyakrta: Qalam, 2004), 426
10 Ach. Muzakki, “Importasidan Lokalisasi Ideologi Islam: Ekspansi Gerakan Islam
Pinggiran Pasca Soeharto”, Juranal MAARIF, Vol. 2, No.4, Juni 2007
11 Haidar Nashir, Gerakan Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia
(Jakarta: PSAP, 2007), 8
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
3
‘Abduh (w.1905M), Jamal al-Din al-Afghani (w.1935 M), bahkan
dikaitkan juga dengan Ibn Taymiyyah dan muridnya Ibn Qayyim
al-Jawziyyah. Istilah salaf berati “pendahulu” dan dalam konteks
Islam pendahulu itu merujuk pada periode Nabi Muhammad
SAW, sahabat, tabi’in dan tabi’in-tabi’at. Selain itu ada istilah
salafi (pengikut kaum salaf) memiliki arti yang fleksibel, serta memiliki daya tarik natural sebab ia dilambangkan otentitas
dan keabsahan. Sebagai istilah salafi di manfaatkan oleh setiap
gerakan yang ingin mengklaim bahwa gerakan itu berakar pada
autentisitas Islam.12
Salafisme menyeruh untuk kembali pada konsep yang sangat
dasar dalam Islam. Umat Islam seharusnya mengikuti anjuran
Nabi dan para sahabatnya yang mendapatkan petunjuk (al-salaf
al-shalih) dan generasi awal yang saleh. Salafisme menegaskan
bahwa dalam menghadapi semua persoalan, umat Islam seharusnya kembali pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam melakukannya umat Islam harus menginterpretasikan sumber-sumber
asli itu berdasarkan kebutuhan dan tuntutan modern tanpa harus
mutlak pada produk penafsiran generasi muslim awal. Salafisme
tidak tertarik pada sejarah, dengan menekankan asumsi “zaman
keemasan” di era kehidupan Nabi dan para sahabatnya, sertamenolak pada warisan sejarah Islam yang lebih besar.13
Geneologi ideologi gerakan radikal-fundamental dapat dilacak bersumber dari pemahaman literal-formalistik terhadap tradisi kaum salaf. Tradisi kaum salaf oleh kelompok ini dijadikan
pijakan ideal dalam berfikir maupun bertindak, baik dalam kehidupan keagamaan maupun interaksi sosial (mu’amalah). Mereka memahami bahwa tradisi kaum salaf merupakan tradisi paling sesuai dengan yang diharapkan oleh Nabi Muhammad SAW
12 Pada awalnya istilah salafi dipakai kaum reformis liberal.Namun pada awal abad
ke-20,kaum Wahabi menyebut diri mereka kaum salafi. Akan tetapi hingga tahun 1970an, istilah itu tidak terkait dengan keyakinan Wahhabi. Lebih jelas lihat, Khaled Abou El
Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (terj), penerjemah Helmi Musthofa (Jakarta: Serambi, 2006), 93
13 Ibid.,94-95
4
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
dalam mengatur kehidupan.14 Untuk mewujudkan cita-cita ideal
tersebut kelompok ini cenderung menggunakan model dakwah
radikal-fundamental.
Sebagaimana pendapat Jamhari dan Jajang, bahwa kemunculan kelompok Islam radikal di dunia Sunni sekarang ini berkaitan dengan reformulasi ideologi salaf. Sebuah paham yang
mengajarkan umat Islam agar menyotoh perilaku Nabi Muhammad SAW dan para sahabat. Ideologi salaf yang pada awalnya
menekankan pada pemurnian (puritanisme) aqidah mengalami
metamorfosis pada abad ke-20. Salafisme tidak hanya gerakan
purifikasi keagamaan semata tetapi menjadi ideologi perlawanan terhadap berbagai paham yang tidak sesuai dengan nilainilai agama.15
Akar ideologi Islam radikal selain bersumber dari ideologi
salafi, juga terkait erat dengan ideologi Wahabi.16 Dasar ideologi
Wahabi dibangun oleh Muhammad ibn Abd Wahhab (w.1206),
gagasan utama adalah bahwa umat Islam telah melakukan kesalahan dan menyimpang dari jalan Islam yang lurus dan hanya dengan kembali ke satu-satunya agama yang benar mereka
akandi terima dan mendapat ridha dari Allah. Dengan semangat
puritan kaum Wahabi ingin membersihkan segala bentuk tambahan, tafsir, tasawuf, Syiah yang di nilai bid’ah.
Wahabisme menolak intelektualisme, mistisisme, dan
sektarianisme dalam Islam dengan memandang semua itu sebagi inovasi yang menyimpang karena ada pengaruh dari luar.
Wahabi tidak memberi jalan tengah bagi umat hanya ada dua
menjadi orang Islam yang benar atau kaffir. Wahabi juga sangat
fanatik dan benci dengan kelompok non muslim dengan menegaskan bahwa muslim seharusnya tidak mengikuti kebiasaan
non muslim. Wahabi mendukung sistem keyakinan tertutup,
lengkap dan memenuhi kebutuhan sehingga tidak ada alasan
14 Geneologi ideologi radikal dijadikan pijakan oleh beberapa kelompok Gerakan Islam Radikal di Indonesia ternyata terkait kuat dengan gerakan atau ideologi salafi
yang tumbuh subur di Timur Tengah terutama Saudi Arabia. Lihat, Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press,2004)
15 Ibid., 252
16 Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam, 93
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
5
untuk terlibat kecuali mendominasi. Sebagaimana pandangan
Khaled Abou El Fadl, bahwa kaum Wahabi jelas-jelas memengaruhi setiap gerakan puritan/radikal di dunia Islam di era kontemporer. Setiap gerakan Islam yang dilabeli radikal seperti alQaedah,17 Ikhwanul al-Muslimun sangat kuat dipengaruhi oleh
ideologi Wahabi.18
Ideologi salafi dan wahabi secara metodologis dan ditinjau
dari subtansinya nyaris identik kecuali bahwa Wahabi kurang
toleran terhadap keragaman dan perbedaan pendapat. Salafisme tidak serta merta anti intelektualisme seperti wahabisme
ia cenderung tidak tertarik pada sejarah.19 Dari pemetaan tersebut kedua ideologi mempunyai semangat yang sama, yaitu ingin
mengembalikan ajaran Islam secara murni dan sesuai dengan
zaman Nabi dan sahabat dengan pemahaman yang literal-tekstual, serta kurang dapat menerima kelompok di luarnya.
Gerakan Islam radikal juga menjadikan terma jihad sebagai
salah satu landasan perjuangan. Konsep jihad mengalami
pergeseran makna.20 Konsep jihad cenderung ditafsiri secara
literal dan sempit. Jihad yang semula dipahami sebagai upaya
sungguh-sungguh untuk menggerakkan segala tenaga, pikiran,
dan harta untuk kemajuan Islam melalui dakwah, bergeser ke
makna artifisial dan fisikal. Pergeseran makna jihad ini terjadi
terutama di kalangan pengikuti Wahabi yang identitik dengan
neo-fundamentalisme atau neo-salafi. Wahabi awal memaknai
jihad adalah perjuangan menegakkan monoteisme, tetapi belakang bergesar pada gerakan perlawanan global tanpa kompromi dengan siapa saja yang secara ideologi berbeda, yang
ada adalah perang melawan Yahudi, Kristen dan Barat secara
global, sehingga sering berbenturan dengan kelompok non-Muslim bahkan dengan sesama kelompok Islam sendiri.21
17 Untuk lebih jelas sepak terjang dan ideologi ak-Qaeda, baca karya As’ad Said Ali,
Al-Qaeda; Tinjaun Sosial-Politik, Ideologi dan sepak terjangnya, (Jakarta: LP3ES,
2014).
18 Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam, 61
19 Ibid., 94
20 Natana J Delong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform Global Jihad (London: Oxford University Press, tt), 278
21 Zuly Qadir “Gerakan salafi Radikal dalam Konteks Islam Indonesia”, Jurnal Islamica,
6
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
Konsepsi jihad di atas berkembang di Indonesia. Jihad identitik dengan jalan kekerasan, teror, bom di tempat umum. Oleh
Fazlur Rahman, konsep jihad seperti itu dikritik sebagai bentuk
salafi yang sempit. Bukan salafi yang mengambil semangat Ibnu
Taymiyyah yang menyatakan perbuatan manusia tidak bersifat
zahiri, tampak sebagai kebaikan (jihad) tetapi ada perbuatan
yang bersifat batiniah, inilah sesungguhnya menjadi bagian terpenting dalam iman pada Tuhan.22
Gerakan Islam radikal yang tumbuh di Indonesia berbeda
dengan gerakan Islam yang terlebih dahulu eksis di Indonesia.
Gerakan Islam awal (NU, Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad) dianggap mewakili gerakan Islam moderat.23 Sehingga, Azyumardi Azra juga kerap menyebut bahwa Islam moderat merupakan
karakter asli dari keberagamaan Muslim di Indonesia.24
Gerakan Islam moderat adalah gerakan Islam yang menjunjung tinggi sikap tasammuh, tawazun, tawasuth, dan menghargai perbedaan (toleran), menjunjung perdamaian, santun dan
terbuka dalam berdakwah di masyarakat.25 Sementara gerakan
Islam radikal lebih cenderung berideologi radikal-fundamental
dengan tampilan wajah dakwah yang keras dan tertutup.
Salah satu gerakan Islam moderat di Indonesia adalah Muhammadiyah. Muhammadiyah telah meneguhkan diri sebagai
gerakan Islam yang menampilkan paham agama (ideologi) yang
rahmatalil’alamin.26 Muhammadiyah sampai saat ini tetap konVol.3, No.1, September 2008, 2.
22 Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam: Studi Fundamentalisme Islam (ter), penerjemah Aam Fahmia (Jakarta: Rajawali Press, 2001), 163
23 Menurut, Azumardi Azra Muhammadiyah-NU adalah produk asli Indonesia (made
in Indonesia) yang memiliki paham keIslaman moderat (Washatiyah) dan memiliki jaringan dan anggota terbanyak di Indonesia. Dan secara komitemen ideologi NU-Muhammadiyah adalah memperjuangkan nilai-nilai Islam bukan formalisasi Islam dalam
bentuk Negara maupun penerapan Syariat Islam sebagai hukum positif. Azumardi
Azra, “ISIS Mengancam Kita”, Forum Indonesia Lawyers Club (ILC) TV One, (24 Maret
2015)
24 Lihat M. Hilaly Basya, “Menelusuri Artikulasi Islam Moderat di Indonesia”, http://
www.madina-sk.com/index.php?option.com, diakses tanggal 23 Juli 2009.
25 Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU (Solo, Jatayu, 1985)
26 Haedar Nashir, Kristalisasi Ideologi Muhammadiyah dan Komitmen BerMuhammmadiyah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007), 31
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
7
sisten sebagai gerakan Islam moderat dengan mengusung gerakan pembaharuan (tajdid) dan pemurnian (tanzih). Ideologi Muhammadiyah menasbihkan anti-kekerasan, anti-pemaksaan dan
berorientasi pada humanisme. Orientasi dakwah yang humanis
dan menghargai tradisi lokal sering disebut dengan dakwah kultural.27
Konstruksi dakwah kultural muncul disebabkan gerakan Muhammadiyah selama ini dicap gerakan anti-tradisi lokal yang
akrab dengan kehidupan masyarakat desa dan rakyat, hal itu
menjadikan gerakan ini terasing dari kehidupan rakyat kecil
pedesaan. Fakta ini mendorong beberapa elite pimpinan Muhammadiyah mengembangkan gagasan yang disebut dakwah
kultural yang disusun tahun 2002. Tujuan dakwah kultural adalah
bagaimana melakukan dakwah dengan memperhatikan kondisi
obyektif masyarakat yang hendak dirubah. Konsep dakwah kultural senafas dengan pandangan dan sikap Kiai Ahmad Dahlan
yang tidak anti-tradisi.28
Konstruksi ideologi Muhammadiyah berasal dari ajaran dan
perjuangan Kyai Ahmad Dahlan. Ajaran dan perjuangan Kyai
Ahmad Dahlan telah menginspirasi para aktivis Muhammadiyah
dalam bergerak mengembangankan Islam di Indonesia. Prinsip
dasar ajaran Kyai Ahmad Dahlan adalah memadukan kesalehan individual dan kesalehan sosial yang berpegang kepada
al-Qur’an dan al-Hadits.29 Bercita-cita mewujudkan masyarakat
yang utama, dan sebenar-benarnya yang diridhoi Allah SWT.30
Ideologi Muhammadiyah terbentuk melalui proses sejarah
27 Lihat Abdul Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani (Bentang: Yogyakarta, 2000). Adapun konsep dakwah kultural secara lengkap, lihat Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, Dakwah Kultural Muhammadiyah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2005).
28 GRAy. Koes Moertiyah & Nasarudddin Anshory, Tafsir Jawa Keteladan Kiai Ahmad
Dahlan, (Yogyakarta: Adiwacana, 2010)
29 Prinsip dan ajaran-ajaran Kiyai Ahmad Dahlan dalam memahami kehidupan yang
kemudian di jadikan landasan dalam menggerakan Muhammadiyah, semuanya dilandaskan pada prinsip-prinsip Al Qur’an dan Hadits yang kemudian di jadikan landasan
Ideologi Muhammadiyah. Lihat KRH. Hadjid, Pelajaran KH. Ahmad Dahlan: 7 falsafah
Ajaran dan 17 Kelompok Ayat Al Qur’an (Yogyakarta: LPI PP Muhammadiyah, 2008)
30 Haedar Nashir, Kristalisasi Ideologi, 4
8
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
panjang yang dipengaruhi situasi dan kondisi lingkungan sekitar
(baca: Kauman Yogyakarta). Sebagaimana pendapat Louis Althusser, bahwa proses terbentuknya ideologi diantaranya karena
faktor sosio-historis.31 Artinya, ideologi terbentuk tidak di ruang
hampa tetapi melalui proses dinamika persoalan di masyarakat
yang mengkristal menjadi prinsip kehidupan. Begitu juga ideologi Muhammadiyah dibentuk sebagai respons terhadap perkembangan sejarah. Ia dirumuskan dan dikembangkan tidak dalam
ruang hampa tetapi di ruang realitas masyarakat yang dinamis.
Ideologi Muhammadiyah memiliki karakter yang menjadi sistem
paham, visi, misi dan strategi perjuangan yang khas yang membedakan dengan ideologi gerakan Islam yang lain. Artinya yang
membedakan gerakan Muhammadiyah dengan gerakan Islam
lain adalah karena orientasi ideologi dan strategi dakwahnya.
Belakangan ini, ada fenomena menarik di kalangan aktivis Muhammadiyah. Sebagian di antara mereka terlibat dalam
berbagai gerakan Islam radikal.32 Padahal, antara gerakan Muhammadiyah dengan gerakan Islam radikal mempunyai ideologi
gerakan yang berbeda. Fenomena tersebut digambarkan oleh
penulis sebagai gejala pergeseran ideologi. Fakta tersebut tentu sulit dipahami, sebab Muhammadiyah merupakan organisasi sosial keagamaan yang sudah mapan, baik secara ideologi
maupun dakwah. bahkan merupakan salah satu penyanggah
kehidupan sosial keagamaan di Indonesia. Namun, kenapa para
aktivisnya mudah terpengaruh dan pindah ke ideologi gerakan
lain.
Fenomena tersebut terjadi di kalangan aktivis Muhammadiyah
di Paciran, Lamongan. Sejumlah aktivis Muhammadiyah menjadi penggerak atau simpatisan gerakan Front Pembela Islam
(FPI).33 Padahal daerah Paciran merupakan basis massa ter31 Syamsul Arifin, Ideologi Praksis Gerakan Sosial kaum fundamentalisme (Malang:
UMM Press, 2005), 45
32 Miftachul Huda, Ikhwanul Muhammadiyah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah dan
Kibar Press, 2007), 4
33 Front Pembela Islam (FPI) merupakan salah satu gerakan Islam radikal berideologi radikal-fundamental. FPI dikenalmasyarakat sebagai organisasi Islam yang sering
menggunakan cara-cara kekerasan dan kasar dalam berdakwah di masyarakat. Ciri
khas dakwah FPI adalah dengan swipping di berbagai tempat hiburan (diskotek, cafe,
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
9
besar pengikut Muhammadiyah di Lamongan, bahkan di Jawa
Timur. Daerah ini termasuk salah satu wilayah Muhammadiyah
yang berkembang pesat. Di daerah ini banyak tokoh dan aktivis Muhammadiyah dilahirkan. Di samping itu, Paciran merupakan wilayah awal masuk dan perkembangan Muhammadiyah di
wilayah Lamongan.34 Potret tersebut menggambarkan adanya
kecenderungan kerapuhan ideologi di lingkungan kaum muda
Muhammadiyah.
Fenomena di atas, menurut hemat penulis, penting dan
menarik untuk dikaji secara mendalam. Sebab, pertama; fonomena pergeseran ideologi yang terjadi di kalangan aktivis Muhammadiyah di Paciran mempengaruhi gerakan Muhammadiyah dan
wajah gerakan Islam di Indonesia. Hal itu disebabkan karena posisi Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi masyarakat
terbesar di Indonesia.
Menurut Azyumardi Azra, NU-Muhammadiyah adalah produk asli Indonesia. Keduanya memiliki paham keagamaan yang
moderat dan memiliki jaringan dan anggota terbanyak di Indonesia. Secara komitemen, ideologi NU-Muhammadiyah adalah
memperjuangkan nilai-nilai Islam, bukan formalisasi Islam dalam
entuk negara maupun penerapan Syariat Islam sebagai hukum
positif.35
Kedua, wajah Islam Indonesia bergantung dari gerakan dakwah NU dan Muhammadiyah. Kalau dakwah NU-Muhammadiyah tampildengan cara radikal, maka secara tidak langsung akan
menggambarkan wajah Islam Indonesia yang radikal dan begitu juga sebaliknya. Padahal, selama ini Islam Indonesia dikenal
dengan wajah dakwah yang moderat, damai, santun, toleran dan
rahmatalli’alamin.
lokalisasi, karaoke, dll) dengan membawa alat pemukul dan pedang. FPI adalah salah
satu gerakan salafi radikal di Indonesia yang berideologi radikal-fundamental dalam
memahami ajaran Islam.
34 Tepatnya di Desa Blimbing Paciran, baca, Fathurrahman Syuhadi, Mengenang Perjuangan: Sejarah Muhammadiyah Lamongan 1936-2005, (Surabaya: Java Pustaka,
2006), 13
35 Azyumardi Azra, ISIS Mengancam Kita”, Forum Indonesia Lawyers Club (ILC) TV
One, ( 24 Maret 2015)
10
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
B. Fokus Kajian
Berdasarkan uraian yang dideskripsikan di atas, maka fokus
kajian penelitian adalah memahami gejala pergeseran ideologi di kalangan aktivis Muhammadiyah yang terlibat di gerakan
Front Pembela Islam (FPI). Lebih lanjut, kajian ini bermaksud
untuk mengungkapkan, pertama; membongkar latar belakang
dan faktor gejala pergeseran ideologi terjadi di kalangan aktivis
Muhammadiyah. Hal ini penting untuk mendapatkan gambaran
secara utuh pendorong proses berlangsungnya transisi ideologi
yang terjadi di kalangan aktivis Muhammadiyah di Paciran, Lamongan.
Kedua; mengungkap bentuk dan proses pergeseran ideologi
yang terjadi di kalangan aktivis Muhammadiyah. Fokus ini penting untuk menemukan berbagai paradigma ideologi dan sikap
keberagamaan aktivis Muhammadiyah yang terlibat di FPI. Sehingga penulis dapat melakukan tipologi terhadap paradigma
ideologi dan sikap keberagamaan mereka dalam merespons
ideologi Muhamadiyah dan FPI.
Ketiga, mendeskripsikan jalur dan media pergeseran ideologi
yang terjadi di kalangan aktivis Muhammadiyah. Fokus kajian
ini penting untuk menemukan secara utuh jaringan yang digunakan sehingga proses transformasi ideologi Islam radikal dapat
masuk di kalangan Muhammadiyah. Dan, mengungkap strategi
media yang digunakan dalam penyembaran ideologi di kalangan
aktivis Muhammadiyah.
Keempat, memahami dampak dari proses pergeserandari ideologi Muhammadiyah ke ideologi FPI. Fokus ini penting untuk
membongkar pergulatan pengaruh ideologi antara kelompok Islam (Muhammadiyah-FPI) yang berusaha saling mendominasi.
Selain itu untuk mendapatkan potret secara utuh wajah dakwah
Muhammadiyah dan wajah Islam Indonesia dari dampak proses
pergeseran Ideologi di kalangan aktivis Muhammadiyah di Paciran Lamongan.
Di samping itu, hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai perangkat dalam memahami proses infiltrasi ideologi IsThe Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
11
lam radikal ke berbagai kelompok Islam moderat di Indonesia.
Memang secara keputusan organisasi, Muhammadiyah menolak dan mengutuk tegas ideologi Islam radikal, namun penganut grass root dapat saja memberikan dukungan kepada kelompok-kelompok Islam rdaikal. Seperti banyak diketahui bahwa
ideologi Islam radikal memiliki potensi yang mudah menyebar
dan merembas dengan halus dan samar tanpa diketahui secara
pasti.
Selain itu hasil penelitian ini dapat digunakan untuk pengembangan keilmuan pemikiran Islam terutama terhadap perkembangan gerakan Islam radikal di Indonesia. Dan dapat digunakan
bagi pemerintah dan komunitas keagamaan di Indonesia dalam
menyikapi perubahan dan perbedaan pemikiran Islam agar tidak
terjadi konflik di masyarakat.
C. Kajian Terdahulu
Femonena infiltrasi ideologi Islam radikal ke kelompok Islam
maistream (NU-Muhammadiyah) menjadi perhatian serius dan
ramai di kalangan aktivis, cendekiawan, dan pemerintah Indonesia. Sehingga harus diakui publikasi (buku atau opini) terhadap
fenomena infiltrasi ideologi Islam radikal sudah ada, tetapi kajian
yang fokus mengakaji fenomena infiltrasi di tubuh Muhammadiyah yang berbasis lapangan masih terbatas.
Ada beberapa kajian yang membahas fenomena infiltrasi
ideolgi radikal Islam di Muhammadiyah. Diantaranya, yaitu Karya
Miftahul Huda, Ikhwanul Muhammadiyah: Benturan Ideologi
dan Kaderisasi dalam Muhammadiyah.36 Karya ini menjelaskan
benturan ideologi Muhammadiyah dengan ideologi gerakan Islam lainnya yang cenderung berideologi radikal, seperti Ikhwan
al-Muslimun (Tarbiyah, PKS). Menurut Huda, diperlukan strategi
penyikapan bagi Muhammadiyah terhadap kelompok-kelompok
ini. Namun, dalam kajian tersebut, Huda lebih didasarkan pada
opini. Tidak fokus pada satu inti masalah dan pengolahan data
sekunder dan tidak berbasis pada kajian lapangan sehingga
36 Miftachul Huda, Ikhwanul Muhammadiyah, 10
12
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
cenderung ideologis.
Studi terkait terdapat dalam kajian Deni al-As’ary, Selamatkan
Muhammadiyah; Agenda Mendesak Warga Muhammadiyah.37
Kajian ini berusaha mengungkap fakta-fakta tergerusnya ideologi Muhammadiyah mulai dari Amal pendidikan, kaderisasi, model dakwah Muhammadiyah sampai pada paham keagamaan
Muhammadiyah. Menurut Deni, saat ini ideologi keagamaan
Muhammadiyah berada ditengah-tengah pusaran ideologi Islam
Transnasional yang cenderung radikal, sehingga dibutuhkan
gerakan antisipatif. Namun, kajian Deni ini tidak fokus dan tidak
berdasarkan kajian lapangan langsung, sehingga nampak sebatas gambaran awal akan adanya ancaman dari gerakan Islam
Transnasional ke Muhammadiyah.
Diakui oleh banyak sarjana, bahwa infiltrasi ideologi Islam
radikal lebih muda masuk ke Muhammadiyah daripada ke NU.
Salah satu indikasinya adalah adanya kemiripan ideologi Muhammadiyah yang puritan dengan ideologi Wahabi. Hal dapat
ditemukan dalam buku, Muhammadiyah & Wahhabisme Mengurai Titik Temu dan Titik Seteru.38 Buku yang ditulis oleh beberapa
Pimpinan Muhammadiyah ada perdebatan menarik berkaitan
tentang relasi Muhammadiyah dengan Wahabisme. Dalam perdebatan itu ditemukan ada benang merah antara ideologi Muhammadiyah dengan ideologi Wahabi, walau sebagian ada yang
menolak secara tegas.
Kajian ini diperkuat dengan buku Haedar Nashir, Manifestasi Gerakan Tarbiyah; Bagaimana Sikap Muhammadiyah.39 Di
karya tersebut ditemukan adanya infiltrasi ideologi Islam radikal
(Kelompok Tarbiyah-Ikhwanul al-Muslimun yang bermetamorfosis menjadi Partai Keadailan kemudian berganti Partai Keadilan
Sejahtera (PKS). Dampak yang ditimbulkan dari proses tersebut
adanya perubahan perilaku keagamaan di kalangan warga Mu37 Deni al-As’ary, Selamatkan Muhammadiyah; Agenda Mendesak Warga Muhammadiyah, ( Yogyakarta: Kibarpress, 2009)
38 Mua’arif (penyuting), Muhammadiyah dan Wahhabisme; Mengurai Titik Temu dan
Titik Seteru, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2012)
39 Haedar Nashir, Manifestasi Gerakan Tarbiyah; Bagaimana Sikap Muhammadiyah,
(Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2006)
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
13
hammadiyah. Mereka cenderung mengikuti tradisi keagamaan
kelompok Tarbiyah daripada tradisi keagamaan Muhammadiyah.
Benturan ideologi di kalangan gerakan Islam di Indonesia salah satunya disebabkan adanya proses infiltrasi ideologi kelompok Islam radikal kepada kelompok Islam maistream
(NU-Muhammadiyah). Ada beberapa kajian yang dapat dijadikan rujukan profil dan dinamika gerakan Islam Radikal. Semisal,
karya Khamami Zada, Islam Radikal Pergulatan Ormas-ormas
Islam Garis Keras di Indonesia.40 Fokus kajian Zada adalah mengungkap secara detail geneologi ideologi dan agenda politik
dari kelompok Islam garis keras di Indonesia. Diantara kelompok
Islam garis keras adalah Front Pembela Islam (FPI) dan Partai
Keadilan Sejahtera (PKS). Dari kajian tersebut ditemukan bahwa
kelompok-kelompok Islam garis keras secara politik sangat berbahaya bagi masa depan politik Islam di Indonesia.
Melengkapi kajian itu, ada karya Al Zastrow, Gerakan Islam
Simbolik Politik Kepentingan FPI.41 Kajian tersebut, fokus pada
sejarah, konstrsuksi sosial dan orientasi politik aktifitas FPI di
Jakarta di bawah komando Habib Rizieq Shihab. Dalam kajian
tersebut terungkap kedok gerakan FPI, agenda perjuangan dan
konstruksi ideologi FPI. Ditemukan pula dibalik simbol-simbol
agama yang dipakai oleh FPI dalam melancarkan aksi gerakannya hanyalah dramaturgi politik, artinya antara panggung depan
pada saat aksi (jubah putih, simbol agama) ada kesenjangan
dengan dipanggung belakang.
Gerakan FPI memang selama ini menjadi perhatian di kalangan masyarakat Indonesia dengan aksi-aksi keras dan kasarnya dalam berdakwah. Fenomena ini teramati dari kajian Andri
Rosadi, Hitam Putih FPI (Mengungkap Rahasia-rahasia Mencengangkan Ormas Keagamaan Paling Kontroversial).42 Kajian
Rosadi menemukan dua sisi dalam tubuh FPI, yaitu sisi positif
40 Khamami Zada, Islam RadikalPergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia (Bandung: Mizan, 2003)
41 Al Zastrow, Gerakan Islam Simbolik Politik Kepentingan FPI (Yogyakarta:LKiS,
2006)
42 Andri Rosadi, Hitam-Putih FPI (Mengungkap Rahasia-rahasia Mencengangkan Ormas Keagamaan Paling Kontroversial) (Jakarta: Nun Publisher, 2008)
14
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
dan sisi negatif. Sisi negatif ditemukan perilaku para aktivis FPI
yang melanggar Syariat Islam dan jaringan dibelakang FPI yang
ditengarai dengan kelompok-kelompok kepentingan. Sementara
sisi positif FPI, secara faktual dengan keberadaan FPI dapat
meminimalisir prilaku kemaksiatan di masyarakat.
Ideologi dan pedoman organisasi FPI terbilang sangat lengkap. Hal tersebut terdapat dalam karya Muhammad Rizieq Syihab, Dialog FPI: Amar Maruf Nahi Munkar.43 Buku ini dapat dikatakan sebagai buku induk dan pedoman bagi aktivis FPI dalam
bergerak di masyarakat. Dalam buku tersebut dijelaskan secara
utuh konstruksi ideologi, visi-misi, tujuan, program dan pedoman
organisasi gerakan FPI.
Aksi radikal yang ditampilkan oleh kelompok Islam radikal
disebabkan oleh bangunan ideologi radikal. Ideologi gerakan
Islam radikal memiliki jaringan akar dengan ideologi Wahabi
dan Salafi. Fenomena ini dapat ditemukan dalam karya Jamhari
dan Jajang Rohani, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia.44 Kajian Jamhari ditemukan akar geneologi gerakan salafi radikal di
Indonesia seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), FPI, dan
Lasykar Jihad terkait dengan jaringan kelompok Islam radikal di
Timur Tengah, seperti Al-Qaedah, Ikhwan al-Muslimun, Jami’at
Islam Pakistan, Jama’ah Islamiyah, Taliban dan Mujahiddin Afghanistan. Selain ideologi, jejaring yang terbangun adalah program dan pendanaan. Ada juga karya Youssef M. Chouliri, Islam
Garis Keras: Melacak Akar Gerakan Fundamentalisme.45 Karya
Chouliri menjelaskan secara komperhensif geneologi pemikiran
dan gerakan kelompok Islam garis keras. Ditemukan geneologi
ideologi Islam garis keras berasal dari ideologi Wahabi.
Kajian yang cukup mendasar dan menelaah dari benih idelogisasi gerakan radikal Islam (fundamentalisme) terdapat dalam
buku Nafi’ Muthohirin bertajuk Fundamentalisme Islam; Gerakan
43 MuhammadRizieqSyihab, Dialog FPI: Amar Maruf Nahi Mungkar (Jakarta: Pustaka
Ibnu Sida, 2004)
44 Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press,2004)
45 Youssef M. Choueiri, Islam Garis Keras: Melajak Akar Gerakan Fundamentalsime
(terj), penerjemah Humaidi Syuhud (Yogyakarta: Qonun Press, 2003)
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
15
dan Tipologi Pemikiran Aktivis Dakwah Kampus. Buku ini meneliti tiga gerakan Islam (Tarbiyah, Jamaah Salafi, dan Hizbut
Tahrir Indonesia). Hanya dalam penelitiannya, Nafi’ lebih fokus
meriset akar pembenihan gerakan radikal Islam di lingkungan
mahasiswa, khsususnya di perguruan tinggi negeri di Indonesia.46 Relevansi dengan buku ini adalah, bahwa tesis ini dapat
menjelaskan genealogi dan tipologi pemikiran aktivis Islam radikal, tak terkecuali di Muhammadiyah.
Ideologi Muhammadiyah secara prinsip berbeda dengan ideologi Islam radikal, termasuk ideologi FPI. Ideologi Muhammadiyah merupakan sistem paham dalam perjungan melaksanakan
gerakan untuk mencapai tujuan Muhammadiyah.47 Artinya ideologi Muhammadiyah merupakan pondasi dan landasan gerak bagi warga Muhammadiyah dalam kehidupan sosial-keagamaan. Ada beberapa karya dapat di jadikan rujukan misalnya;
Buku Abdul Munir Mulkhan (edit), Api Pembaharuaan Kia Ahmad
Dahlan.48 Karya tersebut menjelaskan ajaran-ajaran dan spirit Kiai Ahmad Dahlan dalam melakukan proses pembaharuan
Islam. Spirit dan pemikiran-pemikiran Kiai Ahmad Dahlan ini
kemudian di konstruksi menjadi ideologi Muhammadiyah.
Konstruksi ideologi Muhammadiyah diperkuat, oleh karya
KRH. Hadjid, Pelajaran KH. A. Dahlan: 7 Falsafah Ajaran & 17
Kelompok Ayat Al Qur’an.49 Buku itu menjelaskan jiwa gerakan
Muhammadiyah yang bersumber dari ajaran Kyai Ahmad Dahlan yang diambil dari spirit dan nilai-nilai al-Qur’an. Ada juga
karya Haedar Nashir, Kristalisasi Ideologi Muhammadiyah dan
Komitmen BerMuhammmadiyah,50 karya tersebut menjelaskan
karakter, orientasi ideologi dan komitmen berMuhammadiyah.
Diperkuat dengan buku yang dikeluarkan oleh PP Muhammadiyah, Manhaj Gerakan Muhammadiyah: Ideologi, Khittah, dan
46 Lihat Nafi’ Muthohirin, Fundamentalisme Islam; Gerakan dan Tipologi Pemikiran
Aktivis Dakwah Kampus (Jakarta: Indostrategi dan Multipresindo, 2014)
47 Haedar Nashir, Meneguhkan Ideologi Gerakan Muhammadiyah (Malang: UMM
Press, cet ke- 2, 2007), iv
48 Abdul Munir Mulkhan (Edit), Api pembaharuan Kiai Ahmad dahlan (Yogyakarta:
Multi Press, 2008)
49 KRH. Hadjid, Pelajaran KH. A. Dahlan, 5
50 Haedar Nashir, Kristalisasi Ideologi Muhammadiyah, 7
16
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
Langkah.51 Karya ini mengupas tuntas tentang manhaj gerakan
dan ideologi gerakan Muhammadiyah.
Ideologi Muhammadiyah adalah ideologi yang inklusif anti kekerasan, toleran. Untuk melihat lebih jauh tentang ideologi Muhammadiyah ada karya Sazali, Muhammadiyah dan Masyarakat
Madani.52 Karya tersebut banyak mengungkapkan ideologi atau
prinsp gerakan Muhammadiyah yang menghargai pluralisme
dan sangat menjunjung tinggi toleransi.
D.Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Jenis penelitian yang digunakan adalah riset kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan model untuk mengeskplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok
orang.53 Proses penelitian kualitatif melalui tahapan pengajuan
pertanyaan kepada subyek penelitian, mengumpulkan data dari
subyek dan partisipan penelitian, menganalisa data secara induktif melalui dari tema-tema khusus ke tema-tema umum dan
menafsirkan makna data tersebut. Pada penelitian ini digunakan
untuk memahami pandangan dan prilaku aktivis Muhammadiyah
yang terlibat di FPI Paciran Lamongan.
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah
pendekatan fenomenologi-konstruksi sosial. Pada mulanya
fenomenologi adalah aliran filsafat yang mengkaji penampakan
atau fenomena yang terjadi. Teori ini pertama kali dikenalkan
oleh Edmund Husserl (1959-1938) kemudian dikembangkan
oleh Alfred Schultz dengan dipengaruhi pemikiran Max Weber
tentang verstehen.54 Sehingga banyak sarjana yang mengakui
51 Suara Muhammadiyah & PP Muhammadiyah, Manhaj Gerakan Muhammadiyah:
Ideologi, Khittah, dan Langkah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2009)
52 Sazali, Muhammadiyah dan Masyarakat Madani (Jakarta: PSAP, 2005)
53 John W. Creswell, Research Design; Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2013), 4-5
54 Max Weber, Sosiaologi Agama; A Handbook, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012)
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
17
Weber memiliki jasa besar dalam mengkonstruk fenomenologi
yang awalanya sangat filosofis bergeser ke sosiologis.
Kemudian menemukan puncaknya pada saat Peter L Berger
dan Thomas Luckman, menjadikan fenomenologi sangat sosiologis dengan teori konstruksi sosial. Teori konstruksi sosial berpijak pada asumsi bahwa realitas sosial memiliki dimensi subyektif-obyektif tergantung manusia sebagai subjeknya. Manusia
merupakan instrumen dan memiliki posisi penting dalam mengonstruksi realitas sosialnya melalui proses dialektis dari proses
eksternalisasi, objektivasidaninternalisasi.55
Konstruksi dialektis tersebut, menurut Berger berjalan sebagai berikut; Pertama, proses eksternalisasi adalah proses
penyesuain diri dengan situasi sosio-kultur masyarakat sebagai
produk manusia. Kedua, proses objektivasi proses terjadinya
interaksi sosial dalam dunia intersubyektif yang dilembagakan
atau proses institusionalisasi. Ketiga, proses internalisasi adalah proses pasca institusionalisasi individu mengidentifikasi diri
ditengah lembaga sosial atau organisasi sosial dimana individu
tersebut bagian dari anggotanya.56
Relasi dialektis dapat dideskripsikan dalam tiga momentum;Pertama masyarakat adalah produk individu, kedua, masyarakat adalah realitas sosial obyektif, ketiga individu adalah
produk masyarakat. Teori ini dapat digambarkan peneliti untuk
mengkaji fenomena pergeseranideologi di kalangan aktivis Muhammadiyah. Skema teori fenomena transisi ideologi Aktivis Muhammadiyah.
55 Peter L Beger, Langit Suci; Agama Sebagai Realitas Sosial. Terj. Hartnono, (Jakarta; LP3S, 1991), 5
56 Ibid, 5-6
18
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
Skema tersebut memperlihatkan proses internalisasi dalam
diri aktivis Muhammadiyah mengenai ideologi Muhammadiyah
yang moderat, toleran, pembaharu, pemurnian sebagai produk
dari komunitas tempat dia menjadi anggotanya. Pasca ideologi
tersebut terinternalisasi dalam diri para aktivis, mereka kemudian melakukan obyektivasi, yaitu keluar dari realitas sosial Muhammadiyah karena dianggap kurang pas atau nyaman. Kemudian mereka mendirikan atau ikut kelompok tersendiri (FPI) yang
berbeda dengan komunitas Muhammadiyah. Pada tahap ini
mereka mulai menarik garis pembeda dengan komunitas diluar
kelompoknya (Muhammadiyah). Setelah itu mereka melakukan
eksternalisasi yang tercermin dalam berbagai gerakan ideologi
FPI (radikal-fundamentalis), sebagai manifestasi dari proses eksternalisasi. Gerakan yang mereka lakukan merupakan usaha
membangun konstruksi sosial yang sesuai dengan ideologi FPI
yang telah terinternalisasi dalam dirinya (aktivis Muhammadiyah).
2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini meliputi dua cara, telaah kepustakaan (library research) danwawancara mendalam (depth interview). Telaah kepustakaan
dilakukan dengan cara membaca karya subyek penelitian mengenai tema yang relevan dengan masalah Muhammadiyah dan
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
19
Islam radikal. Wawancara mendalam (depth interview) dilakukan
untuk mendapatkan pemahaman utuh mengenai fenomena dan
pandangan subyek penelitian.
Strategi wawancara yang digunakan oleh penulis melalui
wawancaara langsung, telephon, SMS dan email. Wawancara
digunakan untuk melakukan konfirmasi terhadap pandangan
dan sikap mereka berkaitan dengan fenomena pergeseran
ideologi Muhammadiyah ke gerakan Islam radikal (FPI). Agar
peneliti dapat memahami pandangan dan sikap mereka, wawancara dilakukan beberapa kali dan dilakukan sesuai dengan
kesepakatan (rumah, Musholah, Sekolahan dan Warkop). Hal ini
digunakan untuk konfirmasi agar tidak terjadi kesalahpahaman
antara peneliti dan subyek penelitian.
3. Subyek Penelitian
Unit analisa yang dijadikan subyek penelitian adalah individu
yang dikatagorikan sebagai aktivis Muhammadiyah. Istilah aktivisMuhammadiyah adalah merujuk pada pemahaman individu
atau seseorang yang aktif atau pernah aktif di organisasi persyarikatan Muhammadiyah maupun organisasi otonom (Ortom)
Muhammadiyah seperti Pemuda Muhammadiyah (PM), Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Tapak Suci (TS), Hizbul Wathan (HW) atau Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) seperti guru di Sekolah Muhammadiyah, pimpinan atau karyawan di Rumah Sakit Muhammadiyah
atau Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM).
Pada penelitian ini fokus unit analisa adalah pada aktivis Muhammadiyah yang terlibat aktif maupun pasif (simpatisan) dalam
berbagai kegiatan Front Pembela Islam (FPI) Paciran, Lamongan dan aktivisMuhammadiyah Paciran yang tidak terlibat FPI.
Adapun untuk aktivisMuhammadiyah Paciran yang tidak terlibat
FPI digunakan sebagai pembanding (second opinion) terhadap
fenomena tersebut.
4. Analisis Data
Analisa penelitian yang digunakan adalah analisa induktif.
20
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
Analisa penelitian dilakukan dengan melibatkan para subyek
penelitian dan pandangan para sarjana. Maka dalam proses
pemberian makna dari data yang dihasilkan baik dari telaah
kepustakaan dan wawancara, selalu dikonfirmasikan kepada
subyek penelitian. Strategi ini diharapkan dapat meminimalisir
kesalahpahaman antara peneliti dengan subyek penelitian.Selanjutnya pemaknaan hasil penelitian didialogkan dengan pandangan (teori-teori) dari para ahli. Model analisa ini biasa disebut
dengan model analisa penelitian triangulasi.57
Simpulan hasil penelitian dilakukan berdasarkan pada tingkat
“kejenuhan” data dan fakta yang ditemukan dilapangan. Cara ini
ditempuh dengan pertimbangan, penelitian kualitatif tidak pernah berakhir dan hasil data (fakta) yang ditemukan terus berproses (in prosess) dan selalu berkembang.58 Hasil penelitain
akan senantiasa dikonfirmasikan kepada subyek penelitian sehingga simpulan akhir penelitian dapat segera dilakukan.
57 Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2005), 325-326
58 Sayuthi Ali, Metodologi Penelitian Agama, 65
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
21
22
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
BAGIAN KEDUA
PERGULATAN GERAKAN DAKWAH
MUHAMMADIYAH DI INDONESIA
A. Sejarah Muhammadiyah
Nalar kesejarahan, konstruksi filosofis, karakter ideologi dan
agenda perjuangan Muhammadiyah dapat diketahui melalui pengungkapan setting sosio-historis-ideologis kelahirannya. Hal ini
penting untuk memahami proses pergulatan gerakan Muhamamdiyah di Indonesia yang sudah menapaki usia lebih dari satu
abad. Dengan usia itu, Muhammadiyah sudah dan terus memberikan konstribusi sangat besar bagi pembangunan kuantitas
dan kualitas kehidupan umat Islam dan bangsa Indonesia, baik
di bidang pendidikan (Sekolah & Perguruan Tinggi), kesehatan
(Rumah Sakit), sosial, maupun keagamaan. Jumlah sekolah Muhammadiyah mencapai ribuan di seluruh Indonesia.1 Sehingga
keberdaan Muhammadiyah di dunia Islam, khususnya di Indonesia tidak dapat dianggap remeh.
Muhammadiyah sebagai salah satu gerakan sosial-keagamaan terbesar di Indonesia tidak lahir dan hadir di ruang hampa. Tetapi Muhammadiyah lahir dan hadir di tengah-tengah pergulatan realitas sosial–keagamaan masyarakat yang dinamis.
1 TK/TPQ 4.623, SD/MI 2.604, SMP/MTs 1.772, SMA/MA 1.143, Pesantren 67, PTM 172, RSM 457, Panti Asuhan 318, Panti Jompo 54,
Rehabilitasi Cacat 82, SLB 71, Masjid 6.118, Mushola 5.080, Tanah
20.945.504 m2, Lebih lengkap buku, www.muhammadiyah.or.id
23
Artinya, kelahiran Muhammadiyah merupakan keniscayaan sejarah. Ia dilahirkan dari rahim dinamika persoalan masyarakat
yang membutuhkan solusi perubahan yang lebih baik.
Untuk memahami kelahiran sebuah kelompok atau organisasi
masyarakat, perlu dikaji terlebih dahulu tokoh-tokoh pendirinya.
Hal itu penting, karena ideologi, karakter, tujuan dan agenda perjuangan organisasi sangat dipengaruhi oleh sosio-kultur, politik
dan keagamaan para pendirinya. Begitu juga kelahiran Muhammadiyah yang diprakarsai KH. Ahmad Dahlan, tentu tidak lepas
dari pengaruh kehidupanya. Sehingga dapat dikatakan bahwa
kelahiran Muhammadiyah merupakan wujud cita-cita atau gagasan KH. Ahmad Dahlan untuk memberikan solusi terhadap
problem masyarakat pada waktu itu. Oleh karena itu, penting
terlebih dahulu untuk mengkaji sosok KH. Ahmad Dahlan dari
segala aspek latar belakang kehidupannya.
1. KH. Ahmad Dahlan: Profil Kyai Progresif
Pendiri Muhammadiyah adalah KH. Ahmad Dahlan.2 Ia lahir
di Kampung Kauman, Yogyakarta pada 1868 M. Kauman, digambarkan oleh G.F Pijper, sebagai sebuah desa yang sempit
seperti lukisan di kota Sultan Yogyakarta. Kampung Kauman
terdiri dari jalan-jalan sempit dan tembok-tembok putih, orang
asing tentu sulit menemukan jalan. Penduduknya padat, namun
suasananya sepi dan tentram. Orang menyangka bahwa kesibukan penduduk itu berada di dalam kamar yang setengah gelap,
daerahnya dekat masjid di mungkinkan sebagai penjelmaan dari
keinginan untuk dekat pada yang suci.3
Menurut Van den Berg, kata Kauman berasal dari bahasa Arab
yaitu Qawm yang berarti masyarakat. Namun arti ini tidak sesuai
dengan kondisi kampung Kauman. Tepatnya, kata ini bentuk dari
derivasi dari kata qaim yang berarti “pemimpin Islam”, sehingga
2 Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhamamdiyah Sebagai Gerakan Islam (Yogyakarta: LPPI, 2003), 109.
3 GF.Pijper, Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1990-1950 (terj), penerjemah Tudjimah dan Yessy Augustdin (Jakarta: Universitas Indonesia,1984), 65.
24
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
Kauman berarti “a place of the upholders of Islam”.4 Kampung
Kauman Yogyakarta kemudian sangat dikenal sebagai kampung
Muhammadiyah.5
Nama kecil KH Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis.6
Ayahnya bernama KH.Abu Bakar, seorang Khatib Masjid Besar
Kesultanan Yogyakarat. Nasab KH Ahmad Dahlan sampai kepada Syekh Maulana Malik Ibrahim.7 Ibunya bernama Siti Aminah
putri KH. Ibrahim Penghulu Kesultanan Yogyakarta. Dari silsilah
tersebut dapat diketahui bahwa keturunan KH. Ahmad Dahlan adalah dari keturunan ulama dan elite priyayi Jawa, bukan
sekedar pedangang seperti yang dikenal selama ini.8 Jabatan
abdi dalem (pejabat) dalam sistem kekuasaan Kerajaan Ngayogyokarto Hadiningrat tetap dipegang oleh KH.Ahmad Dahlan
ketika mendirikan Muhammadiyah. Karena jabatan itu, ia bergaul intens dengan pejabat Kolonial Belanda dan para pastor
Kristiani.
Tradisi masyarakat Kauman Yogyakarta, ada anggapan bahwa orang yang sekolah di Gubernemen (sekolah pemerintah
Belanda) dianggap kafir atau Kristen. Oleh karena itu sewaktu
menginjak usia sekolah Muhammad Darwis tidak disekolahkan,
tetapi diasuh dan dididik ilmu-ilmu agama Islam oleh ayahnya
sendiri di rumah.9 Pada usia delapan tahun, ia telah lancar membaca al-Qur’an hingga khatam. Selanjutnya, ia belajar ilmu Fiqih
4 Hisyam, Cought Between Three fires:Javanes Penghulu Under Dutch Colonialism
Administarition 1882-1942, (Jakarta: INIS, 2001), 166.
5 Ahmad Adaby Darban, Sejarah Kauman; Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010), 9-22
6 Muhammad Darwis adalah anak ke-4 dari tujuh bersaudara, Nyai Ketib Harum, Nyai
Muhsin (Nyai Nur), Nyai H. Saleh, Muhamamd Darwis, Nyai Abdurrahman, Nyai Muhammad Fakih dan Basir, lihat, M.Yusron Asrofie, Kyai Ahmad Dahlan, Pemikiran dan
Kepemimpinannya (Yogyakarta: Yogyakarat Offset, 1983), 21.
7 Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah salah satu tokoh penyebar agama Islam di
tanah Jawa dan termasuk jajaran Wali Songo yang sangat dihormati bahkan dikeramatkan oleh masyarakat Jawa, Makamnya berada di daerah pesisir Gresik dan menjadi
salah satu tujuan utama ziarah masyarakat Jawa. Lihat, Abdurrahman Mas’ud, “Pesantren dan Walisongo”, dalam Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta:
Gama Media, 2000), 223-224.
8 Abdul Munir Mulkhan (edit), Api Pembaharuan, 17.
9 Djarnawi Hadikusumo, Aliran Pembaharuan Islam dari Jamaluddin al-Afghani sampai KH.A. Dahlan (Yogyakarata: Persatuan, tth), 74.
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
25
kepada KH. Muhammad Nur dan KH. Abdul Hamid dalam berbagai ilmu. Pada tahun 1889 M KH. Ahmad Dahlan dinikahkan
dengan Siti Walidah putri KH. Muhammad Fadhil kepala Penghulu Kesultanan Yogyakarta.10 Jadi Siti Walidah itu masih saudara sepupu dengan Muhammad Darwis.11
Pasca menikah, atas nasehat orangtuanya Muhamamd Darwis diperintah agar menunaikan Ibadah Haji. Ia tiba di Makkah
pada Rajab 1308H (1890 M). Pada saat di Makkah, Muhammad Darwis berguru ilmu agama kepada KH. Mahfud Termas,
KH Nahrowi Banyumas, KH. Muhammad Nawawi al-Bantani
dan juga kepada para ulama Arab di Masjidil Haram. Ia juga
mendatangi ulama madhzab Syafi’i Bakri Syata, dan mendapat
ijazah dengan nama Haji Ahmad Dahlan. Setelah musim haji
selesai, Muhammad Darwis pulang dan tiba di Yogyakarta pada
minggu pertama Shafar 1309 H. Pasca dari ibadah haji Muhammad Darwis selain berganti nama dia juga bertambah Ilmu, sehingga oleh ayahnya dipercaya untuk membantu mengajar santri
remaja dan santri dewasa dan terkenal dengan nama Kyai Haji
Ahmad Dahlan.12
KH. Ahmad Dahlan selama mangajar dan berdakwah merasa
ilmunya kurang, sehingga mendorong KH.Ahmad Dahlan untuk
berangkat Haji lagi ke Makkah pada tahun 1903 M. Tujuan dari
keberangkatan haji kedua ini adalah untuk menambah ilmu agama. Keberangkatan Haji kedua KH. Ahmad Dahlan difasilitasi oleh pihak Kesultanan Yogyakarta. Hal itu di karenakan KH.
Ahmad Dahlan sejak dipercaya menjadi Khatib Amin di Masjid
Kesultanan Yogyakarta kerap melakukan upaya pembaharuan
10 Sudjak, Muhammadiyah dan Pendirinya (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 1989)
, 2.
11 Tradisi perkawinan antar kerabat Kyai merupakan tradisi yang dilstarikan di masyarakat Jawa-santri hal ini biasa bertujuan agar kenasabanya dan kekuasaan pesantren agar tidak terputus, lihat Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3S,
1994)
12 Kyai dalam studi Dhofier tentang Pesantren, ia membagi pengertian Kyai dalam tiga
pengertian, pertama, yaitu gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat missal “Kyai Garuda Kencana”, kedua gelar kehormatan untuk orang tua. Ketiga,
gelar yang diberikan pada orang yang memiliki pengetahuan agama Islam atau pemimpin pesantren atau yang mengajar Kitab Kuning ke santrinya, Kyai Ahmad Dahlan
masuk katagori ketiga, ibid., 55.
26
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
terhadap tradisi keagamaan yang sudah mapan, sehingga upaya ini dianggap mengganggu.13
Pada saat itu di Makkah, KH. Ahmad Dahlan mendalami ilmu
keislaman kepada beberapa ulama terkemuka, di antaranya
adalah kepada Syekh Saleh Bafedal, Syekh Sa’id Yamani, dan
Syekh Sa’id Bagusyel belajar ilmu Fikih, ilmu hadits kepada Mufti
Syafi’i, Ilmu Falak kepada Kyai As’ary Bawean, dan ilmu Qiraat
kepada Syekh Ali Misri Mekkah. KH. Ahmad Dahlan juga bersahabat dengan para ulama-ulama Indonesia yang sudah lama
bermukim di Makkah seperti Syekh Ahmad Khatib Minangkabau,
Kyai Nanawi Al-Bantani, Kyai Abdullah Surabaya, KH. Fakih Maskumambang. Mereka sering melakukan diskusi berbagai masalah tentang kondisi sosial-keagamaan yang sedang terjadi di
Indonesia.14
Pasca kepulangan ibadah Haji kedua, KH. Ahmad Dahlan
mengalami eskalasi pemikiran yang progresif. Eskalasi intelektual itu dipengaruhi dari karya tulis para pemikir pembaharuan
Islam. Di antaranya karya Muhammad Abduh15 Risalah Tauhid,
Tafsir Juz ‘Amma dan Al Islam Wan Nasraniah, karya Ibnu Taimiyyah16 At-Tawasul wal Washila, karya Rasyid Ridha Tafsir alManar, karya Farid Wajdi Diratul Ma’arif, karya Rahmatullah
al-Hindi Izharul Haq, karya ‘Atha’illah matanAl-Hikam, karya
madhzab Hambali Kitab Hadits, majalah al-Urwatul Wustqa dan
al-Manar.17
Konstruksi intelektual para pemikir di atas sebagian besar
13 Ketegangan itu bermula dari ijtihad KH. Ahmad Dahlan merubah arah kiblat Masjid
Kesultanan, lihat, Musthafa Kamal Pasha, Muhammadiyah Sebagai Gerakan, 112.
14 Sudjak, Muhammadiyah dan Pendirinya, 6
15 Muhammad Abduh adalah tokoh pembaharuan Islam lahir di Mesir, dia merupakan
inspirator perubahan di dunia Islam dengan membongkar kejumudan berfikir dan membuka pintu ijtihad yang luas. Dia termasuk tokoh yang sangat mempengaruhi pembaharuan Islam di Indonesia termasuk pada diri KH. Ahmad Dahlan yang kemudian tergerak
mendirikan Muhammadiyah. Lihat, A. Jainuri, Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam Di Jawa pada awal abad keduapuluh (Surabaya: Bina Ilmu, 1981), 98.
16 Ibnu Taimiyyah, adalah salah satu filosuf Islam terbesar di dunia Islam, pemikirannya sering di jadikan rujukan bagi kelompok salafiyah yang mengusung ideologi puritan-ortodoks, lihat Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal, 56.
17 RH. Hadjid, Pelajaran KH A. Dahlan, 3.
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
27
menjelaskan tentang pentingnya memajukan umat Islam yang
lagi terpuruk secara sosial, politik, ekonomi, budaya dan keagamaan. Konstruksi intelektual tersebut sering dikelompokkan
pada varian pemikiran pembaharuan Islam. Bangunan intelektual yang sangat menghargai dan membuka pintu lebar ijtihad dan
akal.18 Karya-karya intelektual itulah yang kemudian membentuk
kesadaran kritis intelektual dan sosial KH. Ahmad Dahlan tumbuh. Pada nantinya menjadi spirit ide pembaharuan sosial-keagamaan di Indonesia dengan diwujudkan dengan mendirikan
gerakan Muhammadiyah.
Pergulatan intelektual KH. Ahmad Dahlan tidak berhenti hanya pada tataran wacana, tetapi difungsionalisasikannya menjadi
gerakan nyata. Konstruksi intelektual tersebut terinspirasi pada
kajian surat al-Ma’un, yang menggambarkan bahwa kesalehan
individu tidak cukup, tetapi harus seimbang dengan kesalehan
sosial. Dari pemahaman terhadap ayat tersebut KH. Ahmad
Dahlan membangun Pesantren (Madrasah) untuk mentransformasikan ilmu ke masyarakat, baik dari kalangan warga Kauman
maupun dari luar. Untuk mempermudah proses dakwah KH.Ahmad Dahlan mengangkat dua orang untuk menjadi Lurah Pondok yaitu Muhammad Jalal Suyuti dari Magelang dan KH.Abu
‘Amar dari Jamsaren Sala. Di antara materi yang diajarkan adalah ilmu Falak, Tauhid dan Tafsir dari Mesir.19
Aktivitas KH. Ahmad Dahlan sangat padat. Selain mengasuh
Pesantren, ia juga menjadi Khatib di Masjid Besar Kesultanan
Yogyakarta setiap dua bulan sekali. Dia juga mendapat jadwal
piket di serambi Masjid Besar hanya sekali seminggu dengan
gaji tujuh gulden sebulan.20 KH. Ahmad Dahlan juga berdagang
batik ke kota-kota di Jawa. Dalam perjalanan dagang, KH. Ahmad Dahlan selalu menyempatkan diri untuk bersilaturahmi kepada para tokoh setempat untuk berdiskusi terutama persoalan
kemunduran umat Islam Indonesia.21
18 A. Jainuri, Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam, 99
19 Sudjak, Muhammadiyah dan Pendirinya, 13-14.
20 Yunus Salam, KH. Ahmad Dahlan, Amal dan Perjuanganya (Banten: Al-Wasat,
2009), 8.
21 Sudjak, Muhammadiyah dan Pendirinya, 15
28
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
KH. Ahmad Dahlan terus memperluas wawasan dan jaringan
sosialnya di masyarakat. Aktivitas sosial-politik dan keagamaan
KH.Ahmad Dahlan semakin luas dan padat. Di antaranya KH.
Ahmad Dahlan bergabung dengan organisasi Budi Oetomo
(BO),22 yang didominasi elite priyayi Jawa yang abangan dan
aktif juga dalam organisasi Sarekat Islam (SI) dari kaum santri.23
Pada 1910, ia masuk dan menjadi anggota Jami’at al- Khair di
Jakarta. Alasan masuk ke organisasi ini adalah karena perkumpulan ini membangun sekolah-sekolah agama dan mengajarkan
Bahasa Arab serta bergerak di bidang sosial. Selain itu, organisasi ini membangun relasi dengan para pemimpin Islam yang
telah maju di Timur Tengah. Di organisasi ini juga, dia memperoleh pasokan majalah dari sana.24 Arti penting dari masuknya
KH. Ahmad Dahlan ke perkumpulan ini adalah KH. Ahmad Dahlan mulai mengenal dan mempelajari organisasi modern yang
memiliki lembaga pendidikan yang bersistem modern.25
Belajar dari pengalaman aktif di Jami’at al-Khair, KH. Ahmad
Dahlan mendapatkan dua pelajaran penting: Pertama, ia sadar
bahwa usaha perbaikan masyarakat tidak bisa dilaksanakan secara sendirian, tetapi harus bekerjasama dengan orang banyak
(berorganisasi). Kedua untuk memperbaiki masyarakat media
yang cocok adalah media pendidikan karena proses penyadaran
akan keluar dari kertindasan dan keterpurukan masyarakat di
22 Keterlibatan KH. Ahmad Dahlan dalam Budi Oetomo ini terjadi pada tahun 1909,
pada saat KH. Ahmad Dahlan bersilaturahim ke rumah Dr.Wahidin Sudirohusodo di
Ketandan Yogyakarta. Ia berdiskusi tentang perkumpulan Budi Oetomo dan akhirnya tertarik dan masuklah KH. Ahmad Dahlan menjadi pengurus Budi Otomo Cabang
Yogyakarta. Dalam perkumpulan Budi Oetomo memiliki peran penting karena setiap
akhir rapat Ia selalu bertugas memberikan siraman keagamaan pada anggota. Dari
sini KH. Ahmad Dahlan mulai menyebarakan paham keagamananya, Musthafa Pasha,
Muhamamdiyah Sebagai Gerakan, 113.
23 Pemeteaan struktur masyarakat Jawa oleh Clifrod Greezt dibagi ke dalam tiga sturktur, kelompok, priyayi, abangan dan santri, pemetaan ini juga berimplikasi pada hak
dan kewajiban di masyarakat dan stastus siosialnya, walaupun teori ini oleh banyak
pemikir Islam Indonesia kurang sepakat terhadap pembagaian kelas masyarakat Jawa-Islam tersebut, lihat Clifrod Greezt, Religion of Java, (Chicago: The Universty of
Chicago Press, 1959).
24 Djarnawi Hadikusuma, Aliran Pembaharuan Islam, 72-73.
25 Dailer Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia Tahun 1900-1942 (Jakarta: LP3S,
1985).
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
29
butuhkan proses yang lama.26 Kesadaran ini yang nantinya menjadi spirit dan cikal bakal berdirinya Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) pada sektor pendidikan, kesahatan dan sosial-keagamaan.
KH. Ahmad Dahlan membuktikan kesadaran intelektual dengan aksi nyata dengan membangun sebuah lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan itu mengajarkan sinergi ilmu umum
dan ilmu agama dengan model dialogis. Sekolah ini masuk siang
antara pukul 14.00 hingga 16.00. Pada awal pendirian mendapatkan delapan murid dengan guru KH. Ahmad Dahlan dan dapat
bantuan guru dari Budi Oetomo Cabang Yogyakarta. Sekolah ini
diresmikan pada 1 Desember 1911 dengan nama sekolah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah.27
KH. Ahmad Dahlan telah memberikan sumbangsih besar bagi
pembangunan peradaban dunia Islam dan khususnya masyarakat Islam di Indonesia. Dalam berbagai karyanya, dia tidak
pernah melepas analisisnya dari kepekaan melihat masyarakat
lokal dan keterbukannya dalam memahami ajaran agama. Sehingga ada sebagian orang mengatakan bahwa KH. Ahmad
Dahlan adalah seorang sufis model Ghozalian yang meletakan
dimensi isoterik etik lebih penting dari dimensi eksoter syariah.28
Kyai Hadjid menggambarkan sosok KH. Ahmad Dahlan, sebagai berikut:
Seumpama para ulama saya gambarkan sebagai tentara dan
kitab-kitab yang tersimpan dalam perpustakaan serta toko kitab
saya gambarkan sebagai senjata yang tersimpan dalam gudang, maka KH. Ahmad Dahlan adalah ibarat salah satu tentara
itu yang tahu betul bagaimana menggunakan bermacam senjata sebagaimana mestinya. Sehingga, ilmu KH. Ahmad Dahlan
26 Musthafa Kamal Pasha, Muhamamdiyah Sebagai Gerakan, 115
27 Berdirinya sekolah ini mendapat reaksi keras dari masyarakat, tetapi oleh KH. Ahmad Dahlan hanya di sambut dengan senyum. Ibid., 115.
28 F.Ma’ruf, Analisa Akhlak dalam Perkembangan Muhammadiyah (Yogyakarta: Yogyakarta Offset, 1964)
30
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
mendapat barokah dari Allah berguna bagi umat Islam Indonesia dan Persyarikatan Muhammadiyah yang maksudnya untuk
mengikuti jejak Nabi Muhammad.29
Menurut Kyai Hadjid, KH. Ahmad Dahlan mempunyai sifat cerdas akal (dzakak) untuk memahami kitab-kitab yang sukar. Ia
mempunyai berita bahaya besar (maziyah al-’adhim) yang disebut di al-Qur’an surat an-Naba’, sehingga tampak nasihat yang
disampaikan kepada murid-muridnya begitu dalam dan bermakna. KH. Ahmad Dahlan pada akhir hidupnya tampak sedang dalam sifat raja’, yaitu mengharap-harap rahmat Tuhan.30
Perjalanan hidup KH. Ahmad Dahlan akhirnya paripurna. Dia
meninggal dunia pada 1923 di Yogyakarta.31 KH. Ahmad Dahlan
telah meletakkan pondasi perubahan yang dinamis, khususnya
dalam mengajarkan pentingya membangun kepedulian terhadap
kemanusian terutama mereka yang termarginalkan (mustadh’afin). Sehingga KH. Ahmad Dahlan, menurut hemat penulis, pantas dikatakan sebagai bapak sosialisme Islam Indonesia.
Sepanjang pergulatan hidupnya, dia banyak menelurkan gagasan cerdas terutama di wilayah pemikiran keagamaan dan
aksi sosial-keagamaan. Gagasan atau ajaran KH. Ahmad Dahlan sebagian terangkum dalam buku karya KRH. Hadjid, Pelajaran KH. Ahmad Dahlan: 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok
Ayat al-Qur’an.32 Diantara ajaran atau pemikiran KH. Ahmad
Dahlan, yaitu: a) Kita manusia ini hidup di dunia hanya sekali
untuk bertaruh: sesudah mati akan mendapat kebahagiaankah
29Hadijid, Pelajaran KH. Ahmad Dahlan, 5.
30Ibid., 6
31 KH. Ahmad Dahlan wafat pada tangal 23
Februari 1923 di
Kauman Yogyakarta, setelah menderita penyakit yang lama,
dan atas jasa besarnya maka beliau dianugurahi sebagai Pahlawan Nasional Indonesia dengan Surat Keputusan Presiden
Soekarno No.675 tahun 1961 tanggal 27 Desember. Lihat Weinata Sairin, Gerakan Pembaruuan Muhammadiyah, (Jakarta,
Pustaka Sinar Harapan,1995), 42.
32 KRH. Hadjid adalah salah satu murid termuda dari KH. Ahmad Dahlan, lihat KRH Hadjid, 7 Flasafah Ajaran, 1.
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
31
atau sengsarakah, b) Kebayakan di antara para manusia berwatak angkuh dan takabur mereka mengambil keputusan sendiri-sendiri, c) Manusia kalau mengerjakan pekerjaan apapun berulang-ulang maka kemudian menjadi biasa, kalau sudah menjadi
kesenganan sulit di rubah. Sudah menjadi tabiat manusia bahwa akan membela adat kebiasaan yang telah diterima baik dari
sudut keyakinan dan I’tiqad maupuna amal perbuatan. Kalau
ada yang mau merubah akan di bela mati-matian, demikian itu
karena dianggap bahwa apa yang dikerjakan itu sudah benar, d)
Manusia perlu digolongkan menjadi satu dalam kebenaran harus
bersama menggunakan akal untuk memikir bagaimana sebenarnya hakikat dan tujuan manusia hidup di dunia apakah perlunya? hidup di dunia harus mengerjakan apa? memberi apa? apa
yang dituju?, maka kalau hidup di dunia sekali ini sampai sesat
akibatnya akan celaka dan sengasara selamanya, e) Mula-mula
agama Islam itu cemerlang kemudian kelihatan semakin suram
tetapi sesungguhnya yang suram itu adalah manusianya, f) Kebanyakan pemimpin rakyat belum berani mengorbankan harta
benda dan jiwanya untuk berusaha membangun umatnya dalam
kebenaran malah pemimpin itu biasanya hanya mempermainkan dan memperalat umatnya yang bodoh dan lemah, g) Belajarlah ilmu pengetahuan (teori) dan belajarlah amal (mengerjakan
dan memperaktekkan) semua pelajaran itu bertahap dan harus
meningkat.
Salah satu ajaran KH.Ahmad Dahlan yang pernah
menggemparkan masyarakat di kampung Kauman Yogyakarta
dan hingga saat ini, yaitu ketika menafsirkan Surat Al-Ma’un: 1-7.
KH.Ahmad Dahlan memahami Surat tersebut bahwa tidak cukup
hanya mengerjakan sholat saja tanpa ada kepekaan sosial terhadap orang-orang yang lemah, anak yatim, orang terpinggirkan
(mustadh’afin).
Berawal dari pemahaman itu, menurut KH. Ahmad Dahlan untuk mempelajari Al-Qur’an adalah ambilah satu, dua, atau
tiga ayat dibaca dengan tartil kemudian difikirkan (tadabbur):
bagaimana artinya, bagaimana tafsirnya, bagaimana maksudnya, apakah ini larangan dan apakah kamu sudah meninggalkan, apakah ini perintah yang wajib di kerjakan sudahkah kita
32
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
menjalankan, apabila belum dapat menjalankan dengan sesungguhnya maka tidak perlu membaca ayat-ayat yang lainya.33
Hemat penulis ini adalah revolusi metodologi tafsir paling hebat
di zamanya dalam membaca al-Qur’an- al-Hadits.
Gagasan pembaharuan KH Ahamd Dahlan tersebar
luas baik dalam konsep pemikiran keislaman maupun praktik
sosial-keagamaan. Di antara gagasan yang melampaui batas tradisi intelektual masyarakat adalah, 1) Tentang perubahan arah
kiblat di masjid yang di rubah mengadap ke arah Ka’bah, sebab
pada waktu itu banyak masjid yang kurang pas arah kiblatnya.
2) Penentuan tentang hari raya (1 Syawal), di mana dulu memakai sistem Aboge di ganti dengan sistem hisab. 3) Penolakan
terhadap tradisi tahayul, bid’ah dan khurafat (TBC) yang sudah
mentradisi di masyarakat (tahlilan, slametan orang meninggal,
tingkepan,ruwatan dll). 4) Reformasi sistem pendidikan yang
memadukan antara ilmu umum dengan ilmu agama dengan
sistem lembaga sekolah.34
Fakta tersebut tampak menggambarkan bahwa sosok
KH. Ahmad Dahlan pantas disebut sebagai salah satu tokoh
pembaharu pemikiran dan aksi sosial Islam. Sebagaimana disebutkan oleh Binkes bahwa Ahmad Dahlan pendiri organisasi
modern Muhammadiyah puritan. Ia merupakan prototipe warga
Indonesia yang memiliki etika Calvinis layaknya gerakan reformasi protestan Calvinis yang puritan pada abad 15 dan 16 M,
tekun, militan dan cerdas.35
KH.Ahmad Dahlan adalah sosok man of action Ia adalah
made history for his works than his word. Hal ini berbeda dengan tokoh Ahmad Sukarti pendiri Al-Irsyad dan A. Hasan pendiri
Persis yang produktif menulis sehingga mereka cenderung elitis,
intelektualis dan jauh dari masyarakat bawah. Adapun KH. Ahmad Dahlan lebih dikenal sebagai sosok pembaharu yang dekat
33Ibid., 3
34Wenita Sairin, Gerakan Pembaruuan Muhammadiyah (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), 47-50.
35Binkes adalah pejabat Belanda bertugas di Indonesia tahun 1913, lihat Subhan Mas,
Muhammadiyah pintu Gerbang Protestanisme Islam (Mojokerto: al-Hikmah, 2005)
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
33
dengan masyarakat.36
2. Kelahiran Muhammadiyah: Latar Internal & Eksternal
Muhammadiyah merupakan hasil tafsir teologis dan sosiologis KH. Ahmad Dahlan dalam merespons persoalan sosial-keagamaan di masyarakat (baca: Kauman Yogyakarta). Muhammadiyah melalui proses pergulatan kritis intelektual, sosial dan
pemahaman ajaran agama yang dalam dan lama. Muhammadiyah lahir di tengah dinamika masyarakat yang tertindas dan terpuruk, sehingga kelahiran Muhammadiyah merupakan ijtihad
untuk memberikan solusi dan pemberdayaan terhadap problem
masyarakat terutama yang mustadh’afin.
Menurut Mitsuo Nakamura, Muhammadiyah adalah gerakan
Islam. Kalau dipandang dari luar tampak tertutup (eksklusif),
tetapi sesungguhnya sangat terbuka. Sehingga oleh A. Mukti Ali,
Muhammadiyah dikatakan memiliki banyak wajah (dhu wujuh).37
James L Peacock menyimpulkan, “Muhammadiyah merupakan
gerakan reformis Islam yang terkuat yang ada di kalangan Islam
Asia Tenggara bahkan mungkin di seluruh dunia Islam”.38 Faktanya, anggota Muhammadiyah sampai saat ini sudah menyebar
ke luar Indonesia (Malasyia, Mesir, Tahiland, Inggris, Singapura)
serta garapan dakwah yang luas tergabung dalam Amal Usaha
Muhammadiyah (AUM).39
Beragam pendapat dalam memahami faktor dan kelahiran
Muhammadiyah. Sebagai gerakan pembaharuan Islam di Indo36Alfian, Muhammadiyah: the Political Behavior of A Muslim Modernist Organization
Under Dutch Colonialism (Yogyakarat: Gadja Mada University press, 1989)
37 A. Mukti Ali “Pengantar’ dalam, Mitsuo Nakamura, ‘the Crescent Arises Over the
Banyan Tree: A Study of the Muhammadiyah Movemen in Central Javanese Town”
(Desertasi Doktor, Cornnel University , 1976), 1-2
38James L. Peacock, Gerakan Muhamamdiyah Memurnikan Ajaran Islam di Indonesia
(Jakarta: Citra Kreatif, 1986), 5.
39AUM (Amal Usaha Muhammadiyah) merupakan bentuk konkret dari ijtihad gerakan
Muhammadiyah dalam memahami ajaran Islam, sehingga AUM merupakan alat dakwah di masyarakat. AUM terdiri dari sektor Pendidikan (Sekolah), Sosial (Pantia Asuhan), Ekonomi (Bank Persyarikatan), dan Kesehatan (Poliklinik, PKU, Rumah Sakit).
34
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
nesia, tentu tidak lepas bahwa kelahiran gerakan Muhammadiyah merupakan dorongan atas situasi dan kondisi sosio-kultur,
politik dan keagamaan yang mengitari dunia Islam dan Indonesia pada permulaan abad ke-20.
Deliar Noer menggambarkan kondisi tersebut sebagai berikut:
“Kira-kira pada pergantian abad ini banyak orang Islam Indonesia mulai menyadari, bahwa mereka tidak akan mungkin
berkompetisi dengan kekuatan yang menantang dari pihak kolonialisme Belanda, penetrasi Kristen dan perjuangan untuk maju
di bagian lain Asia apabila mereka terus melanjutkan kegiatan
dengan cara-cara tradisional dalam menegakkan Islam. Mereka mulai menyadari perlunya perubahan–perubahan, apakah ini
dengan mengambil mutiara-mutiara Islam dari kawan mereka
seagama di Abad Tengah untuk mengatasi Barat dalam ilmu
pengetahuan serta dalam memperluas daerah pengaruh atau
dengan mempergunakan metode-metode baru yang telah di
bawa ke Indonesia oleh kekuasan kolonial pihak missi Kristen.40
James L Peacock sepakat dengan pendapat tersebut. Faktor kelahiran gerakan pembaharuan Islam di Indonesia disebabkan oleh masalah ekonomi, sosial, politik dan geografis.
Namun, sumber utama gerakan pembaharuan adalah sejarah
kebudayaan. Sejarah kebudayaan beberapa waktu terakhir telah
melahirkan pengaruh bagi perkembangan agama-agama; Islam,
Kristen, Budha.41
Pandangan Buya Hamka yang dikutip oleh Syafi’i Ma’arif
menjelaskan, ada tiga faktor kelahiran Muhammadiyah: Pertama, keterbelakangan serta kebodohan umat Islam Indonesia di
semua aspek kehidupan. Kedua, kemiskinan yang sangat parah
di derita umat Islam justru dalam suatu negeri yang kaya seperti
Indonesia. Ketiga, pendidikan Islam yang sudah sangat kuno sebagaimana yang tercermin dalam sistem pesantren.42
40 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 37
41 James L Peacock, Gerakan Muhamamdiyah, 2
42 Syafi’I Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3S, 1986), 66
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
35
Mukti Ali berpandangan, ada lima faktor kelahiran Muhammadiyah: Pertama, ada pengaruh kebudayaan India terhadap
Indonesia; Kedua, ada pengaruh Arab terhadap Indonesia terutama sejak dibukanya Terusan Suez; Ketiga, pengaruh Muhammad Abduh dan golongan salafiyah yaitu gerakan pemurnian
ajaran Islam yang timbul sekitar abad 20 dengan pelopor Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha; Keempat,
ada penetrasi dari bangsa Eropa; Kelima, ada kegiatan misi zending Katolik dan Protestan.43
Menurut Sholicin Salam, ada dua faktor sebab kelahiran Muhammadiyah, yaitu faktor internal dan eksternal gerakan. Faktor
internal adalah a) Kehidupan beragama yang menyimpang (syirik, bid’ah dan khurafat merajalela). b) Kondisi masyarakat Indonesia miskin, bodoh dan mundur. c) Tidak ada organisasi Islam
yang kuat, d) Sistem dan lembaga pendidikan sudah kuno dan
tradisional. Faktor eksternal adalah, a) Ada kolonialisme di Indonesia, b) Golongan Kristen dan Protestan maju pesat, c) Sikap
sebagian Intelektual yang memandang miring Islam, d) Adanya
rencana politik Kristenisasi oleh Belanda.44
Weinata Sairin berpendapat bahwa faktor kelahiran Muhammadiyah disebabkan tiga hal; a) Kondisi Islam di Jawa, b) Pengaruh gerakan modernis di Timur Tengah, c) Politik Islam pemerintah Belanda.45 Dari gambaran itu dapat dipahami bahwa
gerakan Muhammadiyah lahir merupakan sebuah keniscayaan
sejarah yang bersumber dari rahim persoalan masyarakat Indonesia dari semua aspek kehidupan dan merupakan sebuah
ijtihad untuk bersama-sama memberikan sumbangsi solusi bagi
persoalan masyarakat.
Gerakan Muhammadiyah sudah banyak menghasilkan pemimpin masyarakat yang mampu menjadi inspirator perubahan
dan uswah di masyarakat. Kepemimpinan di Muhammadiyah
dipilih secara demokratis dan berorientasi pada kemashlahatan
43A. Mukti Ali, Interpretasi Amalan Muhammadiyah (Jakarta: Harapan Melati, 1986)
44Sholichin Salam, Muhammadiyah dan Kehidupan Islam di Indonesia (Jakarta: NV
Mega, 1956), 55-56
45Wenita Sairin, Gerakan Pembaharuan, 47-50
36
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
umat bukan kekuasaan. Banyak cerita tokoh Muhammadiyah
yang terpilih menjadi ketua tetapi tidak mau dan legawa di kasihkan yang lain yang lebih mampu.
Gerakan Muhammadiyah sudah 1 Abad telah berjuang untuk membangun dan membebaskan masyarakat Indonesia dari
kebodohan, ketertindasan, keterbelakangan dan kemsikinan.
Adapun tokoh-tokoh yang pernah memimpin gerakan Muhammadiyah adalah KH. Ahamad Dahlan (1912-1923), KH. Ibrahim
(1923-19320), KH. Hisyam (1932-1936), KH. Mas Mansur (19361942), Ki Bagus Hadikusumo (1942-1953), AR. Sutan Mansyur
(1952-1959), H.M. Yunus Anis (1959-1968), KH. Ahmad Badawi
(1962-1968), KH. Fakih Usman/H. AR. Fakhrudin (1968-1971),
KH. Abdur Rozak Fakhruddin (1971-1990), KH. A. Azhar Basyir, MA (1990-1995), Prof. DR. H. M Amien Rais (1995-1998),
Prof. DR. Syafii Ma’arif (1998-2005), Prof. DR. Dien Syamsuddin
(2005-2015), DR. Haedar Nashir (2015-2020).46
B. Paham Ideologi Muhammadiyah
Karakter ideologi Muhammadiyah sangat dipengaruhi oleh
konstruksi pemikiran KH. Ahmad Dahlan. Artinya, landasan perjuangan Muhammadiyah sebagian besar dinisbhkan kepada gagasan-gagasan dan prilaku KH. Ahmad Dahlan selama hidupnya.
Gagasan dan prilaku KH. Ahmad Dahlan inilah kemudian dikonstruksi melalui pemaknaan (interpretatif) oleh para pengikut sesudahnya. Kemudian pemaknaan itu diakumulasi dan dituangkan
dalam sebuah teks yang diputuskan melalui organisasi sebagai
pedoman perjuangan Muhammadiyah.
Dari kajian di atas dapat kita pahami karakter pemikiran KH.
Ahmad Dahlan berorientasi pada pembaharuan dan pemurnian
Islam yang dianggap banyak mengalami distorsi dengan tradisi
Jawa di masyarakat, maka secara garis besar ideologi Muham46 Deni Al As’ary, Selamatkan Muhammadiyah, 25, baca karya, Djarnawi Hadikusuma,
Matahari-Matahari Muhammadiyah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2014)
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
37
madiyah tidak akan berbeda dari konstruksi pemikiran KH. Ahmad Dahlan. Maka dapat penulis simpulkan ideologi Muhammadiyah adalah ideologi yang berorientasi pada pemaharuan
dan pemurnian Islam.
Ideologi Muhammadiyah merupakan sistem paham dalam
perjungan melaksanakan gerakan untuk mencapai tujuan Muhammadiyah.47 Artinya ideologi Muhammadiyah merupakan
pondasi dan landasan gerak bagi warga Muhammadiyah dalam
kehidupan sosial-keagamaan. Sebab secara subtantif ideologi
adalah suatu ide dasar (world view) yang menyeluruh mengenai
alam semesta, manusia, dan kehidupan, mencakup dua bagian
yaitu, sebagai pedoman visi gerakan (fikrah) dan pedoman langkah gerakan (thariqah).48
Ideologi dibentuk karena faktor sejarah (historis). Ideologi
sebagai gejala pemikiran di bentuk sebagai respon terhadap
perkembangan sejarah. Ia di rumuskan dan dikembangkan pada
ruang realitas dinamis di masyarakat. Proses ini berlaku juga
pada sektor keagamaan yang nantinya mengalami obyektivikasi
dalam bentuk ideologi.49
Ideologi Muhammadiyah terbentuk dari hasil pembacaan terhadap problem masyarakat Indonesia (baca: Kauman Yogyakarta) yang pada saat itu. Masyarakat Kauman dapat digambarkan
pada saat itu sebagai masyarakat terbelakang, miskin, bodoh
dan tertindas oleh penjajahan Belanda. Sehingga menjadikan
karakter ideologi Muhammadiyah yang lebih pragmatis dan
fungsional. Artinya ideologi Muhammadiyah tidak berhenti pada
tataran wacana,namun diwujudkan dalam kerja nyata. Karakter
ideologi seperti ini oleh Ahmad Zainuri disebut ideo-praxis.50
Muhamamdiyah merupakan ijtihad dan karya terbesar KH.
47 Haedar Nashir, Meneguhkan Ideologi Gerakan Muhammadiyah (Malang: UMM
Press, cet ke- 2, 2007), iv
48Taqiyuddin An-Nabhani, Definisi Ideologi,Ideologi dalam http://id.wikipedia .org/
wiki/ideologi//.note (29 Oktober 2010)
49 Syamsul Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan, 45
50Ideo-Praxis di cirikan bagi ideologi kaum reformis yang lebih empirisisme dan aktif
di pergulatan sosial yang dinamis, beda dengan ideologi yang umumnya di cirikan esklusivisme dan dogmatisme. Lihat, Achmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis, viii
38
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
Ahmad Dahlan dalam pembangunan peradaban masyarakat Islam di dunia terutama di Indonesia. Awal gerakan yang dilakukan
oleh KH. Ahmad Dahlan lebih merupakan reformasi kemanusian
berbasis “welas asih”. Berdasar etika welas asih tersebut maka
Muhammadiyah tampak lebih bersikap terbuka pada modernitas dan kemanusiaan serta pemihakan pada kaum proletar yang
termarginalkan. Dari sini pula gerakan Muhammadiyah mengundang banyak kalangan dengan beragam latar belakang sosio-budaya untuk terlibat aktif.51
Ideologi Muhammadiyah merupakan ideologi yang ingin memadukan antara ortodoksi dan ortopraksi atau dalam istilah Amin
Abdullah, Muhammadiyah adalah gerakan yang bercirikan a
faith in action. Tajdid dalam Muhammadiyah dimaknai oleh Amin
Abdullah sebagai proses purifikasi dan dinamisasi artinya penafsiran ajaran keagamaan akan dilakukan secara produktif dengan
pertimbangan persoalan kemanusian kontemporer dengan alat
bantu ilmu-ilmu sosial, yang masih berpijak pada tradisi.52
Konstruksi intelektual KH. Ahmad Dahlan dalam membangun
Muhammadiyah oleh aktivis Muhammadiyah di jadikan pijakan
kajian dalam rumusan konstrsuksi ideologi yang utuh dan mencakup seluruh kepentingan Muhammadiyah. Secara tekstual
kerangka ideologi Muhammadiyah dapat di temukan di beberapa
dokumen ataupun konsep hasil ijtihad KH. Ahmad Dahlan maupun para pemimpin Muhammadiyah. Konsepsi ideologi gerakan
Muhammadiyah di antaranya terdapat di Muqaddimah Anggran
Dasar (AD) Muhammadiyah tahun 1951, Kepribadian Muhammadiyah tahun 1961, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH) tahun 1969, Pedoman Hidup Islami Warga (PHIW) Muhammadiyah tahun 2000.53 Landasan dari semua
konsep tersebuat adalah bersumber dari kajian dan pemahaman
terhadap al-Qur’an dan Hadits.54
51 Abdul Munir Mulkhan, Api Pembaharuan KH. Ahmad Dahlan, vii
52 Lihat Pradana Boy (edit), Era Baru Gerakan Muhammadiyah (Malang: UMM Press,
2008), 5
53Suara Muhammadiyah & PP Muhammadiyah, Manhaj Gerakan Muhammadiyah, 2
54Hamdan Hambali, Ideologi dan Strategi Muhammadiyah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007), x
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
39
Menurut Gadamer bahwa setiap kurun ruang dan waktu
menghasilkan variasi pemaknaan ulang.55 Artinya sebuah teks
atau konsep (ideologi) membutuhkan pemaknaan terus karena
ruang-waktu pada saat teks ataupun konsep di tulis tidak lepas dari latarbelakang sejarah yang melingkupi. Sementara ruang-waktu bersifat dinamis sehingga di butuhkan tafsir terus untuk mendapatkan makna baru.
Begitu juga konsep ideologi Muhammadiyah yang sudah terbukukan pada kurung waktu yang lalu dan lama, maka harus terus di lakukan kajian atau rekonstruksi tafsir terus-menurus agar
konsepsi ideologi Muhammadiyah tidak stagnan atau hanya jadi
korpus mati yang tidak mampu memberikan solusi terhadap kebutuhan anggota dan masyarakat luas. Maka melakukan tafsir
dan membuka pintu ijtihad merupakan harga mati yang tidak
dapat ditawar agar gerakan Muhammadiyah mampu melakukan
sebuah pencerahan peradaban dan dapat menjawab kebutuhan
dan problem masyarakat.
C. Karakter Gerakan Dakwah Muhammadiyah
Karakter gerakan dakwah Muhammadiyah, penulis petakan
menjadi lima kelompok (pengelompokan berdasarkan pada
konstruksi pemikiran dan aksi sosial yang ditampilkan Muhammadiyah di tengah masyarakat selama ini), yaitu;
Pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam. Sebuah
gerakan dakwah yang berlandaskan dan bersumber dari ajaran-ajaran Islam yang terdapat di al-Qur’an-Hadits. Salah satu
inspirasi teologis kelahiran Muhammadiyah adalah bersumber
dari QS. Ali Imron 104 & 110 dan QS. Al-Ma’un 1-7, sehingga
seluruh aktivis gerakan Muhammadiyah bertujuan untuk ibadah
(bukan proffit orientied) mencari ridha Allah SWT. Maka secara
tegas dalam asas organisasi Muhammadiyah bersaskan Islam,
dengan tujuan menegakan dan menjungjung tinggi agama Islam
55Al Makin ”Apakah Tafsir Masih Mungkin” dalam Abdul Mustaqim-Syahiron Syamsuddin (edit), Studi Al-Qur’an Kontemporer (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), 3 Lihat
juga, Truth and Method, Joel Weinsheimer dan Donald G Marshall (New York: Continuum, 1997), 298
40
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.56
Kedua, gerakan pembaharuan Islam (tajdid) yaitu gerakan
yang mengusung ide pembaharuan pemikiran Islam yang berlandaskan pada nalar teologis-kritis. Nalar teologis-kritis maksudnya adalah ide pembaharuan Islam bertolak dari sumber ajaran
Islam (al-Qur’an-Hadits) yang dikaji secara mendalam dengan
pendekatan keilmuan (klasik-kontemporer),57 bukan bertolak hanya sekedar pasrah (taqlid) terhadap pendapat Ulama terdahulu
(mutaqaddimin). Gerakan ini juga sering disebut dengan istilah
gerakan Islam reformis-modernis yaitu gerakan yang melakukan
perubahan-perubahan pemikiran dan aksi sosial yang berorientasi pada kemajuan peradaban modern. Konstruksi ini dilandasi
bahwa Allah memberikan akal pasti ada tujuannya diantaranya
adalah agar digunakan untuk berfikir, termasuk dalam hal beribadah kepada Allah tentu dibutuhkan ilmunya.
Gerakan Muhammadiyah oleh sebagian pemikir Islam di
kelompokan ke dalam gerakan sosial-keagamaan yang reformis-modernis.58 Semangat timbulnya pembaharuan (reformasi)
dan modernissai Islam dimulai dari gerakan Ikhwanus Shafa
yang disusun dengan pikiran-pikran pembaharuan yang di tanamkan oleh filusuf seperti Ibnu Taimiyah (1263-1328), Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (1292-1350). Kemudian ajaran ini di hidupkan
kembali oleh Muhammad Abdul Wahhab (1703-1787) di Jazirah
Arab. Beberapa Abad kemudian ajaran ini di hidupkan kembali
oleh Sayyid Jamaluddin al-Afghani (1838-1897) di Mesir dengan
menerbitkan majalah al-Urwah al-Wustqa, kemudian di ikuti oleh
Muhammad Abduh (1849-1905) dengan Tafsir Al-Manar, dan
56 Asas ini terdapat pada Pasal 4 ayat 1, Muhammadiyah adalah gerakan islam, Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada al-qur’an dan As-sunnah,
Ayat 2, Muhammadiyah berasakan Islam, lihat PP Muhammadiyah, Anggaran Dasar
dan ART Muhammadiyah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2011), 9
57 Keilmuan klasik adalah kajian yang di dasarkan pada kajian-kajian Islam yang
berkembang di abad pertengahan seperti Studi Hadits, Tasawuf, Studi Tafsir, Studi
Kalam, dan sebagainya. Sedangan Keilmuan kontemporer adalah kajian yang didasarkan pada kajian-kajian Islam yang tidak hanya di dasarkan pada keilmuan Klasik tetapi
juga menggunakan pendekatan ilmu filsafat, politik, sejarah, sosiologi, psyikologi, dan
sebagainya.
58Lihat, Junus Salam, KH. Ahmad Dahlan Amal dan Perjuanganya, 92
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
41
kemudian di lajutkan oleh Muridnya Muhammad Rasyid Ridha
(1856-1935). Faktor dari reformasi dan modernisme Islam secara umum di akibatkan dunia Islam mengalami kemunduran
dan keterbelakangan peradaban daripada Dunia Barat. Hal itu
disebakan prilaku umat Islam yang syirik, bid’ah, ashabiyah, fanatisme mazhab dan faktor lainya.
Gerakan dakwah Muhammadiyah tidak berhenti pada penguatan ritual ibadah mahdho tetapi mampu malakukan transformasi sosial di masyarakat, sehingga oleh Jainuri, Muhammadiyah
sebagai gerakan reformis yang berideologi praksis. Reformasi
Muhammadiyah bertujaun tidak hanya untuk mengembalikan
pemahaman keagamaan yang terbatas dan tertutup tetapi juga
untuk menyesuaikan program-programnya dengan sebuah formula aksi konkret yang memungkinkan dapat memecahkan
problem masyarakat Indonesia.59
Tujuan dari gerakan pembaharuan pemikiran Islam (tajdid) adalah untuk mendorong umat Islam agar terus mengkaji
keilmuan Islam agar selalu dapat merespon perubahan di masyarkat yang dinamis, sehingga “tagline” atau cita-cita “Muhammadiyah berkemajuan” dapat terwujud. Sebab, Muhammadiyah
berkemajuan dibutuhkan karakter pemikiran Islam yang terbuka dan adaptif dengan segala bentuk perubahan dan persoalan
masyarakat kontemporer.
Robert W Hefner menyebut Muhammadiyah merupakan gerakan pembaharuan Islam terbesar di dunia. Hal itu terlihat dari
sosok pendiri Muhammadiyah (KH. Ahmad Dahlan) adalah pembaharu dan penggagas luar biasa di Indonesia. Ia mengalahkan
capaian pembaharu pemikir Islam dunia Muhammad Abduh di
Mesir. Ahmad Dahlan adalah penggagas organisasi pembaharu
keislaman modern yang berspirit high politic di bidang pemikiran,
pendidikan dan kesejahteraan sosial.60
Ketiga, gerakan tanzih. Sebuah gerakan dakwah yang fokus
pada pemurnian terhadap praktik-praktik keagamaan (ibadah)
59 Ach.Jainuri, Ideologi Muhammadiyah, 5
60 Robert W Hefner, dalam, Subhan Mas, Muhammadiyah Pintu Gerbang, 205
42
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
yang sudah tercampur dengan tradisi masyarakat (bid’ah) dan
harus kembali pada praktek agama yang di ajarkan dalam alQur’an dan al-Hadits. Gerakan pemurnian Islam (tanzih) perlu di
pahami hanya terbatas pada praktek ibadah magdho’ yaitu ibadah yang langsung terkait (terhubung) dengan Allah Swt (hablu
minallah) seperti ibadah Sholat, Puasa, Zakat, Haji. Maka pada
konteks ibdah ini tidak boleh di tambah atau dikurangi oleh umat
Islam dan harus berdasarkan petunjuk dan ajaran yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Adapun
selain ibadah maghdo’ yaitu ibadah mua’amalah (ibadah yang
terkait atau terhubung dengan manusia) tidak ada istilah bid’ah,
semua diserahkan kepada kita bebas berkreasi dan berinovasi
selama tidak bertentangan dengan kesepakatan tradisi dan norma yang berlaku di masyarakat.
Keempat, gerakan sosial-keagamaan. Sebuah gerakan dakwah yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan di landaskan pada hasil tafsir dari nilai-nilai ajaran Islam yang terdapat
di al-Qur’an dan Hadits.61 Produk gerakan sosial keagamaan
Muhammadiyah adalah “gerakan amal” atau yang lebih dikenal dengan istilah AUM (Amal Usaha Muhammadiyah). Bidang
garap Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) diantaranya bergerak di bidang pendidikan (TK,SD,SMP,SMA,PTM, Pesantren),
sosial (Panti asuhan), kesehatan (Klinik, PKU, Rumah Sakit)
dan keagamaan (Masjid, TPQ, Madin). Pembentuakan dan
pengembangan AUM adalah dengan model swadaya (waqaf)
dari anggota dengan sistem pemberdayaan dan advokasi. Sasaran utama gerakan sosial-keagamaan Muhammadiyah adalah
ditujukan untuk membantu dan memperdayakan kelompok fakir miskin (mustadh’afin) agar berdaya dan maandiri. Sehingga
dapat mereasakan kebahagian yang sama dengan mereka yang
mampu.
Sukidi menyatakan adanya “etika protestan” dalam kerja KH.
61 Nilai-nilai Islam yang menjadi spirit gerakan social-keagamaan Muhammadiyah di
antaranya adalah Tafsir terhadap Surat Al-Ma’un 1-7, yang kemudian di aplikasikan
menjadi gerakan social-konkrit dengan membentuk sekolahan, klinik, panti asuhan
dengan tujuan untuk membantuu warga yang tidak mampu dan lemah. Lebih jelas baca,
Sudjak.Muhammadiyah dan Pendirinya. Yogyakarta, Suara Muhammadiyah,1989
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
43
Ahmad Dahlan ketika melahirkan dan menggerakan Muhammadiyah.62 Etika itu tampak dari bagaimana proses awal Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan berorientasi menjadikan Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan yang
modern dan berpangkal pada transformasi ijtihad dalam wilayah
intelektual, pembebasan sosial-budaya, politik dan ekonomi untuk membentuk status sosial Islam humanis, emperik dan realistik bagi kepentingan identitas kemanusian yang rasional, cerdas,
tekun, ulet dan kerja keras. Sebab KH. Ahmad Dahlan selalu rasional untuk itu semua sebagai bangunan kesadaran kritisnya.63
Diperkuat oleh pandangan Nakamura, bahwa Muhammadiyah merupakan organisasi sosial-keagamaan terbesar yang
menenkankan amal usahanya untuk kesejahteraan masyarakat,
sehingga Muhammadiyah merupakan representasi gerakan sosial-keagamaan yang beraliran reformis dan modernis di kalangan umat Islam Indonesia.64 Reza Nashr mendefinisikan istilah
reformis-modernis sebagai sebuah gerakan yang secara simultan bertujuan memelihara bagian masa lalu, menjustifikasi masa
kini dan melegitimasi masa depan.65
Gerakan ini didasarkan pada argumen bahwa nilai-nilai Islam
merupakan komponen penting dari setiap proses pembaharuan
di dunia Islam. Paradigma ini di di percaya oleh Muhammadiyah
bahwa sumber-sumber fundamental Islam dapat diterjemahkan
ke dalam realitas konkret kehidupan keagamaan, sosial, politik,
ekonomi dan budaya kaum muslim Indonesia.66
62 Sukidi,”Etika Protestan Muslim Puritan Muhammadiyah Sebagai Reformasi Islam
Model Protestan “ Kompas, 1 Juni 2005
63Subhan Mas, Muhammadiyah Pintu Gerbang, viii-ix
64Mitsuo Nakamura, the Crescent Arises Over the Banyan Tree: h, 1-2, selain Nakamura ada beberapa karya ilmiah yang mengidentifiaksi gerakan Muhammadiyah
masuk kelompok Reformis-Modernis, semisal, Alfian, Muhammadiyah: the Political
Behavior of A Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism (Yogyakarat:
Gadja Mada University press, 1989). Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement
in Indonesia 1900-1942 (London and Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1973),
Clifford Geertz, The Religion of Java (New York: the Free Press of Glencoe, 1960)
65Sayyed Vali Reza Nasr, “Reflections on the Myth Reality of Islamic Modernism,
Hamdard Islamicus, (Vol.13, 1, 1990), 67. Dalam Jainuri, Ideology Reformis, 4
66PP Muhammadiyah, Kesimpoelan Djawaban Masalah Lima dari beberapa ‘Alim
‘Oelama (Djokdjakarta: Hoofdbestur Moehammadijah, 1942), 11-17. Lihat, Ach. Jainuiri,
44
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
Kelima, gerakan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar. Sebuah
gerakan dakwah yang berorientasi untuk mengajak, merangkul
dan menasihati kepada masyarakat untuk kembali pada ajaran-ajaran Islam dengan cara damai, santun, toleran dan dialogis anti kekerasan. Karakter gerakan dakwah amar ma’ruf nahi
mungkar merupakan bagian dari aktualisasi dari ajaran yang
terdapat di dalam al-Qur’an QS:… Ayat tersebut secara jelas
memerintahkan semua umat Islam untuk selalu ber amar ma’ruf
nahi mungkar baik kepada diri sendiri, keluarga dan lingkungan
dengan cara-cara yang santun dan damai. Walaupun ada sebagian orang atau kelompok yang mengkritik terhadap konsep dakwah nahi mungkar (mencegah kejelekan) yang dianggap kurang
tegas dan jelas dalam aplikasi di masyarakat. Muhamadiyah
terkesan hanya fokus kepada amar ma’ruf dengan penekanan
pada pengembangan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM).
D. Dinamika Pemikiran Islam di Muhammadiyah
Muhammadiyah menegaskan pada awal kelahiranya sebagai
gerakan pembaharuan Islam (ijtihad) dan gerakan pemurniaan
Islam (tanjih). Adapun orientasi dakwah yang dikembangkananya adalah dengan cara santun, welas asih, humanis, toleran, pro
masyarakat bawah, dan menghargai pluralitas. Namun saat ini
banyak kalangan mengkritik Muhammadiyah yang terjebak pada
arus gerakan fundamentalis dan ortodoks karena keringnya ideide pembaharuan keagamaan dan aksi-aksi sosial. Padahal KH.
Ahmad Dahlan pada waktu mendirikan Muhammadiyah menegaskan perlunya memadukan antara intelektualisme dan aktifisme. Dengan tetap mengacu pada spirit ajaran al-Qur’an dan
al-Hadits.67
Kritik tersebut di jadikan kebangkitan kesadaran intelektual
dan sosial di kalangan aktivis Muda Muhammadiyah.68 KebanIdeologi Muhammadiyah, 5
67 Mua’rif, Meruwat Muhammadiyah, ( Yogyakarta: Pilar Media, 2005), 76
68Kebangkitan intelektual dikalangan akivis Muda Muhammadiyah terbukti dengan
membetuk sebuah jaringan yang bernama JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah), lihat Pradana Boy (edit), Era Baru Gerakan Muhammadiyah, 207
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
45
gkitan intelektual dan sosial tidak dapat terelakan sebab dengan
mengusung gerakan pembaharuan (tajdid) dan pemurnian ajaran Islam (tanzih) maka mau tidak mau porsi akal (filsafat) menempati posisi penting. Sebab untuk melakukan sebuah pembaharuan dan pemurnian baik pemikiran keagamaan maupun
aksi sosial keagamaan membutuhkan metode dan proses ijtihad
yang matang dan dapat dipertanggungjawbakan secara agama
(al-Qur’an-Hadits) dan rasional.69
Pada awal gerakan Muhammadiyah pintu ijtihad dibuka luas
dan bebas sehingga menjadikan dialektika pemikiran di Muhammadiyah sangat dinamis dan berkembang walaupun belakangan
ini banyak kritik baik dari kalangan luar dan dalam gerakan. Mereka menganggap gerakan pembaharuan pemikiran dan aksi sosial di Muhammadiyah cenderung stagnan (jumud), gagap terhadap perubahan dan merasa puas akan hasil-hasil yang sudah di
capai. Fenomena tersebut di istilahkan dengan ”gajah kegemukan” yang sulit berjalan”.70 Kondisi tersebut jauh berbeda pada
awal dari gerakan ini di lahirkan oleh KH. Ahmad Dahlan yang
begitu cerdas, kreatif, progresif, transformatif, dan cenderung
“liberal” dalam membongkar dan memberikan solusi terhadap
problematika sosial-keagaman masyarakat dengan tetap mengacu pada ajaran al-Qur’an dan al-Hadits.
Kondisi tersebut menjadikan kesadaran kritis bagi sebagian
aktivis Muhammadiyah untuk terus melakukan ijtihad agar dinamika pemikiran keagamaan di Muhammadiyah selalu dinamis.
Dinamika tersebut berawal dari perbedaan cara pandang para
aktivis Muhammadiyah terhadap; 1) Metode menafsirkan ajaran Islam (al-Qur’an-al-hadits). 2) Menafsirkan relasi sosio-kultur, sosio-politik dengan ajaran Islam. 3) Menafsirkan cita-cita,
prinsip dan aksi pembaharuan KH. Ahmad Dahlan pada konteks
kekinian.
69Proses
Ijtihad butuh kekuatan analisa sosial-filosfis dan pemahaman terhadap sumber-sumber agama (al-Qur’an-hadits) yang mumpuni tidak hanya mengandalkan kekuatan logika atau akal. Lihat Hasbi
As-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih (Jakarta: Bulan Bintang,1967), 45
70 Muarif, Meruwat Muhammadiyah, 5
46
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
Pertama, metode menafsirkan ajaran Islam (al-Qur’an-alHadits) para aktivis Muhammadiyah berbeda metode. 1) Ada
yang lebih cenderung menggunakan pendekatan tekstual yaitu
sebuah model pemahaman terhadap al-Qur’an dan al-Hadits
yang kurang memperhatikan aspek sosio-historis dan cenderung
pada penerapan formal atau simbol-simbol agama dan tradisi
salaf as-shalih pada kehidupan sehari-hari. 2) Ada yang lebih
cenderung menggunakan pendekatan kontekstual yaitu sebuah
model pemahaman yang lebih memperhatikan aspek sosio-historis dari ajaran Islam sehingga kelompok ini lebih menerapkan
makna (isi) atau nilai subtansi dari ajaran Islam di kehidupan sehari-hari daripada aspek formal sehingga cenderung liberal.71
Kedua, manafsirkan relasi sosio-kultur dan politik dengan ajaran Islam. Kalangan aktivis Muhammadiyah terbagi ke dalam tiga
arus pemikiran; 1) Arus pemikiran sekuleristik, yaitu pemikiran
yang memisahakan antara agama dan sosio-politik secara formal sebab keduanya memiliki peran berbeda dan bahaya kalau
dicampur. 2) Arus pemikiran integralistik yaitu pemikiran yang
memahami antara agama dan sosio-politik memiliki kaitan integral yang tidak dapat dipisahkan dan cenderung menerpkan politik Islam secara formal dengan simbol-simbol agama. 3) Arus
pemikiran subtantif, yaitu pemikiran yang memahami bahwa antara agama dan sosio-politik memiliki kaitan tetapi hanya pada
nilai (subtansi ajaran) adapun model atau sistem politik tergantung pada kondisi sosio-historis masyarakat. 72
Ketiga, menafsirkan cita-cita, prinsip dan aksi pembaharuan KH. Ahmad Dahlan pada konteks kekinian. Pradana Boy
71 Pergulatan arus pemikiran tersebut biasa termanifestasikan di Majelis Muhammadiyah, kalau arus tekstualis biasanya di Majelis Tabliqh dan Dakwah Khusus, sementara
arus kontekstual di Majelis Tarjih dan Tajdid Pemikiran Islam dan dikalangan kaum
mudanya dengan JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah).
72 Implikasi dari arus pemikiran diatas dapat di lihat dari prilaku sosio-politik warga
Muhammadiyah, bagi yang memahami secara sekuler biasa lebih tertarik masuk ke
Parpol yang berbasis nasionalis (PDIP, Golkar, Demokrat dll), arus integralistik lebih
tertarik masuk ke Parpol yang berbasis agama (PKS, PPP, PBB, dll), dan arus subtantif lebih tertarik masuk ke Parpol yang secara formal nasional tetapi mengusung nilai
Islam (PKB, PAN, PMB). Tipologi diatas lebih jelas lihat Bachtiar Effendi, Teologi Baru
Politik Islam (Yogyakarta: Galang Press, 2001) dan Bachtiar Effendi, Islam dan Negara
(Jakarta: Paramadina, 1998)
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
47
mengkatagorikan pemikiran di Muhammadiyah, yaitu ada Muhammadiyah kulturalis, Muhammadiyah strukturalis dan Muhammadiyah politis.73 Sementara Subhan Setowara membagi
tiga kelompok pemikiran dalam menafsirkan dan aktualisasi
dari teologi al-Ma’un Muhammadiyah a) Kelompok praktisi amal
usaha Muhammadiyah,b) Kelompok politisi dan c) Kelompok
cendekiawan.74 Ketiga kelompok tersebut mempunyai wilayah
dakwah dan metodologi tafsir yang berbeda. Para praktisi AUM
menafsirkan teologi al-Ma’un sebagai pengembangan amal usaha melalui gerakan pemberdayaan ekonomi rakyat dan pengabdian masyarakat melalui pendirian sekolah, rumah sakit, BMT
dan panti asuhan. Kedua dakwah politik yang berorientasi bukan
bagi-bagi kekuasaan, tetapi berorientasi membela kepentingan
kaum mustadh’afin yang tertindas secara politik sehingga langgam politik yang ditawarkan Muhammadiyah adalah high politic.75 Konsentrasi gerakan ini adalah bagaimana memahami secara lebih kritis ketertindasan yang di alami masyarakat di sinilah
di rumsukan makna baru dari konsep new mustadh’afin.76
Fuad Fanani memetakan tiga tahapan kesadaran intelektual
dan aksi sosial di Muhammadiyah, yaitu (1) Muhammadiyah jilid
satu berorientasi pada pembangunan amal usaha; (2) Muhammadiyah jilid dua berorientasi pada keterlibatan politik praktis;
dan (3) Muhammadiyah jilid tiga berorientasi pada pembangunan intelektualisme dan keberpihakan terhadapkaum tertindas,
namun kelempok terakhir ini masih jarang di kalangan Muhammadiyah.77
73 Pradana Boy, Islam Dialektis Membendung Dokmatisme Menuju Liberalisme
(Malang: UMM Press, 2005), 158-159.
74 Ibid., 9.
75 Istilah high politic pertama kali dipopulerkan oleh Prof Amien Rais dalam mengkaji
gerakan politik Muhammadiyah. High Politic merupakan konsep politik yang menjunjung tinggi etika dan moralitas politik yang berorentasi pada penguatan kebangsaan
dan pengutaan kerakyatan. Lihat Mua’arif, Meruwat Muhammadiyah, 10
76 New Mustdh’afin adalah pemahaman baru dalam memaknai ketertindasan atau
kelompok marginal, apakah ketertindasan akibat dari budaya atau akibat proses globalisasi dan hegemoni neo-liberalisme. Sebab dari pemahaman baru inilah Muhammadiyah dapat melakukan gerakan social baru yang tepat dan komperhensif sebagai
manifestasi tafsir baru dari teologi al-Ma’un. Pradana Boy (edit), Era Baru Gerakan
Muhammadiyah, 71-117
77Ibid., 4.
48
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
Munir Mulkhan berdasarkan penelitiannya memetakan warga
Muhammadiyah ke dalam empat kelompok varian berdasarkan
aspek sosial-keagamaan, yaitu Muhammadiyah Kiai Ahmad
Dahlan, Muhammadiyah-Murni(ikhlas), Muhammadiyah-Marhen (Marmud), dan Muhammadiyah-NU (MuNU).78 Muhammadiyah-Murni adalah warga Muhammadiyah yang orientsi
intelektual dan aksi sosialnya benar-benar mengikuti orientasi
ideologi, politik dan ritual keagaaman Muhammadiyah. Muhammadiyah-Marhen adalah warga Muhammadiyah yang orientasi
ritual keagamannya sesuai dengan tuntunan Majelis Tarjih, tetapi orientasi politiknya cenderung ke kelompok nasionalis (PDIP)
dan biasanya penganggum Soekarno. Muhammadiyah-NU adalah warga Muhammadiyah yang secara formal menjadi anggota
Muhammadiyah (biasanya mereka bekerja di AUM) tetapi tradisi dan ritual keagamaanya masih mengikuti NU (tahlilan, selametan kematian dll).
Potret tersebut menggambarkan Muhammadiyah sangat terbuka, dewasa, bebas untuk berbeda, dan semuanya mendapatkan tempat yang sama, meski akhir-akhir ini ada kecenderungan
sebagian kelompok di Muhammadiyah yang membatasi kebebasan berfikir dengan terlalu berlebihan merespons negatif keberadaan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).79
Sehingga menurut penulis, perilaku ini harus segera dihentikan
karena akan memiskinkan produktifitas pemikiran dan kering
aktivitas sosial di Muhammadiyah. Dan tentunya bertentangan
dengan spirit awal pendirian Muhammadiyah yang sangat mendorong dibukanya pintu ijtihad di kalangan umat Islam.
E. Dakwah Kebangsaan Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah
“soko guru” pembangunan perad-
78 Munir Mulkhan, Islam Murni dan Masyarakat Petani (Yogyakarta: Bentang, 2000)
79 JIMM merupakan salah kelompok intelektual dikalangan Muda Muhammadiyah
yang kelahiranya menghebokan warga Muhammadiyah dan dunia intelektual di Indonesia. JIMM mengusung tiga pilar yaitu penguatan mengenai ilmu Hermeneutika, Teori
Sosial kritis, dan New Social Movement. Tiga pilar ini di konstruksikan oleh Moslem
Abdurrahman, Lebih lanjut lihat, Pradana Boy, Era Baru Muhammadiyah, 196
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
49
aban bangsa Indonesia. Dalam lintasan sejarah kebangsaan
Indonesia, Muhammadiyah telah membuktikan komitmen dan
konstribusi besar bagi kemajuan bangsa Indonesia. Sejak awal
berdirinya Muhammadiyah sudah membangun pondasi dasar
peradaban bangsa Indonesia dengan ijtihad-ijtihad sosial-keagamaanya melalui pendirian Sekolah, Rumah Sakit, Panti Asuhan
dan sebagainya.
Ijtihad kebangsaan terbesar Muhammadiyah adalah kontribusi pada perubahan pola pikir bangsa Indonesia dari pola pikir
tradisional (jumud) penuh dengan Tahayyul, Bid’ah, Churafat
(TBC) menjadi pola pikir yang rasional berbasis ilmu dalam penyikapan persoalan yang terjadi di masyarakat. Dampak dari perubahan pola pikir ini menjadikan bangsa Indonesia menjadi terbuka dengan perubahan dan semakin maju dengan beragama
inovasi dan kreativitas di masyarakat.
Dalam percaturan kehidupan kebangsaan Indonesia, Muhammadiyah mengambil posisi tegas, yaitu sebagai gerakan dakwah
Islam amar ma’ruf nahi mungkar yang bergerak di bidang sosial-keagamaan. Muhammadiyah bukan partai politik, tetapi tidak
apolitik, artinya Muhammadiyah bukan didirikan untuk merebut
kekuasaan praktis (Presiden, Gubernur, Walikota, DPR) tetapi
Muhammadiyah selalu terlibat aktif dalam persoalan-persoalan
yang menyangkut kehidupan berbangsa. Sejarah mengakui peran politik Muhammadiyah dalam membangun peradaban bangsa Indonesia.
Konstribusi dakwah kebangsaan Muhammadiyah dapat teramati sejak awal berdirinya hingga saat ini kurang lebih sudah 1
Abad “menyinari” bangsa Indonesia. Dakwah kebangsaan itu di
mulai dari pendirian sekolah (Madrasah), pendirian tempat kesahatan (PKO), pendirian panti sosial dan sebagainya. Peran
ini kemudian dilanjut dengan terlibat pada perjuangan merebut
dan mempertahankan kemerdekaan dengan mendirikan Hizbul
Wathan (HW) dengan tokoh besarnya Panglima Besar Jendral
Soedirman.80
80 Panglima Besar Jendral Soedirman adalah salah satu tokoh Militer Indonesia yang
diakui oleh seluruh bangsa Indonesia dan masyarakat Internasional. Salah satu strate-
50
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
Peran kebangsaan Muhammadiyah di era Orde lama agak
berbeda dengan terlibat aktif masuk ke Partai Politik dengan
menjadi anggota istimewa Partai Masyumi sejak berdiri 19431960.81 Di Masyumi Muhammadiyah memainkan peran penting, banyak kader-kader Muhammadiyah yang memegang posisi strategis baik di level partai maupun pemerintahan. Hal ini
menjadikan dakwah Muhammadiyah semakin kuat dan leluasa
menjangkau semua elemen masyarakat terutama masyarakat
perkotaan dan biokrasi pemerintahan.
Dakwah kebangsaan Muhammadiyah berlanjut di era Orde
Baru. Di era ini sistem politik yang berkembangkan adalah
sistem politik otoriter-sentralistik dengan kendali penuh di tangan
presiden Jendral (purn) Soeharto. Kondisi ini berdampak pula
kehidupan organisasi sosial-keagamaan termasuk Muhammadiyah, yang tidak bisa begitu bebas dalam berdakwah, karena pantuan pemerintah sangat ketat, sehingga pada saat itu Muhammadiyah memilih pendekatan politik simbiosis-mutualisme yaitu
sikap politik kritis-akomodatif dan saling menguntungkan. Dan
lebih fokus pada pengembangan dakwah kebangsaan melalui
jalur sosial-pendidikan dengan memperbayak pendirian sekolah,
Universitas dan Rumah Sakit di seluruh Indonesia. Di era ini peran KH. AR Fachruddin (Ketua PP Muhamadiyah Periode 19861990) sangat luar biasa, beliau dapat memainkan peran dakwah
kebangsaan Muhammadiyah yang elegan dengan pemerintah
Soeharto atau pinjam istilah Amien Rais “high politic”.
Dakwah kebangsaan Muhammadiyah berlanjut di era reformasi. Di era ini Muhammadiyah memiliki peran sangat luar biasa
besar dengan tokohnya Prof. Dr. Amien Rais (Ketua PP Muhammadiyah 1995-1998). Muhammadiyah menjadi “lokomatif reforgi Militer yang terkenal melawan penjajah Belanda adalah dengan strategi “Grilya” yaitu
perang dengan berpindah-pindah dari daerah satu ke daerah lain melalui pengunungan dan pedesaan.
81 Partai Masyumi merupakan kelanjutan dari organisasi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang di dirikan Jepang pada tangggal 22 November 1943. Dalam
kepengurusan Masyumi, NU dan Muhammadiyah adalah penyokong terbesar dan
memilki peran penting bagi keberlangsungan Partai Masyumi hinggga di bubarkan oleh
Presiden Soekarno pada tahun 1960. Sejak di bubarkan hingga saat ini Muhammadiyah tidak pernah lagi terlibat pada politik praktis.
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
51
masi” bangsa Indonesia yang sudah 32 tahun di bawah pemerintahan yang otoriter dan hegemonik berubah menjadi kehidupan
berbangsa yang penuh kebebasan dan merdeka.
Di era ini kehidupan masyarakat Indonesia berubah total baik
secara politik, sosial, budaya, hukum, ekonomi dan prilaku keagamaan. Perbuhan yang paling mendasar adalah adaya desentralisasi kekuasaan dan kebebasan dalam kehidupan publik
dengan keterlbatan penuh masyarakat dalam menentukan arah
bangsa. Masyarakat Indonesia secara umum mendapatkan berkah dari gerakan reformasi yang di gawangi oleh Muhammadiyah dengan eleman bangsa lainya, walaupun sampai saat ini
masih di perlukan pembenahan terus-menerus menuju kesempurnaan Indonesia.
Salah satu produk yang masih terus perlu diperbaiki adalah
persoalan konstitusi. Produk konstitusi tidak dapat dilepaskan
oleh situasi dan kondisi lingkungan yang melatarinya. Artinya
pembuatan konstitusi merupakan bagian dari salah satu solusi
terhadap persoalan di masyarakat, sementara karakter persoalan adalah dinamis. Sehingga sifat konstitusi juga dinamis, artinya sesuai dengan latarbelakang persoalan yang terjadi. Maka
sangat wajar kalau diperlukan perbaikan terus-menerus terhadap produk-produk konstitusi yang dihasilkan oleh Pemerintah
dan Lembaga Legeslatf (DPR) agar terus dapat menjawab problem-problem di masyarakat.
Berangkat dari logika ini, Muhammadiyah terus melakukan
kajian terhadap kesesuaian produk-produk konstitusi dengan
kebutuhan atau persoalan di masyarkat. Langkah Muhammadiyah ini dikenal degan gerakan “Jihad Konstitusi”. Tujuan Jihad
Konstitusi ala Muhammadiyah adalah mengkritisi dan mengkaji
kembali Undang-undang (UU) atau kebijakan yang inkonstitusional yang di nilai merugikan dirinya, kepentingan negara dan
masyarakat umumnya. Misi ini dijadikan pula dalam agenda tajdid Muhammadiyah ketika meginjak umur seabad.82
82 “Se Abad Muhammadiyah Focus Jihad UU Inkonstitusional”, koran fakta.net, tgl 15
November 2012
52
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
Ada beberapa produk Udang-undang yang di lawan oleh Muhammadiyah yang dianggap merugikan kepentingan umum. Di
antaranya Undang-undang itu adalah UU PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama. Undang-undang (UU) ini
di ajukan judical review ke MK bersama NU dan ormas-ormas
keagamaan lainya. Ada juga Undang-undang (UU) No 2 tahun
2001 tentang minyak dan migas (UU Migas) digugat oleh Muhammadiyah ke MK karena dianggap UU ini kurang berpihak
pada kesejahteraan rakyat, bahkan bertentangan dengan UUD
1945 Pasal 33. Dampak dari putusan MK adalah membatalkan
seluruh pasal tentang kedudukan, fungsi , dan tugas BP Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).
Selain itu, UU yang di gugat oleh Muhammadiyah ke MK
adalah UU No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA),
UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan UU No. 17
tahun 2013 tentang Ormas. Semua produk UU ini dianggap oleh
Muhammadiyah secara subtansi merugikan kepentingan masyarakat umum, sehingga perlu untuk di kaji (judical review) agar
lebih berpihak kepada kepentingan masyarakat umum.
Paparan di atas merupakan wujud konkret yang terus di
lakukan Muhammadiyah dalam rangka panggilan dakwah amar
ma’ruf nahi mungkar. Sehingga apa yang sudah dilakukan oleh
Muhammadiyah ini patut di apresiasi dan di dukung agar makna
sejati dari tujuan pembentukan negara ini terwujud, yaitu untuk
membangun kesejahteraan rakyat Indonesia. Sebagaimana dalam kaidah Ushul fiqih “tasharuf al imam ‘ala ra’iyatihi manuthun
bil mashlahah” (kebijakan seorang pemimpin atas rakyatnya haruslah berpihak (berorientasi) untuk kemashlahatan rakyatnya).
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
53
54
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
BAGIAN KETIGA
DINAMIKA GERAKAN ISLAM
RADIKAL DI INDONESIA
A. Islam Radikal: Karakter Ideologi
Ideologi agama memiliki potensi besar terhadap munculnya aksi radikalisme di masyarakat.Agama memiliki dua potensi yang terkadang saling benturan (kontraproduktif), di
satu sisi agama pendorong perdamaian namun di sisi lain agama bisa menjadi spirit untuk saling bermusuhan, bahkan
meminjam istilah Qomarudin Hidayat, “agama punya seribu
wajah”.1 Diperkuat Amin Abdullah, bahwa dalam agama terdapat dua aspek yaitu aspek normatif dan aspek historis.
2
Aspek normatif agama berisi hal-hal trasendental bersifat mutlak (qath’i) kebenarannya, sehingga pendekatan kajiannya dengan keimanan. Sementara, aspek historis agama berisi hal-hal
yang profan terkait dengan sejarah (komunitas) manusia bersifat
relatif kebenarannya. Pada aspek ini ajaran agama sering mengalami distorsi antara ajaran ideal (normatif) dengan yang rael
(historis), disinilah pemahaman pemeluknya memiliki pengaruh
besar. Pada posisi inilah radikalisme agama merupakan bagian
dari produk pemahaman dari ajaran agama.
Pada beberapa dekade belakangan ini, fenomena radikalisme
1 Qomarudin Hidayat, Agama Punya Seribu Wajah, (Jakarta: Naora Book, 2012)
2 Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas dan Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006)
55
seringkali dimanifestasikan sebagai islamisme, yakni aktivitas
bernuansa agama yang menuntut reposisi peran Islam dalam
politik ketatanegaraan. Islamisme di sini sebenarnya sangat
kompleks, sehingga tidak bisa dijelaskan hanya dengan membuka sejarah-sejarah masa lalu. Bukan juga hanya dapat dimaknai dengan fanatisme keagamaan yang identik dengan gerakan
kekerasan untuk tujuan surgawi. Namun Islamisme tidak dapat
terlepas dari gejala perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang
menghampiri berbagai belahan dunia Islam.3
Menurut Charles Kimball, agama hari ini adalah sebuah nama
yang terkesan membuat gentar dan cemas manusia. Agama ditangan para pemeluknya belakangan ini sering tampil dengan
wajah kekerasannya dan bersama itu seolah-oleh telah kehilangan wajah ramahnya.4 Teks-teks agama yang ditafsirkan
secara atomistik, parsial-monolitik (monolithicpartial), sehingga
menimbulkan pandangan yang sempit dalam beragama. Pandangan sempit ini kemudian muda mendorong untuk melakukan
kekerasan (terror). Kebenaran agama menjadi barang komoditi
yang dapat dimonopoli. Ayat-ayat suci dijadikan justifikasi untuk
melakukan tindakan radikal dan kekerasan dengan alasan untuk
menegakkan Kalimat Tuhan di muka bumi ini.5
Pendapat ini diperkuat oleh Prof. Amin Abdullah,6 pendekatan dalam memahami kitab suci (Al-Qur’an) ada dua pendekatan
yaitu literal-tekstual dan kontekstual. Pendekatan literal-tekstual
adalah memahami ajaran agama secara formalistic (tekstualistik) sebagaimana arti teks aapa adanya tanpa memperhatikan
konteks teks tersebut. Pemahaman tersebut berdampak pada
3 Hasan, Noorhaidi, “Ideologi, Identitas dan Ekonomi Politik Kekerasan: Mencari
Model Solusi Mengatasi Ancaman radikalisme dan Terorrisme di Indonesia .” Makalah disampaikan dalam Simposium Nasional Memutus Mata Rantai Radikalisme dan
Terorisme yang diselenggarakan atas kerjasama Lazuardi Birru, Menkopolhukam RI,
Polri, Universitas Indonesia, Universitas Negeri Islam Negeri Syarif Hidayatullah dan
LSI pada tanggal 27-28 Juli 2010 di Hotel Le Meridien Jakarta., h, 20
4 Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana, Terj. Nurhadi, (Jakarta; Mizan, 2003)
5 Imam mustofa, “Terorisme: Antara aksi dan reaksi (gerakan islam radikal sebagai
respon terhadap Imperialisme modern), Jurnal RELIGIA, Volume. 15 No. 1, April 2012
6 Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas dan Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2006)
56
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
pemahaman sempit berdampak pada sulit menerima perbedaan
dari kelompok lain, muda menyalahkan pihak lain, sikap inilah
menjadi pendorong terhadap aksi radikalisme agama.
Agama sering tersandra dalam aksi radikalisme di masyarakat.
Dengan pandangan tafsir sempit, mereka melegitimasi aksi radikalnya diyakini sebagai perintah agama. Sebagaimana pandangan Qomaruddin Hidayat,7 dalam banyak kasus kekerasaan
di masyarakat, pemahaman dan keyakinan agama malah ikut
memberi amunisi semangat bertempur dan gairah untuk memusnahkan kelompok yang berbeda agama dan keyakinan dengan
mengatasnamakan Tuhan.
Istilah Islam radikal sering dinegasikan dengan Islam Moderat, terutama dalam hal model dakwah di masyarakat. Islam
radikal cenderung menggunakan model dakwah kasar, keras,
intoleran, pengkafiran, dan terror, sementara Islam moderat adalah kebalikanya. Para sarjana menyebut gerakan inni dengan
beragam istilah, seperti Islam Garis keras, Revivalisme Islam,
Ekstremisme Islam, Fundamentalis Islam, Islam radikal, Islam
Trasnasional, Islam terroris. Seperti Gus Dur menyebut kelompok tersebut adalah Islam garis keras, mengapa karena sikap
mereka tidak kenal kompromi, seolah Islam tidak ada Ishlah (damai) yang ada hanya paksaan dan kekerasan.8
Gerakan Islam radikal ingin mengubah Islam dari agama
menjadi Ideologi-politik. Pada saat Islam menjadi Ideologi-politik
maka posisi Islam berubah menjadi alat kepentingan kelompok,
karena sifat dasar ideologi adalah alat menguasai (domination)
dan penyeragaman (homogenation). Sehingga awalnya Islam
hadir sebagai ajaran universal untuk membangun peradaban
manusia yang luhur (rahmatalil’alamin) berubah menjadi ajaran
sempit karna sudah dibingkai dengan batasan-batasan ideologi dan platform politik.9 Sehingga Islam seolah-olah milik satu
7 Hidayat, Qomaruddin, Agama Punya Seribu Nyawa, Jakarta: Naoura Books, 2012),
159
8 Abdurrahman Wahid (edit). 2009, Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam
Transnasional Di Indonesia, (Jakarta: The Wahid Institute & Ma’arif Institute, 2009), 19
9 Ibid, 19
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
57
kelompok yang mengganggap paling sah memahami dan mewakili (mendominasi) Islam.
Karakter ideologi Islam radikal sangat dipengaruhi oleh
ideologi gerakan Islam transnasional dari Timur Tengah yang
berpaham Wahhabi. Pandangan ini diperkuat oleh Khaled Abou
El Fadl, bahwa kaum Wahhabi jelas-jelas mempengaruhi setiap
gerakan puritan atau radikal di dunia Islam di era kontemporer. Setiap gerakan Islam yang dilabeli radikal seperti al-Qaedah,
Ikhwanul Muslimin sangat kuat di pengaruhi oleh ideologi Wahhabi.10
Konstruksi ideologi Islam radikal dibangun berdasarkan pada:
pertama, din wa dawlah yaitu integrasi antara agama dan persoalan publik termasuk politik. Kedua, landasan Islam adalah
Al-Qur’an-Hadits dan tradisi generasi salaf. Ketiga, puritanisme
dan keadilan sosial. Keempat, kedaulatan dan hukum Allah berdasarkan syariat. Kelima, Jihad sebagai pilar menuju nizam Islami.11 Hasyim Muzadi, berpandangan kemunculan awal gerakan
radikal Islam adalah faktor “mind site” (paradigma/Teologi) pemeluknya, terutama paham Takfiriyah. Paham Takfiriyah adalah
paham yang muda mengkafirkan orang atau kelompok Islam
yang bebeda pemahaman dengannya. Ideologi Takfiriyah terbagi kedalam dua macam, yaitu pertama Takfiriyah al-fikri (pengkafiran pada tingkat ide/gagasan), kedua, Takfiriyah al-hukmi
(pengkafiran pada tingkat hukum syariat).12
Gerakan Islam radikal menjadikan terma jihad sebagai salah
satu landasan perjuangan. Konsep jihad mengalami pergeseran pemahaman makna. Konsep jihad cenderung ditafsiri secara literal dan sempit, jihad yang semula di pahami sebagai
upaya sungguh-sungguh untuk menggerakan segala tenaga,
pikiran, harta untuk kemajuan Islam melalui dakwah, ternyata
10 Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (terj), penerjemah Helmi Musthofa (Jakarta: Serambi, 2006), 61
11 Imadadun Rahamat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur
Tengah ke Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2005),h, 158-159
12 Hasyim Muzadi “ISIS Mengancam Kita”, Forum Indonesia Lawyers Club (ILC) TV
One, (24 Maret 2015)
58
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
bergeser ke makna artifisial dan fisikal.13 Pergeseran makna jihad ini terjadi terutama para pengikuti Wahhabi yang identitik
dengan neo fundamentalisme atau neo-salafi. Wahhabi awal
memaknai jihad adalah perjuangan menegakkan monotiisme,
tetapi belakang bergesar pada gerakan perlawanan global tanpa
kompromi dengan siapa saja yang secara ideologi berbeda yang
ada adalah perang melawan Yahudi, Kristen dan Barat secara
global, sehingga sering berbenturan dengan kelompok non Islam bahkan dengan sesama kelompok Islam sendiri.14
Konsepsi jihad seperti ini tampak terus berkembang di dunia
Islam. Jihad identitik dengan jalan kekerasan, teror, bom di tempat umum. Oleh Fazlur Rahman di kritik sebagai bentuk salafi
sempit bukan salafi yang mengambil semangat Ibnu Taymiyyah
yang menyatakan perbuatan manusia tidak yang bersifat zahiri, tampak sebagai kebaikan (jihad) tetapi ada perbuatan yang
bersifat batiniah, inilah sesungguhnya menjadi bagian terpenting
dalam iman pada Tuhan.15
Kemunculan gerakan Islam radikal hal wajar akibat dari transformasi arus globaliasi. Arus globalisasi menjadikan relasi sosial
yang bebas dan cepat, tidak ada sekat tradisi, teritorial dalam akses informasi. Ian Adams, berpandangan kemunculam gerakan
Islam radikal merupakan hal yang tidak dapat dipungkiri karena
radikalisme dapat ditemukan dalam berbagai macam lingkungan
masyarakat dan tampil dalam berbagai bentuk yang beragam
termasuk dalam wajah agama (baca: kelompok agama).16 Namun oleh sebagian kelompok Islam, transformasi globalisasi
dipersepsikan sebagai perpanjangan tangan kepentingan Barat
(Amerika Serikat) yang sering dianggap tidak adil dengan umat
Islam.
Kegagalan menyikapi arus modernitas dan globalisai mer13 Natana J Delong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform Global Jihad
(London: Oxford University Press, tt), 278
14 Zuly Qadir “Gerakan salafi Radikal dalam Konteks Islam Indonesia”, Jurnal Islamica,
Vol.3, No.1, September 2008, 2.
15 Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam: Studi Fundamentalisme Islam
(ter), penerjemah Aam Fahmia (Jakarta: Rajawali Press, 2001), 163
16 Ian Adams. Ideologi Politik (Yogyakrta: Qalam, 2004), 426
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
59
upakan salah satu pendorong suburnya gerakan Islam radikal.
Menurut Buya Syafii Ma’arif, kegagalan umat Islam menghadapi
arus modernitas yang dinilai menindas Islam. Umat Islam tidak
berdaya sehingga menggunakan dalili-dalil Syara’ untuk menghibur diri dengan membayangkan kembali ke masa lalu dengan
bercita-cita membangkitkan tata politik ideal (Negara Islam).17
Konsepsi tersebut, sah-sah saja namun yang jadi problem adalah cita-cita tersebut kemudian di wujudkan dengan menyusun
kekuatan politik untuk melawan modernitas dengan cara-cara
terror atau kekerasan.
Selain problem pemahaman keagamaan, aksi gerakan Islam
radikal juga disebabkan oleh pandangan umat Islam dalam memahami realitas sosial-keagamaanya dalam wadah peradaban
besar Islam. Menurut Buya Syafii Ma’arif,18 maraknya gerakan
Islam radikal (Al-Qaedah,ISIS,JI,FPI) merupakan gambaran
fenomena peradaban Islam yang jatuh atau runtuh. Namun,
saat ini Orang Islam sudah tidak bisa berfikir sehat (jernih) lagi
melihat realitas sosial-keagamaan, dengan sukarela berangkat
bersama keluarga (Istri-Anak) ke negara-negara Arab (Syiriah,
Irak, Libya, Palestina), padahal negera-negara tersebut adalah
Negara “gagal” atau hancur.
Fenomena di atas disebabkan kejiwaan orang Islam mudah
terpengaruh dari luar atau sudah tidak stabil. Kondisi ini disebabkan oleh ketidakpahaman atau ketidak tahuan orang Islam terhadap peta peradabannya, mereka hanya melihat satu sisi peta
dunia Islam yang sedang terzalimi sehingga, mendorong mereka
untuk melakukan aksi kekerasan sebagai aksi balas dendam.
Jika strategi ini yang diambil oleh umat Islam maka secara perlahan sama dengan menggali kuburnya sendiri atau “harakiri”
peradabannya. Padahal, kehadiran Islam pada hakekatnya adalah untuk menegakkan peradaban yang rahmatalil’alamin, bukan
meruntuhkan peradaban.
17 Syafii Ma’arif, “ISIS Mengancam Kita”, Forum Indonesia Lawyers Club (ILC) TV
One, (24 Maret 2015)
18 ibid
60
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
B. Islam Radikal: Melacak Akar Historis-Ideologis Di
Indonesia
Fenomena kebangkitan Islam di Indonesia menjadi perhatian
cukup luas di masyarakat. Bentuk kebangkitan Islam adalah gejala menguatnya kecenderungan masyarakat Islam untuk kembali
pada ajaran Islam yang sesuai dengan tradisi keagamaan kaum
salafus as-shalih. Fenomena ini diperkuat dengan gejala formalisasi dalam melaksanakan ajaran Islam dikehidupan sehari-hari
dengan slogan “ar-ruju’ ila al-qur’an wa al-hadits” (kembali pada
al-Qur’an dan al-Hadits). Sehingga wajah gerakan Islam yang
ditampilkan kelompok ini cenderung tekstual, kaku, keras dan
radikal dalam kehidupan sosial-keagamaan di masyarakat.19
Kebangkitan Islam yang cenderung bersifat radikal merupakan hal wajar di tengah kebebasan arus inforamsi dari seluruh
penjuru dunia (globalisasi inforamsi). Sebagaimana pandangan
Ian Adams bahwa fundamentalisme dapat di temukan dalam
berbagai macam lingkungan dan tampil dalam berbagai bentuk
yang beragam.20 Sejak era 1990-an perkembangan Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat dengan di tandai
munculnya fenomena menguatnya religiusitas umat Islam.
Fenomena tersebut di indikasikan sebagai kebangkitan Islam
(Islamic revivalism). Kemunculanya dalam bentuk beragam, mulai dari kehidupan Ibadah, sosial, ekonomi, pendidikan, hukum,
budaya dan politik. Semisal muncul istilah lembaga ekonomi Islam (Bank Syari’ah), Islamisasi Hukum Keluarga (UU Perkawinan), Partai politik Islam, Isu Khalifah Islamiyah, UU Sisdiknas
dan dipakainya simbol-simbol Islam dalam acara kenegaraan.
Fenomena tersebut mengisyaratkan menguatnya kecenderungan terhadap formalisasi syariat Islam.21
Wajah Islam Indonesia saat ini tampak tidak dapat di pisahkan
dengan munculnya gerakan-gerakan Islam radikal atau neo-fundamentalisme Islam. Di tambah dengan menguatnya wacana ji19 Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, 19.
20 Ian Adams, Ideologi Politik Mujtajhid, 426
21 Pradana Boy, Islam Dialektis, 158-159
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
61
had yang mengalami pembaharuan makna. Jihad yang semula
dipahami sebagai upaya sungguh-sungguh menggerakan segala tenaga, pikiran, harta untuk kemajuan Islam melalui dakwah
bergeser ke makna artifisial dan fisikal.22
Fenomena di atas semakin menguat pasca Reformasi dengan di tandai dengan munculnya aktor gerakan Islam baru.
Aktor baru ini berbeda dengan aktor gerakan Islam yang lama
(NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Jamat Al-Khair) dan sebagainya. Gerakan mereka berada di luar kerangka mainstream,
mereka berbeda mulai dari proses sosial-politik maupun wacana
yang dikembangkan oleh Islam mainstream. Fenomena tersebut oleh Imdadun Rahmat di sebut “Gerakan Islam Baru” (New
Islamic Movement). Di antara adalah kelompok Tarbiyah yang
kemudian bermetamorfosis menjadi Partai Keadilan Sejahtera
(PKS), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jama’ah Anshoru Tauhid (JAT), Front Pembela Islam
(FPI), Lasykar Jihad , Kelompok salafi dan sebagainya.23
Gerakan ini mendapatkan momentum besar pasca aksi teror
11 September 2001, yang menghancurkan WTC (World Trade
Center) dan Penthagon di Amerika Serikat (AS) yang dilakukan
kelompok Al-Qaedah dan Jama’ah Islamiyah/JI). Kelompok Islam tersebut dikenal dengan sebutan gerakan salafi Radikal atau
Neo Fundamentalisme Islam. Gerakan ini sangat puritan dengan
karakter ideologi berdasarkan ideologi Ikhwanul Muslimin Hasan
Al Banna yang diteruskan Sayyid Qutb.24
Gerakan Islam radikal memiliki basis ideologi, pemikiran dan
strategi perjuangan yang berbeda dengan berbagai gerakan
Islam sebelumnya.25 Basis salafisme radikal berorientasi pada
22 Zuly Qadir “Gerakan salafi Radikal dalam Konteks Islam Indonesia”, Jurnal Islamica,
Vol.3, No.1, (September 2008), 2. Lihat, Natana J Delong-Bas, Wahabi Islam: From
Revival and Reform, 278.
23 Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radika: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia (Jakarta: Erlangga, 2005), xi.
24 Greg Fealy, Jejak Khalifah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia
(Bandung: Mizan, 2005), 12.
25 Perbedaan gerakan Islam radikal masa lalu dengan kontemporer, menurut Al-Jabiri
adalah gerakan radikal masa lalu mempraktekan ekstremisme pada tatanan aqidah,
sedangakan gerakan radikal kontemporer menjalankan pada tatanan syariat dengan
62
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
penciptaan kembali masyarakat salaf dengan cara keras dan radikal. Bagi mereka, Islam pada masa kaum salaf merupakan Islam paling sempurna, murni dan bersih dari berbagai tambahan
dan campuran yang dipandang mengkotori Islam.
Gerakan Islam radikal, juga diperkuat dengan tafsir terhadap
al-Qur’an dan al-Hadits secara literal-harfiah. Corak gerakan ini
berkarakter militan, skriptualis, konservatif dan cenderung esklusif.26 Berbagai gerakan Islam radikal memiliki platform yang
beragam tetapi pada umumnya mempunyai kesamaan visi dalam pembentukan Negara Islam (daulah Islamiyyah) dan mewujudkan penerapan syariat Islam, baik dalam wilayah masyarakat
maupun negara (formalisasi syariat Islam).27
Kelompok gerakan ini bercorak konfrontatif dan radikal terhadap sistem sosial-politik yang sudah ada. Mereka menghendaki
adanya perubahan mendasar terhadap sistem tersebut dipahami sebuah sistem sekuler atau jahilia modern, maka harus
di rubah dengan sistem baru yang mereka sebut sistem Islam
(Nizam Islami). Slogan terkenal dari kelompok ini adalah “Islam
adalah solusi” (al-Islam huwa al-hall), Islam sebagai alternatif”
(al-Islam ka badil), “syariat Islam adalah solusi krisis”. Agenda
iqamah dawlah Islamiyah (mendirikan negara Islam) dan formalisasi syariat Islam merupakan muara dari seluruh agenda perjuangan.28
Ideologi gerakan Islam radikal secara subtansi bermuarah
pada ide internasionalisasi Islam dalam satu wadah, yaitu negara Islam. Sehingga gerakan Islam radikal juga sering diistilahkan dengan gerakan Islam transnasional, yaitu gerakan yang ide
awalnya banyak diadopsi bahkan berjejaring dengan gerakan Ismelawan mazhab –mazhab moderat. Pada periode awal Ekstrimisme terdapat pada
sekte Khawarij. Muhammad Abid Al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syariah
(Yogyakarta: Pustaka, 2001), 139-149
26 Azumardi Azra, “Kelompok Radikal Muslim” Jurnal Islamica Edisi 26 Mei-1 Juni
2003, 52.
27 Lebih lanjut berkaitan dengan kajian formalisasi syariat Islam di Indonesia, baca,
Haedar Nashir, Islam Syariat; Reproduksi Salafiyah Ideologi di Indonesia, (Jakarta:Mizan, 2013)
28 Zuly Qadir “Gerakan salafi Radikal dalam Konteks Islam Indonesia”, Jurnal Islamica, Vol.3, No.1, 45.
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
63
lam di Timur Tengah). Kemunculan gerakan Islam transnasional
di Indonesia berawal dan di transformasikan dari gerakan Islam
Timur Tengah.
Hal ini dapat dilacak dari keterkaitan jaringan ideologi maupun
sosio-politik antara gerakan radikal Islam kontemporer Indonesia
dengan gerakan Islam di Timur Tengah. Semisal, Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) merupakan cabang dari Hizbut Tahrir yang didirikan oleh Taqiyuddin An-Nabhani di al-Quds, Palestina. Lasykar
Jihad merupakan jaringan ideologis dari Gerakan salafidi Saudi
Arabia dan Kuwait. Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI) oleh Sidney Jones dipandang sebagai jaringan sosio-politik dari Jama’ah
Islamiyah Asia Tenggara yang memiliki kesamaan platform dengan Jama’ah Islamiyah faksi sempalan Ikhwanul Muslimin yang
eksis di Mesir.29
Berbagai gerakan ini menjadi sangat terkenal dan menyedot
perhatian masyarakat karena ciri radikalnya. Baik radikal dalam
lingkup cita-cita sosial-politiknya yakni: menginginkan perubahan yang mendasar atas kondisi keagamaan, kemasyarakatan,
kenegaraan, maupun radikal dalam lingkup strategi dan cara
menempuh tujuan (dengan pengertian cenderung pada caracara pemaksaan bahkan kekerasan).
Penyebaran ideologi Islam radikal di tengarai lewat beragam jalur media.30 Pola awal penyebaran ideologi gerakan Islam radikal adalah melalui jalur institusi pendidikan.
Kemudian bergeser dengan memanfatkan media teknologi Informasi dan pendekatan keluarga. Di antara media informasi yang
sering digunakan adalah media sosial (FB, Web, Twitter, Blog,
dll), media cetak (Koran, majalah, bulletin). Selain media sosial,
adalah dengan pola memanfatkan pada rekrutmen anak-anak
muda kampus, dan anak sekolah SMA, SMP dan rekrtumen di
internal keluarga sendiri yaitu anak dan Istri, paman, orang tua
29 Mona Abaza, “’Generasi Baru Mahasiswa Indonesia di Al Azhar”, Jurnal Islamika,
No. Januari-Maret 1994, 37-38.
30 Lebih lanjut pola transmisi gerakan radikal masuk ke Indoensia, baca, Imadadun
Rahmat, Arus Baru Radikal Islam: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia, (Jakarta: Airlangga, 2002)
64
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
dan sebagainya dan memanfatkan jaringan Travel Umrah.31
Aktor penting dari penyebaran gerakan Islam radikal adalah
alumni mahasiswa Timur Tengah dan diperkuat oleh sebagian
besar alumni perang Afghanistan dengan jaringan Al-Qaedah32
dan Jama’ah Islamiyah (JI) yang berpusat di Solo.33 Pandangan ini di perkuat oleh Haidar Nashir bahwa kemunculan Islam
Transnasional (Islam radikal) atau Islam yang mengusung gagasan syariat Islam merupakan bentuk reproduksi gagasan dan
ideologis Islam salafiyah Timur Tengah di Indonesia.34
Jargon dakwah amar ma’ruf nahi mungkar melalui doktrin
ajaran jihad fiisabilillah sering dijadika alat penyebaran ideologi
Islam radikal. Sayang jargon tersebut hanya dijadikan lipts service, sebagaimana pendapat Gus Dur mereka sering mejadikan
konsep amar ma’aruf nahi munkar sebagai alat legitmasi untuk
melakukan pemaksaan, kekerasan, dan penyerangan terhadap
siapa yang berbeda.35
Gerakan Islam radikal di Indonesia muncul dan berkembang
melalui beberapa cara: Pertama, lewat proses transformasi dan
indoktrinasi pendidikan. Kedua, lewat transforamsi penerjemahan buku-buku karya ulama dan intelektual Timur Tengah yang
berhaluan radikal fundamental. Ketiga, transformasi almuni
perang Afganistan, Bosnia dan sejumlah negara Islam lain yang
mengalami konflik.36
Pertama, lewat transformasi pendidikan. Proses ini sebenarnya sudah dimulai sejak lama terutama lewat jalur ibadah Haji.
Pada transformasi awal, muncul banyak gerakan Islam di Indo-
31 Lebih lanjut, baca berita ISIS dan Keluarga, baca Agus SB, Darurat Terorisme: Kebijakan Pencegahan Perlindungan dan Deradikalisasi, (Jakarta: Daulat Press, 2014),
159-161
32 Lebih lanjut, baca As’ad Said Ali, Al-Qaedah: Tinjauan Sosial-Politik, Ideologi dan
Sepak Terjanganya. 2014, (Yogyakarta, LP3S), h, 241-285
33 Lebih lanjut, baca Fajar Purwadinto, Jaringan Baru Teroris Solo, (Jakarta; KPG,
2014)
34 Haidar Nashir, Gerakan Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia
(Jakarta: PSAP, 2007), 8
35 Abdurrahman, Ilusi Negara Islam,33
36 Miftachul Huda, Ikhwanul Muhammadiyah, 15
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
65
nesia, seperti halnya Muhammadiyah, NU, Persis, al-Irsyad dan
sebagainya. Kemunculan berbagai gerakan tersebut tidak lepas
dari imbas dari gerakan revivalis Muhammad bin Abdul Wahhab,
pemikiran pembaharuan salafiyahJamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Gerakan nasionalisme di
kalangan umat Islam yang tersemai dari gerakan nasionalisme
Timur Tengah, adalah salah satu contoh yang tidak bisa dibantah.
Transforamsi pendidikan ini bukan hanya berpengaruh pada
wacana sosial keagamaan, melainkan menjadi jejaring gerakan
sosial politik umat Islam. Pengaruh keagamaan dan politik dari
Timur Tengah ke Indonesia bukanlah hal baru dalam sejarah.
Semenjak Islam masuk ke Nusantara, hubungan masyarakat Indonesia dengan Timur Tengah sangat erat. Dalam konteks keagamaan, wacana dan politik transforamsi ini sangat dimungkinkan, sebab posisi Timur Tengah sebagai sentrum yang selalu
menjadi rujukan umat Islam lewat transformasi kegiatan Ibadah
Haji, belajar ke ulama dan ziarah.37
Pada periode 1980-an, banyak mahasiswa asal Indonesia di
Mesir yang bersentuhan langsung dengan gagasan Islam fundamentalis. Sebab pada waktu itu wacana fundamentalisme Islam
menjadi ikon intelektual di kalangan cendikiawan Islam di Mesir. Menurut Mona Abaza, pada masa itu minat baca mahasiswa
Indonesia diorientasikan pada pemikiran pemimimpin Ikhwanul
Muslimin, seperti Sayyid Qutb, Muhammad Al-Bahi, Fahmi Huwaydi, Husein Mu’nis dan Ahmad Shalabi, serta pemikir Pakistan Abu A’la Al-Maududi dan pemikir Revolusi Iran Ayatullah
Khomeni dan Ali Syari’ati. Situasi ini berbeda dengan generasi
sebelumnya yang lebih banyak menyerap gagasan pemikiran
Barat seperti Albert Camus, Jean Paul Sartre dan juga pemikiran
pembaharuan Islam.38
Meningkatnya pelajar Indonesia di Timur Tengah semakin
mendekatkan jaringan dalam banyak hal. Keberadaan para pe37 Ibid., 16
38Mona Abaza, “’Generasi Baru Mahasiswa Indonesia di Al Azhar”, Jurnal Islamika,
37-38.
66
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
lajar tersebut membuat mereka secara langsung maupun tidak
langsung mengikuti bahkan terlibat dalam berbagai dinamika
gerakan di sana. Berbagai pengalaman di Timur Tengah pada
gilirannya memengaruhi keyakinan, ideologi, pemikiran, cara
pandang, sikap dan tindakan mereka dalam berbagai hal.
Almuni Timur Tengah yang bersentuhan dengan pemikiran
dan gerakan Ikhwanul Muslimin memperkenalkan manhaj dakwah Ikhwanul Muslimin kepada kalangan mahasiswa di Indonesia. Transformasi itu melalui gerakan kelompok (halaqah) atau
yang terkenal dengan sebutan “usro” dengan materi keislaman
dan latihan kempemimpianan di berbagai perguruan tinggi, terutama di kampus negeri (UI, ITB, ITS, IPB) dan sebagainya.39
Kedua, melalui jalur penerjemahan buku. Para alumni Timur
Tengah melakukan penerjemahan buku karya para pemikir dan
aktivis gerakan Islam radikal Timur Tengah ke dalam Bahasa Indonesia. Sejak era 80-an, buku-buku para tokoh gerakan Islam
radikal semisal karya Hasan Al-Banna, Said Hawwa, Taqiyuddin An-Nabhani, Sayyid Qutb, Abdullah Azzam, dan sebagainya.
Buku-buku tersebut menjadi rujukan utama dalam berbagi forum
perkaderan di kalangan pendukung organisasi baru tersebut.
Ketiga, lewat jaringan alumni perang Afganistan. Imdadun
Rahmat berpandangan bahwa gerakan Islam radikal di Indonesia juga ditransformasikan lewat veteran jihad di Afghanistan.
Jaringan mereka sebagian besar adalah pendukung gerakan
Islam militan dari asal negaranya. Dari jaringan ini telah memperkenalkan para mujahid Indonesia dengan berbagai gagasan
Islam-politik yang bercorak fundamentalis. Kontak ini pada fase
berikutnya berkembang menjadi jaringan komunikasi, pendanaan, hingga jaringan organisasi.40
39 Ali Said Damanik, “Fenomena Partai Keadilan Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 2002), 97. Lebih lengkap kajian terhadap fenomena gerakan Islam radikal di kalangan mahasiswa (kampus), baca, Nafi’ Muthohirin,
Fundamentalisme Islam: Gerakan dan Tipologi Pemikiran Aktivis Dakwah Kampus,
(Jakarta: IndoStrategi, 2014).
40 Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal, xiv. Lebih lengkap baca karya, As’ad
Said Ali, Al-Qaeda; Tinjaun Sosial-Politik, Ideologi dan sepak terjangnya, (Jakarta:
LP3S, 2014)
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
67
Pemataan di atas menujukan ada sebagian kelompok Islam
yang menyambut baik ide-ide bahkan mendukung gerakan Islam radikal. Ridwan Saidi menjelaskan, bahwa sambutan hangat terhadap kelompok Islam radikal disebabkan gerakan Islam radikal sangat popular dan “fashionable”, hal itu disebabkan
gagasan yang diusungnya lebih konkret yaitu “Khilafah Islamiyah” dan formalisasi syariat Islam dalam kehidupan keseharian.
Kedua ada kekosongan hukum di Pemerintah Indonesia dalam
mengatur tentang gerakan Islam radikal (ISIS, MMI, HTI), bahkan ada kesan pembiaran terhadap gerakan tersebut. Ketiga,
ada romantisme sejarah, kelompok Islam radikal pernah tumbuh subur di Indonesia yaitu gerakan Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia (DII/TII).41
Keberadaan Islam radikal dapat menjadi ancaman serius bagi
“wajah” Islam di Indonesia. Asumsi ini didasarkan pada bangunan kultur (Ideologi-praksis) gerakan Islam radikal yang tertutup dan cenderung intoleran, hal ini tentu berbeda dengan kultur
gerakan Islam di Indonesia yang sudah berkembang sebelumnya, seperti NU-Muhammadiyah, Persis, Al-Washilah cenderung
lebih moderat. Menurut Syafi’I Ma’arif, jalinan kerjasama antar
gerakan Islam moderat terutama NU-Muhammadiyah dalam
mewujudkan Islam yang ramah, toleran terhadap siapa saja termasuk Non-Muslim (Islam rahmatalil’alamin) sudah terbangun
sejak lama.42
Dampak dari aksi kekerasaan oleh gerakan Islam radikal
adalah timbulnya trauma psyikologis, fisik, dan ideologis di masyarakat.43 Trauma psyikologis adalah timbulnya rasa ketakutan
dan depresi dalam jiwanya, trauma fisik adalah timbulnya kekerasan fisik, penyisaksaan, pembunuhan, dan trauma ideologis
adalah timbulnya klaim kebenaran tunggal dan yang berbeda
41 Ridwan Saidi, “ISIS Mengancam Kita”, Forum Indonesia Lawyers Club (ILC) TV
One, (24 Maret 2015)
42 Syafii Ma’arif, “Masa Depan Islam di Indonesia”, dalam Abdurrahman Wahid (edit).
2009, Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional Di Indonesia, Jakarta: The Wahid Institute & Ma’arif Institue, h, 8-9
43Sholihul huda, “Transisi ideologi: Studi tentang gejala pergeseran ideologi warga
muhammadiya yang aktif di fpi paciran kab. Lamongan” (Tesis, IAIN Sunan Ampel
Surabaya, 2011)
68
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
paham adalah musuh “kafir” yang halal di bunuh. Aksi ini juga
berdampak secara politik, yaitu konflik dan kekerasan di masyarkat menimbulkan disintegrasi bangsa dan disharmoni sosial
di negeri ini. Salah satunya ditandai dengan berkembangnya
ketidaknyamanan dan ketidakamanan (insecurity) terutama bagi
kelompok minoritas manapun di masyarakat. Dan dapat menjerumuskan Indonesia ke dalam “Negara gagal” (failed state) dan
merusak citra Indonesia.44
Pandangan di atas, diperkuat dengan pernyataan Hasyim
Muzadi, ancaman gerakan Islam radikal (Al-Qaedah, ISIS, FPI,
Jama’ah Islamiyah (JI), HTI, MMI) di Indonesia akan berdampak
lebih parah daripada di Timur Tengah.45 Argumentasi di atas di
dasarkan pada fakta Indonesia adalah Negara Kepulauan yang
tersebar di seluruh wilayah NKRI dengan beragam Suku, Agama,
Ras, dan Golongan (SARA). Jika kondisi Indonesia yang pluralistik ini dirasuki oleh ideologi Islam radikal yang monolitik dapat
berpotensi konflik. Jika kondisi ini dibiarkan dalam jangka panjang, maka dapat berdampak pada disintegrasi atau kehancuran bangsa Indonesia. Kekhawatiran tersebut diperkuat dengan
pandangan Gus Dur, gerakan Islam radikal bagi Indonesia akan
merubah wajah Islam Indonesia yang agresif, keras, bengis, intoleran, menebar kebencian, padahal sebelumnya citra Islam di
Indonesia cenderung dikenal damai, toleran, moderat berubah.46
Mengantisipasi kekhawatiran tersebut, maka dibutuhkan
strategi penanganan dan pencegahan terhadap gerakan Islam
radikal agar tidak tumbuh subur di Indonesia. Startegi penanganan terhadap aksi Islam radikal harus bersifat utuh (komperhensif) atau meminjam istilah Agus SB adalah strategi “semesta”.
Strategi semseta adalah penanganan terhadap gerakan radikal
Islam yang melibatkan seluruh elemen masyarakat Indonesia,
mulai dari keluarga, RT/RW, Lembaga Pendidikan, Pesantren,
tokoh adat, tokoh masyarakat, Tokoh Pemuda, Tokoh Perem44 Agus SB, Darurat Teroris, 17
45 KH. Hasyim Muzadi, “ISIS Mengancam Kita”, Forum Indonesia Lawyers Club (ILC)
TV One, ( 24 Maret 2015)
46 Abdurrahman Wahid (edit). 2009, Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam
Transnasional Di Indonesia, Jakarta: The Wahid Institute & Ma’arif Institue, h, 20
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
69
puan, Negara (BNPT, Aparat Keamanan, Menlu, Mentri Agama),
Ulama, dan Oraganisasi Sosial-Keagamaan.47
Penanganan gerakan Islam radikal harus bersifat menyeluruh
(holistic) mulai dari hulu sampai hilirnya, artinya startegi penanganan dari proses pencegahan, penindakan, pengawasan,
penegakan hukum, dan pasca penegakan hukum. Sementara,
strategi penenganan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia
masih intensif pada hilirnya, penindakan dengan pendekatan
represi keamanan.48 Pendapat ini diperkuat oleh Hasyim Muzadi, pemerintah Indonesia terlihat baru fokus pada penindakan
secara represif keamanan, belum ada tempat pembinaan dan
masih belum utuh (parsial), menurutnya untuk mengatasi gerakan radikal Islam di Indonesia adalah harus dengan cara Indonesia yaitu, melalui pendidikan, penegakkan hukum, baru represif
keamanan dan harus melibatkan semua elemen yang berkaitan
dengan persoalan ini (Polri, BIN, BNPT, Densus 88, Menlu, Ormas Keagamaan) duduk bareng merumuskan gerakan Nasional
Anti Teroris.49
Kritik di atas ada benarnya, sebab strategi yang dilakukan
oleh pemerintah Indonesia selama ini belum begitu maksimal,
malah pada kondisi lain terjadi kontra produkitif, yaitu terjadinya
aksi balas dendam oleh para aktivis Islam radikal.50 Menangani
gerakan Islam radikal tidak cukup di tangani di hilirnya, tetapi harus dimulai dari hulu yaitu pencegahan dari proses awal kemunculan radikalisme, hal inilah yang sering terlupakan atau kurang
begitu serius dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Aktor penting
menurut Hasim Muzadi, dalam proses pelibatan penanganan
(hulu) adalah Ulama dan Ormas Sosial-Keagamaan terutama
47 Ibid, 217
48 Pendekatan ini sangat tampak dengan agresifnya Densus 88 POLRI menangkapi
baik dalam keadaan hidup maupun di tembak mati. Dan yang sangat disyangkan selalu dalam pemberitaan adalah di ungkapkan sebagai terduga Teroris artinya terduga
bisa iya bisa tidak karena belum ada pembuktian. Baca Sapto Waluyo, Kontra Terorisme:Dilema Indonesia Era Transisi, (Jakarta, NF. Media Center, 2009)
49 KH. Hasyim Muzadi, “ISIS Mengancam Kita”, Forum Indonesia Lawyers Club (ILC)
TV One, ( 24 Maret 2015)
50 Lebih lanjut baca buku, Sapto Waluyo, Kontra Terorisme:Dilema Indonesia Era
Transisi, (Jakarta, NF. Media Center, 2009)
70
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
NU-Muhammadiyah. Sayang keduanya kurang di fungsikan
oleh pemerintah, padahal kedua Ormas (NU-Muhammadiyah)
mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk berfungsi sebagai
pengurai kebekuan teologi Islam radikal agar berubah menjadi
ideologi toleran.51
Mencermati fenomena di atas dapat di potret bahwa, gerakan Islam radikal di Indonesia merupakan kepanjangan jaringan ideologi dan gerakan di Timur Tengah. Bukan berasal dari
gerakan masyarakat lokal Indonesia, sehingga gerakan ini juga
sering disebut sebagai gerakan Islam transnasional. Ideologinya
sangat berbeda dengan gerakan Islam yang sebelumnya. Mereka mengadopsi ideologi dari Timur Tengah yang penuh konflik, sehingga berkarakter keras, radikal dan fundamental. Hal
ini tentu berbeda dengan karakter masyarakat Indonesia yang
cenderung damai, moderat dan akomodatif. Perbedaan karakter
tersebut tentunya kalau dipaksakan akan terjadi konflik ideologi
di tengah masyarakat.
C. FPI: Profil Gerakan Islam Radikal di Indonesia
1. Sejarah Kelahiran
Front Pembela Islam (FPI) adalah organisasi massa Islam
bergaris keras yang berpusat di Jakarta. Disebut “front” karena orientasi kegiatannya dikembangkan pada tindakan konkrit
berupa aksi nyata dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Kata “pembela” dengan harapan agar senantiasa bersikap
proaktif dalam melakukan pembelaan nilai-nilai kebenaran dan
keadilan. Adapun kata “Islam” menunjukkan bahwa perjuangan
FPI harus berjalan di atas ajaran Islam yang benar dan mulia.52
FPI memiliki kelompok paramiliter yang disebut Laskar Pembela Islam (LPI). LPI merupakan sayap organisasi FPI yang
kontroversial karena sering melakukan aksi-aksi “penertiban”
51 KH. Hasyim Muzadi, “ISIS Mengancam Kita”, Forum Indonesia Lawyers Club (ILC)
TV One, ( 24 Maret 2015)
52 MuhammadRizieqSyihab, Dialog FPI: Amar Maruf Nahi Mungkar, 12
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
71
(sweeping) terhadap berbagai kegiatan publik yang dianggap
maksiat atau bertentangan dengan syariat Islam. 53
Menurut Habib Rizieq, latar belakang pendirian FPI disebabkan karena merajalela kezhaliman dan marak kemaksiatan
di tengah masyarakat yang kemudian terjadi kerusakan di mana-mana bahkan mengundang berbagai musibah di Indonesia.
Sehingga tidak bisa tidak harus ada bagian umat yang harus
tampil ke depan untuk melawan dan memerangi kezhaliman, untuk itulah Front Pembela Islam (FPI) dilahirkan.54 Sebagaimana
firman Allah dalam surat Ali Imran: 104
”Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang
menyeruh kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang
beruntung”.
Berdirinya FPI dapat dipetakan sebagai berikut: Pertama,
situasi sosial-budaya yang jauh dari aturan dan ajaran Islam,
seperti merajalelanya perbuatan maksiat (narkoba, minuman
keras, perjudian, dan bebasnya tempat-tempat maksiat berdiri
dan beroperasi). Kedua, faktor sosio-politik sebagai akibat dari
menurunnya peran negara terhadap masyarakat, sehingga berdampak pada hilangnya tertib hukum. Menurut para aktivis FPI,
di era reformasi pemerintah tidak dapat mengendalikan terjadinya tindak kemaksiatan di masyarakat. Karena pemerintah tidak
bersikap tegas terhadap pelaku perbuatan kemaksiatan, maka
umat Islam harus berkewajiban mengambil inisiatif membantu
pemerintah untuk mengurangi kemaksiatan.55
Berawal dari keprihatinan dan keresahan terhadap kondisi
masyarakat tersebut, maka para aktivis dakwah seperti FPI dideklarasikan pada 17 Agustus1998 (atau 24 Rabiuts Tsani 1419
H) di halaman Pondok PesantrenAl Um, Kampung Utan Ciputat, Tangerang Selatan oleh sejumlah habaib, ulama, mubaligh
53 FPI menunjukkan eksistensinya terutama pada masa Ramadhan. Berbagai aksinyaseringkali berujung pada kekerasan. Organisasi ini terkenal karena kontroversinya
ketikaaksi-aksinya sejak 1998.
54Ibid, 12
55 Ibid., 12-13
72
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
dan aktivis Muslim dan disaksikan ratusan santri yang berasal
dari daerah Jabotabek. Tokoh yang mempelopori berdirinya FPI
adalah Habib Muhammad Rizieq Shihab.56 Pendirian organisasi
ini hanya 4 bulan setelah Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
Rumusan latar belakang kelahiran FPI menurut aktivis gerakan ini adalah: Pertama, ada penderitaan panjang umat Islam di
Indonesia karena lemahnya kontrol sosial akibat banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan oknum penguasa. Kedua, ada
kemungkaran dan kemaksiatan yang semakin merajalela di seluruh sektor kehidupan. Ketiga, adanya kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan harkat dan martabat Islam serta umat
Islam.57
FPI berasaskan pada amar ma’ruf nahi mungkar yang berdasarkan Islam dan beraqidahkan ahlussunah wal jama’ah. Sesuai dengan Aqidahnya, maka segenap pengikut ahlussunah wal
jama’ah telah sepakat setiap hadits shahih baik mutawatir atau
ahad wajib hukumnya dijadikan pedoman, aqidah, syariat dan
akhlaq. Di samping itu, pengikut ahlussunah wal jama’ah selalu
membuka pintu ijtihad sepanjang zaman bagi para ahlinya. Dengan demikian FPI menghargai mereka yang bermadzhab maupun tidak yang penting saling menghormati.58
Mencermati latarbelakang berdirinya FPI dapat di pahami,
bahwa kelahirannya merupakan reaksi atas ketidakpuasan terhadap penyelesaian persoalan sosial yang dilakukan sejumlah
orang, terutama negara yang terjadi di era reformasi. Selain itu,
FPI merupakan bagian dari proses pergulatan kelompok sosial
yang bercorak keagamaan yang terjadi di era Reformasi yang
akan terus berdialektika di masyarakat.
2. Visi dan Misi FPI
FPI mempunyai visi penegakkan amar ma’ruf nahi mungkar.
56 Ibid.,126. Lihat juga Al Zastrow Ng, Gerakan Islam Simbolik, 89
57 Habib Rizieq, Dialog FPI Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, 90
58 Ibid., 142.
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
73
Visi ini adalah satu-satunya solusi untuk menjauhkan kemungkaran. Sementara misi FPI adalah menegakkan amar ma’ruf
nahi mungkar secara kaffah di segenap sektor kehidupan dengan tujuan menciptakan umat sholihat yang hidup dalam baldah
thoyyibah dengan limpahan keberkahan dan keridhoan Allah
SWT.59
FPI mempunyai lima prinsip gerakan Islam: 1) Allah adalah
Tuhan kami dan tujuan kami. 2) Muhammad Rasulallah adalah
teladan kami. 3) Al Qur’an al-Karim adalah Imam kami. 4) Al-Jihad adalah jalan kami. 5) As-Syahadah adalah cita-cita kami.
Semboyan perjuangan FPI ”Hidup Mulia atau Mati Syahid”. Adapun filsafat perjuangan FPI adalah “Bagi mujtahid difitnah itu biasa, dibunuh berati syahid, dipenjara adalah uzlah, dan diusir
adalah tamasya”.60
Doktrin perjuangan FPI dimaksudkan untuk memberi imunperjuangan kepada para anggotanya, sehingga mereka mampu
mengusung, menghayati, dan mengamalkan perjuangan secara
baik. Ada lima doktrin perjuangan FPI; 1) Mengikhlaskan niat; 2)
Memulai dari diri sendiri; 3) Kebenaran harus ditegakkan; 4) Setiap orang pasti mati; 5) Mujahid di atas para musuhnya.61
3. Karakter dan Struktur
FPI didirikan sebagai wadah kerjasama antara ulama dan
umat dalam menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar di setiap aspek kehidupan. Amar ma’ruf adalah perintah untuk melakukan segala perkara yang baik menurut hukum syara’ dan hukum
akal. Nahi munkar adalah mencegah setiap kejahatan yakni setiap perkara yang dianggap buruk oleh syara’ dan hukum akal.
Tujuan lain adalah untuk membantu pemerintah dalam memberantas problem sosial masyarakat, seperti prostitusi, perjudian,
miras dan transaksi narkoba. Secara umum, FPI pun berdiri dengan tujuan untuk menegakkan hukum Islam di negara sekuler.62
59 Ibid., 143
60Ibid., 144
61 Ibid., 145, lihat, Zastrow Ng, Gerakan Islam Simbolik, 89.
62 Zastrow Ng, Gerakan Islam Simbolik , 91
74
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
Penegakan amar ma’ruf nahi munkar meliputi ruang yang
luas dan meliputi semua aspek kehidupan. Sehingga diperlukan adanya kerja kolektif dari seluruh elemen umat Islam. Untuk
mencapai penegakan amar ma’ruf FPI menggunakan metode
bijaksana dan lemah lembut melalui langkah: mengajak dengan
hikmah, memberi nasehat baik dan berdiskusi dengan cara yang
baik. Sedangkan penegakkan nahi munkar gerakan FPI menggunakan sikap tegas dengan tahapan lisan dan tulisan apabila
langkah tersebut tidak di hiraukan maka menggunakan hati yang
tertuang dalam ketegasan sikap untuk tidak menyetujui segala
kemaksiatan.63
FPI bukanlah organisasi massa Islam yang memiliki konstitusi
yang jelas dan baku (AD/ART) meskipun ada struktur organisasi,
mereka tidak memiliki aturan main yang jelas. Gerakan dan tata
kerja FPI lebih di tentukan oleh kebijakan para elite organisasi.
Mekanisme pengambilan kebijakan dan hubungan antar organ
dalam organisasi hanya di dasarkan pada kesepakatan semata secara temporal dan kondisional sesuai dengan kebutuhan
gerakan, sehingga kurang tertib dalam administrasi organisasi.
Sehingga kalau di cermati seksama FPI sebenarnya bukan organisasi massa seperti NU atau Muhammadiyah melainkan lebih
merupakan komunitas yang melakukan gerakan untuk mencapai
tujuan.64
Gerakan FPI lebih mengutamakan solidaritas emosional daripada mekanisme formal organisasi. FPI lebih berorientasi pada
gerakan untuk menumpas kemungkaran dari pada membentuk kelembagaan dan manejemen organisasi yang kuat. Hal itu
dapat tergambar dari pilihan nama organisasi yaitu Front Pembela Islam.65
Struktur Organisasi FPI terbagi dalam beberapa tingkatan yaitu: Dewan Pimpinan Pusat (DPP), sebagai pengurus organisasi berskala nasional terdiri dari: Ketua Majelis Syura DPP FPI:
Habib Muhsin Ahmad Al-Attas dan Ketua Majelis Tanfidzi DPP
63 Ibid.,92
64 Ibid, 93
65 Ibid, 94
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
75
FPI: Habib Rizieq (2003-sekarang). Dewan Pimpinan Daerah
(DPD) sebagai pengurus organisasi berskala Provinsi salah satunya di Surakarta (FPIS) pimpinan Abu Bakar Basyier. Dewan
Pimpinan Wilayah (DPW) sebagai pengurus organisasi berskala
Kota/Kabupaten. Dewan Pimpinan Cabang (DPC) sebagai pengurus organisasi berskala Kecamatan.66
Gambar 2. Bagan Struktur Organisasi FPI
FPI berasaskan pada amar ma’ruf nahi munngkar yang berdasarkan Islam dan beraqidahkan Ahlussunah wal jama’ah. Sesuai dengan Aqidahnya, maka segenap pengikut Ahlussunah
wal jama’ah telah sepakat setiap hadits shahih baik mutawatir
atau ahad wajib hukumnya dijadikan pedoman, aqidah, syariat
dan akhlaq. Di samping itu, pengikut Ahlussunah wal jama’ah
selalu membuka pintu ijtihad sepanjang zaman bagi para ahlinya. Dengan demikian FPI menghargai mereka yang bermadzhab
66 Ibid.,95
76
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
maupun tidak yang penting saling mengormati.
Walaupun ada struktur organisasi pada setiap tingkatan, namun tidak mengikat secara struktural organisasi. Masing-masing
daerah berhak melakukan aktivfitas tanpa harus berkoordinasi
dengan pengurus yang lebih atas. Namun pengurus yang lebih
atas tetap melakukan komunikasi secara longgar terhadap daerah. Menurut Zastrow, ada dua FPI yang independen bahkan tidak memiliki jalur koordinasi dengan FPI Pusat yaitu FPI Cabang
Solo dan FPI Cabang Yogyakarta.
Gerakan FPI ditangani secara sentralistik di tangan komando
Ketua Umum. Karena FPI adalah Organisasi yang berorientasi
pada gerakan agama, maka gerak dan langkahnya organisasi
harus berada di bawah kendali langsung pimpinan. Sehingga,
doktrin yang diberikan kepada anggota FPI bahwa pemimpin
mereka adalah para haba’ib dan ulama yang merupakan cerminan dari orang-orang suci yang mendapat legitimasi agama.
Maka mereka tidak boleh ditentang, perintahnya harus ditaati
dan perkataanya harus dilaksanakan. Siapa yang menentang
akan dicap pembangkang (bughat) dan harus dihukum. Menurut
mereka, model organisasi massa Islam yang ada saat ini di anggap sekuler. Karena memberikan otoritas tidak berdasarkan
pada kapabilitas pemahaman dan penguasaan agama tetapi
berdasarkan keterampilan skil organisasi. Pemahaman terhadap kepemimpinan organisasi FPI tersebut mencerminkan pemahaman keagamaan kelompok ini yang cenderung literalistik
dan konservatif.
4. Ideologi Keagamaan
Dokumen Risalah historis dan garis perjuangan FPI merupakan dokumen ideologi FPI. Di dokumen tersebut menyebutkan
bahwa disebutkan asas gerakan FPI adalah Islam Ahlussunnah
wal Jama’ah (Aswaja). Menurut elite pimpinan FPI, paham Aswaja-nya berbeda dengan paham Aswaja NU dan Muhammadiyah.
Aswaja yang dipahami oleh FPI adalah lebih mendekati paham
Aswaja kelompok salafi yang dipimpin Ustadz Ja’far Umar Thalib
di Yogyakarta. Kelompok salafi memahami Aswaja adalah mereThe Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
77
ka yang telah sepakat untuk berpegang dengan kebenaran yang
pasti sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits, dan
mereka ini adalah sahabat dan tabi’in yaitu orang yang belajar
pada sahabat Nabi dalam pemahaman dan pengambilan ilmu.
Mereka menolak pendapat yang mengatakan asal awal paham Aswaja dari Abu Hasan al-As’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Sebagaimana pemahaman keislaman kelompok Nahdlatul
Ulama (NU) yang memahami Aswaja adalah mengikuti madzhab
al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam bidang aqidah, mengikuti salah
satu dari emapat mazdhab (Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam
Syafi’i dan Imam Hambali) dalam bidang fiqih, mengikuti Imam
Al-Ghazali dan Abu Qosim al-Junaidy dalam bidang tasawuf,
dan mengikuti Imam al-Bukhori dan Imam Muslim dalam bidang
hadits.
Kelompok salafi kurang sepaham dengan kelompok Islam
moderat dalam memahami Aswaja. seperti di atas, Hal ini karena pemahaman Aswaja-nya membolehkan tarekat-tarekat dalam mendekatkan diri kepada Allah. Mereka memahami bahwa
Aswaja bukan milik orang Indonesia atau kelompok tertentu
saja, tetapi Aswaja adalah satu-satunya jalan atau metode yang
haq yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sehingga
tidak diperbolehkan seorangpun menentukan cara sendiri ketika
menjalankan ibadah atau mendekatkan diri kepada Allah. Barang siapa yang mengamalkan suatu cara dalam agama tanpa
mengikuti petunjuk Nabi Saw, maka amalannya tertolak dan telah berbuat bid’ah.
Enam alasan bagi kelompok salafi termasuk FPI selalu merujuk ke generasi salaf sahabat, di antaranya; Pertama, para sahabat adalah orang yang dicintai oleh Allah dan mereka sangat
cinta kepada Allah (QS. Al-Fath:18). Kedua, para sahabat adalah umat yang adil yang dibimbing langsung oleh Rasulullah dan
menjadi pembimbing umat pasca Nabi Saw wafat (Q.S al-Baqarah: 143). Ketiga, para sahabat adalah teladan setelah Nabi Saw
(Q.S. al-Baqarah:137). Keempat, kebaikan sahabat tidak mungkin disamai. Kelima, para sahabat adalah sebaik-baik generasi
penerus Nabi Saw. Keenam, sahabat adalah orang pilihan Allah
78
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
yang bertugas mendampingi Nabi Saw.
Kelompok salafi dan FPI secara ideologi memiliki kesamaan,
namun dalam strategi perjuangan berbeda. Kelompok salafi
yang tergabung Forum Komunikasi Ahlussunah wal Jama’ah
(FKAWJ) Yogyakarta pimpinan Ja’far Umar Thalib memahami
dan menerapkan ibadah agama secara kaku. Kelompok ini terlihat ortodok dan intoleran dengan kelompok lain sehingga sering
terjadi konflik antar kelompok Islam yang lain. Berbeda dengan
FPI dalam penerapan ideologi aswaja, mereka lebih lunak dan
terbuka. Meski mereka memahami pentingnya simbolisasi Islam
dalam segala aspek kehidupan, namun mereka bisa menolelir
apabila temannya tidak seperti dia. Penerapan simbolisasi Islam
secara kaku hanya pada saat aksi gerakan atau demonstarsi
dengan tujuan menjelaskan identitasnya supaya tidak tersusupi.
Menurut Zastrow, paham keagamaan FPI tergolong bersifat
skriptualis-simbolis, menjaga otentisitas sampai pada dataran
simbolik, meski hal itu terkadang dilakukan dengan melanggar
subtansi dari ajaran Islam. Pemahaman mereka dalam ajaran
agama tidak ada pembagian antara ajaran pokok (ushul) dengan
ajaran cabang (furu’) antara yang subtantif dengan yang simbolik di antara keduanya merupakan hal penting saling terkait dan
harus dilaksanakan seperti Nabi Saw dan generasi salaf.67
FPI lebih menyerupai gerakan messianistik, yaitu mengharapkan janji-janji kebahagian di akherat melalui para pemimpin
agama, dalam konteks ini agama bersifat abstrak dan simbolik. Akan tetapi dengan bentuk yang demikian itu dapat menumbuhkan ikatan emosional yang kuat di antara mereka. Kondisi
sosial-psikologi masyarakat tersebut dimanfaatkan FPI untuk
melakukan bergaining position dengan kelompok lain.68
67 Ibid, 101.
68Ibid.,125.
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
79
5. Model Keanggotaan
Keaggotaan FPI sangat cair sehingga dapat masuk dan keluar dengan sangat mudah, tanpa harus melalui prosedur organisasi yang rumit. Keanggotannya juga tidak terikat pada aturan
organisasi yang formal dan ketat. FPI tidak pernah melakukan
rekrutmen dan perkaderan secara formal dan sistematis. Pengikut utama yang menyatukan FPI adalah komitmen moral dan
loyalitas pada pimpinan. Setiap orang yang bersedia menerima
garis perjuangan FPI memiliki loyalitas kepada pimpinan dan
siap melakukan amanat dari pemimpin yang dibebankan kepadanya, maka dia dapat dianggap anggota FPI.69
Kebebasan aturan main dalam organisasi FPI terutama dalam persoalan keanggotaan menjadikan pola aktivitas di tubuh
FPI juga dilakukan secara tidak tersistem. Meski sistem organisasinya seperti itu, namun pengurus FPI masih tetap melakukan pembinaan kepada anggota dan aktivisnya melalui jalur non
formal, semisal lewat pengajian, serta ceramah dan penugasan
saat dilaksanakan acara tertentu. Aktifisisasi di FPI juga dilakukan lewat model pemagangan.
Pemagangan hanya ditugaskan kepada para aktivis tertentu
yang telah memiliki derajat loyalitas dan komitmen tertentu terhadap pimpinan. Dan dia akan dijadikan ajudan oleh pemimpin
tertentu. Dia akan diajak mengikuti berbagai aktivitas oleh orang
yang mengkadernya. Aktivis yang masih dalam taraf asistensi
pemagangan ini disebut badal. Posisi badal ini merupakan aktivis senior yang memiliki loyalitas kepada pimpinan.Dia juga
dianggap memiliki kapasitas ilmu agama yang tinggi dan menguasai seluruh pemahaman keislaman FPI.70 Secara sosiologis
anggota FPI dapat dipetakan ke dalam empat struktur sosial:71
69Ibid.,126
70 Ibid.,127
71 Ibid., 127.
80
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
Tabel. 1 Struktur Sosial Anggota FPI
Kelompok
Akar Sosial
Motivasi Gerakan
Wewanang &
Posisi
Haba’ib dan
Ulama
Kelompok
agamis, kelas
menengah-atas,
pedagang, dan
pengajar agama
Memperoleh
akses ekonomipolitik yang lebih
luas. Legitimasi
politik dan materi
Kelompok elite
yang jumlahnya
sedikit dan
merupakan
pengarah dan
penentu kebijakan
organisasi
Intelektual
Kampus
Kelompok nonagamis, kelas
menengah,
mapan secara
ekonomi dan
sosial
Mendapatkan
legitimasi
moral untuk
meningkatkan
previladge agar
dapat melakukan
mobilitas secara
vertikal
Kelompok
mahasiswa,
dosen, peneliti
yang sebagian
besar dari kampus
negeri. Kelompok
yang di siapkan
menjadi pemimpin
organisasi (badal)
Preman dan
Anak Jalanan
Plural, ada yang
memiliki basis
agama yang
kuat, akan tetapi
kebanyakan dari
lingkungan sosial
non agamis.
Mencari
perlindungan
atas tindak
kejahatan yang
mereka lakukan
dan mencari
keuntungan
materiil
Kelompok ini di
arahkan untuk
menjadi anggota
lasykar dalam
aksi-aksi FPI
(sweeping). Lebih
ditekan pada
penguatan fisik
daripada agama
Masyarakat
Awam
Kaum margial,
PKL, Buruh,
lingkungan sosial
beragam tapi
rata-rata tidak
agamis
Mencari
ketenangan
hidup dan
menumbuhkan
harapan atas
datangannya
kebahagian di hari
akhir.
asyarakat tingkat
bawah, anggota
pengajian atau
majleis taklim,
hanya di jadikan
klaim anggota
sebagai bergaining
posisi.
Struktur sosial yang ada di FPI akan berpengaruh terhadap
pengambilan kebijakan, derajat, otoritas dan legitimasi moral.
Semakin tinggi struktur sosial, maka semakin tinggi pula otoritas kewenangannya dan makin punya peluang untuk mengendalikan organisasi. Secara umum, anggota FPI tersebar di
berbagai kelompok organisasi massa Islam yang sudah ada
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
81
dari NU, Muhammadiyah, Al-Washiliyah, Al-Irsyad dan Ikhwanul
Muslimin.72 Berawal dari sinilah sering terjadi konflik kepentingan
antara anggota FPI dengan anggota organisasi asalnya, sebab
terkadang ada pemahaman dan cara dakwah yang berbeda di
antara keduanya.
6. Kontroversi Gerakan FPI
Pada penyelenggaraan Tabliq Akbar (2002), FPI menuntut
agar syariat Islam dimasukkan pada pasal 29 UUD 45 yang
berbunyi, “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
dengan menambahkan “kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya” pada amandemen UUD 1945 yang
sedang dibahas di MPR sambil membawa spanduk bertuliskan
“Syariat Islam atau Disintegrasi Bangsa.”
FPI menjadi sangat terkenal karena aksi-aksinya yang kontroversial sejak 1998, terutama yang dilakukan oleh laskar paramiliternya yakni Laskar Pembela Islam.73 Rangkaian aksi penutupan klab malam, tempat pelacuran dan tempat-tempat yang
diklaim sebagai tempat maksiat, ancaman terhadap warga negara tertentu, penangkapan (sweeping) terhadap warga negara
tertentu, konflik dengan organisasi berbasis agama lain adalah
wajah FPI yang paling sering di perlihatkan dalam media massa.
Tindakan FPI sering dikritik berbagai pihak karena sering main
hakim sendiri, terlebih berujung pada perusakan hak milik orang
lain. Pernyataan bahwa seharusnya Polri adalah satu-satunya
institusi yang berhak melakukan hal tersebut dijawab dengan
pernyataan bahwa Polri tidak memiliki inisiatif untuk melakukannya. Habib Rizieq, sebagai ketua FPI, menyatakan bahwa FPI
merupakan gerakan lugas dan tanpa kompromi sebagai cermin
dari ketegaran prinsip dan sikap. Menurut Rizieq kekerasan
yang dilakukan FPI dikarenakan kemandulan penegakan hukum
nasional. Dia juga berkata, bahwa FPI akan mundur bila hukum
72 Ibid., 109.
73 Front Pembela
Islam“Sejarah FPI” dalam http://id.wikipedia.
org/wiki/front pembela islam //.note dan www.fpi.or.id (12 Februari 2009), 6.
82
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
sudah ditegakkan. Ia menolak anggapan bahwa beberapa pihak
menyatakan FPI anarkis, namun baginya, yang dilakukannya
merupakan cermin kebengisan hati dan kekasaran sikap.74
Dari beragam bentuk aksi gerakan yang ditampilkan oleh FPI
di masyarakat, terjadi pro-kontra, ada yang sepakat dan ada
yang tidak. Bagi masyarakat yang tidak setuju menuntut pemerintah untuk membubarkan FPI karena dianggap gerakan anarkis
dan meresahkan masyarakat.
Beberapa ormas menuntut agar FPI dibubarkan. Melalui
kelompok surat elektronik yang tergabung dalam forum wanita muslimah mereka mengirimkan petisi pembubaran FPI dan
ajakan bergabung. Menurut mereka, walaupun FPI membawa
nama agama Islam pada kenyataannya tindakan mereka bertentangan dengan prinsip dan ajaran Islam, bahkan tidak jarang
menjurus ke vandalisme. Sedangkan menurut pengurus FPI,
tindakan itu dilakukan oleh oknum-oknum yang kurang/tidak memahami Prosedur Standar FPI.75
Pada Mei 2006, FPI berseteru dengan Abdurrahman Wahid
(Gus Dur). Pertikaian ini berawal dari acara diskusi lintas agama
di Purwakarta, Jawa Barat. Gus Dur yang hadir sebagai pembicara menuding organisasi-organisasi Islam yang mendukung
Rancangan Undang-Undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi
disokong oleh sejumlah Jenderal. Perdebatan antara Gus Dur
dan kalangan FPI pun memanas sampai akhirnya mantan Presiden ini turun dari forum diskusi.
Pada Juni 2006, Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) Tjahjo Kumolo dan Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar meminta
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Kapolri Jenderal Pol
Sutanto untuk menindak ormas-ormas anarkis secepatnya. Pemerintah melalui Menko Polhukam Widodo AS sempat mewacanakan pembubaran ormas berdasarkan peraturan yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985, namun hal ini hanya berupa
74 Ibid.,
75 Ibid.,
6
6.
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
83
wacana dan belum dipastikan sampai saat ini.
Kalangan DPR juga meminta pemerintah bertindak tegas terhadap ormas-ormas yang bertindak anarkis dan meresahkan
ini. Tindakan tegas aparat keamanan dinilai penting agar konflik horizontal tidak meluas.76 Pada 20 Juni2006, dalam acara
diskusi “FPI, Forum Betawi Rempug (FBR), versus LSM Komprador” Habib Rizieq menyatakan bahwa rencana pemerintah
untuk membubarkan ormas Islam adalah pesanan dari Amerika
Serikat dengan merujuk kedatangan Rumsfeld ke Jakarta. FPI
sendiri menyatakan bahwa bila mereka dibubarkan karena tidak
berdasarkan Pancasila maka organisasi lainnya seperti Muhammadiyah dan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) juga
harus dibubarkan.
Insiden Monas adalah sebutan media untuk peristiwa
penyerangan yang dilakukan FPI terhadap Aliansi Kebangsaan
untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKBB) di silang Monas pada tanggal 1 Juni 2008. Satu hari setelah peristiwa
tersebut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengadakan Rapat Koordinasi Polkam yang membahas aksi kekerasan tersebut. Presiden dalam jumpa persnya mengatakan negara tidak
boleh kalah dengan perilaku kekerasan.Aksi kekerasan telah
mencoreng nama baik di dalam dan di luar negeri.
Ketua Komando Laskar Islam Munarman mengoreksi pemberitaan media dan menyatakan bahwa penyerangan terhadap
AKBB dilakukan oleh Komando Laskar Islam dan bukan FPI.
Sehari sebelumnya polisi menemui Habib Rizieq di markas FPI
Petamburan Jakarta, namun tidak melakukan penangkapan
karena ketua FPI berjanji akan menyerahkan anggotanya yang
bertanggung jawab pada insiden Monas. Polisi sendiri sudah
mengidentifikasi lima anggota FPI yang diduga terlibat dalam
penyerangan di Lapangan Monas.
Insiden Monas dalam rangka memperingati hari lahir Pancasila terus menuai protes. Din Syamsuddin Ketua PP Muhammadiyah menyatakan, aksi tersebut merupakan kriminalitas nyata.
76 Ibid.,
84
7.
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
Ketua DPR Agung Laksono menilai, kekerasan tersebut tidak
bermoral. Sementara aksi menentang FPI terjadi di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Mojokerto, Malang, Jember dan
Surabaya, Jawa Timur oleh ratusan ormas seperti PMII, Banser,
Satgas, Garda Bangsa and GP Anshor yang umumnya merupakan partisan PKB Gus Dur. Saat itu, massa mengancam apabila
pemerintah tidak mengambil tindakan, mereka akan mengambil
tindakan sendiri.
Di Yogyakarta, sekelompok orang tidak bersenjata berjumlah
sekitar 100 orang dengan menggunakan sepeda motor menyerbu kantor FPI di Sleman pada 2 Juni 2008 dan merusak papan
nama FPI. Mereka langsung melarikan diri untuk menghindari
konflik saat anggota-anggota FPI keluar dengan membawa senjata tajam. Di Bali, Masyarakat Aliansi Penegak Pancasila menggelar aksi pengecaman terhadap tindakan FPI di depan Monumen Perjuangan Rakyat Bali.
Fenomena di atas menggambarkan aksi-aksi yang di lakukan
oleh FPI mencerminkan dari pemahaman mereka yang literal-formal terhadap ajaran Islam. Mereka memahami bahwa selain kelompok mereka di anggap musuh yang harus di perangi.
Dan cara-cara kekerasan dalam berdakwah merupakan aplikasi
dari penerapan ajaran Islam amar ma’ruf nahi mungkar yang harus di tegakkan di masyarakat.
D. Infiltrasi Islam Radikal di Tubuh Muhammadiyah
Azyumardi Azra berpandangan, radikalisme sebagai basis
gerakan Islam transnasional tidak terlalu berhasil sepanjang sejarah. Jika sejarah adalah cermin, maka cukup sah bagi orang
bersikap skeptis terhadap masa depan Islam radikal.77 Pandangan Azra di atas merupakan sebuah hipotesa, yang bisa benar
dan bisa juga salah, karena semua tergantung proses dan dinamika di masyarakat. Tetapi yang terpenting fakta saat ini menun77Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga Post Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), 123
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
85
jukkan Islam radikal mengalami perkembangan pesat, baik secara kuantitas (pengikutnya) maupun kualitas opini atau agenda
gerakan (ideologi) yang diperjuangkan.78
Ideologi gerakan Islam radikal dapat merembas ke berbagai
gerakan Islam dominan salah satunya terjadi di Muhammadiyah.
Seperti banyak diketahui bahwa ideologi Islam radikal memiliki
potensi muda menyebar dan merembas dengan halus dan samar tanpa diketahui secara pasti.79
Transformasi ideologi Islam radikal mulai terasa dan tumbuh
berkembang di Muhammadiyah. Peneliti menduga telah terjadi
gejala radikalisasi ideologi di tubuh Muhammadiyah.80 Gejala
tersebut disebabkan terjadi proses transformasi ideologi Islam
radikal ke Muhammadiyah. Transformasi tersebut berakibat
pada metode dakwah di kalangan aktivis Muhammadiyah yang
dikenal dengan cara-cara damai, santun dan toleran berubah
menjadi model dakwah yang radikal-eksterim.
Transformasi ideologi Islam radikal ke Muhammadiyah disebabkan banyak faktor. Pertama, lewat transformasi ideologi keagamaan yang sama. Ideologi Islam radikal adalah paham yang
menjadikan Islam sebagai landasan yang integral dan harus
diaktualisasikan secara formal dalam semua aspek kehidupan
manusia, semisal dalam bentuk suatu negara (Khilafah). Ideologi Islam radikal ingin kembali pada ajaran kelompok Salafussalih
baik dalam ideologi maupun prilaku dengan slogan yang terkenal
”ar ruju’ ila qur’an wa al-hadits”. Sehingga semangatnya adalah
pemurnian Islam (tanzih) yang ingin mengembalikan dan mem78 Seperti HTI dan FPI sampai saat ini kedua Ormas ini masih eksis dan terus melakukan propaganda dan aksi gerakan di
masyarakat. HTI dengan Buletin Islam-nya, FPI dengan aksi
massanya.
79 Masdar Hilmy, “ Geneologi dan Pengaruh Ideologi Jihadisme Negara Islam Iraq dan Suriah (NIIS) di Indonesia”, Jurnal
TEOSOFI, Volume 4, Nomor 2, Desember 2014, h. 422, dan
lihat Eric Koliq, “Radical Islam, Islamic Fervour and Political
Sentiments In Central Java Indonesia”, Eouropen Journal of
East Asian Studies, No. 4 Vol. 1 (2005), h. 55-86
80Asumsi penulis diperkuat dengan pendapat Miftachul Huda,
Ikhwanul Muhammadiyah, 9
86
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
bersihkan ajaran Islam dari percampuran tradisi masyarakat
(sinkretisme Islam) dan bid’ah ke ajaran pokok yaitu al-Qur’an
dan al-Hadits.
Ideologi pemurnian (puritansime) Muhammadiyah yang bertujuan memurnikan atau membersihakan ajaran Islam atau ibadah dari praktek-praktek Takhayul, Bid’ah dan Churafat (TBC) di
masyarakat.81 Ideologi puritanisme yang cenderung kaku/keras
terhadap tradisi lokal, karena dianggap banyak penyimpangan
dari ajaran Islam. Sementara ideologi Islam radikal kencenderungan ideologi keagamaanya juga puritan (anti tradisi lokal).
Kesamaan karakter ideologi tersebut memudahkan transformasi
ideologi Islam radikal masuk ke Muhammadiyah, karena seolah-olah tidak ada yang beda. Fauzan Saleh mensimpulkan antara gerakan Muhammadiyah dan gerakan Islam radikal dalam
satu simpul “Islam ortodoks”. Islam ortodoks adalah Islam yang
murni dan asli ketika Islam tersebut di lahirkan. Hal ini di tunjukan dengan mempertahankan doktrin yang murni asli jauh dari
penyimpangan atau bid’ah.82
Kedua, jaringan gerakan mahasiswa. Transformasi lewat jaringan ini paling mudah sebab sebagian besar anak-anak Muhammadiyah tersebar di seluruh perguruan tinggi di Indonesia
dan juga luar negeri. Ideologi dan model dakwah gerakan Islam radikal mudah menarik dan mempengaruhi para Mahasiswa
karena ideologi ini menawarkan hal-hal baru di mana jiwa muda
Mahasiswa penasaran dengan hal-hal baru dan ingin mencoba.
Di samping itu pembawa ideologi Islam radikal juga berasal
dari dunia yang sama (dunia kampus). Fakta adalah kelahiran
organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia).83 KAMMI merupakan metamorfosis dari ideologi Ikhwanul
81 Ibid., 10
82 Fauzan Saleh,
Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, (Jakarta: Serambi, 2004), 86
83Lihat, Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia, (Bandung:
Mizan, 2002). Lihat, Miftachul Huda, Ikhwanul Muhammadiyah, 6-7. Baca juga selengkapnya dalam Nafi’ Muthohirin, Fundamentalisme Islam: Gerakan dan Tipologi Pemikiran Aktivis
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
87
Muslimin dalam sektor kemahasiswaan dan berkaitan erat dengan gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, sebab kelahiran KAMMI tidak lepas dari para alumnus Timur Tengah yang dikirim DDII
(Dewan Dakwah Islam Indonesia). Dan anehnya kelahiran awal
KAMMI yang dibidani oleh Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus se-Indoensia ini malah di deklarasikan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), pada tanggal 25-29 Maret
1998, sehingga tidak jarang para aktivis Muhammadiyah yang
mendua ikut gerakan ini. Organisasi ini pada nantinya banyak
berasal dari aktivis Muhammadiyah yang sebelumnya sudah aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).84
Ketiga, lewat pengajian keagamaan. Transformasi pada ranah
ini sangat signifikan karena di kalangan aktivis Muhammadiyah
kurang berminat atau konsen di bidang ini sehingga kegiatan
pengajian rutin di level bawah (ranting dan cabang) kekurangan
stok aktivis Muhammadiyah. Sehingga dari sinilah para aktivis
Islam radikal masuk ke kelompok-kelompok pengajian warga
Muhammadiyah.
Keempat, kepemimpinan di amal usaha Muhammadiyah
(AUM) yang terlalu leluasa. Kelonggaran aturan main di AUM
yaitu lembaga pendidikan (Sekolah dan Perguruan Tinggi), lembaga kesehatan (PKU, Rumah Sakit), lembaga sosial (Panti
Asuhan), menjadikan para aktivis gerakan Islam radikal begitu
mudah masuk bahkan menjadi ketua dan di manfaatkan betul
untuk melakukan transformasi ideologi secara perlahan terhadap warga Muhammadiyah.
Kelima; transformasi jaringan politik. Dengan jargon sebagai
gerakan “politik da’wah” dan tampilan yang santun menjadikan
banyak aktivis Muhammadiyah baik secara sadar maupun tidak
terpengaruh dan masuk ke jarangan politik Islam radikal. Fenomena tersebut nampak pada kelahiran Partai Keadilan (PK) yang
kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berawal dari kelompok Ikhwanul-Tarbiyah, kemudian menjadi kon-
Dakwah Kampus (Jakarta: Indostrategi-MultiPresindo, 2014)
84Ibid.,10
88
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
traversial di kalangan Muhammadiyah.85 Sebab kedua organisasi (PKS dan Muhammadiyah) memiliki ideologi dan strategi
perjuangan yang hampir mirip yaitu berorientasi dakwah.86
Menurut Miftachul Huda ada dua faktor yang melandasi terjadi transformasi ideologi radikal di Muhammadiyah.87 Pertama,
strata sosial-ekonomi. Basis massa Muhammadiyah mayoritas
kelompok sosial-ekonomi menengah ke atas pada masyarakat
perkotaan, seperti pedagang, karyawan, guru, PNS, dosen dan
sebagainya. Strata sosial-ekonomi di atas nampak sama dengan basis massa kelompok Islam radikal. Hal itu terbukti konsentrasi basis massa gerakan Islam radikal adalah di perkotaan
dan dunia kampus yang identik dengan kelas menengah ke atas.
Kemiripan basis massa ini menjadi alasan aktifis-aktifis Muhammadiyah mudah tertarik masuk ke gerakan Islam radikal.
Kedua, pola pemahaman terhadap Islam (al-Qur’an dan
al-Hadits). Kelompok Islam radikal dalam pola pemahaman terhadap al-Qur’an-hadits cederung literal-tekstual sehingga lebih
tampak prilaku keislaman yang formalistik-fundamentilis. Pola
pemahaman ini juga terdapat di sebagain aktivis Muhammadiyah sehingga gerakan Islam radikal lebih muda masuk ke Muhammadiyah dari pada ke gerakan Islam tradisional (NU).88
85Kontroversi
Muhammadiyah-PKS dapat teramati dalam
karya Haedar Nashir, Manifestasi Gerakan Tarbiyah; Bagaimana Muhammadiyah Menyikapi, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2006)
86PKS selain sebuah Parpol untuk merebut kekuasan, PKS
juga sebagai ormas keagamaan mirip Muhamamdiyah dan NU,
sehingga karekter inilah yang sering mengakibatkan konflik
kepentingan dan ideology dikalangan para aktifisnya yang juga
aktif di Muhammadiyah atau NU, sebagian besar mereka lebih
memilih loyal pada PKS daripada Muhamadiyah atau NU. Lihat, Miftachul Huda, Ikhwanul Muhammadiyah, 23. Ali Said
Damanik, Fenomena Partai Keadilan, 5.
87 Miftahul Huda, Ikhwanul Muhammadiyah, 11-12.
88Ibid., 13
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
89
90
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
BAGIAN KEEMPAT
MELACAK PERGESERAN IDEOLOGI
MUHAMMADIYAH KE GERAKAN ISLAM
RADIKAL (FPI) DI PACIRAN LAMONGAN
A. Muhammadiyah Paciran: Menelusuri Akar SosioHistoris
Paciran masuk wilayah Kabupaten Lamongan, Propinsi Jawa
Timur. Terletak di sebelah Utara Kota Lamongan atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pesisir Utara (Pantura). Wilayah Paciran terbentang kawasan pantai sepanjang 47 KM yang kaya
akan sumber daya perikanan. Wilayah Paciran terdiri dari satu
Kelurahan dan 16 Desa dengan batas wilayah sebalah Utara
Laut Jawa, sebelah Timur Kecamatan Panceng Gresik, sebelah
Selatan Kecamatan Sulokuro, dan sebelah Barat Kecamatan
Brondong.
Saat ini, Daerah Paciran di jadikan pusat proyek pembangunan di Lamongan. Dahulu, Lamongan dikenal dengan daerah kawasan yang tandus dan sering terjadi banjir. Sehingga,
Lamongan termasuk masuk sebagai salah satu daerah di Jawa
Timur yang tergolong miskin dan terbelakang. Karena hal ini, sehingga lahir ungkapan satir, berbahasa Jawa lokal, yaitu sampai
ada guyonan jawa ”nek udhan gak iso dhodok nek panas gak
iso chewok” (Kalau hujan tidak bisa duduk (karena banjir), kalau
kemarau tidak bisa membersihkan BAB (karena tidak ada air/
kemarau).
91
Namun, Lamongan saat ini kini sudah berubah. Kawasan
ini termasuk daerah yang pembangunan dan perkembangan
ekonominya sangat maju di Jawa Timur. Perkembangan dan
pembangunan di Lamongan sebagian besar diarahkan ke daerah Pesisir (Paciran), semisal telah dibangun Lamongan Integrated Shorabase (LIS), pangkalan minyak terbesar kedua setalah
Batam yang melayani kebutuhan minyak di kawasan Indonesia
Timur, industri pariwisata Wisata Bahari Lamongan (WBL) sebuah kawasan wisata laut terbesar se-Jawa Timur, Pabrik Rokok,
pabrik sarden (pengalengan ikan) industri Resto dan Perhotelan
dan sebagainya.
Konsekwensi dari proses pembangunan daerah Pantura
Lamongan, secara tidak langsung berpengaruh terhadap tata
sosio-kultur masyarakat sekitar. Pergeseran tersebut, nampak
dari perubahan struktur sosial, yang awalnya mayoritas bekerja
sebagai nelayan berubah bekerja di sektor industrial. Fakta ini
tentu berdampak kepada semua tatanan sosial, agama, budaya,
ekonomi, politik masyarakat Pantura. Sebagaimana pandangan
Karl Marx, perkembangan idustrialisasi yang berpusat pada materi (modal produksi) akan sangat berdampak pada perubahan
sosial di masyarakat.
Imbas perkembangan industrialisasi menyasar pada perubahan tradisi keagamaan masyarakat di Pantura. Tradisi keagamaan Mmasyarakat Paciran dikenal dengan tradisi keagamaannya yang cenderung fanatik atau istilahnya ”tus” ada NU
“tus” dan Muhamamdiyah “tus”. Sehingga di daerah ini banyak
dijumpai Sekolah umum berbasis keagamaan dan Pesantren
yang santrinya berasal dari Jawa dan luar Jawa. Seperti Pesantren Muhammadiyah Karang Asem Paciran, Pesantren Modern
Muhammadiyah Paciran, Pesantren Sunan Drajat Paciran, Pesantren Tarbiyah at-Tholabah Paciran, Pesantren Mazra’atul
’Ulum Paciran, dan lainnya. Para ulama (Kyai) sebagai pemimpin informal yang sangat dihormati daripada pejabat pemerintah.
Solidaritas keagamaan yang kuat, sekarang cenderung mulai
pudar. Masyarakat Pantura lebih longgar dalam menyikapi perubahan prilaku keagamaan masyarakat. Semisal remaja putri
92
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
tidak pakai Jilbab dan pakaian seronok menjadi hal lumrah dan
orang tua atau tetangga juga tidak peduli (menegur) terkesan
apatis. Padahal, dahulu tidak memakai Jilbab merupakan hal
yang tabu di masyarakat Pantura sekitar. Dan masih banyak
contoh-contoh prilaku longgarnya tradisi keagamaan di masyarakat Pantura.
Masyarakat Pantura memiliki dinamika sosial yang tinggi.
Daerah ini merupakan salah satu jalur pusat awal penyebaran
Islam di tanah Jawa yang dipimpin oleh Sunan Drajat, tepatnya di Desa Drajat Kecamatan Paciran. Sehingga tidak heran
di wilayah ini Paciran mempunyai budaya Islami yang tinggi
dengan ikatan keagamaan sangat kuat. Hal itu tampak saat ini
dengan tumbuh-sumburnya organisasi-organisasi keagamaan
seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al Irsyad, dan FPI. Dari beberapa organisasi sosial-keagamaan yang ada, perkembangan
Muhammadiyah di daerah ini termasuk lebih cepat dan pesat
daripada daerah lain di Lamongan. Daerah Paciran termasuk
paling banyak warganya berpaham Muhammadiyah dibanding
daerah lainnya di Lamongan.
Sejarah awal gerakan Muhammadiyah masuk ke daerah Paciran berawal dari munculnya bibit-bibit paham Muhammadiyah di
kalangan orang-orang yang berdomisili di lingkungan Pesantren
Pesisir Utara Lamongan. Berawal dari sini, kemudian penyebarannya sampai di Kota Lamongan dan sekitarnya. Muhammadiyah mulai masuk di daerah Paciran sekitar tahun 1936 M yang
dikembangkan oleh H. Sa’dullah yang tepatnya di Desa Blimbing
Kecamatan Paciran. Beliau Sa’dullah dibantu juga oleh seorang
wanita Islam yang bernama Zainab atau lebih dikenal dengan
sebutan “Siti Lambah”. Mereka berdua yang banyak memperjuangkan Muhammadiyah di wilayah sekitarnya.
Aktivfitas H. Sa’dullah, tidak banyak informasi yang di dapatkan, kecuali bahwa beliau sangat komunikatif dalam dakwahnya
sehingga sangat mudah mempengaruhi orang di sekitarnya. Paham keagamaannya lebih dekat kepada Persis A. Hasan Bandung. Sebagian orang yang terpengaruh oleh dakwahnya datang
minta konfirmasi kepada Kyai Mas Mansur di Surabaya. SebaThe Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
93
gian di antaranya kemudian mengikuti paham Muhammadiyah.
Sebab pada saat itu Muhammadiyah di Surabaya sudah berdiri
pada tanggal 1 November 1921 dengan status Cabang diketuai
oleh KH. Mas Mansur dengan dibantu oleh K. Usman, H. Ashari
Rawi dan H. Ismail.
Tokoh lain yang mempunyai andil besar dalam penyebaran
bibit paham Muhammadiyah di Paciran Lamongan pada masa
kolonial Belanda adalah KH. Mohammad Amin Musthofa (19121949) atau yang lebih dikenal sebutan ”Kyai Amin”. Dalam usia
yang relatif di usianya yang masih muda 24 tahun, Kyai Amin
sudah mengasuh Pesantren di Desa Tunggul Kecamatan Paciran, pasca belajar di Pesantren Tebu Ireng Jombang, Termas
Pacitan, Ngelom Sepanjang Kediri dan Maskumambang Gresik.
Kyai Amin dilahirkan di Desa Tanggul Kecamatan Paciran,
pernah menjadi komandan Lasyakar Hizbullah dari Pantai Utara
Paciran. Ia ikut terjun ke medan pertempuran pada November
1945 di Surabaya. Pada masa Agresi Belanda II, Ia bersama
saudaranya tertangkap dan ditembak Belanda di Desa Dagan
Kecamatan Solokuro pada tahun 1949 dalam usia 37 tahun.
Namanya kini diabadikan menjadi salah satu nama jalan di Lamongan.
Metode pengajaran yang dilakukan Kyai Amin relatif sudah
progresif saat mengajarkan Kitab Kuning. Metode yang dikembangkan adalah tanya-jawab (diskusi) dengan para santrinya.
Mereka juga diajarkan menghafal al-Qur’an, Kyai Amin sendiri berhasil menghafal Al-Qur’an hanya dalam waktu tiga bulan.
Selanjutnya santri diberikan teknik berpidato untuk kepentingan
tabliqh.
Paham aqidah Kyai Amin tegas dan jelas dalam memerangi segela bentuk tradisi yang mengandung syirik dan khurafat.
Penyampaian dakwahnya melalui lisan dan tulisan. Ia menulis
kitab Aqidul Mardiyah dalam bahasa Arab dalam bentuk nazam, yakni syair yang dapat dilagukan secara khas dan mudah.
Dalam hal ubudiyah, Kyai Amin terkenal dengan pendiriannya
dengan mengajak kepada santri dan masyarakat di desa-desa
agar dalam beragama senantiasa merujuk kepada al-Qur’an dan
94
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
al-Hadits. Bahkan, dalam sholat Kyai Amin tidak mau memakai
sajadah yang bergambar. Dalam sholat Jum’at Kyai Amin tegas
hanya menggunakan satu kali adzan dan tidak suka masjid yang
dilengkapi bedhug dan kenthongan. Tradisi-tradisi tersebut sangat dikenal sebagai ciri khas tradisi sosial keagamaan Muhammadiyah.
Demikian kuat pengaruh Kyai Amin, sehingga santri dan kader
beliau banyak menjadi aktivfis dan tokoh Muhammadiyah. Seperti KH. Ahmad Khazim (putra dan santri) ketua PDM Bojonegoro (1970), KH. Mahbub Ihsan (santri) memegang PDM Tuban,
KH. Abdurrahman Syamsuri (santri dan menantu) memegang
PDM Lamongan (dua periode), KH. Abd. Kariem Zen (pendiri
dan penggerak Muhammadiyah Paciran).
Perkembangan Muhammadiyah, selanjutnya bergerak ke
wilayah tengah (Pangkatrejo Kecamatan Sekaran) dan ke wilayah
selatan (Kota Lamongan) melalui beberapa ulama yang saat itu
banyak yang aktif di Sarekat Islam (SI). Melalui ulama-ulama SI
gerakan pembaharuan Muhammadiyah lebih cepat dikenal, dimengerti dan di amalkan oleh masyarakat. Beberapa nama yang
bisa di catat di sini adalah KH. Sofyan Abdullah di desa Pangkatrejo Kecamatan Maduran dan H. Khozin Jalik di Kota Lamongan
yang saat itu mengajar di salah satu madrasah NU di Lamongan.
Ayahnya Kyai Ilham adalah ulama berpengaruh NU dan bekerja
sebagai penghulu di Kabupaten Lamongan.
Namun, dalam etape sejarahnya, Muhammadiyah di wilayah
tengah (Pangkatrejo) dan wilayah Selatan (Kota Lamongan)
mengalami degradasi generasi. Hal itu disebabkan para tokoh-tokohnya banyak yang masuk Partai Masyumi, sehingga aktifitas di Muhammadiyah terkadang sering terbengkalai bahkan
nyaris lenyap dari aktifitasnya. Situasi ini menjadikan kekuatan
sentral Muhammadiyah tertumpu di daerah Pantura. Karena
pada waktu itu tokoh-tokoh penggerak awal Muhammadiyah
masih konsisten (istiqomah) pada jalur pengembangan dakwah
Muhammadiyah adapun Partai Masyumi hanya di jadikan bagian
dari dinamika dakwah.
Pasca Partai Masyumi bubar para tokoh Muhammadiyah
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
95
yang aktif di Masyumi mulai kembali pada organisasi semula.
Sehingga timbul ”greget” untuk kembali memikirkan gerakan
Muhammadiyah yang lebih maju, terutama di wilayah Selatan
Lamongan. Kebangkitan Muhammadiyah mulai terasa, diantaranya ditandai dengan munculnya gagasan yang konstruktif
membentuk Majelis Hikmah (Ketua Muhammad Yasin). Tujuan
Majelis Hikmah sebagai wadah yang mampu menampung para
aktivis Muhammadiyah yang frustasi dari Masyumi dan sekaligus
sebagai wahana dakwah untuk melangsungkan gerakan dan cita-cita persyarikatan Muhammadiyah.
Perkembangan gerakan Muhammadiyah semakin pesat dan
kuat di Pantura. Sehingga, Muhammadiyah Pantura menjadi basis terkuat dan sekaligus sebagai parameter Muhammadiyah di
wilayah Lamongan dan Jawa Timur. Karena di wilayah ini masih
banyak tokoh-tokoh Muhammadiyah yang tinggal dan ada tiga
pesantren besar Muhammadiyah (Pesantren Muhammadiyah
Karang Asem,dan Pesantren Modern Muhammadiyah, dan Pesantren Al Islah).
Muhammadiyah Paciran lebih berkembangan di banding
daerah lain di Lamongan. Basis pergerakan Muhammadiyah di
Paciran terletak di Desa Blimbing. Sehingga, pada periode awal
daerah Blimbing dijadikan struktur organisasi tingkat pimpinan
cabang (selevel Kecamatan), bukan Paciran padahal kecamatannya adalah Paciran. Pada perkembangan selanjutnya,
ada perubahan organisasi bahwa pimpinan cabang harus sesuai
daerah adminstratif maka pimpinan cabang yang semula di desa
Blimbing berganti menjadi Pimpinan Cabang Paciran.1
Muhammadiyah di Pantura terkait erat dengan perkembangan
Muhammadiyah di Kota Lamongan. Pada periode R.H. Moeljadi,
Muhammadiyah Lamongan memisahkan diri dari pengawasan
Pimpinan Daerah Muhammadiyah Bojonegoro (perlu diketahui
bahwa cabang-cabang yang ada di Lamongan antara tahun
1957 sampai 1967 bernaung di bawah Daerah Muhammadiyah
Bojonegoro, sedangkan sebelum tahun itu ada juga yang ber-
1
96
Ibid., 23
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
naung dibawah Cabang Muhammadiyah Gresik.2
Muhammadiyah di Kabupaten Lamongan berdiri sebagai
Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Lamongan berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah nomor
C-076/D-13, tanggal 11 September 1967 yang membawahi 5
buah cabang, antara lain :
a. Cabang Lamongan, meliputi Wilayah Pembantu Bupati
Lamongan.
b. Cabang Babat, meliputi Wilayah Pembantu Bupati Ngimbang.
c. Cabang Pangkatrejo, meliputi wilayah Tuban, Pembantu
Bupati Sukodadi.
d. Cabang Blimbing (Paciran), meliputi Wilayah Pembantu
Bupati Paciran.
e. Cabang Jatisari (Glagah), meliputi Wilayah Pembantu Bupati Karangbinangun.3
Sejumlah cabang Muhamadiyah tersebut sebelumnya telah
mendapat pengesahan dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
antara lain: Cabang Lamongan nomor 1024 tanggal 11 Mei 1953,
Jatisari nomor 1481 tanggal 2 Mei 1961, Babat nomor 1552 tanggal 4 Februari 1962, Blimbing nomor 1796 tanggal 1 Februari
1964, dan Pangkatrejo nomor 1707 tanggal 27 Juli 1963. Kelima
cabang itulah pada masa berikutnya berhasil mengembangkan
Muhammadiyah di wilayah kerjanya masing-masing.4
Saat ini, perkembangan Muhammadiyah di Pantura sangat
pesat dan maju, bahkan dapat dikatakan sebagai basis terbesar pergerakan Muhammadiyah di Lamongan bahkan di Jawa
Timur. Indikatornya adalah jumlah AUM pendidikan, sosial, kesehatan, Pesantren terbesar di seluruh Indonesia. Data tersebut
diantaranya: Bidang kesehatan (BP Muhammadiyah Blimbing
Ibid., 24
Tim Penulis, Menembus Benteng Tradisi: Sejarah Muhammadiyah Jawa Timur 1921-2004, (Surabaya: Hikmah Press,
2005), 213.
4 Ibid, 215
2
3
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
97
Paciran dan PKU Muhammadiyah Karangasem Paciran). Amal
pendidikan terbanyak dan tersebar luas di Paciran yang tidak
mungkin di sebut semua, seperti tingkat Perguruan Tinggi (STIT
Muhammadiyah Paciran, STAI Muhammadiyah Paciran, STIKES
Muhammadiyah, STIEAD Muhammadiyah Lamongan).
Perkembangan Pesantren Muhammadiyah di wilayah Paciran
juga banyak dan terbesar di Jawa Timur, yaitu; Pesantren Karangasem Muhammadiyah Paciran dengan pengasuh KH Anwar Mu’rob, Pesantren Modern Muhammadiyah Paciran dengan
pengasuh KH. Abd. Karim Zen dan Pesantren Al-Ishlah dengan
pengasuh KH. Dawam Shaleh. Tiga Pesantren ini merupakan
wadah penggodokan para kader-kader Muhammadiyah dan
sekaligus sebagai pusat penyebaran dakwah Muhammadiyah di
Lamongan bahkan di Jawa Timur dan Indonesia. Alumni dari dua
pesantren ini tersebar di seluruh lampisan Muhammadiyah dan
banyak yang menjadi pengurus dan aktivis Muhammadiyah.5
Tokoh Muhammadiyah Paciran sebagian besar merupakan
tokoh Muhammadiyah di Lamongan, Muhammadiyah Jawa
Timur bahkan di tingkat Nasional. Tokoh-tokoh Muhammadiyah
Paciran dapat disebutkan seperti Prof. Syafiq Mughni (mantan
ketua PWM Jawa Timur dan PP Muhammadiyah), Najib Hamid
(Sekretaris PWM Jatim), Achmad Rofiq (mantan Ketua DPP
IMM), Prof. Fattah Wibisono (PP Muhammadiyah), KH. Affanan
Anshori (mantan Ketua PDM Lamongan), KH Abddurahman
Syamsuri (alm) (Pengasuh Pesantren Karang Asem dan mantan
Ketua PDM Lamongan 2 Periode), Ustadz Mubarok (Ketua PDM
Lamongan).
Muhammadiyah Paciran terdiri dari 1 Pimpinan Cabang dan
ada 21 Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM). PCM Paciran
(H. Yaslikan), PRM Banjarwati (Baqin), PRM Blimbing (H. Umar
Ali), PRM Dengok (Martekan), PRM Drajat, PRM Kandangsemangkon (Khoirul Anim), PRM Kemantren, PRM Kranji (Hasan
Nawawi), PRM Paciran (Drs.H.Abd.Fatah) PRM Sendang Agung
(Milkan), PRM Sendangduwur, PRM Sidodadi (H. Imron) PRM
5
98
PDM Lamongan, “Sejarah Muhammadiyah Lamongan”, 24
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
Sidokelar, PRM Sidokumpul (Armawi), PRM Sumuran (Ruslan),
PRM Sumurgayam, PRM Tepanas, PRM Tlogosadang, PRM
Tunggul (Drs.A. Mustofa), PRM Warulor (Suhaili), PRM Weru
(H. Abd. Halim).6
Pekerjaan warga Muhammadiyah Paciran sebagian
besar berprofesi sebagai Nelayan, Pedagang disektor kelautan
dan pendidik (PNS). Tingkat ekonomi warga Muhammadiyah rata-rata menengah ke atas, sebagian besar mereka menguasi
perdagangan sektor kelautan di wilayah Paciran dengan menjadi tengkulak (agen) dan pemilik perahu. Tingkat pendidikan
masyarkat sudah cukup tinggi rata-rata lulusan SLTA, Perguruan
Tinggi dan banyak lulusan pesantren (Pesantren Modern Muhammadiyah, Karangasem Muhammadiyah, Arrodlatul Ilmiyah
(YTP) Kertosono, al-Mukmin Ngruki-Solo dan sebagainya).
Struktur sosio-kultur tersebut menjadikan karakter warga
Muhammadiyah Paciran memiliki tradisi religius kuat, terbuka, keras, egaliter, dermawan. Sebagaimana dicirikan bahwa
karakter masyarakat pesisir adalah terbuka, keras dan egaliter.
Karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakterisik
masyarakat agraris atau petani. Dari segi penghasilan, petani
mempunyai pendapatan yang dapat dikontrol karena pola panen
yang terkontrol sehingga hasil pangan atau ternak yang mereka
miliki dapat di tentukan untuk mencapai hasil pendapatan mereka inginkan.
Berbeda dengan masyarakat Pantura yang pekerjaannya
mayoritas sebagai Nelayan. Nelayan menghadapi sumberdaya
alam yang bersifat open acces dan beresiko tinggi. Nelayan
bergelut dengan laut untuk mendapatkan penghasilan, maka
pendapatan yang mereka inginkan tidak bisa dikontrol.7
Karakteristik masyarakat pesisir dapat dilihat dari beberapa
aspek di antaranya aspek pengetahuan, kepercayaan (teologis), dan posisi sosial nelayan. Dilihat dari aspek pengetahuan,
Ibid,24
Ary Wahyono, Pemberdayaan Masyarakat Nelayan (Yogyakarta: Media Gresindo,2001),7
6
7
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
99
masyarakat pesisir mendapat pengetahuan dari warisan nenek
moyangnya, misalnya untuk melihat kalender dan penunjuk arah
maka mereka menggunakan rasi bintang. Aspek kepercayaan
(teologis), masyarakat pesisir masih menganggap bahwa laut
memiliki kekuatan magic sehingga mereka masih sering melakukan adat “Pesta Laut” atau “Sedekah Laut”. Namun, dewasa ini
sudah ada dari sebagian penduduk yang tidak percaya terhadap adat-adat seperti itu. Mereka melakukan ritual tersebut hanya untuk formalitas semata. Begitu juga dengan posisi sosial
nelayan pada umumnya tergolong dalam struktur sosial masyarakat berekonomi rendah.8
Masyarakat Pesisir memiliki karakter yang unik dibanding
dengan masyarakat Lamongan di kecamatan yang lain. Hal itu
dapat teramati oleh peneliti, seperti sikapnya cenderung lugas,
spontan, tutur kata yang digunakan menggunakan bahasa jawa
ngoko, keseniannya relatif kasar dalam arti tidak rumit, corak
keagamaannya cenderung Islam fanatik dan mobilitas sosialnya
cukup tinggi. Perilaku ekonomi masyarakat Pantura cenderung
boros, menyukai kemewahan dan suka pamer harta. Dalam
menghadapi atau menyelesaikan masalah cenderung tidak suka
berbelit-belit (lugas dan tegas). Relasi sikap sosialnya cenderung
egaliter dan lebih menghormati tokoh-tokoh informal seperti Kyai
daripada pejabat pemerintah.9
Karakter sosial-kultur masyarakat Pesisir berpengaruh kuat
terhadap karakter Muhammadiyah Pantura. Artinya karakter
individu sangat berpengaruh terhadap karakter kelompok (institusi) tempat individu menjadi anggota kelompok tersebut. Sebagaimana pandangan Karl Marx, bahwa ada hubungan dialektis antara aktor (Individu) dan struktur (Masyarakat) yang saling
mempengaruhi di antara keduanya.10
Karakter masyarakat Pantura yang keras, tegas, dan fanatik
8 Ibid, 34
9 Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LKiS, 2004), 12
10 George Ritzer, Teori Sosiologi ; Drai Sosiologi Klasik Sam-
pai Terakhir Post Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012),
78
100
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
dalam beragama secara tidak langsung memengaruhi corak keberagamaan Muhammadiyah di Pantura. Di antara yang mencolok adalah kecenderungan bercorak fanatis (puritan). Tipologi
di atas diperkuat dari hasil penelitian Munir Mulkhan yang memetakan varian keberagamaan warga Muhammadiyah ke dalam
empat varian, Muhammadiyah Kiai Ahmad Dahlan, Muhammadiyah Murni (ikhlas), Muhammadiyah-Marhen (Marmud), dan Muhammadiyah-NU (MuNU).11 Berdasar tipologi di atas karakter
Muhammadiyah Paciran lebih tepat pada varian Muhammadiyah-Murni (ikhlas). Varian ini orientasi keagamaan, intelektual
dan aksi sosialnya benar-benar mengikuti orientasi ideologi,
politik dan ritual keagaamaan Muhammadiyah. Atau meminjam
istilah Nur Syam di sebut dengan Muhammadiyah Tus.12
B. Gerakan FPI di Paciran: Akar Sosio-Historis
FPI di Paciran dideklarasikan pada 18 Muharram 1427 H/
Agustus 2008 di Paciran, Lamongan. Deklarasi ini dihadiri Ketua
Umum DPP FPI Habib Muhammad Rizieq Syihab. Kelahiran FPI
Paciran dibidani oleh Forum Ukhuwah Islamiyah Pantura Lamongan (FUIPL). Ketua Umum Dewan Pimpinan Wilayah (DPW)
FPI Lamongan adalah Ustadz Zainal Anshori.13
FUI Pantura Lamongan merupakan gabungan dari Remaja
Masjid (Remas) di Paciran (Remas Gowah, Remas Blimbing,
Remas Dengok, Remas Kandang Semangkon) dan Organisasi
sosial keagamaan di wilayah Pantura Lamongan, seperti Muhammadiyah, NU, KB, PII. FUI Pantura Lamongan dideklarasikan
11 Munir Mulkhan, Islam Murni pada Masyarakat Petani, 6
12 Nur Syam, Islam Pesisir, 240.
13 Ustadz Zainal Anshori merupakan ketua Dewan Pimpinan
Wilayah (DPW) FPI Lamongan yang bermarkas di Paciran.
Ustadz Anshory juga Kepala Sekolah MI Muhammadiyah
Blimbing, Pengurus Pemuda Muhammadiyah Paciran dan
PRM Weru Paciran. Lulusan UIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta
dan mantan aktivis PII (Pelajar Islam Indonesia). Dia ini yang
menggawangi FPI Paciran sampai sekarang dan tokoh sentral
FPI di Paciran.
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
101
sekitar tahun 2005. Berawal dari keprihatinan masyarakat Islam
di Pantura, Lamongan terhadap berbagai tragedi kemanusian
yang melanda umat Islam di belahan dunia Islam seperti, kekerasan terhadap Muslim di Gaza (Palestina) dan Mindanau (Filipina), serta perang di Afghanistan dan sebagainya.14
Para tokoh FUI Pantura merupakan pembesar organisasi di
antaranya Ustadz Asfandi Baja (KB PII), Ustadz Affan Anshori
(Muhammadiyah), Arif Wahyudi (NU) dan Zainal Anshori (Remas
dan Muhammadiyah) KH. Abdul Hakam Mubarok (Pengasuh Pesantren Muhammadiyah Karangasem Paciran), Ustadz Umar Aly
(Majelis Tarjih Muhammadiyah). Koordinator Forum Ukhuwah Islamiyah Pantura Lamongan (FUIPL) adalah Ustadz Asfandi Baja
(tokoh PII). Tokoh-tokoh ini yang kemudian hari membidani lahirnya FPI di Pantura.15
Embrio kelahiran FPI Paciran berasal dari FUI Pantura Lamongan. Dimulai sekitar tahun 2005 ketika dibentuknya FUI Pantura, dan secara resmi pada tahun 2008. Pasca itu, kemudian
lahirlah gagasan pembentukan FPI. Kelahiran FPI memiliki kemiripan dengan FUI Pantura Lamongan. Kelahiran FPI berawal
dari keresahan, keterpanggilan hati dan respons sejumlah aktivis Muhammadiyah terhadap kemungkaran sosial di masyarakat.
Melihat kondisi kemungkaran sosial, sebagian aktivis Muhammadiyah terdorong untuk bergerak memberantas kemungkaran
tersebut, kemudian dibentuklah FPI sebagai ijtihad gerakan untuk memberantas kemungkaran sosial.16
Faktor kelahiran FPI di Paciran memiliki latarbelakang yang
beragam. Secara garis besar ada dua faktor kelahiran FPI di
daerah ini, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal,
di antaranya: Pertama, aksi kemaksiatan yang berupa minuman
keras, perjudian, narkoba, dan perzinahan yang merajalela. Hal
itu disebabkan mulai jarang tokoh yang disegani atau dihormati. Kedua, aparat polisi sebagai pihak keamanan yang punya
wewenang untuk menertibkan kemaksiatan tersebut tidak te14 Zainal
15 ibid
16 ibid
102
Anshory, Wawancara, Paciran, 2 Juli 2010
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
gas dan cenderung membiarkan, bahkan menjadi backing bagi
orang-orang yang berbuat maksiat.
Ketiga, orang-orang yang berbuat maksiat semakin arogan
dan melecehkan para tokoh agama; Keempat, kondisi masyarakat yang berwatak keras dan sulit dinasehati, sehingga
dibutuhkan sikap berani dan tegas. Kelima, peran organisasi
keagamaan kurang tegas dalam merespons situasi ini, sehingga
tempat-tempat berbuat maksiat tumbuh subur.
Adapaun faktor internal, adalah kritik terhadap kondisi Muhammadiyah yang dianggap kurang peka terhadap kebutuhan
masyarakat, terutama dalam melawan kemaksiatan, Muhammadiyah terkesan tidak berani melawan kemaksiatan secara tegas. Formulasi ideologi amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi
pegagangan dakwah Muhammadiyah kurang jelas dan tegas
dalam merespon kemaksiatan.17
Tujuan dari gerakan FPI di Paciran secara garis besar adalah
turunan dari tujuan FPI secara nasional.18 Namun FPI Paciran
mempunyai beberapa target gerakan, di antaranya: Pertama,
penegakan Syari’at Islam di Paciran. Kedua, pembangunan lembaga pendidikan sebagai sarana perkaderan FPI. Adapun tujuan
utama adalah menjaga moral dan perilaku masyarakat dari maksiat sehingga target dari gerakan FPI pada konteks ini tergantung eskalasi di masyarakat, artinya apabila eskalasi kemaksiatan di masyarakat tinggi maka gerakan FPI akan merespons lebih
keras. Begitu sebaliknya apabila kemaksiatan sudah menurun
maka respons gerakan FPI juga menurun.19
Mayoritas tokoh FPI di Paciran adalah mantan dan aktivis Muhammadiyah setempat. Peran mereka sangat besar dan
signifikan terhadap awal kelahiran dan perkembangan FPI. Di
antara tokoh FPI yang juga aktivis Muhammadiyah, yaitu Ustadz
17 ibid
18 Tujuan
FPI adalah menyemarakan amar ma’ruf, menegakkan
nahi mungkar, menyempurnakan amar ma’ruf nahi mungkar,
Muhammad Rizieq Syihab, Dialog FPI: Amar Maruf Nahi
Mungkar, 13.
19 Zainal Ansory, wawancara, Paciran, 2 Juli 2010
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
103
Barok (pengasuh Pesantren Muhammadiyah Karangasem Paciran dan Ketua PDM Lamongan), Ustadz Umar Aly (Majelis
Tarjih PDM Lamongan), Ustadz Zainal Ansori (Ketum DPW FPI
Lamongan, Aktivis Pemuda Muhammadiyah Paciran dan Kepala Sekolah MI Muhammadiyah Blimbing Paciran), Umar Farouk
(Panglima LPI dan aktivis Pemuda Muhammadiyah Paciran).20
Basis struktur sosial aktivis FPI di Paciran dapat dipetakan ke
dalam dua kelompok yaitu kelompok elite dan kelompok awam,
lihat tabel di bawah ini:
Tabel 2 . Struktur Sosial Anggota FPI Paciran
Struktur Sosial
Aktivis FPI
Paciran
Akar Sosial
Kelompok Elite Kelompok agamis (lulusan
pesantren
dan Timur
Tengah), kelas
menengah
(mapan secara
ekonomi dan
sosial), pendikan tingggi
(sarjana) dan
pedagang,
dan pengajar
agama, pengurus dan aktivis
Muhammadiyah
Motivasi Gerakan
Posisi dan Wewenang
Keterpanggilan
hati menyaksikan
kemaksiatan
dan kerusakan
moral masyarakat
Paciran dan untuk
melakukan dakwah
amar ma’ruf nahi
munkar secara
tegas dna keras
yang tidak dilakukan
ormas keagamaan
yang ada termasuk
Muhammadiyah
Kelompok ini di
jadikan panutan,
pengarah, motivator
dan penentu
kebijakan organisasi
20 ibid
104
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
Kelompok
Awam
Kelas menengah bawah,
moyoritas
nelayan, pendidikan rendah
(SMP/SMA),
simpatisan/
anggota Muhammadiayahlingkungan
sosial beragam
tapi rata-rata
tidak agamis
(mantan pelaku
maksiat yang
sadar)
Mencari ketenagan
hidup dan
menumbuhkan
harapan atas
datanganya
kebahagian di hari
akhir (menambah
pengetahuan agama
Masyarakat tingkat
bawah, anggota
pengajian atau
majelis taklim,
anggota lasykar
yang digerakan
pada saat aksi
gerakan (swepping),
banyak dari
kalangan anggota
Perguruan Silat
Struktur sosial FPI di Paciran merupakan gabungan dari dua
kelompok masyarakat yang berbeda (elite dan awam). Fakta
ini berimplikasi pada pemahaman terhadap orientasi perjuangan FPI. Bagi kalangan elite FPI, mereka memahami bahwa
FPI merupakan alat dakwah untuk melawan kemunkaran sosial
sehingga dalam berdakwah ada tahapan dakwah tidak sembarangan (pokoknya keras). Kelompok ini dalam berdakwah didasarkan pada pemahaman teks dan konteks ajaran Islam yang
mumpuni.21
Sementara bagi kalangan awam dalam memahami FPI merupakan tempat pelampiasan karakter keras yang membutuhkan
legitimasi agama biar dapat dibenarkan, walaupun ada sebagian mereka memahami FPI sebagai wadah untuk menambah
ilmu agama. Kelompok ini terwadahi dalam Laskar Pembela
Islam (LPI) yang sering dijadikan operator dakwah di lapangan
(sweeping) yang terkenal keras dan kasar.22
Aktivis dan simpatisan FPI Paciran struktur sosialnya beragam, yaitu; Pertama, berasal dari alumni pondok pesantren di
Jawa Timur, yaitu Pesantren Roudlatul Ilmiyah (YTP) Kertosono,
21 ibid
22ibid
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
105
Nganjuk,23 dan Pesantren Muhammadiyah Karangasem Paciran. Kedua, ada juga dari Almuni Timur Tengah; Ketiga mantan ahli maksiat (preman) yang di sadarkan oleh dakwah aktivis
FPI. Keempat, alumni PII dan IMM. Jumlah anggota kader dan
simpatisan FPI di Paciran Lamongan + 300 orang.24 FPI di Paciran mengembangkan strategi dakwah dalam tiga bentuk. Pertama; pembinaan kader secara rutin, kedua; lewat pengajian atau
tabliqh akbar dan ketiga; aksi sweeping melawan kemunkaran
sosial. Media strategi dakwah yang digunakan oleh FPI adalah
lewat informasi dari mulut ke mulut, surat edaran, pamflet dan
himbaun.25
Strategi pertama, pembinaan kader (aktivis) FPI di Paciran
Lamongan secara rutin melalui tiga model: 1) pembinaan mental, lewat media pengajian rutin di mushola dan masjid milik
Muhammadiyah. Pengajian dilakukan setiap Kamis dan Sabtu
malam di Mushola Hidayatul Istiqomah, Desa Gowah, Blimbing
dengan materi Kitab Majmu’ Attauhid karya Syekh Muhammad
bin Abdul Wahhab, Sabtu malam Kitab Fiqih Bulughul Marram
danKitab Tafsir Imam As-Sa’idi. Sedangkan pada Jumat malam
di Masjid Al Mafu’am, DesaKandang Semangkon dengan materi
isu-isu Islam aktual. 2) pembinaan fisik melalui latihan di Perguruan Pencak Silat walaupun secara organisasi tidak resmi tetapi
mayoritas anggota FPI merupakan anggota Pecak Silat.26
Strategi kedua, adalah mengadakan pengajian atau tabliqh
akbar. Strategi ini bertujuan untuk melakukan syiar (sosialisasi keberadaan FPI) ke masyarakat dan penambahan wawasan
keislaman bagi masyarakat umum. Tabliqh akbar biasa men23 Pesantren
Arroudlatul Ilmiyah Kertosono Nganjuk atau yang
terkenal dengan sebutan Pondok YTP secara formal struktural
memang bukan berkaitan langsung dengan Muhammadiyah,
tetapi ajaran dan para pengasuhnya sebagaian besar adalah aktifis dan tokoh Muhammadiyah, semisal KH. Ali Hamdi Muda’im (alm) (mantan Ketua PD Muhammadiyah Nganjuk), KH.
Ali Manshur Kastam (Tokoh Muhammadiyah Nganjuk), dan
penulis merupakan salah satu alumni dari Pesantren YTP tamat
MTs Tahun 1997.
24 Zainal Anshori, Wawancara, Paciran 3 Juli 2010
25 ibid
26 Ibid
106
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
gundang tokoh umat Islam yang terkenal berideologi keras (radikal) dari kalangan salafi. Selama ini, FPI Paciran sudah tiga
kali mengadakan tabliqh akbar; dua kali di lapangan Jompong
dengan penceramah Ustadz Habib Rizieq Shihab (Ketua Umum
FPI) dan satu kali di lapangan Gowah penceramah ustadz H.
Alawi Makmum (tokoh salafi) dan pernah juga Ustadz Abu Bakar
Basyier (tokoh Islam garis keras).27
Strategi ketiga, aksi sweeping terhadap kemunkaran sosial di
masyarakat. Strategi ini biasa dilakukan oleh Laskar Pembela
Islam (LPI).28 Aksi sweeping FPI berdasarakan kebutuhan dan
fenomena kemaksiatan yang terjadi di masyarakat. Aksi sweeping didasarkan dari respons ketidaktegasan aparat polisi yang
mempunyai wewenang untuk memberantas kemaksiatan, namun menjadi backing kemunkaran. Aksi sweeping merupakan
jalan terakhir dari strategi dakwah FPI setelah mekanisme dakwah amar ma’ruf (dinasehati, di tegur dengan cara baik) tidak
direspons oleh pelaku maksiat29, hal ini di dasarkan pada hadits
Nabi Muhammad:
Dari Abu Sa’id Al-Khudri RA dia berkata: Aku mendengar Nabi
MuhammadSAW bersabda:
“Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran
hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu,
maka dengan lisannya; jika ia masih tidak mampu, maka dengan
hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim).30
FPI selama ini dicitrakan sebagai gerakan “dakwah” yang
keras, kasar dan cenderung arogan. Imaji tersebut, menurut
ustadz Anshori, merupakan permainan media yang tidak suka
terhadap gerakan Islam. Padahal, di FPI gerakan dakwahnya
27 Ibid
28 LPI (Lasykar Pembela Islam) adalah sayap para militer di FPI
yang bertugas melakukan sweeping anti kemaksiatan di lapangan dengan Panglima Lasykar Umar Farouk.
29Zainal Anshori, Wawancara, Paciran 3 Juli 2010
30Imam An-Nawawi, Syarah Arbai’n An Nawawi, (Hadits Web,
http://opi.11omb.com)/ Adib Bisri Musthofa , Tarjamah Shahih
Muslim (Semarang: As-syifa’, 1992)
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
107
tidak hanya sweeping tetapi ada juga pengajian dan bakti sosial, namun kegiatan ini tidak pernah diliput. Pemberitaan itu memang disengaja agar tercipta opini di masyarakat bahwa Islam
itu anti-kemanusiaan dan kasar.31
Tradisi keagamaan FPI Paciran berbeda dengan mayoritas FPI di Indonesia yang cenderung sama dengan tradisi sosial-keagamaan salafi. Tradisi keagamaan FPI Paciran sama
persis dengan karakter tradisi keagamaan Muhammadiyah, semisal aktivis FPI Paciran menghormati Habib sewajarnya tidak
mau mengkultuskannya.32 Karakter tersebut wajar disebabkan
mayoritas aktivisnya juga aktif di Muhammadiyah yang memiliki
paham pada hakikatnya manusia itu sama dan tidak ada yang
suci (ma’shum).
FPI Paciran mempunyai peran signifikan dan dibutuhkan dalam pemberantasan kemunkaran sosial di wilayah Paciran dan
sekitarnya. Fenomena itu disebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat keamanan untuk memberantas kemaksiatan, karena aparat dianggap ikut menjadi pendukung kemaksiatan. Di masyarakat, aparat keamanan dikesankan bertindak
jika ada uangnya, sehingga masyarakat lebih suka mengadu ke
FPI daripada ke polisi.
Selama ini, dakwah FPI di Paciran banyak memberikan perubahan sosial di masyarakat. Semisal, geng kampung hilang,
orang mabuk di jalan-jalan jarang, bandar narkoba hilang, pedakwah bebas dari ancaman orang-orang mabuk, buruh pabrik
di Kandang Semangkon yang sebelumnya sulit melakasanakan
Jum’atan sekarang bisa menunaikan, limbah pabrik ikan naget
yang selama ini tanpa ada kompensasi pencemaran sekarang
masyarakat dapat kompensasi.33
Struktur organisasi FPI Paciran merupakan turunan dari struktur FPI Pusat. Struktur organisasi FPI Paciran Lamongan masuk
pada tingkat Daerah di sebut Dewan Pimpinan Wilayah (DPW)
31 Zainal
32 ibid
33ibid
108
Anshory, Wawancara, Paciran, 2 Juli 2010
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
FPI Lamongan terdiri dari Majelis Syura Front Pembela Islam,
Badan Pengurus Front Pembala Islam dan Lasyakar Pembela
Islam (LPI). Majelis Syura FPI di Ketua oleh KH. Umar Aly Abdullah Sekretaris ustadz Mujud MZ. Badan Pengurus FPI di Ketuai
oleh Ustadz Zainal Anshory Sekretaris H. Arief Wahyudi. Lasyakar Pembela Islam (LPI) di Komandan Panglima Lasykar Umar
Faruq. Pada Munas I FPI tahun 2008 struktur baru FPI dan LPI
di pisah LPI sebagai ortom FPI. Sekretariat DPW FPI Paciran
Lamongan di Jl. Kauman 6 Blimbing Paciran Lamongan.34
C. Transisi Ideologi Muhammadiyah: Konstruk Sosio-ideologis
Proses transisi ideologi di kalangan aktivis Muhammadiyah tidak dapat di pastikan waktu terjadinya. Tetapi yang jelas proses
tersebut melalui tranformasi yang lama serta lewat saluran dan
media yang beragam. Proses transisi ideologi tersebut dipengaruhi tidak hanya satu faktor tetapi banyak faktor yang saling
berkaitan. Faktor tersebut dapat dipetakan pada dua aspek yaitu
aspek sosiologis dan aspek ideologis.
Aspek sosiologis dipengaruhi dari kondisi eksternal di kalangan aktivis Muhammadiyah yang resah melihat keadaan sosio-kultur masyarakat Paciran yang semakin jauh dari nilai-nilai
ajaran Islam. Fakta sosiologis dapat diamati sebagai berikut:
Pertama, Tradisi kemaksiatan semakin merajalela, orang sudah tidak malu lagi melakukan kemaksiatan (pacaran, minum-minuman keras, pesta ganja, perzinahan), padahal sebelumnya
masyarakat Paciran Pantura di kenal sebagai masyarakat religius yang kuat dan taat.35 Kondisi ini di perparah dengan sikap
34SK Struktur Kepengurusan DPW FPI Lamongan Tanpa Periode
35Di Paciran Pesantren tumbuh berkembang banyak sekali baik
dari kalangan NU misalnya (Pondok Sunan Drajat, Ponpes
Tarbiyah At Thulab, Pondok Mazr’atul Ulum dan sebaginya),
kalangan Muhammadiyah (Pesentren Karangasem Muhammadiyah, Pesantren Modern Muhammadiyah), lihat Ma’in Abd
Sumaji, Mengembalikan Gerakan, 56.
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
109
aparat (Polisi) yang seharusnya bertugas membrantas kejahatan
malah menjadi bagian dari proses kemaksiatan dengan menjadi pendukung. Kondisi ini menjadikan krisis kepercayaan terhadap aparat negara, sehingga prilaku kemaksiatan di masyarakat
semakin tidak terkendali karena tidak ada yang di takuti. Oleh
penulis hal ini digambarkan seolah telah terjadi kemufakatan untuk melakukan kemunkaran yang sistematis di wilayah tersebut.
Melihat kemunkaran sosial tersebut, sebagian aktivis Muhamamdiyah yang memiliki tradisi keagamaan kuat, merasa resah
dan ingin bergerak melakukan perlawanan terhadap situasi kemungkaran sosial. Sementara gerakan Islam (NU-Muhammadiyah) yang sudah ada di Paciran juga tidak merespon secara
langsung, sehingga terkesan membiarkan tradisi kemaksiatan
tersebut.
Pada saat kegagapan gerakan Islam yang ada tidak merespon secara jelas dan tegas terhadap kondisi sosial tersebut
maka munculah gerakan FPI di sambut dengan hangat bahkan
di dukung pada awal pendeklarasian FPI di Paciran Lamongan.
Gerakan FPI yang mempunyai konsen pada gerakan pemberantasan kemaksiatan seolah menjadi jawaban akan keresahan-keresahan tersebut. Berawal dari proses sosial inilah proses
transisi ideologi masuk dan merembas di kalangan aktivis Muhammadiyah.
Kedua, pergeseran sosio-kultur masyarakat Pantura dari kultur tradisional (nelayan) bergeser ke kultur industrial. Proses
tersebut hingga saat ini sedang berjalan. Pembangunan infrastruktur dan investasi perekonomian di Kabupaten Lamongan
sebagian besar di letakan di daerah Pantura (Paciran), seperti
industri pariwisata (Wisata Bahari Lamongan/WBL), Maharani
Zoo Goa, industri perhotelan dan restoran (Lamongan Resort
Beach), industri pangkalan minyak Lamongan Integrated Shorebase (LIS). Pembangunan ini kemudian membawa ekses peregeseran sosio-kultur di masyarakat Pantura, terutama terhadap
pergeseran tradisi keagamaan.
Pergeseran tradisi keagamaan tersebut tampak terlihat pada
memudarnya ikatan solidaritas keagamaan masyarakat Pantu110
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
ra yang dulunya sangat kuat dan kuatnya kepedulian terhadap
sesama. Kemudian bergeser pada karakter yang individualistik,
orientasi hidup yang kapitalistik dan lemahnya ikatan solidaritas
keagamaan. Perubahan tersebut berdampak pada sikap yang
apatis terhadap persoalan kemaksiatan, slogan yang berkembangan adalah ”yang penting bukan saya yang melakukan”.
Prinsip dan prilaku tersebut menjadikan proses kemaksiatan semakin masif dan dianggap hal wajar.
Namun, ada juga dampak positif dari proses industrialisasi di
wilayah yaitu, mulai terbukanya akses jaringan informasi (internet, TV nirkabel, dll), sehingga masyarakat Pantura mulai terbiasa dan terbuka ”melak” informasi. Konsukwensi dari keterbukaan
akses informasi adalah bebasnya masyarakat mendapatkan dan
mencari informasi tentang apa saja termasuk informasi gerakan-gerakan Islam yang lain selain NU-Muhammadiyah.
Begitu juga arus transformasi informasi ideologi dari luar negeri (termasuk ideologi-ideologi gerakan Islam baru dari Timur
Tengah) juga tidak dapat terhindari masuk ke daerah Paciran.
Berbagai ideologi Islam baru (teramsuk FPI) memberikan nuansa gerakan keagamaan baru di kalangan masyarakat Paciran.
Sehingga kajian-kajian ideologi gerakan Islam baru (FPI) di Paciran semakin tumbuh karena ada semacam kejenuhan terhadap
gerakan-gerakan Islam yang sudah ada sebelumnya (Muhammadiyah-NU). Berawal dari proses transformasi informasi dan
kajian-kajian (halaqah) ini penyebaran ideologi gerakan FPI masuk dan merembas di kalangan aktivis Muhammadiyah.
Ketiga, karakter masyarakat Pantura (Paciran) yang keras
bertemu dengan ideologi gerakan FPI yang keras-radikal. Masyarakat pesisir pekerjaannya sebagian besar adalah di laut sebagai Nelayan. Nelayan menghadapi sumber daya alam yang
bersifat open acces dan beresiko tinggi, sehingga pendapatan
nelayan tidak bisa dikontrol penuh ketidak pastian. Hal tersebut
menyebabkan masyarakat pesisir Nelayan memiliki karakter
yang tegas, keras, terbuka.36 Hal ini berbeda dengan karakter
36Nur
Syam, Islam Pesisir, 241.
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
111
masyarakat agraris atau petani yang cenderung lebih kalem dan
tertutup.
Karaketer di atas tersalurkan dalam wadah sosial geng anak
muda, di antaranya adalah geng Kreator, Riben, Exodus dan sebagainya. Keanggotaan geng sebagian besar adalah anak-anak
muda Muhammadiyah. Aktifitas kelompok lebih kepada melakukan kemaksiatan dan mengganggu ketentraman masyarakat,
seperti berkelahi antar geng pada saat ada acara di Wisata Bahari Lamongan (WBL) atau di sekitar Pantura, minum-minuman
keras, pesta ganja dan sebagainya.37
Karakter keras yang lain adalah bertemunya anak-anak muda
di perguruan pencak silat di Paciran. Anggota latihan pencak silat mayoritas adalah anak muda dan sebagian juga aktivis Muhammadiyah yang juga ikut FPI. Karakter pencak silat ini terkenal dengan model latihan yang keras, sehingga sedikit banyak
berpengaruh para anggotanya cenderung berkarakter keras.38
Konstruk sosial yang keras tersebut bertemu dengan paham
keagamaan yang menawarkan ideologi radikal-keras (FPI). Pertemuan karakter itulah yang menjadikan proses transformasi
ideologi FPI di kalangan aktivis Muda Muhammadiyah menemukan momentum yang tepat. Imege keras yang terbangun di
masyarakat menemukan saluran yang lebih agamis lewat FPI.
Maksudnya aksi-aksi kekerasan yang di lakukan minimal ada
landasan ajaran Islam dan mendapatkan legitimasi agama lewat
menjadi aktivis FPI, sehingga Ideologi FPI cocok dengan kultur
Pesisir.39
Aspek ideologis lebih dipengaruhi dari kritik kondisi internal
di Muhammadiyah. Sebagian aktivis Muhammadiyah resah dan
37 Yoyon
Suudi, Wawancara, Paciran, 3 Agustus 2010, Yoyon
adalaah salah satu aktifis FPI (Wakil Komandan LPI FPI Paciran)
38Yayang, Wawancara, Paciran, 3 Agustus 2010, (Yayangadalah salah satu seorang guru Pencak Silat dan juga aktifis Muda
Muhammadiyah di Paciran)
39Hal itu terbukti perkembangan dan basis masa terbesar FPI di
Lamongan di daerah pesisir Paciran dan tidak berkembang di
luar daerah Paciran.
112
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
jenuh melihat gerakan Muhammadiyah di anggap gagap dan
kurang peka terhadap kemungkaran sosial di wilayah sekitar
Pantura. Ideologi amar ma’ruf nahi mungkar di anggap masih
sebatas retorika belum di wujudkan secara total. Sehingga,
Muhammadiyah di anggap tidak mempunyai formulasi gerakan
yang jelas dalam merespon kemaksiatan dan sikap yang tegas
terhadap kemungkaran sosial yang terjadi di masyarakat, bahkan cenderung membiarkan. Muhammadiyah seakan hanya
sibuk dan puas mengurusi dakwah AUM (Sekolah, RSM, BMT,
Panti, Pesantren) saja.40
Aktifis Muhammadiyah di FPI menganggap ideologi Muhammadiyah (amar ma’ruf nahi mungkar) baru teraplikasi pada ideologi amar ma’ruf (mengajak kebaikan) dengan terwujudnya
gerakan amal sholeh yang kemudian menjadi Amala Usaha Muhammadiyah (AUM). AUM tersebut terdiri dari amal pendidikan
(Sekolah dan Perguruan Tinggi), amal kesehatan (Rumah Sakit),
amal sosial (Panti Asuhan), amal ekonomi (Bank Persyarikatan,
BMT). Sementara ideologi nahi mungkar seakan terlupakan dan
tidak memiliki formulasi yang jelas dan tegas, sehingga terkesan
gerakan Muhammadiyah tidak responsif dan gagap terhadapi
persoalan kemaksiatan di masyarakat.41
Kegagapan dan ketidak jelasan formulasi dari aktualisasi ideologi nahi mungkar dalam merespon aksi kemaksiatan menjadikan sebagian aktivis Muhammadiyah mencari formulasi sendiri
di luar ideologi Muhammadiyah. Situasi ini kemudian menjadikan ideologi FPI yang mengusung ideologi amar ma’ruf nahi
mungkar dengan startegi dakwah anti kemaksiatan dengan mudah masuk dan merembas di kalangan aktivis Muhammadiyah
di Paciran. Proses tersebut menjadikan aktivis Muhammadiyah
meresa lebih nyaman aktif di gerakan FPI daripada di Muhammadiyah.42
40Khanif, Wawancara Paciran, 3 Agustus 2010. (Khanif merupakan mantan aktifis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
(IMM) yang juga pernah aktif di FPI)
41 Khanif, Wawancara Paciran, 3 Agustus 2010
42 Burhan, wawancara, Paciran, 3 Juli 2010. (Burhan adalah
Ketua Pemuda Muhammadiyah Dengok Paciran dan pernah
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
113
D. Bentuk Transisi Ideologi Muhammadiyah-FPI
Pada awalnya, hubungan FPI dengan Muhammadiyah di
Paciran berjalan harmonis. Keduanya saling menghormati dan
menghargai dengan strategi dakwah masing-masing. Keduanya berjalan bersinergi dan saling mendukung dalam pemberantasan kemunkaran sosial di tengah masyarakat, terutama di
wilayah Pantura. Kerukunan ini terjadi karena ide pembentukan
FPI dipahami oleh aktivis Muhammadiyah merupakan alat untuk
meminimalisir perilaku maksiat. Apalagi, saat itu Muhammadiyah
setempat belum memiliki formulasi yang jelas dan tegas seperti
strategi yang dimiliki FPI.43
Selain itu, keharmonisan keduanya disebabkan mayoritas
penggerak dan perintis awal kelahiran FPI di Paciran adalah
aktivis Muhammadiyah. Sehingga tidak ada konflik kepentingan
karena sama-sama seide dalam memahami keberadaan FPI.
Sehingga pada awal keberdaan FPI di Paciran sangat membantu gerakan dakwah Muhammadiyah di Paciran.
Namun di kemudian hari,hubungan keduanya mengalami disharmoni. Hal itu disebabkan terjadi pergeseran oreintasi pada
gerakan FPI. Aksi-aksi FPI semakin eksterim, dan menjauh dari
cara-cara kultural Muhammadiyah yang selama ini dilakukan.44
Gesekan tersebut menyebabkan polarisasi pandangan aktivis
Muhammadiyah terhadap FPI di Paciran dan juga sebaliknya.
Polarisasi tersebut memunculkan bentuk transisi ideologi Muhammadiyah dengan FPI. Bentuk transisi ideologi yang dapat
teramati oleh peneliti adalah sebagai berikut; Pertama, aktivis
Muhammadiyah yang aktif di FPI melihat Muhammadiyah terbagi ke dalam dua bentuk, yaitu positif-akomodatif melihat Muhammadiyah dan negatif-disintegratif melihat Muhammadiyah.
Kedua, aktivis Muhammadiyah tidak ikut FPI melihat FPI terbagi
ke dalam dua bentuk, yaitu reaksioner-posistif melihat FPI dan
reaksioner-negatif melihat FPI.
jadi simpatisan FPI
43Ibid
44Ibid
114
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
Sementara itu, aktivis Muhammadiyah yang aktif di FPI melihat Muhammadiyah:
1. Sikap positif-akomodatif, kelompok ini cenderung ”menduakan” Muhammadiyah. Maksudnya mereka secara ideologi dan organisasi masih aktif di Muhammadiyah, tetapi
juga aktif (bahkan menjadi pengurus) di FPI. Kelompok
ini berpandangan bahwa keberdaan FPI dan Muhammadiyah merupakan; a) Pelengkap gerakan Muhammadiyah
terutama dalam mengaplikasikan ideologi nahi munkar
yang dinilai kurang jelas dan tegas selama ini, b) FPI tidak
ingin merusak citra Muhammadiyah, maksudnya selama
ini dakwah Muhammadiyah terkenal dengan cara-cara
santun, maka yang cara keras biar menggunakan nama
FPI; c) Ideolog FPI dan Muhammadiyah terdapat kesamaan dan perbedaan, persamaannya adalah sama-sama
mengusung ideologi amar ma’ruf nahimunkar. Adapun
perbedaannya adalah terletak pada strategi dakwah dilapangan. Dakwa Muhammadiyah dikenal lebih santun
(hikmah), sementara FPI cenderung anarkis. FPI lahir
tidak mereduksi dan menjelek-jelekkan Muhammadiyah,
tetapi masing-masimg memiliki jalan dakwahnya sendiri.45
.
Argumentasi kelompok ini memahami bahwa gerakan FPI
yang cenderung menggunakan strategi dakwah secara
keras merupakan reaksi dari aksi kemaksiatan yang merajalela di masyarakat Paciran. Artinya, semakin banyak
aksi kemaksiatan dan sulit diperingatkan, maka FPI akan
meresponnya semakin keras. Sikap ini merupakan pemahaman dari makna dakwah amar ma’ruf nahi munkar.
Mereka memahami gerakan FPI merupakan ”jihad baru”.
Kemunculan FPI dipahami sebagai alternatif gerakan di
saat NU dan Muhamamdiyah kurang begitu serius dan
memperhatikan masalah kemaksiatan.46
2. Sikap negatif-disintegratif merupakan kelompok yang berpandangan negatif terhadap ideologi dan pola dakwah
45Khanif,
46Khanif,
Wawancara, Paciran 3 Juli 2010
Wawancara, Paciran 3 Juli 2010
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
115
Muhammadiyah. Mereka tidak puas dan jenuh melihat
gerakan Muhammadiyah yang dianggap tidak peka terhadap kemaksiatan. Secara organisasi dan ideologi, mereka
tegas memisahkan diri dari gerakan Muhammadiyah dan
pindah ke gerakan FPI.47
.
Mereka memandang ideologi Muhamamdiyah tidak relevan lagi dalam menyikapi persoalan masyarakat terutama
masalah kemaksiatan. Mereka mengkritik Muhammadiyah, padahal sebelumnya mereka adalah bagian dari Muhammadiyah. Pandangan mereka terhadap ideologi dan
strategi dakwah Muhammadiyah dianggap tidak jelas dan
tegas dalam memberantas kemaksiatan. Muhammadiyah
dianggap terlalu akomodatif dengan pemerintah dan terkesan tidak peduli terhadap aksi kemaksiatan. Padahal
pemerintah dianggap bagian dari penyokong kemaksiatan.48
.
Mereka menganggap konsep amar ma’ruf nahi munkar di
Muhammadiyah hanya separuh, tidak utuh. Konsep amar
ma’ruf dan nahi munkar harus dipisah. Amar ma’ruf adalah mengajak kepada kebaikan dan berbuat baik, sedangkan nahi munkar melarang secara tegas terhadap aksi
kemaksiatan. Sementara di Muhammadiyah bentuknya
belum jelas dan tegas.Padahal,ketika dahulu melawan
Takhayul, Bid’ah, Churafat (TBC), gerakan Muhammadiyah terlihat tegas dan berani.
.
Kedua, aktivis Muhammadiyah yang tidak ikut FPI memandang gerakan FPI. Ditemukan dua varian sikap pemahaman; 1) Pandangan reaksioner-positif, adalah pandangan
sebagian besar dari kalangan intelektual. Mereka dapat
memilih dan memilah aktivitas gerakan FPI, tidak mengeneralisir semua aksi kekerasan FPI murni kesalahan
dan arogansi FPI. Mereka memahami bahwa kemunkaran
sosial di wilayah Paciran sudah memprihatinkan sehingga butuh gerakan seperti yang dilakukan FPI, meskitidak
47 Zainal
48Ibid
116
Anshori, Wawancara, Paciran 3 Juli 2010
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
semuanya disepakati. 2) Pandangan reaksioner-negatif,
sebagian besar dari kelompok ini adalah kalangan masyarakat awam yang cenderung negatif melihat gerakan
yang dilakukan oleh FPI. Mereka beranggapan bahwa
FPI itu arogan, keras, tidak kasihan, dan merusak citra
Muhammadiyah.49
.
E. Jalur Transisi Ideologi Muhammadiyah Ke FPI
Jalur transisi ideologi Muhammadiyah ke gerakan FPI di Paciran Lamongan tersebar luas dari berbagai jalur (variatif). Melalui
jalur-jalur ini proses penyebaran ideologi FPI masuk di kalangan
aktivfis Muhammadiyah. Adapun paparan di bawah ini hanya sebagian jalur yang dapat teramati oleh penelit.
Pertama, lewat jalur pengajian, majelis ta’lim (halaqa) dan tabliqh akbar. Jalur ini paling effektif, sebab lewat jalur ini indoktrinasi dan infiltrasi ideologi FPI masuk lebih mudah dan halus
tidak dirasakan oleh masuk ke pikiran para aktivfis Muhammadiyah. Dampak dari proses ini berakibat pada terjadinya perubahan kerangka berfikir (paradigma) yang berbeda dengan Muhammadiyah.
Kedua, lewat jalur olah raga pencak silat. Lewat Jalur ini
sangat masif dan effektif dalam hal penggalangan massa. Sebab, kebanyakan kader dan simpatisan FPI merupakan anggota
yang ikut latihan pecak silat. Adapun tradisi di pencak silat tersebut, posisi pelatih sangat disegani dan dihormati bahkan ditakuti. Sehingga terkadang setiap perintah dan perilaku para pelatih
mesti diikuti. Dan posisinya pas, Ketua FPI, ustadz Anshori dan
panglima LPI Umar Farouk adalah pelatih pencak silat. Sehingga para anggota latihan pencak silat banyak yang terlibat dan
49 Anggapan
merusak citra Muhammadiyah disebabkan orang
awam tahunya aktifis FPI itu ya orang-orang Muhammadiyah
padahal Muhammadiyah selama ini dikenal santun dan lembut dalam berdakwah, Burhan, wawancara, Paciran, 4 Agustus
2010
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
117
simpatisan gerakan ustadz Anshori di FPI. Para anggota pencak silat inilah yang sebagian besar di jadikan menjadi Lasykar
Pembela Islam (LPI) yang bertugas melakukan aksi sweeping di
lapangan.
Ketiga, jalur jaringan alumni pesantren Ar-Roudaltul Ilmiyah (YTP) Kertosono, Nganjuk. Jalur ini juga effektif di sebabkan, karena ketua FPI ustadz Anshori adalah alumni Pesantren
Ar-Roudaltul Ilmiyah (YTP). Sementara di daerah Paciran, banyak aktivfis Muhammadiyah dan FPI adalah alumni pesantren
Ar-Roudaltul Ilmiyah (YTP). Sehingga ada semacam ikatan emosional di antara mereka untuk saling membantu atau mendukung
antar sesama alumni.
Keempat, jalur Keluarga Besar (KB) Pelajar Islam Indonesia
(PII). Jalur ini juga effektif di sebabkan karena Ketua FPI ustadz
Anshori adalah alumni Pelajar Islam Indonesia (PII). Sementara
di daerah Paciran banyak aktivfis Muhammadiyah yang ikut FPI
adalah alumni Pelajar Islam Indonesia (PII), sehingga ada semacam ikatan emosional organisasi di antara mereka untuk saling
membantu atau mendukung antara sesama alumni termasuk di
gerakan FPI.
Adapun Media yang digunakan dalam proses transisi
(pergeseran) ideologi di kalangan aktivfis Muhammadiyah adalah beragam. Media yang teramati oleh penulis di antaranya: a)
Mmedia pamflet, brosur, selebaran, surat himbuan yang berisi
tentang informasi kegiatan dakwah FPI, opini dan sikap politik
terhadap aksi-aksi kemaksiatan. b) Mmedia majalah dan buletin
merupakan media informasi yang di kirim dari FPI Pusat berisi informasi kegiatan FPI secara nasional, penyebaran dan indoktrinasi ideologi FPI, c) media buku-buku yang berisi tentang
ideologi ahlu sunnah wal jama’ah versi FPI. Tulisan tokoh-tokoh
salafi seperti buku Dialog FPI: Amar Maruf Nahi Mungkar ditulis
oleh Habib Rizieq.
d) Media Sweeping, merupakan media yang paling dikenal
dan seolah sudah menjadi brand image andalan bagi FPI. Artinya ”FPI ya Sweeping”. Aksi sweeping menjadi media yang paling
disukai oleh FPI di Paciran, karena kebanyakan dari simpatisan
118
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
FPI adalah anak-anak muda yang sebagian besar anggota latihan pencak silat yang terkenal keras. Jadi dengan ikut aksi
sweeping mungkin bisa dijadikan menjadi dalih pembenar bahwa aksi kekarasan yang dilakukan adalah merupakan dalam
rangka membela ajaran agama.
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
119
120
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
BAGIAN KELIMA
BENTURAN IDEOLOGI: SEBUAH
IMPLIKASI TRANSISI IDEOLOGI
DI MUHAMMADIYAH
A. Sekilas Tentang Ideologi dan Relasi Kuasa
Istilah ideologi di kalangan pemikir sosial dan filsafat dimaknai secara beragam dan berkembang sesuai dengan konteks
sosio-kultur masyarakat dan para pemikirnya. Ideologi berasal
dari kata Yunani idein artinya melihat dan logia artinya kata, ajaran. Pertama istilah ini diperkenalkan oleh A. Destult de Tracy
(+1836) untuk menyebutkan suatu cabang filsafat yaitu, “science
des idees” sebagai ilmu yang mendasari ilmu-ilmu lain.1
Penggunaan istilah ideologi tidak sesederhana dalam pengertian tersebut. Mengikuti konseptualisasi ideologi John B.
Thompson, ideologi sering digunakan dalam dua cara; Pertama,
ideologi digunakan dalam konsep yang netral. Pada konsep ini,
ideologi hanya diartikan sekedar sebagai sistem berfikir, sistem
kepercayaan yang berhubungan dengan tindakan sosial-politik.
Kedua, memahami ideologi secara kritis. Pada konsep ini, ideologi selalu dikaitkan dengan praktik relasi kekuasaan yang asimetris dan beriklim dominasi kelas.2
1 John Thompson, Kritik Ideologi Global: Teori Sosial Kritis Tentang Relasi Ideologi
dan Komuniksai Massa (terj), penerjemah Haqqul Yaqin (Yogyakarta: IRCIsod, 2003),
51.
2 John Thompson, Analisa Ideologi: Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia (terj), pen-
121
Pengertian ideologi terus berkembang. Ideologi dapat dimaknai dalam dua arti; Pertama, arti peoratif sebagai teorisasi atau
spekulasi dogmatik dan khayalan kosong yeng tidak betul atau
tidak realistis, atau bahkan palsu dan menutup-nutupi realitas
yang sesungguhnya. Kedua, arti melioratif sebagai sistem gagasan yang mempelajari satuan keyakinan dan perkara ideal filosofis, ekonomis, politik, agama dan sosial.3
Pengertian ideologi paling tidak mempunyai tiga maksud; 1)
Sebagai “Weltanschauung” atau “science of ideas”, yaitu pengetahuan yang mengandung pemikiran dan cita-cita besar mengenai sejarah, manusia, masyarakat dan negara; 2) Sebagai
pemikiran yang tidak memperhatikan kebenaran internal dan
kenyataan empiris yang ditujukan dan tumbuh berdasarkan
pertimbangan kepentingan; 3) Sebagai belief, sistem nilai dan
karenanya berbeda dengan ilmu filsafat ataupun theologi yang
secara formal merupakan knowladge sistem ilmu pengetahuan.4
Hafidh Shaleh berpandangan bahwa ideologi adalah sebuah
pemikiran yang mempunyai ide berupa konsep rasional (aqidah
aqliyah), yang meliputi akidah dan solusi atas seluruh problem
kehidupan manusia. Ideologi harus mempunyai metode untuk
mengaktualisasikan ide dan solusi, mempertahankan, serta
menyebarkannya ke seluruh dunia. Sementara Taqiyuddin AnNabhani memaknai ideologi adalah suatu aqidah aqliyah yang
melahirkan peraturan. Yang di maksud aqidah adalah pemikiran
yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan hidup,
serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan,
di samping hubungannya dengan Dzat yang ada sebelum dan
sesudah alam kehidupan di dunia ini. Ideologi adalah suatu ide
dasar yang menyeluruh mengenai alam semesta, manusia dan
hidup mencakup dua bagian yaitu fikrah dan thariqah.5
erjemah Haqqul Yaqin (Yogyakarta: IRCIsod, 2003), 17.
3 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), 306-307.
4 M. Djadijono, Pembangunan Ideologi selama Orde Baru; Problem dan Prospeknya,
Majalah Analisa No.9 Th. 1985, 750.
5 Hafid Saleh, ”Ideologi dalam http://id.wikipedia .org/wiki/ideologi//.note (29 Oktober
2010). Taqiyuddin An-Nabhani, Ideologi dalam http://id.wikipedia.org/wiki/ideologi//.
note (29 Oktober 2010)
122
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
Secara umum, menurut J. Riberu, ideologi mengandung berbagai unsur utama, di antaranya: a) Ada pandangan komperhensif tentang manusia, dunia dan alam semesta; b) Ada rencana
penataan kehidupan sosial-politik berdasarkan paham-paham
tertentu; c) Ada kesadaran dan pencanangan bahwa realisasi
rencana membawa perjuangan dan pergumulan yang menuntut
perubahan, d) ada usaha mengarahkan masyarakat untuk menerima secara yakin perangkat paham serta rencana kerja.6
Ideologi menuntut loyalitas dan keterlibatan dari pengikutnya.
Sebagaimana pandangan Graham C. Kinioch bahwa ideologi
merupakan landasan yang muncul dari pandangan dunia yang
digunakan oleh sekelompok orang untuk menjustifikasi tindakan
mereka.7 Dengan demikian ketika kelompok radikal Islam menghubungkan prilakunya pada pandagan hidup (agama) yang
ditegakkan sebagai ideologi, maka tindakan kekerasan memungkinkan akan muda di pahami pihak lain. Karena prilaku kekerasan yang di lakukan adalah cerminan dari ideologinya.
Menurut Umi Sumbulah sebuah pandangan agama yang dijadikan ideologi, ia akan memiliki dua karakteristik: a) Ideologi
diformulasi dan ditaati oleh penganutnya untuk mencapai tujuan
tertentu; b) Ideologi digunakan oleh pengikutnya untuk mencapai politik.8 Dalam konteks ini, penggunaan ideologi dilakukan
sebagai pendorong perebutan dominasi pengaruh sosio-ideologis antar organisasi sosial keagamaan (Muhammadiyah-FPI).
Ideologi sebagai sistem simbol memiliki korelasi kuat dengan
tindakan sosial.9 Sebab kerja ideologi mengikuti alur rasionalitas,
artinya di mana makna/ide akan mempengaruhi konsepsi atau
tindakan individu atau kelompok yang membentuk dunia sosial.
Sehingga ide radikalisme yang diusung oleh gerakan Islam radikal (FPI) akan sangat mempengaruhi terhadap tindakan dakwah
6 J.Riberu dkk, Menguak Mistos–mitos Pembangunan: Telaah Etis dan Kritis (Jakarta:
Gramedia. 1986), 5.
7 Graham C. Kinioch, Ideologi and the social Science (t.tp: Greenwoon Press, 1981),
78
8 Umi Sumbulah, “Agama, Kekerasan dan Perlawanan Ideologis”, Jurnal Islamica,
Vol.1, Nomor 1, September 2006, 1
9 John B. Thompson, Analisa Ideologi: Kritik Wacana, 127-128
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
123
yang ditampilkan di masyarakat.
Ideologi mempunyai karakteristik intoleran terhadap cara-cara
berfikir atau epistimologi berfikir yang lain. Artinya ideologi mempunyai standarisasi kebenaran yang dianggap paling benar daripada ideologi kelompok lain. Anggapan paling benar ini sering
di jadikan landasan untuk menyalahkan, mengkafirkan bahkan
terkadang menghalalkan cara kekerasan terhadap kelompok
yang berbeda ideologi. Dengan demikian definisi tentang sesuatu tidak didasarkan pada pandangan umum tetapi berdasarkan kepentingan ideologinya sendiri.
Sebagaimana gagasan Karl Marx, konsep ideologi tidak pernah dipisahkan dari kritik dominasi. Bahkan dengan ideologi
yang di bangun suatu kelompok masyarakat atau sosial-keagamaan (Muhammadiyah-FPI) tertentu bisa melakukan kritik dan
memberikan reaksi terhadap fenomena ketidakadilan berbasis
kelas. Ketidakadilan bisa pada tataran ekonomi maupun politik.
Perebutan dominasi berbasis ideologi akan menjadi berbeda
dengan gerakan perlawanan berbasis kelas yang mendasarkan perlawanannya pada suprerstruktur Weber berupa tatanan
politik dan ekonomi maupun substruktur ala Marx. Perlawanan
kelas akan berhenti jika tatanan ekonomi dan politik sudah di
dapatkan. Adapun gerakan berbasis ideologi, mereka akan terus mengelaborasi sisi-sisi ideologis dari apa yang mereka yakini sebagai sebuah kebenaran yang harus secera berkelanjutan
diperjuangkan.
Raymond William mengklasifikasikan ideologi dalam tiga
ranah: 1) sebuah sistem kepercayaan yang di miliki oleh kelompok atau kelas tertentu. Definisi ini dipakai dalam ilmu psikologi
yang melihat ideologi sebagai seperangkat sikap yang di bentuk
dan di organisasikan dalam benak yang koheren (prinsip, relasi,
aturan, konsep). Walaupun di maknai sebagai sikap sesorang,
ideologi disini tidak di pahami sebagai sesuatu yang ada dalam
diri individu, melainkan di terima dari masyarakat. Kedua, seperti
dengan pendapat Marx dan Eagles mendefinisikan ideologi sebagai sistem kepercayaan yang di buat ide palsu atau kesadaran
palsu yang bisa di pertentangkan dengan pengetahuan ilmiah.
124
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang
dibuat dan kesadaran palsu di mana kelompok yang berkuasa
atau dominan menggunakanya untuk mendominasi keolmpok
lain yang tidak dominan. Ketiga proses umum produksi makna
dan ide. Ideologi di gunakan untuk menggambarkan produksi
makna.10
Pembangunan ideologi melalui sebuah proses dan dealektika
yang panjang, tidak hadir atau terbangun begitu saja. Menurut
Louis Althusser, ideologi di bentuk karena faktor historisitas. Ideologi sebagai gejala pemikiran di bentuk sebagai respon terhadap perkembangan sejarah. Ia di rumuskan dan di kembangkan
tidak dalam ruang hampa. Proses ini berlaku juga pada ajaran
keagamaan yang nantinya mengalami obyektivikasi dalam bentuk ideologi.11
Ideologi dimanfaatkan berbagai kepentingan oleh masyarakat
baik di gunakan secara positif maupun negatif. Secara umum
perkembangan ideologi saat ini masih dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx dalam melihat ideologi. Pandangan Marx
bahwa ideologi ditentukan oleh pola hubungan produksi material. Ideologi bagi Marx tak lain adalah sebuah kesadaran palsu.
Sebuah kesadaran yang mengacu pada nilai-nilai moral tinggi
dengan sekaligus menutup kenyataan bahwa di belakang nilai
luhur kepentingan-kepentingan egois kelas-kelas penguasa.12
Ideologi dikonsepkan dengan dominasi, kekuasaan, penipuan,
mistifikasi, pembodohan, dan konflik politik.
Istilah ideologi digunakan Marx untuk menyerang dan
menyingkap distorsi, ilusi dan inversi yang membentuk idealisme filosofis tradisi Hegelian German. Dengan mendasarkan
diri pada metode materialisme historis, Marx mengkritik para
ideolog German bahwa pikiran-pikiran mereka teralienasi dari
kehidupan. Marx berpendirian, bahwa kapitalisme telah melahirkan pemahaman/pengetahuan yang tidak mencerminkan re10 Syamsul Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial, 43.
11 Ibid., 45.
12 Zainuddin Maliki, Narasi Agung: Tiga Teoris Sosial Hegemonik (Surabaya: LPAM,
2004), 163
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
125
alitas sebenarnya (false knowledge) yaitu realitas pertentangan
kelas antara kaum borjuis dan proletar dalam masyarakat industrial-kapitalistik. Pengetahuan yang tidak mencerminkan realitas
atau kesadaran yang teralenasi dari praksis inilah yang di sebut
dengan ideologi.13
Ideologi merupakan representasi yang keliru tentang
manusia dan dunia, karena menganggap situasi yang ada sebagai natural, ahistoris, dan memistifikasi suatu tatanan sosial.
Berkaitan dengan masyarakat, ideologi adalah bagian dari superstruktur yang melayani kekuatan substruktur ekonomi. Ideologi melegitimasi relasi sosial dan ekonomi sekaligus senjata
kelas berkuasa untuk mendominasi kelas bawah.14
Pandangan klasik tentang ideologi ini kini menuai kritik tajam.
Pandangan klasik tentang ideologi telah mengaburkan fakta,
bahwa ideologi sebenarnya beroperasi dalam ranah kehidupan
sehari-hari, bahkan lebih dominan dalam suatu tatanan sosial
tertentu. Bahkan ideologi sebagai praktek kebudayaan relatif memiliki otonominya sendiri dan tidak bisa direduksi begitu
saja oleh kekuatan-kekuatan produksi dan kelompok ekonomi.
Salah satu pemikir yang meneruskan dan sekaligus mengkritik
pemikiran Karl Marx tentang ideologi adalah Michel Foucault
seorang pemikir Post-stukturalis.15
Foucault mengkritik ideologi Marx yang cenderung deterministik-positifistik bahwa proses perubahan ideologi selalu berawal
dari tahapan runtut dari kesadaran ideologi satu dan berakhir
pada kesadaran ideologi yang lain. Proses perubahan tersebut
di awali dari kesadaran ideologi primitif kemudian menuju kes13 Ken Budha Kusumandaru, Karl Marx, Revolusi, 8.
14 Ibid., 9
15 Foucault adalah pemikir poststrukturalis. Lahir di Pointiers, Perancis, tahun 1926.
Menyelesaikan studi di Ecole Normanle Superiore tahun 1946, lalu memperdalam filsafat hingga meraih lisensi thun 1948. Ia juga meraih lisensi bidang psikologi juga diploma dalam psikopatologi. Ia pernah bergabung dengan Partai Komunis Perancis hingga
1951. Karya-karyanya adalah Maladie mentale et personnalitte (penyakit mental dan
kepribadian) terbit thun 1954, Histoire De la Folie (Sejarah Kegilaan), The Birth of Clinic, Archeology of Knowledge, Disciplines and Punish serta The History of Sexuality. Ia
meninggal tahun 1984 dalam usia 57 karena penyakit AIDS. Biografi ini diambil Lydia
Alix Fillingham, Foucault untuk Pemula, (Yogyakarta: 2001)
126
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
adaran ideologi kapitalisme dan berakhir pada kesadaran ideologi sosialisme sebagai akhir proses sejarah (masyarakat sosialis).16 Adapun untuk menuju tahapan-tahapan tersebut harus
melalui pertentangan kelas antara kelompok penguasa dan yang
dikuasai melalui segala macam cara bahkan perang.
Untuk menggambarkan alur ideologi Marx sebagai berikut:
Konsepsi ini dikritik oleh Foucault bahwa proses perubahan
ideologi sebenarnya tidak harus melalui jalan kekerasan dan lewat politik ansich (pertentangan kelas antara penguasa dan proletariat) namun proses perubahan ideologi dapat melalui jalan
damai yaitu lewat kuasa pengetahuan. Foucault mampu menjelaskan proses perubahan kesadaran ideologi secara luas dan
tidak deterministik-postifistik. Menurut Foucault proses perubahan ideologi di masyarakat dapat melalui beragam relasi kuasa
yang mengitari ideologi dan yang paling mempengaruhi ideologi
adalah relasi kuasa pengetahuan (wacana).17
Foucault dalam diskusrus ideologi lebih sering menggunakan
16 Zainuddin Maliki, Narasi Agun, 158-159
17 Michel Foucault, Power/Knowledge (ed. By Colin Gordon), Pantheon, New York,
1980)
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
127
istilah wacana (pengetahuan) atau epistema.18 Pengetahuan
dalam bahasa Inggris adalah Knowledge: Persepsi yang jelas
tentang apa yang dipandang sebagai fakta kebenaran atau kewajiban informasi atau pelajaran yang disimpan. Hal-hal yang
disimpan dalam kesadaran seperti kepercayaan, ide-ide, bangunan konsep, pernyataan, pendapat untuk dijustifikasi dengan
cara tertentu dan dengan demikian dianggap benar.19
Secara konseptual istilah epistema adalah sistem. Dalam satu
periode sejarah hanya terdapat satu epistema. Epistema di sini
bisa juga di pahami sebagai korelasi epistemologis yang ada di
antara berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berkembang
pada masa dan kurun tertentu. Kaitannya dengan empat abad
terakhir sejarah pemikiran Eropa, Foucault membaginya ke dalam tiga macam epistema yaitu: epistema Abad Tengah, epistema Klasik dan epistema Modern. Setiap penggalan (rupture)
dari epistema tesebut memiliki sistem pemikiran tersendiri yang
berbeda satu sama lain, minamal dalam konsep dan metode. Di
sinilah lapangan arkeologi pengetahuan; ia bertugas mengungkap unsur-unsur terdalam dan tersembunyi. Epistema merupakan kumpulan relasi yang menghubungkan antara praktik-praktik lisan dengan pengetahuan dalam berbagai bentuknya pada
periode sejarah tertentu. Epistema, adalah sitem tersembunyi di
balik pengetahuan yang dominan pada masa tertentu.20
Sistem tersembunyi ini di anggap sebagai pemersatu dalam
realitasnya yang paling dalam pada peradaban dan periode tertentu. Epistema adalah prasyarat munculnya pengetahuan dan
teori, jadi ia adalah latar tersembunyi di belakang pengetahuan;
epistema adalah struktur dasar yang berada diluar sejarah. Ringkasnya ia adalah struktur pengetahuan global, dengan cirinya
yang holistik. Ia dianggap sebagai jaringan dasar hukum-hukum
yang mengatur pengetahuan, metode, pemahaman, dan metode
18 “Michel
Foucault Nabi dan Sejarahwan Masa Kini”, dalam
Konrad Kebung, Rasionalisasi dan Penemuan Ide-ide (Jakarta:
Prestasi Pustaka, 2008), 161
19 Kamus Filsafat, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995), 2.
20 Konrad Kebung, Rasionalisasi, 161
128
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
analisa.21
Adapun kuasa oleh Foucault tidak di artikan “kepemilikan”.
Kuasa menurut Foucault tidak di miliki tetapi dipraktekkan dalam
suatu ruang lingkup tertentu di mana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain.22 Kuasa selalu berbanding lurus dengan pengetahuan dan pengetahuan selalu bersinggungan dengan wacana (diskursus) sehingga antara wacana
(diskursus) dan kekuasaan selalu dalam relasional. Kekuasaan
dalam konteks ini adalah kekuasaan yang dipahami sebagai
seperangkat sistem-sistem regulasi, aturan dan menormalisasi
kehidupan masyarakat. Kekuasaan di sini tidak bisa di lepaskan dari konstruk kebenaran yang menjadi basis dari keabsahan
pengetahuan. Kekuasaan selalu teraktulasikan melalui pengetahuan dan pengetahuan selalu punya efek kuasa.23
Konsep Foucault ini membawa konskuensi bahwa kekuasaan di butuhkan dalam produksi pengetahuan yang kemudian
melandasi kekuasaan. Karena setiap kekuasaan disusun dan dimapankan oleh pengetahuan dan wacanatertentu. Oleh karena
itu dalam menentukan kebenaran bagi Foucault tidak dipahami
sebagai sesuatu yang datang begitu saja (konsep yang abstrak).
Kebenaran menurut Foucault diproduksi oleh setiap kekuasaan,
sebab kekuasaan menghasilkan pengetahuan. Kekuasaan dan
pengetahuan secara langsung saling mempengaruhi, tidak ada
hubungan kekuasaan tanpa ada konstitusi korelatif dari bidang
pengetahuannya”.24
Foucault ingin mengungkapkan bagaimana orang-orang mengatur atau meregulasi diri mereka sendiri dan orang lain dengan
menciptakan klaim kebenaran (sebuah pembakuan atau pemutlakan benar-salah, baik-buruk, indah-jelek) dapat dibuat teratur,
tetap, dan stabil. Oleh karena itu, Foucault meyakini bahwa kuasa tidak bekerja melalui represi, tetapi melalui normalisasi dan
21 Ibid, 162
22Rahyono,
Teori sosial dan Politik (Surakarta: UMS Press,
1998),78.
23 Ibid., 67.
24 Michel Foucault, Discipline and Punish (Harmondsworth:
Penguin, 1979)
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
129
regulasi.25 Kuasa tidak bekerja secara negatif dan represif tetapi
melainkan dengan cara positif dan produktif. Kekuasaan dalam
pandangan Foucault disalurkan melalui hubungan sosial dengan
memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi perilaku seperti baik
dan buruk sebagai bentuk pengendalian perilaku. Jadi khalayak
ditundukkan dengan wacana dan mekanisme berupa prosedur,
aturan, tata cara, dan sebagainya. Bukan dengan cara kontrol
yang bersifat langsung dan fisik.
Kekuasaan dalam hubungannya dengan wacana penting untuk melihat apa yang disebut kontrol. Kontrol tidak selalu bersifat fisik tetapi bisa juga mental atau psikis. Misalnya kelompok
dominan membuat kelompok yang lain bertindak sesuai dengan
yang diinginkannya karena kelompok dominan ini memiliki akses
di banding kelompok yang tidak dominan. Hal ini karena teks,
percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau
pencerminan dari ideologi tertentu. Dalam pandangan semacam
ini wacana dipahami mengandung ideologi untuk mendominasi
dan berebut pengaruh. Oleh karena itu, analisis wacana tidak
bisa menempatkan bahasa secara tertutup, tetapi harus melihat
konteks, terutama bagaimana ideologi dari kelompok-kelompok
yang ada berperan dalam membentuk wacana.26
Menurut Foucault, ideologi (wacana) beserta institusi penopangnya pada dirinya sendiri tidaklah memuat kategori benar
atau salah. Karena, setiap masyarakat dan setiap zaman memiliki bentuk-bentuk ideologi (wacana) sendiri yang di dalamnya
kebenaran-kebenaran itu dibangun. Kebenaran adalah capaian sistem-sistem pengetahuan yang menguasai tatanan sosial
yang berisi teknik-teknik, prosedur-prosedur nilai, tipe-tipe wacana, dan teknologi yang dikembangkan. Masalah “kebenaran
ideologi” selalu terkait dengan relasi kekuasaan dalam ranah
sosial dan politik. “Kebenaran tidak di luar kekuasaan”.27
25 Konrad Kebung, Rasionalisasi dan Penemuan Ide-ide (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008), 162-163
26 Eriyanto, Analisa Wacana (Yogyakarta: LKiS, 2001), 65
27 Foucoult, The History of Sexualiy, hl. 131-133 di kutip dari E.
Doyle McCarthy, Knowledge as Culture, (Routledge London &
New York, 1996), 37.
130
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
Bagaimana kekuasaan dan kebenaran (ideologi) itu berhubungan satu sama lain. Menurut Foucault, kedua ada di dalam praktek-praktek diskursif, tempat di mana ucapan, tindakan,
aturan-aturan yang diterapkan dan alasan-alasan yang di berikan bertemu dan saling berhubungan serta benar dan salah di
tentukan di dalamnya. Foucault menunjukkan bahwa kekuasaan
tersebar dalam relasi sosial melalui proses diskursif.28
Ideologi memiliki eksistensi material yakni aparatus-aparatus dan praktek-prakteknya, sehingga di dalamnya ideologi
bisa hidup. Dalam aparatus dan praktek-praktek inilah ideologi
diyakini dan dihayati oleh semua kelompok dan terus mereproduksi kondisi-kondisi dan hubungan tatanan masyarakat yang
sudah ada. Ideologi agar dapat diterima, diyakini dan dihayati
oleh semua kelompok maka harus di materialkan. Ideologi hidup
dalam praktek-praktek kelompok kecil dalam citraan dan obyek
yang digunakan dan ditunjuk masyarakat dan dalam organisasi-organisasi.29
Ideologi, menurut Althusser, eksis dalam dan melalui lembaga-kembaga ini. Aparatus adalah eksistensi material ideologi.
Ideologi membentuk individu-individu konkrit menjadi subyek.
Dalam aparatus-aparatus, ideologi disosialisasikan dan diinterpelasi dalam diri subyek. Interpelasi subyek ini lalu membentuk
realitas nampak pada kita sebagai ‘benar’ dan ‘jelas’. Fungsi ideologi lainnya ialah menghubungkan masyarakat satu sama lain
dengan suatu dunia dan terutama diri mereka sendiri, ideologi
memberikan identitas tertentu.30
Ideologi hidup dan bergerak karena itu manusia selalu hidup
28 Ibid, 39.
29Ibid, 38.
30Althusser
adalah pemikir strukturalis kelahiran Algiers Perancis pada 1918. Bergabung dengan Partai Komunis tahun
1948. Karyanya yang berpengaruh adalah For Marx (1965) dan
Lenin and Philosophy (1969). Pemikirannya hendaknya mempertemukan Marxisme dengan strukturalisme.
http://nurulhuda.wordpress.com/2006/11/26/ideologi-praktek-kebudayaan/. Mark Poster, Existential Marxism in Postwar
France From Sartre to Althusser, (Princenton University Press,
New Jersey, 1975), 344.
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
131
dalam suatu ideologi dalam reprsentasi tertentu dari dunianya.
Dalam praktek-praktek budaya, ideologi direproduksi melalui
aparatus-aparatus ideologis sebagaimana ditegaskan oleh Althusser. Jika demikian praktis ideologi memasuki seluruh ruang
dalam kehidupan sehari-hari kita secara nirsadar. Ideologi menjadi bagian organik dari seluruh totalitas sosial dan dalam aktifitas keseharian. Ideologi beroperasi di semua lini dan di produksi
terus-menerus dalam ritual-ritual dan perkumpulan-perkumpulan, kesenian-kesenian, dan citraan-citraan ideologis di mana
representasi-representasi dan kategori-kategori di bangkitkan
dan di sebarkan. Oleh karena itu ideologi tidak lagi bisa di pahami sekadar sebagai produk kelas berkuasa atau efek dari kekuatan-kekuatan produksi. Melainkan hasil dari kombinasi berbagai
elemen lain dan kekuasaan yang kompleks dan tersebar.
Aparatus-aparatus ideologis ini merupakan alat hegemoni
yang paling canggih untuk melanggengkan kekuasaan, melestarikan struktur kelas dominan, dan mengabadikan penindasan.
Caranya dengan mengusahakan sedapat mungkin agar ideologi
itu diyakini oleh seluruh kelas dan kelompok, baik kelas berkuasa maupun yang dikuasai. Menurut Althusser di sinilah ciri-ciri
ideologi yang membingungkan itu memainkan peran. Fungsi kelas ideologi adalah bahwa ideologi yang berkuasa adalah ideologi dari kelas yang berkuasa. Ideologi berkuasa membantu kelas
penguasa dalam menguasai kelas tereksploitasi memapankan
dirinya sendiri sebagai kelas penguasa. 31
Konsep di atas digunakan oleh penulis untuk menganalisa realitas sosial-keagamaan yang terjadi di masyarakat. Yaitu fenomena gejala pergeseran (transisi) ideologi yang terjadi di kalangan
aktivis Muhammadiyah ke gerakan FPI di Paciran. Fenomena
tersebut di pahami oleh penulis, telah terjadi proses perebutan
(dominasi) kuasa (pengaruh sosial-keagamaan) yang berbasis
ideologi antara Muhammadiyah dengan gerakan FPI, walau tanNurul
Huda,
Ideologihttp://nurulhuda.wordpress.
com/2006/11/26/ ideologi-praktek-kebudayaan. Lihat Mark
Poster, Existential Marxism in Post war France From Sartre
to Althusser, (Princenton University Press, New Jersey, 1975),
344.
31
132
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
pa kekerasan melalui proses infiltrasi pengetahuan dan doktrin
ajaran masing-masing, tanpa melalui jalan kekerasan fisik atau
perjuangan Klas (revolusi).
B. “Muhammadiyah Jihadis”: Implikasi Pertarugan
ideologi
Fenomena transisi ideologi di kalangan aktivis Muhammadiyah ke gerakan FPI di Paciran merupakan potret pergulatan
perebutan kuasa ideologi dan sosio-kultur di kalangan organisasi
sosial keagamaan di masyarakat untuk berusaha mempengaruhi
(dominasi) di antara keduanya. Proses transisi ideologi di sadari
maupun tidak, pasti menimbulkan dampak di kalangan Muhammadiyah. Ideologi Islam radikal memiliki potensi menyembar ke
kelompok lain termasuk ke Muhammadiyah. Hal ini tentu akan
berdampak terhadap posisi Muhammadiyah. Sebab proses
tersebut secara berlahan namun pasti akan merubah karakter
ideologis maupun sosiologis dakwah Muhammadiyah yang pada
akhirnya akan merubah wajah Islam Indonesia.
Infiltrasi sosio-ideologi keagamaan dapat datang dari mana
saja, bisa datang dari dalam maupun dari luar negeri melalui
proses globalisasi. Pengaruh eksternal tersebut, terpotret pada
fenomena proses transisi ideologi di kalangan aktivis Muhammadiyah ke gerakan FPI. Di mana kita ketahui ideologi keagamaan yang di usung FPI secara geneologis sangat terkait erat
dengan ideologi Islam yang bersumber dari Timur Tengah atau
sering disebut dengan istilah “Islam Transnasional”. Karakter
ideologi Islam transnasional cenderung mengusung ideologi radikal-fundamentalis.
Pergeseran ideologi tidak tampak begitu mencolak di permukaan karena memang proses ini berjalan pelan, samar tapi pasti.
Sebagaimana pandangan Eric Kolig yang dikutip Hilmi, secara
diam-diam dukungan dan simpati terhadap gerakan Islam radikal sebenarnya dapat tergalang dari kalangan luas melintasi
sekat-sekat primordialisme aliran di kalangan internal umat Islam, terutama dikalangan ormas mainstream seperti NU dan Mu-
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
133
hammadiyah.32
Muhammadiyah memang sangat rawan dan mudah terinfiltrasi ideologi Islam radikal. Hal itu disebabkan; Pertama, dengan menasbihkan dirinya sebagai organisasi pembaharu, maka
kecenderungan Muhammadiyah lebih terbuka dan responsif
dengan isu-isu baru, termasuk perkembangan ideologi-ideologi Islam radikal dari Timur Tengah; Kedua, dengan mengusung
gerakan pemurnian (tanzih) yang secara substantif mirip dengan
ideologi yang diusung oleh gerakan Islam radikal, maka kesempatan untuk terjadinya proses infiltrasi dan hegemoni sosio-ideologis dalam tubuh Muhammadiyah sangat terbuka.
Proses transisi ideologi di kalangan aktivis Muhammadiyah
merupakan hasil dari proses infiltrasi yang dilakukan oleh kelompok FPI. Proses tersebut bertujuan untuk malakukan perebutan kuasa ideologi dan kuasa sosial yang selama ini di miliki
oleh Muhammadiyah. Maksud perebutan kuasa ideologi adalah
dengan adanya infiltrasi ideologi FPI diharapkan para aktivis
Muhammadiyah tertarik dan terpengaruh dengan ideologi FPI
dan meninggalkan ideologi Muhammadiyah. Kalau tahapan ini
sukses maka tahap selanjutnya adalah perebutan kuasa sosial,
maksudnya adalah adanya pengausaan terhadap akses dan
sumber sosial Muhammadiyah.
Proses transisi ideologi yang teramati oleh penulis tampak
dari startegi dakwah yang dilakukan kelompok FPI. Diantaranya
adalah dengan masuk ke basis/aktivis Muhammadiyah dengan
membawa ideologi FPI lewat pengajian, pendidikan, sebaran informasi (majalah, buletin).
Strategi dakwah FPI dengan seberan pengetahuan (pengajian, informasi) bertujuan untuk melakukan indoktrinasi ideologi
supaya para aktivis Muhammadiyah terpengaruh, baik secara
ideologis maupun prilaku sosial keagamaanya. Sebagaimana
pandangan Marx bahwa ideologi merupakan alat untuk melaku32 Masdar Hilmy, “Geneologi dan Pengaruh Ideologi Jihadisme Negara Islam Iraq dan Suriah (NIIS) di Indonesia”, Jurnal
TEOSOFI, Volume 4, Nomor 2, Desember 2014, 422
134
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
kan dominasi antara kelompok (baca: Muhammadiyah dengan
FPI). Walaupun perebutan dominasi tersebut sangat samar dan
tanpa kekerasan namun efeknya sangat terasa di kalangan aktivis Muhammadiyah.
Perebutan kuasa ideologi yang dilakukan oleh kelompok FPI
bertujuan untuk mendapatkan pengaruh kekuasaan dalam arti
luas tidak harus politik kekuasaan di masyarakat. Pengaruh paling besar dari proses transisi ideologi adalah melalui jalur kuasa
pengetahuan terhadap aktivis Muhammadiyah. Proses ini bertujuan agar terajdi pergeseran pola pikir dan perpindahan basis
massa di kalangan Muhammadiyah ke FPI. Sebagaimana pandangan Foucault bahwa pengetahuan/wacana selalu berbanding
lurus (berelasi) dengan kekuasaan. Artinya kuasa pengetahuan
merupakan alat yang paling efektif untuk mendominasi kelompok lain (Muhammadiyah) tanpa kekerasan.
Fenomena transisi ideologi secara umum merupakan potret
dari praktik perebutan pengaruh antara Muhammadiyah dengan gerakan FPI di masyarakat. Perebutan dominasi atau kuasa ideologi merupakan proses perebutan dominasi kebenaran
ajaran-ajaran keagamaan (FPI) yang dianggap lebih benar daripada ajaran keagamaan Muhammadiyah. Sehingga harapan
dari proses perebuatan tersebut ideologi FPI dapat masuk dan
menggantikan ideologi Muhammadiyah di kalangan aktivis Muhammadiyah yang selama ini sudah di yakini kebenarannya.
Efek dari proses perebutan kuasa ideologi adalah terjadi gejala radikalisasi ideologi di kalangan aktivis Muhammadiyah.
Radikalisasi ideologi Muhammadiyah ini kemudian menimbulkan kelompok baru di Muhammadiyah dengan penulis istilahkan
“Muhammadiyah Jihadis”.33
33 Muhammadiyah Jihadis adalah gejala radikalisasi di kalangan aktifis Muhammadiyah yang ikut FPI di Paciran Lamongan
di mana pola pikir mereka lebih tekstual, formal, dan fundamental dalam melihat relasi agama dengan konteks sosial-politik di masyarakat, mereka muda menjustifikasi pemikiran
orang/kelompok lain salah termasuk Muhammadiyah. Dan
mereka lebih suka belajar pemikiran-pemikiran para pemikir
yang dikenal fundamental, radikal (Abddul Wahab, Abu Bakar
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
135
Gejala ini sudah tampak dengan bergesernya paradigma aktivis Muhammadiyah lebih radikal-formal dalam memahami ajaran Islam dengan konteks sosial. Gejala radikalisai ideologi inilah
yang di harapakan oleh FPI di kalangan aktivis Muhammadiyah
agar kepentingan-kepentingan politik FPI mudah masuk dan tercapai tanpa harus berbenturan atau berhadapan secara berhadap-hadapan dengan Muhammadiyah.
Dampak ideologis merupakan proses perubahan paradigma atau pola pikir aktivis Muhammadiyah terhadap sistem dan
karakter ideologi Muhammadiyah yang selama ini diyakini.
Kondisi ini tentu sangat berbahaya bagi kelangsungan gerakan
Muhammadiyah yang selama ini dikenal memiliki ideologi dakwah yang santun, moderat dan toleran berubah menjadi ideologi
dakwah yang berkarakter keras, radikal dan intoleran.
Selain itu, berdampak pula pada penggerusan ideologi Muhammadiyah. Proses erosi ideologi Muhammadiyah merupakan
sebuah proses melemahnya komitemen dan militansi ber-Muhammadiyah di kalangan aktivis Muhammadiyah. Padahal kekuatan organisasi sosial-keagamaan terletak pada militansi dan
komitmen para aktivisnya. Militansi dan komitmen itu dibangun
berdasarkan keyakinan akan kebenaran ideologi yang dipegangnya. Begitu juga di Muhammadiyah, ideologi Muhammadiyah
merupakan pondasi dasar beraktulisasi diri di Persyarikatan dan
masyarakat. Menurut Haedar Nashir, kelahiran Muhammadiyah
memiliki keterkaitan dan persentuhan erat dengan ideologi yaitu,
ide-ide dan cita-cita tentang masyarakat Islam oleh KH.Achmad
Dahlan yang kemudian pada giliranya membentuk alam pikiran
dan paradigma (world view) aktivis Muhammadiyah.34
Implikasi transisi ideologi di Muhammadiyah pada gilirannya
dapat berdampak pada perubahan wajah Islam Indonesia. Ada
dua hal perubahan yang dapat teramati, pertama; perubahan
pada karakter ideologi Islam Indonesia. Karakter ideologi Islam
Indonesia selama ini dikenal dengan karakter ideologi moderat,
Basyier dll) daripada pemikiran-pemikiran Muhammadiyah
yang lebih Moderat.
34Haedar Nashir, Kristalisasi Ideologi, 19.
136
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
tawasuth, tawazun atau sering disebut ideologi Islam rahmatalil’alamin. Kemudian berubah karakter berwajah Islam Indonesia yang radikal, ekstrim, tekstual, formalis dan harus serba
sama (homogenitas).
C. “Arabisme” Wajah Islam Indonesia: Perebutan Kuasa Sosio-Kultur Keagamaan
Selain perebuatan kuasa ideologi, dampak transisi ideologi adalah perebutan kuasa sosio-kultur keagamaan. Tahap ini
merupakan proses perebutan pengaruh (dominasi) tradisi sosial
keagamaan Muhammadiyah dengan tradisi sosial keagamaan
FPI. Kelompok FPI menganggap tradisi sosial keagamaannya
lebih baik dan sesuai dengan tradisi salaf as-shalih daripada tradisi sosial keagamaan Muhammadiyah yang di anggap kurang
mengikuti tradisi salafus as-shalih.
Proses ini berdampak pada perubahan pola prilaku, interaksi
sosial-keagamaan aktivis Muhammadiyah terhadap sistem dan
tradisi sosial-keagamaan Muhammadiyah. Implikasi sosiologis
sangat berbahaya bagi kelangsungan gerakan Muhammadiyah
yang selama ini dikenal memiliki sistem dan tradisi sosial-keagamaan yang mapan dan baik. Di antara turunan implikasi sosiologis dari proses transisi ideologi yang dapat dipetakan adalah
sebagai berikut:
a. Mengganggu program kerja dakwah Muhammadiyah.
b. Mengganggu sistem kerja organisasi Muhammadiyah
terutama pada sistem kerja Amal Usaha Muhammadiyah
(AUM)
c. Mencederai tradisi sosial-keagamaan persyarikatan Muhammadiyah, seperti pengajian, pelaksanaan Sholat Idain, dll.
Implikasi dari proses perebutan kuasa sosio-kultur keagamaan
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
137
adalah munculnya sikap pembangkangan aktivis Muhammadiyah terhadap aturan, intruksi organisasi persyarikatan Muhammadiyah, mereka lebih patuh dan suka mengikuti intruksi atau
aturan organisasi FPI.35 Pembangkangan sikap terhadap tradisi
sosial-keagamaan di kalangan aktivis Muhammadiyah, sangat
diharapkan FPI supaya kepentingan sosio-politiknya lebih muda
masuk dan minimal dapat menguasai dakwah Muhammadiyah
di Paciran Lamongan dan di Indonesia pada umumnya.
Transisi ideologi di Muhammadiyah berimplikasi pula terhadap perubahan wajah Islam di Indonesia. Artinya wajah Islam
Indonesia selama ini diakui atau tidak adalah representasi dari
wajah Islam NU dan Muhammadiyah. Sehingga, jika terjadi perubahan wajah keberagamaan Islam di kedua NU-Muhammadiyah, maka secara tidak langsung akan berimbas terhadap wajah
Islam Indonesia.
Wajah dakwah sebuah organisasi tergantung dari paradigma
(ideologi) para pengurus (aktivisnya). Artinya, karakter ideologi
seseoarang (aktivis) akan sangat mempengaruhi prilaku sosial
yang ditampilkan keseharian di masyarakat (organisasi). Jadi
apabila ideologi keagamaaan yang dipahami oleh aktivis (Muhammadiyah) cenderung tekstual, formalis, radikal-fundamentalis, maka kecenderungan besar tampilan prilaku sosial keagamaanya tidak akan jauh berbeda, yaitu kaku, keras, radikal dan
intoleran. Dan sebaliknya, apabila paham ideologi keagamaan
aktivis toleran, moderat, cinta damai, maka prilaku sosial keagamaan kemungkinan besar yang ditampilkan adalah sikap yang
toleran, santun, moderat dan cinta damai.
Mengapa, Muhammadiyah memiliki posisi strategis dalam
menentukan wajah Islam di Indonesia. Pertama, Azumardi Azra,
mengatakan, bahwa Muhammadiyah merupakan produk asli or35Tradisi
sosial-keagamaan (manhaj dakwah) FPI yang saat
ini digandrungi kativis Muhammadiyah adalah sweeping anti
kemaksiatan yang cenderung keras dan kasar. Padahal model
dakawah semacam ini tidak dikenal di Muhammadiyah, sebab
dakwah Muhammadiyah lebih menekankan pada proses penyadaran. Lihat Haedar Nashir, Kristalisasi Ideologi dan Komitmen BerMuhammadiyah, 19.
138
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
ganisasi sosial-keagamaan yang dilahirkan oleh orang Indonesia dan bersumber dari Indonesia (made in Indonesia). Berbeda
dengan organisasi HTI, FPI, MMI, JI, Ikhwanul Muslimin, Lasykar
Jihad, Al-Qaedah dll, merupakan produk impor baik secara ideologi, jaringan ataupun aktor intelektual. Sehingga Muhammadiyah lebih dapat memahami “rasa kebatinan”, karakter dan kultur
masyarakat Indonesia. Oleh karena itu Muhammadiyah lebih
muda diterima oleh masyarakat Indonesia, daripada Ormas Islam produk Timur Tengah yang penuh konflik dan kekerasan.
Kedua, Muhammadiyah memiliki peran signifikan dalam proses pembangunan karakter keberagamaan masyarakat Indonesia. Muhammadiyah sejak di lahirkan tahun 1912 sebelum Indonesia merdeka sampai saat ini, masih konsisten dan komitmen
mengawal dan memberikan konstribusi bagi kemajuan Indonesia terutama pada lini sosial-keagamaan. Dengan mengusung
ideologi moderat-pembaharuan (Tajdid), Muhammadiyah dapat
menjaga relasi kehidupan antar umat beragama secara damai,
toleran di Indonesia yang sangat plural.
Ketiga, Muhammadiyah memiliki sumberdaya dan jejaring sosial yang sangat besar di Indonesia. Muhammadiyah memiliki
jumlah anggota (massa) terbesar kedua pasca NU di Indonesia,
sekitar + 30-40 Juta orang. Adapun sumberdaya (Amal Usaha)
yang dimiliki seperti Sekolahan (TK, SD, SMP, SMA), Perguruan
Tinggi, Rumah Sakit, Panti Asuhan, Masjid, dll) adalah terbesar
dan terbayak bagi Ormas Sosial-Keagamaan di seluruh dunia.
Potensi inilah yang menjadikan Muhammadiyah tidak dapat di
pandang remeh di Indonesia. Muhammadiyah adalah kekuatan
civil society yang sangat menentukan bagi keberlanjutan Indonesia.
Prilaku sosial-keagamaan Islam Indonesia selama ini dikenal prilaku yang santun, ramah, menghargai perbedaan (toleran), egaliter, menghargai tradisi lokal. Berubah pada prilaku
sosial-keagamaan yang kasar, garang, tidak menghargai perbedaan (intoleran), diskriminatif pada minoritas dan cenderung
pada prilaku ke-Arab-araban (arabisme).
Arabisme merupakan fenomena prilaku sosial keagamaan
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
139
masyarakat Indonesia yang meniru tradisi atau gaya prilaku keseharaian dari masyarakat Timur Tengah. Semisal dari segi pakian mereka baik laki-laki atau wanita menggunakan pakian model
“Jubah” seperti pakian keseharian masyarakat Arab. Dari segi
bahasa mereka suka menggunakan istilah-istilah Arab, seperti
istilah “saya” jadi “ana”, istilah kamu jadi “ente” atau “antum”, istilah saudara jadi “akhwat” atau “ikhwan” dan sebagainya.. Selain
itu, adalah formalisasi Islam pada tata kehidupan sosio-kultur
keseharian di masyarkat, semisal Pengadian Syariah, Wisata
Syariah, Kos Syariah, Bank Syariah, Kolam Renang Syariah,
Ojek Syariah, TV Islami dan sebagainya.
Implikasi transisi ideologi per lahan tapi pasti akan merubah
wajah dakwah Muhammadiyah yang dikenal sebagai organisasi
Islam yang moderat, toleran, santun dan cinta damai, berubah
wajah menjadi gerakan dakwah yang berwajah keras, radikal,
fundamental, dan intoleran.36
36Untuk lebih jelas tentang ideologi Muhammadiyah, baca Haedar Nashir, Kristalisasi Ideologi, 7 Deni Al As’ari, Selamatkan
Muhammadiyah, 9.
140
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
141
142
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
BAGIAN KEENAM
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diperoleh beberapa
kesimpulan sebagai berikut; Proses transisi ideologi di kalangan
aktivis Muhammadiyah tidak dapat dipastikan waktu terjadinya, tetapi yang pasti proses tersebut melalui transformasi yang
lama. Proses transisi ideologi tersebut dipengaruhi tidak hanya
satu faktor tetapi banyak faktor yang saling berkaitan. Faktor
tersebut dapat dipetakan pada dua aspek, yaitu aspek sosiologis
dan aspek ideologis.
Pertama, aspek sosiologis, yaitu aspek yang dipengaruhi dari
kondisi eksternal Muhammadiyah. Kalangan aktivis Muhammadiyah meresa resah melihat keadaan sosio-kultur masyarakat
Pantura yang semakin jauh dari nilai-nilai ajaran Islam. Prilaku
kemaksiatan seolah sudah menjadi hal lumrah dan terkesan dibiarkan tidak ada yang memperdulikan. Pihak-pihak yang harusnya bertanggungjawab (aparat) untuk memberantas kemaksiatan
malah menjadi backing dari kemaksiatan.
Kedua, aspek ideologis, yaitu aspek yang dipengaruhi dari
kritik internal Muhammadiyah. Kalangan aktivis Muhammadiyah
meresa jenuh melihat gerakan Muhammadiyah yang dianggap
gagap dan terkesan kurang peka terhadap kemungkaran sosial
di wilayah sekitar Pantura. Ideologi amar ma’ruf nahi munkar
dianggap masih sebatas retorika belum diwujudkan secara total dan belum memiliki formulasi yang jelas. Gerakan Muham-
143
madiyah dianggap terlalu sibuk dengan persoalan Amal Usaha
Muhammadiyah dan terkesan merasa puas dengan capain dakwahnya. Sehingga terkesan lambat (gagap) dalam merespon
persoalan-persoalan baru yang terjadi di masyarakat.
Gerakan Muhammadiyah dianggap bergeser dari gerakan
berkultur dakwah cenderung mirip berkultur politik. Gerakan dakwah itu seharusnya adalah, merangkul, mengajak, membina,
menasehati, berjiwa besar, ikhlas, tawadhu’, sejuk, ramah, bisa
menerima perbedaan (toleran), tradisi “tabayun”, dan sebagainya. Nilai-nilai ini yang di anggap mulai pudar di Muhammadiyah
dan terkesan dalam kepemimpinan Muhammadiyah cenderung
“like and dislike”,1 dan nampak berorientasi pada materi, mulai
lemah pemihakan terhadap masyarakat lemah.
Bentuk transisi ideologi di kalangan aktivis Muhammadiyah sebagai berikut: 1) Aktivis Muhammadiyah yang aktif di FPI melihat
Muhammadiyah, ada dua respon pertama, respon negatif-disintegratif melihat Muhammadiyah, kedua, respon positif-akomodatif melihat Muhammadiyah. 2) aktivis Muhammadiyah yang
tidak ikut FPI melihat gerakan FPI, ada dua respon pertama, respon reaksioner-posistif melihat gerakan FPI, kedua, pandangan
reaksioner-negatif melihat FPI.
Jalur transisi ideologi yang dijadikan jalan transformasi teramati sebagai berikut: pertama jalur pendidikan lewat pengajian,
majelis ta’lim (halaqa) dan tabliqh akbar. Jalur ini merupakan
jalur yang effektif dalam proses penyebaran ideologi FPI di kalangan aktivis Muhammadiyah. Kedua, jalur latihan pencak silat.
Jalur Pencak Silat sangat masif dan effektif dalam penggalangan
massa, sebab kebanyakan kader dan simpatisan FPI merupakan anggota pecak silat.
Ketiga, jalur jaringan alumni pesantren Ar-Roudaltul Ilmiyah
Model “like and dislike” biasa digunakan dalam tradisi organisasi politik dalam menentukan kepemimpinan ataupun
relasi keorganisasian antar anggota, dan ini sangat berbeda
dengan tradisi organisasi dakwah yang lebih mengutamakan
persaudaraan, kekeluargaan dan kebersamaan walaupun berbeda pandangan.
1
144
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
(YTP) Kertosono-Nganjuk. Lewat jalur ini di sebabkan aktivis
Muhammadiyah Paciran banyak berasal dari alumni YTP, termasuk Ketua FPI Ustadz Anshori, sehingga ada ikatan emosional-kultural di antara mereka untuk saling membantu antar
sesama alumni termasuk di gerakan FPI. Keempat, jalur alumni
Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KB PII). Aktivis Muhammadiyah Paciran banyak dari alumni PII teramsuk ketua FPI,
sehingga ada ikatan emosional-kultural di antara mereka untuk
saling membantu atau mendukung antar sesama alumni.
Media yang digunakan pada transisi ideologi di kalangan aktivis Muhammadiyah secara beragam. Pertama melalui media
informasi, di antarnya pamflet, brosur, selebaran, surat himbuan yang berisi tentang informasi kegiatan dakwah FPI, opini
dan sikap politik terhadap aksi-aksi kemaksiatan. Kedua, meda
cetak, di antaranya majalah atau buletin yang berisi informasi
dan doktrinasi ideologi, biasanya langsung dikirim dari FPI Pusat. Buku-buku yang berisi tentang ideologi ahlusunnah wal jama’ah versi FPI, tulisan tokoh-tokoh salafi seperti buku Dialog
FPI: Amar Maruf Nahi Mungkar ditulis oleh Habib Rizieq. Ketiga,
media aksi sweeping adalah media paling di gemari dan seolah
sudah menjadi brand image FPI, artinya ”FPI ya Sweeping”.
Transisi ideologi berimplikasi secara sosio-ideologis pada
gerakan Muhammadiyah dan wajah Islam di Indonesia. Proses
tersebut secara berlahan namun pasti akan merubah karakter
ideologi dan prilaku sosio-keagamaan Muhammadiyah dan pada
giliranya akan berpengaruh pada wajah Islam Indonesia. Ada
dua implikasi, pertama; dampak ideologis, yaitu proses perubahan paradigma, pola pikir, cara pandang aktivis terhadap karakter ideologi Muhammadiyah. Di antaranya penggerusan (erosi)
ideologi Muhammadiyah, yaitu melemahnya komitemen dan militansi ber-Muhammadiyah.
Kedua; implikasi sosiologis, yaitu proses perubahan pola
prilaku, interaksi sosial-keagamaan di Muhammadiyah. Di antarnya,mengganggu program kerja dakwah Muhammadiyah,
mengganggu sistem kerja organisasi Muhammadiyah terutama
pada sistem kerja Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), mencedThe Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
145
erai tradisi sosial-keagamaan Muhammadiyah yang sudah mempunyai tradisi sendiri.
Perebuhan wajah Muhammadiyah gilirannya mempengaruhi
“wajah” Islam di Indonesia. Implikasi tersebut sangat mungkin
terjadi sebab Muhammadiyah dan NU merupakan salah satu
representasi atau barometer gerakan Islam di Indonesia. Artinya
wajah gerakan Islam di Indonesia tergantung dari wajah gerakan dari organisasi-organsasi Islam besar yang ada di Indonesia
seperti NU-Muhammadiyah.
Wajah Islam Indonesia (NU-Muhammadiyah) selama ini lebih
di kenal sangat moderat, santun, toleran dan menghargai tradisi lokal, berubah wajah menjadi gerakan Islam Indonesia yang
radikal, keras, garang, intoleran, diskrimanitif, anti tradisi lokal
dan cenderung berprilaku meniru gaya tradisi masyarakat Timur
Tengah atau “prilaku arabisme”.
B. Refleksi Gerakan
Berdasarkan potret di atas maka di perlukan refleksi gerakan
untuk membentengi ideologi Muhammadiyah dari gempuran dan
“gerusan” ideologi Islam radikal. Refleksi tersebut harus berorientasi masa depan dan berangkat dari permasalahan yang terjadi dan tantangan problematika dunia global-kontemporer umat
Muslim.
Langkah ke depan mungkin dapat dijadikan bahan renungan
oleh aktivis dan pimpinan Muhammadiyah dalam merumuskan
strategi gerakan:
Pertama, menyolidkan kembaligerakan, yaitu merapatkan dan
melurusakan shaff warga Muhammadiyah yang sering berbelok.
Seiring berkembang dan besarnya organisasi Muhammadiyah
maka sering terjadi konflik kepentingan untuk berebut dan mempertahankan kekuasaan (Kepala Sekolah, Rektor, Direktur RSM,
pergantian Ketua Persyarikatan, dll) baik secara samar mapun
terbuka. Konflik tersebut cenderung melemahkan ideologi dan
146
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
militansi ber-Muhammadiyah, karena ketika asyik berkonflik kewaspadaan terhadap infiltrasi atau transformasi ideologi lain ke
Muhammadiyah menurun. Sehingga, mendorong percepatan
proses radikalisasi ideologi di tubuh Muhammadiyah oleh karena
itu diperlukan resoliditasi gerakan Muhammadiyah.
Kedua, rekontekstualisasi gerakan, yaitu melakukan progresifitas gerakan Muhammadiyah dengan melakukan rekonstruksi paradigma dan metodologi gerakan Muhammadiyah dalam
menghadapi problematika kontemporer-global. Perkembangan
pemikiran dan gerakan di dunia Muslim kontemporer memberikan pengaruh luar biasa bagi perkembangan gerakan Islam di
Indonesia (Baca: termasuk Muhammadiyah). Sementara, kita
masih menggunakan paradigma dan metodologi lama dalam
melihat realitas problematika masyarakat Muslim, sehingga tidak
heran kita terkesan gagap menghadapinya.
Transnasionalisasi gerakan Islam merupakan salah satu wacana dan pusat perhatian dunia Muslim kontemporer. Wacana
ini mendorong Pan-Islamisme ideologi gerakan Umat Islam pada
satu ideologi politik “Dawlah Islamiyah” dengan system Khilafah
Islamiyah. Namun, sayang metode yang di gunakan dengan
cara-cara kekerasan dan intoleransi. Ideologi transnasionalisasi
di tengarai telah merasuki tubuh Muhammadiyah, maka kedepan perlu kiranya di lakukan untuk rekontekstualiasi gerakan
Muhammadiyah agar warga Muhammadiyah tidak merasa terasing dan gagap dengan dunia luar.
Ketiga, pribumisasi gerakan, adalah mengembalikan posisi
awal Muhammadiyah yang lebih peka, peduli, dan welas asih
terhadap probelematika para warganya, terutama pada kalangan kader muda dan kelompok termarginalkan (mustdha’afin).
Muhammadiyah terkesan kurang memperhatikan kebutahan
dan persoalan yang di hadapi para kader muda Muhammadiyah,
sehingga kader-kader muda ini merasa sudah tidak nyaman beraktivitas di Muhammadiyah. Kader-kader muda ini merasa para
elite-elite Muhammadiyah “lebih sibuk” mengurus Amal Usaha
dari pada merawat “ngaramut” para jama’ahnya (baca; kader
muda) sehingga meraka merasa tidak teropeni, sehingga merThe Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
147
eka mencari gerakan Islam alternative. Pelarian ini di lakukan
karena di gerakan alternatif (FPI, HTI, MMI, JI), mereka merasa
“teropeni” dan diperhatikan kebuthan dan persoalanya.
Selain itu, stigma ideologi “welas asih” Muhammadiyah yang
dulu menjadi modal gerakan untuk mengembangkan dakwah
Muhammadiyah hingga bertahan di usianya yang + 100 tahun
mulai bergeser. Muhammadiyah saat ini terkesan “elitis-biokratis” dan cenderung “pragmatis-materialistik” dalam memahami
Amal Usaha Muhammadiyah (Rumah Sakit, Sekolahan, Perguruan Tinggi), sehingga kelempok Marginal atau “Mustdha’afin”,
semakin menjauh karena tidak mampu menggapainya “melangit”. Padahal, mereka inilah awal dari sasaran dakwah Muhammadiyah yang menjadikan Muhammadiyah bisa berjaya hingga
saat ini. Maka, ke dapan saya kira perlu ada pribumisasi gerakan Muhammadiyah dengan tetap memegang teguh teologi alMa’un.
148
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
149
150
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
EPILOG
VARIAN IDEOLOGI KEBERAGAMAAN
DI MUHAMMADIYAH DARI MODERAT
HINGGA RADIKAL
Prof. Masdar Hilmy, MA, Ph.D
(Pakar Kajian Islam Radikal & Lulusan Institute Islamic
Studies Mc Gill University Monteral Canada)
Ideologi keberagamaan di Muhammadiyah tidak tunggal (variatif). Secara organisasi, Ideologi Muhammadiyah adalah tunggal
sebagaimana dalam buku-buku rumusan ideologi Muhammadiyah.1 Namun dalam proses pemahaman terhadap rumusan ideologi terdapat beragam varian pemahaman di kalangan warga
Muhammadiyah. Konsekuensi dari ragam varian pemahaman
ideology, berdampak pula pada ragam sikap keberagamaan
Ideologi merupakan landasan yang muncul dari pandangan
dunia yang di gunakan oleh sekelompok orang untuk menjustifikasi tindakan mereka. Graham C. Kinioch, Ideologi and the
social Science (t.tp: Greenwoon Press, 1981), h.78. Dari konsep
diatas, iedologi keberagaman Muhammadiyah adalah pandangan dasar (keyakinan) oaring Muhammadiyah yang digunakan
untuk menjustifikasi prilakun keberagamaan Muhammadiyah.
Rumusan Ideologi Muhammadiyah di antaranya terdapat di
Muaqqadimah AD Muhammadiyah, Matan Keyakinan Cita-cita Hidup (MKCH) Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami
Warga Muhammadiyah (PHIWM), AD/ART Muhammadiyah,
Khittah Politik Muhammadiyah.
1
151
warga Muhammadiyah di masyarakat.
Hal ini dapat teramati dari hasil penelitian Prof Mulkhan di Wuluhan Jembar yang membagi empat varian orang Muhammadiyah
dari prespektif sosiologi-keagamaannya. Pertama, Muhammadiyah-Ikhlas, kedua; Muhammadiyah-Kiai Ahmad Dahlan, ketiga;
Muhammadiyah-NU (MuNu), keempat; Muhammadiyah-Marhean (MarMud).2 Studi ini di perkuat dari hasil penelitian Biyanto,3
yang menemukan dua varian pemikiran dan sikap Kaum Muda
Muhammadiyah terhadap wacana Pluralisme agama. Pertama;
kaum muda Muhammadiyah yang menerima (setuju) terhadap
Pluralisme agama. Argumentasi yang di gunakan adalah dalam
memahami pluralisme agama harus di bedakan dengn pluralitas dan diversitas agama, sebab pluralisme keagaamaan lebih
sekedar pengakuan secara pasif terhadap keragamaan keyakinan dan agama lain. Kedua; kaum muda Muhammadiyah yang
menolak tegas wacana Pluralisme agama, argumentasi yang di
gunakan bahwa pluralisme agama adalah paham yang mengajarkan semua agama benar dan ini bertentang dengan keyakinan bahwa agama yang paling benar di sisi Allah hanyalah Islam bukan yang lain.
Artinya dari dua studi di atas, dapat di pahami bahwa antara
“teks idealiatas” (teks ideologi Muhammadiyah) dengan realitas
prilaku sosial keberagamaan Muhammadiyah itu berbeda, sangat variatif. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa fenomena
itu terjadi dan bagaimana model varian ideology keberagamaan
di Muhammadiyah?
Ada beberapa latar yang teramati, Pertama, Muhammadiyah
adalah “teks” realitas sosial keagamaan yang hidup dan dinamis,
sehingga terus mengalami dialektika pergerakan dan perubahan
di masyarakat. Artinya, Muhammadiyah akan terus di konstruksi
oleh para anggotanya untuk di sesuaikan dengan realitas soMunir Mulkhan, Marhaenisme Muhammadiyah:Ajaran dan
Pemikiran Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan, (Yogyakarta:
Galang Press, 2013), h.221
3 Biyanto, Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan ; Pandangan Kaum Muda Muhammadiyah, ( Malang: UMMpress,
2009), h.251-252
2
152
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
sial kekinian, biar tidak dianggap stagnan, jumud “tradisional”.
Apalagi dengan mengusung gerakan pembaharuan Islam (Tajdid), maka semakin mempengaruhi alam berfikir warga Muhammadiyah untuk di tuntut berfikir dan berprilaku modern, dan ini
membutuhkan pembacaan ulang terus-menerus terhadap Muhammadiyah.
Kedua, posisi struktur sosio-kultur pengikut Muhammadiyah
bervariasi. Pada awal berdirinya Muhammadiyah banyak di
back up oleh mayoritas pedagang dan priyayi (abdi dalem Keraton Ngayogyokarto), kemudian bergeser pada Pegawai Negeri
Sipil (PNS) terutama guru dan dosen yang mayoritas tinggal
diperkotaan, sehingga Muhammadiyah lebih cepat berkembang
di Perkotaan daripada di Pedesaan. Perkembangan selanjutnya,
dakwah Muhammadiyah mulai menyasar masyarakat pedesaan
dan beragam komunitas sosial mulai Pekerja Seks Komersial
(PSK), Petani, Buruh, Nelayan, Blogger, Eksekutif Muda, Pengusaha Artis dan sebagainya.4 Kondisi ini tentu berdampak bagi
Muhammadiyah, mereka mengkonstruksi Muhammadiyah sesuai “alam berfikir” dan latar sosio-kulturnya, sehingga punya warna tersendiri di kalangan Muhammadiyah.
Ketiga, ragam pemahaman terhadap pemikiran ideal Kiai Ahmad Dahlan yang di kaitkan dengan realitas sosial. Muhammadiyah adalah wujud dari cita-cita ideal Kiai Ahmad Dahlan dalam
membangun masyarakat Islam dengan di landasi pada spirit
nilai-nilai Islam, “welas asih” dan reformasi (tajdid).5 Cita-cita ideal inilah yang terus di konstruksi dengan beragam metodologi
dan kepentingan untuk menemukan konstruksi se ideal mungkin
dengan cita-cita Kiai Ahmad Dahlan dalam menjawab problematika masyarakat. Karena beragama metodologi dan kepentingan, maka secara otomatis hasil konstruksi pemahaman tersePengalaman ini kemudian memunculkan konsep Dakwah
Kultural yang kemudian di lanjut dengan konsep Dakah Komunitas. Lebih lengkap baca, PP Muhammadiyah, Model Dakwah
Pencerahan Berbasis Komunitas, (Yogyakarta: Gramsurya,
2015)
5 Achmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis; Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal, (Surabaya;
LPAM, 2002)
4
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
153
but juga bervariatif. Ragam ini tentu mempengaruhi konstruksi
ideal terhadap Muhammadiyah.
Keempat, paradigma dan metodologi keilmuan yang berbeda
dalam memahami realitas sosial Muhammadiyah dengan problem masyarakat kontemporer. Warga Muhammadiyah beragam
latar pendidikan, mulai tidak sekolah sampai Profesor. Polarisasi latar ini berdampak pada paradigma dan metodologi yang
digunakan dalam memahami dan menyikapi persoalan di Muhammadiyah. Fenomena ini dapat di amati ada sebagian warga
Muhammadiyah yang masih berkutat pada pembahasan hukum
Qunut Sholat Shubuh, TBC, Tahlilan, Ziarah Kubur, Tingkepan,
dan sebagaianya, namun ada juga yang sudah membahas internasionalisasi Muhammadiyah di aras global.
Potret di atas menggambarkan bahwa struktur sosio-kultur
warga Muhammadiyah tidak tunggal. Kondisi ini secara alamiah
mempengaruhi polarisasi pemahaman dan sikap keberagamaan
di internal Muhammadiyah. Artinya, walaupun secara konsep,
rumusan ide dan strategi perjuangan (ideologi) di sepakati bersama dan tunggal melalui keputusan organisasi, tetapi dalam
proses pemahaman terhadap ideologi bervariatif, sehingga menimbulkan sikap sosial-keberagamaan yang bervariatif. Semisal
ada ber-Muhammadiyah dengan paham ideologi Islam Moderat,
Islam Puritan, Islam Liberal bahkan Islam Radikal “garis keras”.
Polarisasi paham ideologi tersebut juga berpengaruh terhadap pemahaman dan penyikapan diskursus pemikiran Islam di
kalangan Muhammadiyah. Wacana hangat yang jadi perdebatan
di kalangan Muhammadiyah, pertama; penyikapan terhadap isuisu pemikiran Islam kontemporer, seperti masalah Liberalisme,
Sekulerisme, Pluralisme, Geder, HAM, Demokrasi, toleransi
antar non-Muslim dan sebagainya. Kedua, penyikapan terhadap relasi Islam dan politik, persoalan ini hingga saat ini masih
menjadi perdebatan hangat terutama berkaitan dengan konsep
Negara Islam (dawlah Islamiyah), Khilafah Islamiyah, Formalisasi Syariat Islam, dan sebagainya.
Ketiga; penyikapan terhadap idealisasi model dakwah amar
ma’ruf nahi mungkar di masyarakat, persoalan ini juga menja154
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
di pewacanaan di kalangan aktivis Muhammadiyah, terutama
berkaitan dengan aktualisasi dakwah Muhammadiyah di tengah
kemungkaran sosial dan problem akibat modernitas dan westernisasi.6
Wacana di atas dipahami dan di konstruksi oleh warga Muhammadiyah secara beragam. Konstruksi itu sangat di pengaruhi oleh konstruksi ideologinya. Pada kajian ini dapat dipotret
varian ideologi keberagaman Muhammadiyah dari prespektif pemahaman ideologinya.
Pertama; varian ideologi keberagamaan Moderat. Varian ini
memahami ideologi Muhammadiyah secara terbuka (inklusif).
Maksudnya, keberdaan Muhammadiyah di masyarakat tidaklah
sendiri, tetapi berhimpit dengan gerakan sosial keagamaan yang
lain (NU, PERSIS, AL-Irsyad, Syiah, FPI, HTI, dll), sehingga harus saling menghormati dan toleran. Kelompok ini terbuka dengan perubahan baru, namun tetap memperhatikan tradisi puritan
Muhammadiyah. Kelompok ini mendasarkan pemahamannya
pada kaidah Ushul al-Fiqh “al-Mukhafadhatu ‘ala qadhimi al-ashlah wal akhdzu ala jadidi al-ashlah” (Menjaga yang lama yang
baik dan mmengambil yang baru yang baik). Varian ini dapat menerima wacana Liberalisme, Sekulerisme, Pluralisme, toleransi
namun tidak harus diikuti semua, apabila ada yang baik maka
dapat di adopsi dengan tradisi Muhammadiyah.
Kedua, varian ideologi keberagamaan puritan. Varian ini
memahami ideologi Muhammadiyah secara tertutup (ekslusif), artinya ideologi Muhammadiyah sudah final dan terbaik
kebenaranya daripada ideologi keagamaan yang lain. Ideologi
Muhammadiyah adalah ideologi yang berdasarkan al-Qur’an
Hadits, dan berIslam itu harus “murni” berdasarkan pedoman al6 Arus modernitas berdampak pada pengabaian alam spiritual manusia. Pengabain disebabkan karena orientasi kehidupan
modernitas fokus pada pencapain materialisme sehingga “hampa spiritual” atau meminjam istilah Maurice Clavel “the great
repressed idea” atau “Tuhan telah menjadi ide dasar yang tertindas” dalam kultural modern. Lihat, A. Syafii Ma’arif, Peta
Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Jakarta: Mizan,
1993), h.213-214
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
155
qur’an-Hadits dan hasil putusan Tarjih Muhammadiyah. Putusan
Tarjih Muhammadiyah dipahami sudah sesuai dengan al-Qur’anHadits, tidak boleh dicampur dengan tradisi Tahayul, Bid’ah dan
Khurufat (TBC). Varian ini paling fundamentalis dan konsisiten
dalam mempraktekan Islam murni ala Majelis Tarjih, atau pinjam
istilah Munir Mulkhan adalah Kelompok “Muhammadiyah Al-Ikhlas”7 atau disebut juga Muhammadiyah “Tus”.8
Ketiga; varian ideologi keberagamaan Liberal. Varian ini memahami bahwa ideologi Muhammadiyah harus di dekonstruksi
ulang karena, di anggap kurang relevan untuk dapat menjawab
problematika kontemporer. Konsep-konsep ideologi Muhammadiyah di anggap produk masa lalu, sehingga Muhammadiyah
dianggap stagnan, ketinggalan, jumud, gagap dan sebagainya.
Oleh karena itu jika Muhammadiyah ingin maju “modern”, maka
di perlukan dekonstruksi ulang ideologi dengan mengadopsi penuh tradisi Barat. Semisal pemikiran tentang Liberalisme,
Sekulerisme, Pluralisme, HAM, demokrasi dan sebagainya.
Varian ini melakukan dekonstruksi ideologi Muhammadiyah dengan menggunakan perangkat keilmuan kontemporer, semisal
filsafat, sejarah, sosiologi, antropologi, psyikologi, politik dan sebagainya.
Keempat; varian ideologi keberagamaan radikal “garis keras”.
Kemunculan varian ini dilandasi pada kajian posisi Muhammadiyah dengan penegakkan Syariat Islam (Khilafah Islamiyah) di Indonesia serta wacana aktualisasi ideologi dakwah amar ma’aruf
nahi mungkar Muhammadiyah di masyarakat. Pertama; pada
wacana penegakkan Syariat Islam Indonesia, varian ini beranggapan ideologi Muhammadiyah tidak tegas dalam memperjuangkan penegakkan Syariat Islam di Indonesia “abu-abu” tidak seperti yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam lainya seperti
Hizbut at-Tahrir (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), KISDI,
Komite Penerapan Syariat Islam (KPSI) dan sebagainya. Kedua;
pada wacana aktualisasi dakwah amar ma’ruf nahi mungkar di
masyarakat, varian ini beranggapan ideologi dakwah Muham7
8
156
Munir Mulkhan, Marhaenisme Muhammadiyah, h.221
Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LKiS, 2004),h.240
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
madiyah hanya berkutat pada dakwah “amar ma’ruf” amal baik,
namun tidak tegas dan jelas pada aktulaisasi dakwah “nahi
mungkar” terkesan gagap dan membiarkan, tidak seperti yang
di lakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) yang lebih tegas dan
keras dalam dakwah “nahi mungkar”.
Konstruksi pemahaman ideologi tersebut menjadikan mereka
mengambil langkah dengan mengadopsi ideologi kelompok Islam radikal, bahkan terlibat juga di dalamnya. Sehingga, pola ini
kemudian mempengaruhi sikap keberagamaan mereka di Muhammadiyah cenderung radikal dan keras mirip “gaya” kelompok Islam radikal yang dianggap lebih Islami dari pada Muhammadiyah.
Demikianlah, dan seterusnya. Apa yang dicabar di muka hanya
hendak meneguhkan kontribusi dan signifikansi kehadiran karya
akademik Sdr. Sholihul Huda, seorang intelektual muda Muhammadiyah, dalam mengurai dan mengelaborasi keberadaan
berbagai modus keberagamaan di tubuh Muhammadiyah yang
cukup beragam. Dia telah berhasil mengajak khalayak pembaca
untuk tidak terjatuh pada reduskionisme akademik yang jamak
dialami oleh para ilmuwan dan masyarakat kebanyakan. Yakni,
sikap melakukan generalisasi (sikap ”hantam kromo”, Jawa) atas
apapun yang ada di depan mata kita. Sikap semacam ini sungguh tidak mencerminkan sikap yang bijak dan dewasa atas realitas sosial yang begitu kompleks, tidak tunggal atau monolitik.
Oleh karena itu, kehadiran karya ini diharapkan akan melahirkan kedewasaan akademik di kalangan khalayak pembaca pada
khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
157
DAFTAR PUSTAKA
Abou El Fadl, Khaled. Selamatkan Islam dari Muslim Puritan
(terj), Helmi Musthofa (Jakarta: Serambi, 2006)
Adams, Ian. Ideologi Politik. Yogyakarta: Qalam, 2004
Agger, Ben.Teori Sosial Kritis (Kritik, Penerapan, dan Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003
Alaena, Badrun. NU Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 2000
Alfian.Muhammadiyah: the Political Behavior of A Muslim
Modernist Organization Under Dutch Colonialism. Yogyakarta:
Gadja Mada University press, 1989
Ali, A. Mukti. Interpretasi Amalan Muhammadiyah, Jakarta:
Harapan Melati, 1986
Ali, As’ad Said. Al-Qaeda; Tinjaun Sosial-Politik, Ideologi dan
sepak terjangnya, (Jakarta: LP3S, 2014)
Ali, Sayuthi. Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Teori
dan Praktek, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000
Althusser, Louis.Tentang Ideologi (terj).Yogyakarta: Jalasutra,
2004
Al As’ary, Deni. Selamatkan Muhammadiyah: Agenda Mendesak. Yogyakarta: Kibar Press, 2009
Al-Jabiri, Muhammad Abid. Agama, Negara dan Penerapan
Syariah. Yogyakarta: Pustaka, 2001
Al Zastrow, Ng. Gerakan Islam Simbolik Politik Kepentingan
FPI. Yogyakarta: LKiS, 2006
Amin, Darori, Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta:
158
Gama Media, 2000
Anam, Choirul. Pertumbuhan dan Perkembangan NU, Solo:
Jatayu, 1985
Arifin, Syamsul. Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum
Fundamentalisme, Malang: UMM Press, 2005
Arifin. Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah. Jakarta: Bumi
Aksara, 1987
Arifin Thoha, Zainal. Runtunya Singgasana Kiai. Yogyakarta:
Kutub, 2003
Asrofie, M.Yusron. Kyai Ahmad Dahlan, pemikiran dan
Kepemimpinannya, Yogyakarta: Yogyakarta Offset, 1983
As-Shiddieqy, Hasbi. Pengantar Ilmu Fiqih. Jakarta: Bulan Bintang,1967
Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme,
Modernisme, hingga Post Modernisme. Jakarta: Paramadina, 1996
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1996Bisri Musthofa, Adib. Tarjamah Shahih Muslim Semarang: As-syifa’, 1992
Beger, Peter L. Langit Suci; Agama Sebagai Realitas Sosial,
(Terjemahan Hartono), Jakarta: LP3S, 1991
Biyanto. Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan; Pandangan Kaum Muda Muhammadiyah. Malang: UMMpress, 2009
Boy, Pradana. Islam Dialektis Membendung Dokmatisme
Menuju Liberalisme. Malang: UMM Press, 2005
___________. Era Baru Gerakan Muhammadiyah, Malang:
UMM Press, 2008
Budha Kusumandaru, Ken. Karl Marx, Revolusi dan Sosialisme. Yogyakarta: Resit Book, 2003
Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif, Jakarta: Prenada Media
Group, 2007
Choueiri, Youssef M (terj). Islam Garis Keras: Melajak akar
gerakan Fundamentalsime. Yogyakarta: Qonun Press, 2003
Creswell, Jhon. W. Research Design; Pendekatan Kualitatif,
Kuantitatif dan Mixed, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013
Damanik, Ali Said. Fenomena Partai Keadilan Transformasi
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
159
20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia. Bandung Mizan, 2002
Darban, Ahmad Adaby. Sejarah Kauman; Menguak Identitas
Kampung Muhammadiyah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah,
2010
Delong, Natana J. Wahabi Islam: From Revival and Reform
Global Jihad. London: Oxford University Press, tt
Dhofier, Zamakhsari. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3S, 1994
Effendi, Bachtiar. Teologi Baru Politik Islam. Yogyakarta:
Galang Press, 2001
_____________. Islam dan Negara. Jakarta: Paramadina,
1998
Eriyanto.Analisis Wacana. Yogyakarta: LKiS, 2001
Esposito, John L. The Islamic Threat Myth or Reality, Oxford:
Oxford University Press, 1992
Fealy, Greg. Jejak Khalifah: pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia Bandung: Mizan, 2005
Fillingham, Lydia Alix. Foucault untuk Pemula. Yogyakarta:
2001
Foucault, Michel. Pengetahuan dan Metode (Karya-Karya
Penting Foucault) Bandung: Jalasutra. 2002
_____________. Power/Knowledge: Selected Interview with
Michel Foucault” (ed.By Colin Gordon), Pantheon: New York,
1980
_____________. Discipline and Punish. Harmondsworth:
Penguin, 1979
Greezt, Clifrod. Religion of Java, Chicago: The Universty of
Chicago Press, 1959
Hadjid, RKH. Pelajaran KH A. Dahlan 7 Falsafah Ajarandan
17Kelompok Ayat Al-qur’an, Yogyakarta: LPI PPM, 2008
Hadikusumo, Djarnawi. Aliran Pembaharuan Islam dari Jamaluddin al-Afghani Sampai KH.A. Dahlan. Yogyakarta: Persatuan,
tth
_____________________. Matahari-Matahari Muhammadiyah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2014
160
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
Hambali, Hamdan. Ideologi dan Strategi Muhammadiyah Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007
Hartini. Kamus Sosisioologi & Kependudukan. Jakarta, Bumi
Aksara, 1992
Hisyam, Cought Between Three fires: Javanes Penghulu Under Dutch Colonialism Administarition 1882-1942, (Jakarta: INIS,
2001
Huda, Miftachul. Ikhawanul Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah dan Kibar Press, 2007
Hunter, Shireen T. Politik Kebangkitan Islam Keragaman dan
Kesatuan (terj),Ajat Sudrajat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001
Jahroni, Jajang dan Jamhari. Gerakan salafi Radikal di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 2004
Kebung, Konrad. Rasionalisasi dan Penemuan Ide-ide. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008
Kinioch, Graham C. Kinioch. Ideologi and the social Science.
t.tp: Greenwoon Press, 1981
Jainuri, A. Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam Di Jawa
pada awal abad Ke duapuluh. Surabaya: Bina Ilmu, 1981
Ma’arif, Syafi’I. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta:
LP3S, 1986
______________. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Jakarta: Mizan, 1993
Ma’ruf, F. Analisa Akhlak dalam Perkembangan Muhammadiyah. Yogyakarta: Yogyakartaoffset, 1964
Maliki, Zainuddin. Narasi Agung: Tiga Teori Socsal Hegemonik, Surabaya: Lpam, 2004
Marbun, BN. Kamus Politik. Jakarta: Sinar Harapan, 1996
Mas, Subhan. Muhammadiyah pintu Gerbang Protestanisme
Islam, Mojokerto: al-Hikmah, 2005
Mua’rif. Meruwat Muhammadiyah. Yogyakarta: Pilar Media,
2005
_____________. Muhammadiyah dan Wahhabisme; Mengurai Titik Temu dan Titik Seteru, Yogyakarta: Suara MuhammadThe Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
161
iyah, 2012
Mulkhan, Abdul Munir (Edit). Api pembaharuan Kiai Ahmad
dahlan. Yogyakarta: Multi Press, 2008
__________________________ Islam Murni dalam Masyarakat Petani. Yogyakarta: Bentang, 2000
____________________MarhaenismeMuhammadiyah: Ajaran dan Pemikiran Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Galang Press, 2013
Musthofa,Adib Bisri. Tarjamah Shahih Muslim, Semarang: As-syifa’, 1992
Moertiyah, Koes, GRAy & Nasarudddin Anshory. Tafsir Jawa
Keteladan Kiai Ahmad Dahlan, Yogyakarta: Adiwacana, 2010
Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2005
Mustaqim, Abdul & Syahiron Syamsuddin (edit), Studi AlQur’an Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002
Muthohirin, Nafi’. Fundamentalisme Islam: Gerakan dan Tipologi Pemikiran Aktivis Dakwah Kampus. Jakarta: Indostrategi-MultiPresindo, 2014
McCarthy, E. Doyle.Knowledge as Culture. Routledge London &
New York, 1996
Nakamura, Mitsuo. ‘The Crescent Arises Over the Banyan Tree:
A Study of the Muhammadiyah Movemen in Central Javanese Town”
Desertasi, Cornnel University, 1976
Nashir, Haidar. Gerakan Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah
Ideologis di Indonesia. Jakarta: Mizan, 2013
____________. Kristalisasi Ideologi Muhammadiyah dan
Komitmen BerMuhammmadiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007
____________. Meneguhkan Ideologi Gerakan Muhammadiyah. Malang: UMM Press, cet ke- 2, 2007
____________. Manifestasi Gerakan Tarbiyah; Bagaimana Sikap Muhammadiyah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah,
2006
162
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
Noer, Dailer: Gerakan Modern Islam di Indonesia Tahun 19001942. Jakarta, LP3S, 1985
Pasha, Musthafa Kamal dan Ahmad Adaby Darban. Muhamamdiyah Sebagai Gerakan Islam. Yogyakarta: LPPI, 2003
Peacock, James L. Gerakan Muhamamdiyah Memurnikan
Ajaran Islam di Indonesia. Jakarta: Citra Kreatif, 1986
Pijper, GF. Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1990-1950 (terj), Tudjimah dan Yessy Augustdin, Jakarta:
Universitas Indonesia, 1984
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dakwah Kultural Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2005
_________________________, Kesimpoelan Djawaban Masalah Lima dari beberapa ‘Alim ‘Oelama. Djokdjakarta: Hoofdbestur Moehammadijah, 1942
_________________________, Manhaj Gerakan Muhammadiyah: Ideologi, Khittah, dan Langkah (Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2009)
_________________________, Model Dakwah Pencerahan
Berbasis Komunitas, Yogyakarta: Gramasurya, 2015
Poster, Mark. Existential Marxism in Postwar France From Sartre to
Althusser, Princenton University Press: New Jersey, 1975
Rahman, Fazlur. Gelombang Perubahan dalam Islam: Studi Fundamentalisme Islam (ter), penerjemah Aam Fahmia (Jakarta: Rajawali
Press, 2001), 163
Rahmat, Imdadun. Arus Baru Islam Radika: Transmisi Revivalisme
Islam Timur Tengah ke Indonesia, Jakarta: Erlangga, 2005
Rahyono. Teori sosial dan Politik. Surakarta: UMS Press, 1998
Riberu, JJ, dkk. Menguak Mistos –mitos Pembangunan : Telaah
Etis dan Kritis Jakarta: Gramedia. 1986
Riza Ul Haq, Fajar. Membangun Keragaman MeneguhkanPemihakan:Visi Baru Politik Muhammadiyah. Surabaya: LPAM, 2004
RizieqSyihab, Muhammad. Dialog FPI: Amar Maruf Nahi Mungkar. Jakarta: Pustaka Ibnu Sida, 2004
Rosadi,Andri. Hitam-Putih FPI (Mengungkap Rahasia-rahasia
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
163
Mencengangkan Ormas Keagamaan Paling Kontroversial. Jakarta:
Nun Publisher, 2008
Roy, Oliver. The Failure of Political Islam (London: I.B Tauris&Co.
Ltd, 1994
Sairin, Weinata. Gerakan Pembaruuan Muhammadiyah, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan,1995
Salam, Sholichin. Muhammadiyah dan Kehidupan Islam di Indonesia. Jakarta, NV Mega, 1956
Salam, Yunus. KH. Ahmad Dahlan, Amal dan Perjuanganya. Banten: Al-Wasat, 2009
Saleh,Fauzan. Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni
di Indonesia Abad XX. Jakarta: Serambi, 2004
Sudjak.Muhammadiyah dan Pendirinya. Yogyakarta, Suara
Muhammadiyah,1989
Syamsuddin, Syahiron dan Abdul Mustaqim (edit). Studi AlQur’an Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002
Sumaji, Ma’in Abd. Mengembalikan Gerakan : Sejarah IMM
Lamongan 1985-2006. Lamongan: IMM Cabang Lamogan, 2006
Syam, Nur. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS, 2004
Syuhadi, Fathurrohim. “ Laporan Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan Muhammadiyah Kabupaten Lamongan. Lamongan: Naskah, 2004
__________________. Mengenang Perjuangan: Sejarah Muhammadiyah Lamongan. Surabaya: Java Pustaka, 2006
Tim Penulis. Menembus Benteng Tradisi:Sejarah Muhammadiyah Jawa Timur 1921-2004. Surabaya: Hikmah Press, 2005
Tudjimah dan Yessy Augustadin, (terj). Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1990-1950. Jakarta: Universitas
Indonesia,1984
Thompson, John. Kritik Ideologi Global: Teori Sosial Kritis
Tentang Relasi Ideologi dan Komuniksai Massa.(terj) Yogyakarta: IRCIsod, 2003
_____________. Analisa Ideologi: Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia. (terj), Yogyakarta: IRCIsod, 2003
164
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
Wahyono,Ary. Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. Yogyakarta: Media Gresindo, 2001
Weber, Max. Sosiaologi Agama; A Handbook, Yogyakarta: IRCiSoD, 2012
Weinsheimer, Joel & Donald G Marshall, Truth and Method.
New York: Continuum, 1997
Zada, Khamami. Islam RadikalPergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia. Bandung: Mizan, 2003
Jurnal/Artikel/Majalah/Buletin
Abaza, Mona. “’Generasi Baru Mahasiswa Indonesia di Al
Azhar”, Jurnal Islamika, No. Januari-Maret, 1994
Azra, Azumardi. “Kelompok Radikal Muslim” Jurnal Islamica,
Edisi 26 Mei-1 Juni, 2003
Djadijono, M. “Pembangunan Ideologi selama Orde Baru;
Problem dan Prospeknya”, Majalah Analisa, Nomor, 9 Tahun,
1985
Hamdani, Ahmad dan Suyuti Abdullah, “Penyimpangan Terhadap pengertian Ahlussunah”, Majalah Salafi, edis XV, Yogyakarta: Yayasan Assunnah, 1997
Hilmy, Masdar, “Geneologi dan Pengaruh Ideologi Jihadisme
Negara Islam Iraq dan Suriah (NIIS) di Indonesia”, Jurnal TEOSOFI, Volume 4, Nomor 2, Desember, 2014
Koliq, Eric. “Radical Islam, Islamic Fervour and Political Sentiments In Central Java Indonesia”, Eouropen Journal of East Asian
Studies, Nomor, 4 Volume, 1, Tahun, 2005
Nasr, Sayyed Vali Reza. “Reflections on the Myth Reality of Islamic
Modernism, Hamdard Islamicus, Volume, 13, Nomor, 1, Tahun, 1990
Muzakki, Ach. . “Importasidan Lokalisasi Ideologi Islam: Ekspansi
Gerakan Islam Pinggiran Pasca Soeharto”, Juranal MAARIF, Volume,
2, Nomor, 4, Juni, 2007
Qadir, Zuly. “Gerakan salafi Radikal dalam Konteks Islam Indonesia”, Jurnal Islamica, Volume 3, Nomor, 1, September, 2008
Sukidi,”Etika Protestan Muslim Puritan Muhammadiyah Sebagai
Reformasi Islam Model Protestan “ Kompas, 1 Juni 2005
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
165
Sumbulah, Umi. “Agama, Kekerasan dan Perlawanan Ideologis”,
Jurnal Islamica, Volume.1, Nomor 1, September, 2006
Thalib, Ja’far Umar. “Mengenal Sejarah dan Pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah”, dalam Buletin Salafi, edisi I, Yogyakarta: Yayasan
Assunnah, 1995
http://id.wikipedia.org/wiki/sejarah front pembela islam //.note, akses tanggal 12 Februari 2012
www.fpi.or.id, akses tanggal 12 Februari 2009
http://pdmlamongan.org/index.php. Di akses tanggal 14 April 2009
Taqiyuddin An-Nabhani, Definisi Ideologi,Ideologi dalam http://
id.wikipedia.org/wiki/ideologi//.note. akses tanggal 29 Oktober 2010
Imam An-Nawawi, Syarah Arbai’n An Nawawi, (Hadits Web, http://
opi.11omb.com)//
Hafid Saleh, ”Ideologi dalam http://id.wikipedia .org/wiki/ideologi//.note, di akses tanggal, 29 Oktober 2010
http://nurulhuda.wordpress.com/2006/11/26/ ideologi-praktek-kebudayaan, di akses tanggal, 29 Oktober 2010
Azumardi Azra, ISIS Mengancam Kita”, Forum Indonesia Lawyers Club (ILC) TV One, tanggal 24 Maret 2015
www.muhammadiyah.or.id
www.lamongan.go.id
Narasumber Wawancara
Zainal Anshory, (Ketua DPW FPI Lamongan & Aktivis Pemuda
Muhammadiyah Paciran, Tanggal 2-3 Juli 2010)
Burhanuddin, ( Aktivis Pemuda Muhammadiyah & Simpatsian
FPI, 3 Juli 2010, 3 Agustus 2010)
Yoyon Suudi, (Aktifis FPI Paciran & Aktivis Pemuda Muhammadiyah, 3 Agustus 2010)
Masrur Hadi, (Ketua PC Pemuda Muhammadiyah Paciran, 5
Agustus 2010)
Yayang, (Aktifis FPI Paciran & Aktivis Pemuda Muhammadiyah, 3-4 Agustus 2010)
Nur Khanif, (Simpatisan FPI Paciran & Aktivis Pemuda Mu-
166
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
hammadiyah & Mantan Aktivis IMM IAIN Sunan Ampel Surabaya, 3-4 Agustus 2010)
Nur Fuad, (Mantan Aktivis IMM IAIN Sunan Ampel Surabaya
& aktivis Pemuda Muhammadiyah Paciran, 5-6 Agustus 2010)
Doni, (Aktifis Pemuda Muhammadiyah Paciran, 10-11 Agustus 2010)
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
167
DAFTAR SINGKATAN
AD
AKBB
: Anggaran Dasar
: Aliansi Kebangsaan Kebebasan Beragama
Berkeyakinan
ART
: Anggaran Rumah Tangga
AUM
: Amal Usaha Muhammadiyah
Banser : Barisan Serbaguna
BMT
: Baitul Mall wa Tamwil
BO
: Boedi Oetomo
DDII
: Dewan Dakwah Islam Indonesia
DPP
: Dewan Pimpinan Pusat
DPW
: Dewan Pimpinan Wilayah
DPD
: Dewan Pimpinan Daerah
DPC
: Dewan Pimpinan Cabang
FBR
: Forum Betawi Rempug
FPI
: Front Pembela Islam
FKAWJ : Forum Komunikasi Ahlussunah wal
Jama’ah
FUIPL : Forum Ukhwah Islamiyah Pantura
Lamongan
GP Anshor
: Gerakan Pemuda Anshor
HAM
: Hak Asasi Manusia
HTI
: Hizbut at-Tahrir
HW
: Hizbul Wathan
IMM
: Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
IM
: Ikhwanul Muslimin
IPM
: Ikatan Pelajar Muhammadiyah
ITB
: Institute Teknologi Bandung
ITS
: Institute Teknologi Surabaya
168
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
IPB
JAT
JI
JI
JIMM
: Institute Pertanian Bogor
: Jama’ah Anshor At-Tauhid
: Jama’ah Islamiyah
: Jama’at al-Islami
: Jaringan Intelektual Muda
Muhammadiyah
KAMMI : Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
KB PII : Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia
KPSI
: Komite Penerapan Syariat Islam
LPI
: Laskar Pembela Islam
Masyumi
: Majelis Syura Muslimin Indonesia
MMI
: Majelis Mujahiddin Indonesia
MKCH : Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup
MuNu
: Muhammadiyah NU
MarMud
: Marhaen Muhammadiyah
NA
: Nasyiatul ‘Aisyiah
NU
: Nahdlatul Ulama
ORMAS
: Organisasi Masyarakat
PDIP
: partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
PKS
: Partai Keadilan Sejahtera
PII
: Pelajar Islam Indonesia
Persis
: Persatuan Islam
PHIWM
: Pedoman Hidup islami Warga
Muhammadiyah
PTM
: Perguruan Tinggi Muhammadiyah
PM
: Pemuda Muhammadiyah
PMII
: Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
PP
: Pimpinan Pusat
PWM
: Pimpinan Wilayah Muhammadiyah
PDM
: Pimpinan Daerah Muhammadiyah
PCM
: Pimpinan cabang Muhammadiyah
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
169
PRM
PKB
PK
PNS
PANTURA
PSK
RSM
SI
TS
TBC
UI
UMM
YTP
: Pimpinan Ranting Muhammadiyah
: Partai Kebangkitan Bangsa
: Partai Keadilan
: Pegawai Negeri Sipil
: Pantai Utara
: Pekerja Seks Komersial
: Rumah Sakit Muhammadiyah
: Sarekat Islam
: Tapak Suci
: Tahayul Bid’ah Churafat
: Universitas Indonesia
: Universitas Muhammadiyah Malang
: Yayasan Taman Pengetahuan
GLOSARIUM
Ahlussunah wal jama’ah: ahli sunnah atau pengikut ajaran
sunnah Nabi Muhammad. Sementara Jama’ah yang di
maksud adalah merujuk jama’ahnya Nabi Muhammad
yang tak lain adalah para sahabat dan generasi selanjutnya seperti tabi’in dan tabiut tabiin.
Autentisitas Islam: Artinya keaslian, kemurnian, hal keadaan
dapat dipercaya. Secara istilah sebuah kebenaran,
bahwa al-Qur’an dan intisari ajaran Islam selalu berkesesuaian di setiap zaman dengan segala
perkembanganya, karena Allah maha tahu segela kode
etik kehidupan di dunia ini.
Dakwah kultural: Adalah konsep strategi melakukan dakwah
dengan memperhatikan kondisi obyektif masyarakat
yang hendak dirubah. Konsep dakwah kultural senafas
dengan pandangan dan sikap Kiai Ahmad Dahlan yang
tidak anti-tradisi.
Daulah Islamiyyah: Merupakan makna yang di kandung oleh
negara Islam merupakan nama dari berbagai tempat
170
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
yang berada ditangan kaum muslimin. Dalam prespektif fiqih, adalah kekuasaan yang tampak pada syiar
islam dan kekuatan kaum muslimin.
Ekstremisme Islam: Dapat juga disesbut sebagai gerakan
teror yang mengancam masyarakat, kelompok lain,
atau negara. Dalam melakukan protes, kelompok ini
tidak segan-segan memakai cara kekerasan. Gerakan
ini berjalan secara tersistem dan mendasarkan segala
aksi kekerasaannya berdasarkan keyakinanya terhadap Islam.
Formalisasi syariat Islam: Semangat untuk mengamalkan
Syari’at Islam secara utuh di samping menformalisasikan melalui Undang-undang (UU) dalam kehidupan
sehari-hari (ruang publik).
Fundamentalisme Islam: Fenomena global yang menandai
kebangkitan umat Islam di dunia. Gerakan ini bertujuan menciptakan tatanan dunia baru melalui kekuatan
politik Islam, baik yang memanfaatkan sistem pemerintahan yang sudah mapan (demokrasi) maupun yang
berupaya membangun kekuatan melalui kesadaran
arus bawah.
Gerakan Islam reformis-modernis: Gerakan yang melakukan
perubahan-perubahan pemikiran dan aksi sosial yang
berorientasi pada kemajuan peradaban modern.
Islam moderat: Adalah gerakan Islam yang menjunjung tinggi
sikap tasammuh, tawazun, tawasuth, dan menghargai
perbedaan (toleran), menjunjung perdamaian, santun
dan terbuka dalam berdakwah di masyarakat.
Islam ortodoks: Islam yang murni dan asli ketika Islam tersebut di lahirkan. Hal ini di tunjukan dengan mempertahankan doktrin yang murni asli jauh dari penyimpangan
atau bid’ah.
Ideologi: Ide dasar (konsep berfikir) yang menyeluruh mengenai alam semesta, manusia dan hidup mencakup dua
bagian yaitu fikrah dan thariqah.
Islam transnasional: Gerakan yang ide awalnya banyak diThe Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
171
adopsi bahkan berjejaring dengan gerakan Islam di
Timur Tengah. Kemunculan gerakan Islam transnasional di Indonesia berawal dan di transformasikan dari
gerakan Islam Timur Tengah.
Ideologi Muhammadiyah: Merupakan sistem paham (paradigama) dalam perjungan melaksanakan gerakan untuk
mencapai tujuan Muhammadiyah.
Integralistik: Pemikiran yang memahami antara agama dan
sosio-politik memiliki kaitan integral yang tidak dapat
dipisahkan dan cenderung menerpkan politik Islam secara formal dengan simbol-simbol agama.
Jihad: Sebuah upaya sungguh-sungguh untuk menggerakkan
segala tenaga, pikiran, dan harta untuk kemajuan Islam melalui dakwah.
Jumud: Adalah pikiran dimana tidak bisa melihat sesuatu yang
ada lebih luas lagi dan berfikir memang demikianlah
adanya.
Kebangkitan Islam: Fenomena yang mengisyaratkan menguatnya kecenderungan terhadap formalisasi syariat
Islam. Kemunculanya dalam bentuk beragam, mulai
dari kehidupan Ibadah, sosial, ekonomi, pendidikan,
hukum, budaya dan politik. Semisal muncul istilah lembaga ekonomi Islam (Bank Syari’ah), Islamisasi Hukum
Keluarga (UU Perkawinan), Partai politik Islam, Isu
Khalifah Islamiyah, UU Sisdiknas dan dipakainya simbol-simbol Islam dalam acara kenegaraan.
Khilafah Islamiyah: Kekuasaan yang menerapkan syariat
Islam secara sempurna. Sistem yang dipimpin oleh
seorang Khilafah yang menjalankan pemerintahan di
seluruh dunia.
Messianistik: Gerakan mengharapkan janji-janji kebahagian di
akherat melalui para pemimpin agama, dalam konteks
ini agama bersifat abstrak dan simbolik. Akan tetapi
dengan bentuk yang demikian itu dapat menumbuhkan
ikatan emosional yang kuat di antara mereka.
Pemahaman literalistik: Pemahaman yang mendasarkan pada
172
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
pemahaman keagamaan secara tekstual atas teks-teks
sumber ajaran Islam (Al-Qur’an- Hadits).
Puritanisme Islam: Mengandung arti memurnikan pemikiran
atau ajaran dari segala aspek dari luar yang mencampuri atau mempengaruhi suatu pemikiran atau ajaran
tertentu yang dapat menodai kemurnian atau ajaran
tersebut.
Primordialisme: Sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawah sejak kecil, baik
mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun
segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya.
Radikalisme Islam: Sikap perlawanan atau bentuk protes yang
ditujukan kepada negara, komunitas masyarakat maupun umat muslim sendiri karena dianggap melenceng
dari Syari’ah Islam. Islam radikal sangat mendekati
dengan istilah ekstrimisme Islam, tetapi terminologi ini
tidak dalam bentuk kekerasan. Gerakan ini bersikap
melawan karena mengartikan kaidah-kaidah Islam secara literal.
Revivalisme Islam: Gerakan yang ingin mengembalikan Islam
ke dalam keadaanya yang asli dan murni. Karakter
umum adalah seputar hijrah dan jihad, sementara
karakter khusus adalah a) kembali ke Islam yang murni
sebagai sebuah agama tauhid, b) anjuran membuka
ijtihad dan melarang taklid buta, c) keharusan hijrah
meninggalkan daerah yang di kuasai orang kafir, d)
kepercayaan yang kuat terhadap seorang pemimpin
tunggal sebagai sang pembaharu atau Imam Mahdi
yang di tunggu-tunggu.
Salafisme: Sebuah paham yang mengajarkan umat Islam
agar mencontoh semua aspek perilaku Nabi Muhammad SAW, para sahabat, tabi’in dan tabi’in tabi’at.
Sekuleristik: Pemikiran yang memisahakan antara agama dan
sosio-politik secara formal sebab keduanya memiliki
peran berbeda dan bahaya kalau dicampur.
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
173
Subtantif: Pemikiran yang memahami bahwa antara agama
dan sosio-politik memiliki kaitan tetapi hanya pada nilai
(subtansi ajaran) adapun model atau sistem politik tergantung pada kondisi sosio-historis masyarakat
Syari’ah Islam: Hukum dan aturan Islam yang mengatur
seluruh sandi kehidupan umat Muslim.
Tajdid: Gerakan yang mengusung ide pembaharuan pemikiran yang berlandaskan pada nalar teologis-kritis.
Tanzih: Gerakan yang mengusung ide pemurnian terhadap
praktik-praktik keagamaan (ibadah) yang sudah tercampur dengan tradisi masyarakat (bid’ah) dan harus
kembali pada praktek agama yang di ajarkan dalam
al-Qur’an dan al-Hadits.
Usrah: Sebuah konsep kaderisasi ikhwanul Muslimin yang di
adopsi kelompok harakah tarbiyah di Indonesia. Model
ini terbingkai dalam halaqah atau daurah yang biasa di
adakan di masjid, rumah, kos mahasiswa. Peserta terdiri dari 10-20 mahasiswa dengan satu murabi. Semua
aktivisnya di dorong untuk membenihkan berbagai pemikiran Hasan al-Bana dan Sayid Quthb.
Wahabisme: Gagasan utama adalah bahwa umat Islam telah
melakukan kesalahan dan menyimpang dari jalan Islam yang lurus dan hanya dengan kembali ke satu-satunya agama yang benar mereka akan di terima dan
mendapat ridha dari Allah.
174
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
BIOGRAFI PENULIS
Dr. Sholihul Huda, SHI, M.Fil.I dilahirkan di “Kota Soto” Lamongan, 29 Juni
1981 dari pasangan H. Atrup dan Hj.
Rasmo’ah. Istri Maulida Puji Ayu K,
AMd.Keb. Dikaruniai seorang Putri
bernama G.H Nadda Ignacia. Dosen
Tetap Prodi Studi Agama-Agama
(SAA) FAI UMSurabaya.
Riwayat pendidikan S1 Politik Islam Fakutas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya (2006), S2 Filsafat Islam Pascasarjana UIN
Sunan Ampel Surabaya (2011), S3 Filsafat Islam Pascasarjana
UIN Sunan Ampel Surabaya (2020). Alumni Pesantren YTP Kertosono Nganjuk (1997), Pesantren Luqmanul Hakim Palembang
(2000).
Pengalaman organisasi, Ketua OSIS MA Luqmanul Hakim,
Ketum IMM Korkom UIN Sunan Ampel Surabaya (2003), Ketua
DPD IMM Prov. Jawa Timur (2006), Sekum PW Pemuda Muhammadiyah Jawa Timur (2010), Wakil Sekretaris MEK PW Muhammadiyah Jawa Timur (2014), Anggota Majelis Tabligh PW
Muhammadiyah Jawa Timur (2015), Sekum DPD KNPI Jawa
Timur (2019).
Aktivitas intelektual, Kepala PPAIK UMSurabaya (2020), Anggota DPP Asosisi Studi Agama Indonesia/ASAI (2020), Aggota
DPP ALAIK PTM-PTA (2020), Direktur Institute Studi Islam Indonesia/InSID (2020), Pengasuh Kajian Padhang Wetan UMSurabaya.
Riwayat penelitian: “Kaum Muda dan Konfliki Agama” (Peran
Pemuda Muhammadiyah dan GP Ansor NU dalam mencegah aksi
Kekekrasan Agama di Paciran Lamongan) (Th.2013). “Kampung Inklusif” (Studi Model Toleransi Antar Umat Beragama di Desa Balun
Lamongan (Th. 2014). “Pengembangan Model Pendidikan Agama
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
175
Berbasis Toleransi di Perguruan Tinggi” (Th. 2016). “Persepsi Mahasiswa Terhadap Gerakan Islam Radikal (ISIS): Studi Mahasiswa di
Lamongan” (Th. 2016). “Pandangan Elit Muhammadiyah Jatim Tentang Murtad (Apsotasy) (2017). “Respon Elit Muslim Terhada Perda
Syariat di Kota Surabaya” (Th. 2017). “Muhammadiyah Dolly: Strategi Dakwah Komunitas Muhammadiyah Di Kota Surabaya (Th. 2017).
Peserta International Confrence “Reactualizing Harmony And Tolerance Among Religious Communities” UIN Yogyakarta Tahun 2015.
Karya Buku: Kontributor buku, Muhammadiyah Ahmad Dahlan,
(2015). Manifesto Politik Kaum Muda Indoensia: Anti Kekerasan Agama (2018). The Inclusive Village In Indoensia (2019).
Untuk korespondensi email;
[email protected].
176
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal”
177