Academia.eduAcademia.edu

Buku The Clash Ideologi Muhammadiyah

2017

Expansion of Ideological Map of Islamic Movements in Indonesia As Indonesia entered the reform era, its social and religious life became increasingly pluralistic, moving away from a monolithic structure. This shift created a diverse array of Islamic ideologies and movements within the social fabric of the nation. Islam in Indonesia, historically moderated by Nahdlatul Ulama (NU) and Muhammadiyah, began to experience a broadening ideological spectrum. These moderate Islamic organizations promoted tolerance, harmony with local traditions, and progressive societal development, characterizing Indonesia's Islamic identity as moderate. However, the 21st century brought an influx of new ideological influences, including both liberal and radical currents. Liberal Islam, inspired by Western thinkers, emphasizes rationality, pluralism, and reinterprets traditional narratives to support democracy and gender equality. Meanwhile, radical Islam seeks a return to fundamentalist principles, interpreting Islamic texts literally and often rejecting pluralism. The growing complexity in Indonesia’s Islamic landscape has seen the emergence of more extreme ideologies, with movements such as Salafism, the Muslim Brotherhood, and Hizbut Tahrir adding counter-narratives to traditional moderation. These shifts have introduced ideological diversity and, at times, conflict within Indonesian Islam, with moderate Islam still largely hegemonic but facing challenges from both liberal and radical ideologies. This book provides a comprehensive analysis of these three main ideological currents—moderate, liberal, and radical—and explores how they each vie for influence within Indonesian society, reflecting the nation’s evolving religious and ideological complexity.

The Clash Of Ideologi Muhammadiyah Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” © Dr. Sholihul Huda M.Fil.I, 2017 All right reserved Editor : Hatib Rahman Desain Sampul : Riki D. A. Saputro Cetakan Ke-1, September 2017 Penerbit: Semesta Ilmu Jl. Gg. Melati No.329 RT 18 RW 06 Karangsari Rejowinangun Kec. Kotagede Kota Yogyakarta 55171 Kerjasama: Institut Studi Islam Indonesia (InSID) Jl. Grand Masangan Blok C2/No.3 Sukodono Sidoarjo Indonesia, email. [email protected], www.insid.com, InSID.news 14 x 21cm, 268 halaman ISBN : 978-602-6923-63-9 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit SEKAPUR SIRIH Puji syukur al-hamdulillah kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang memberikan karunia luar biasa pada penulis sehingga dapat menyelesaikan buku ini. Buku yang ada di tangan pembaca ini sesungguhnya berasal dari tesis penulis di Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya. Secara keseluruhan buku ini merupakan hasil dari penelitian lapangan (kualitatif) terhadap fenomena radikalisasi ideologi di kalangan aktivis Muhammadiyah. Fenomena ini terjadi dikarenakan sebagian aktivis Muhammadiyah mengalami pergeseran ideologi, dari ideologi Muhammadiyah ke gerakan Islam radikal (FPI). Ketertarikan penulis mengamati fenomena radikalisasi ideologi Muhammadiyah secara pemikiran, telah dimulai sejak 2005. Sejak ramai perbincangan tentang dinamika pemikiran dan gerakan infiltrasi ideologi yang dilakukan oleh sejumlah kelompok Islam radikal ke lingkungan Muhammadiyah. Hal tersebut sangat menonjol, khususnya melalui publikasi ilmiah dalam bentuk buku dan opini di media massa. Bahkan, untuk menanggapi hal ini, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengeluarkan sikap resmi terhadap posisi dan relasi gerakan Islam radikal. Fenomena infiltrasi ideologi radikal terjadi diseluruh tingkat kepengurusan Muhammadiyah, mulai di tingkat pusat hingga ranting Muhammadiyah. Masalah tersebut juga menjalar ke sebagian besar Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), seperti di beberapa sekolah, perguruan tinggi/universitas, masjid, Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ), dan Rumah Sakit. Salah satu kasus yang tidak bisa dibantah terjadi di Muhammadiyah Lamongan. Padahal, selama ini Lamongan merupakan kawasan yang masyarakatnya banyak yang menjadi anggota Muhammadiyah. Dalam bermuhammadiyah, warga Lamongan dapat dikatakan “fanatik”, memiliki keanggotaan, kader, tokoh (pimpinan) dan AUM dalam jumlah besar.Tetapi fakta yang sesungguhnya justru masih rapuh dari sisi ideologi. Tidak heran bila sebagian aktivisnya terlibat pada gerakan Islam radikal (FPI). Berdasarkan realitas tersebut penulis tertantang untuk mengeksplorasi fenomena radikalisasi ideologi di MuhammadThe Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” iii iyah. Selama proses penelitian dan penulisan penelitian ini, penulis berterima kasih kepada Prof. Dr. Syafiq A Mughni, MA selaku pembimbing. Ditengah kesibukannya, beliau telah membaca, mengoreksi dan memberikan sejumlah catatan penting untuk perbaikan sehingga hasil penelitian ini menjadi lebih baik. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. M. Ridlwan Nasir, MA selaku Direktur Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, DR. Dr. Sukadiono, MM selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya, Drs. Moh. Naim, M.Pd.I selaku Dekan FAI UMSurabaya, Drs, Hamri Al-Jauhari, M.Pd.I selaku Kaprodi Perbandingan Agama FAI UMSurabaya dan Ustadz Sholihin Fanani, M.MPsdm (Ketua Majleis Tabiligh PWM Jawa Timur) yang telah banyak membantu penulis selama ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman aktivis Pemuda Muhammadiyah Paciran Lamongan (Mas Burhan, Mas Nafik, Mbah Masrur, dan sahabat-sahabat FPI Paciran Lamongan terutama Mas Zainal Anshory (Ketua DPW FPI Lamongan). Ucapan terima kasih setinggi tinggi, penulis haturkan kepada kedua orang tua penulis (H. Atrup & Hj. Rasmoah), dan Mertua Bpk Pudjianto & Eko Seno Anawati) dan Sudara-saudara Penulis. Pada istri penulis tercinta (Maulida Puji Ayu, Amd.Keb) dan Putri penulis yang ”cantik & Imut” sedang tumbuh berkembang (G.H Nadda Ignacia) di ucapkan banyak terima kasih. Mereka selama ini telah memberikan kasih sayang dan menjadi sumber inspirasi, motivasi, hiburan, dan dengan cara masing-masing telah banyak membantu penulis selama ini, semoga Allah selalu merahmati mereka. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih pada Prof. Dr. Zainuddin Maliki, M.Si, Guru Besar Sosiologi Politik dan Wakil Ketua Muhammadiyah Jawa Timur dan Prof, Masdar Hilmy, MA P.hD yang telah berkenan memberikan prolog dan Epilog untuk buku ini. Dan kepada kawan-kawan aktivis Pemuda Muhammadiyah Jawa Timur (Mas Abduh, Mas Eki, Mas Alfi, Pak Jemadi, Pak Ali Fauzi, Mas Anam, Mas Rizqon, Mas Mukayat, Mas Labib, Mas Slundu, Mas Jumadi, dll), penulis berterima kasih kepada semua pihak yang sudah membantu hingga buku ini dapat diterbitkan. Semoga ikhtiar ini dapat menjadi amal shaleh dan bermanfaat bagi dunia keilmuan dan menambah khazanah pemikiran Islam khususnya di Muhammadiyah. Surabaya, Agustus 2017 Dr.Sholihul Huda, M.Fil.I The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” v DAFTAR ISI SEKAPUR SIRIH ............................................................................iii PROLOG .......................................................................................viii BAGIAN PERTAMA PENDAHULUAN ............................................1 BAGIAN KEDUA PERGULATAN GERAKAN DAKWAH MUHAMMADIYAH DI INDONESIA ................................................23 BAGIAN KETIGA DINAMIKA GERAKAN ISLAM RADIKAL DI INDONESIA ...............................................................................55 BAGIAN KEEMPAT MELACAK PERGESERAN IDEOLOGI MUHAMMADIYAH KE GERAKAN ISLAM RADIKAL (FPI) DI PACIRAN LAMONGAN.............................................................91 BAGIAN KELIMA BENTURAN IDEOLOGI: SEBUAH IMPLIKASI TRANSISI IDEOLOGI DI MUHAMMADIYAH ...........121 BAGIAN KEENAM PENUTUP.....................................................143 EPILOG .......................................................................................151 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................158 DAFTAR SINGKATAN ...............................................................168 BIOGRAFI PENULIS .................................................................175 vi The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” vii PROLOG PERLUASAN PETA IDEOLOGI GERAKAN ISLAM DI INDONESIA Prof. Dr. Zainuddin Maliki, M.Si Guru Besar Sosiologi Politik Sejak memasuki era reformasi, kehidupan bangsa Indonesia menjadi tidak lagi monolitik. Seting sosial kemasyarakatan dan keagamaan menjadi pluralistik. Muncul berbagai diskursus dan gerakan-gerakan praxis berbangsa, bernegara dan beragama dalam formasi sosial yang pluralistik. Tak pelak, peta gerakan Islam di Indonesia pasca Orde Baru pun juga semakin plural. Dampaknya lalu umat Islam dihadapkan pada perluasan area pergulatan ideologi. Masyarakat kemudian mendapatkan sumber pilihan identitas budaya, politik, ideologi maupun keagamaan yang semakin banyak. Dalam tempo yang cukup lama arus gerakan Islam di Indonesia cenderung di dominasi oleh ideologi Islam moderat yang dinarasikan oleh dua kekuatan besar Islam, dalam hal ini Nahdlatul ‘Ulama (NU) dan Muhammadiyah. NU cenderung menarasikan upaya membangun harmoni antara Islam dengan tradisi lokal yang kaya dan menyebar di seluruh wilayah nusantara. Sementara itu Muhammadiyah lebih berorientasi pada upaya membangun harmoni antara Islam dengan etos kerja dan ide-ide progresive yang muaranya berdampak signifikan pada tumbuhnya masyarakat berkemajuan. Kendati memiliki perbedaan pilihan identitas, namun pada pilihan warna ideologi kedua organisasi ini memiliki kesamaan. Kedua kekuatan ini sama-sama memilih viii sikap format Islam moderat. Begitu hegemoniknya dua kekuatan Islam di Indonesia ini sehingga mampu menjadikan moderasi sebagai typical Islam Indonesia. Islam moderat atau wasatiyah menjadi corak dari tradisi besar (great tradition) Islam Indonesia. Muhammadiyah dengan jargon Islam berkemajuan dan belakangan NU dengan semakin gencar mempopulerkan Islam Nusantara menebarkan spirit toleransi, keterbukaan dan moderasi. Peran Muhammadiyah dan NU dalam menjaga moderasi tak urung menjadi inspirasi bagi dunia Islam. Memasuki abad 21, yang ditandai dengan semakin meningkatnya kompleksitas kehidupan, seting sosial bergerak meninggalkan pola monolitik dengan membuka ruang lebar bagi masuknya keanekaragaman identitas. Dari situlah muncul pilihan ideologi dan gerakan Islam yang semakin luas. Perluasan peta ideologi keagamaan di Indonesia menjadi sesuatu yang tidak terelakkan. Masing-masing pilihan ideologi muncul dalam berbagai model gerakan. Bersamaan dengan itu muncul identitas Islam yang lebih beragam, mulai dari kutub liberal di satu sisi, dan tumbuhnya kutub Islam radikal di sisi lain. Masing-masing saling berebut arena di tengah masyarakat. Kelompok revivalisme Islam kontemporer di Timur Tengah yang cenderung memilih garis keras kemudian memperoleh momentum untuk menyebar juga ke Indonesia. Kehadirannya menjadi semacam counter terhadap diskursus besar yang bercorak moderasi maupun yang bercorak liberal. Munculnya Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Gerakan Salafi mengindikasikan proliferasi atau persebaran dari gerakan counter moderasi Islam tersebut. Islam di Indonesia semakin kompleks. Kajian taxonomi keagamaan yang dilakukan antropolog Clifford Geertz yang mengangkat trikotomi santri, priyayi dan abangan bukan saja tidak memadai lagi tetapi benar-benar kehilangan relevansinya untuk digunakan membaca realitas Islam di Indonesia saat ini. Geertz harus mengubah diskripsinya tentang Islam yang ia ketahui di Indonesia dan Maroko. Peta sudah jauh berubah. Tradisi besar The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” ix NU-Muhammadiyah pun dihadapkan kepada realitas munculnya Islam Liberal di satu sisi, dan di sisi lain realitas munculnya gerakan bergaris keras seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Lasykar Jihad, Front Pembela Islam (FPI), dan juga Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Perluasan peta ideologi keagamaan di Indonesia merupakan implikasi dari banyak hal. Akses informasi yang mudah dan terbuka, tidak hanya memudahkan penyebaran faham moderasi, tetapi juga memberi peluang beredarnya penyebaran ajaran-ajaran radikal. Wacana radikalisasi lalu tidak hanya muncul di ranah ekonomi, dan politik tetapi juga memasuki ranah agama. Ada yang cenderung memahami persebaran radikalisasi menggunakan argumen ekonomi-politik. Kesenjangan ekonomi politik memicu munculnya gerakan perlawanan dari mereka yang teralienasi. Gerakan itu tentu saja untuk melawan kelompok mapan. Kekerasan dalam hal ini tiada lain adalah produk dari ketidak adilan. Gerakan melawan kelompok mapan ini memperoleh sumber legitimasi dari agama. Perlawanan terhadap ketidak adilan dengan memilih garis keras itu semakin memperoleh energi ketika dijustifikasi dari sumber agama. Gerakan radikal atas nama agama di sini dengan demikian merupakan upaya melakukan perlawanan terhadap kelompok mapan yang mereka nilai sebagai penyebab dan atau melakukan pembiaran terhadap ketidak adilan. Di masa lalu perlawanan terhadap ketidak adilan mengambil bentuk gerakan mesianis, ditandai dengan pengharapan yang kuat terhadap datangnya ratu adil yang diyakini bisa menciptakan keadilan dan ketenteraman. Gerakan perlawanan mesianis itu kini bukan hanya memunculkan sang ratu adil, tapi juga kepercayaan terhadap datangnya nabi-nabi baru yang dianggap bisa jadi sang penyelamat. Dalam melakukan penyelamatan, di antara mereka memilih cara-cara radikal, bahkan menggunakan bom bunuh diri. Faktor-faktor di atas tentu saja berpengaruh terhadap konstruksi paham atau ideologi keberagamaan umat Islam kontem- x The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” porer di masyarakat. Pengaruh tersebut menjadikan ideologi keberagamaan Islam menjadi tidak tunggal dan monolitik tetapi bervarisi dan pluralistik. Kondisi inilah kemudian yang dipetakan penulis buku ini ke dalam tiga arus besar ideologi keagamaan Islam yang saling berebut “peta” pengaruh di masyarakat. Tiga arus ideologi Islam tersebut adalah, ideologi Islam moderat, ideologi Islam liberal dan ideologi Islam radikal. Penulis buku ini mendeskripsikan konstruksi dari tiga arus ideologi Islam yang sedang berkembang di Indonesia tersebut yang jika dikemukakan secara ringkas kurang lebih begini: Pertama, gerakan Islam Moderat (Islam Wasathiyah). Karakter Islam moderat yang paling menonjol adalah sikap moderasinya (tawasuth) di tengah dan akomodatif. Konstruksi dasar dari Islam moderat adalah adanya pengakuan secara sadar akan keanekaragaman (prulitas) kehidupan sosial, politik, budaya, dan keberagamaan di masyarakat dan itu merupakan bagian dari hukum Tuhan (sunnatullah). Sehingga konstruksi ini menjadikan kesadaran bahwa dalam kehidupan ini dibutuhkan sikap yang fleksibel (tidak ekstrim), saling menghormati akan keberadaan yang lain. Islam moderat menjadikan ijtihad sebagai jalan yang lebih disukai untuk mendorong perubahan sosial dan politik masyarakat. Ijtihad merupakan jiwa dalam pemikiran Islam yang diperlukan untuk menjamin hidupnya ide-ide dan peradaban Islam. Tanpa ijtihad, pemikiran dan peradaban akan mati. Ijtihad merupakan jalan hidup yang harus dilakukan secara berkesinambungan. Kebebasan berfikir dalam hal ini menjadi modal dasarnya. Al-Quran, al-Hadits dan hukum Islam (fiqih) dalam hal ini selalu terbuka untuk di interpretasikan. Tentu hasil interpretasinya bisa beraneka ragam. Berbeda hasil interpretasi tidak dianggap masalah. Perbedaan tidak dinilai sebagai beban melainkan rahmat. Bagi Islam moderat gerakan pengembangan masyarakat dilakukan dengan cara memperlakukan semua orang dengan rasa hormat. Prinsip yang dikembangkan adalah tidak ada paksaan dalam beragama. Tidak boleh ada intimidasi dan pemaksaan, apalagi dengan kekerasan. Dengan menjiwai dan menyeThe Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” xi barkan pesan-pesan Islam secara bijak diyakini justru Islam akan mampu mentransformasikan masyarakat berkemajuan. Kedua, gerakan Islam Liberal. Gerakan ini menjadi arus ideologi keberagamaan Islam di Indonesia pasca di perkenalkan oleh beberapa sarjana Barat seperti Charles Kurzman (2003), Leonard Binder (2001), dan Greg Berton (1999). Di Indonesia, Ulil Abshar Abdall, tokoh yang paling dihitung dalam pengembangan arus ini dengan Jaringan Islam Liberalnya. Islam Liberal merupakan kelompok yang risau dengan narasi agung (grand naration) yang berkembang di kalangan umat Islam di Indonesia seperti kerisauannya terhadap begitu kokohnya pegangan terhadap faham teokrasi. Begitu diagungkan sehingga tidak ada keberanian untuk mempertanyakan, apalagi mengkritisi dan menggugat kesahihannya. Islam Liberal ingin membebaskan diri dari narasi agung itu lalu melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks atau tradisi yang sebelumnya termasuk wilayah yang tidak boleh disentuh itu. Dari kerangka berfikir seperti itu, Islam Liberal menghasilkan berbagai gagasan yang mendukung wacana yang telah digulirkan pemikir-pemikir Barat tentang demokrasi, pluralisme, jaminan terhadap hak kaum perempuan (gender), hak Non-Muslim di negara Islam, kebebasan berfikir dan potensi kemampuan manusia. Greg Barton (1999) menggambarkan prinsip dasar yang dipegang oleh Islam liberal menekankan pentingnya kontekstualisasi ijtihad, komitmen terhadap rasionalitas dan pembaharuan (agama), penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama, pemisahan agama dari partai politik dan kedudukan negara yang nonsektarian. Oleh karena tema gagasan yang digulirkan kelompok Islam Liberal itu adalah tema-tema “jualan” pemikir-pemikir Barat seperti digambarkan di atas, oleh karena itu mudah dimaklumi jika muncul pemahaman bahwa Islam Liberal tiada lain adalah “juru bicara” Barat. Ketiga, gerakan Islam radikal. Gerakan ini meyakini Islam sexii The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” bagai agama yang sempurna dan lengkap. Islam adalah cara hidup yang sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia secara paripurna. Islam radikal ingin mengembalikan model awal perkembangan Islam secara fundamental persis di zaman Nabi Muhammad dan para sahabatnya (salaf as-shalih). Slogan yang dijadikan pijakan adalah ar-ruju’ ilal qur’an wa sunnah --kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad saw. Teks, dalam hal ini Qur’an dan Sunnah difahami secara scripturalis, literal-tekstualis. Mereka tidak tertarik dengan pendekatan kontekstual. Pendekatan literal-tekstual melahirkan pemahaman ajaran agama secara formalistik. Teks diartikan dengan pendekatan direct meaning, apa adanya, tanpa memperhatikan konteks di balik teks tersebut. Mereka menggunakan teori kebenaran tunggal yang menjadikan pemahaman mereka sempit. Kebenaran hanya milik mereka, yang muaranya kemudian sulit menerima perbedaan terhadap pendapat orang atau kelompok lain. Kecenderungan mereka jadi mudah menyalahkan pihak lain dan bahkan pada sikap takfiriyah dalam arti mudah mengkafirkan orang lain. Sikap yang dibangun atas dasar teori kebenaran tunggal itulah yang menjadikan mereka cenderung berwatak radikal yang mudah memicu timbulnya kekerasan atas nama agama. Kebenaran tunggal yang mereka yakini membawa mereka pada kesimpulan bahwa mendirikan negara Islam adalah sebuah keniscayaan syar’iy. Menolaknya berarti mengingkari syari’at Islam, yang berarti kafir, dan oleh karena itu halal darahnya. Jadi buku yang ada di tangan anda ini, mencoba meneguhkan bahwa Islam di Indonesia tidak lagi homogen. Varian Islam di Indonesia menjadi plural. Bukan hanya Islam moderasi atau wasathiyah, tetapi juga varian yang berada dua kutub yang bertolak belakang. Kutub Islam Liberal di satu pihak, dan kutub Islam radikal di lain pihak. Di tengah kehadiran dua kutub varian Islam yang bertolak belakang itu, Islam wasathiyah masih menunjukkan hegemoninya. Namun, tidak jarang mereka dikejutkan dengan berbagai ulah radikal yang dimunculkan kedua belah kutub The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” xiii dari varian “baru” di kalangan Islam di Indonesia itu. Ulah radikal dari Islam Liberal pada galibnya cenderung mengambil bentuk pemikiran, sementara ulah kelompok Islam radikal cenderung mengambil bentuk kekerasan dan teror atas nama agama. Kedua ulah itu tentu memberi pekerjaan tersendiri bagi kalangan Islam moderat untuk memberi respon yang semestinya. Buku ini salah satu bentuk respon dari penulis yang tampak jelas ia berangkat dari kacamata Islam moderat itu. xiv The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” BAGIAN PERTAMA PENDAHULUAN A. Kegelisahan Akademik Dalam beberapa dekade belakangan ini, tepatnya pasca tragedi 11 September 2001 yang menghancurkan gedung Pentaghon dan World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat (AS), fenomena gerakan radikal Islam menjadi perbincangan global. Di Indonesia, kajian mengenai tema ini juga cukup ramai, terlebih peristiwa tersebut memberi pengaruh cukup besar terhadap tumbuh dan berkembangnya gerakan dan pemikiran revivalisme di negara berpenduduk mayoritas Muslim ini. Selain hal itu, oleh sebagian pihak, fenomena ini dianggap terkait dengan isu “kebangkitan Islam”, khususnya di Indonesia.1 Hingga saat ini, belum ada kesepakatan di antara pengamat (pemikir) Islam tentang satu istilah untuk menggambarkan fenomena kebangkitan tersebut. Namun, ada sebagian pemikir Islam yang menggambarkannya dengan istilah revivalisme Islam,2 fundamen1 Kebangkitan Islam adalah formulasi dari gejala-gejala keagamaan (religiusitas) yang di tandai oleh menguatnya kecenderungan orang Islam untuk kembali kepada ajaran Islam secara formal pada semua aspek kehidupan. Baca dalam Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal (Jakarta: Erlangga, 2002), x 2 Revivalisme Islam gerakan yang ingin mengembalikan Islam ke dalam keadaanya yang asli dan murni. Karakter umum gerakan revivalisme Islam adalah seputar hijrah dan jihad, sementara karakter khusus adalah a) kembali ke Islam yang murni sebagai sebuah agama tauhid, b) anjuran membuka ijtihad dan melarang taklid buta, c) keharusan hijrah meninggalkan daerah yang di kuasai orang kafir, d) kepercayaan yang kuat terhadap seorang pemimpin tunggal sebagai sang pembaharu atau Imam Mahdi yang di tunggu-tunggu. Youssef M. Choueiri, Islam Garis Keras: Melacak akar Gerakan Fundamentalisme (terj), penerjemah Humaidi Syuhud (Yogyakarta: Qonun, 2003), 20 1 talisme Islam, radikalisme Islam, Islamisme, puritanisme Islam dan ekstremisme Islam.3 Meski mempunyai sebutan beragam, kebangkitan Islam bertemu pada satu titik yaitu semangat radikalisme Islam atau ide tentang kesatuan Islam secara internasional melalui penerapan sistem syariat Islam atau negara Islam (daulah Islamiyyah).4 Hrair Dekmejian menggunakan terma revivalisme Islam untuk menunjuk fenomena munculnya gerakan keagamaan Islam kontemporer di Timur Tengah. Menurutnya, kebangkitan Islam menggambarkan tingginya kesadaran Islam di kalangan umat Islam dan rangkaian kesatuan yang dinamis antara spiritualisme pasif-apolitis dengan militansi dan radikalisme.5 Oliver Roy menggunakan terma Islamisme dan Neo-Fundamentalisme untuk menyebut gerakan Islam yang berorientasi pada pemberlakuan syariat, seperti Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir (HT).6 Sementara John L Esposito mencirikan fundamentalisme pada sifat kembali kepada kepercayaan fundamental agama. Mereka mendasarkan aktivitasnya pada pemahaman literal dalam memahami al-Qur’an dan al-Sunnah.7 Kebangkitan Islam terjadi di berbagai negara Islam, terutama di Timur Tengah. Kebangkitan Islam tersebut dipresentasikan dengan munculnya beberapa organisasi Islam seperti Neo-Ikhwan3 Ekstremisme Islam digunakan oleh Abid Al-Jabiri untuk menggambarkan kelompok Islam ekstrem yang biasanya menggerakkan permusuhan kepada gerakan Islam “tengah/moderat”. Lihat Muhammad Abid al-Jabiri, Agama, Negara, dan Penerapan Syariah (Yogyakarta: Pustaka, 2001), 139. Sementara Said Al Asymawi menggunakan istilah Ekstrem untuk menggambarkan suatu kelompok untuk merebut kekuasaan dengan menunggangi isu-isu agama. Di sebutkan bahwa faktor paling menonjol dari kemunculan ekstremisme Islam adalah krisis kepercayaan kepada lembaga-lembaga Negara, lembaga agama, dan lembaga politik. Lihat, Muhammad Said Al-Symawi, Al-Islam Al-Siyasi (Kairo: Sina li al-Nasyr, 1987), 66 4 Deni Al As’ary, Selamatkan Muhammadiyah:Agenda Mendesak (Yogyakarta: Kibar Press,2009), 21 5 Shireen T Hunter, Politik Kebangkitan Islam Keragaman dan Kesatuan (terj), penerjemah Ajat Sudrajat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), 3. Imdadun Rahmat, Arus Baru, xvi 6 Imadadun Rahmat, Arus Baru, xvi. Oliver Roy, The Failure of Political Islam (London: I.B Tauris&Co.Ltd, 1994), 2-4 7 Imadadun Rahmat, Arus Baru, xvi. John L Esposito, The Islamic Threat Myth or Reality (Oxford: Oxford University Press, 1992), 7-8 2 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” ul Muslimin di Mesir, Jama’at al-Islami (JI) di Pakistan, Hamas di Palestina danHizbullah di Lebanon. Sementara, kebangkitan Islam di Indonesia dipresentasikan dengan kemunculan ormas keagamaan seperti Ikhwanul Muslimin (Tarbiyah), Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jama’ah Anshoru Tauhid (JAT) dan Laskar Jihad. Beberapa kelompok Islam di atas cenderung menampilkan ideologi dakwah yang radikal-fundamental dan mengusung tema ideologi Islam dalam setiap aksi dengan suatu tujuan menawarkan Islam sebagai ideologi alternatif.8 Kemunculan gerakan Islam radikal merupakan hal wajar akibat dari eskalasi dunia global saat ini yang tidak ada sekat tradisi, teritorial dalam akses informasi dan wacana (ideologi). Seperti, pandangan Ian Adams, kemunculam gerakan Islam radikal merupakan hal wajar karena fundamentalisme (radikalisme) dapat ditemukan dalam berbagai macam lingkungan dan tampil dalam berbagai bentuk yang beragam, termasuk dalam wajah agama (kelompok agama).9 Meski menampilkan wajah dakwah, berbagai gerakan Islam yang datang belakangan tersebut secara geneologis mereka memiliki akar ideologi dan paham keislaman dari Timur Tengah. Sebagaimana pandangan Akh Muzakki, kemunculan gerakan Islam radikal atau juga dikenal dengan Islam radikal tidak lebih dari representasi total Islam Timur Tengah.10 Pandangan ini diperkuat Haidar Nashir, kemunculan Islam radikal atau Islam yang mengusung gagasan syariat Islam merupakan bentuk reproduksi gagasan dan ideologis Islam salafiyah di Timur Tengah. 11 Salafisme adalah faham keagamaan yang didirikan pada akhir abad ke-19 oleh para reformis muslim seperti Muhammad 8 Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2004), 19 9 Ian Adams, Ideologi Politik (Yogyakrta: Qalam, 2004), 426 10 Ach. Muzakki, “Importasidan Lokalisasi Ideologi Islam: Ekspansi Gerakan Islam Pinggiran Pasca Soeharto”, Juranal MAARIF, Vol. 2, No.4, Juni 2007 11 Haidar Nashir, Gerakan Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia (Jakarta: PSAP, 2007), 8 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 3 ‘Abduh (w.1905M), Jamal al-Din al-Afghani (w.1935 M), bahkan dikaitkan juga dengan Ibn Taymiyyah dan muridnya Ibn Qayyim al-Jawziyyah. Istilah salaf berati “pendahulu” dan dalam konteks Islam pendahulu itu merujuk pada periode Nabi Muhammad SAW, sahabat, tabi’in dan tabi’in-tabi’at. Selain itu ada istilah salafi (pengikut kaum salaf) memiliki arti yang fleksibel, serta memiliki daya tarik natural sebab ia dilambangkan otentitas dan keabsahan. Sebagai istilah salafi di manfaatkan oleh setiap gerakan yang ingin mengklaim bahwa gerakan itu berakar pada autentisitas Islam.12 Salafisme menyeruh untuk kembali pada konsep yang sangat dasar dalam Islam. Umat Islam seharusnya mengikuti anjuran Nabi dan para sahabatnya yang mendapatkan petunjuk (al-salaf al-shalih) dan generasi awal yang saleh. Salafisme menegaskan bahwa dalam menghadapi semua persoalan, umat Islam seharusnya kembali pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam melakukannya umat Islam harus menginterpretasikan sumber-sumber asli itu berdasarkan kebutuhan dan tuntutan modern tanpa harus mutlak pada produk penafsiran generasi muslim awal. Salafisme tidak tertarik pada sejarah, dengan menekankan asumsi “zaman keemasan” di era kehidupan Nabi dan para sahabatnya, sertamenolak pada warisan sejarah Islam yang lebih besar.13 Geneologi ideologi gerakan radikal-fundamental dapat dilacak bersumber dari pemahaman literal-formalistik terhadap tradisi kaum salaf. Tradisi kaum salaf oleh kelompok ini dijadikan pijakan ideal dalam berfikir maupun bertindak, baik dalam kehidupan keagamaan maupun interaksi sosial (mu’amalah). Mereka memahami bahwa tradisi kaum salaf merupakan tradisi paling sesuai dengan yang diharapkan oleh Nabi Muhammad SAW 12 Pada awalnya istilah salafi dipakai kaum reformis liberal.Namun pada awal abad ke-20,kaum Wahabi menyebut diri mereka kaum salafi. Akan tetapi hingga tahun 1970an, istilah itu tidak terkait dengan keyakinan Wahhabi. Lebih jelas lihat, Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (terj), penerjemah Helmi Musthofa (Jakarta: Serambi, 2006), 93 13 Ibid.,94-95 4 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” dalam mengatur kehidupan.14 Untuk mewujudkan cita-cita ideal tersebut kelompok ini cenderung menggunakan model dakwah radikal-fundamental. Sebagaimana pendapat Jamhari dan Jajang, bahwa kemunculan kelompok Islam radikal di dunia Sunni sekarang ini berkaitan dengan reformulasi ideologi salaf. Sebuah paham yang mengajarkan umat Islam agar menyotoh perilaku Nabi Muhammad SAW dan para sahabat. Ideologi salaf yang pada awalnya menekankan pada pemurnian (puritanisme) aqidah mengalami metamorfosis pada abad ke-20. Salafisme tidak hanya gerakan purifikasi keagamaan semata tetapi menjadi ideologi perlawanan terhadap berbagai paham yang tidak sesuai dengan nilainilai agama.15 Akar ideologi Islam radikal selain bersumber dari ideologi salafi, juga terkait erat dengan ideologi Wahabi.16 Dasar ideologi Wahabi dibangun oleh Muhammad ibn Abd Wahhab (w.1206), gagasan utama adalah bahwa umat Islam telah melakukan kesalahan dan menyimpang dari jalan Islam yang lurus dan hanya dengan kembali ke satu-satunya agama yang benar mereka akandi terima dan mendapat ridha dari Allah. Dengan semangat puritan kaum Wahabi ingin membersihkan segala bentuk tambahan, tafsir, tasawuf, Syiah yang di nilai bid’ah. Wahabisme menolak intelektualisme, mistisisme, dan sektarianisme dalam Islam dengan memandang semua itu sebagi inovasi yang menyimpang karena ada pengaruh dari luar. Wahabi tidak memberi jalan tengah bagi umat hanya ada dua menjadi orang Islam yang benar atau kaffir. Wahabi juga sangat fanatik dan benci dengan kelompok non muslim dengan menegaskan bahwa muslim seharusnya tidak mengikuti kebiasaan non muslim. Wahabi mendukung sistem keyakinan tertutup, lengkap dan memenuhi kebutuhan sehingga tidak ada alasan 14 Geneologi ideologi radikal dijadikan pijakan oleh beberapa kelompok Gerakan Islam Radikal di Indonesia ternyata terkait kuat dengan gerakan atau ideologi salafi yang tumbuh subur di Timur Tengah terutama Saudi Arabia. Lihat, Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press,2004) 15 Ibid., 252 16 Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam, 93 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 5 untuk terlibat kecuali mendominasi. Sebagaimana pandangan Khaled Abou El Fadl, bahwa kaum Wahabi jelas-jelas memengaruhi setiap gerakan puritan/radikal di dunia Islam di era kontemporer. Setiap gerakan Islam yang dilabeli radikal seperti alQaedah,17 Ikhwanul al-Muslimun sangat kuat dipengaruhi oleh ideologi Wahabi.18 Ideologi salafi dan wahabi secara metodologis dan ditinjau dari subtansinya nyaris identik kecuali bahwa Wahabi kurang toleran terhadap keragaman dan perbedaan pendapat. Salafisme tidak serta merta anti intelektualisme seperti wahabisme ia cenderung tidak tertarik pada sejarah.19 Dari pemetaan tersebut kedua ideologi mempunyai semangat yang sama, yaitu ingin mengembalikan ajaran Islam secara murni dan sesuai dengan zaman Nabi dan sahabat dengan pemahaman yang literal-tekstual, serta kurang dapat menerima kelompok di luarnya. Gerakan Islam radikal juga menjadikan terma jihad sebagai salah satu landasan perjuangan. Konsep jihad mengalami pergeseran makna.20 Konsep jihad cenderung ditafsiri secara literal dan sempit. Jihad yang semula dipahami sebagai upaya sungguh-sungguh untuk menggerakkan segala tenaga, pikiran, dan harta untuk kemajuan Islam melalui dakwah, bergeser ke makna artifisial dan fisikal. Pergeseran makna jihad ini terjadi terutama di kalangan pengikuti Wahabi yang identitik dengan neo-fundamentalisme atau neo-salafi. Wahabi awal memaknai jihad adalah perjuangan menegakkan monoteisme, tetapi belakang bergesar pada gerakan perlawanan global tanpa kompromi dengan siapa saja yang secara ideologi berbeda, yang ada adalah perang melawan Yahudi, Kristen dan Barat secara global, sehingga sering berbenturan dengan kelompok non-Muslim bahkan dengan sesama kelompok Islam sendiri.21 17 Untuk lebih jelas sepak terjang dan ideologi ak-Qaeda, baca karya As’ad Said Ali, Al-Qaeda; Tinjaun Sosial-Politik, Ideologi dan sepak terjangnya, (Jakarta: LP3ES, 2014). 18 Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam, 61 19 Ibid., 94 20 Natana J Delong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform Global Jihad (London: Oxford University Press, tt), 278 21 Zuly Qadir “Gerakan salafi Radikal dalam Konteks Islam Indonesia”, Jurnal Islamica, 6 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” Konsepsi jihad di atas berkembang di Indonesia. Jihad identitik dengan jalan kekerasan, teror, bom di tempat umum. Oleh Fazlur Rahman, konsep jihad seperti itu dikritik sebagai bentuk salafi yang sempit. Bukan salafi yang mengambil semangat Ibnu Taymiyyah yang menyatakan perbuatan manusia tidak bersifat zahiri, tampak sebagai kebaikan (jihad) tetapi ada perbuatan yang bersifat batiniah, inilah sesungguhnya menjadi bagian terpenting dalam iman pada Tuhan.22 Gerakan Islam radikal yang tumbuh di Indonesia berbeda dengan gerakan Islam yang terlebih dahulu eksis di Indonesia. Gerakan Islam awal (NU, Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad) dianggap mewakili gerakan Islam moderat.23 Sehingga, Azyumardi Azra juga kerap menyebut bahwa Islam moderat merupakan karakter asli dari keberagamaan Muslim di Indonesia.24 Gerakan Islam moderat adalah gerakan Islam yang menjunjung tinggi sikap tasammuh, tawazun, tawasuth, dan menghargai perbedaan (toleran), menjunjung perdamaian, santun dan terbuka dalam berdakwah di masyarakat.25 Sementara gerakan Islam radikal lebih cenderung berideologi radikal-fundamental dengan tampilan wajah dakwah yang keras dan tertutup. Salah satu gerakan Islam moderat di Indonesia adalah Muhammadiyah. Muhammadiyah telah meneguhkan diri sebagai gerakan Islam yang menampilkan paham agama (ideologi) yang rahmatalil’alamin.26 Muhammadiyah sampai saat ini tetap konVol.3, No.1, September 2008, 2. 22 Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam: Studi Fundamentalisme Islam (ter), penerjemah Aam Fahmia (Jakarta: Rajawali Press, 2001), 163 23 Menurut, Azumardi Azra Muhammadiyah-NU adalah produk asli Indonesia (made in Indonesia) yang memiliki paham keIslaman moderat (Washatiyah) dan memiliki jaringan dan anggota terbanyak di Indonesia. Dan secara komitemen ideologi NU-Muhammadiyah adalah memperjuangkan nilai-nilai Islam bukan formalisasi Islam dalam bentuk Negara maupun penerapan Syariat Islam sebagai hukum positif. Azumardi Azra, “ISIS Mengancam Kita”, Forum Indonesia Lawyers Club (ILC) TV One, (24 Maret 2015) 24 Lihat M. Hilaly Basya, “Menelusuri Artikulasi Islam Moderat di Indonesia”, http:// www.madina-sk.com/index.php?option.com, diakses tanggal 23 Juli 2009. 25 Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU (Solo, Jatayu, 1985) 26 Haedar Nashir, Kristalisasi Ideologi Muhammadiyah dan Komitmen BerMuhammmadiyah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007), 31 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 7 sisten sebagai gerakan Islam moderat dengan mengusung gerakan pembaharuan (tajdid) dan pemurnian (tanzih). Ideologi Muhammadiyah menasbihkan anti-kekerasan, anti-pemaksaan dan berorientasi pada humanisme. Orientasi dakwah yang humanis dan menghargai tradisi lokal sering disebut dengan dakwah kultural.27 Konstruksi dakwah kultural muncul disebabkan gerakan Muhammadiyah selama ini dicap gerakan anti-tradisi lokal yang akrab dengan kehidupan masyarakat desa dan rakyat, hal itu menjadikan gerakan ini terasing dari kehidupan rakyat kecil pedesaan. Fakta ini mendorong beberapa elite pimpinan Muhammadiyah mengembangkan gagasan yang disebut dakwah kultural yang disusun tahun 2002. Tujuan dakwah kultural adalah bagaimana melakukan dakwah dengan memperhatikan kondisi obyektif masyarakat yang hendak dirubah. Konsep dakwah kultural senafas dengan pandangan dan sikap Kiai Ahmad Dahlan yang tidak anti-tradisi.28 Konstruksi ideologi Muhammadiyah berasal dari ajaran dan perjuangan Kyai Ahmad Dahlan. Ajaran dan perjuangan Kyai Ahmad Dahlan telah menginspirasi para aktivis Muhammadiyah dalam bergerak mengembangankan Islam di Indonesia. Prinsip dasar ajaran Kyai Ahmad Dahlan adalah memadukan kesalehan individual dan kesalehan sosial yang berpegang kepada al-Qur’an dan al-Hadits.29 Bercita-cita mewujudkan masyarakat yang utama, dan sebenar-benarnya yang diridhoi Allah SWT.30 Ideologi Muhammadiyah terbentuk melalui proses sejarah 27 Lihat Abdul Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani (Bentang: Yogyakarta, 2000). Adapun konsep dakwah kultural secara lengkap, lihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dakwah Kultural Muhammadiyah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2005). 28 GRAy. Koes Moertiyah & Nasarudddin Anshory, Tafsir Jawa Keteladan Kiai Ahmad Dahlan, (Yogyakarta: Adiwacana, 2010) 29 Prinsip dan ajaran-ajaran Kiyai Ahmad Dahlan dalam memahami kehidupan yang kemudian di jadikan landasan dalam menggerakan Muhammadiyah, semuanya dilandaskan pada prinsip-prinsip Al Qur’an dan Hadits yang kemudian di jadikan landasan Ideologi Muhammadiyah. Lihat KRH. Hadjid, Pelajaran KH. Ahmad Dahlan: 7 falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat Al Qur’an (Yogyakarta: LPI PP Muhammadiyah, 2008) 30 Haedar Nashir, Kristalisasi Ideologi, 4 8 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” panjang yang dipengaruhi situasi dan kondisi lingkungan sekitar (baca: Kauman Yogyakarta). Sebagaimana pendapat Louis Althusser, bahwa proses terbentuknya ideologi diantaranya karena faktor sosio-historis.31 Artinya, ideologi terbentuk tidak di ruang hampa tetapi melalui proses dinamika persoalan di masyarakat yang mengkristal menjadi prinsip kehidupan. Begitu juga ideologi Muhammadiyah dibentuk sebagai respons terhadap perkembangan sejarah. Ia dirumuskan dan dikembangkan tidak dalam ruang hampa tetapi di ruang realitas masyarakat yang dinamis. Ideologi Muhammadiyah memiliki karakter yang menjadi sistem paham, visi, misi dan strategi perjuangan yang khas yang membedakan dengan ideologi gerakan Islam yang lain. Artinya yang membedakan gerakan Muhammadiyah dengan gerakan Islam lain adalah karena orientasi ideologi dan strategi dakwahnya. Belakangan ini, ada fenomena menarik di kalangan aktivis Muhammadiyah. Sebagian di antara mereka terlibat dalam berbagai gerakan Islam radikal.32 Padahal, antara gerakan Muhammadiyah dengan gerakan Islam radikal mempunyai ideologi gerakan yang berbeda. Fenomena tersebut digambarkan oleh penulis sebagai gejala pergeseran ideologi. Fakta tersebut tentu sulit dipahami, sebab Muhammadiyah merupakan organisasi sosial keagamaan yang sudah mapan, baik secara ideologi maupun dakwah. bahkan merupakan salah satu penyanggah kehidupan sosial keagamaan di Indonesia. Namun, kenapa para aktivisnya mudah terpengaruh dan pindah ke ideologi gerakan lain. Fenomena tersebut terjadi di kalangan aktivis Muhammadiyah di Paciran, Lamongan. Sejumlah aktivis Muhammadiyah menjadi penggerak atau simpatisan gerakan Front Pembela Islam (FPI).33 Padahal daerah Paciran merupakan basis massa ter31 Syamsul Arifin, Ideologi Praksis Gerakan Sosial kaum fundamentalisme (Malang: UMM Press, 2005), 45 32 Miftachul Huda, Ikhwanul Muhammadiyah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah dan Kibar Press, 2007), 4 33 Front Pembela Islam (FPI) merupakan salah satu gerakan Islam radikal berideologi radikal-fundamental. FPI dikenalmasyarakat sebagai organisasi Islam yang sering menggunakan cara-cara kekerasan dan kasar dalam berdakwah di masyarakat. Ciri khas dakwah FPI adalah dengan swipping di berbagai tempat hiburan (diskotek, cafe, The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 9 besar pengikut Muhammadiyah di Lamongan, bahkan di Jawa Timur. Daerah ini termasuk salah satu wilayah Muhammadiyah yang berkembang pesat. Di daerah ini banyak tokoh dan aktivis Muhammadiyah dilahirkan. Di samping itu, Paciran merupakan wilayah awal masuk dan perkembangan Muhammadiyah di wilayah Lamongan.34 Potret tersebut menggambarkan adanya kecenderungan kerapuhan ideologi di lingkungan kaum muda Muhammadiyah. Fenomena di atas, menurut hemat penulis, penting dan menarik untuk dikaji secara mendalam. Sebab, pertama; fonomena pergeseran ideologi yang terjadi di kalangan aktivis Muhammadiyah di Paciran mempengaruhi gerakan Muhammadiyah dan wajah gerakan Islam di Indonesia. Hal itu disebabkan karena posisi Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi masyarakat terbesar di Indonesia. Menurut Azyumardi Azra, NU-Muhammadiyah adalah produk asli Indonesia. Keduanya memiliki paham keagamaan yang moderat dan memiliki jaringan dan anggota terbanyak di Indonesia. Secara komitemen, ideologi NU-Muhammadiyah adalah memperjuangkan nilai-nilai Islam, bukan formalisasi Islam dalam entuk negara maupun penerapan Syariat Islam sebagai hukum positif.35 Kedua, wajah Islam Indonesia bergantung dari gerakan dakwah NU dan Muhammadiyah. Kalau dakwah NU-Muhammadiyah tampildengan cara radikal, maka secara tidak langsung akan menggambarkan wajah Islam Indonesia yang radikal dan begitu juga sebaliknya. Padahal, selama ini Islam Indonesia dikenal dengan wajah dakwah yang moderat, damai, santun, toleran dan rahmatalli’alamin. lokalisasi, karaoke, dll) dengan membawa alat pemukul dan pedang. FPI adalah salah satu gerakan salafi radikal di Indonesia yang berideologi radikal-fundamental dalam memahami ajaran Islam. 34 Tepatnya di Desa Blimbing Paciran, baca, Fathurrahman Syuhadi, Mengenang Perjuangan: Sejarah Muhammadiyah Lamongan 1936-2005, (Surabaya: Java Pustaka, 2006), 13 35 Azyumardi Azra, ISIS Mengancam Kita”, Forum Indonesia Lawyers Club (ILC) TV One, ( 24 Maret 2015) 10 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” B. Fokus Kajian Berdasarkan uraian yang dideskripsikan di atas, maka fokus kajian penelitian adalah memahami gejala pergeseran ideologi di kalangan aktivis Muhammadiyah yang terlibat di gerakan Front Pembela Islam (FPI). Lebih lanjut, kajian ini bermaksud untuk mengungkapkan, pertama; membongkar latar belakang dan faktor gejala pergeseran ideologi terjadi di kalangan aktivis Muhammadiyah. Hal ini penting untuk mendapatkan gambaran secara utuh pendorong proses berlangsungnya transisi ideologi yang terjadi di kalangan aktivis Muhammadiyah di Paciran, Lamongan. Kedua; mengungkap bentuk dan proses pergeseran ideologi yang terjadi di kalangan aktivis Muhammadiyah. Fokus ini penting untuk menemukan berbagai paradigma ideologi dan sikap keberagamaan aktivis Muhammadiyah yang terlibat di FPI. Sehingga penulis dapat melakukan tipologi terhadap paradigma ideologi dan sikap keberagamaan mereka dalam merespons ideologi Muhamadiyah dan FPI. Ketiga, mendeskripsikan jalur dan media pergeseran ideologi yang terjadi di kalangan aktivis Muhammadiyah. Fokus kajian ini penting untuk menemukan secara utuh jaringan yang digunakan sehingga proses transformasi ideologi Islam radikal dapat masuk di kalangan Muhammadiyah. Dan, mengungkap strategi media yang digunakan dalam penyembaran ideologi di kalangan aktivis Muhammadiyah. Keempat, memahami dampak dari proses pergeserandari ideologi Muhammadiyah ke ideologi FPI. Fokus ini penting untuk membongkar pergulatan pengaruh ideologi antara kelompok Islam (Muhammadiyah-FPI) yang berusaha saling mendominasi. Selain itu untuk mendapatkan potret secara utuh wajah dakwah Muhammadiyah dan wajah Islam Indonesia dari dampak proses pergeseran Ideologi di kalangan aktivis Muhammadiyah di Paciran Lamongan. Di samping itu, hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai perangkat dalam memahami proses infiltrasi ideologi IsThe Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 11 lam radikal ke berbagai kelompok Islam moderat di Indonesia. Memang secara keputusan organisasi, Muhammadiyah menolak dan mengutuk tegas ideologi Islam radikal, namun penganut grass root dapat saja memberikan dukungan kepada kelompok-kelompok Islam rdaikal. Seperti banyak diketahui bahwa ideologi Islam radikal memiliki potensi yang mudah menyebar dan merembas dengan halus dan samar tanpa diketahui secara pasti. Selain itu hasil penelitian ini dapat digunakan untuk pengembangan keilmuan pemikiran Islam terutama terhadap perkembangan gerakan Islam radikal di Indonesia. Dan dapat digunakan bagi pemerintah dan komunitas keagamaan di Indonesia dalam menyikapi perubahan dan perbedaan pemikiran Islam agar tidak terjadi konflik di masyarakat. C. Kajian Terdahulu Femonena infiltrasi ideologi Islam radikal ke kelompok Islam maistream (NU-Muhammadiyah) menjadi perhatian serius dan ramai di kalangan aktivis, cendekiawan, dan pemerintah Indonesia. Sehingga harus diakui publikasi (buku atau opini) terhadap fenomena infiltrasi ideologi Islam radikal sudah ada, tetapi kajian yang fokus mengakaji fenomena infiltrasi di tubuh Muhammadiyah yang berbasis lapangan masih terbatas. Ada beberapa kajian yang membahas fenomena infiltrasi ideolgi radikal Islam di Muhammadiyah. Diantaranya, yaitu Karya Miftahul Huda, Ikhwanul Muhammadiyah: Benturan Ideologi dan Kaderisasi dalam Muhammadiyah.36 Karya ini menjelaskan benturan ideologi Muhammadiyah dengan ideologi gerakan Islam lainnya yang cenderung berideologi radikal, seperti Ikhwan al-Muslimun (Tarbiyah, PKS). Menurut Huda, diperlukan strategi penyikapan bagi Muhammadiyah terhadap kelompok-kelompok ini. Namun, dalam kajian tersebut, Huda lebih didasarkan pada opini. Tidak fokus pada satu inti masalah dan pengolahan data sekunder dan tidak berbasis pada kajian lapangan sehingga 36 Miftachul Huda, Ikhwanul Muhammadiyah, 10 12 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” cenderung ideologis. Studi terkait terdapat dalam kajian Deni al-As’ary, Selamatkan Muhammadiyah; Agenda Mendesak Warga Muhammadiyah.37 Kajian ini berusaha mengungkap fakta-fakta tergerusnya ideologi Muhammadiyah mulai dari Amal pendidikan, kaderisasi, model dakwah Muhammadiyah sampai pada paham keagamaan Muhammadiyah. Menurut Deni, saat ini ideologi keagamaan Muhammadiyah berada ditengah-tengah pusaran ideologi Islam Transnasional yang cenderung radikal, sehingga dibutuhkan gerakan antisipatif. Namun, kajian Deni ini tidak fokus dan tidak berdasarkan kajian lapangan langsung, sehingga nampak sebatas gambaran awal akan adanya ancaman dari gerakan Islam Transnasional ke Muhammadiyah. Diakui oleh banyak sarjana, bahwa infiltrasi ideologi Islam radikal lebih muda masuk ke Muhammadiyah daripada ke NU. Salah satu indikasinya adalah adanya kemiripan ideologi Muhammadiyah yang puritan dengan ideologi Wahabi. Hal dapat ditemukan dalam buku, Muhammadiyah & Wahhabisme Mengurai Titik Temu dan Titik Seteru.38 Buku yang ditulis oleh beberapa Pimpinan Muhammadiyah ada perdebatan menarik berkaitan tentang relasi Muhammadiyah dengan Wahabisme. Dalam perdebatan itu ditemukan ada benang merah antara ideologi Muhammadiyah dengan ideologi Wahabi, walau sebagian ada yang menolak secara tegas. Kajian ini diperkuat dengan buku Haedar Nashir, Manifestasi Gerakan Tarbiyah; Bagaimana Sikap Muhammadiyah.39 Di karya tersebut ditemukan adanya infiltrasi ideologi Islam radikal (Kelompok Tarbiyah-Ikhwanul al-Muslimun yang bermetamorfosis menjadi Partai Keadailan kemudian berganti Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dampak yang ditimbulkan dari proses tersebut adanya perubahan perilaku keagamaan di kalangan warga Mu37 Deni al-As’ary, Selamatkan Muhammadiyah; Agenda Mendesak Warga Muhammadiyah, ( Yogyakarta: Kibarpress, 2009) 38 Mua’arif (penyuting), Muhammadiyah dan Wahhabisme; Mengurai Titik Temu dan Titik Seteru, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2012) 39 Haedar Nashir, Manifestasi Gerakan Tarbiyah; Bagaimana Sikap Muhammadiyah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2006) The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 13 hammadiyah. Mereka cenderung mengikuti tradisi keagamaan kelompok Tarbiyah daripada tradisi keagamaan Muhammadiyah. Benturan ideologi di kalangan gerakan Islam di Indonesia salah satunya disebabkan adanya proses infiltrasi ideologi kelompok Islam radikal kepada kelompok Islam maistream (NU-Muhammadiyah). Ada beberapa kajian yang dapat dijadikan rujukan profil dan dinamika gerakan Islam Radikal. Semisal, karya Khamami Zada, Islam Radikal Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia.40 Fokus kajian Zada adalah mengungkap secara detail geneologi ideologi dan agenda politik dari kelompok Islam garis keras di Indonesia. Diantara kelompok Islam garis keras adalah Front Pembela Islam (FPI) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dari kajian tersebut ditemukan bahwa kelompok-kelompok Islam garis keras secara politik sangat berbahaya bagi masa depan politik Islam di Indonesia. Melengkapi kajian itu, ada karya Al Zastrow, Gerakan Islam Simbolik Politik Kepentingan FPI.41 Kajian tersebut, fokus pada sejarah, konstrsuksi sosial dan orientasi politik aktifitas FPI di Jakarta di bawah komando Habib Rizieq Shihab. Dalam kajian tersebut terungkap kedok gerakan FPI, agenda perjuangan dan konstruksi ideologi FPI. Ditemukan pula dibalik simbol-simbol agama yang dipakai oleh FPI dalam melancarkan aksi gerakannya hanyalah dramaturgi politik, artinya antara panggung depan pada saat aksi (jubah putih, simbol agama) ada kesenjangan dengan dipanggung belakang. Gerakan FPI memang selama ini menjadi perhatian di kalangan masyarakat Indonesia dengan aksi-aksi keras dan kasarnya dalam berdakwah. Fenomena ini teramati dari kajian Andri Rosadi, Hitam Putih FPI (Mengungkap Rahasia-rahasia Mencengangkan Ormas Keagamaan Paling Kontroversial).42 Kajian Rosadi menemukan dua sisi dalam tubuh FPI, yaitu sisi positif 40 Khamami Zada, Islam RadikalPergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia (Bandung: Mizan, 2003) 41 Al Zastrow, Gerakan Islam Simbolik Politik Kepentingan FPI (Yogyakarta:LKiS, 2006) 42 Andri Rosadi, Hitam-Putih FPI (Mengungkap Rahasia-rahasia Mencengangkan Ormas Keagamaan Paling Kontroversial) (Jakarta: Nun Publisher, 2008) 14 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” dan sisi negatif. Sisi negatif ditemukan perilaku para aktivis FPI yang melanggar Syariat Islam dan jaringan dibelakang FPI yang ditengarai dengan kelompok-kelompok kepentingan. Sementara sisi positif FPI, secara faktual dengan keberadaan FPI dapat meminimalisir prilaku kemaksiatan di masyarakat. Ideologi dan pedoman organisasi FPI terbilang sangat lengkap. Hal tersebut terdapat dalam karya Muhammad Rizieq Syihab, Dialog FPI: Amar Maruf Nahi Munkar.43 Buku ini dapat dikatakan sebagai buku induk dan pedoman bagi aktivis FPI dalam bergerak di masyarakat. Dalam buku tersebut dijelaskan secara utuh konstruksi ideologi, visi-misi, tujuan, program dan pedoman organisasi gerakan FPI. Aksi radikal yang ditampilkan oleh kelompok Islam radikal disebabkan oleh bangunan ideologi radikal. Ideologi gerakan Islam radikal memiliki jaringan akar dengan ideologi Wahabi dan Salafi. Fenomena ini dapat ditemukan dalam karya Jamhari dan Jajang Rohani, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia.44 Kajian Jamhari ditemukan akar geneologi gerakan salafi radikal di Indonesia seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), FPI, dan Lasykar Jihad terkait dengan jaringan kelompok Islam radikal di Timur Tengah, seperti Al-Qaedah, Ikhwan al-Muslimun, Jami’at Islam Pakistan, Jama’ah Islamiyah, Taliban dan Mujahiddin Afghanistan. Selain ideologi, jejaring yang terbangun adalah program dan pendanaan. Ada juga karya Youssef M. Chouliri, Islam Garis Keras: Melacak Akar Gerakan Fundamentalisme.45 Karya Chouliri menjelaskan secara komperhensif geneologi pemikiran dan gerakan kelompok Islam garis keras. Ditemukan geneologi ideologi Islam garis keras berasal dari ideologi Wahabi. Kajian yang cukup mendasar dan menelaah dari benih idelogisasi gerakan radikal Islam (fundamentalisme) terdapat dalam buku Nafi’ Muthohirin bertajuk Fundamentalisme Islam; Gerakan 43 MuhammadRizieqSyihab, Dialog FPI: Amar Maruf Nahi Mungkar (Jakarta: Pustaka Ibnu Sida, 2004) 44 Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press,2004) 45 Youssef M. Choueiri, Islam Garis Keras: Melajak Akar Gerakan Fundamentalsime (terj), penerjemah Humaidi Syuhud (Yogyakarta: Qonun Press, 2003) The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 15 dan Tipologi Pemikiran Aktivis Dakwah Kampus. Buku ini meneliti tiga gerakan Islam (Tarbiyah, Jamaah Salafi, dan Hizbut Tahrir Indonesia). Hanya dalam penelitiannya, Nafi’ lebih fokus meriset akar pembenihan gerakan radikal Islam di lingkungan mahasiswa, khsususnya di perguruan tinggi negeri di Indonesia.46 Relevansi dengan buku ini adalah, bahwa tesis ini dapat menjelaskan genealogi dan tipologi pemikiran aktivis Islam radikal, tak terkecuali di Muhammadiyah. Ideologi Muhammadiyah secara prinsip berbeda dengan ideologi Islam radikal, termasuk ideologi FPI. Ideologi Muhammadiyah merupakan sistem paham dalam perjungan melaksanakan gerakan untuk mencapai tujuan Muhammadiyah.47 Artinya ideologi Muhammadiyah merupakan pondasi dan landasan gerak bagi warga Muhammadiyah dalam kehidupan sosial-keagamaan. Ada beberapa karya dapat di jadikan rujukan misalnya; Buku Abdul Munir Mulkhan (edit), Api Pembaharuaan Kia Ahmad Dahlan.48 Karya tersebut menjelaskan ajaran-ajaran dan spirit Kiai Ahmad Dahlan dalam melakukan proses pembaharuan Islam. Spirit dan pemikiran-pemikiran Kiai Ahmad Dahlan ini kemudian di konstruksi menjadi ideologi Muhammadiyah. Konstruksi ideologi Muhammadiyah diperkuat, oleh karya KRH. Hadjid, Pelajaran KH. A. Dahlan: 7 Falsafah Ajaran & 17 Kelompok Ayat Al Qur’an.49 Buku itu menjelaskan jiwa gerakan Muhammadiyah yang bersumber dari ajaran Kyai Ahmad Dahlan yang diambil dari spirit dan nilai-nilai al-Qur’an. Ada juga karya Haedar Nashir, Kristalisasi Ideologi Muhammadiyah dan Komitmen BerMuhammmadiyah,50 karya tersebut menjelaskan karakter, orientasi ideologi dan komitmen berMuhammadiyah. Diperkuat dengan buku yang dikeluarkan oleh PP Muhammadiyah, Manhaj Gerakan Muhammadiyah: Ideologi, Khittah, dan 46 Lihat Nafi’ Muthohirin, Fundamentalisme Islam; Gerakan dan Tipologi Pemikiran Aktivis Dakwah Kampus (Jakarta: Indostrategi dan Multipresindo, 2014) 47 Haedar Nashir, Meneguhkan Ideologi Gerakan Muhammadiyah (Malang: UMM Press, cet ke- 2, 2007), iv 48 Abdul Munir Mulkhan (Edit), Api pembaharuan Kiai Ahmad dahlan (Yogyakarta: Multi Press, 2008) 49 KRH. Hadjid, Pelajaran KH. A. Dahlan, 5 50 Haedar Nashir, Kristalisasi Ideologi Muhammadiyah, 7 16 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” Langkah.51 Karya ini mengupas tuntas tentang manhaj gerakan dan ideologi gerakan Muhammadiyah. Ideologi Muhammadiyah adalah ideologi yang inklusif anti kekerasan, toleran. Untuk melihat lebih jauh tentang ideologi Muhammadiyah ada karya Sazali, Muhammadiyah dan Masyarakat Madani.52 Karya tersebut banyak mengungkapkan ideologi atau prinsp gerakan Muhammadiyah yang menghargai pluralisme dan sangat menjunjung tinggi toleransi. D.Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Jenis penelitian yang digunakan adalah riset kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan model untuk mengeskplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang.53 Proses penelitian kualitatif melalui tahapan pengajuan pertanyaan kepada subyek penelitian, mengumpulkan data dari subyek dan partisipan penelitian, menganalisa data secara induktif melalui dari tema-tema khusus ke tema-tema umum dan menafsirkan makna data tersebut. Pada penelitian ini digunakan untuk memahami pandangan dan prilaku aktivis Muhammadiyah yang terlibat di FPI Paciran Lamongan. Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan fenomenologi-konstruksi sosial. Pada mulanya fenomenologi adalah aliran filsafat yang mengkaji penampakan atau fenomena yang terjadi. Teori ini pertama kali dikenalkan oleh Edmund Husserl (1959-1938) kemudian dikembangkan oleh Alfred Schultz dengan dipengaruhi pemikiran Max Weber tentang verstehen.54 Sehingga banyak sarjana yang mengakui 51 Suara Muhammadiyah & PP Muhammadiyah, Manhaj Gerakan Muhammadiyah: Ideologi, Khittah, dan Langkah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2009) 52 Sazali, Muhammadiyah dan Masyarakat Madani (Jakarta: PSAP, 2005) 53 John W. Creswell, Research Design; Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2013), 4-5 54 Max Weber, Sosiaologi Agama; A Handbook, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012) The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 17 Weber memiliki jasa besar dalam mengkonstruk fenomenologi yang awalanya sangat filosofis bergeser ke sosiologis. Kemudian menemukan puncaknya pada saat Peter L Berger dan Thomas Luckman, menjadikan fenomenologi sangat sosiologis dengan teori konstruksi sosial. Teori konstruksi sosial berpijak pada asumsi bahwa realitas sosial memiliki dimensi subyektif-obyektif tergantung manusia sebagai subjeknya. Manusia merupakan instrumen dan memiliki posisi penting dalam mengonstruksi realitas sosialnya melalui proses dialektis dari proses eksternalisasi, objektivasidaninternalisasi.55 Konstruksi dialektis tersebut, menurut Berger berjalan sebagai berikut; Pertama, proses eksternalisasi adalah proses penyesuain diri dengan situasi sosio-kultur masyarakat sebagai produk manusia. Kedua, proses objektivasi proses terjadinya interaksi sosial dalam dunia intersubyektif yang dilembagakan atau proses institusionalisasi. Ketiga, proses internalisasi adalah proses pasca institusionalisasi individu mengidentifikasi diri ditengah lembaga sosial atau organisasi sosial dimana individu tersebut bagian dari anggotanya.56 Relasi dialektis dapat dideskripsikan dalam tiga momentum;Pertama masyarakat adalah produk individu, kedua, masyarakat adalah realitas sosial obyektif, ketiga individu adalah produk masyarakat. Teori ini dapat digambarkan peneliti untuk mengkaji fenomena pergeseranideologi di kalangan aktivis Muhammadiyah. Skema teori fenomena transisi ideologi Aktivis Muhammadiyah. 55 Peter L Beger, Langit Suci; Agama Sebagai Realitas Sosial. Terj. Hartnono, (Jakarta; LP3S, 1991), 5 56 Ibid, 5-6 18 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” Skema tersebut memperlihatkan proses internalisasi dalam diri aktivis Muhammadiyah mengenai ideologi Muhammadiyah yang moderat, toleran, pembaharu, pemurnian sebagai produk dari komunitas tempat dia menjadi anggotanya. Pasca ideologi tersebut terinternalisasi dalam diri para aktivis, mereka kemudian melakukan obyektivasi, yaitu keluar dari realitas sosial Muhammadiyah karena dianggap kurang pas atau nyaman. Kemudian mereka mendirikan atau ikut kelompok tersendiri (FPI) yang berbeda dengan komunitas Muhammadiyah. Pada tahap ini mereka mulai menarik garis pembeda dengan komunitas diluar kelompoknya (Muhammadiyah). Setelah itu mereka melakukan eksternalisasi yang tercermin dalam berbagai gerakan ideologi FPI (radikal-fundamentalis), sebagai manifestasi dari proses eksternalisasi. Gerakan yang mereka lakukan merupakan usaha membangun konstruksi sosial yang sesuai dengan ideologi FPI yang telah terinternalisasi dalam dirinya (aktivis Muhammadiyah). 2. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua cara, telaah kepustakaan (library research) danwawancara mendalam (depth interview). Telaah kepustakaan dilakukan dengan cara membaca karya subyek penelitian mengenai tema yang relevan dengan masalah Muhammadiyah dan The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 19 Islam radikal. Wawancara mendalam (depth interview) dilakukan untuk mendapatkan pemahaman utuh mengenai fenomena dan pandangan subyek penelitian. Strategi wawancara yang digunakan oleh penulis melalui wawancaara langsung, telephon, SMS dan email. Wawancara digunakan untuk melakukan konfirmasi terhadap pandangan dan sikap mereka berkaitan dengan fenomena pergeseran ideologi Muhammadiyah ke gerakan Islam radikal (FPI). Agar peneliti dapat memahami pandangan dan sikap mereka, wawancara dilakukan beberapa kali dan dilakukan sesuai dengan kesepakatan (rumah, Musholah, Sekolahan dan Warkop). Hal ini digunakan untuk konfirmasi agar tidak terjadi kesalahpahaman antara peneliti dan subyek penelitian. 3. Subyek Penelitian Unit analisa yang dijadikan subyek penelitian adalah individu yang dikatagorikan sebagai aktivis Muhammadiyah. Istilah aktivisMuhammadiyah adalah merujuk pada pemahaman individu atau seseorang yang aktif atau pernah aktif di organisasi persyarikatan Muhammadiyah maupun organisasi otonom (Ortom) Muhammadiyah seperti Pemuda Muhammadiyah (PM), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Tapak Suci (TS), Hizbul Wathan (HW) atau Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) seperti guru di Sekolah Muhammadiyah, pimpinan atau karyawan di Rumah Sakit Muhammadiyah atau Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM). Pada penelitian ini fokus unit analisa adalah pada aktivis Muhammadiyah yang terlibat aktif maupun pasif (simpatisan) dalam berbagai kegiatan Front Pembela Islam (FPI) Paciran, Lamongan dan aktivisMuhammadiyah Paciran yang tidak terlibat FPI. Adapun untuk aktivisMuhammadiyah Paciran yang tidak terlibat FPI digunakan sebagai pembanding (second opinion) terhadap fenomena tersebut. 4. Analisis Data Analisa penelitian yang digunakan adalah analisa induktif. 20 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” Analisa penelitian dilakukan dengan melibatkan para subyek penelitian dan pandangan para sarjana. Maka dalam proses pemberian makna dari data yang dihasilkan baik dari telaah kepustakaan dan wawancara, selalu dikonfirmasikan kepada subyek penelitian. Strategi ini diharapkan dapat meminimalisir kesalahpahaman antara peneliti dengan subyek penelitian.Selanjutnya pemaknaan hasil penelitian didialogkan dengan pandangan (teori-teori) dari para ahli. Model analisa ini biasa disebut dengan model analisa penelitian triangulasi.57 Simpulan hasil penelitian dilakukan berdasarkan pada tingkat “kejenuhan” data dan fakta yang ditemukan dilapangan. Cara ini ditempuh dengan pertimbangan, penelitian kualitatif tidak pernah berakhir dan hasil data (fakta) yang ditemukan terus berproses (in prosess) dan selalu berkembang.58 Hasil penelitain akan senantiasa dikonfirmasikan kepada subyek penelitian sehingga simpulan akhir penelitian dapat segera dilakukan. 57 Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), 325-326 58 Sayuthi Ali, Metodologi Penelitian Agama, 65 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 21 22 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” BAGIAN KEDUA PERGULATAN GERAKAN DAKWAH MUHAMMADIYAH DI INDONESIA A. Sejarah Muhammadiyah Nalar kesejarahan, konstruksi filosofis, karakter ideologi dan agenda perjuangan Muhammadiyah dapat diketahui melalui pengungkapan setting sosio-historis-ideologis kelahirannya. Hal ini penting untuk memahami proses pergulatan gerakan Muhamamdiyah di Indonesia yang sudah menapaki usia lebih dari satu abad. Dengan usia itu, Muhammadiyah sudah dan terus memberikan konstribusi sangat besar bagi pembangunan kuantitas dan kualitas kehidupan umat Islam dan bangsa Indonesia, baik di bidang pendidikan (Sekolah & Perguruan Tinggi), kesehatan (Rumah Sakit), sosial, maupun keagamaan. Jumlah sekolah Muhammadiyah mencapai ribuan di seluruh Indonesia.1 Sehingga keberdaan Muhammadiyah di dunia Islam, khususnya di Indonesia tidak dapat dianggap remeh. Muhammadiyah sebagai salah satu gerakan sosial-keagamaan terbesar di Indonesia tidak lahir dan hadir di ruang hampa. Tetapi Muhammadiyah lahir dan hadir di tengah-tengah pergulatan realitas sosial–keagamaan masyarakat yang dinamis. 1 TK/TPQ 4.623, SD/MI 2.604, SMP/MTs 1.772, SMA/MA 1.143, Pesantren 67, PTM 172, RSM 457, Panti Asuhan 318, Panti Jompo 54, Rehabilitasi Cacat 82, SLB 71, Masjid 6.118, Mushola 5.080, Tanah 20.945.504 m2, Lebih lengkap buku, www.muhammadiyah.or.id 23 Artinya, kelahiran Muhammadiyah merupakan keniscayaan sejarah. Ia dilahirkan dari rahim dinamika persoalan masyarakat yang membutuhkan solusi perubahan yang lebih baik. Untuk memahami kelahiran sebuah kelompok atau organisasi masyarakat, perlu dikaji terlebih dahulu tokoh-tokoh pendirinya. Hal itu penting, karena ideologi, karakter, tujuan dan agenda perjuangan organisasi sangat dipengaruhi oleh sosio-kultur, politik dan keagamaan para pendirinya. Begitu juga kelahiran Muhammadiyah yang diprakarsai KH. Ahmad Dahlan, tentu tidak lepas dari pengaruh kehidupanya. Sehingga dapat dikatakan bahwa kelahiran Muhammadiyah merupakan wujud cita-cita atau gagasan KH. Ahmad Dahlan untuk memberikan solusi terhadap problem masyarakat pada waktu itu. Oleh karena itu, penting terlebih dahulu untuk mengkaji sosok KH. Ahmad Dahlan dari segala aspek latar belakang kehidupannya. 1. KH. Ahmad Dahlan: Profil Kyai Progresif Pendiri Muhammadiyah adalah KH. Ahmad Dahlan.2 Ia lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta pada 1868 M. Kauman, digambarkan oleh G.F Pijper, sebagai sebuah desa yang sempit seperti lukisan di kota Sultan Yogyakarta. Kampung Kauman terdiri dari jalan-jalan sempit dan tembok-tembok putih, orang asing tentu sulit menemukan jalan. Penduduknya padat, namun suasananya sepi dan tentram. Orang menyangka bahwa kesibukan penduduk itu berada di dalam kamar yang setengah gelap, daerahnya dekat masjid di mungkinkan sebagai penjelmaan dari keinginan untuk dekat pada yang suci.3 Menurut Van den Berg, kata Kauman berasal dari bahasa Arab yaitu Qawm yang berarti masyarakat. Namun arti ini tidak sesuai dengan kondisi kampung Kauman. Tepatnya, kata ini bentuk dari derivasi dari kata qaim yang berarti “pemimpin Islam”, sehingga 2 Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhamamdiyah Sebagai Gerakan Islam (Yogyakarta: LPPI, 2003), 109. 3 GF.Pijper, Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1990-1950 (terj), penerjemah Tudjimah dan Yessy Augustdin (Jakarta: Universitas Indonesia,1984), 65. 24 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” Kauman berarti “a place of the upholders of Islam”.4 Kampung Kauman Yogyakarta kemudian sangat dikenal sebagai kampung Muhammadiyah.5 Nama kecil KH Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis.6 Ayahnya bernama KH.Abu Bakar, seorang Khatib Masjid Besar Kesultanan Yogyakarat. Nasab KH Ahmad Dahlan sampai kepada Syekh Maulana Malik Ibrahim.7 Ibunya bernama Siti Aminah putri KH. Ibrahim Penghulu Kesultanan Yogyakarta. Dari silsilah tersebut dapat diketahui bahwa keturunan KH. Ahmad Dahlan adalah dari keturunan ulama dan elite priyayi Jawa, bukan sekedar pedangang seperti yang dikenal selama ini.8 Jabatan abdi dalem (pejabat) dalam sistem kekuasaan Kerajaan Ngayogyokarto Hadiningrat tetap dipegang oleh KH.Ahmad Dahlan ketika mendirikan Muhammadiyah. Karena jabatan itu, ia bergaul intens dengan pejabat Kolonial Belanda dan para pastor Kristiani. Tradisi masyarakat Kauman Yogyakarta, ada anggapan bahwa orang yang sekolah di Gubernemen (sekolah pemerintah Belanda) dianggap kafir atau Kristen. Oleh karena itu sewaktu menginjak usia sekolah Muhammad Darwis tidak disekolahkan, tetapi diasuh dan dididik ilmu-ilmu agama Islam oleh ayahnya sendiri di rumah.9 Pada usia delapan tahun, ia telah lancar membaca al-Qur’an hingga khatam. Selanjutnya, ia belajar ilmu Fiqih 4 Hisyam, Cought Between Three fires:Javanes Penghulu Under Dutch Colonialism Administarition 1882-1942, (Jakarta: INIS, 2001), 166. 5 Ahmad Adaby Darban, Sejarah Kauman; Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010), 9-22 6 Muhammad Darwis adalah anak ke-4 dari tujuh bersaudara, Nyai Ketib Harum, Nyai Muhsin (Nyai Nur), Nyai H. Saleh, Muhamamd Darwis, Nyai Abdurrahman, Nyai Muhammad Fakih dan Basir, lihat, M.Yusron Asrofie, Kyai Ahmad Dahlan, Pemikiran dan Kepemimpinannya (Yogyakarta: Yogyakarat Offset, 1983), 21. 7 Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah salah satu tokoh penyebar agama Islam di tanah Jawa dan termasuk jajaran Wali Songo yang sangat dihormati bahkan dikeramatkan oleh masyarakat Jawa, Makamnya berada di daerah pesisir Gresik dan menjadi salah satu tujuan utama ziarah masyarakat Jawa. Lihat, Abdurrahman Mas’ud, “Pesantren dan Walisongo”, dalam Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2000), 223-224. 8 Abdul Munir Mulkhan (edit), Api Pembaharuan, 17. 9 Djarnawi Hadikusumo, Aliran Pembaharuan Islam dari Jamaluddin al-Afghani sampai KH.A. Dahlan (Yogyakarata: Persatuan, tth), 74. The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 25 kepada KH. Muhammad Nur dan KH. Abdul Hamid dalam berbagai ilmu. Pada tahun 1889 M KH. Ahmad Dahlan dinikahkan dengan Siti Walidah putri KH. Muhammad Fadhil kepala Penghulu Kesultanan Yogyakarta.10 Jadi Siti Walidah itu masih saudara sepupu dengan Muhammad Darwis.11 Pasca menikah, atas nasehat orangtuanya Muhamamd Darwis diperintah agar menunaikan Ibadah Haji. Ia tiba di Makkah pada Rajab 1308H (1890 M). Pada saat di Makkah, Muhammad Darwis berguru ilmu agama kepada KH. Mahfud Termas, KH Nahrowi Banyumas, KH. Muhammad Nawawi al-Bantani dan juga kepada para ulama Arab di Masjidil Haram. Ia juga mendatangi ulama madhzab Syafi’i Bakri Syata, dan mendapat ijazah dengan nama Haji Ahmad Dahlan. Setelah musim haji selesai, Muhammad Darwis pulang dan tiba di Yogyakarta pada minggu pertama Shafar 1309 H. Pasca dari ibadah haji Muhammad Darwis selain berganti nama dia juga bertambah Ilmu, sehingga oleh ayahnya dipercaya untuk membantu mengajar santri remaja dan santri dewasa dan terkenal dengan nama Kyai Haji Ahmad Dahlan.12 KH. Ahmad Dahlan selama mangajar dan berdakwah merasa ilmunya kurang, sehingga mendorong KH.Ahmad Dahlan untuk berangkat Haji lagi ke Makkah pada tahun 1903 M. Tujuan dari keberangkatan haji kedua ini adalah untuk menambah ilmu agama. Keberangkatan Haji kedua KH. Ahmad Dahlan difasilitasi oleh pihak Kesultanan Yogyakarta. Hal itu di karenakan KH. Ahmad Dahlan sejak dipercaya menjadi Khatib Amin di Masjid Kesultanan Yogyakarta kerap melakukan upaya pembaharuan 10 Sudjak, Muhammadiyah dan Pendirinya (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 1989) , 2. 11 Tradisi perkawinan antar kerabat Kyai merupakan tradisi yang dilstarikan di masyarakat Jawa-santri hal ini biasa bertujuan agar kenasabanya dan kekuasaan pesantren agar tidak terputus, lihat Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3S, 1994) 12 Kyai dalam studi Dhofier tentang Pesantren, ia membagi pengertian Kyai dalam tiga pengertian, pertama, yaitu gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat missal “Kyai Garuda Kencana”, kedua gelar kehormatan untuk orang tua. Ketiga, gelar yang diberikan pada orang yang memiliki pengetahuan agama Islam atau pemimpin pesantren atau yang mengajar Kitab Kuning ke santrinya, Kyai Ahmad Dahlan masuk katagori ketiga, ibid., 55. 26 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” terhadap tradisi keagamaan yang sudah mapan, sehingga upaya ini dianggap mengganggu.13 Pada saat itu di Makkah, KH. Ahmad Dahlan mendalami ilmu keislaman kepada beberapa ulama terkemuka, di antaranya adalah kepada Syekh Saleh Bafedal, Syekh Sa’id Yamani, dan Syekh Sa’id Bagusyel belajar ilmu Fikih, ilmu hadits kepada Mufti Syafi’i, Ilmu Falak kepada Kyai As’ary Bawean, dan ilmu Qiraat kepada Syekh Ali Misri Mekkah. KH. Ahmad Dahlan juga bersahabat dengan para ulama-ulama Indonesia yang sudah lama bermukim di Makkah seperti Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Kyai Nanawi Al-Bantani, Kyai Abdullah Surabaya, KH. Fakih Maskumambang. Mereka sering melakukan diskusi berbagai masalah tentang kondisi sosial-keagamaan yang sedang terjadi di Indonesia.14 Pasca kepulangan ibadah Haji kedua, KH. Ahmad Dahlan mengalami eskalasi pemikiran yang progresif. Eskalasi intelektual itu dipengaruhi dari karya tulis para pemikir pembaharuan Islam. Di antaranya karya Muhammad Abduh15 Risalah Tauhid, Tafsir Juz ‘Amma dan Al Islam Wan Nasraniah, karya Ibnu Taimiyyah16 At-Tawasul wal Washila, karya Rasyid Ridha Tafsir alManar, karya Farid Wajdi Diratul Ma’arif, karya Rahmatullah al-Hindi Izharul Haq, karya ‘Atha’illah matanAl-Hikam, karya madhzab Hambali Kitab Hadits, majalah al-Urwatul Wustqa dan al-Manar.17 Konstruksi intelektual para pemikir di atas sebagian besar 13 Ketegangan itu bermula dari ijtihad KH. Ahmad Dahlan merubah arah kiblat Masjid Kesultanan, lihat, Musthafa Kamal Pasha, Muhammadiyah Sebagai Gerakan, 112. 14 Sudjak, Muhammadiyah dan Pendirinya, 6 15 Muhammad Abduh adalah tokoh pembaharuan Islam lahir di Mesir, dia merupakan inspirator perubahan di dunia Islam dengan membongkar kejumudan berfikir dan membuka pintu ijtihad yang luas. Dia termasuk tokoh yang sangat mempengaruhi pembaharuan Islam di Indonesia termasuk pada diri KH. Ahmad Dahlan yang kemudian tergerak mendirikan Muhammadiyah. Lihat, A. Jainuri, Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam Di Jawa pada awal abad keduapuluh (Surabaya: Bina Ilmu, 1981), 98. 16 Ibnu Taimiyyah, adalah salah satu filosuf Islam terbesar di dunia Islam, pemikirannya sering di jadikan rujukan bagi kelompok salafiyah yang mengusung ideologi puritan-ortodoks, lihat Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal, 56. 17 RH. Hadjid, Pelajaran KH A. Dahlan, 3. The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 27 menjelaskan tentang pentingnya memajukan umat Islam yang lagi terpuruk secara sosial, politik, ekonomi, budaya dan keagamaan. Konstruksi intelektual tersebut sering dikelompokkan pada varian pemikiran pembaharuan Islam. Bangunan intelektual yang sangat menghargai dan membuka pintu lebar ijtihad dan akal.18 Karya-karya intelektual itulah yang kemudian membentuk kesadaran kritis intelektual dan sosial KH. Ahmad Dahlan tumbuh. Pada nantinya menjadi spirit ide pembaharuan sosial-keagamaan di Indonesia dengan diwujudkan dengan mendirikan gerakan Muhammadiyah. Pergulatan intelektual KH. Ahmad Dahlan tidak berhenti hanya pada tataran wacana, tetapi difungsionalisasikannya menjadi gerakan nyata. Konstruksi intelektual tersebut terinspirasi pada kajian surat al-Ma’un, yang menggambarkan bahwa kesalehan individu tidak cukup, tetapi harus seimbang dengan kesalehan sosial. Dari pemahaman terhadap ayat tersebut KH. Ahmad Dahlan membangun Pesantren (Madrasah) untuk mentransformasikan ilmu ke masyarakat, baik dari kalangan warga Kauman maupun dari luar. Untuk mempermudah proses dakwah KH.Ahmad Dahlan mengangkat dua orang untuk menjadi Lurah Pondok yaitu Muhammad Jalal Suyuti dari Magelang dan KH.Abu ‘Amar dari Jamsaren Sala. Di antara materi yang diajarkan adalah ilmu Falak, Tauhid dan Tafsir dari Mesir.19 Aktivitas KH. Ahmad Dahlan sangat padat. Selain mengasuh Pesantren, ia juga menjadi Khatib di Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta setiap dua bulan sekali. Dia juga mendapat jadwal piket di serambi Masjid Besar hanya sekali seminggu dengan gaji tujuh gulden sebulan.20 KH. Ahmad Dahlan juga berdagang batik ke kota-kota di Jawa. Dalam perjalanan dagang, KH. Ahmad Dahlan selalu menyempatkan diri untuk bersilaturahmi kepada para tokoh setempat untuk berdiskusi terutama persoalan kemunduran umat Islam Indonesia.21 18 A. Jainuri, Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam, 99 19 Sudjak, Muhammadiyah dan Pendirinya, 13-14. 20 Yunus Salam, KH. Ahmad Dahlan, Amal dan Perjuanganya (Banten: Al-Wasat, 2009), 8. 21 Sudjak, Muhammadiyah dan Pendirinya, 15 28 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” KH. Ahmad Dahlan terus memperluas wawasan dan jaringan sosialnya di masyarakat. Aktivitas sosial-politik dan keagamaan KH.Ahmad Dahlan semakin luas dan padat. Di antaranya KH. Ahmad Dahlan bergabung dengan organisasi Budi Oetomo (BO),22 yang didominasi elite priyayi Jawa yang abangan dan aktif juga dalam organisasi Sarekat Islam (SI) dari kaum santri.23 Pada 1910, ia masuk dan menjadi anggota Jami’at al- Khair di Jakarta. Alasan masuk ke organisasi ini adalah karena perkumpulan ini membangun sekolah-sekolah agama dan mengajarkan Bahasa Arab serta bergerak di bidang sosial. Selain itu, organisasi ini membangun relasi dengan para pemimpin Islam yang telah maju di Timur Tengah. Di organisasi ini juga, dia memperoleh pasokan majalah dari sana.24 Arti penting dari masuknya KH. Ahmad Dahlan ke perkumpulan ini adalah KH. Ahmad Dahlan mulai mengenal dan mempelajari organisasi modern yang memiliki lembaga pendidikan yang bersistem modern.25 Belajar dari pengalaman aktif di Jami’at al-Khair, KH. Ahmad Dahlan mendapatkan dua pelajaran penting: Pertama, ia sadar bahwa usaha perbaikan masyarakat tidak bisa dilaksanakan secara sendirian, tetapi harus bekerjasama dengan orang banyak (berorganisasi). Kedua untuk memperbaiki masyarakat media yang cocok adalah media pendidikan karena proses penyadaran akan keluar dari kertindasan dan keterpurukan masyarakat di 22 Keterlibatan KH. Ahmad Dahlan dalam Budi Oetomo ini terjadi pada tahun 1909, pada saat KH. Ahmad Dahlan bersilaturahim ke rumah Dr.Wahidin Sudirohusodo di Ketandan Yogyakarta. Ia berdiskusi tentang perkumpulan Budi Oetomo dan akhirnya tertarik dan masuklah KH. Ahmad Dahlan menjadi pengurus Budi Otomo Cabang Yogyakarta. Dalam perkumpulan Budi Oetomo memiliki peran penting karena setiap akhir rapat Ia selalu bertugas memberikan siraman keagamaan pada anggota. Dari sini KH. Ahmad Dahlan mulai menyebarakan paham keagamananya, Musthafa Pasha, Muhamamdiyah Sebagai Gerakan, 113. 23 Pemeteaan struktur masyarakat Jawa oleh Clifrod Greezt dibagi ke dalam tiga sturktur, kelompok, priyayi, abangan dan santri, pemetaan ini juga berimplikasi pada hak dan kewajiban di masyarakat dan stastus siosialnya, walaupun teori ini oleh banyak pemikir Islam Indonesia kurang sepakat terhadap pembagaian kelas masyarakat Jawa-Islam tersebut, lihat Clifrod Greezt, Religion of Java, (Chicago: The Universty of Chicago Press, 1959). 24 Djarnawi Hadikusuma, Aliran Pembaharuan Islam, 72-73. 25 Dailer Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia Tahun 1900-1942 (Jakarta: LP3S, 1985). The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 29 butuhkan proses yang lama.26 Kesadaran ini yang nantinya menjadi spirit dan cikal bakal berdirinya Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) pada sektor pendidikan, kesahatan dan sosial-keagamaan. KH. Ahmad Dahlan membuktikan kesadaran intelektual dengan aksi nyata dengan membangun sebuah lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan itu mengajarkan sinergi ilmu umum dan ilmu agama dengan model dialogis. Sekolah ini masuk siang antara pukul 14.00 hingga 16.00. Pada awal pendirian mendapatkan delapan murid dengan guru KH. Ahmad Dahlan dan dapat bantuan guru dari Budi Oetomo Cabang Yogyakarta. Sekolah ini diresmikan pada 1 Desember 1911 dengan nama sekolah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah.27 KH. Ahmad Dahlan telah memberikan sumbangsih besar bagi pembangunan peradaban dunia Islam dan khususnya masyarakat Islam di Indonesia. Dalam berbagai karyanya, dia tidak pernah melepas analisisnya dari kepekaan melihat masyarakat lokal dan keterbukannya dalam memahami ajaran agama. Sehingga ada sebagian orang mengatakan bahwa KH. Ahmad Dahlan adalah seorang sufis model Ghozalian yang meletakan dimensi isoterik etik lebih penting dari dimensi eksoter syariah.28 Kyai Hadjid menggambarkan sosok KH. Ahmad Dahlan, sebagai berikut: Seumpama para ulama saya gambarkan sebagai tentara dan kitab-kitab yang tersimpan dalam perpustakaan serta toko kitab saya gambarkan sebagai senjata yang tersimpan dalam gudang, maka KH. Ahmad Dahlan adalah ibarat salah satu tentara itu yang tahu betul bagaimana menggunakan bermacam senjata sebagaimana mestinya. Sehingga, ilmu KH. Ahmad Dahlan 26 Musthafa Kamal Pasha, Muhamamdiyah Sebagai Gerakan, 115 27 Berdirinya sekolah ini mendapat reaksi keras dari masyarakat, tetapi oleh KH. Ahmad Dahlan hanya di sambut dengan senyum. Ibid., 115. 28 F.Ma’ruf, Analisa Akhlak dalam Perkembangan Muhammadiyah (Yogyakarta: Yogyakarta Offset, 1964) 30 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” mendapat barokah dari Allah berguna bagi umat Islam Indonesia dan Persyarikatan Muhammadiyah yang maksudnya untuk mengikuti jejak Nabi Muhammad.29 Menurut Kyai Hadjid, KH. Ahmad Dahlan mempunyai sifat cerdas akal (dzakak) untuk memahami kitab-kitab yang sukar. Ia mempunyai berita bahaya besar (maziyah al-’adhim) yang disebut di al-Qur’an surat an-Naba’, sehingga tampak nasihat yang disampaikan kepada murid-muridnya begitu dalam dan bermakna. KH. Ahmad Dahlan pada akhir hidupnya tampak sedang dalam sifat raja’, yaitu mengharap-harap rahmat Tuhan.30 Perjalanan hidup KH. Ahmad Dahlan akhirnya paripurna. Dia meninggal dunia pada 1923 di Yogyakarta.31 KH. Ahmad Dahlan telah meletakkan pondasi perubahan yang dinamis, khususnya dalam mengajarkan pentingya membangun kepedulian terhadap kemanusian terutama mereka yang termarginalkan (mustadh’afin). Sehingga KH. Ahmad Dahlan, menurut hemat penulis, pantas dikatakan sebagai bapak sosialisme Islam Indonesia. Sepanjang pergulatan hidupnya, dia banyak menelurkan gagasan cerdas terutama di wilayah pemikiran keagamaan dan aksi sosial-keagamaan. Gagasan atau ajaran KH. Ahmad Dahlan sebagian terangkum dalam buku karya KRH. Hadjid, Pelajaran KH. Ahmad Dahlan: 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat al-Qur’an.32 Diantara ajaran atau pemikiran KH. Ahmad Dahlan, yaitu: a) Kita manusia ini hidup di dunia hanya sekali untuk bertaruh: sesudah mati akan mendapat kebahagiaankah 29Hadijid, Pelajaran KH. Ahmad Dahlan, 5. 30Ibid., 6 31 KH. Ahmad Dahlan wafat pada tangal 23 Februari 1923 di Kauman Yogyakarta, setelah menderita penyakit yang lama, dan atas jasa besarnya maka beliau dianugurahi sebagai Pahlawan Nasional Indonesia dengan Surat Keputusan Presiden Soekarno No.675 tahun 1961 tanggal 27 Desember. Lihat Weinata Sairin, Gerakan Pembaruuan Muhammadiyah, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan,1995), 42. 32 KRH. Hadjid adalah salah satu murid termuda dari KH. Ahmad Dahlan, lihat KRH Hadjid, 7 Flasafah Ajaran, 1. The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 31 atau sengsarakah, b) Kebayakan di antara para manusia berwatak angkuh dan takabur mereka mengambil keputusan sendiri-sendiri, c) Manusia kalau mengerjakan pekerjaan apapun berulang-ulang maka kemudian menjadi biasa, kalau sudah menjadi kesenganan sulit di rubah. Sudah menjadi tabiat manusia bahwa akan membela adat kebiasaan yang telah diterima baik dari sudut keyakinan dan I’tiqad maupuna amal perbuatan. Kalau ada yang mau merubah akan di bela mati-matian, demikian itu karena dianggap bahwa apa yang dikerjakan itu sudah benar, d) Manusia perlu digolongkan menjadi satu dalam kebenaran harus bersama menggunakan akal untuk memikir bagaimana sebenarnya hakikat dan tujuan manusia hidup di dunia apakah perlunya? hidup di dunia harus mengerjakan apa? memberi apa? apa yang dituju?, maka kalau hidup di dunia sekali ini sampai sesat akibatnya akan celaka dan sengasara selamanya, e) Mula-mula agama Islam itu cemerlang kemudian kelihatan semakin suram tetapi sesungguhnya yang suram itu adalah manusianya, f) Kebanyakan pemimpin rakyat belum berani mengorbankan harta benda dan jiwanya untuk berusaha membangun umatnya dalam kebenaran malah pemimpin itu biasanya hanya mempermainkan dan memperalat umatnya yang bodoh dan lemah, g) Belajarlah ilmu pengetahuan (teori) dan belajarlah amal (mengerjakan dan memperaktekkan) semua pelajaran itu bertahap dan harus meningkat. Salah satu ajaran KH.Ahmad Dahlan yang pernah menggemparkan masyarakat di kampung Kauman Yogyakarta dan hingga saat ini, yaitu ketika menafsirkan Surat Al-Ma’un: 1-7. KH.Ahmad Dahlan memahami Surat tersebut bahwa tidak cukup hanya mengerjakan sholat saja tanpa ada kepekaan sosial terhadap orang-orang yang lemah, anak yatim, orang terpinggirkan (mustadh’afin). Berawal dari pemahaman itu, menurut KH. Ahmad Dahlan untuk mempelajari Al-Qur’an adalah ambilah satu, dua, atau tiga ayat dibaca dengan tartil kemudian difikirkan (tadabbur): bagaimana artinya, bagaimana tafsirnya, bagaimana maksudnya, apakah ini larangan dan apakah kamu sudah meninggalkan, apakah ini perintah yang wajib di kerjakan sudahkah kita 32 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” menjalankan, apabila belum dapat menjalankan dengan sesungguhnya maka tidak perlu membaca ayat-ayat yang lainya.33 Hemat penulis ini adalah revolusi metodologi tafsir paling hebat di zamanya dalam membaca al-Qur’an- al-Hadits. Gagasan pembaharuan KH Ahamd Dahlan tersebar luas baik dalam konsep pemikiran keislaman maupun praktik sosial-keagamaan. Di antara gagasan yang melampaui batas tradisi intelektual masyarakat adalah, 1) Tentang perubahan arah kiblat di masjid yang di rubah mengadap ke arah Ka’bah, sebab pada waktu itu banyak masjid yang kurang pas arah kiblatnya. 2) Penentuan tentang hari raya (1 Syawal), di mana dulu memakai sistem Aboge di ganti dengan sistem hisab. 3) Penolakan terhadap tradisi tahayul, bid’ah dan khurafat (TBC) yang sudah mentradisi di masyarakat (tahlilan, slametan orang meninggal, tingkepan,ruwatan dll). 4) Reformasi sistem pendidikan yang memadukan antara ilmu umum dengan ilmu agama dengan sistem lembaga sekolah.34 Fakta tersebut tampak menggambarkan bahwa sosok KH. Ahmad Dahlan pantas disebut sebagai salah satu tokoh pembaharu pemikiran dan aksi sosial Islam. Sebagaimana disebutkan oleh Binkes bahwa Ahmad Dahlan pendiri organisasi modern Muhammadiyah puritan. Ia merupakan prototipe warga Indonesia yang memiliki etika Calvinis layaknya gerakan reformasi protestan Calvinis yang puritan pada abad 15 dan 16 M, tekun, militan dan cerdas.35 KH.Ahmad Dahlan adalah sosok man of action Ia adalah made history for his works than his word. Hal ini berbeda dengan tokoh Ahmad Sukarti pendiri Al-Irsyad dan A. Hasan pendiri Persis yang produktif menulis sehingga mereka cenderung elitis, intelektualis dan jauh dari masyarakat bawah. Adapun KH. Ahmad Dahlan lebih dikenal sebagai sosok pembaharu yang dekat 33Ibid., 3 34Wenita Sairin, Gerakan Pembaruuan Muhammadiyah (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), 47-50. 35Binkes adalah pejabat Belanda bertugas di Indonesia tahun 1913, lihat Subhan Mas, Muhammadiyah pintu Gerbang Protestanisme Islam (Mojokerto: al-Hikmah, 2005) The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 33 dengan masyarakat.36 2. Kelahiran Muhammadiyah: Latar Internal & Eksternal Muhammadiyah merupakan hasil tafsir teologis dan sosiologis KH. Ahmad Dahlan dalam merespons persoalan sosial-keagamaan di masyarakat (baca: Kauman Yogyakarta). Muhammadiyah melalui proses pergulatan kritis intelektual, sosial dan pemahaman ajaran agama yang dalam dan lama. Muhammadiyah lahir di tengah dinamika masyarakat yang tertindas dan terpuruk, sehingga kelahiran Muhammadiyah merupakan ijtihad untuk memberikan solusi dan pemberdayaan terhadap problem masyarakat terutama yang mustadh’afin. Menurut Mitsuo Nakamura, Muhammadiyah adalah gerakan Islam. Kalau dipandang dari luar tampak tertutup (eksklusif), tetapi sesungguhnya sangat terbuka. Sehingga oleh A. Mukti Ali, Muhammadiyah dikatakan memiliki banyak wajah (dhu wujuh).37 James L Peacock menyimpulkan, “Muhammadiyah merupakan gerakan reformis Islam yang terkuat yang ada di kalangan Islam Asia Tenggara bahkan mungkin di seluruh dunia Islam”.38 Faktanya, anggota Muhammadiyah sampai saat ini sudah menyebar ke luar Indonesia (Malasyia, Mesir, Tahiland, Inggris, Singapura) serta garapan dakwah yang luas tergabung dalam Amal Usaha Muhammadiyah (AUM).39 Beragam pendapat dalam memahami faktor dan kelahiran Muhammadiyah. Sebagai gerakan pembaharuan Islam di Indo36Alfian, Muhammadiyah: the Political Behavior of A Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism (Yogyakarat: Gadja Mada University press, 1989) 37 A. Mukti Ali “Pengantar’ dalam, Mitsuo Nakamura, ‘the Crescent Arises Over the Banyan Tree: A Study of the Muhammadiyah Movemen in Central Javanese Town” (Desertasi Doktor, Cornnel University , 1976), 1-2 38James L. Peacock, Gerakan Muhamamdiyah Memurnikan Ajaran Islam di Indonesia (Jakarta: Citra Kreatif, 1986), 5. 39AUM (Amal Usaha Muhammadiyah) merupakan bentuk konkret dari ijtihad gerakan Muhammadiyah dalam memahami ajaran Islam, sehingga AUM merupakan alat dakwah di masyarakat. AUM terdiri dari sektor Pendidikan (Sekolah), Sosial (Pantia Asuhan), Ekonomi (Bank Persyarikatan), dan Kesehatan (Poliklinik, PKU, Rumah Sakit). 34 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” nesia, tentu tidak lepas bahwa kelahiran gerakan Muhammadiyah merupakan dorongan atas situasi dan kondisi sosio-kultur, politik dan keagamaan yang mengitari dunia Islam dan Indonesia pada permulaan abad ke-20. Deliar Noer menggambarkan kondisi tersebut sebagai berikut: “Kira-kira pada pergantian abad ini banyak orang Islam Indonesia mulai menyadari, bahwa mereka tidak akan mungkin berkompetisi dengan kekuatan yang menantang dari pihak kolonialisme Belanda, penetrasi Kristen dan perjuangan untuk maju di bagian lain Asia apabila mereka terus melanjutkan kegiatan dengan cara-cara tradisional dalam menegakkan Islam. Mereka mulai menyadari perlunya perubahan–perubahan, apakah ini dengan mengambil mutiara-mutiara Islam dari kawan mereka seagama di Abad Tengah untuk mengatasi Barat dalam ilmu pengetahuan serta dalam memperluas daerah pengaruh atau dengan mempergunakan metode-metode baru yang telah di bawa ke Indonesia oleh kekuasan kolonial pihak missi Kristen.40 James L Peacock sepakat dengan pendapat tersebut. Faktor kelahiran gerakan pembaharuan Islam di Indonesia disebabkan oleh masalah ekonomi, sosial, politik dan geografis. Namun, sumber utama gerakan pembaharuan adalah sejarah kebudayaan. Sejarah kebudayaan beberapa waktu terakhir telah melahirkan pengaruh bagi perkembangan agama-agama; Islam, Kristen, Budha.41 Pandangan Buya Hamka yang dikutip oleh Syafi’i Ma’arif menjelaskan, ada tiga faktor kelahiran Muhammadiyah: Pertama, keterbelakangan serta kebodohan umat Islam Indonesia di semua aspek kehidupan. Kedua, kemiskinan yang sangat parah di derita umat Islam justru dalam suatu negeri yang kaya seperti Indonesia. Ketiga, pendidikan Islam yang sudah sangat kuno sebagaimana yang tercermin dalam sistem pesantren.42 40 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 37 41 James L Peacock, Gerakan Muhamamdiyah, 2 42 Syafi’I Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3S, 1986), 66 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 35 Mukti Ali berpandangan, ada lima faktor kelahiran Muhammadiyah: Pertama, ada pengaruh kebudayaan India terhadap Indonesia; Kedua, ada pengaruh Arab terhadap Indonesia terutama sejak dibukanya Terusan Suez; Ketiga, pengaruh Muhammad Abduh dan golongan salafiyah yaitu gerakan pemurnian ajaran Islam yang timbul sekitar abad 20 dengan pelopor Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha; Keempat, ada penetrasi dari bangsa Eropa; Kelima, ada kegiatan misi zending Katolik dan Protestan.43 Menurut Sholicin Salam, ada dua faktor sebab kelahiran Muhammadiyah, yaitu faktor internal dan eksternal gerakan. Faktor internal adalah a) Kehidupan beragama yang menyimpang (syirik, bid’ah dan khurafat merajalela). b) Kondisi masyarakat Indonesia miskin, bodoh dan mundur. c) Tidak ada organisasi Islam yang kuat, d) Sistem dan lembaga pendidikan sudah kuno dan tradisional. Faktor eksternal adalah, a) Ada kolonialisme di Indonesia, b) Golongan Kristen dan Protestan maju pesat, c) Sikap sebagian Intelektual yang memandang miring Islam, d) Adanya rencana politik Kristenisasi oleh Belanda.44 Weinata Sairin berpendapat bahwa faktor kelahiran Muhammadiyah disebabkan tiga hal; a) Kondisi Islam di Jawa, b) Pengaruh gerakan modernis di Timur Tengah, c) Politik Islam pemerintah Belanda.45 Dari gambaran itu dapat dipahami bahwa gerakan Muhammadiyah lahir merupakan sebuah keniscayaan sejarah yang bersumber dari rahim persoalan masyarakat Indonesia dari semua aspek kehidupan dan merupakan sebuah ijtihad untuk bersama-sama memberikan sumbangsi solusi bagi persoalan masyarakat. Gerakan Muhammadiyah sudah banyak menghasilkan pemimpin masyarakat yang mampu menjadi inspirator perubahan dan uswah di masyarakat. Kepemimpinan di Muhammadiyah dipilih secara demokratis dan berorientasi pada kemashlahatan 43A. Mukti Ali, Interpretasi Amalan Muhammadiyah (Jakarta: Harapan Melati, 1986) 44Sholichin Salam, Muhammadiyah dan Kehidupan Islam di Indonesia (Jakarta: NV Mega, 1956), 55-56 45Wenita Sairin, Gerakan Pembaharuan, 47-50 36 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” umat bukan kekuasaan. Banyak cerita tokoh Muhammadiyah yang terpilih menjadi ketua tetapi tidak mau dan legawa di kasihkan yang lain yang lebih mampu. Gerakan Muhammadiyah sudah 1 Abad telah berjuang untuk membangun dan membebaskan masyarakat Indonesia dari kebodohan, ketertindasan, keterbelakangan dan kemsikinan. Adapun tokoh-tokoh yang pernah memimpin gerakan Muhammadiyah adalah KH. Ahamad Dahlan (1912-1923), KH. Ibrahim (1923-19320), KH. Hisyam (1932-1936), KH. Mas Mansur (19361942), Ki Bagus Hadikusumo (1942-1953), AR. Sutan Mansyur (1952-1959), H.M. Yunus Anis (1959-1968), KH. Ahmad Badawi (1962-1968), KH. Fakih Usman/H. AR. Fakhrudin (1968-1971), KH. Abdur Rozak Fakhruddin (1971-1990), KH. A. Azhar Basyir, MA (1990-1995), Prof. DR. H. M Amien Rais (1995-1998), Prof. DR. Syafii Ma’arif (1998-2005), Prof. DR. Dien Syamsuddin (2005-2015), DR. Haedar Nashir (2015-2020).46 B. Paham Ideologi Muhammadiyah Karakter ideologi Muhammadiyah sangat dipengaruhi oleh konstruksi pemikiran KH. Ahmad Dahlan. Artinya, landasan perjuangan Muhammadiyah sebagian besar dinisbhkan kepada gagasan-gagasan dan prilaku KH. Ahmad Dahlan selama hidupnya. Gagasan dan prilaku KH. Ahmad Dahlan inilah kemudian dikonstruksi melalui pemaknaan (interpretatif) oleh para pengikut sesudahnya. Kemudian pemaknaan itu diakumulasi dan dituangkan dalam sebuah teks yang diputuskan melalui organisasi sebagai pedoman perjuangan Muhammadiyah. Dari kajian di atas dapat kita pahami karakter pemikiran KH. Ahmad Dahlan berorientasi pada pembaharuan dan pemurnian Islam yang dianggap banyak mengalami distorsi dengan tradisi Jawa di masyarakat, maka secara garis besar ideologi Muham46 Deni Al As’ary, Selamatkan Muhammadiyah, 25, baca karya, Djarnawi Hadikusuma, Matahari-Matahari Muhammadiyah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2014) The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 37 madiyah tidak akan berbeda dari konstruksi pemikiran KH. Ahmad Dahlan. Maka dapat penulis simpulkan ideologi Muhammadiyah adalah ideologi yang berorientasi pada pemaharuan dan pemurnian Islam. Ideologi Muhammadiyah merupakan sistem paham dalam perjungan melaksanakan gerakan untuk mencapai tujuan Muhammadiyah.47 Artinya ideologi Muhammadiyah merupakan pondasi dan landasan gerak bagi warga Muhammadiyah dalam kehidupan sosial-keagamaan. Sebab secara subtantif ideologi adalah suatu ide dasar (world view) yang menyeluruh mengenai alam semesta, manusia, dan kehidupan, mencakup dua bagian yaitu, sebagai pedoman visi gerakan (fikrah) dan pedoman langkah gerakan (thariqah).48 Ideologi dibentuk karena faktor sejarah (historis). Ideologi sebagai gejala pemikiran di bentuk sebagai respon terhadap perkembangan sejarah. Ia di rumuskan dan dikembangkan pada ruang realitas dinamis di masyarakat. Proses ini berlaku juga pada sektor keagamaan yang nantinya mengalami obyektivikasi dalam bentuk ideologi.49 Ideologi Muhammadiyah terbentuk dari hasil pembacaan terhadap problem masyarakat Indonesia (baca: Kauman Yogyakarta) yang pada saat itu. Masyarakat Kauman dapat digambarkan pada saat itu sebagai masyarakat terbelakang, miskin, bodoh dan tertindas oleh penjajahan Belanda. Sehingga menjadikan karakter ideologi Muhammadiyah yang lebih pragmatis dan fungsional. Artinya ideologi Muhammadiyah tidak berhenti pada tataran wacana,namun diwujudkan dalam kerja nyata. Karakter ideologi seperti ini oleh Ahmad Zainuri disebut ideo-praxis.50 Muhamamdiyah merupakan ijtihad dan karya terbesar KH. 47 Haedar Nashir, Meneguhkan Ideologi Gerakan Muhammadiyah (Malang: UMM Press, cet ke- 2, 2007), iv 48Taqiyuddin An-Nabhani, Definisi Ideologi,Ideologi dalam http://id.wikipedia .org/ wiki/ideologi//.note (29 Oktober 2010) 49 Syamsul Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan, 45 50Ideo-Praxis di cirikan bagi ideologi kaum reformis yang lebih empirisisme dan aktif di pergulatan sosial yang dinamis, beda dengan ideologi yang umumnya di cirikan esklusivisme dan dogmatisme. Lihat, Achmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis, viii 38 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” Ahmad Dahlan dalam pembangunan peradaban masyarakat Islam di dunia terutama di Indonesia. Awal gerakan yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan lebih merupakan reformasi kemanusian berbasis “welas asih”. Berdasar etika welas asih tersebut maka Muhammadiyah tampak lebih bersikap terbuka pada modernitas dan kemanusiaan serta pemihakan pada kaum proletar yang termarginalkan. Dari sini pula gerakan Muhammadiyah mengundang banyak kalangan dengan beragam latar belakang sosio-budaya untuk terlibat aktif.51 Ideologi Muhammadiyah merupakan ideologi yang ingin memadukan antara ortodoksi dan ortopraksi atau dalam istilah Amin Abdullah, Muhammadiyah adalah gerakan yang bercirikan a faith in action. Tajdid dalam Muhammadiyah dimaknai oleh Amin Abdullah sebagai proses purifikasi dan dinamisasi artinya penafsiran ajaran keagamaan akan dilakukan secara produktif dengan pertimbangan persoalan kemanusian kontemporer dengan alat bantu ilmu-ilmu sosial, yang masih berpijak pada tradisi.52 Konstruksi intelektual KH. Ahmad Dahlan dalam membangun Muhammadiyah oleh aktivis Muhammadiyah di jadikan pijakan kajian dalam rumusan konstrsuksi ideologi yang utuh dan mencakup seluruh kepentingan Muhammadiyah. Secara tekstual kerangka ideologi Muhammadiyah dapat di temukan di beberapa dokumen ataupun konsep hasil ijtihad KH. Ahmad Dahlan maupun para pemimpin Muhammadiyah. Konsepsi ideologi gerakan Muhammadiyah di antaranya terdapat di Muqaddimah Anggran Dasar (AD) Muhammadiyah tahun 1951, Kepribadian Muhammadiyah tahun 1961, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH) tahun 1969, Pedoman Hidup Islami Warga (PHIW) Muhammadiyah tahun 2000.53 Landasan dari semua konsep tersebuat adalah bersumber dari kajian dan pemahaman terhadap al-Qur’an dan Hadits.54 51 Abdul Munir Mulkhan, Api Pembaharuan KH. Ahmad Dahlan, vii 52 Lihat Pradana Boy (edit), Era Baru Gerakan Muhammadiyah (Malang: UMM Press, 2008), 5 53Suara Muhammadiyah & PP Muhammadiyah, Manhaj Gerakan Muhammadiyah, 2 54Hamdan Hambali, Ideologi dan Strategi Muhammadiyah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007), x The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 39 Menurut Gadamer bahwa setiap kurun ruang dan waktu menghasilkan variasi pemaknaan ulang.55 Artinya sebuah teks atau konsep (ideologi) membutuhkan pemaknaan terus karena ruang-waktu pada saat teks ataupun konsep di tulis tidak lepas dari latarbelakang sejarah yang melingkupi. Sementara ruang-waktu bersifat dinamis sehingga di butuhkan tafsir terus untuk mendapatkan makna baru. Begitu juga konsep ideologi Muhammadiyah yang sudah terbukukan pada kurung waktu yang lalu dan lama, maka harus terus di lakukan kajian atau rekonstruksi tafsir terus-menurus agar konsepsi ideologi Muhammadiyah tidak stagnan atau hanya jadi korpus mati yang tidak mampu memberikan solusi terhadap kebutuhan anggota dan masyarakat luas. Maka melakukan tafsir dan membuka pintu ijtihad merupakan harga mati yang tidak dapat ditawar agar gerakan Muhammadiyah mampu melakukan sebuah pencerahan peradaban dan dapat menjawab kebutuhan dan problem masyarakat. C. Karakter Gerakan Dakwah Muhammadiyah Karakter gerakan dakwah Muhammadiyah, penulis petakan menjadi lima kelompok (pengelompokan berdasarkan pada konstruksi pemikiran dan aksi sosial yang ditampilkan Muhammadiyah di tengah masyarakat selama ini), yaitu; Pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam. Sebuah gerakan dakwah yang berlandaskan dan bersumber dari ajaran-ajaran Islam yang terdapat di al-Qur’an-Hadits. Salah satu inspirasi teologis kelahiran Muhammadiyah adalah bersumber dari QS. Ali Imron 104 & 110 dan QS. Al-Ma’un 1-7, sehingga seluruh aktivis gerakan Muhammadiyah bertujuan untuk ibadah (bukan proffit orientied) mencari ridha Allah SWT. Maka secara tegas dalam asas organisasi Muhammadiyah bersaskan Islam, dengan tujuan menegakan dan menjungjung tinggi agama Islam 55Al Makin ”Apakah Tafsir Masih Mungkin” dalam Abdul Mustaqim-Syahiron Syamsuddin (edit), Studi Al-Qur’an Kontemporer (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), 3 Lihat juga, Truth and Method, Joel Weinsheimer dan Donald G Marshall (New York: Continuum, 1997), 298 40 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.56 Kedua, gerakan pembaharuan Islam (tajdid) yaitu gerakan yang mengusung ide pembaharuan pemikiran Islam yang berlandaskan pada nalar teologis-kritis. Nalar teologis-kritis maksudnya adalah ide pembaharuan Islam bertolak dari sumber ajaran Islam (al-Qur’an-Hadits) yang dikaji secara mendalam dengan pendekatan keilmuan (klasik-kontemporer),57 bukan bertolak hanya sekedar pasrah (taqlid) terhadap pendapat Ulama terdahulu (mutaqaddimin). Gerakan ini juga sering disebut dengan istilah gerakan Islam reformis-modernis yaitu gerakan yang melakukan perubahan-perubahan pemikiran dan aksi sosial yang berorientasi pada kemajuan peradaban modern. Konstruksi ini dilandasi bahwa Allah memberikan akal pasti ada tujuannya diantaranya adalah agar digunakan untuk berfikir, termasuk dalam hal beribadah kepada Allah tentu dibutuhkan ilmunya. Gerakan Muhammadiyah oleh sebagian pemikir Islam di kelompokan ke dalam gerakan sosial-keagamaan yang reformis-modernis.58 Semangat timbulnya pembaharuan (reformasi) dan modernissai Islam dimulai dari gerakan Ikhwanus Shafa yang disusun dengan pikiran-pikran pembaharuan yang di tanamkan oleh filusuf seperti Ibnu Taimiyah (1263-1328), Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (1292-1350). Kemudian ajaran ini di hidupkan kembali oleh Muhammad Abdul Wahhab (1703-1787) di Jazirah Arab. Beberapa Abad kemudian ajaran ini di hidupkan kembali oleh Sayyid Jamaluddin al-Afghani (1838-1897) di Mesir dengan menerbitkan majalah al-Urwah al-Wustqa, kemudian di ikuti oleh Muhammad Abduh (1849-1905) dengan Tafsir Al-Manar, dan 56 Asas ini terdapat pada Pasal 4 ayat 1, Muhammadiyah adalah gerakan islam, Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada al-qur’an dan As-sunnah, Ayat 2, Muhammadiyah berasakan Islam, lihat PP Muhammadiyah, Anggaran Dasar dan ART Muhammadiyah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2011), 9 57 Keilmuan klasik adalah kajian yang di dasarkan pada kajian-kajian Islam yang berkembang di abad pertengahan seperti Studi Hadits, Tasawuf, Studi Tafsir, Studi Kalam, dan sebagainya. Sedangan Keilmuan kontemporer adalah kajian yang didasarkan pada kajian-kajian Islam yang tidak hanya di dasarkan pada keilmuan Klasik tetapi juga menggunakan pendekatan ilmu filsafat, politik, sejarah, sosiologi, psyikologi, dan sebagainya. 58Lihat, Junus Salam, KH. Ahmad Dahlan Amal dan Perjuanganya, 92 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 41 kemudian di lajutkan oleh Muridnya Muhammad Rasyid Ridha (1856-1935). Faktor dari reformasi dan modernisme Islam secara umum di akibatkan dunia Islam mengalami kemunduran dan keterbelakangan peradaban daripada Dunia Barat. Hal itu disebakan prilaku umat Islam yang syirik, bid’ah, ashabiyah, fanatisme mazhab dan faktor lainya. Gerakan dakwah Muhammadiyah tidak berhenti pada penguatan ritual ibadah mahdho tetapi mampu malakukan transformasi sosial di masyarakat, sehingga oleh Jainuri, Muhammadiyah sebagai gerakan reformis yang berideologi praksis. Reformasi Muhammadiyah bertujaun tidak hanya untuk mengembalikan pemahaman keagamaan yang terbatas dan tertutup tetapi juga untuk menyesuaikan program-programnya dengan sebuah formula aksi konkret yang memungkinkan dapat memecahkan problem masyarakat Indonesia.59 Tujuan dari gerakan pembaharuan pemikiran Islam (tajdid) adalah untuk mendorong umat Islam agar terus mengkaji keilmuan Islam agar selalu dapat merespon perubahan di masyarkat yang dinamis, sehingga “tagline” atau cita-cita “Muhammadiyah berkemajuan” dapat terwujud. Sebab, Muhammadiyah berkemajuan dibutuhkan karakter pemikiran Islam yang terbuka dan adaptif dengan segala bentuk perubahan dan persoalan masyarakat kontemporer. Robert W Hefner menyebut Muhammadiyah merupakan gerakan pembaharuan Islam terbesar di dunia. Hal itu terlihat dari sosok pendiri Muhammadiyah (KH. Ahmad Dahlan) adalah pembaharu dan penggagas luar biasa di Indonesia. Ia mengalahkan capaian pembaharu pemikir Islam dunia Muhammad Abduh di Mesir. Ahmad Dahlan adalah penggagas organisasi pembaharu keislaman modern yang berspirit high politic di bidang pemikiran, pendidikan dan kesejahteraan sosial.60 Ketiga, gerakan tanzih. Sebuah gerakan dakwah yang fokus pada pemurnian terhadap praktik-praktik keagamaan (ibadah) 59 Ach.Jainuri, Ideologi Muhammadiyah, 5 60 Robert W Hefner, dalam, Subhan Mas, Muhammadiyah Pintu Gerbang, 205 42 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” yang sudah tercampur dengan tradisi masyarakat (bid’ah) dan harus kembali pada praktek agama yang di ajarkan dalam alQur’an dan al-Hadits. Gerakan pemurnian Islam (tanzih) perlu di pahami hanya terbatas pada praktek ibadah magdho’ yaitu ibadah yang langsung terkait (terhubung) dengan Allah Swt (hablu minallah) seperti ibadah Sholat, Puasa, Zakat, Haji. Maka pada konteks ibdah ini tidak boleh di tambah atau dikurangi oleh umat Islam dan harus berdasarkan petunjuk dan ajaran yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Adapun selain ibadah maghdo’ yaitu ibadah mua’amalah (ibadah yang terkait atau terhubung dengan manusia) tidak ada istilah bid’ah, semua diserahkan kepada kita bebas berkreasi dan berinovasi selama tidak bertentangan dengan kesepakatan tradisi dan norma yang berlaku di masyarakat. Keempat, gerakan sosial-keagamaan. Sebuah gerakan dakwah yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan di landaskan pada hasil tafsir dari nilai-nilai ajaran Islam yang terdapat di al-Qur’an dan Hadits.61 Produk gerakan sosial keagamaan Muhammadiyah adalah “gerakan amal” atau yang lebih dikenal dengan istilah AUM (Amal Usaha Muhammadiyah). Bidang garap Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) diantaranya bergerak di bidang pendidikan (TK,SD,SMP,SMA,PTM, Pesantren), sosial (Panti asuhan), kesehatan (Klinik, PKU, Rumah Sakit) dan keagamaan (Masjid, TPQ, Madin). Pembentuakan dan pengembangan AUM adalah dengan model swadaya (waqaf) dari anggota dengan sistem pemberdayaan dan advokasi. Sasaran utama gerakan sosial-keagamaan Muhammadiyah adalah ditujukan untuk membantu dan memperdayakan kelompok fakir miskin (mustadh’afin) agar berdaya dan maandiri. Sehingga dapat mereasakan kebahagian yang sama dengan mereka yang mampu. Sukidi menyatakan adanya “etika protestan” dalam kerja KH. 61 Nilai-nilai Islam yang menjadi spirit gerakan social-keagamaan Muhammadiyah di antaranya adalah Tafsir terhadap Surat Al-Ma’un 1-7, yang kemudian di aplikasikan menjadi gerakan social-konkrit dengan membentuk sekolahan, klinik, panti asuhan dengan tujuan untuk membantuu warga yang tidak mampu dan lemah. Lebih jelas baca, Sudjak.Muhammadiyah dan Pendirinya. Yogyakarta, Suara Muhammadiyah,1989 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 43 Ahmad Dahlan ketika melahirkan dan menggerakan Muhammadiyah.62 Etika itu tampak dari bagaimana proses awal Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan berorientasi menjadikan Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan yang modern dan berpangkal pada transformasi ijtihad dalam wilayah intelektual, pembebasan sosial-budaya, politik dan ekonomi untuk membentuk status sosial Islam humanis, emperik dan realistik bagi kepentingan identitas kemanusian yang rasional, cerdas, tekun, ulet dan kerja keras. Sebab KH. Ahmad Dahlan selalu rasional untuk itu semua sebagai bangunan kesadaran kritisnya.63 Diperkuat oleh pandangan Nakamura, bahwa Muhammadiyah merupakan organisasi sosial-keagamaan terbesar yang menenkankan amal usahanya untuk kesejahteraan masyarakat, sehingga Muhammadiyah merupakan representasi gerakan sosial-keagamaan yang beraliran reformis dan modernis di kalangan umat Islam Indonesia.64 Reza Nashr mendefinisikan istilah reformis-modernis sebagai sebuah gerakan yang secara simultan bertujuan memelihara bagian masa lalu, menjustifikasi masa kini dan melegitimasi masa depan.65 Gerakan ini didasarkan pada argumen bahwa nilai-nilai Islam merupakan komponen penting dari setiap proses pembaharuan di dunia Islam. Paradigma ini di di percaya oleh Muhammadiyah bahwa sumber-sumber fundamental Islam dapat diterjemahkan ke dalam realitas konkret kehidupan keagamaan, sosial, politik, ekonomi dan budaya kaum muslim Indonesia.66 62 Sukidi,”Etika Protestan Muslim Puritan Muhammadiyah Sebagai Reformasi Islam Model Protestan “ Kompas, 1 Juni 2005 63Subhan Mas, Muhammadiyah Pintu Gerbang, viii-ix 64Mitsuo Nakamura, the Crescent Arises Over the Banyan Tree: h, 1-2, selain Nakamura ada beberapa karya ilmiah yang mengidentifiaksi gerakan Muhammadiyah masuk kelompok Reformis-Modernis, semisal, Alfian, Muhammadiyah: the Political Behavior of A Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism (Yogyakarat: Gadja Mada University press, 1989). Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942 (London and Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1973), Clifford Geertz, The Religion of Java (New York: the Free Press of Glencoe, 1960) 65Sayyed Vali Reza Nasr, “Reflections on the Myth Reality of Islamic Modernism, Hamdard Islamicus, (Vol.13, 1, 1990), 67. Dalam Jainuri, Ideology Reformis, 4 66PP Muhammadiyah, Kesimpoelan Djawaban Masalah Lima dari beberapa ‘Alim ‘Oelama (Djokdjakarta: Hoofdbestur Moehammadijah, 1942), 11-17. Lihat, Ach. Jainuiri, 44 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” Kelima, gerakan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar. Sebuah gerakan dakwah yang berorientasi untuk mengajak, merangkul dan menasihati kepada masyarakat untuk kembali pada ajaran-ajaran Islam dengan cara damai, santun, toleran dan dialogis anti kekerasan. Karakter gerakan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar merupakan bagian dari aktualisasi dari ajaran yang terdapat di dalam al-Qur’an QS:… Ayat tersebut secara jelas memerintahkan semua umat Islam untuk selalu ber amar ma’ruf nahi mungkar baik kepada diri sendiri, keluarga dan lingkungan dengan cara-cara yang santun dan damai. Walaupun ada sebagian orang atau kelompok yang mengkritik terhadap konsep dakwah nahi mungkar (mencegah kejelekan) yang dianggap kurang tegas dan jelas dalam aplikasi di masyarakat. Muhamadiyah terkesan hanya fokus kepada amar ma’ruf dengan penekanan pada pengembangan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). D. Dinamika Pemikiran Islam di Muhammadiyah Muhammadiyah menegaskan pada awal kelahiranya sebagai gerakan pembaharuan Islam (ijtihad) dan gerakan pemurniaan Islam (tanjih). Adapun orientasi dakwah yang dikembangkananya adalah dengan cara santun, welas asih, humanis, toleran, pro masyarakat bawah, dan menghargai pluralitas. Namun saat ini banyak kalangan mengkritik Muhammadiyah yang terjebak pada arus gerakan fundamentalis dan ortodoks karena keringnya ideide pembaharuan keagamaan dan aksi-aksi sosial. Padahal KH. Ahmad Dahlan pada waktu mendirikan Muhammadiyah menegaskan perlunya memadukan antara intelektualisme dan aktifisme. Dengan tetap mengacu pada spirit ajaran al-Qur’an dan al-Hadits.67 Kritik tersebut di jadikan kebangkitan kesadaran intelektual dan sosial di kalangan aktivis Muda Muhammadiyah.68 KebanIdeologi Muhammadiyah, 5 67 Mua’rif, Meruwat Muhammadiyah, ( Yogyakarta: Pilar Media, 2005), 76 68Kebangkitan intelektual dikalangan akivis Muda Muhammadiyah terbukti dengan membetuk sebuah jaringan yang bernama JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah), lihat Pradana Boy (edit), Era Baru Gerakan Muhammadiyah, 207 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 45 gkitan intelektual dan sosial tidak dapat terelakan sebab dengan mengusung gerakan pembaharuan (tajdid) dan pemurnian ajaran Islam (tanzih) maka mau tidak mau porsi akal (filsafat) menempati posisi penting. Sebab untuk melakukan sebuah pembaharuan dan pemurnian baik pemikiran keagamaan maupun aksi sosial keagamaan membutuhkan metode dan proses ijtihad yang matang dan dapat dipertanggungjawbakan secara agama (al-Qur’an-Hadits) dan rasional.69 Pada awal gerakan Muhammadiyah pintu ijtihad dibuka luas dan bebas sehingga menjadikan dialektika pemikiran di Muhammadiyah sangat dinamis dan berkembang walaupun belakangan ini banyak kritik baik dari kalangan luar dan dalam gerakan. Mereka menganggap gerakan pembaharuan pemikiran dan aksi sosial di Muhammadiyah cenderung stagnan (jumud), gagap terhadap perubahan dan merasa puas akan hasil-hasil yang sudah di capai. Fenomena tersebut di istilahkan dengan ”gajah kegemukan” yang sulit berjalan”.70 Kondisi tersebut jauh berbeda pada awal dari gerakan ini di lahirkan oleh KH. Ahmad Dahlan yang begitu cerdas, kreatif, progresif, transformatif, dan cenderung “liberal” dalam membongkar dan memberikan solusi terhadap problematika sosial-keagaman masyarakat dengan tetap mengacu pada ajaran al-Qur’an dan al-Hadits. Kondisi tersebut menjadikan kesadaran kritis bagi sebagian aktivis Muhammadiyah untuk terus melakukan ijtihad agar dinamika pemikiran keagamaan di Muhammadiyah selalu dinamis. Dinamika tersebut berawal dari perbedaan cara pandang para aktivis Muhammadiyah terhadap; 1) Metode menafsirkan ajaran Islam (al-Qur’an-al-hadits). 2) Menafsirkan relasi sosio-kultur, sosio-politik dengan ajaran Islam. 3) Menafsirkan cita-cita, prinsip dan aksi pembaharuan KH. Ahmad Dahlan pada konteks kekinian. 69Proses Ijtihad butuh kekuatan analisa sosial-filosfis dan pemahaman terhadap sumber-sumber agama (al-Qur’an-hadits) yang mumpuni tidak hanya mengandalkan kekuatan logika atau akal. Lihat Hasbi As-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih (Jakarta: Bulan Bintang,1967), 45 70 Muarif, Meruwat Muhammadiyah, 5 46 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” Pertama, metode menafsirkan ajaran Islam (al-Qur’an-alHadits) para aktivis Muhammadiyah berbeda metode. 1) Ada yang lebih cenderung menggunakan pendekatan tekstual yaitu sebuah model pemahaman terhadap al-Qur’an dan al-Hadits yang kurang memperhatikan aspek sosio-historis dan cenderung pada penerapan formal atau simbol-simbol agama dan tradisi salaf as-shalih pada kehidupan sehari-hari. 2) Ada yang lebih cenderung menggunakan pendekatan kontekstual yaitu sebuah model pemahaman yang lebih memperhatikan aspek sosio-historis dari ajaran Islam sehingga kelompok ini lebih menerapkan makna (isi) atau nilai subtansi dari ajaran Islam di kehidupan sehari-hari daripada aspek formal sehingga cenderung liberal.71 Kedua, manafsirkan relasi sosio-kultur dan politik dengan ajaran Islam. Kalangan aktivis Muhammadiyah terbagi ke dalam tiga arus pemikiran; 1) Arus pemikiran sekuleristik, yaitu pemikiran yang memisahakan antara agama dan sosio-politik secara formal sebab keduanya memiliki peran berbeda dan bahaya kalau dicampur. 2) Arus pemikiran integralistik yaitu pemikiran yang memahami antara agama dan sosio-politik memiliki kaitan integral yang tidak dapat dipisahkan dan cenderung menerpkan politik Islam secara formal dengan simbol-simbol agama. 3) Arus pemikiran subtantif, yaitu pemikiran yang memahami bahwa antara agama dan sosio-politik memiliki kaitan tetapi hanya pada nilai (subtansi ajaran) adapun model atau sistem politik tergantung pada kondisi sosio-historis masyarakat. 72 Ketiga, menafsirkan cita-cita, prinsip dan aksi pembaharuan KH. Ahmad Dahlan pada konteks kekinian. Pradana Boy 71 Pergulatan arus pemikiran tersebut biasa termanifestasikan di Majelis Muhammadiyah, kalau arus tekstualis biasanya di Majelis Tabliqh dan Dakwah Khusus, sementara arus kontekstual di Majelis Tarjih dan Tajdid Pemikiran Islam dan dikalangan kaum mudanya dengan JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah). 72 Implikasi dari arus pemikiran diatas dapat di lihat dari prilaku sosio-politik warga Muhammadiyah, bagi yang memahami secara sekuler biasa lebih tertarik masuk ke Parpol yang berbasis nasionalis (PDIP, Golkar, Demokrat dll), arus integralistik lebih tertarik masuk ke Parpol yang berbasis agama (PKS, PPP, PBB, dll), dan arus subtantif lebih tertarik masuk ke Parpol yang secara formal nasional tetapi mengusung nilai Islam (PKB, PAN, PMB). Tipologi diatas lebih jelas lihat Bachtiar Effendi, Teologi Baru Politik Islam (Yogyakarta: Galang Press, 2001) dan Bachtiar Effendi, Islam dan Negara (Jakarta: Paramadina, 1998) The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 47 mengkatagorikan pemikiran di Muhammadiyah, yaitu ada Muhammadiyah kulturalis, Muhammadiyah strukturalis dan Muhammadiyah politis.73 Sementara Subhan Setowara membagi tiga kelompok pemikiran dalam menafsirkan dan aktualisasi dari teologi al-Ma’un Muhammadiyah a) Kelompok praktisi amal usaha Muhammadiyah,b) Kelompok politisi dan c) Kelompok cendekiawan.74 Ketiga kelompok tersebut mempunyai wilayah dakwah dan metodologi tafsir yang berbeda. Para praktisi AUM menafsirkan teologi al-Ma’un sebagai pengembangan amal usaha melalui gerakan pemberdayaan ekonomi rakyat dan pengabdian masyarakat melalui pendirian sekolah, rumah sakit, BMT dan panti asuhan. Kedua dakwah politik yang berorientasi bukan bagi-bagi kekuasaan, tetapi berorientasi membela kepentingan kaum mustadh’afin yang tertindas secara politik sehingga langgam politik yang ditawarkan Muhammadiyah adalah high politic.75 Konsentrasi gerakan ini adalah bagaimana memahami secara lebih kritis ketertindasan yang di alami masyarakat di sinilah di rumsukan makna baru dari konsep new mustadh’afin.76 Fuad Fanani memetakan tiga tahapan kesadaran intelektual dan aksi sosial di Muhammadiyah, yaitu (1) Muhammadiyah jilid satu berorientasi pada pembangunan amal usaha; (2) Muhammadiyah jilid dua berorientasi pada keterlibatan politik praktis; dan (3) Muhammadiyah jilid tiga berorientasi pada pembangunan intelektualisme dan keberpihakan terhadapkaum tertindas, namun kelempok terakhir ini masih jarang di kalangan Muhammadiyah.77 73 Pradana Boy, Islam Dialektis Membendung Dokmatisme Menuju Liberalisme (Malang: UMM Press, 2005), 158-159. 74 Ibid., 9. 75 Istilah high politic pertama kali dipopulerkan oleh Prof Amien Rais dalam mengkaji gerakan politik Muhammadiyah. High Politic merupakan konsep politik yang menjunjung tinggi etika dan moralitas politik yang berorentasi pada penguatan kebangsaan dan pengutaan kerakyatan. Lihat Mua’arif, Meruwat Muhammadiyah, 10 76 New Mustdh’afin adalah pemahaman baru dalam memaknai ketertindasan atau kelompok marginal, apakah ketertindasan akibat dari budaya atau akibat proses globalisasi dan hegemoni neo-liberalisme. Sebab dari pemahaman baru inilah Muhammadiyah dapat melakukan gerakan social baru yang tepat dan komperhensif sebagai manifestasi tafsir baru dari teologi al-Ma’un. Pradana Boy (edit), Era Baru Gerakan Muhammadiyah, 71-117 77Ibid., 4. 48 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” Munir Mulkhan berdasarkan penelitiannya memetakan warga Muhammadiyah ke dalam empat kelompok varian berdasarkan aspek sosial-keagamaan, yaitu Muhammadiyah Kiai Ahmad Dahlan, Muhammadiyah-Murni(ikhlas), Muhammadiyah-Marhen (Marmud), dan Muhammadiyah-NU (MuNU).78 Muhammadiyah-Murni adalah warga Muhammadiyah yang orientsi intelektual dan aksi sosialnya benar-benar mengikuti orientasi ideologi, politik dan ritual keagaaman Muhammadiyah. Muhammadiyah-Marhen adalah warga Muhammadiyah yang orientasi ritual keagamannya sesuai dengan tuntunan Majelis Tarjih, tetapi orientasi politiknya cenderung ke kelompok nasionalis (PDIP) dan biasanya penganggum Soekarno. Muhammadiyah-NU adalah warga Muhammadiyah yang secara formal menjadi anggota Muhammadiyah (biasanya mereka bekerja di AUM) tetapi tradisi dan ritual keagamaanya masih mengikuti NU (tahlilan, selametan kematian dll). Potret tersebut menggambarkan Muhammadiyah sangat terbuka, dewasa, bebas untuk berbeda, dan semuanya mendapatkan tempat yang sama, meski akhir-akhir ini ada kecenderungan sebagian kelompok di Muhammadiyah yang membatasi kebebasan berfikir dengan terlalu berlebihan merespons negatif keberadaan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).79 Sehingga menurut penulis, perilaku ini harus segera dihentikan karena akan memiskinkan produktifitas pemikiran dan kering aktivitas sosial di Muhammadiyah. Dan tentunya bertentangan dengan spirit awal pendirian Muhammadiyah yang sangat mendorong dibukanya pintu ijtihad di kalangan umat Islam. E. Dakwah Kebangsaan Muhammadiyah Muhammadiyah adalah “soko guru” pembangunan perad- 78 Munir Mulkhan, Islam Murni dan Masyarakat Petani (Yogyakarta: Bentang, 2000) 79 JIMM merupakan salah kelompok intelektual dikalangan Muda Muhammadiyah yang kelahiranya menghebokan warga Muhammadiyah dan dunia intelektual di Indonesia. JIMM mengusung tiga pilar yaitu penguatan mengenai ilmu Hermeneutika, Teori Sosial kritis, dan New Social Movement. Tiga pilar ini di konstruksikan oleh Moslem Abdurrahman, Lebih lanjut lihat, Pradana Boy, Era Baru Muhammadiyah, 196 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 49 aban bangsa Indonesia. Dalam lintasan sejarah kebangsaan Indonesia, Muhammadiyah telah membuktikan komitmen dan konstribusi besar bagi kemajuan bangsa Indonesia. Sejak awal berdirinya Muhammadiyah sudah membangun pondasi dasar peradaban bangsa Indonesia dengan ijtihad-ijtihad sosial-keagamaanya melalui pendirian Sekolah, Rumah Sakit, Panti Asuhan dan sebagainya. Ijtihad kebangsaan terbesar Muhammadiyah adalah kontribusi pada perubahan pola pikir bangsa Indonesia dari pola pikir tradisional (jumud) penuh dengan Tahayyul, Bid’ah, Churafat (TBC) menjadi pola pikir yang rasional berbasis ilmu dalam penyikapan persoalan yang terjadi di masyarakat. Dampak dari perubahan pola pikir ini menjadikan bangsa Indonesia menjadi terbuka dengan perubahan dan semakin maju dengan beragama inovasi dan kreativitas di masyarakat. Dalam percaturan kehidupan kebangsaan Indonesia, Muhammadiyah mengambil posisi tegas, yaitu sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar yang bergerak di bidang sosial-keagamaan. Muhammadiyah bukan partai politik, tetapi tidak apolitik, artinya Muhammadiyah bukan didirikan untuk merebut kekuasaan praktis (Presiden, Gubernur, Walikota, DPR) tetapi Muhammadiyah selalu terlibat aktif dalam persoalan-persoalan yang menyangkut kehidupan berbangsa. Sejarah mengakui peran politik Muhammadiyah dalam membangun peradaban bangsa Indonesia. Konstribusi dakwah kebangsaan Muhammadiyah dapat teramati sejak awal berdirinya hingga saat ini kurang lebih sudah 1 Abad “menyinari” bangsa Indonesia. Dakwah kebangsaan itu di mulai dari pendirian sekolah (Madrasah), pendirian tempat kesahatan (PKO), pendirian panti sosial dan sebagainya. Peran ini kemudian dilanjut dengan terlibat pada perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan dengan mendirikan Hizbul Wathan (HW) dengan tokoh besarnya Panglima Besar Jendral Soedirman.80 80 Panglima Besar Jendral Soedirman adalah salah satu tokoh Militer Indonesia yang diakui oleh seluruh bangsa Indonesia dan masyarakat Internasional. Salah satu strate- 50 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” Peran kebangsaan Muhammadiyah di era Orde lama agak berbeda dengan terlibat aktif masuk ke Partai Politik dengan menjadi anggota istimewa Partai Masyumi sejak berdiri 19431960.81 Di Masyumi Muhammadiyah memainkan peran penting, banyak kader-kader Muhammadiyah yang memegang posisi strategis baik di level partai maupun pemerintahan. Hal ini menjadikan dakwah Muhammadiyah semakin kuat dan leluasa menjangkau semua elemen masyarakat terutama masyarakat perkotaan dan biokrasi pemerintahan. Dakwah kebangsaan Muhammadiyah berlanjut di era Orde Baru. Di era ini sistem politik yang berkembangkan adalah sistem politik otoriter-sentralistik dengan kendali penuh di tangan presiden Jendral (purn) Soeharto. Kondisi ini berdampak pula kehidupan organisasi sosial-keagamaan termasuk Muhammadiyah, yang tidak bisa begitu bebas dalam berdakwah, karena pantuan pemerintah sangat ketat, sehingga pada saat itu Muhammadiyah memilih pendekatan politik simbiosis-mutualisme yaitu sikap politik kritis-akomodatif dan saling menguntungkan. Dan lebih fokus pada pengembangan dakwah kebangsaan melalui jalur sosial-pendidikan dengan memperbayak pendirian sekolah, Universitas dan Rumah Sakit di seluruh Indonesia. Di era ini peran KH. AR Fachruddin (Ketua PP Muhamadiyah Periode 19861990) sangat luar biasa, beliau dapat memainkan peran dakwah kebangsaan Muhammadiyah yang elegan dengan pemerintah Soeharto atau pinjam istilah Amien Rais “high politic”. Dakwah kebangsaan Muhammadiyah berlanjut di era reformasi. Di era ini Muhammadiyah memiliki peran sangat luar biasa besar dengan tokohnya Prof. Dr. Amien Rais (Ketua PP Muhammadiyah 1995-1998). Muhammadiyah menjadi “lokomatif reforgi Militer yang terkenal melawan penjajah Belanda adalah dengan strategi “Grilya” yaitu perang dengan berpindah-pindah dari daerah satu ke daerah lain melalui pengunungan dan pedesaan. 81 Partai Masyumi merupakan kelanjutan dari organisasi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang di dirikan Jepang pada tangggal 22 November 1943. Dalam kepengurusan Masyumi, NU dan Muhammadiyah adalah penyokong terbesar dan memilki peran penting bagi keberlangsungan Partai Masyumi hinggga di bubarkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960. Sejak di bubarkan hingga saat ini Muhammadiyah tidak pernah lagi terlibat pada politik praktis. The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 51 masi” bangsa Indonesia yang sudah 32 tahun di bawah pemerintahan yang otoriter dan hegemonik berubah menjadi kehidupan berbangsa yang penuh kebebasan dan merdeka. Di era ini kehidupan masyarakat Indonesia berubah total baik secara politik, sosial, budaya, hukum, ekonomi dan prilaku keagamaan. Perbuhan yang paling mendasar adalah adaya desentralisasi kekuasaan dan kebebasan dalam kehidupan publik dengan keterlbatan penuh masyarakat dalam menentukan arah bangsa. Masyarakat Indonesia secara umum mendapatkan berkah dari gerakan reformasi yang di gawangi oleh Muhammadiyah dengan eleman bangsa lainya, walaupun sampai saat ini masih di perlukan pembenahan terus-menerus menuju kesempurnaan Indonesia. Salah satu produk yang masih terus perlu diperbaiki adalah persoalan konstitusi. Produk konstitusi tidak dapat dilepaskan oleh situasi dan kondisi lingkungan yang melatarinya. Artinya pembuatan konstitusi merupakan bagian dari salah satu solusi terhadap persoalan di masyarakat, sementara karakter persoalan adalah dinamis. Sehingga sifat konstitusi juga dinamis, artinya sesuai dengan latarbelakang persoalan yang terjadi. Maka sangat wajar kalau diperlukan perbaikan terus-menerus terhadap produk-produk konstitusi yang dihasilkan oleh Pemerintah dan Lembaga Legeslatf (DPR) agar terus dapat menjawab problem-problem di masyarakat. Berangkat dari logika ini, Muhammadiyah terus melakukan kajian terhadap kesesuaian produk-produk konstitusi dengan kebutuhan atau persoalan di masyarkat. Langkah Muhammadiyah ini dikenal degan gerakan “Jihad Konstitusi”. Tujuan Jihad Konstitusi ala Muhammadiyah adalah mengkritisi dan mengkaji kembali Undang-undang (UU) atau kebijakan yang inkonstitusional yang di nilai merugikan dirinya, kepentingan negara dan masyarakat umumnya. Misi ini dijadikan pula dalam agenda tajdid Muhammadiyah ketika meginjak umur seabad.82 82 “Se Abad Muhammadiyah Focus Jihad UU Inkonstitusional”, koran fakta.net, tgl 15 November 2012 52 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” Ada beberapa produk Udang-undang yang di lawan oleh Muhammadiyah yang dianggap merugikan kepentingan umum. Di antaranya Undang-undang itu adalah UU PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama. Undang-undang (UU) ini di ajukan judical review ke MK bersama NU dan ormas-ormas keagamaan lainya. Ada juga Undang-undang (UU) No 2 tahun 2001 tentang minyak dan migas (UU Migas) digugat oleh Muhammadiyah ke MK karena dianggap UU ini kurang berpihak pada kesejahteraan rakyat, bahkan bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33. Dampak dari putusan MK adalah membatalkan seluruh pasal tentang kedudukan, fungsi , dan tugas BP Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Selain itu, UU yang di gugat oleh Muhammadiyah ke MK adalah UU No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA), UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan UU No. 17 tahun 2013 tentang Ormas. Semua produk UU ini dianggap oleh Muhammadiyah secara subtansi merugikan kepentingan masyarakat umum, sehingga perlu untuk di kaji (judical review) agar lebih berpihak kepada kepentingan masyarakat umum. Paparan di atas merupakan wujud konkret yang terus di lakukan Muhammadiyah dalam rangka panggilan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar. Sehingga apa yang sudah dilakukan oleh Muhammadiyah ini patut di apresiasi dan di dukung agar makna sejati dari tujuan pembentukan negara ini terwujud, yaitu untuk membangun kesejahteraan rakyat Indonesia. Sebagaimana dalam kaidah Ushul fiqih “tasharuf al imam ‘ala ra’iyatihi manuthun bil mashlahah” (kebijakan seorang pemimpin atas rakyatnya haruslah berpihak (berorientasi) untuk kemashlahatan rakyatnya). The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 53 54 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” BAGIAN KETIGA DINAMIKA GERAKAN ISLAM RADIKAL DI INDONESIA A. Islam Radikal: Karakter Ideologi Ideologi agama memiliki potensi besar terhadap munculnya aksi radikalisme di masyarakat.Agama memiliki dua potensi yang terkadang saling benturan (kontraproduktif), di satu sisi agama pendorong perdamaian namun di sisi lain agama bisa menjadi spirit untuk saling bermusuhan, bahkan meminjam istilah Qomarudin Hidayat, “agama punya seribu wajah”.1 Diperkuat Amin Abdullah, bahwa dalam agama terdapat dua aspek yaitu aspek normatif dan aspek historis. 2 Aspek normatif agama berisi hal-hal trasendental bersifat mutlak (qath’i) kebenarannya, sehingga pendekatan kajiannya dengan keimanan. Sementara, aspek historis agama berisi hal-hal yang profan terkait dengan sejarah (komunitas) manusia bersifat relatif kebenarannya. Pada aspek ini ajaran agama sering mengalami distorsi antara ajaran ideal (normatif) dengan yang rael (historis), disinilah pemahaman pemeluknya memiliki pengaruh besar. Pada posisi inilah radikalisme agama merupakan bagian dari produk pemahaman dari ajaran agama. Pada beberapa dekade belakangan ini, fenomena radikalisme 1 Qomarudin Hidayat, Agama Punya Seribu Wajah, (Jakarta: Naora Book, 2012) 2 Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas dan Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) 55 seringkali dimanifestasikan sebagai islamisme, yakni aktivitas bernuansa agama yang menuntut reposisi peran Islam dalam politik ketatanegaraan. Islamisme di sini sebenarnya sangat kompleks, sehingga tidak bisa dijelaskan hanya dengan membuka sejarah-sejarah masa lalu. Bukan juga hanya dapat dimaknai dengan fanatisme keagamaan yang identik dengan gerakan kekerasan untuk tujuan surgawi. Namun Islamisme tidak dapat terlepas dari gejala perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang menghampiri berbagai belahan dunia Islam.3 Menurut Charles Kimball, agama hari ini adalah sebuah nama yang terkesan membuat gentar dan cemas manusia. Agama ditangan para pemeluknya belakangan ini sering tampil dengan wajah kekerasannya dan bersama itu seolah-oleh telah kehilangan wajah ramahnya.4 Teks-teks agama yang ditafsirkan secara atomistik, parsial-monolitik (monolithicpartial), sehingga menimbulkan pandangan yang sempit dalam beragama. Pandangan sempit ini kemudian muda mendorong untuk melakukan kekerasan (terror). Kebenaran agama menjadi barang komoditi yang dapat dimonopoli. Ayat-ayat suci dijadikan justifikasi untuk melakukan tindakan radikal dan kekerasan dengan alasan untuk menegakkan Kalimat Tuhan di muka bumi ini.5 Pendapat ini diperkuat oleh Prof. Amin Abdullah,6 pendekatan dalam memahami kitab suci (Al-Qur’an) ada dua pendekatan yaitu literal-tekstual dan kontekstual. Pendekatan literal-tekstual adalah memahami ajaran agama secara formalistic (tekstualistik) sebagaimana arti teks aapa adanya tanpa memperhatikan konteks teks tersebut. Pemahaman tersebut berdampak pada 3 Hasan, Noorhaidi, “Ideologi, Identitas dan Ekonomi Politik Kekerasan: Mencari Model Solusi Mengatasi Ancaman radikalisme dan Terorrisme di Indonesia .” Makalah disampaikan dalam Simposium Nasional Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme yang diselenggarakan atas kerjasama Lazuardi Birru, Menkopolhukam RI, Polri, Universitas Indonesia, Universitas Negeri Islam Negeri Syarif Hidayatullah dan LSI pada tanggal 27-28 Juli 2010 di Hotel Le Meridien Jakarta., h, 20 4 Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana, Terj. Nurhadi, (Jakarta; Mizan, 2003) 5 Imam mustofa, “Terorisme: Antara aksi dan reaksi (gerakan islam radikal sebagai respon terhadap Imperialisme modern), Jurnal RELIGIA, Volume. 15 No. 1, April 2012 6 Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas dan Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2006) 56 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” pemahaman sempit berdampak pada sulit menerima perbedaan dari kelompok lain, muda menyalahkan pihak lain, sikap inilah menjadi pendorong terhadap aksi radikalisme agama. Agama sering tersandra dalam aksi radikalisme di masyarakat. Dengan pandangan tafsir sempit, mereka melegitimasi aksi radikalnya diyakini sebagai perintah agama. Sebagaimana pandangan Qomaruddin Hidayat,7 dalam banyak kasus kekerasaan di masyarakat, pemahaman dan keyakinan agama malah ikut memberi amunisi semangat bertempur dan gairah untuk memusnahkan kelompok yang berbeda agama dan keyakinan dengan mengatasnamakan Tuhan. Istilah Islam radikal sering dinegasikan dengan Islam Moderat, terutama dalam hal model dakwah di masyarakat. Islam radikal cenderung menggunakan model dakwah kasar, keras, intoleran, pengkafiran, dan terror, sementara Islam moderat adalah kebalikanya. Para sarjana menyebut gerakan inni dengan beragam istilah, seperti Islam Garis keras, Revivalisme Islam, Ekstremisme Islam, Fundamentalis Islam, Islam radikal, Islam Trasnasional, Islam terroris. Seperti Gus Dur menyebut kelompok tersebut adalah Islam garis keras, mengapa karena sikap mereka tidak kenal kompromi, seolah Islam tidak ada Ishlah (damai) yang ada hanya paksaan dan kekerasan.8 Gerakan Islam radikal ingin mengubah Islam dari agama menjadi Ideologi-politik. Pada saat Islam menjadi Ideologi-politik maka posisi Islam berubah menjadi alat kepentingan kelompok, karena sifat dasar ideologi adalah alat menguasai (domination) dan penyeragaman (homogenation). Sehingga awalnya Islam hadir sebagai ajaran universal untuk membangun peradaban manusia yang luhur (rahmatalil’alamin) berubah menjadi ajaran sempit karna sudah dibingkai dengan batasan-batasan ideologi dan platform politik.9 Sehingga Islam seolah-olah milik satu 7 Hidayat, Qomaruddin, Agama Punya Seribu Nyawa, Jakarta: Naoura Books, 2012), 159 8 Abdurrahman Wahid (edit). 2009, Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional Di Indonesia, (Jakarta: The Wahid Institute & Ma’arif Institute, 2009), 19 9 Ibid, 19 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 57 kelompok yang mengganggap paling sah memahami dan mewakili (mendominasi) Islam. Karakter ideologi Islam radikal sangat dipengaruhi oleh ideologi gerakan Islam transnasional dari Timur Tengah yang berpaham Wahhabi. Pandangan ini diperkuat oleh Khaled Abou El Fadl, bahwa kaum Wahhabi jelas-jelas mempengaruhi setiap gerakan puritan atau radikal di dunia Islam di era kontemporer. Setiap gerakan Islam yang dilabeli radikal seperti al-Qaedah, Ikhwanul Muslimin sangat kuat di pengaruhi oleh ideologi Wahhabi.10 Konstruksi ideologi Islam radikal dibangun berdasarkan pada: pertama, din wa dawlah yaitu integrasi antara agama dan persoalan publik termasuk politik. Kedua, landasan Islam adalah Al-Qur’an-Hadits dan tradisi generasi salaf. Ketiga, puritanisme dan keadilan sosial. Keempat, kedaulatan dan hukum Allah berdasarkan syariat. Kelima, Jihad sebagai pilar menuju nizam Islami.11 Hasyim Muzadi, berpandangan kemunculan awal gerakan radikal Islam adalah faktor “mind site” (paradigma/Teologi) pemeluknya, terutama paham Takfiriyah. Paham Takfiriyah adalah paham yang muda mengkafirkan orang atau kelompok Islam yang bebeda pemahaman dengannya. Ideologi Takfiriyah terbagi kedalam dua macam, yaitu pertama Takfiriyah al-fikri (pengkafiran pada tingkat ide/gagasan), kedua, Takfiriyah al-hukmi (pengkafiran pada tingkat hukum syariat).12 Gerakan Islam radikal menjadikan terma jihad sebagai salah satu landasan perjuangan. Konsep jihad mengalami pergeseran pemahaman makna. Konsep jihad cenderung ditafsiri secara literal dan sempit, jihad yang semula di pahami sebagai upaya sungguh-sungguh untuk menggerakan segala tenaga, pikiran, harta untuk kemajuan Islam melalui dakwah, ternyata 10 Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (terj), penerjemah Helmi Musthofa (Jakarta: Serambi, 2006), 61 11 Imadadun Rahamat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2005),h, 158-159 12 Hasyim Muzadi “ISIS Mengancam Kita”, Forum Indonesia Lawyers Club (ILC) TV One, (24 Maret 2015) 58 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” bergeser ke makna artifisial dan fisikal.13 Pergeseran makna jihad ini terjadi terutama para pengikuti Wahhabi yang identitik dengan neo fundamentalisme atau neo-salafi. Wahhabi awal memaknai jihad adalah perjuangan menegakkan monotiisme, tetapi belakang bergesar pada gerakan perlawanan global tanpa kompromi dengan siapa saja yang secara ideologi berbeda yang ada adalah perang melawan Yahudi, Kristen dan Barat secara global, sehingga sering berbenturan dengan kelompok non Islam bahkan dengan sesama kelompok Islam sendiri.14 Konsepsi jihad seperti ini tampak terus berkembang di dunia Islam. Jihad identitik dengan jalan kekerasan, teror, bom di tempat umum. Oleh Fazlur Rahman di kritik sebagai bentuk salafi sempit bukan salafi yang mengambil semangat Ibnu Taymiyyah yang menyatakan perbuatan manusia tidak yang bersifat zahiri, tampak sebagai kebaikan (jihad) tetapi ada perbuatan yang bersifat batiniah, inilah sesungguhnya menjadi bagian terpenting dalam iman pada Tuhan.15 Kemunculan gerakan Islam radikal hal wajar akibat dari transformasi arus globaliasi. Arus globalisasi menjadikan relasi sosial yang bebas dan cepat, tidak ada sekat tradisi, teritorial dalam akses informasi. Ian Adams, berpandangan kemunculam gerakan Islam radikal merupakan hal yang tidak dapat dipungkiri karena radikalisme dapat ditemukan dalam berbagai macam lingkungan masyarakat dan tampil dalam berbagai bentuk yang beragam termasuk dalam wajah agama (baca: kelompok agama).16 Namun oleh sebagian kelompok Islam, transformasi globalisasi dipersepsikan sebagai perpanjangan tangan kepentingan Barat (Amerika Serikat) yang sering dianggap tidak adil dengan umat Islam. Kegagalan menyikapi arus modernitas dan globalisai mer13 Natana J Delong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform Global Jihad (London: Oxford University Press, tt), 278 14 Zuly Qadir “Gerakan salafi Radikal dalam Konteks Islam Indonesia”, Jurnal Islamica, Vol.3, No.1, September 2008, 2. 15 Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam: Studi Fundamentalisme Islam (ter), penerjemah Aam Fahmia (Jakarta: Rajawali Press, 2001), 163 16 Ian Adams. Ideologi Politik (Yogyakrta: Qalam, 2004), 426 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 59 upakan salah satu pendorong suburnya gerakan Islam radikal. Menurut Buya Syafii Ma’arif, kegagalan umat Islam menghadapi arus modernitas yang dinilai menindas Islam. Umat Islam tidak berdaya sehingga menggunakan dalili-dalil Syara’ untuk menghibur diri dengan membayangkan kembali ke masa lalu dengan bercita-cita membangkitkan tata politik ideal (Negara Islam).17 Konsepsi tersebut, sah-sah saja namun yang jadi problem adalah cita-cita tersebut kemudian di wujudkan dengan menyusun kekuatan politik untuk melawan modernitas dengan cara-cara terror atau kekerasan. Selain problem pemahaman keagamaan, aksi gerakan Islam radikal juga disebabkan oleh pandangan umat Islam dalam memahami realitas sosial-keagamaanya dalam wadah peradaban besar Islam. Menurut Buya Syafii Ma’arif,18 maraknya gerakan Islam radikal (Al-Qaedah,ISIS,JI,FPI) merupakan gambaran fenomena peradaban Islam yang jatuh atau runtuh. Namun, saat ini Orang Islam sudah tidak bisa berfikir sehat (jernih) lagi melihat realitas sosial-keagamaan, dengan sukarela berangkat bersama keluarga (Istri-Anak) ke negara-negara Arab (Syiriah, Irak, Libya, Palestina), padahal negera-negara tersebut adalah Negara “gagal” atau hancur. Fenomena di atas disebabkan kejiwaan orang Islam mudah terpengaruh dari luar atau sudah tidak stabil. Kondisi ini disebabkan oleh ketidakpahaman atau ketidak tahuan orang Islam terhadap peta peradabannya, mereka hanya melihat satu sisi peta dunia Islam yang sedang terzalimi sehingga, mendorong mereka untuk melakukan aksi kekerasan sebagai aksi balas dendam. Jika strategi ini yang diambil oleh umat Islam maka secara perlahan sama dengan menggali kuburnya sendiri atau “harakiri” peradabannya. Padahal, kehadiran Islam pada hakekatnya adalah untuk menegakkan peradaban yang rahmatalil’alamin, bukan meruntuhkan peradaban. 17 Syafii Ma’arif, “ISIS Mengancam Kita”, Forum Indonesia Lawyers Club (ILC) TV One, (24 Maret 2015) 18 ibid 60 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” B. Islam Radikal: Melacak Akar Historis-Ideologis Di Indonesia Fenomena kebangkitan Islam di Indonesia menjadi perhatian cukup luas di masyarakat. Bentuk kebangkitan Islam adalah gejala menguatnya kecenderungan masyarakat Islam untuk kembali pada ajaran Islam yang sesuai dengan tradisi keagamaan kaum salafus as-shalih. Fenomena ini diperkuat dengan gejala formalisasi dalam melaksanakan ajaran Islam dikehidupan sehari-hari dengan slogan “ar-ruju’ ila al-qur’an wa al-hadits” (kembali pada al-Qur’an dan al-Hadits). Sehingga wajah gerakan Islam yang ditampilkan kelompok ini cenderung tekstual, kaku, keras dan radikal dalam kehidupan sosial-keagamaan di masyarakat.19 Kebangkitan Islam yang cenderung bersifat radikal merupakan hal wajar di tengah kebebasan arus inforamsi dari seluruh penjuru dunia (globalisasi inforamsi). Sebagaimana pandangan Ian Adams bahwa fundamentalisme dapat di temukan dalam berbagai macam lingkungan dan tampil dalam berbagai bentuk yang beragam.20 Sejak era 1990-an perkembangan Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat dengan di tandai munculnya fenomena menguatnya religiusitas umat Islam. Fenomena tersebut di indikasikan sebagai kebangkitan Islam (Islamic revivalism). Kemunculanya dalam bentuk beragam, mulai dari kehidupan Ibadah, sosial, ekonomi, pendidikan, hukum, budaya dan politik. Semisal muncul istilah lembaga ekonomi Islam (Bank Syari’ah), Islamisasi Hukum Keluarga (UU Perkawinan), Partai politik Islam, Isu Khalifah Islamiyah, UU Sisdiknas dan dipakainya simbol-simbol Islam dalam acara kenegaraan. Fenomena tersebut mengisyaratkan menguatnya kecenderungan terhadap formalisasi syariat Islam.21 Wajah Islam Indonesia saat ini tampak tidak dapat di pisahkan dengan munculnya gerakan-gerakan Islam radikal atau neo-fundamentalisme Islam. Di tambah dengan menguatnya wacana ji19 Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, 19. 20 Ian Adams, Ideologi Politik Mujtajhid, 426 21 Pradana Boy, Islam Dialektis, 158-159 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 61 had yang mengalami pembaharuan makna. Jihad yang semula dipahami sebagai upaya sungguh-sungguh menggerakan segala tenaga, pikiran, harta untuk kemajuan Islam melalui dakwah bergeser ke makna artifisial dan fisikal.22 Fenomena di atas semakin menguat pasca Reformasi dengan di tandai dengan munculnya aktor gerakan Islam baru. Aktor baru ini berbeda dengan aktor gerakan Islam yang lama (NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Jamat Al-Khair) dan sebagainya. Gerakan mereka berada di luar kerangka mainstream, mereka berbeda mulai dari proses sosial-politik maupun wacana yang dikembangkan oleh Islam mainstream. Fenomena tersebut oleh Imdadun Rahmat di sebut “Gerakan Islam Baru” (New Islamic Movement). Di antara adalah kelompok Tarbiyah yang kemudian bermetamorfosis menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jama’ah Anshoru Tauhid (JAT), Front Pembela Islam (FPI), Lasykar Jihad , Kelompok salafi dan sebagainya.23 Gerakan ini mendapatkan momentum besar pasca aksi teror 11 September 2001, yang menghancurkan WTC (World Trade Center) dan Penthagon di Amerika Serikat (AS) yang dilakukan kelompok Al-Qaedah dan Jama’ah Islamiyah/JI). Kelompok Islam tersebut dikenal dengan sebutan gerakan salafi Radikal atau Neo Fundamentalisme Islam. Gerakan ini sangat puritan dengan karakter ideologi berdasarkan ideologi Ikhwanul Muslimin Hasan Al Banna yang diteruskan Sayyid Qutb.24 Gerakan Islam radikal memiliki basis ideologi, pemikiran dan strategi perjuangan yang berbeda dengan berbagai gerakan Islam sebelumnya.25 Basis salafisme radikal berorientasi pada 22 Zuly Qadir “Gerakan salafi Radikal dalam Konteks Islam Indonesia”, Jurnal Islamica, Vol.3, No.1, (September 2008), 2. Lihat, Natana J Delong-Bas, Wahabi Islam: From Revival and Reform, 278. 23 Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radika: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia (Jakarta: Erlangga, 2005), xi. 24 Greg Fealy, Jejak Khalifah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia (Bandung: Mizan, 2005), 12. 25 Perbedaan gerakan Islam radikal masa lalu dengan kontemporer, menurut Al-Jabiri adalah gerakan radikal masa lalu mempraktekan ekstremisme pada tatanan aqidah, sedangakan gerakan radikal kontemporer menjalankan pada tatanan syariat dengan 62 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” penciptaan kembali masyarakat salaf dengan cara keras dan radikal. Bagi mereka, Islam pada masa kaum salaf merupakan Islam paling sempurna, murni dan bersih dari berbagai tambahan dan campuran yang dipandang mengkotori Islam. Gerakan Islam radikal, juga diperkuat dengan tafsir terhadap al-Qur’an dan al-Hadits secara literal-harfiah. Corak gerakan ini berkarakter militan, skriptualis, konservatif dan cenderung esklusif.26 Berbagai gerakan Islam radikal memiliki platform yang beragam tetapi pada umumnya mempunyai kesamaan visi dalam pembentukan Negara Islam (daulah Islamiyyah) dan mewujudkan penerapan syariat Islam, baik dalam wilayah masyarakat maupun negara (formalisasi syariat Islam).27 Kelompok gerakan ini bercorak konfrontatif dan radikal terhadap sistem sosial-politik yang sudah ada. Mereka menghendaki adanya perubahan mendasar terhadap sistem tersebut dipahami sebuah sistem sekuler atau jahilia modern, maka harus di rubah dengan sistem baru yang mereka sebut sistem Islam (Nizam Islami). Slogan terkenal dari kelompok ini adalah “Islam adalah solusi” (al-Islam huwa al-hall), Islam sebagai alternatif” (al-Islam ka badil), “syariat Islam adalah solusi krisis”. Agenda iqamah dawlah Islamiyah (mendirikan negara Islam) dan formalisasi syariat Islam merupakan muara dari seluruh agenda perjuangan.28 Ideologi gerakan Islam radikal secara subtansi bermuarah pada ide internasionalisasi Islam dalam satu wadah, yaitu negara Islam. Sehingga gerakan Islam radikal juga sering diistilahkan dengan gerakan Islam transnasional, yaitu gerakan yang ide awalnya banyak diadopsi bahkan berjejaring dengan gerakan Ismelawan mazhab –mazhab moderat. Pada periode awal Ekstrimisme terdapat pada sekte Khawarij. Muhammad Abid Al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syariah (Yogyakarta: Pustaka, 2001), 139-149 26 Azumardi Azra, “Kelompok Radikal Muslim” Jurnal Islamica Edisi 26 Mei-1 Juni 2003, 52. 27 Lebih lanjut berkaitan dengan kajian formalisasi syariat Islam di Indonesia, baca, Haedar Nashir, Islam Syariat; Reproduksi Salafiyah Ideologi di Indonesia, (Jakarta:Mizan, 2013) 28 Zuly Qadir “Gerakan salafi Radikal dalam Konteks Islam Indonesia”, Jurnal Islamica, Vol.3, No.1, 45. The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 63 lam di Timur Tengah). Kemunculan gerakan Islam transnasional di Indonesia berawal dan di transformasikan dari gerakan Islam Timur Tengah. Hal ini dapat dilacak dari keterkaitan jaringan ideologi maupun sosio-politik antara gerakan radikal Islam kontemporer Indonesia dengan gerakan Islam di Timur Tengah. Semisal, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) merupakan cabang dari Hizbut Tahrir yang didirikan oleh Taqiyuddin An-Nabhani di al-Quds, Palestina. Lasykar Jihad merupakan jaringan ideologis dari Gerakan salafidi Saudi Arabia dan Kuwait. Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI) oleh Sidney Jones dipandang sebagai jaringan sosio-politik dari Jama’ah Islamiyah Asia Tenggara yang memiliki kesamaan platform dengan Jama’ah Islamiyah faksi sempalan Ikhwanul Muslimin yang eksis di Mesir.29 Berbagai gerakan ini menjadi sangat terkenal dan menyedot perhatian masyarakat karena ciri radikalnya. Baik radikal dalam lingkup cita-cita sosial-politiknya yakni: menginginkan perubahan yang mendasar atas kondisi keagamaan, kemasyarakatan, kenegaraan, maupun radikal dalam lingkup strategi dan cara menempuh tujuan (dengan pengertian cenderung pada caracara pemaksaan bahkan kekerasan). Penyebaran ideologi Islam radikal di tengarai lewat beragam jalur media.30 Pola awal penyebaran ideologi gerakan Islam radikal adalah melalui jalur institusi pendidikan. Kemudian bergeser dengan memanfatkan media teknologi Informasi dan pendekatan keluarga. Di antara media informasi yang sering digunakan adalah media sosial (FB, Web, Twitter, Blog, dll), media cetak (Koran, majalah, bulletin). Selain media sosial, adalah dengan pola memanfatkan pada rekrutmen anak-anak muda kampus, dan anak sekolah SMA, SMP dan rekrtumen di internal keluarga sendiri yaitu anak dan Istri, paman, orang tua 29 Mona Abaza, “’Generasi Baru Mahasiswa Indonesia di Al Azhar”, Jurnal Islamika, No. Januari-Maret 1994, 37-38. 30 Lebih lanjut pola transmisi gerakan radikal masuk ke Indoensia, baca, Imadadun Rahmat, Arus Baru Radikal Islam: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia, (Jakarta: Airlangga, 2002) 64 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” dan sebagainya dan memanfatkan jaringan Travel Umrah.31 Aktor penting dari penyebaran gerakan Islam radikal adalah alumni mahasiswa Timur Tengah dan diperkuat oleh sebagian besar alumni perang Afghanistan dengan jaringan Al-Qaedah32 dan Jama’ah Islamiyah (JI) yang berpusat di Solo.33 Pandangan ini di perkuat oleh Haidar Nashir bahwa kemunculan Islam Transnasional (Islam radikal) atau Islam yang mengusung gagasan syariat Islam merupakan bentuk reproduksi gagasan dan ideologis Islam salafiyah Timur Tengah di Indonesia.34 Jargon dakwah amar ma’ruf nahi mungkar melalui doktrin ajaran jihad fiisabilillah sering dijadika alat penyebaran ideologi Islam radikal. Sayang jargon tersebut hanya dijadikan lipts service, sebagaimana pendapat Gus Dur mereka sering mejadikan konsep amar ma’aruf nahi munkar sebagai alat legitmasi untuk melakukan pemaksaan, kekerasan, dan penyerangan terhadap siapa yang berbeda.35 Gerakan Islam radikal di Indonesia muncul dan berkembang melalui beberapa cara: Pertama, lewat proses transformasi dan indoktrinasi pendidikan. Kedua, lewat transforamsi penerjemahan buku-buku karya ulama dan intelektual Timur Tengah yang berhaluan radikal fundamental. Ketiga, transformasi almuni perang Afganistan, Bosnia dan sejumlah negara Islam lain yang mengalami konflik.36 Pertama, lewat transformasi pendidikan. Proses ini sebenarnya sudah dimulai sejak lama terutama lewat jalur ibadah Haji. Pada transformasi awal, muncul banyak gerakan Islam di Indo- 31 Lebih lanjut, baca berita ISIS dan Keluarga, baca Agus SB, Darurat Terorisme: Kebijakan Pencegahan Perlindungan dan Deradikalisasi, (Jakarta: Daulat Press, 2014), 159-161 32 Lebih lanjut, baca As’ad Said Ali, Al-Qaedah: Tinjauan Sosial-Politik, Ideologi dan Sepak Terjanganya. 2014, (Yogyakarta, LP3S), h, 241-285 33 Lebih lanjut, baca Fajar Purwadinto, Jaringan Baru Teroris Solo, (Jakarta; KPG, 2014) 34 Haidar Nashir, Gerakan Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia (Jakarta: PSAP, 2007), 8 35 Abdurrahman, Ilusi Negara Islam,33 36 Miftachul Huda, Ikhwanul Muhammadiyah, 15 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 65 nesia, seperti halnya Muhammadiyah, NU, Persis, al-Irsyad dan sebagainya. Kemunculan berbagai gerakan tersebut tidak lepas dari imbas dari gerakan revivalis Muhammad bin Abdul Wahhab, pemikiran pembaharuan salafiyahJamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Gerakan nasionalisme di kalangan umat Islam yang tersemai dari gerakan nasionalisme Timur Tengah, adalah salah satu contoh yang tidak bisa dibantah. Transforamsi pendidikan ini bukan hanya berpengaruh pada wacana sosial keagamaan, melainkan menjadi jejaring gerakan sosial politik umat Islam. Pengaruh keagamaan dan politik dari Timur Tengah ke Indonesia bukanlah hal baru dalam sejarah. Semenjak Islam masuk ke Nusantara, hubungan masyarakat Indonesia dengan Timur Tengah sangat erat. Dalam konteks keagamaan, wacana dan politik transforamsi ini sangat dimungkinkan, sebab posisi Timur Tengah sebagai sentrum yang selalu menjadi rujukan umat Islam lewat transformasi kegiatan Ibadah Haji, belajar ke ulama dan ziarah.37 Pada periode 1980-an, banyak mahasiswa asal Indonesia di Mesir yang bersentuhan langsung dengan gagasan Islam fundamentalis. Sebab pada waktu itu wacana fundamentalisme Islam menjadi ikon intelektual di kalangan cendikiawan Islam di Mesir. Menurut Mona Abaza, pada masa itu minat baca mahasiswa Indonesia diorientasikan pada pemikiran pemimimpin Ikhwanul Muslimin, seperti Sayyid Qutb, Muhammad Al-Bahi, Fahmi Huwaydi, Husein Mu’nis dan Ahmad Shalabi, serta pemikir Pakistan Abu A’la Al-Maududi dan pemikir Revolusi Iran Ayatullah Khomeni dan Ali Syari’ati. Situasi ini berbeda dengan generasi sebelumnya yang lebih banyak menyerap gagasan pemikiran Barat seperti Albert Camus, Jean Paul Sartre dan juga pemikiran pembaharuan Islam.38 Meningkatnya pelajar Indonesia di Timur Tengah semakin mendekatkan jaringan dalam banyak hal. Keberadaan para pe37 Ibid., 16 38Mona Abaza, “’Generasi Baru Mahasiswa Indonesia di Al Azhar”, Jurnal Islamika, 37-38. 66 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” lajar tersebut membuat mereka secara langsung maupun tidak langsung mengikuti bahkan terlibat dalam berbagai dinamika gerakan di sana. Berbagai pengalaman di Timur Tengah pada gilirannya memengaruhi keyakinan, ideologi, pemikiran, cara pandang, sikap dan tindakan mereka dalam berbagai hal. Almuni Timur Tengah yang bersentuhan dengan pemikiran dan gerakan Ikhwanul Muslimin memperkenalkan manhaj dakwah Ikhwanul Muslimin kepada kalangan mahasiswa di Indonesia. Transformasi itu melalui gerakan kelompok (halaqah) atau yang terkenal dengan sebutan “usro” dengan materi keislaman dan latihan kempemimpianan di berbagai perguruan tinggi, terutama di kampus negeri (UI, ITB, ITS, IPB) dan sebagainya.39 Kedua, melalui jalur penerjemahan buku. Para alumni Timur Tengah melakukan penerjemahan buku karya para pemikir dan aktivis gerakan Islam radikal Timur Tengah ke dalam Bahasa Indonesia. Sejak era 80-an, buku-buku para tokoh gerakan Islam radikal semisal karya Hasan Al-Banna, Said Hawwa, Taqiyuddin An-Nabhani, Sayyid Qutb, Abdullah Azzam, dan sebagainya. Buku-buku tersebut menjadi rujukan utama dalam berbagi forum perkaderan di kalangan pendukung organisasi baru tersebut. Ketiga, lewat jaringan alumni perang Afganistan. Imdadun Rahmat berpandangan bahwa gerakan Islam radikal di Indonesia juga ditransformasikan lewat veteran jihad di Afghanistan. Jaringan mereka sebagian besar adalah pendukung gerakan Islam militan dari asal negaranya. Dari jaringan ini telah memperkenalkan para mujahid Indonesia dengan berbagai gagasan Islam-politik yang bercorak fundamentalis. Kontak ini pada fase berikutnya berkembang menjadi jaringan komunikasi, pendanaan, hingga jaringan organisasi.40 39 Ali Said Damanik, “Fenomena Partai Keadilan Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 2002), 97. Lebih lengkap kajian terhadap fenomena gerakan Islam radikal di kalangan mahasiswa (kampus), baca, Nafi’ Muthohirin, Fundamentalisme Islam: Gerakan dan Tipologi Pemikiran Aktivis Dakwah Kampus, (Jakarta: IndoStrategi, 2014). 40 Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal, xiv. Lebih lengkap baca karya, As’ad Said Ali, Al-Qaeda; Tinjaun Sosial-Politik, Ideologi dan sepak terjangnya, (Jakarta: LP3S, 2014) The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 67 Pemataan di atas menujukan ada sebagian kelompok Islam yang menyambut baik ide-ide bahkan mendukung gerakan Islam radikal. Ridwan Saidi menjelaskan, bahwa sambutan hangat terhadap kelompok Islam radikal disebabkan gerakan Islam radikal sangat popular dan “fashionable”, hal itu disebabkan gagasan yang diusungnya lebih konkret yaitu “Khilafah Islamiyah” dan formalisasi syariat Islam dalam kehidupan keseharian. Kedua ada kekosongan hukum di Pemerintah Indonesia dalam mengatur tentang gerakan Islam radikal (ISIS, MMI, HTI), bahkan ada kesan pembiaran terhadap gerakan tersebut. Ketiga, ada romantisme sejarah, kelompok Islam radikal pernah tumbuh subur di Indonesia yaitu gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DII/TII).41 Keberadaan Islam radikal dapat menjadi ancaman serius bagi “wajah” Islam di Indonesia. Asumsi ini didasarkan pada bangunan kultur (Ideologi-praksis) gerakan Islam radikal yang tertutup dan cenderung intoleran, hal ini tentu berbeda dengan kultur gerakan Islam di Indonesia yang sudah berkembang sebelumnya, seperti NU-Muhammadiyah, Persis, Al-Washilah cenderung lebih moderat. Menurut Syafi’I Ma’arif, jalinan kerjasama antar gerakan Islam moderat terutama NU-Muhammadiyah dalam mewujudkan Islam yang ramah, toleran terhadap siapa saja termasuk Non-Muslim (Islam rahmatalil’alamin) sudah terbangun sejak lama.42 Dampak dari aksi kekerasaan oleh gerakan Islam radikal adalah timbulnya trauma psyikologis, fisik, dan ideologis di masyarakat.43 Trauma psyikologis adalah timbulnya rasa ketakutan dan depresi dalam jiwanya, trauma fisik adalah timbulnya kekerasan fisik, penyisaksaan, pembunuhan, dan trauma ideologis adalah timbulnya klaim kebenaran tunggal dan yang berbeda 41 Ridwan Saidi, “ISIS Mengancam Kita”, Forum Indonesia Lawyers Club (ILC) TV One, (24 Maret 2015) 42 Syafii Ma’arif, “Masa Depan Islam di Indonesia”, dalam Abdurrahman Wahid (edit). 2009, Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional Di Indonesia, Jakarta: The Wahid Institute & Ma’arif Institue, h, 8-9 43Sholihul huda, “Transisi ideologi: Studi tentang gejala pergeseran ideologi warga muhammadiya yang aktif di fpi paciran kab. Lamongan” (Tesis, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2011) 68 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” paham adalah musuh “kafir” yang halal di bunuh. Aksi ini juga berdampak secara politik, yaitu konflik dan kekerasan di masyarkat menimbulkan disintegrasi bangsa dan disharmoni sosial di negeri ini. Salah satunya ditandai dengan berkembangnya ketidaknyamanan dan ketidakamanan (insecurity) terutama bagi kelompok minoritas manapun di masyarakat. Dan dapat menjerumuskan Indonesia ke dalam “Negara gagal” (failed state) dan merusak citra Indonesia.44 Pandangan di atas, diperkuat dengan pernyataan Hasyim Muzadi, ancaman gerakan Islam radikal (Al-Qaedah, ISIS, FPI, Jama’ah Islamiyah (JI), HTI, MMI) di Indonesia akan berdampak lebih parah daripada di Timur Tengah.45 Argumentasi di atas di dasarkan pada fakta Indonesia adalah Negara Kepulauan yang tersebar di seluruh wilayah NKRI dengan beragam Suku, Agama, Ras, dan Golongan (SARA). Jika kondisi Indonesia yang pluralistik ini dirasuki oleh ideologi Islam radikal yang monolitik dapat berpotensi konflik. Jika kondisi ini dibiarkan dalam jangka panjang, maka dapat berdampak pada disintegrasi atau kehancuran bangsa Indonesia. Kekhawatiran tersebut diperkuat dengan pandangan Gus Dur, gerakan Islam radikal bagi Indonesia akan merubah wajah Islam Indonesia yang agresif, keras, bengis, intoleran, menebar kebencian, padahal sebelumnya citra Islam di Indonesia cenderung dikenal damai, toleran, moderat berubah.46 Mengantisipasi kekhawatiran tersebut, maka dibutuhkan strategi penanganan dan pencegahan terhadap gerakan Islam radikal agar tidak tumbuh subur di Indonesia. Startegi penanganan terhadap aksi Islam radikal harus bersifat utuh (komperhensif) atau meminjam istilah Agus SB adalah strategi “semesta”. Strategi semseta adalah penanganan terhadap gerakan radikal Islam yang melibatkan seluruh elemen masyarakat Indonesia, mulai dari keluarga, RT/RW, Lembaga Pendidikan, Pesantren, tokoh adat, tokoh masyarakat, Tokoh Pemuda, Tokoh Perem44 Agus SB, Darurat Teroris, 17 45 KH. Hasyim Muzadi, “ISIS Mengancam Kita”, Forum Indonesia Lawyers Club (ILC) TV One, ( 24 Maret 2015) 46 Abdurrahman Wahid (edit). 2009, Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional Di Indonesia, Jakarta: The Wahid Institute & Ma’arif Institue, h, 20 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 69 puan, Negara (BNPT, Aparat Keamanan, Menlu, Mentri Agama), Ulama, dan Oraganisasi Sosial-Keagamaan.47 Penanganan gerakan Islam radikal harus bersifat menyeluruh (holistic) mulai dari hulu sampai hilirnya, artinya startegi penanganan dari proses pencegahan, penindakan, pengawasan, penegakan hukum, dan pasca penegakan hukum. Sementara, strategi penenganan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia masih intensif pada hilirnya, penindakan dengan pendekatan represi keamanan.48 Pendapat ini diperkuat oleh Hasyim Muzadi, pemerintah Indonesia terlihat baru fokus pada penindakan secara represif keamanan, belum ada tempat pembinaan dan masih belum utuh (parsial), menurutnya untuk mengatasi gerakan radikal Islam di Indonesia adalah harus dengan cara Indonesia yaitu, melalui pendidikan, penegakkan hukum, baru represif keamanan dan harus melibatkan semua elemen yang berkaitan dengan persoalan ini (Polri, BIN, BNPT, Densus 88, Menlu, Ormas Keagamaan) duduk bareng merumuskan gerakan Nasional Anti Teroris.49 Kritik di atas ada benarnya, sebab strategi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia selama ini belum begitu maksimal, malah pada kondisi lain terjadi kontra produkitif, yaitu terjadinya aksi balas dendam oleh para aktivis Islam radikal.50 Menangani gerakan Islam radikal tidak cukup di tangani di hilirnya, tetapi harus dimulai dari hulu yaitu pencegahan dari proses awal kemunculan radikalisme, hal inilah yang sering terlupakan atau kurang begitu serius dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Aktor penting menurut Hasim Muzadi, dalam proses pelibatan penanganan (hulu) adalah Ulama dan Ormas Sosial-Keagamaan terutama 47 Ibid, 217 48 Pendekatan ini sangat tampak dengan agresifnya Densus 88 POLRI menangkapi baik dalam keadaan hidup maupun di tembak mati. Dan yang sangat disyangkan selalu dalam pemberitaan adalah di ungkapkan sebagai terduga Teroris artinya terduga bisa iya bisa tidak karena belum ada pembuktian. Baca Sapto Waluyo, Kontra Terorisme:Dilema Indonesia Era Transisi, (Jakarta, NF. Media Center, 2009) 49 KH. Hasyim Muzadi, “ISIS Mengancam Kita”, Forum Indonesia Lawyers Club (ILC) TV One, ( 24 Maret 2015) 50 Lebih lanjut baca buku, Sapto Waluyo, Kontra Terorisme:Dilema Indonesia Era Transisi, (Jakarta, NF. Media Center, 2009) 70 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” NU-Muhammadiyah. Sayang keduanya kurang di fungsikan oleh pemerintah, padahal kedua Ormas (NU-Muhammadiyah) mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk berfungsi sebagai pengurai kebekuan teologi Islam radikal agar berubah menjadi ideologi toleran.51 Mencermati fenomena di atas dapat di potret bahwa, gerakan Islam radikal di Indonesia merupakan kepanjangan jaringan ideologi dan gerakan di Timur Tengah. Bukan berasal dari gerakan masyarakat lokal Indonesia, sehingga gerakan ini juga sering disebut sebagai gerakan Islam transnasional. Ideologinya sangat berbeda dengan gerakan Islam yang sebelumnya. Mereka mengadopsi ideologi dari Timur Tengah yang penuh konflik, sehingga berkarakter keras, radikal dan fundamental. Hal ini tentu berbeda dengan karakter masyarakat Indonesia yang cenderung damai, moderat dan akomodatif. Perbedaan karakter tersebut tentunya kalau dipaksakan akan terjadi konflik ideologi di tengah masyarakat. C. FPI: Profil Gerakan Islam Radikal di Indonesia 1. Sejarah Kelahiran Front Pembela Islam (FPI) adalah organisasi massa Islam bergaris keras yang berpusat di Jakarta. Disebut “front” karena orientasi kegiatannya dikembangkan pada tindakan konkrit berupa aksi nyata dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Kata “pembela” dengan harapan agar senantiasa bersikap proaktif dalam melakukan pembelaan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Adapun kata “Islam” menunjukkan bahwa perjuangan FPI harus berjalan di atas ajaran Islam yang benar dan mulia.52 FPI memiliki kelompok paramiliter yang disebut Laskar Pembela Islam (LPI). LPI merupakan sayap organisasi FPI yang kontroversial karena sering melakukan aksi-aksi “penertiban” 51 KH. Hasyim Muzadi, “ISIS Mengancam Kita”, Forum Indonesia Lawyers Club (ILC) TV One, ( 24 Maret 2015) 52 MuhammadRizieqSyihab, Dialog FPI: Amar Maruf Nahi Mungkar, 12 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 71 (sweeping) terhadap berbagai kegiatan publik yang dianggap maksiat atau bertentangan dengan syariat Islam. 53 Menurut Habib Rizieq, latar belakang pendirian FPI disebabkan karena merajalela kezhaliman dan marak kemaksiatan di tengah masyarakat yang kemudian terjadi kerusakan di mana-mana bahkan mengundang berbagai musibah di Indonesia. Sehingga tidak bisa tidak harus ada bagian umat yang harus tampil ke depan untuk melawan dan memerangi kezhaliman, untuk itulah Front Pembela Islam (FPI) dilahirkan.54 Sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran: 104 ”Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeruh kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung”. Berdirinya FPI dapat dipetakan sebagai berikut: Pertama, situasi sosial-budaya yang jauh dari aturan dan ajaran Islam, seperti merajalelanya perbuatan maksiat (narkoba, minuman keras, perjudian, dan bebasnya tempat-tempat maksiat berdiri dan beroperasi). Kedua, faktor sosio-politik sebagai akibat dari menurunnya peran negara terhadap masyarakat, sehingga berdampak pada hilangnya tertib hukum. Menurut para aktivis FPI, di era reformasi pemerintah tidak dapat mengendalikan terjadinya tindak kemaksiatan di masyarakat. Karena pemerintah tidak bersikap tegas terhadap pelaku perbuatan kemaksiatan, maka umat Islam harus berkewajiban mengambil inisiatif membantu pemerintah untuk mengurangi kemaksiatan.55 Berawal dari keprihatinan dan keresahan terhadap kondisi masyarakat tersebut, maka para aktivis dakwah seperti FPI dideklarasikan pada 17 Agustus1998 (atau 24 Rabiuts Tsani 1419 H) di halaman Pondok PesantrenAl Um, Kampung Utan Ciputat, Tangerang Selatan oleh sejumlah habaib, ulama, mubaligh 53 FPI menunjukkan eksistensinya terutama pada masa Ramadhan. Berbagai aksinyaseringkali berujung pada kekerasan. Organisasi ini terkenal karena kontroversinya ketikaaksi-aksinya sejak 1998. 54Ibid, 12 55 Ibid., 12-13 72 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” dan aktivis Muslim dan disaksikan ratusan santri yang berasal dari daerah Jabotabek. Tokoh yang mempelopori berdirinya FPI adalah Habib Muhammad Rizieq Shihab.56 Pendirian organisasi ini hanya 4 bulan setelah Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Rumusan latar belakang kelahiran FPI menurut aktivis gerakan ini adalah: Pertama, ada penderitaan panjang umat Islam di Indonesia karena lemahnya kontrol sosial akibat banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan oknum penguasa. Kedua, ada kemungkaran dan kemaksiatan yang semakin merajalela di seluruh sektor kehidupan. Ketiga, adanya kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan harkat dan martabat Islam serta umat Islam.57 FPI berasaskan pada amar ma’ruf nahi mungkar yang berdasarkan Islam dan beraqidahkan ahlussunah wal jama’ah. Sesuai dengan Aqidahnya, maka segenap pengikut ahlussunah wal jama’ah telah sepakat setiap hadits shahih baik mutawatir atau ahad wajib hukumnya dijadikan pedoman, aqidah, syariat dan akhlaq. Di samping itu, pengikut ahlussunah wal jama’ah selalu membuka pintu ijtihad sepanjang zaman bagi para ahlinya. Dengan demikian FPI menghargai mereka yang bermadzhab maupun tidak yang penting saling menghormati.58 Mencermati latarbelakang berdirinya FPI dapat di pahami, bahwa kelahirannya merupakan reaksi atas ketidakpuasan terhadap penyelesaian persoalan sosial yang dilakukan sejumlah orang, terutama negara yang terjadi di era reformasi. Selain itu, FPI merupakan bagian dari proses pergulatan kelompok sosial yang bercorak keagamaan yang terjadi di era Reformasi yang akan terus berdialektika di masyarakat. 2. Visi dan Misi FPI FPI mempunyai visi penegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. 56 Ibid.,126. Lihat juga Al Zastrow Ng, Gerakan Islam Simbolik, 89 57 Habib Rizieq, Dialog FPI Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, 90 58 Ibid., 142. The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 73 Visi ini adalah satu-satunya solusi untuk menjauhkan kemungkaran. Sementara misi FPI adalah menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar secara kaffah di segenap sektor kehidupan dengan tujuan menciptakan umat sholihat yang hidup dalam baldah thoyyibah dengan limpahan keberkahan dan keridhoan Allah SWT.59 FPI mempunyai lima prinsip gerakan Islam: 1) Allah adalah Tuhan kami dan tujuan kami. 2) Muhammad Rasulallah adalah teladan kami. 3) Al Qur’an al-Karim adalah Imam kami. 4) Al-Jihad adalah jalan kami. 5) As-Syahadah adalah cita-cita kami. Semboyan perjuangan FPI ”Hidup Mulia atau Mati Syahid”. Adapun filsafat perjuangan FPI adalah “Bagi mujtahid difitnah itu biasa, dibunuh berati syahid, dipenjara adalah uzlah, dan diusir adalah tamasya”.60 Doktrin perjuangan FPI dimaksudkan untuk memberi imunperjuangan kepada para anggotanya, sehingga mereka mampu mengusung, menghayati, dan mengamalkan perjuangan secara baik. Ada lima doktrin perjuangan FPI; 1) Mengikhlaskan niat; 2) Memulai dari diri sendiri; 3) Kebenaran harus ditegakkan; 4) Setiap orang pasti mati; 5) Mujahid di atas para musuhnya.61 3. Karakter dan Struktur FPI didirikan sebagai wadah kerjasama antara ulama dan umat dalam menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar di setiap aspek kehidupan. Amar ma’ruf adalah perintah untuk melakukan segala perkara yang baik menurut hukum syara’ dan hukum akal. Nahi munkar adalah mencegah setiap kejahatan yakni setiap perkara yang dianggap buruk oleh syara’ dan hukum akal. Tujuan lain adalah untuk membantu pemerintah dalam memberantas problem sosial masyarakat, seperti prostitusi, perjudian, miras dan transaksi narkoba. Secara umum, FPI pun berdiri dengan tujuan untuk menegakkan hukum Islam di negara sekuler.62 59 Ibid., 143 60Ibid., 144 61 Ibid., 145, lihat, Zastrow Ng, Gerakan Islam Simbolik, 89. 62 Zastrow Ng, Gerakan Islam Simbolik , 91 74 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” Penegakan amar ma’ruf nahi munkar meliputi ruang yang luas dan meliputi semua aspek kehidupan. Sehingga diperlukan adanya kerja kolektif dari seluruh elemen umat Islam. Untuk mencapai penegakan amar ma’ruf FPI menggunakan metode bijaksana dan lemah lembut melalui langkah: mengajak dengan hikmah, memberi nasehat baik dan berdiskusi dengan cara yang baik. Sedangkan penegakkan nahi munkar gerakan FPI menggunakan sikap tegas dengan tahapan lisan dan tulisan apabila langkah tersebut tidak di hiraukan maka menggunakan hati yang tertuang dalam ketegasan sikap untuk tidak menyetujui segala kemaksiatan.63 FPI bukanlah organisasi massa Islam yang memiliki konstitusi yang jelas dan baku (AD/ART) meskipun ada struktur organisasi, mereka tidak memiliki aturan main yang jelas. Gerakan dan tata kerja FPI lebih di tentukan oleh kebijakan para elite organisasi. Mekanisme pengambilan kebijakan dan hubungan antar organ dalam organisasi hanya di dasarkan pada kesepakatan semata secara temporal dan kondisional sesuai dengan kebutuhan gerakan, sehingga kurang tertib dalam administrasi organisasi. Sehingga kalau di cermati seksama FPI sebenarnya bukan organisasi massa seperti NU atau Muhammadiyah melainkan lebih merupakan komunitas yang melakukan gerakan untuk mencapai tujuan.64 Gerakan FPI lebih mengutamakan solidaritas emosional daripada mekanisme formal organisasi. FPI lebih berorientasi pada gerakan untuk menumpas kemungkaran dari pada membentuk kelembagaan dan manejemen organisasi yang kuat. Hal itu dapat tergambar dari pilihan nama organisasi yaitu Front Pembela Islam.65 Struktur Organisasi FPI terbagi dalam beberapa tingkatan yaitu: Dewan Pimpinan Pusat (DPP), sebagai pengurus organisasi berskala nasional terdiri dari: Ketua Majelis Syura DPP FPI: Habib Muhsin Ahmad Al-Attas dan Ketua Majelis Tanfidzi DPP 63 Ibid.,92 64 Ibid, 93 65 Ibid, 94 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 75 FPI: Habib Rizieq (2003-sekarang). Dewan Pimpinan Daerah (DPD) sebagai pengurus organisasi berskala Provinsi salah satunya di Surakarta (FPIS) pimpinan Abu Bakar Basyier. Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) sebagai pengurus organisasi berskala Kota/Kabupaten. Dewan Pimpinan Cabang (DPC) sebagai pengurus organisasi berskala Kecamatan.66 Gambar 2. Bagan Struktur Organisasi FPI FPI berasaskan pada amar ma’ruf nahi munngkar yang berdasarkan Islam dan beraqidahkan Ahlussunah wal jama’ah. Sesuai dengan Aqidahnya, maka segenap pengikut Ahlussunah wal jama’ah telah sepakat setiap hadits shahih baik mutawatir atau ahad wajib hukumnya dijadikan pedoman, aqidah, syariat dan akhlaq. Di samping itu, pengikut Ahlussunah wal jama’ah selalu membuka pintu ijtihad sepanjang zaman bagi para ahlinya. Dengan demikian FPI menghargai mereka yang bermadzhab 66 Ibid.,95 76 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” maupun tidak yang penting saling mengormati. Walaupun ada struktur organisasi pada setiap tingkatan, namun tidak mengikat secara struktural organisasi. Masing-masing daerah berhak melakukan aktivfitas tanpa harus berkoordinasi dengan pengurus yang lebih atas. Namun pengurus yang lebih atas tetap melakukan komunikasi secara longgar terhadap daerah. Menurut Zastrow, ada dua FPI yang independen bahkan tidak memiliki jalur koordinasi dengan FPI Pusat yaitu FPI Cabang Solo dan FPI Cabang Yogyakarta. Gerakan FPI ditangani secara sentralistik di tangan komando Ketua Umum. Karena FPI adalah Organisasi yang berorientasi pada gerakan agama, maka gerak dan langkahnya organisasi harus berada di bawah kendali langsung pimpinan. Sehingga, doktrin yang diberikan kepada anggota FPI bahwa pemimpin mereka adalah para haba’ib dan ulama yang merupakan cerminan dari orang-orang suci yang mendapat legitimasi agama. Maka mereka tidak boleh ditentang, perintahnya harus ditaati dan perkataanya harus dilaksanakan. Siapa yang menentang akan dicap pembangkang (bughat) dan harus dihukum. Menurut mereka, model organisasi massa Islam yang ada saat ini di anggap sekuler. Karena memberikan otoritas tidak berdasarkan pada kapabilitas pemahaman dan penguasaan agama tetapi berdasarkan keterampilan skil organisasi. Pemahaman terhadap kepemimpinan organisasi FPI tersebut mencerminkan pemahaman keagamaan kelompok ini yang cenderung literalistik dan konservatif. 4. Ideologi Keagamaan Dokumen Risalah historis dan garis perjuangan FPI merupakan dokumen ideologi FPI. Di dokumen tersebut menyebutkan bahwa disebutkan asas gerakan FPI adalah Islam Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja). Menurut elite pimpinan FPI, paham Aswaja-nya berbeda dengan paham Aswaja NU dan Muhammadiyah. Aswaja yang dipahami oleh FPI adalah lebih mendekati paham Aswaja kelompok salafi yang dipimpin Ustadz Ja’far Umar Thalib di Yogyakarta. Kelompok salafi memahami Aswaja adalah mereThe Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 77 ka yang telah sepakat untuk berpegang dengan kebenaran yang pasti sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits, dan mereka ini adalah sahabat dan tabi’in yaitu orang yang belajar pada sahabat Nabi dalam pemahaman dan pengambilan ilmu. Mereka menolak pendapat yang mengatakan asal awal paham Aswaja dari Abu Hasan al-As’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Sebagaimana pemahaman keislaman kelompok Nahdlatul Ulama (NU) yang memahami Aswaja adalah mengikuti madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam bidang aqidah, mengikuti salah satu dari emapat mazdhab (Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali) dalam bidang fiqih, mengikuti Imam Al-Ghazali dan Abu Qosim al-Junaidy dalam bidang tasawuf, dan mengikuti Imam al-Bukhori dan Imam Muslim dalam bidang hadits. Kelompok salafi kurang sepaham dengan kelompok Islam moderat dalam memahami Aswaja. seperti di atas, Hal ini karena pemahaman Aswaja-nya membolehkan tarekat-tarekat dalam mendekatkan diri kepada Allah. Mereka memahami bahwa Aswaja bukan milik orang Indonesia atau kelompok tertentu saja, tetapi Aswaja adalah satu-satunya jalan atau metode yang haq yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sehingga tidak diperbolehkan seorangpun menentukan cara sendiri ketika menjalankan ibadah atau mendekatkan diri kepada Allah. Barang siapa yang mengamalkan suatu cara dalam agama tanpa mengikuti petunjuk Nabi Saw, maka amalannya tertolak dan telah berbuat bid’ah. Enam alasan bagi kelompok salafi termasuk FPI selalu merujuk ke generasi salaf sahabat, di antaranya; Pertama, para sahabat adalah orang yang dicintai oleh Allah dan mereka sangat cinta kepada Allah (QS. Al-Fath:18). Kedua, para sahabat adalah umat yang adil yang dibimbing langsung oleh Rasulullah dan menjadi pembimbing umat pasca Nabi Saw wafat (Q.S al-Baqarah: 143). Ketiga, para sahabat adalah teladan setelah Nabi Saw (Q.S. al-Baqarah:137). Keempat, kebaikan sahabat tidak mungkin disamai. Kelima, para sahabat adalah sebaik-baik generasi penerus Nabi Saw. Keenam, sahabat adalah orang pilihan Allah 78 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” yang bertugas mendampingi Nabi Saw. Kelompok salafi dan FPI secara ideologi memiliki kesamaan, namun dalam strategi perjuangan berbeda. Kelompok salafi yang tergabung Forum Komunikasi Ahlussunah wal Jama’ah (FKAWJ) Yogyakarta pimpinan Ja’far Umar Thalib memahami dan menerapkan ibadah agama secara kaku. Kelompok ini terlihat ortodok dan intoleran dengan kelompok lain sehingga sering terjadi konflik antar kelompok Islam yang lain. Berbeda dengan FPI dalam penerapan ideologi aswaja, mereka lebih lunak dan terbuka. Meski mereka memahami pentingnya simbolisasi Islam dalam segala aspek kehidupan, namun mereka bisa menolelir apabila temannya tidak seperti dia. Penerapan simbolisasi Islam secara kaku hanya pada saat aksi gerakan atau demonstarsi dengan tujuan menjelaskan identitasnya supaya tidak tersusupi. Menurut Zastrow, paham keagamaan FPI tergolong bersifat skriptualis-simbolis, menjaga otentisitas sampai pada dataran simbolik, meski hal itu terkadang dilakukan dengan melanggar subtansi dari ajaran Islam. Pemahaman mereka dalam ajaran agama tidak ada pembagian antara ajaran pokok (ushul) dengan ajaran cabang (furu’) antara yang subtantif dengan yang simbolik di antara keduanya merupakan hal penting saling terkait dan harus dilaksanakan seperti Nabi Saw dan generasi salaf.67 FPI lebih menyerupai gerakan messianistik, yaitu mengharapkan janji-janji kebahagian di akherat melalui para pemimpin agama, dalam konteks ini agama bersifat abstrak dan simbolik. Akan tetapi dengan bentuk yang demikian itu dapat menumbuhkan ikatan emosional yang kuat di antara mereka. Kondisi sosial-psikologi masyarakat tersebut dimanfaatkan FPI untuk melakukan bergaining position dengan kelompok lain.68 67 Ibid, 101. 68Ibid.,125. The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 79 5. Model Keanggotaan Keaggotaan FPI sangat cair sehingga dapat masuk dan keluar dengan sangat mudah, tanpa harus melalui prosedur organisasi yang rumit. Keanggotannya juga tidak terikat pada aturan organisasi yang formal dan ketat. FPI tidak pernah melakukan rekrutmen dan perkaderan secara formal dan sistematis. Pengikut utama yang menyatukan FPI adalah komitmen moral dan loyalitas pada pimpinan. Setiap orang yang bersedia menerima garis perjuangan FPI memiliki loyalitas kepada pimpinan dan siap melakukan amanat dari pemimpin yang dibebankan kepadanya, maka dia dapat dianggap anggota FPI.69 Kebebasan aturan main dalam organisasi FPI terutama dalam persoalan keanggotaan menjadikan pola aktivitas di tubuh FPI juga dilakukan secara tidak tersistem. Meski sistem organisasinya seperti itu, namun pengurus FPI masih tetap melakukan pembinaan kepada anggota dan aktivisnya melalui jalur non formal, semisal lewat pengajian, serta ceramah dan penugasan saat dilaksanakan acara tertentu. Aktifisisasi di FPI juga dilakukan lewat model pemagangan. Pemagangan hanya ditugaskan kepada para aktivis tertentu yang telah memiliki derajat loyalitas dan komitmen tertentu terhadap pimpinan. Dan dia akan dijadikan ajudan oleh pemimpin tertentu. Dia akan diajak mengikuti berbagai aktivitas oleh orang yang mengkadernya. Aktivis yang masih dalam taraf asistensi pemagangan ini disebut badal. Posisi badal ini merupakan aktivis senior yang memiliki loyalitas kepada pimpinan.Dia juga dianggap memiliki kapasitas ilmu agama yang tinggi dan menguasai seluruh pemahaman keislaman FPI.70 Secara sosiologis anggota FPI dapat dipetakan ke dalam empat struktur sosial:71 69Ibid.,126 70 Ibid.,127 71 Ibid., 127. 80 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” Tabel. 1 Struktur Sosial Anggota FPI Kelompok Akar Sosial Motivasi Gerakan Wewanang & Posisi Haba’ib dan Ulama Kelompok agamis, kelas menengah-atas, pedagang, dan pengajar agama Memperoleh akses ekonomipolitik yang lebih luas. Legitimasi politik dan materi Kelompok elite yang jumlahnya sedikit dan merupakan pengarah dan penentu kebijakan organisasi Intelektual Kampus Kelompok nonagamis, kelas menengah, mapan secara ekonomi dan sosial Mendapatkan legitimasi moral untuk meningkatkan previladge agar dapat melakukan mobilitas secara vertikal Kelompok mahasiswa, dosen, peneliti yang sebagian besar dari kampus negeri. Kelompok yang di siapkan menjadi pemimpin organisasi (badal) Preman dan Anak Jalanan Plural, ada yang memiliki basis agama yang kuat, akan tetapi kebanyakan dari lingkungan sosial non agamis. Mencari perlindungan atas tindak kejahatan yang mereka lakukan dan mencari keuntungan materiil Kelompok ini di arahkan untuk menjadi anggota lasykar dalam aksi-aksi FPI (sweeping). Lebih ditekan pada penguatan fisik daripada agama Masyarakat Awam Kaum margial, PKL, Buruh, lingkungan sosial beragam tapi rata-rata tidak agamis Mencari ketenangan hidup dan menumbuhkan harapan atas datangannya kebahagian di hari akhir. asyarakat tingkat bawah, anggota pengajian atau majleis taklim, hanya di jadikan klaim anggota sebagai bergaining posisi. Struktur sosial yang ada di FPI akan berpengaruh terhadap pengambilan kebijakan, derajat, otoritas dan legitimasi moral. Semakin tinggi struktur sosial, maka semakin tinggi pula otoritas kewenangannya dan makin punya peluang untuk mengendalikan organisasi. Secara umum, anggota FPI tersebar di berbagai kelompok organisasi massa Islam yang sudah ada The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 81 dari NU, Muhammadiyah, Al-Washiliyah, Al-Irsyad dan Ikhwanul Muslimin.72 Berawal dari sinilah sering terjadi konflik kepentingan antara anggota FPI dengan anggota organisasi asalnya, sebab terkadang ada pemahaman dan cara dakwah yang berbeda di antara keduanya. 6. Kontroversi Gerakan FPI Pada penyelenggaraan Tabliq Akbar (2002), FPI menuntut agar syariat Islam dimasukkan pada pasal 29 UUD 45 yang berbunyi, “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan menambahkan “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada amandemen UUD 1945 yang sedang dibahas di MPR sambil membawa spanduk bertuliskan “Syariat Islam atau Disintegrasi Bangsa.” FPI menjadi sangat terkenal karena aksi-aksinya yang kontroversial sejak 1998, terutama yang dilakukan oleh laskar paramiliternya yakni Laskar Pembela Islam.73 Rangkaian aksi penutupan klab malam, tempat pelacuran dan tempat-tempat yang diklaim sebagai tempat maksiat, ancaman terhadap warga negara tertentu, penangkapan (sweeping) terhadap warga negara tertentu, konflik dengan organisasi berbasis agama lain adalah wajah FPI yang paling sering di perlihatkan dalam media massa. Tindakan FPI sering dikritik berbagai pihak karena sering main hakim sendiri, terlebih berujung pada perusakan hak milik orang lain. Pernyataan bahwa seharusnya Polri adalah satu-satunya institusi yang berhak melakukan hal tersebut dijawab dengan pernyataan bahwa Polri tidak memiliki inisiatif untuk melakukannya. Habib Rizieq, sebagai ketua FPI, menyatakan bahwa FPI merupakan gerakan lugas dan tanpa kompromi sebagai cermin dari ketegaran prinsip dan sikap. Menurut Rizieq kekerasan yang dilakukan FPI dikarenakan kemandulan penegakan hukum nasional. Dia juga berkata, bahwa FPI akan mundur bila hukum 72 Ibid., 109. 73 Front Pembela Islam“Sejarah FPI” dalam http://id.wikipedia. org/wiki/front pembela islam //.note dan www.fpi.or.id (12 Februari 2009), 6. 82 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” sudah ditegakkan. Ia menolak anggapan bahwa beberapa pihak menyatakan FPI anarkis, namun baginya, yang dilakukannya merupakan cermin kebengisan hati dan kekasaran sikap.74 Dari beragam bentuk aksi gerakan yang ditampilkan oleh FPI di masyarakat, terjadi pro-kontra, ada yang sepakat dan ada yang tidak. Bagi masyarakat yang tidak setuju menuntut pemerintah untuk membubarkan FPI karena dianggap gerakan anarkis dan meresahkan masyarakat. Beberapa ormas menuntut agar FPI dibubarkan. Melalui kelompok surat elektronik yang tergabung dalam forum wanita muslimah mereka mengirimkan petisi pembubaran FPI dan ajakan bergabung. Menurut mereka, walaupun FPI membawa nama agama Islam pada kenyataannya tindakan mereka bertentangan dengan prinsip dan ajaran Islam, bahkan tidak jarang menjurus ke vandalisme. Sedangkan menurut pengurus FPI, tindakan itu dilakukan oleh oknum-oknum yang kurang/tidak memahami Prosedur Standar FPI.75 Pada Mei 2006, FPI berseteru dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pertikaian ini berawal dari acara diskusi lintas agama di Purwakarta, Jawa Barat. Gus Dur yang hadir sebagai pembicara menuding organisasi-organisasi Islam yang mendukung Rancangan Undang-Undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi disokong oleh sejumlah Jenderal. Perdebatan antara Gus Dur dan kalangan FPI pun memanas sampai akhirnya mantan Presiden ini turun dari forum diskusi. Pada Juni 2006, Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Tjahjo Kumolo dan Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Kapolri Jenderal Pol Sutanto untuk menindak ormas-ormas anarkis secepatnya. Pemerintah melalui Menko Polhukam Widodo AS sempat mewacanakan pembubaran ormas berdasarkan peraturan yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985, namun hal ini hanya berupa 74 Ibid., 75 Ibid., 6 6. The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 83 wacana dan belum dipastikan sampai saat ini. Kalangan DPR juga meminta pemerintah bertindak tegas terhadap ormas-ormas yang bertindak anarkis dan meresahkan ini. Tindakan tegas aparat keamanan dinilai penting agar konflik horizontal tidak meluas.76 Pada 20 Juni2006, dalam acara diskusi “FPI, Forum Betawi Rempug (FBR), versus LSM Komprador” Habib Rizieq menyatakan bahwa rencana pemerintah untuk membubarkan ormas Islam adalah pesanan dari Amerika Serikat dengan merujuk kedatangan Rumsfeld ke Jakarta. FPI sendiri menyatakan bahwa bila mereka dibubarkan karena tidak berdasarkan Pancasila maka organisasi lainnya seperti Muhammadiyah dan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) juga harus dibubarkan. Insiden Monas adalah sebutan media untuk peristiwa penyerangan yang dilakukan FPI terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKBB) di silang Monas pada tanggal 1 Juni 2008. Satu hari setelah peristiwa tersebut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengadakan Rapat Koordinasi Polkam yang membahas aksi kekerasan tersebut. Presiden dalam jumpa persnya mengatakan negara tidak boleh kalah dengan perilaku kekerasan.Aksi kekerasan telah mencoreng nama baik di dalam dan di luar negeri. Ketua Komando Laskar Islam Munarman mengoreksi pemberitaan media dan menyatakan bahwa penyerangan terhadap AKBB dilakukan oleh Komando Laskar Islam dan bukan FPI. Sehari sebelumnya polisi menemui Habib Rizieq di markas FPI Petamburan Jakarta, namun tidak melakukan penangkapan karena ketua FPI berjanji akan menyerahkan anggotanya yang bertanggung jawab pada insiden Monas. Polisi sendiri sudah mengidentifikasi lima anggota FPI yang diduga terlibat dalam penyerangan di Lapangan Monas. Insiden Monas dalam rangka memperingati hari lahir Pancasila terus menuai protes. Din Syamsuddin Ketua PP Muhammadiyah menyatakan, aksi tersebut merupakan kriminalitas nyata. 76 Ibid., 84 7. The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” Ketua DPR Agung Laksono menilai, kekerasan tersebut tidak bermoral. Sementara aksi menentang FPI terjadi di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Mojokerto, Malang, Jember dan Surabaya, Jawa Timur oleh ratusan ormas seperti PMII, Banser, Satgas, Garda Bangsa and GP Anshor yang umumnya merupakan partisan PKB Gus Dur. Saat itu, massa mengancam apabila pemerintah tidak mengambil tindakan, mereka akan mengambil tindakan sendiri. Di Yogyakarta, sekelompok orang tidak bersenjata berjumlah sekitar 100 orang dengan menggunakan sepeda motor menyerbu kantor FPI di Sleman pada 2 Juni 2008 dan merusak papan nama FPI. Mereka langsung melarikan diri untuk menghindari konflik saat anggota-anggota FPI keluar dengan membawa senjata tajam. Di Bali, Masyarakat Aliansi Penegak Pancasila menggelar aksi pengecaman terhadap tindakan FPI di depan Monumen Perjuangan Rakyat Bali. Fenomena di atas menggambarkan aksi-aksi yang di lakukan oleh FPI mencerminkan dari pemahaman mereka yang literal-formal terhadap ajaran Islam. Mereka memahami bahwa selain kelompok mereka di anggap musuh yang harus di perangi. Dan cara-cara kekerasan dalam berdakwah merupakan aplikasi dari penerapan ajaran Islam amar ma’ruf nahi mungkar yang harus di tegakkan di masyarakat. D. Infiltrasi Islam Radikal di Tubuh Muhammadiyah Azyumardi Azra berpandangan, radikalisme sebagai basis gerakan Islam transnasional tidak terlalu berhasil sepanjang sejarah. Jika sejarah adalah cermin, maka cukup sah bagi orang bersikap skeptis terhadap masa depan Islam radikal.77 Pandangan Azra di atas merupakan sebuah hipotesa, yang bisa benar dan bisa juga salah, karena semua tergantung proses dan dinamika di masyarakat. Tetapi yang terpenting fakta saat ini menun77Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga Post Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), 123 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 85 jukkan Islam radikal mengalami perkembangan pesat, baik secara kuantitas (pengikutnya) maupun kualitas opini atau agenda gerakan (ideologi) yang diperjuangkan.78 Ideologi gerakan Islam radikal dapat merembas ke berbagai gerakan Islam dominan salah satunya terjadi di Muhammadiyah. Seperti banyak diketahui bahwa ideologi Islam radikal memiliki potensi muda menyebar dan merembas dengan halus dan samar tanpa diketahui secara pasti.79 Transformasi ideologi Islam radikal mulai terasa dan tumbuh berkembang di Muhammadiyah. Peneliti menduga telah terjadi gejala radikalisasi ideologi di tubuh Muhammadiyah.80 Gejala tersebut disebabkan terjadi proses transformasi ideologi Islam radikal ke Muhammadiyah. Transformasi tersebut berakibat pada metode dakwah di kalangan aktivis Muhammadiyah yang dikenal dengan cara-cara damai, santun dan toleran berubah menjadi model dakwah yang radikal-eksterim. Transformasi ideologi Islam radikal ke Muhammadiyah disebabkan banyak faktor. Pertama, lewat transformasi ideologi keagamaan yang sama. Ideologi Islam radikal adalah paham yang menjadikan Islam sebagai landasan yang integral dan harus diaktualisasikan secara formal dalam semua aspek kehidupan manusia, semisal dalam bentuk suatu negara (Khilafah). Ideologi Islam radikal ingin kembali pada ajaran kelompok Salafussalih baik dalam ideologi maupun prilaku dengan slogan yang terkenal ”ar ruju’ ila qur’an wa al-hadits”. Sehingga semangatnya adalah pemurnian Islam (tanzih) yang ingin mengembalikan dan mem78 Seperti HTI dan FPI sampai saat ini kedua Ormas ini masih eksis dan terus melakukan propaganda dan aksi gerakan di masyarakat. HTI dengan Buletin Islam-nya, FPI dengan aksi massanya. 79 Masdar Hilmy, “ Geneologi dan Pengaruh Ideologi Jihadisme Negara Islam Iraq dan Suriah (NIIS) di Indonesia”, Jurnal TEOSOFI, Volume 4, Nomor 2, Desember 2014, h. 422, dan lihat Eric Koliq, “Radical Islam, Islamic Fervour and Political Sentiments In Central Java Indonesia”, Eouropen Journal of East Asian Studies, No. 4 Vol. 1 (2005), h. 55-86 80Asumsi penulis diperkuat dengan pendapat Miftachul Huda, Ikhwanul Muhammadiyah, 9 86 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” bersihkan ajaran Islam dari percampuran tradisi masyarakat (sinkretisme Islam) dan bid’ah ke ajaran pokok yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Ideologi pemurnian (puritansime) Muhammadiyah yang bertujuan memurnikan atau membersihakan ajaran Islam atau ibadah dari praktek-praktek Takhayul, Bid’ah dan Churafat (TBC) di masyarakat.81 Ideologi puritanisme yang cenderung kaku/keras terhadap tradisi lokal, karena dianggap banyak penyimpangan dari ajaran Islam. Sementara ideologi Islam radikal kencenderungan ideologi keagamaanya juga puritan (anti tradisi lokal). Kesamaan karakter ideologi tersebut memudahkan transformasi ideologi Islam radikal masuk ke Muhammadiyah, karena seolah-olah tidak ada yang beda. Fauzan Saleh mensimpulkan antara gerakan Muhammadiyah dan gerakan Islam radikal dalam satu simpul “Islam ortodoks”. Islam ortodoks adalah Islam yang murni dan asli ketika Islam tersebut di lahirkan. Hal ini di tunjukan dengan mempertahankan doktrin yang murni asli jauh dari penyimpangan atau bid’ah.82 Kedua, jaringan gerakan mahasiswa. Transformasi lewat jaringan ini paling mudah sebab sebagian besar anak-anak Muhammadiyah tersebar di seluruh perguruan tinggi di Indonesia dan juga luar negeri. Ideologi dan model dakwah gerakan Islam radikal mudah menarik dan mempengaruhi para Mahasiswa karena ideologi ini menawarkan hal-hal baru di mana jiwa muda Mahasiswa penasaran dengan hal-hal baru dan ingin mencoba. Di samping itu pembawa ideologi Islam radikal juga berasal dari dunia yang sama (dunia kampus). Fakta adalah kelahiran organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia).83 KAMMI merupakan metamorfosis dari ideologi Ikhwanul 81 Ibid., 10 82 Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, (Jakarta: Serambi, 2004), 86 83Lihat, Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2002). Lihat, Miftachul Huda, Ikhwanul Muhammadiyah, 6-7. Baca juga selengkapnya dalam Nafi’ Muthohirin, Fundamentalisme Islam: Gerakan dan Tipologi Pemikiran Aktivis The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 87 Muslimin dalam sektor kemahasiswaan dan berkaitan erat dengan gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, sebab kelahiran KAMMI tidak lepas dari para alumnus Timur Tengah yang dikirim DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia). Dan anehnya kelahiran awal KAMMI yang dibidani oleh Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus se-Indoensia ini malah di deklarasikan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), pada tanggal 25-29 Maret 1998, sehingga tidak jarang para aktivis Muhammadiyah yang mendua ikut gerakan ini. Organisasi ini pada nantinya banyak berasal dari aktivis Muhammadiyah yang sebelumnya sudah aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).84 Ketiga, lewat pengajian keagamaan. Transformasi pada ranah ini sangat signifikan karena di kalangan aktivis Muhammadiyah kurang berminat atau konsen di bidang ini sehingga kegiatan pengajian rutin di level bawah (ranting dan cabang) kekurangan stok aktivis Muhammadiyah. Sehingga dari sinilah para aktivis Islam radikal masuk ke kelompok-kelompok pengajian warga Muhammadiyah. Keempat, kepemimpinan di amal usaha Muhammadiyah (AUM) yang terlalu leluasa. Kelonggaran aturan main di AUM yaitu lembaga pendidikan (Sekolah dan Perguruan Tinggi), lembaga kesehatan (PKU, Rumah Sakit), lembaga sosial (Panti Asuhan), menjadikan para aktivis gerakan Islam radikal begitu mudah masuk bahkan menjadi ketua dan di manfaatkan betul untuk melakukan transformasi ideologi secara perlahan terhadap warga Muhammadiyah. Kelima; transformasi jaringan politik. Dengan jargon sebagai gerakan “politik da’wah” dan tampilan yang santun menjadikan banyak aktivis Muhammadiyah baik secara sadar maupun tidak terpengaruh dan masuk ke jarangan politik Islam radikal. Fenomena tersebut nampak pada kelahiran Partai Keadilan (PK) yang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berawal dari kelompok Ikhwanul-Tarbiyah, kemudian menjadi kon- Dakwah Kampus (Jakarta: Indostrategi-MultiPresindo, 2014) 84Ibid.,10 88 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” traversial di kalangan Muhammadiyah.85 Sebab kedua organisasi (PKS dan Muhammadiyah) memiliki ideologi dan strategi perjuangan yang hampir mirip yaitu berorientasi dakwah.86 Menurut Miftachul Huda ada dua faktor yang melandasi terjadi transformasi ideologi radikal di Muhammadiyah.87 Pertama, strata sosial-ekonomi. Basis massa Muhammadiyah mayoritas kelompok sosial-ekonomi menengah ke atas pada masyarakat perkotaan, seperti pedagang, karyawan, guru, PNS, dosen dan sebagainya. Strata sosial-ekonomi di atas nampak sama dengan basis massa kelompok Islam radikal. Hal itu terbukti konsentrasi basis massa gerakan Islam radikal adalah di perkotaan dan dunia kampus yang identik dengan kelas menengah ke atas. Kemiripan basis massa ini menjadi alasan aktifis-aktifis Muhammadiyah mudah tertarik masuk ke gerakan Islam radikal. Kedua, pola pemahaman terhadap Islam (al-Qur’an dan al-Hadits). Kelompok Islam radikal dalam pola pemahaman terhadap al-Qur’an-hadits cederung literal-tekstual sehingga lebih tampak prilaku keislaman yang formalistik-fundamentilis. Pola pemahaman ini juga terdapat di sebagain aktivis Muhammadiyah sehingga gerakan Islam radikal lebih muda masuk ke Muhammadiyah dari pada ke gerakan Islam tradisional (NU).88 85Kontroversi Muhammadiyah-PKS dapat teramati dalam karya Haedar Nashir, Manifestasi Gerakan Tarbiyah; Bagaimana Muhammadiyah Menyikapi, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2006) 86PKS selain sebuah Parpol untuk merebut kekuasan, PKS juga sebagai ormas keagamaan mirip Muhamamdiyah dan NU, sehingga karekter inilah yang sering mengakibatkan konflik kepentingan dan ideology dikalangan para aktifisnya yang juga aktif di Muhammadiyah atau NU, sebagian besar mereka lebih memilih loyal pada PKS daripada Muhamadiyah atau NU. Lihat, Miftachul Huda, Ikhwanul Muhammadiyah, 23. Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan, 5. 87 Miftahul Huda, Ikhwanul Muhammadiyah, 11-12. 88Ibid., 13 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 89 90 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” BAGIAN KEEMPAT MELACAK PERGESERAN IDEOLOGI MUHAMMADIYAH KE GERAKAN ISLAM RADIKAL (FPI) DI PACIRAN LAMONGAN A. Muhammadiyah Paciran: Menelusuri Akar SosioHistoris Paciran masuk wilayah Kabupaten Lamongan, Propinsi Jawa Timur. Terletak di sebelah Utara Kota Lamongan atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pesisir Utara (Pantura). Wilayah Paciran terbentang kawasan pantai sepanjang 47 KM yang kaya akan sumber daya perikanan. Wilayah Paciran terdiri dari satu Kelurahan dan 16 Desa dengan batas wilayah sebalah Utara Laut Jawa, sebelah Timur Kecamatan Panceng Gresik, sebelah Selatan Kecamatan Sulokuro, dan sebelah Barat Kecamatan Brondong. Saat ini, Daerah Paciran di jadikan pusat proyek pembangunan di Lamongan. Dahulu, Lamongan dikenal dengan daerah kawasan yang tandus dan sering terjadi banjir. Sehingga, Lamongan termasuk masuk sebagai salah satu daerah di Jawa Timur yang tergolong miskin dan terbelakang. Karena hal ini, sehingga lahir ungkapan satir, berbahasa Jawa lokal, yaitu sampai ada guyonan jawa ”nek udhan gak iso dhodok nek panas gak iso chewok” (Kalau hujan tidak bisa duduk (karena banjir), kalau kemarau tidak bisa membersihkan BAB (karena tidak ada air/ kemarau). 91 Namun, Lamongan saat ini kini sudah berubah. Kawasan ini termasuk daerah yang pembangunan dan perkembangan ekonominya sangat maju di Jawa Timur. Perkembangan dan pembangunan di Lamongan sebagian besar diarahkan ke daerah Pesisir (Paciran), semisal telah dibangun Lamongan Integrated Shorabase (LIS), pangkalan minyak terbesar kedua setalah Batam yang melayani kebutuhan minyak di kawasan Indonesia Timur, industri pariwisata Wisata Bahari Lamongan (WBL) sebuah kawasan wisata laut terbesar se-Jawa Timur, Pabrik Rokok, pabrik sarden (pengalengan ikan) industri Resto dan Perhotelan dan sebagainya. Konsekwensi dari proses pembangunan daerah Pantura Lamongan, secara tidak langsung berpengaruh terhadap tata sosio-kultur masyarakat sekitar. Pergeseran tersebut, nampak dari perubahan struktur sosial, yang awalnya mayoritas bekerja sebagai nelayan berubah bekerja di sektor industrial. Fakta ini tentu berdampak kepada semua tatanan sosial, agama, budaya, ekonomi, politik masyarakat Pantura. Sebagaimana pandangan Karl Marx, perkembangan idustrialisasi yang berpusat pada materi (modal produksi) akan sangat berdampak pada perubahan sosial di masyarakat. Imbas perkembangan industrialisasi menyasar pada perubahan tradisi keagamaan masyarakat di Pantura. Tradisi keagamaan Mmasyarakat Paciran dikenal dengan tradisi keagamaannya yang cenderung fanatik atau istilahnya ”tus” ada NU “tus” dan Muhamamdiyah “tus”. Sehingga di daerah ini banyak dijumpai Sekolah umum berbasis keagamaan dan Pesantren yang santrinya berasal dari Jawa dan luar Jawa. Seperti Pesantren Muhammadiyah Karang Asem Paciran, Pesantren Modern Muhammadiyah Paciran, Pesantren Sunan Drajat Paciran, Pesantren Tarbiyah at-Tholabah Paciran, Pesantren Mazra’atul ’Ulum Paciran, dan lainnya. Para ulama (Kyai) sebagai pemimpin informal yang sangat dihormati daripada pejabat pemerintah. Solidaritas keagamaan yang kuat, sekarang cenderung mulai pudar. Masyarakat Pantura lebih longgar dalam menyikapi perubahan prilaku keagamaan masyarakat. Semisal remaja putri 92 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” tidak pakai Jilbab dan pakaian seronok menjadi hal lumrah dan orang tua atau tetangga juga tidak peduli (menegur) terkesan apatis. Padahal, dahulu tidak memakai Jilbab merupakan hal yang tabu di masyarakat Pantura sekitar. Dan masih banyak contoh-contoh prilaku longgarnya tradisi keagamaan di masyarakat Pantura. Masyarakat Pantura memiliki dinamika sosial yang tinggi. Daerah ini merupakan salah satu jalur pusat awal penyebaran Islam di tanah Jawa yang dipimpin oleh Sunan Drajat, tepatnya di Desa Drajat Kecamatan Paciran. Sehingga tidak heran di wilayah ini Paciran mempunyai budaya Islami yang tinggi dengan ikatan keagamaan sangat kuat. Hal itu tampak saat ini dengan tumbuh-sumburnya organisasi-organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al Irsyad, dan FPI. Dari beberapa organisasi sosial-keagamaan yang ada, perkembangan Muhammadiyah di daerah ini termasuk lebih cepat dan pesat daripada daerah lain di Lamongan. Daerah Paciran termasuk paling banyak warganya berpaham Muhammadiyah dibanding daerah lainnya di Lamongan. Sejarah awal gerakan Muhammadiyah masuk ke daerah Paciran berawal dari munculnya bibit-bibit paham Muhammadiyah di kalangan orang-orang yang berdomisili di lingkungan Pesantren Pesisir Utara Lamongan. Berawal dari sini, kemudian penyebarannya sampai di Kota Lamongan dan sekitarnya. Muhammadiyah mulai masuk di daerah Paciran sekitar tahun 1936 M yang dikembangkan oleh H. Sa’dullah yang tepatnya di Desa Blimbing Kecamatan Paciran. Beliau Sa’dullah dibantu juga oleh seorang wanita Islam yang bernama Zainab atau lebih dikenal dengan sebutan “Siti Lambah”. Mereka berdua yang banyak memperjuangkan Muhammadiyah di wilayah sekitarnya. Aktivfitas H. Sa’dullah, tidak banyak informasi yang di dapatkan, kecuali bahwa beliau sangat komunikatif dalam dakwahnya sehingga sangat mudah mempengaruhi orang di sekitarnya. Paham keagamaannya lebih dekat kepada Persis A. Hasan Bandung. Sebagian orang yang terpengaruh oleh dakwahnya datang minta konfirmasi kepada Kyai Mas Mansur di Surabaya. SebaThe Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 93 gian di antaranya kemudian mengikuti paham Muhammadiyah. Sebab pada saat itu Muhammadiyah di Surabaya sudah berdiri pada tanggal 1 November 1921 dengan status Cabang diketuai oleh KH. Mas Mansur dengan dibantu oleh K. Usman, H. Ashari Rawi dan H. Ismail. Tokoh lain yang mempunyai andil besar dalam penyebaran bibit paham Muhammadiyah di Paciran Lamongan pada masa kolonial Belanda adalah KH. Mohammad Amin Musthofa (19121949) atau yang lebih dikenal sebutan ”Kyai Amin”. Dalam usia yang relatif di usianya yang masih muda 24 tahun, Kyai Amin sudah mengasuh Pesantren di Desa Tunggul Kecamatan Paciran, pasca belajar di Pesantren Tebu Ireng Jombang, Termas Pacitan, Ngelom Sepanjang Kediri dan Maskumambang Gresik. Kyai Amin dilahirkan di Desa Tanggul Kecamatan Paciran, pernah menjadi komandan Lasyakar Hizbullah dari Pantai Utara Paciran. Ia ikut terjun ke medan pertempuran pada November 1945 di Surabaya. Pada masa Agresi Belanda II, Ia bersama saudaranya tertangkap dan ditembak Belanda di Desa Dagan Kecamatan Solokuro pada tahun 1949 dalam usia 37 tahun. Namanya kini diabadikan menjadi salah satu nama jalan di Lamongan. Metode pengajaran yang dilakukan Kyai Amin relatif sudah progresif saat mengajarkan Kitab Kuning. Metode yang dikembangkan adalah tanya-jawab (diskusi) dengan para santrinya. Mereka juga diajarkan menghafal al-Qur’an, Kyai Amin sendiri berhasil menghafal Al-Qur’an hanya dalam waktu tiga bulan. Selanjutnya santri diberikan teknik berpidato untuk kepentingan tabliqh. Paham aqidah Kyai Amin tegas dan jelas dalam memerangi segela bentuk tradisi yang mengandung syirik dan khurafat. Penyampaian dakwahnya melalui lisan dan tulisan. Ia menulis kitab Aqidul Mardiyah dalam bahasa Arab dalam bentuk nazam, yakni syair yang dapat dilagukan secara khas dan mudah. Dalam hal ubudiyah, Kyai Amin terkenal dengan pendiriannya dengan mengajak kepada santri dan masyarakat di desa-desa agar dalam beragama senantiasa merujuk kepada al-Qur’an dan 94 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” al-Hadits. Bahkan, dalam sholat Kyai Amin tidak mau memakai sajadah yang bergambar. Dalam sholat Jum’at Kyai Amin tegas hanya menggunakan satu kali adzan dan tidak suka masjid yang dilengkapi bedhug dan kenthongan. Tradisi-tradisi tersebut sangat dikenal sebagai ciri khas tradisi sosial keagamaan Muhammadiyah. Demikian kuat pengaruh Kyai Amin, sehingga santri dan kader beliau banyak menjadi aktivfis dan tokoh Muhammadiyah. Seperti KH. Ahmad Khazim (putra dan santri) ketua PDM Bojonegoro (1970), KH. Mahbub Ihsan (santri) memegang PDM Tuban, KH. Abdurrahman Syamsuri (santri dan menantu) memegang PDM Lamongan (dua periode), KH. Abd. Kariem Zen (pendiri dan penggerak Muhammadiyah Paciran). Perkembangan Muhammadiyah, selanjutnya bergerak ke wilayah tengah (Pangkatrejo Kecamatan Sekaran) dan ke wilayah selatan (Kota Lamongan) melalui beberapa ulama yang saat itu banyak yang aktif di Sarekat Islam (SI). Melalui ulama-ulama SI gerakan pembaharuan Muhammadiyah lebih cepat dikenal, dimengerti dan di amalkan oleh masyarakat. Beberapa nama yang bisa di catat di sini adalah KH. Sofyan Abdullah di desa Pangkatrejo Kecamatan Maduran dan H. Khozin Jalik di Kota Lamongan yang saat itu mengajar di salah satu madrasah NU di Lamongan. Ayahnya Kyai Ilham adalah ulama berpengaruh NU dan bekerja sebagai penghulu di Kabupaten Lamongan. Namun, dalam etape sejarahnya, Muhammadiyah di wilayah tengah (Pangkatrejo) dan wilayah Selatan (Kota Lamongan) mengalami degradasi generasi. Hal itu disebabkan para tokoh-tokohnya banyak yang masuk Partai Masyumi, sehingga aktifitas di Muhammadiyah terkadang sering terbengkalai bahkan nyaris lenyap dari aktifitasnya. Situasi ini menjadikan kekuatan sentral Muhammadiyah tertumpu di daerah Pantura. Karena pada waktu itu tokoh-tokoh penggerak awal Muhammadiyah masih konsisten (istiqomah) pada jalur pengembangan dakwah Muhammadiyah adapun Partai Masyumi hanya di jadikan bagian dari dinamika dakwah. Pasca Partai Masyumi bubar para tokoh Muhammadiyah The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 95 yang aktif di Masyumi mulai kembali pada organisasi semula. Sehingga timbul ”greget” untuk kembali memikirkan gerakan Muhammadiyah yang lebih maju, terutama di wilayah Selatan Lamongan. Kebangkitan Muhammadiyah mulai terasa, diantaranya ditandai dengan munculnya gagasan yang konstruktif membentuk Majelis Hikmah (Ketua Muhammad Yasin). Tujuan Majelis Hikmah sebagai wadah yang mampu menampung para aktivis Muhammadiyah yang frustasi dari Masyumi dan sekaligus sebagai wahana dakwah untuk melangsungkan gerakan dan cita-cita persyarikatan Muhammadiyah. Perkembangan gerakan Muhammadiyah semakin pesat dan kuat di Pantura. Sehingga, Muhammadiyah Pantura menjadi basis terkuat dan sekaligus sebagai parameter Muhammadiyah di wilayah Lamongan dan Jawa Timur. Karena di wilayah ini masih banyak tokoh-tokoh Muhammadiyah yang tinggal dan ada tiga pesantren besar Muhammadiyah (Pesantren Muhammadiyah Karang Asem,dan Pesantren Modern Muhammadiyah, dan Pesantren Al Islah). Muhammadiyah Paciran lebih berkembangan di banding daerah lain di Lamongan. Basis pergerakan Muhammadiyah di Paciran terletak di Desa Blimbing. Sehingga, pada periode awal daerah Blimbing dijadikan struktur organisasi tingkat pimpinan cabang (selevel Kecamatan), bukan Paciran padahal kecamatannya adalah Paciran. Pada perkembangan selanjutnya, ada perubahan organisasi bahwa pimpinan cabang harus sesuai daerah adminstratif maka pimpinan cabang yang semula di desa Blimbing berganti menjadi Pimpinan Cabang Paciran.1 Muhammadiyah di Pantura terkait erat dengan perkembangan Muhammadiyah di Kota Lamongan. Pada periode R.H. Moeljadi, Muhammadiyah Lamongan memisahkan diri dari pengawasan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Bojonegoro (perlu diketahui bahwa cabang-cabang yang ada di Lamongan antara tahun 1957 sampai 1967 bernaung di bawah Daerah Muhammadiyah Bojonegoro, sedangkan sebelum tahun itu ada juga yang ber- 1 96 Ibid., 23 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” naung dibawah Cabang Muhammadiyah Gresik.2 Muhammadiyah di Kabupaten Lamongan berdiri sebagai Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Lamongan berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah nomor C-076/D-13, tanggal 11 September 1967 yang membawahi 5 buah cabang, antara lain : a. Cabang Lamongan, meliputi Wilayah Pembantu Bupati Lamongan. b. Cabang Babat, meliputi Wilayah Pembantu Bupati Ngimbang. c. Cabang Pangkatrejo, meliputi wilayah Tuban, Pembantu Bupati Sukodadi. d. Cabang Blimbing (Paciran), meliputi Wilayah Pembantu Bupati Paciran. e. Cabang Jatisari (Glagah), meliputi Wilayah Pembantu Bupati Karangbinangun.3 Sejumlah cabang Muhamadiyah tersebut sebelumnya telah mendapat pengesahan dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah, antara lain: Cabang Lamongan nomor 1024 tanggal 11 Mei 1953, Jatisari nomor 1481 tanggal 2 Mei 1961, Babat nomor 1552 tanggal 4 Februari 1962, Blimbing nomor 1796 tanggal 1 Februari 1964, dan Pangkatrejo nomor 1707 tanggal 27 Juli 1963. Kelima cabang itulah pada masa berikutnya berhasil mengembangkan Muhammadiyah di wilayah kerjanya masing-masing.4 Saat ini, perkembangan Muhammadiyah di Pantura sangat pesat dan maju, bahkan dapat dikatakan sebagai basis terbesar pergerakan Muhammadiyah di Lamongan bahkan di Jawa Timur. Indikatornya adalah jumlah AUM pendidikan, sosial, kesehatan, Pesantren terbesar di seluruh Indonesia. Data tersebut diantaranya: Bidang kesehatan (BP Muhammadiyah Blimbing Ibid., 24 Tim Penulis, Menembus Benteng Tradisi: Sejarah Muhammadiyah Jawa Timur 1921-2004, (Surabaya: Hikmah Press, 2005), 213. 4 Ibid, 215 2 3 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 97 Paciran dan PKU Muhammadiyah Karangasem Paciran). Amal pendidikan terbanyak dan tersebar luas di Paciran yang tidak mungkin di sebut semua, seperti tingkat Perguruan Tinggi (STIT Muhammadiyah Paciran, STAI Muhammadiyah Paciran, STIKES Muhammadiyah, STIEAD Muhammadiyah Lamongan). Perkembangan Pesantren Muhammadiyah di wilayah Paciran juga banyak dan terbesar di Jawa Timur, yaitu; Pesantren Karangasem Muhammadiyah Paciran dengan pengasuh KH Anwar Mu’rob, Pesantren Modern Muhammadiyah Paciran dengan pengasuh KH. Abd. Karim Zen dan Pesantren Al-Ishlah dengan pengasuh KH. Dawam Shaleh. Tiga Pesantren ini merupakan wadah penggodokan para kader-kader Muhammadiyah dan sekaligus sebagai pusat penyebaran dakwah Muhammadiyah di Lamongan bahkan di Jawa Timur dan Indonesia. Alumni dari dua pesantren ini tersebar di seluruh lampisan Muhammadiyah dan banyak yang menjadi pengurus dan aktivis Muhammadiyah.5 Tokoh Muhammadiyah Paciran sebagian besar merupakan tokoh Muhammadiyah di Lamongan, Muhammadiyah Jawa Timur bahkan di tingkat Nasional. Tokoh-tokoh Muhammadiyah Paciran dapat disebutkan seperti Prof. Syafiq Mughni (mantan ketua PWM Jawa Timur dan PP Muhammadiyah), Najib Hamid (Sekretaris PWM Jatim), Achmad Rofiq (mantan Ketua DPP IMM), Prof. Fattah Wibisono (PP Muhammadiyah), KH. Affanan Anshori (mantan Ketua PDM Lamongan), KH Abddurahman Syamsuri (alm) (Pengasuh Pesantren Karang Asem dan mantan Ketua PDM Lamongan 2 Periode), Ustadz Mubarok (Ketua PDM Lamongan). Muhammadiyah Paciran terdiri dari 1 Pimpinan Cabang dan ada 21 Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM). PCM Paciran (H. Yaslikan), PRM Banjarwati (Baqin), PRM Blimbing (H. Umar Ali), PRM Dengok (Martekan), PRM Drajat, PRM Kandangsemangkon (Khoirul Anim), PRM Kemantren, PRM Kranji (Hasan Nawawi), PRM Paciran (Drs.H.Abd.Fatah) PRM Sendang Agung (Milkan), PRM Sendangduwur, PRM Sidodadi (H. Imron) PRM 5 98 PDM Lamongan, “Sejarah Muhammadiyah Lamongan”, 24 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” Sidokelar, PRM Sidokumpul (Armawi), PRM Sumuran (Ruslan), PRM Sumurgayam, PRM Tepanas, PRM Tlogosadang, PRM Tunggul (Drs.A. Mustofa), PRM Warulor (Suhaili), PRM Weru (H. Abd. Halim).6 Pekerjaan warga Muhammadiyah Paciran sebagian besar berprofesi sebagai Nelayan, Pedagang disektor kelautan dan pendidik (PNS). Tingkat ekonomi warga Muhammadiyah rata-rata menengah ke atas, sebagian besar mereka menguasi perdagangan sektor kelautan di wilayah Paciran dengan menjadi tengkulak (agen) dan pemilik perahu. Tingkat pendidikan masyarkat sudah cukup tinggi rata-rata lulusan SLTA, Perguruan Tinggi dan banyak lulusan pesantren (Pesantren Modern Muhammadiyah, Karangasem Muhammadiyah, Arrodlatul Ilmiyah (YTP) Kertosono, al-Mukmin Ngruki-Solo dan sebagainya). Struktur sosio-kultur tersebut menjadikan karakter warga Muhammadiyah Paciran memiliki tradisi religius kuat, terbuka, keras, egaliter, dermawan. Sebagaimana dicirikan bahwa karakter masyarakat pesisir adalah terbuka, keras dan egaliter. Karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakterisik masyarakat agraris atau petani. Dari segi penghasilan, petani mempunyai pendapatan yang dapat dikontrol karena pola panen yang terkontrol sehingga hasil pangan atau ternak yang mereka miliki dapat di tentukan untuk mencapai hasil pendapatan mereka inginkan. Berbeda dengan masyarakat Pantura yang pekerjaannya mayoritas sebagai Nelayan. Nelayan menghadapi sumberdaya alam yang bersifat open acces dan beresiko tinggi. Nelayan bergelut dengan laut untuk mendapatkan penghasilan, maka pendapatan yang mereka inginkan tidak bisa dikontrol.7 Karakteristik masyarakat pesisir dapat dilihat dari beberapa aspek di antaranya aspek pengetahuan, kepercayaan (teologis), dan posisi sosial nelayan. Dilihat dari aspek pengetahuan, Ibid,24 Ary Wahyono, Pemberdayaan Masyarakat Nelayan (Yogyakarta: Media Gresindo,2001),7 6 7 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 99 masyarakat pesisir mendapat pengetahuan dari warisan nenek moyangnya, misalnya untuk melihat kalender dan penunjuk arah maka mereka menggunakan rasi bintang. Aspek kepercayaan (teologis), masyarakat pesisir masih menganggap bahwa laut memiliki kekuatan magic sehingga mereka masih sering melakukan adat “Pesta Laut” atau “Sedekah Laut”. Namun, dewasa ini sudah ada dari sebagian penduduk yang tidak percaya terhadap adat-adat seperti itu. Mereka melakukan ritual tersebut hanya untuk formalitas semata. Begitu juga dengan posisi sosial nelayan pada umumnya tergolong dalam struktur sosial masyarakat berekonomi rendah.8 Masyarakat Pesisir memiliki karakter yang unik dibanding dengan masyarakat Lamongan di kecamatan yang lain. Hal itu dapat teramati oleh peneliti, seperti sikapnya cenderung lugas, spontan, tutur kata yang digunakan menggunakan bahasa jawa ngoko, keseniannya relatif kasar dalam arti tidak rumit, corak keagamaannya cenderung Islam fanatik dan mobilitas sosialnya cukup tinggi. Perilaku ekonomi masyarakat Pantura cenderung boros, menyukai kemewahan dan suka pamer harta. Dalam menghadapi atau menyelesaikan masalah cenderung tidak suka berbelit-belit (lugas dan tegas). Relasi sikap sosialnya cenderung egaliter dan lebih menghormati tokoh-tokoh informal seperti Kyai daripada pejabat pemerintah.9 Karakter sosial-kultur masyarakat Pesisir berpengaruh kuat terhadap karakter Muhammadiyah Pantura. Artinya karakter individu sangat berpengaruh terhadap karakter kelompok (institusi) tempat individu menjadi anggota kelompok tersebut. Sebagaimana pandangan Karl Marx, bahwa ada hubungan dialektis antara aktor (Individu) dan struktur (Masyarakat) yang saling mempengaruhi di antara keduanya.10 Karakter masyarakat Pantura yang keras, tegas, dan fanatik 8 Ibid, 34 9 Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LKiS, 2004), 12 10 George Ritzer, Teori Sosiologi ; Drai Sosiologi Klasik Sam- pai Terakhir Post Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 78 100 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” dalam beragama secara tidak langsung memengaruhi corak keberagamaan Muhammadiyah di Pantura. Di antara yang mencolok adalah kecenderungan bercorak fanatis (puritan). Tipologi di atas diperkuat dari hasil penelitian Munir Mulkhan yang memetakan varian keberagamaan warga Muhammadiyah ke dalam empat varian, Muhammadiyah Kiai Ahmad Dahlan, Muhammadiyah Murni (ikhlas), Muhammadiyah-Marhen (Marmud), dan Muhammadiyah-NU (MuNU).11 Berdasar tipologi di atas karakter Muhammadiyah Paciran lebih tepat pada varian Muhammadiyah-Murni (ikhlas). Varian ini orientasi keagamaan, intelektual dan aksi sosialnya benar-benar mengikuti orientasi ideologi, politik dan ritual keagaamaan Muhammadiyah. Atau meminjam istilah Nur Syam di sebut dengan Muhammadiyah Tus.12 B. Gerakan FPI di Paciran: Akar Sosio-Historis FPI di Paciran dideklarasikan pada 18 Muharram 1427 H/ Agustus 2008 di Paciran, Lamongan. Deklarasi ini dihadiri Ketua Umum DPP FPI Habib Muhammad Rizieq Syihab. Kelahiran FPI Paciran dibidani oleh Forum Ukhuwah Islamiyah Pantura Lamongan (FUIPL). Ketua Umum Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) FPI Lamongan adalah Ustadz Zainal Anshori.13 FUI Pantura Lamongan merupakan gabungan dari Remaja Masjid (Remas) di Paciran (Remas Gowah, Remas Blimbing, Remas Dengok, Remas Kandang Semangkon) dan Organisasi sosial keagamaan di wilayah Pantura Lamongan, seperti Muhammadiyah, NU, KB, PII. FUI Pantura Lamongan dideklarasikan 11 Munir Mulkhan, Islam Murni pada Masyarakat Petani, 6 12 Nur Syam, Islam Pesisir, 240. 13 Ustadz Zainal Anshori merupakan ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) FPI Lamongan yang bermarkas di Paciran. Ustadz Anshory juga Kepala Sekolah MI Muhammadiyah Blimbing, Pengurus Pemuda Muhammadiyah Paciran dan PRM Weru Paciran. Lulusan UIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta dan mantan aktivis PII (Pelajar Islam Indonesia). Dia ini yang menggawangi FPI Paciran sampai sekarang dan tokoh sentral FPI di Paciran. The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 101 sekitar tahun 2005. Berawal dari keprihatinan masyarakat Islam di Pantura, Lamongan terhadap berbagai tragedi kemanusian yang melanda umat Islam di belahan dunia Islam seperti, kekerasan terhadap Muslim di Gaza (Palestina) dan Mindanau (Filipina), serta perang di Afghanistan dan sebagainya.14 Para tokoh FUI Pantura merupakan pembesar organisasi di antaranya Ustadz Asfandi Baja (KB PII), Ustadz Affan Anshori (Muhammadiyah), Arif Wahyudi (NU) dan Zainal Anshori (Remas dan Muhammadiyah) KH. Abdul Hakam Mubarok (Pengasuh Pesantren Muhammadiyah Karangasem Paciran), Ustadz Umar Aly (Majelis Tarjih Muhammadiyah). Koordinator Forum Ukhuwah Islamiyah Pantura Lamongan (FUIPL) adalah Ustadz Asfandi Baja (tokoh PII). Tokoh-tokoh ini yang kemudian hari membidani lahirnya FPI di Pantura.15 Embrio kelahiran FPI Paciran berasal dari FUI Pantura Lamongan. Dimulai sekitar tahun 2005 ketika dibentuknya FUI Pantura, dan secara resmi pada tahun 2008. Pasca itu, kemudian lahirlah gagasan pembentukan FPI. Kelahiran FPI memiliki kemiripan dengan FUI Pantura Lamongan. Kelahiran FPI berawal dari keresahan, keterpanggilan hati dan respons sejumlah aktivis Muhammadiyah terhadap kemungkaran sosial di masyarakat. Melihat kondisi kemungkaran sosial, sebagian aktivis Muhammadiyah terdorong untuk bergerak memberantas kemungkaran tersebut, kemudian dibentuklah FPI sebagai ijtihad gerakan untuk memberantas kemungkaran sosial.16 Faktor kelahiran FPI di Paciran memiliki latarbelakang yang beragam. Secara garis besar ada dua faktor kelahiran FPI di daerah ini, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal, di antaranya: Pertama, aksi kemaksiatan yang berupa minuman keras, perjudian, narkoba, dan perzinahan yang merajalela. Hal itu disebabkan mulai jarang tokoh yang disegani atau dihormati. Kedua, aparat polisi sebagai pihak keamanan yang punya wewenang untuk menertibkan kemaksiatan tersebut tidak te14 Zainal 15 ibid 16 ibid 102 Anshory, Wawancara, Paciran, 2 Juli 2010 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” gas dan cenderung membiarkan, bahkan menjadi backing bagi orang-orang yang berbuat maksiat. Ketiga, orang-orang yang berbuat maksiat semakin arogan dan melecehkan para tokoh agama; Keempat, kondisi masyarakat yang berwatak keras dan sulit dinasehati, sehingga dibutuhkan sikap berani dan tegas. Kelima, peran organisasi keagamaan kurang tegas dalam merespons situasi ini, sehingga tempat-tempat berbuat maksiat tumbuh subur. Adapaun faktor internal, adalah kritik terhadap kondisi Muhammadiyah yang dianggap kurang peka terhadap kebutuhan masyarakat, terutama dalam melawan kemaksiatan, Muhammadiyah terkesan tidak berani melawan kemaksiatan secara tegas. Formulasi ideologi amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi pegagangan dakwah Muhammadiyah kurang jelas dan tegas dalam merespon kemaksiatan.17 Tujuan dari gerakan FPI di Paciran secara garis besar adalah turunan dari tujuan FPI secara nasional.18 Namun FPI Paciran mempunyai beberapa target gerakan, di antaranya: Pertama, penegakan Syari’at Islam di Paciran. Kedua, pembangunan lembaga pendidikan sebagai sarana perkaderan FPI. Adapun tujuan utama adalah menjaga moral dan perilaku masyarakat dari maksiat sehingga target dari gerakan FPI pada konteks ini tergantung eskalasi di masyarakat, artinya apabila eskalasi kemaksiatan di masyarakat tinggi maka gerakan FPI akan merespons lebih keras. Begitu sebaliknya apabila kemaksiatan sudah menurun maka respons gerakan FPI juga menurun.19 Mayoritas tokoh FPI di Paciran adalah mantan dan aktivis Muhammadiyah setempat. Peran mereka sangat besar dan signifikan terhadap awal kelahiran dan perkembangan FPI. Di antara tokoh FPI yang juga aktivis Muhammadiyah, yaitu Ustadz 17 ibid 18 Tujuan FPI adalah menyemarakan amar ma’ruf, menegakkan nahi mungkar, menyempurnakan amar ma’ruf nahi mungkar, Muhammad Rizieq Syihab, Dialog FPI: Amar Maruf Nahi Mungkar, 13. 19 Zainal Ansory, wawancara, Paciran, 2 Juli 2010 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 103 Barok (pengasuh Pesantren Muhammadiyah Karangasem Paciran dan Ketua PDM Lamongan), Ustadz Umar Aly (Majelis Tarjih PDM Lamongan), Ustadz Zainal Ansori (Ketum DPW FPI Lamongan, Aktivis Pemuda Muhammadiyah Paciran dan Kepala Sekolah MI Muhammadiyah Blimbing Paciran), Umar Farouk (Panglima LPI dan aktivis Pemuda Muhammadiyah Paciran).20 Basis struktur sosial aktivis FPI di Paciran dapat dipetakan ke dalam dua kelompok yaitu kelompok elite dan kelompok awam, lihat tabel di bawah ini: Tabel 2 . Struktur Sosial Anggota FPI Paciran Struktur Sosial Aktivis FPI Paciran Akar Sosial Kelompok Elite Kelompok agamis (lulusan pesantren dan Timur Tengah), kelas menengah (mapan secara ekonomi dan sosial), pendikan tingggi (sarjana) dan pedagang, dan pengajar agama, pengurus dan aktivis Muhammadiyah Motivasi Gerakan Posisi dan Wewenang Keterpanggilan hati menyaksikan kemaksiatan dan kerusakan moral masyarakat Paciran dan untuk melakukan dakwah amar ma’ruf nahi munkar secara tegas dna keras yang tidak dilakukan ormas keagamaan yang ada termasuk Muhammadiyah Kelompok ini di jadikan panutan, pengarah, motivator dan penentu kebijakan organisasi 20 ibid 104 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” Kelompok Awam Kelas menengah bawah, moyoritas nelayan, pendidikan rendah (SMP/SMA), simpatisan/ anggota Muhammadiayahlingkungan sosial beragam tapi rata-rata tidak agamis (mantan pelaku maksiat yang sadar) Mencari ketenagan hidup dan menumbuhkan harapan atas datanganya kebahagian di hari akhir (menambah pengetahuan agama Masyarakat tingkat bawah, anggota pengajian atau majelis taklim, anggota lasykar yang digerakan pada saat aksi gerakan (swepping), banyak dari kalangan anggota Perguruan Silat Struktur sosial FPI di Paciran merupakan gabungan dari dua kelompok masyarakat yang berbeda (elite dan awam). Fakta ini berimplikasi pada pemahaman terhadap orientasi perjuangan FPI. Bagi kalangan elite FPI, mereka memahami bahwa FPI merupakan alat dakwah untuk melawan kemunkaran sosial sehingga dalam berdakwah ada tahapan dakwah tidak sembarangan (pokoknya keras). Kelompok ini dalam berdakwah didasarkan pada pemahaman teks dan konteks ajaran Islam yang mumpuni.21 Sementara bagi kalangan awam dalam memahami FPI merupakan tempat pelampiasan karakter keras yang membutuhkan legitimasi agama biar dapat dibenarkan, walaupun ada sebagian mereka memahami FPI sebagai wadah untuk menambah ilmu agama. Kelompok ini terwadahi dalam Laskar Pembela Islam (LPI) yang sering dijadikan operator dakwah di lapangan (sweeping) yang terkenal keras dan kasar.22 Aktivis dan simpatisan FPI Paciran struktur sosialnya beragam, yaitu; Pertama, berasal dari alumni pondok pesantren di Jawa Timur, yaitu Pesantren Roudlatul Ilmiyah (YTP) Kertosono, 21 ibid 22ibid The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 105 Nganjuk,23 dan Pesantren Muhammadiyah Karangasem Paciran. Kedua, ada juga dari Almuni Timur Tengah; Ketiga mantan ahli maksiat (preman) yang di sadarkan oleh dakwah aktivis FPI. Keempat, alumni PII dan IMM. Jumlah anggota kader dan simpatisan FPI di Paciran Lamongan + 300 orang.24 FPI di Paciran mengembangkan strategi dakwah dalam tiga bentuk. Pertama; pembinaan kader secara rutin, kedua; lewat pengajian atau tabliqh akbar dan ketiga; aksi sweeping melawan kemunkaran sosial. Media strategi dakwah yang digunakan oleh FPI adalah lewat informasi dari mulut ke mulut, surat edaran, pamflet dan himbaun.25 Strategi pertama, pembinaan kader (aktivis) FPI di Paciran Lamongan secara rutin melalui tiga model: 1) pembinaan mental, lewat media pengajian rutin di mushola dan masjid milik Muhammadiyah. Pengajian dilakukan setiap Kamis dan Sabtu malam di Mushola Hidayatul Istiqomah, Desa Gowah, Blimbing dengan materi Kitab Majmu’ Attauhid karya Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab, Sabtu malam Kitab Fiqih Bulughul Marram danKitab Tafsir Imam As-Sa’idi. Sedangkan pada Jumat malam di Masjid Al Mafu’am, DesaKandang Semangkon dengan materi isu-isu Islam aktual. 2) pembinaan fisik melalui latihan di Perguruan Pencak Silat walaupun secara organisasi tidak resmi tetapi mayoritas anggota FPI merupakan anggota Pecak Silat.26 Strategi kedua, adalah mengadakan pengajian atau tabliqh akbar. Strategi ini bertujuan untuk melakukan syiar (sosialisasi keberadaan FPI) ke masyarakat dan penambahan wawasan keislaman bagi masyarakat umum. Tabliqh akbar biasa men23 Pesantren Arroudlatul Ilmiyah Kertosono Nganjuk atau yang terkenal dengan sebutan Pondok YTP secara formal struktural memang bukan berkaitan langsung dengan Muhammadiyah, tetapi ajaran dan para pengasuhnya sebagaian besar adalah aktifis dan tokoh Muhammadiyah, semisal KH. Ali Hamdi Muda’im (alm) (mantan Ketua PD Muhammadiyah Nganjuk), KH. Ali Manshur Kastam (Tokoh Muhammadiyah Nganjuk), dan penulis merupakan salah satu alumni dari Pesantren YTP tamat MTs Tahun 1997. 24 Zainal Anshori, Wawancara, Paciran 3 Juli 2010 25 ibid 26 Ibid 106 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” gundang tokoh umat Islam yang terkenal berideologi keras (radikal) dari kalangan salafi. Selama ini, FPI Paciran sudah tiga kali mengadakan tabliqh akbar; dua kali di lapangan Jompong dengan penceramah Ustadz Habib Rizieq Shihab (Ketua Umum FPI) dan satu kali di lapangan Gowah penceramah ustadz H. Alawi Makmum (tokoh salafi) dan pernah juga Ustadz Abu Bakar Basyier (tokoh Islam garis keras).27 Strategi ketiga, aksi sweeping terhadap kemunkaran sosial di masyarakat. Strategi ini biasa dilakukan oleh Laskar Pembela Islam (LPI).28 Aksi sweeping FPI berdasarakan kebutuhan dan fenomena kemaksiatan yang terjadi di masyarakat. Aksi sweeping didasarkan dari respons ketidaktegasan aparat polisi yang mempunyai wewenang untuk memberantas kemaksiatan, namun menjadi backing kemunkaran. Aksi sweeping merupakan jalan terakhir dari strategi dakwah FPI setelah mekanisme dakwah amar ma’ruf (dinasehati, di tegur dengan cara baik) tidak direspons oleh pelaku maksiat29, hal ini di dasarkan pada hadits Nabi Muhammad: Dari Abu Sa’id Al-Khudri RA dia berkata: Aku mendengar Nabi MuhammadSAW bersabda: “Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika ia masih tidak mampu, maka dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim).30 FPI selama ini dicitrakan sebagai gerakan “dakwah” yang keras, kasar dan cenderung arogan. Imaji tersebut, menurut ustadz Anshori, merupakan permainan media yang tidak suka terhadap gerakan Islam. Padahal, di FPI gerakan dakwahnya 27 Ibid 28 LPI (Lasykar Pembela Islam) adalah sayap para militer di FPI yang bertugas melakukan sweeping anti kemaksiatan di lapangan dengan Panglima Lasykar Umar Farouk. 29Zainal Anshori, Wawancara, Paciran 3 Juli 2010 30Imam An-Nawawi, Syarah Arbai’n An Nawawi, (Hadits Web, http://opi.11omb.com)/ Adib Bisri Musthofa , Tarjamah Shahih Muslim (Semarang: As-syifa’, 1992) The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 107 tidak hanya sweeping tetapi ada juga pengajian dan bakti sosial, namun kegiatan ini tidak pernah diliput. Pemberitaan itu memang disengaja agar tercipta opini di masyarakat bahwa Islam itu anti-kemanusiaan dan kasar.31 Tradisi keagamaan FPI Paciran berbeda dengan mayoritas FPI di Indonesia yang cenderung sama dengan tradisi sosial-keagamaan salafi. Tradisi keagamaan FPI Paciran sama persis dengan karakter tradisi keagamaan Muhammadiyah, semisal aktivis FPI Paciran menghormati Habib sewajarnya tidak mau mengkultuskannya.32 Karakter tersebut wajar disebabkan mayoritas aktivisnya juga aktif di Muhammadiyah yang memiliki paham pada hakikatnya manusia itu sama dan tidak ada yang suci (ma’shum). FPI Paciran mempunyai peran signifikan dan dibutuhkan dalam pemberantasan kemunkaran sosial di wilayah Paciran dan sekitarnya. Fenomena itu disebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat keamanan untuk memberantas kemaksiatan, karena aparat dianggap ikut menjadi pendukung kemaksiatan. Di masyarakat, aparat keamanan dikesankan bertindak jika ada uangnya, sehingga masyarakat lebih suka mengadu ke FPI daripada ke polisi. Selama ini, dakwah FPI di Paciran banyak memberikan perubahan sosial di masyarakat. Semisal, geng kampung hilang, orang mabuk di jalan-jalan jarang, bandar narkoba hilang, pedakwah bebas dari ancaman orang-orang mabuk, buruh pabrik di Kandang Semangkon yang sebelumnya sulit melakasanakan Jum’atan sekarang bisa menunaikan, limbah pabrik ikan naget yang selama ini tanpa ada kompensasi pencemaran sekarang masyarakat dapat kompensasi.33 Struktur organisasi FPI Paciran merupakan turunan dari struktur FPI Pusat. Struktur organisasi FPI Paciran Lamongan masuk pada tingkat Daerah di sebut Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) 31 Zainal 32 ibid 33ibid 108 Anshory, Wawancara, Paciran, 2 Juli 2010 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” FPI Lamongan terdiri dari Majelis Syura Front Pembela Islam, Badan Pengurus Front Pembala Islam dan Lasyakar Pembela Islam (LPI). Majelis Syura FPI di Ketua oleh KH. Umar Aly Abdullah Sekretaris ustadz Mujud MZ. Badan Pengurus FPI di Ketuai oleh Ustadz Zainal Anshory Sekretaris H. Arief Wahyudi. Lasyakar Pembela Islam (LPI) di Komandan Panglima Lasykar Umar Faruq. Pada Munas I FPI tahun 2008 struktur baru FPI dan LPI di pisah LPI sebagai ortom FPI. Sekretariat DPW FPI Paciran Lamongan di Jl. Kauman 6 Blimbing Paciran Lamongan.34 C. Transisi Ideologi Muhammadiyah: Konstruk Sosio-ideologis Proses transisi ideologi di kalangan aktivis Muhammadiyah tidak dapat di pastikan waktu terjadinya. Tetapi yang jelas proses tersebut melalui tranformasi yang lama serta lewat saluran dan media yang beragam. Proses transisi ideologi tersebut dipengaruhi tidak hanya satu faktor tetapi banyak faktor yang saling berkaitan. Faktor tersebut dapat dipetakan pada dua aspek yaitu aspek sosiologis dan aspek ideologis. Aspek sosiologis dipengaruhi dari kondisi eksternal di kalangan aktivis Muhammadiyah yang resah melihat keadaan sosio-kultur masyarakat Paciran yang semakin jauh dari nilai-nilai ajaran Islam. Fakta sosiologis dapat diamati sebagai berikut: Pertama, Tradisi kemaksiatan semakin merajalela, orang sudah tidak malu lagi melakukan kemaksiatan (pacaran, minum-minuman keras, pesta ganja, perzinahan), padahal sebelumnya masyarakat Paciran Pantura di kenal sebagai masyarakat religius yang kuat dan taat.35 Kondisi ini di perparah dengan sikap 34SK Struktur Kepengurusan DPW FPI Lamongan Tanpa Periode 35Di Paciran Pesantren tumbuh berkembang banyak sekali baik dari kalangan NU misalnya (Pondok Sunan Drajat, Ponpes Tarbiyah At Thulab, Pondok Mazr’atul Ulum dan sebaginya), kalangan Muhammadiyah (Pesentren Karangasem Muhammadiyah, Pesantren Modern Muhammadiyah), lihat Ma’in Abd Sumaji, Mengembalikan Gerakan, 56. The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 109 aparat (Polisi) yang seharusnya bertugas membrantas kejahatan malah menjadi bagian dari proses kemaksiatan dengan menjadi pendukung. Kondisi ini menjadikan krisis kepercayaan terhadap aparat negara, sehingga prilaku kemaksiatan di masyarakat semakin tidak terkendali karena tidak ada yang di takuti. Oleh penulis hal ini digambarkan seolah telah terjadi kemufakatan untuk melakukan kemunkaran yang sistematis di wilayah tersebut. Melihat kemunkaran sosial tersebut, sebagian aktivis Muhamamdiyah yang memiliki tradisi keagamaan kuat, merasa resah dan ingin bergerak melakukan perlawanan terhadap situasi kemungkaran sosial. Sementara gerakan Islam (NU-Muhammadiyah) yang sudah ada di Paciran juga tidak merespon secara langsung, sehingga terkesan membiarkan tradisi kemaksiatan tersebut. Pada saat kegagapan gerakan Islam yang ada tidak merespon secara jelas dan tegas terhadap kondisi sosial tersebut maka munculah gerakan FPI di sambut dengan hangat bahkan di dukung pada awal pendeklarasian FPI di Paciran Lamongan. Gerakan FPI yang mempunyai konsen pada gerakan pemberantasan kemaksiatan seolah menjadi jawaban akan keresahan-keresahan tersebut. Berawal dari proses sosial inilah proses transisi ideologi masuk dan merembas di kalangan aktivis Muhammadiyah. Kedua, pergeseran sosio-kultur masyarakat Pantura dari kultur tradisional (nelayan) bergeser ke kultur industrial. Proses tersebut hingga saat ini sedang berjalan. Pembangunan infrastruktur dan investasi perekonomian di Kabupaten Lamongan sebagian besar di letakan di daerah Pantura (Paciran), seperti industri pariwisata (Wisata Bahari Lamongan/WBL), Maharani Zoo Goa, industri perhotelan dan restoran (Lamongan Resort Beach), industri pangkalan minyak Lamongan Integrated Shorebase (LIS). Pembangunan ini kemudian membawa ekses peregeseran sosio-kultur di masyarakat Pantura, terutama terhadap pergeseran tradisi keagamaan. Pergeseran tradisi keagamaan tersebut tampak terlihat pada memudarnya ikatan solidaritas keagamaan masyarakat Pantu110 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” ra yang dulunya sangat kuat dan kuatnya kepedulian terhadap sesama. Kemudian bergeser pada karakter yang individualistik, orientasi hidup yang kapitalistik dan lemahnya ikatan solidaritas keagamaan. Perubahan tersebut berdampak pada sikap yang apatis terhadap persoalan kemaksiatan, slogan yang berkembangan adalah ”yang penting bukan saya yang melakukan”. Prinsip dan prilaku tersebut menjadikan proses kemaksiatan semakin masif dan dianggap hal wajar. Namun, ada juga dampak positif dari proses industrialisasi di wilayah yaitu, mulai terbukanya akses jaringan informasi (internet, TV nirkabel, dll), sehingga masyarakat Pantura mulai terbiasa dan terbuka ”melak” informasi. Konsukwensi dari keterbukaan akses informasi adalah bebasnya masyarakat mendapatkan dan mencari informasi tentang apa saja termasuk informasi gerakan-gerakan Islam yang lain selain NU-Muhammadiyah. Begitu juga arus transformasi informasi ideologi dari luar negeri (termasuk ideologi-ideologi gerakan Islam baru dari Timur Tengah) juga tidak dapat terhindari masuk ke daerah Paciran. Berbagai ideologi Islam baru (teramsuk FPI) memberikan nuansa gerakan keagamaan baru di kalangan masyarakat Paciran. Sehingga kajian-kajian ideologi gerakan Islam baru (FPI) di Paciran semakin tumbuh karena ada semacam kejenuhan terhadap gerakan-gerakan Islam yang sudah ada sebelumnya (Muhammadiyah-NU). Berawal dari proses transformasi informasi dan kajian-kajian (halaqah) ini penyebaran ideologi gerakan FPI masuk dan merembas di kalangan aktivis Muhammadiyah. Ketiga, karakter masyarakat Pantura (Paciran) yang keras bertemu dengan ideologi gerakan FPI yang keras-radikal. Masyarakat pesisir pekerjaannya sebagian besar adalah di laut sebagai Nelayan. Nelayan menghadapi sumber daya alam yang bersifat open acces dan beresiko tinggi, sehingga pendapatan nelayan tidak bisa dikontrol penuh ketidak pastian. Hal tersebut menyebabkan masyarakat pesisir Nelayan memiliki karakter yang tegas, keras, terbuka.36 Hal ini berbeda dengan karakter 36Nur Syam, Islam Pesisir, 241. The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 111 masyarakat agraris atau petani yang cenderung lebih kalem dan tertutup. Karaketer di atas tersalurkan dalam wadah sosial geng anak muda, di antaranya adalah geng Kreator, Riben, Exodus dan sebagainya. Keanggotaan geng sebagian besar adalah anak-anak muda Muhammadiyah. Aktifitas kelompok lebih kepada melakukan kemaksiatan dan mengganggu ketentraman masyarakat, seperti berkelahi antar geng pada saat ada acara di Wisata Bahari Lamongan (WBL) atau di sekitar Pantura, minum-minuman keras, pesta ganja dan sebagainya.37 Karakter keras yang lain adalah bertemunya anak-anak muda di perguruan pencak silat di Paciran. Anggota latihan pencak silat mayoritas adalah anak muda dan sebagian juga aktivis Muhammadiyah yang juga ikut FPI. Karakter pencak silat ini terkenal dengan model latihan yang keras, sehingga sedikit banyak berpengaruh para anggotanya cenderung berkarakter keras.38 Konstruk sosial yang keras tersebut bertemu dengan paham keagamaan yang menawarkan ideologi radikal-keras (FPI). Pertemuan karakter itulah yang menjadikan proses transformasi ideologi FPI di kalangan aktivis Muda Muhammadiyah menemukan momentum yang tepat. Imege keras yang terbangun di masyarakat menemukan saluran yang lebih agamis lewat FPI. Maksudnya aksi-aksi kekerasan yang di lakukan minimal ada landasan ajaran Islam dan mendapatkan legitimasi agama lewat menjadi aktivis FPI, sehingga Ideologi FPI cocok dengan kultur Pesisir.39 Aspek ideologis lebih dipengaruhi dari kritik kondisi internal di Muhammadiyah. Sebagian aktivis Muhammadiyah resah dan 37 Yoyon Suudi, Wawancara, Paciran, 3 Agustus 2010, Yoyon adalaah salah satu aktifis FPI (Wakil Komandan LPI FPI Paciran) 38Yayang, Wawancara, Paciran, 3 Agustus 2010, (Yayangadalah salah satu seorang guru Pencak Silat dan juga aktifis Muda Muhammadiyah di Paciran) 39Hal itu terbukti perkembangan dan basis masa terbesar FPI di Lamongan di daerah pesisir Paciran dan tidak berkembang di luar daerah Paciran. 112 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” jenuh melihat gerakan Muhammadiyah di anggap gagap dan kurang peka terhadap kemungkaran sosial di wilayah sekitar Pantura. Ideologi amar ma’ruf nahi mungkar di anggap masih sebatas retorika belum di wujudkan secara total. Sehingga, Muhammadiyah di anggap tidak mempunyai formulasi gerakan yang jelas dalam merespon kemaksiatan dan sikap yang tegas terhadap kemungkaran sosial yang terjadi di masyarakat, bahkan cenderung membiarkan. Muhammadiyah seakan hanya sibuk dan puas mengurusi dakwah AUM (Sekolah, RSM, BMT, Panti, Pesantren) saja.40 Aktifis Muhammadiyah di FPI menganggap ideologi Muhammadiyah (amar ma’ruf nahi mungkar) baru teraplikasi pada ideologi amar ma’ruf (mengajak kebaikan) dengan terwujudnya gerakan amal sholeh yang kemudian menjadi Amala Usaha Muhammadiyah (AUM). AUM tersebut terdiri dari amal pendidikan (Sekolah dan Perguruan Tinggi), amal kesehatan (Rumah Sakit), amal sosial (Panti Asuhan), amal ekonomi (Bank Persyarikatan, BMT). Sementara ideologi nahi mungkar seakan terlupakan dan tidak memiliki formulasi yang jelas dan tegas, sehingga terkesan gerakan Muhammadiyah tidak responsif dan gagap terhadapi persoalan kemaksiatan di masyarakat.41 Kegagapan dan ketidak jelasan formulasi dari aktualisasi ideologi nahi mungkar dalam merespon aksi kemaksiatan menjadikan sebagian aktivis Muhammadiyah mencari formulasi sendiri di luar ideologi Muhammadiyah. Situasi ini kemudian menjadikan ideologi FPI yang mengusung ideologi amar ma’ruf nahi mungkar dengan startegi dakwah anti kemaksiatan dengan mudah masuk dan merembas di kalangan aktivis Muhammadiyah di Paciran. Proses tersebut menjadikan aktivis Muhammadiyah meresa lebih nyaman aktif di gerakan FPI daripada di Muhammadiyah.42 40Khanif, Wawancara Paciran, 3 Agustus 2010. (Khanif merupakan mantan aktifis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) yang juga pernah aktif di FPI) 41 Khanif, Wawancara Paciran, 3 Agustus 2010 42 Burhan, wawancara, Paciran, 3 Juli 2010. (Burhan adalah Ketua Pemuda Muhammadiyah Dengok Paciran dan pernah The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 113 D. Bentuk Transisi Ideologi Muhammadiyah-FPI Pada awalnya, hubungan FPI dengan Muhammadiyah di Paciran berjalan harmonis. Keduanya saling menghormati dan menghargai dengan strategi dakwah masing-masing. Keduanya berjalan bersinergi dan saling mendukung dalam pemberantasan kemunkaran sosial di tengah masyarakat, terutama di wilayah Pantura. Kerukunan ini terjadi karena ide pembentukan FPI dipahami oleh aktivis Muhammadiyah merupakan alat untuk meminimalisir perilaku maksiat. Apalagi, saat itu Muhammadiyah setempat belum memiliki formulasi yang jelas dan tegas seperti strategi yang dimiliki FPI.43 Selain itu, keharmonisan keduanya disebabkan mayoritas penggerak dan perintis awal kelahiran FPI di Paciran adalah aktivis Muhammadiyah. Sehingga tidak ada konflik kepentingan karena sama-sama seide dalam memahami keberadaan FPI. Sehingga pada awal keberdaan FPI di Paciran sangat membantu gerakan dakwah Muhammadiyah di Paciran. Namun di kemudian hari,hubungan keduanya mengalami disharmoni. Hal itu disebabkan terjadi pergeseran oreintasi pada gerakan FPI. Aksi-aksi FPI semakin eksterim, dan menjauh dari cara-cara kultural Muhammadiyah yang selama ini dilakukan.44 Gesekan tersebut menyebabkan polarisasi pandangan aktivis Muhammadiyah terhadap FPI di Paciran dan juga sebaliknya. Polarisasi tersebut memunculkan bentuk transisi ideologi Muhammadiyah dengan FPI. Bentuk transisi ideologi yang dapat teramati oleh peneliti adalah sebagai berikut; Pertama, aktivis Muhammadiyah yang aktif di FPI melihat Muhammadiyah terbagi ke dalam dua bentuk, yaitu positif-akomodatif melihat Muhammadiyah dan negatif-disintegratif melihat Muhammadiyah. Kedua, aktivis Muhammadiyah tidak ikut FPI melihat FPI terbagi ke dalam dua bentuk, yaitu reaksioner-posistif melihat FPI dan reaksioner-negatif melihat FPI. jadi simpatisan FPI 43Ibid 44Ibid 114 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” Sementara itu, aktivis Muhammadiyah yang aktif di FPI melihat Muhammadiyah: 1. Sikap positif-akomodatif, kelompok ini cenderung ”menduakan” Muhammadiyah. Maksudnya mereka secara ideologi dan organisasi masih aktif di Muhammadiyah, tetapi juga aktif (bahkan menjadi pengurus) di FPI. Kelompok ini berpandangan bahwa keberdaan FPI dan Muhammadiyah merupakan; a) Pelengkap gerakan Muhammadiyah terutama dalam mengaplikasikan ideologi nahi munkar yang dinilai kurang jelas dan tegas selama ini, b) FPI tidak ingin merusak citra Muhammadiyah, maksudnya selama ini dakwah Muhammadiyah terkenal dengan cara-cara santun, maka yang cara keras biar menggunakan nama FPI; c) Ideolog FPI dan Muhammadiyah terdapat kesamaan dan perbedaan, persamaannya adalah sama-sama mengusung ideologi amar ma’ruf nahimunkar. Adapun perbedaannya adalah terletak pada strategi dakwah dilapangan. Dakwa Muhammadiyah dikenal lebih santun (hikmah), sementara FPI cenderung anarkis. FPI lahir tidak mereduksi dan menjelek-jelekkan Muhammadiyah, tetapi masing-masimg memiliki jalan dakwahnya sendiri.45 . Argumentasi kelompok ini memahami bahwa gerakan FPI yang cenderung menggunakan strategi dakwah secara keras merupakan reaksi dari aksi kemaksiatan yang merajalela di masyarakat Paciran. Artinya, semakin banyak aksi kemaksiatan dan sulit diperingatkan, maka FPI akan meresponnya semakin keras. Sikap ini merupakan pemahaman dari makna dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Mereka memahami gerakan FPI merupakan ”jihad baru”. Kemunculan FPI dipahami sebagai alternatif gerakan di saat NU dan Muhamamdiyah kurang begitu serius dan memperhatikan masalah kemaksiatan.46 2. Sikap negatif-disintegratif merupakan kelompok yang berpandangan negatif terhadap ideologi dan pola dakwah 45Khanif, 46Khanif, Wawancara, Paciran 3 Juli 2010 Wawancara, Paciran 3 Juli 2010 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 115 Muhammadiyah. Mereka tidak puas dan jenuh melihat gerakan Muhammadiyah yang dianggap tidak peka terhadap kemaksiatan. Secara organisasi dan ideologi, mereka tegas memisahkan diri dari gerakan Muhammadiyah dan pindah ke gerakan FPI.47 . Mereka memandang ideologi Muhamamdiyah tidak relevan lagi dalam menyikapi persoalan masyarakat terutama masalah kemaksiatan. Mereka mengkritik Muhammadiyah, padahal sebelumnya mereka adalah bagian dari Muhammadiyah. Pandangan mereka terhadap ideologi dan strategi dakwah Muhammadiyah dianggap tidak jelas dan tegas dalam memberantas kemaksiatan. Muhammadiyah dianggap terlalu akomodatif dengan pemerintah dan terkesan tidak peduli terhadap aksi kemaksiatan. Padahal pemerintah dianggap bagian dari penyokong kemaksiatan.48 . Mereka menganggap konsep amar ma’ruf nahi munkar di Muhammadiyah hanya separuh, tidak utuh. Konsep amar ma’ruf dan nahi munkar harus dipisah. Amar ma’ruf adalah mengajak kepada kebaikan dan berbuat baik, sedangkan nahi munkar melarang secara tegas terhadap aksi kemaksiatan. Sementara di Muhammadiyah bentuknya belum jelas dan tegas.Padahal,ketika dahulu melawan Takhayul, Bid’ah, Churafat (TBC), gerakan Muhammadiyah terlihat tegas dan berani. . Kedua, aktivis Muhammadiyah yang tidak ikut FPI memandang gerakan FPI. Ditemukan dua varian sikap pemahaman; 1) Pandangan reaksioner-positif, adalah pandangan sebagian besar dari kalangan intelektual. Mereka dapat memilih dan memilah aktivitas gerakan FPI, tidak mengeneralisir semua aksi kekerasan FPI murni kesalahan dan arogansi FPI. Mereka memahami bahwa kemunkaran sosial di wilayah Paciran sudah memprihatinkan sehingga butuh gerakan seperti yang dilakukan FPI, meskitidak 47 Zainal 48Ibid 116 Anshori, Wawancara, Paciran 3 Juli 2010 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” semuanya disepakati. 2) Pandangan reaksioner-negatif, sebagian besar dari kelompok ini adalah kalangan masyarakat awam yang cenderung negatif melihat gerakan yang dilakukan oleh FPI. Mereka beranggapan bahwa FPI itu arogan, keras, tidak kasihan, dan merusak citra Muhammadiyah.49 . E. Jalur Transisi Ideologi Muhammadiyah Ke FPI Jalur transisi ideologi Muhammadiyah ke gerakan FPI di Paciran Lamongan tersebar luas dari berbagai jalur (variatif). Melalui jalur-jalur ini proses penyebaran ideologi FPI masuk di kalangan aktivfis Muhammadiyah. Adapun paparan di bawah ini hanya sebagian jalur yang dapat teramati oleh penelit. Pertama, lewat jalur pengajian, majelis ta’lim (halaqa) dan tabliqh akbar. Jalur ini paling effektif, sebab lewat jalur ini indoktrinasi dan infiltrasi ideologi FPI masuk lebih mudah dan halus tidak dirasakan oleh masuk ke pikiran para aktivfis Muhammadiyah. Dampak dari proses ini berakibat pada terjadinya perubahan kerangka berfikir (paradigma) yang berbeda dengan Muhammadiyah. Kedua, lewat jalur olah raga pencak silat. Lewat Jalur ini sangat masif dan effektif dalam hal penggalangan massa. Sebab, kebanyakan kader dan simpatisan FPI merupakan anggota yang ikut latihan pecak silat. Adapun tradisi di pencak silat tersebut, posisi pelatih sangat disegani dan dihormati bahkan ditakuti. Sehingga terkadang setiap perintah dan perilaku para pelatih mesti diikuti. Dan posisinya pas, Ketua FPI, ustadz Anshori dan panglima LPI Umar Farouk adalah pelatih pencak silat. Sehingga para anggota latihan pencak silat banyak yang terlibat dan 49 Anggapan merusak citra Muhammadiyah disebabkan orang awam tahunya aktifis FPI itu ya orang-orang Muhammadiyah padahal Muhammadiyah selama ini dikenal santun dan lembut dalam berdakwah, Burhan, wawancara, Paciran, 4 Agustus 2010 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 117 simpatisan gerakan ustadz Anshori di FPI. Para anggota pencak silat inilah yang sebagian besar di jadikan menjadi Lasykar Pembela Islam (LPI) yang bertugas melakukan aksi sweeping di lapangan. Ketiga, jalur jaringan alumni pesantren Ar-Roudaltul Ilmiyah (YTP) Kertosono, Nganjuk. Jalur ini juga effektif di sebabkan, karena ketua FPI ustadz Anshori adalah alumni Pesantren Ar-Roudaltul Ilmiyah (YTP). Sementara di daerah Paciran, banyak aktivfis Muhammadiyah dan FPI adalah alumni pesantren Ar-Roudaltul Ilmiyah (YTP). Sehingga ada semacam ikatan emosional di antara mereka untuk saling membantu atau mendukung antar sesama alumni. Keempat, jalur Keluarga Besar (KB) Pelajar Islam Indonesia (PII). Jalur ini juga effektif di sebabkan karena Ketua FPI ustadz Anshori adalah alumni Pelajar Islam Indonesia (PII). Sementara di daerah Paciran banyak aktivfis Muhammadiyah yang ikut FPI adalah alumni Pelajar Islam Indonesia (PII), sehingga ada semacam ikatan emosional organisasi di antara mereka untuk saling membantu atau mendukung antara sesama alumni termasuk di gerakan FPI. Adapun Media yang digunakan dalam proses transisi (pergeseran) ideologi di kalangan aktivfis Muhammadiyah adalah beragam. Media yang teramati oleh penulis di antaranya: a) Mmedia pamflet, brosur, selebaran, surat himbuan yang berisi tentang informasi kegiatan dakwah FPI, opini dan sikap politik terhadap aksi-aksi kemaksiatan. b) Mmedia majalah dan buletin merupakan media informasi yang di kirim dari FPI Pusat berisi informasi kegiatan FPI secara nasional, penyebaran dan indoktrinasi ideologi FPI, c) media buku-buku yang berisi tentang ideologi ahlu sunnah wal jama’ah versi FPI. Tulisan tokoh-tokoh salafi seperti buku Dialog FPI: Amar Maruf Nahi Mungkar ditulis oleh Habib Rizieq. d) Media Sweeping, merupakan media yang paling dikenal dan seolah sudah menjadi brand image andalan bagi FPI. Artinya ”FPI ya Sweeping”. Aksi sweeping menjadi media yang paling disukai oleh FPI di Paciran, karena kebanyakan dari simpatisan 118 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” FPI adalah anak-anak muda yang sebagian besar anggota latihan pencak silat yang terkenal keras. Jadi dengan ikut aksi sweeping mungkin bisa dijadikan menjadi dalih pembenar bahwa aksi kekarasan yang dilakukan adalah merupakan dalam rangka membela ajaran agama. The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 119 120 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” BAGIAN KELIMA BENTURAN IDEOLOGI: SEBUAH IMPLIKASI TRANSISI IDEOLOGI DI MUHAMMADIYAH A. Sekilas Tentang Ideologi dan Relasi Kuasa Istilah ideologi di kalangan pemikir sosial dan filsafat dimaknai secara beragam dan berkembang sesuai dengan konteks sosio-kultur masyarakat dan para pemikirnya. Ideologi berasal dari kata Yunani idein artinya melihat dan logia artinya kata, ajaran. Pertama istilah ini diperkenalkan oleh A. Destult de Tracy (+1836) untuk menyebutkan suatu cabang filsafat yaitu, “science des idees” sebagai ilmu yang mendasari ilmu-ilmu lain.1 Penggunaan istilah ideologi tidak sesederhana dalam pengertian tersebut. Mengikuti konseptualisasi ideologi John B. Thompson, ideologi sering digunakan dalam dua cara; Pertama, ideologi digunakan dalam konsep yang netral. Pada konsep ini, ideologi hanya diartikan sekedar sebagai sistem berfikir, sistem kepercayaan yang berhubungan dengan tindakan sosial-politik. Kedua, memahami ideologi secara kritis. Pada konsep ini, ideologi selalu dikaitkan dengan praktik relasi kekuasaan yang asimetris dan beriklim dominasi kelas.2 1 John Thompson, Kritik Ideologi Global: Teori Sosial Kritis Tentang Relasi Ideologi dan Komuniksai Massa (terj), penerjemah Haqqul Yaqin (Yogyakarta: IRCIsod, 2003), 51. 2 John Thompson, Analisa Ideologi: Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia (terj), pen- 121 Pengertian ideologi terus berkembang. Ideologi dapat dimaknai dalam dua arti; Pertama, arti peoratif sebagai teorisasi atau spekulasi dogmatik dan khayalan kosong yeng tidak betul atau tidak realistis, atau bahkan palsu dan menutup-nutupi realitas yang sesungguhnya. Kedua, arti melioratif sebagai sistem gagasan yang mempelajari satuan keyakinan dan perkara ideal filosofis, ekonomis, politik, agama dan sosial.3 Pengertian ideologi paling tidak mempunyai tiga maksud; 1) Sebagai “Weltanschauung” atau “science of ideas”, yaitu pengetahuan yang mengandung pemikiran dan cita-cita besar mengenai sejarah, manusia, masyarakat dan negara; 2) Sebagai pemikiran yang tidak memperhatikan kebenaran internal dan kenyataan empiris yang ditujukan dan tumbuh berdasarkan pertimbangan kepentingan; 3) Sebagai belief, sistem nilai dan karenanya berbeda dengan ilmu filsafat ataupun theologi yang secara formal merupakan knowladge sistem ilmu pengetahuan.4 Hafidh Shaleh berpandangan bahwa ideologi adalah sebuah pemikiran yang mempunyai ide berupa konsep rasional (aqidah aqliyah), yang meliputi akidah dan solusi atas seluruh problem kehidupan manusia. Ideologi harus mempunyai metode untuk mengaktualisasikan ide dan solusi, mempertahankan, serta menyebarkannya ke seluruh dunia. Sementara Taqiyuddin AnNabhani memaknai ideologi adalah suatu aqidah aqliyah yang melahirkan peraturan. Yang di maksud aqidah adalah pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan hidup, serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan, di samping hubungannya dengan Dzat yang ada sebelum dan sesudah alam kehidupan di dunia ini. Ideologi adalah suatu ide dasar yang menyeluruh mengenai alam semesta, manusia dan hidup mencakup dua bagian yaitu fikrah dan thariqah.5 erjemah Haqqul Yaqin (Yogyakarta: IRCIsod, 2003), 17. 3 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), 306-307. 4 M. Djadijono, Pembangunan Ideologi selama Orde Baru; Problem dan Prospeknya, Majalah Analisa No.9 Th. 1985, 750. 5 Hafid Saleh, ”Ideologi dalam http://id.wikipedia .org/wiki/ideologi//.note (29 Oktober 2010). Taqiyuddin An-Nabhani, Ideologi dalam http://id.wikipedia.org/wiki/ideologi//. note (29 Oktober 2010) 122 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” Secara umum, menurut J. Riberu, ideologi mengandung berbagai unsur utama, di antaranya: a) Ada pandangan komperhensif tentang manusia, dunia dan alam semesta; b) Ada rencana penataan kehidupan sosial-politik berdasarkan paham-paham tertentu; c) Ada kesadaran dan pencanangan bahwa realisasi rencana membawa perjuangan dan pergumulan yang menuntut perubahan, d) ada usaha mengarahkan masyarakat untuk menerima secara yakin perangkat paham serta rencana kerja.6 Ideologi menuntut loyalitas dan keterlibatan dari pengikutnya. Sebagaimana pandangan Graham C. Kinioch bahwa ideologi merupakan landasan yang muncul dari pandangan dunia yang digunakan oleh sekelompok orang untuk menjustifikasi tindakan mereka.7 Dengan demikian ketika kelompok radikal Islam menghubungkan prilakunya pada pandagan hidup (agama) yang ditegakkan sebagai ideologi, maka tindakan kekerasan memungkinkan akan muda di pahami pihak lain. Karena prilaku kekerasan yang di lakukan adalah cerminan dari ideologinya. Menurut Umi Sumbulah sebuah pandangan agama yang dijadikan ideologi, ia akan memiliki dua karakteristik: a) Ideologi diformulasi dan ditaati oleh penganutnya untuk mencapai tujuan tertentu; b) Ideologi digunakan oleh pengikutnya untuk mencapai politik.8 Dalam konteks ini, penggunaan ideologi dilakukan sebagai pendorong perebutan dominasi pengaruh sosio-ideologis antar organisasi sosial keagamaan (Muhammadiyah-FPI). Ideologi sebagai sistem simbol memiliki korelasi kuat dengan tindakan sosial.9 Sebab kerja ideologi mengikuti alur rasionalitas, artinya di mana makna/ide akan mempengaruhi konsepsi atau tindakan individu atau kelompok yang membentuk dunia sosial. Sehingga ide radikalisme yang diusung oleh gerakan Islam radikal (FPI) akan sangat mempengaruhi terhadap tindakan dakwah 6 J.Riberu dkk, Menguak Mistos–mitos Pembangunan: Telaah Etis dan Kritis (Jakarta: Gramedia. 1986), 5. 7 Graham C. Kinioch, Ideologi and the social Science (t.tp: Greenwoon Press, 1981), 78 8 Umi Sumbulah, “Agama, Kekerasan dan Perlawanan Ideologis”, Jurnal Islamica, Vol.1, Nomor 1, September 2006, 1 9 John B. Thompson, Analisa Ideologi: Kritik Wacana, 127-128 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 123 yang ditampilkan di masyarakat. Ideologi mempunyai karakteristik intoleran terhadap cara-cara berfikir atau epistimologi berfikir yang lain. Artinya ideologi mempunyai standarisasi kebenaran yang dianggap paling benar daripada ideologi kelompok lain. Anggapan paling benar ini sering di jadikan landasan untuk menyalahkan, mengkafirkan bahkan terkadang menghalalkan cara kekerasan terhadap kelompok yang berbeda ideologi. Dengan demikian definisi tentang sesuatu tidak didasarkan pada pandangan umum tetapi berdasarkan kepentingan ideologinya sendiri. Sebagaimana gagasan Karl Marx, konsep ideologi tidak pernah dipisahkan dari kritik dominasi. Bahkan dengan ideologi yang di bangun suatu kelompok masyarakat atau sosial-keagamaan (Muhammadiyah-FPI) tertentu bisa melakukan kritik dan memberikan reaksi terhadap fenomena ketidakadilan berbasis kelas. Ketidakadilan bisa pada tataran ekonomi maupun politik. Perebutan dominasi berbasis ideologi akan menjadi berbeda dengan gerakan perlawanan berbasis kelas yang mendasarkan perlawanannya pada suprerstruktur Weber berupa tatanan politik dan ekonomi maupun substruktur ala Marx. Perlawanan kelas akan berhenti jika tatanan ekonomi dan politik sudah di dapatkan. Adapun gerakan berbasis ideologi, mereka akan terus mengelaborasi sisi-sisi ideologis dari apa yang mereka yakini sebagai sebuah kebenaran yang harus secera berkelanjutan diperjuangkan. Raymond William mengklasifikasikan ideologi dalam tiga ranah: 1) sebuah sistem kepercayaan yang di miliki oleh kelompok atau kelas tertentu. Definisi ini dipakai dalam ilmu psikologi yang melihat ideologi sebagai seperangkat sikap yang di bentuk dan di organisasikan dalam benak yang koheren (prinsip, relasi, aturan, konsep). Walaupun di maknai sebagai sikap sesorang, ideologi disini tidak di pahami sebagai sesuatu yang ada dalam diri individu, melainkan di terima dari masyarakat. Kedua, seperti dengan pendapat Marx dan Eagles mendefinisikan ideologi sebagai sistem kepercayaan yang di buat ide palsu atau kesadaran palsu yang bisa di pertentangkan dengan pengetahuan ilmiah. 124 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu di mana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakanya untuk mendominasi keolmpok lain yang tidak dominan. Ketiga proses umum produksi makna dan ide. Ideologi di gunakan untuk menggambarkan produksi makna.10 Pembangunan ideologi melalui sebuah proses dan dealektika yang panjang, tidak hadir atau terbangun begitu saja. Menurut Louis Althusser, ideologi di bentuk karena faktor historisitas. Ideologi sebagai gejala pemikiran di bentuk sebagai respon terhadap perkembangan sejarah. Ia di rumuskan dan di kembangkan tidak dalam ruang hampa. Proses ini berlaku juga pada ajaran keagamaan yang nantinya mengalami obyektivikasi dalam bentuk ideologi.11 Ideologi dimanfaatkan berbagai kepentingan oleh masyarakat baik di gunakan secara positif maupun negatif. Secara umum perkembangan ideologi saat ini masih dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx dalam melihat ideologi. Pandangan Marx bahwa ideologi ditentukan oleh pola hubungan produksi material. Ideologi bagi Marx tak lain adalah sebuah kesadaran palsu. Sebuah kesadaran yang mengacu pada nilai-nilai moral tinggi dengan sekaligus menutup kenyataan bahwa di belakang nilai luhur kepentingan-kepentingan egois kelas-kelas penguasa.12 Ideologi dikonsepkan dengan dominasi, kekuasaan, penipuan, mistifikasi, pembodohan, dan konflik politik. Istilah ideologi digunakan Marx untuk menyerang dan menyingkap distorsi, ilusi dan inversi yang membentuk idealisme filosofis tradisi Hegelian German. Dengan mendasarkan diri pada metode materialisme historis, Marx mengkritik para ideolog German bahwa pikiran-pikiran mereka teralienasi dari kehidupan. Marx berpendirian, bahwa kapitalisme telah melahirkan pemahaman/pengetahuan yang tidak mencerminkan re10 Syamsul Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial, 43. 11 Ibid., 45. 12 Zainuddin Maliki, Narasi Agung: Tiga Teoris Sosial Hegemonik (Surabaya: LPAM, 2004), 163 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 125 alitas sebenarnya (false knowledge) yaitu realitas pertentangan kelas antara kaum borjuis dan proletar dalam masyarakat industrial-kapitalistik. Pengetahuan yang tidak mencerminkan realitas atau kesadaran yang teralenasi dari praksis inilah yang di sebut dengan ideologi.13 Ideologi merupakan representasi yang keliru tentang manusia dan dunia, karena menganggap situasi yang ada sebagai natural, ahistoris, dan memistifikasi suatu tatanan sosial. Berkaitan dengan masyarakat, ideologi adalah bagian dari superstruktur yang melayani kekuatan substruktur ekonomi. Ideologi melegitimasi relasi sosial dan ekonomi sekaligus senjata kelas berkuasa untuk mendominasi kelas bawah.14 Pandangan klasik tentang ideologi ini kini menuai kritik tajam. Pandangan klasik tentang ideologi telah mengaburkan fakta, bahwa ideologi sebenarnya beroperasi dalam ranah kehidupan sehari-hari, bahkan lebih dominan dalam suatu tatanan sosial tertentu. Bahkan ideologi sebagai praktek kebudayaan relatif memiliki otonominya sendiri dan tidak bisa direduksi begitu saja oleh kekuatan-kekuatan produksi dan kelompok ekonomi. Salah satu pemikir yang meneruskan dan sekaligus mengkritik pemikiran Karl Marx tentang ideologi adalah Michel Foucault seorang pemikir Post-stukturalis.15 Foucault mengkritik ideologi Marx yang cenderung deterministik-positifistik bahwa proses perubahan ideologi selalu berawal dari tahapan runtut dari kesadaran ideologi satu dan berakhir pada kesadaran ideologi yang lain. Proses perubahan tersebut di awali dari kesadaran ideologi primitif kemudian menuju kes13 Ken Budha Kusumandaru, Karl Marx, Revolusi, 8. 14 Ibid., 9 15 Foucault adalah pemikir poststrukturalis. Lahir di Pointiers, Perancis, tahun 1926. Menyelesaikan studi di Ecole Normanle Superiore tahun 1946, lalu memperdalam filsafat hingga meraih lisensi thun 1948. Ia juga meraih lisensi bidang psikologi juga diploma dalam psikopatologi. Ia pernah bergabung dengan Partai Komunis Perancis hingga 1951. Karya-karyanya adalah Maladie mentale et personnalitte (penyakit mental dan kepribadian) terbit thun 1954, Histoire De la Folie (Sejarah Kegilaan), The Birth of Clinic, Archeology of Knowledge, Disciplines and Punish serta The History of Sexuality. Ia meninggal tahun 1984 dalam usia 57 karena penyakit AIDS. Biografi ini diambil Lydia Alix Fillingham, Foucault untuk Pemula, (Yogyakarta: 2001) 126 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” adaran ideologi kapitalisme dan berakhir pada kesadaran ideologi sosialisme sebagai akhir proses sejarah (masyarakat sosialis).16 Adapun untuk menuju tahapan-tahapan tersebut harus melalui pertentangan kelas antara kelompok penguasa dan yang dikuasai melalui segala macam cara bahkan perang. Untuk menggambarkan alur ideologi Marx sebagai berikut: Konsepsi ini dikritik oleh Foucault bahwa proses perubahan ideologi sebenarnya tidak harus melalui jalan kekerasan dan lewat politik ansich (pertentangan kelas antara penguasa dan proletariat) namun proses perubahan ideologi dapat melalui jalan damai yaitu lewat kuasa pengetahuan. Foucault mampu menjelaskan proses perubahan kesadaran ideologi secara luas dan tidak deterministik-postifistik. Menurut Foucault proses perubahan ideologi di masyarakat dapat melalui beragam relasi kuasa yang mengitari ideologi dan yang paling mempengaruhi ideologi adalah relasi kuasa pengetahuan (wacana).17 Foucault dalam diskusrus ideologi lebih sering menggunakan 16 Zainuddin Maliki, Narasi Agun, 158-159 17 Michel Foucault, Power/Knowledge (ed. By Colin Gordon), Pantheon, New York, 1980) The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 127 istilah wacana (pengetahuan) atau epistema.18 Pengetahuan dalam bahasa Inggris adalah Knowledge: Persepsi yang jelas tentang apa yang dipandang sebagai fakta kebenaran atau kewajiban informasi atau pelajaran yang disimpan. Hal-hal yang disimpan dalam kesadaran seperti kepercayaan, ide-ide, bangunan konsep, pernyataan, pendapat untuk dijustifikasi dengan cara tertentu dan dengan demikian dianggap benar.19 Secara konseptual istilah epistema adalah sistem. Dalam satu periode sejarah hanya terdapat satu epistema. Epistema di sini bisa juga di pahami sebagai korelasi epistemologis yang ada di antara berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa dan kurun tertentu. Kaitannya dengan empat abad terakhir sejarah pemikiran Eropa, Foucault membaginya ke dalam tiga macam epistema yaitu: epistema Abad Tengah, epistema Klasik dan epistema Modern. Setiap penggalan (rupture) dari epistema tesebut memiliki sistem pemikiran tersendiri yang berbeda satu sama lain, minamal dalam konsep dan metode. Di sinilah lapangan arkeologi pengetahuan; ia bertugas mengungkap unsur-unsur terdalam dan tersembunyi. Epistema merupakan kumpulan relasi yang menghubungkan antara praktik-praktik lisan dengan pengetahuan dalam berbagai bentuknya pada periode sejarah tertentu. Epistema, adalah sitem tersembunyi di balik pengetahuan yang dominan pada masa tertentu.20 Sistem tersembunyi ini di anggap sebagai pemersatu dalam realitasnya yang paling dalam pada peradaban dan periode tertentu. Epistema adalah prasyarat munculnya pengetahuan dan teori, jadi ia adalah latar tersembunyi di belakang pengetahuan; epistema adalah struktur dasar yang berada diluar sejarah. Ringkasnya ia adalah struktur pengetahuan global, dengan cirinya yang holistik. Ia dianggap sebagai jaringan dasar hukum-hukum yang mengatur pengetahuan, metode, pemahaman, dan metode 18 “Michel Foucault Nabi dan Sejarahwan Masa Kini”, dalam Konrad Kebung, Rasionalisasi dan Penemuan Ide-ide (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008), 161 19 Kamus Filsafat, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995), 2. 20 Konrad Kebung, Rasionalisasi, 161 128 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” analisa.21 Adapun kuasa oleh Foucault tidak di artikan “kepemilikan”. Kuasa menurut Foucault tidak di miliki tetapi dipraktekkan dalam suatu ruang lingkup tertentu di mana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain.22 Kuasa selalu berbanding lurus dengan pengetahuan dan pengetahuan selalu bersinggungan dengan wacana (diskursus) sehingga antara wacana (diskursus) dan kekuasaan selalu dalam relasional. Kekuasaan dalam konteks ini adalah kekuasaan yang dipahami sebagai seperangkat sistem-sistem regulasi, aturan dan menormalisasi kehidupan masyarakat. Kekuasaan di sini tidak bisa di lepaskan dari konstruk kebenaran yang menjadi basis dari keabsahan pengetahuan. Kekuasaan selalu teraktulasikan melalui pengetahuan dan pengetahuan selalu punya efek kuasa.23 Konsep Foucault ini membawa konskuensi bahwa kekuasaan di butuhkan dalam produksi pengetahuan yang kemudian melandasi kekuasaan. Karena setiap kekuasaan disusun dan dimapankan oleh pengetahuan dan wacanatertentu. Oleh karena itu dalam menentukan kebenaran bagi Foucault tidak dipahami sebagai sesuatu yang datang begitu saja (konsep yang abstrak). Kebenaran menurut Foucault diproduksi oleh setiap kekuasaan, sebab kekuasaan menghasilkan pengetahuan. Kekuasaan dan pengetahuan secara langsung saling mempengaruhi, tidak ada hubungan kekuasaan tanpa ada konstitusi korelatif dari bidang pengetahuannya”.24 Foucault ingin mengungkapkan bagaimana orang-orang mengatur atau meregulasi diri mereka sendiri dan orang lain dengan menciptakan klaim kebenaran (sebuah pembakuan atau pemutlakan benar-salah, baik-buruk, indah-jelek) dapat dibuat teratur, tetap, dan stabil. Oleh karena itu, Foucault meyakini bahwa kuasa tidak bekerja melalui represi, tetapi melalui normalisasi dan 21 Ibid, 162 22Rahyono, Teori sosial dan Politik (Surakarta: UMS Press, 1998),78. 23 Ibid., 67. 24 Michel Foucault, Discipline and Punish (Harmondsworth: Penguin, 1979) The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 129 regulasi.25 Kuasa tidak bekerja secara negatif dan represif tetapi melainkan dengan cara positif dan produktif. Kekuasaan dalam pandangan Foucault disalurkan melalui hubungan sosial dengan memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi perilaku seperti baik dan buruk sebagai bentuk pengendalian perilaku. Jadi khalayak ditundukkan dengan wacana dan mekanisme berupa prosedur, aturan, tata cara, dan sebagainya. Bukan dengan cara kontrol yang bersifat langsung dan fisik. Kekuasaan dalam hubungannya dengan wacana penting untuk melihat apa yang disebut kontrol. Kontrol tidak selalu bersifat fisik tetapi bisa juga mental atau psikis. Misalnya kelompok dominan membuat kelompok yang lain bertindak sesuai dengan yang diinginkannya karena kelompok dominan ini memiliki akses di banding kelompok yang tidak dominan. Hal ini karena teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. Dalam pandangan semacam ini wacana dipahami mengandung ideologi untuk mendominasi dan berebut pengaruh. Oleh karena itu, analisis wacana tidak bisa menempatkan bahasa secara tertutup, tetapi harus melihat konteks, terutama bagaimana ideologi dari kelompok-kelompok yang ada berperan dalam membentuk wacana.26 Menurut Foucault, ideologi (wacana) beserta institusi penopangnya pada dirinya sendiri tidaklah memuat kategori benar atau salah. Karena, setiap masyarakat dan setiap zaman memiliki bentuk-bentuk ideologi (wacana) sendiri yang di dalamnya kebenaran-kebenaran itu dibangun. Kebenaran adalah capaian sistem-sistem pengetahuan yang menguasai tatanan sosial yang berisi teknik-teknik, prosedur-prosedur nilai, tipe-tipe wacana, dan teknologi yang dikembangkan. Masalah “kebenaran ideologi” selalu terkait dengan relasi kekuasaan dalam ranah sosial dan politik. “Kebenaran tidak di luar kekuasaan”.27 25 Konrad Kebung, Rasionalisasi dan Penemuan Ide-ide (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008), 162-163 26 Eriyanto, Analisa Wacana (Yogyakarta: LKiS, 2001), 65 27 Foucoult, The History of Sexualiy, hl. 131-133 di kutip dari E. Doyle McCarthy, Knowledge as Culture, (Routledge London & New York, 1996), 37. 130 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” Bagaimana kekuasaan dan kebenaran (ideologi) itu berhubungan satu sama lain. Menurut Foucault, kedua ada di dalam praktek-praktek diskursif, tempat di mana ucapan, tindakan, aturan-aturan yang diterapkan dan alasan-alasan yang di berikan bertemu dan saling berhubungan serta benar dan salah di tentukan di dalamnya. Foucault menunjukkan bahwa kekuasaan tersebar dalam relasi sosial melalui proses diskursif.28 Ideologi memiliki eksistensi material yakni aparatus-aparatus dan praktek-prakteknya, sehingga di dalamnya ideologi bisa hidup. Dalam aparatus dan praktek-praktek inilah ideologi diyakini dan dihayati oleh semua kelompok dan terus mereproduksi kondisi-kondisi dan hubungan tatanan masyarakat yang sudah ada. Ideologi agar dapat diterima, diyakini dan dihayati oleh semua kelompok maka harus di materialkan. Ideologi hidup dalam praktek-praktek kelompok kecil dalam citraan dan obyek yang digunakan dan ditunjuk masyarakat dan dalam organisasi-organisasi.29 Ideologi, menurut Althusser, eksis dalam dan melalui lembaga-kembaga ini. Aparatus adalah eksistensi material ideologi. Ideologi membentuk individu-individu konkrit menjadi subyek. Dalam aparatus-aparatus, ideologi disosialisasikan dan diinterpelasi dalam diri subyek. Interpelasi subyek ini lalu membentuk realitas nampak pada kita sebagai ‘benar’ dan ‘jelas’. Fungsi ideologi lainnya ialah menghubungkan masyarakat satu sama lain dengan suatu dunia dan terutama diri mereka sendiri, ideologi memberikan identitas tertentu.30 Ideologi hidup dan bergerak karena itu manusia selalu hidup 28 Ibid, 39. 29Ibid, 38. 30Althusser adalah pemikir strukturalis kelahiran Algiers Perancis pada 1918. Bergabung dengan Partai Komunis tahun 1948. Karyanya yang berpengaruh adalah For Marx (1965) dan Lenin and Philosophy (1969). Pemikirannya hendaknya mempertemukan Marxisme dengan strukturalisme. http://nurulhuda.wordpress.com/2006/11/26/ideologi-praktek-kebudayaan/. Mark Poster, Existential Marxism in Postwar France From Sartre to Althusser, (Princenton University Press, New Jersey, 1975), 344. The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 131 dalam suatu ideologi dalam reprsentasi tertentu dari dunianya. Dalam praktek-praktek budaya, ideologi direproduksi melalui aparatus-aparatus ideologis sebagaimana ditegaskan oleh Althusser. Jika demikian praktis ideologi memasuki seluruh ruang dalam kehidupan sehari-hari kita secara nirsadar. Ideologi menjadi bagian organik dari seluruh totalitas sosial dan dalam aktifitas keseharian. Ideologi beroperasi di semua lini dan di produksi terus-menerus dalam ritual-ritual dan perkumpulan-perkumpulan, kesenian-kesenian, dan citraan-citraan ideologis di mana representasi-representasi dan kategori-kategori di bangkitkan dan di sebarkan. Oleh karena itu ideologi tidak lagi bisa di pahami sekadar sebagai produk kelas berkuasa atau efek dari kekuatan-kekuatan produksi. Melainkan hasil dari kombinasi berbagai elemen lain dan kekuasaan yang kompleks dan tersebar. Aparatus-aparatus ideologis ini merupakan alat hegemoni yang paling canggih untuk melanggengkan kekuasaan, melestarikan struktur kelas dominan, dan mengabadikan penindasan. Caranya dengan mengusahakan sedapat mungkin agar ideologi itu diyakini oleh seluruh kelas dan kelompok, baik kelas berkuasa maupun yang dikuasai. Menurut Althusser di sinilah ciri-ciri ideologi yang membingungkan itu memainkan peran. Fungsi kelas ideologi adalah bahwa ideologi yang berkuasa adalah ideologi dari kelas yang berkuasa. Ideologi berkuasa membantu kelas penguasa dalam menguasai kelas tereksploitasi memapankan dirinya sendiri sebagai kelas penguasa. 31 Konsep di atas digunakan oleh penulis untuk menganalisa realitas sosial-keagamaan yang terjadi di masyarakat. Yaitu fenomena gejala pergeseran (transisi) ideologi yang terjadi di kalangan aktivis Muhammadiyah ke gerakan FPI di Paciran. Fenomena tersebut di pahami oleh penulis, telah terjadi proses perebutan (dominasi) kuasa (pengaruh sosial-keagamaan) yang berbasis ideologi antara Muhammadiyah dengan gerakan FPI, walau tanNurul Huda, Ideologihttp://nurulhuda.wordpress. com/2006/11/26/ ideologi-praktek-kebudayaan. Lihat Mark Poster, Existential Marxism in Post war France From Sartre to Althusser, (Princenton University Press, New Jersey, 1975), 344. 31 132 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” pa kekerasan melalui proses infiltrasi pengetahuan dan doktrin ajaran masing-masing, tanpa melalui jalan kekerasan fisik atau perjuangan Klas (revolusi). B. “Muhammadiyah Jihadis”: Implikasi Pertarugan ideologi Fenomena transisi ideologi di kalangan aktivis Muhammadiyah ke gerakan FPI di Paciran merupakan potret pergulatan perebutan kuasa ideologi dan sosio-kultur di kalangan organisasi sosial keagamaan di masyarakat untuk berusaha mempengaruhi (dominasi) di antara keduanya. Proses transisi ideologi di sadari maupun tidak, pasti menimbulkan dampak di kalangan Muhammadiyah. Ideologi Islam radikal memiliki potensi menyembar ke kelompok lain termasuk ke Muhammadiyah. Hal ini tentu akan berdampak terhadap posisi Muhammadiyah. Sebab proses tersebut secara berlahan namun pasti akan merubah karakter ideologis maupun sosiologis dakwah Muhammadiyah yang pada akhirnya akan merubah wajah Islam Indonesia. Infiltrasi sosio-ideologi keagamaan dapat datang dari mana saja, bisa datang dari dalam maupun dari luar negeri melalui proses globalisasi. Pengaruh eksternal tersebut, terpotret pada fenomena proses transisi ideologi di kalangan aktivis Muhammadiyah ke gerakan FPI. Di mana kita ketahui ideologi keagamaan yang di usung FPI secara geneologis sangat terkait erat dengan ideologi Islam yang bersumber dari Timur Tengah atau sering disebut dengan istilah “Islam Transnasional”. Karakter ideologi Islam transnasional cenderung mengusung ideologi radikal-fundamentalis. Pergeseran ideologi tidak tampak begitu mencolak di permukaan karena memang proses ini berjalan pelan, samar tapi pasti. Sebagaimana pandangan Eric Kolig yang dikutip Hilmi, secara diam-diam dukungan dan simpati terhadap gerakan Islam radikal sebenarnya dapat tergalang dari kalangan luas melintasi sekat-sekat primordialisme aliran di kalangan internal umat Islam, terutama dikalangan ormas mainstream seperti NU dan Mu- The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 133 hammadiyah.32 Muhammadiyah memang sangat rawan dan mudah terinfiltrasi ideologi Islam radikal. Hal itu disebabkan; Pertama, dengan menasbihkan dirinya sebagai organisasi pembaharu, maka kecenderungan Muhammadiyah lebih terbuka dan responsif dengan isu-isu baru, termasuk perkembangan ideologi-ideologi Islam radikal dari Timur Tengah; Kedua, dengan mengusung gerakan pemurnian (tanzih) yang secara substantif mirip dengan ideologi yang diusung oleh gerakan Islam radikal, maka kesempatan untuk terjadinya proses infiltrasi dan hegemoni sosio-ideologis dalam tubuh Muhammadiyah sangat terbuka. Proses transisi ideologi di kalangan aktivis Muhammadiyah merupakan hasil dari proses infiltrasi yang dilakukan oleh kelompok FPI. Proses tersebut bertujuan untuk malakukan perebutan kuasa ideologi dan kuasa sosial yang selama ini di miliki oleh Muhammadiyah. Maksud perebutan kuasa ideologi adalah dengan adanya infiltrasi ideologi FPI diharapkan para aktivis Muhammadiyah tertarik dan terpengaruh dengan ideologi FPI dan meninggalkan ideologi Muhammadiyah. Kalau tahapan ini sukses maka tahap selanjutnya adalah perebutan kuasa sosial, maksudnya adalah adanya pengausaan terhadap akses dan sumber sosial Muhammadiyah. Proses transisi ideologi yang teramati oleh penulis tampak dari startegi dakwah yang dilakukan kelompok FPI. Diantaranya adalah dengan masuk ke basis/aktivis Muhammadiyah dengan membawa ideologi FPI lewat pengajian, pendidikan, sebaran informasi (majalah, buletin). Strategi dakwah FPI dengan seberan pengetahuan (pengajian, informasi) bertujuan untuk melakukan indoktrinasi ideologi supaya para aktivis Muhammadiyah terpengaruh, baik secara ideologis maupun prilaku sosial keagamaanya. Sebagaimana pandangan Marx bahwa ideologi merupakan alat untuk melaku32 Masdar Hilmy, “Geneologi dan Pengaruh Ideologi Jihadisme Negara Islam Iraq dan Suriah (NIIS) di Indonesia”, Jurnal TEOSOFI, Volume 4, Nomor 2, Desember 2014, 422 134 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” kan dominasi antara kelompok (baca: Muhammadiyah dengan FPI). Walaupun perebutan dominasi tersebut sangat samar dan tanpa kekerasan namun efeknya sangat terasa di kalangan aktivis Muhammadiyah. Perebutan kuasa ideologi yang dilakukan oleh kelompok FPI bertujuan untuk mendapatkan pengaruh kekuasaan dalam arti luas tidak harus politik kekuasaan di masyarakat. Pengaruh paling besar dari proses transisi ideologi adalah melalui jalur kuasa pengetahuan terhadap aktivis Muhammadiyah. Proses ini bertujuan agar terajdi pergeseran pola pikir dan perpindahan basis massa di kalangan Muhammadiyah ke FPI. Sebagaimana pandangan Foucault bahwa pengetahuan/wacana selalu berbanding lurus (berelasi) dengan kekuasaan. Artinya kuasa pengetahuan merupakan alat yang paling efektif untuk mendominasi kelompok lain (Muhammadiyah) tanpa kekerasan. Fenomena transisi ideologi secara umum merupakan potret dari praktik perebutan pengaruh antara Muhammadiyah dengan gerakan FPI di masyarakat. Perebutan dominasi atau kuasa ideologi merupakan proses perebutan dominasi kebenaran ajaran-ajaran keagamaan (FPI) yang dianggap lebih benar daripada ajaran keagamaan Muhammadiyah. Sehingga harapan dari proses perebuatan tersebut ideologi FPI dapat masuk dan menggantikan ideologi Muhammadiyah di kalangan aktivis Muhammadiyah yang selama ini sudah di yakini kebenarannya. Efek dari proses perebutan kuasa ideologi adalah terjadi gejala radikalisasi ideologi di kalangan aktivis Muhammadiyah. Radikalisasi ideologi Muhammadiyah ini kemudian menimbulkan kelompok baru di Muhammadiyah dengan penulis istilahkan “Muhammadiyah Jihadis”.33 33 Muhammadiyah Jihadis adalah gejala radikalisasi di kalangan aktifis Muhammadiyah yang ikut FPI di Paciran Lamongan di mana pola pikir mereka lebih tekstual, formal, dan fundamental dalam melihat relasi agama dengan konteks sosial-politik di masyarakat, mereka muda menjustifikasi pemikiran orang/kelompok lain salah termasuk Muhammadiyah. Dan mereka lebih suka belajar pemikiran-pemikiran para pemikir yang dikenal fundamental, radikal (Abddul Wahab, Abu Bakar The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 135 Gejala ini sudah tampak dengan bergesernya paradigma aktivis Muhammadiyah lebih radikal-formal dalam memahami ajaran Islam dengan konteks sosial. Gejala radikalisai ideologi inilah yang di harapakan oleh FPI di kalangan aktivis Muhammadiyah agar kepentingan-kepentingan politik FPI mudah masuk dan tercapai tanpa harus berbenturan atau berhadapan secara berhadap-hadapan dengan Muhammadiyah. Dampak ideologis merupakan proses perubahan paradigma atau pola pikir aktivis Muhammadiyah terhadap sistem dan karakter ideologi Muhammadiyah yang selama ini diyakini. Kondisi ini tentu sangat berbahaya bagi kelangsungan gerakan Muhammadiyah yang selama ini dikenal memiliki ideologi dakwah yang santun, moderat dan toleran berubah menjadi ideologi dakwah yang berkarakter keras, radikal dan intoleran. Selain itu, berdampak pula pada penggerusan ideologi Muhammadiyah. Proses erosi ideologi Muhammadiyah merupakan sebuah proses melemahnya komitemen dan militansi ber-Muhammadiyah di kalangan aktivis Muhammadiyah. Padahal kekuatan organisasi sosial-keagamaan terletak pada militansi dan komitmen para aktivisnya. Militansi dan komitmen itu dibangun berdasarkan keyakinan akan kebenaran ideologi yang dipegangnya. Begitu juga di Muhammadiyah, ideologi Muhammadiyah merupakan pondasi dasar beraktulisasi diri di Persyarikatan dan masyarakat. Menurut Haedar Nashir, kelahiran Muhammadiyah memiliki keterkaitan dan persentuhan erat dengan ideologi yaitu, ide-ide dan cita-cita tentang masyarakat Islam oleh KH.Achmad Dahlan yang kemudian pada giliranya membentuk alam pikiran dan paradigma (world view) aktivis Muhammadiyah.34 Implikasi transisi ideologi di Muhammadiyah pada gilirannya dapat berdampak pada perubahan wajah Islam Indonesia. Ada dua hal perubahan yang dapat teramati, pertama; perubahan pada karakter ideologi Islam Indonesia. Karakter ideologi Islam Indonesia selama ini dikenal dengan karakter ideologi moderat, Basyier dll) daripada pemikiran-pemikiran Muhammadiyah yang lebih Moderat. 34Haedar Nashir, Kristalisasi Ideologi, 19. 136 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” tawasuth, tawazun atau sering disebut ideologi Islam rahmatalil’alamin. Kemudian berubah karakter berwajah Islam Indonesia yang radikal, ekstrim, tekstual, formalis dan harus serba sama (homogenitas). C. “Arabisme” Wajah Islam Indonesia: Perebutan Kuasa Sosio-Kultur Keagamaan Selain perebuatan kuasa ideologi, dampak transisi ideologi adalah perebutan kuasa sosio-kultur keagamaan. Tahap ini merupakan proses perebutan pengaruh (dominasi) tradisi sosial keagamaan Muhammadiyah dengan tradisi sosial keagamaan FPI. Kelompok FPI menganggap tradisi sosial keagamaannya lebih baik dan sesuai dengan tradisi salaf as-shalih daripada tradisi sosial keagamaan Muhammadiyah yang di anggap kurang mengikuti tradisi salafus as-shalih. Proses ini berdampak pada perubahan pola prilaku, interaksi sosial-keagamaan aktivis Muhammadiyah terhadap sistem dan tradisi sosial-keagamaan Muhammadiyah. Implikasi sosiologis sangat berbahaya bagi kelangsungan gerakan Muhammadiyah yang selama ini dikenal memiliki sistem dan tradisi sosial-keagamaan yang mapan dan baik. Di antara turunan implikasi sosiologis dari proses transisi ideologi yang dapat dipetakan adalah sebagai berikut: a. Mengganggu program kerja dakwah Muhammadiyah. b. Mengganggu sistem kerja organisasi Muhammadiyah terutama pada sistem kerja Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) c. Mencederai tradisi sosial-keagamaan persyarikatan Muhammadiyah, seperti pengajian, pelaksanaan Sholat Idain, dll. Implikasi dari proses perebutan kuasa sosio-kultur keagamaan The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 137 adalah munculnya sikap pembangkangan aktivis Muhammadiyah terhadap aturan, intruksi organisasi persyarikatan Muhammadiyah, mereka lebih patuh dan suka mengikuti intruksi atau aturan organisasi FPI.35 Pembangkangan sikap terhadap tradisi sosial-keagamaan di kalangan aktivis Muhammadiyah, sangat diharapkan FPI supaya kepentingan sosio-politiknya lebih muda masuk dan minimal dapat menguasai dakwah Muhammadiyah di Paciran Lamongan dan di Indonesia pada umumnya. Transisi ideologi di Muhammadiyah berimplikasi pula terhadap perubahan wajah Islam di Indonesia. Artinya wajah Islam Indonesia selama ini diakui atau tidak adalah representasi dari wajah Islam NU dan Muhammadiyah. Sehingga, jika terjadi perubahan wajah keberagamaan Islam di kedua NU-Muhammadiyah, maka secara tidak langsung akan berimbas terhadap wajah Islam Indonesia. Wajah dakwah sebuah organisasi tergantung dari paradigma (ideologi) para pengurus (aktivisnya). Artinya, karakter ideologi seseoarang (aktivis) akan sangat mempengaruhi prilaku sosial yang ditampilkan keseharian di masyarakat (organisasi). Jadi apabila ideologi keagamaaan yang dipahami oleh aktivis (Muhammadiyah) cenderung tekstual, formalis, radikal-fundamentalis, maka kecenderungan besar tampilan prilaku sosial keagamaanya tidak akan jauh berbeda, yaitu kaku, keras, radikal dan intoleran. Dan sebaliknya, apabila paham ideologi keagamaan aktivis toleran, moderat, cinta damai, maka prilaku sosial keagamaan kemungkinan besar yang ditampilkan adalah sikap yang toleran, santun, moderat dan cinta damai. Mengapa, Muhammadiyah memiliki posisi strategis dalam menentukan wajah Islam di Indonesia. Pertama, Azumardi Azra, mengatakan, bahwa Muhammadiyah merupakan produk asli or35Tradisi sosial-keagamaan (manhaj dakwah) FPI yang saat ini digandrungi kativis Muhammadiyah adalah sweeping anti kemaksiatan yang cenderung keras dan kasar. Padahal model dakawah semacam ini tidak dikenal di Muhammadiyah, sebab dakwah Muhammadiyah lebih menekankan pada proses penyadaran. Lihat Haedar Nashir, Kristalisasi Ideologi dan Komitmen BerMuhammadiyah, 19. 138 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” ganisasi sosial-keagamaan yang dilahirkan oleh orang Indonesia dan bersumber dari Indonesia (made in Indonesia). Berbeda dengan organisasi HTI, FPI, MMI, JI, Ikhwanul Muslimin, Lasykar Jihad, Al-Qaedah dll, merupakan produk impor baik secara ideologi, jaringan ataupun aktor intelektual. Sehingga Muhammadiyah lebih dapat memahami “rasa kebatinan”, karakter dan kultur masyarakat Indonesia. Oleh karena itu Muhammadiyah lebih muda diterima oleh masyarakat Indonesia, daripada Ormas Islam produk Timur Tengah yang penuh konflik dan kekerasan. Kedua, Muhammadiyah memiliki peran signifikan dalam proses pembangunan karakter keberagamaan masyarakat Indonesia. Muhammadiyah sejak di lahirkan tahun 1912 sebelum Indonesia merdeka sampai saat ini, masih konsisten dan komitmen mengawal dan memberikan konstribusi bagi kemajuan Indonesia terutama pada lini sosial-keagamaan. Dengan mengusung ideologi moderat-pembaharuan (Tajdid), Muhammadiyah dapat menjaga relasi kehidupan antar umat beragama secara damai, toleran di Indonesia yang sangat plural. Ketiga, Muhammadiyah memiliki sumberdaya dan jejaring sosial yang sangat besar di Indonesia. Muhammadiyah memiliki jumlah anggota (massa) terbesar kedua pasca NU di Indonesia, sekitar + 30-40 Juta orang. Adapun sumberdaya (Amal Usaha) yang dimiliki seperti Sekolahan (TK, SD, SMP, SMA), Perguruan Tinggi, Rumah Sakit, Panti Asuhan, Masjid, dll) adalah terbesar dan terbayak bagi Ormas Sosial-Keagamaan di seluruh dunia. Potensi inilah yang menjadikan Muhammadiyah tidak dapat di pandang remeh di Indonesia. Muhammadiyah adalah kekuatan civil society yang sangat menentukan bagi keberlanjutan Indonesia. Prilaku sosial-keagamaan Islam Indonesia selama ini dikenal prilaku yang santun, ramah, menghargai perbedaan (toleran), egaliter, menghargai tradisi lokal. Berubah pada prilaku sosial-keagamaan yang kasar, garang, tidak menghargai perbedaan (intoleran), diskriminatif pada minoritas dan cenderung pada prilaku ke-Arab-araban (arabisme). Arabisme merupakan fenomena prilaku sosial keagamaan The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 139 masyarakat Indonesia yang meniru tradisi atau gaya prilaku keseharaian dari masyarakat Timur Tengah. Semisal dari segi pakian mereka baik laki-laki atau wanita menggunakan pakian model “Jubah” seperti pakian keseharian masyarakat Arab. Dari segi bahasa mereka suka menggunakan istilah-istilah Arab, seperti istilah “saya” jadi “ana”, istilah kamu jadi “ente” atau “antum”, istilah saudara jadi “akhwat” atau “ikhwan” dan sebagainya.. Selain itu, adalah formalisasi Islam pada tata kehidupan sosio-kultur keseharian di masyarkat, semisal Pengadian Syariah, Wisata Syariah, Kos Syariah, Bank Syariah, Kolam Renang Syariah, Ojek Syariah, TV Islami dan sebagainya. Implikasi transisi ideologi per lahan tapi pasti akan merubah wajah dakwah Muhammadiyah yang dikenal sebagai organisasi Islam yang moderat, toleran, santun dan cinta damai, berubah wajah menjadi gerakan dakwah yang berwajah keras, radikal, fundamental, dan intoleran.36 36Untuk lebih jelas tentang ideologi Muhammadiyah, baca Haedar Nashir, Kristalisasi Ideologi, 7 Deni Al As’ari, Selamatkan Muhammadiyah, 9. 140 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 141 142 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” BAGIAN KEENAM PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut; Proses transisi ideologi di kalangan aktivis Muhammadiyah tidak dapat dipastikan waktu terjadinya, tetapi yang pasti proses tersebut melalui transformasi yang lama. Proses transisi ideologi tersebut dipengaruhi tidak hanya satu faktor tetapi banyak faktor yang saling berkaitan. Faktor tersebut dapat dipetakan pada dua aspek, yaitu aspek sosiologis dan aspek ideologis. Pertama, aspek sosiologis, yaitu aspek yang dipengaruhi dari kondisi eksternal Muhammadiyah. Kalangan aktivis Muhammadiyah meresa resah melihat keadaan sosio-kultur masyarakat Pantura yang semakin jauh dari nilai-nilai ajaran Islam. Prilaku kemaksiatan seolah sudah menjadi hal lumrah dan terkesan dibiarkan tidak ada yang memperdulikan. Pihak-pihak yang harusnya bertanggungjawab (aparat) untuk memberantas kemaksiatan malah menjadi backing dari kemaksiatan. Kedua, aspek ideologis, yaitu aspek yang dipengaruhi dari kritik internal Muhammadiyah. Kalangan aktivis Muhammadiyah meresa jenuh melihat gerakan Muhammadiyah yang dianggap gagap dan terkesan kurang peka terhadap kemungkaran sosial di wilayah sekitar Pantura. Ideologi amar ma’ruf nahi munkar dianggap masih sebatas retorika belum diwujudkan secara total dan belum memiliki formulasi yang jelas. Gerakan Muham- 143 madiyah dianggap terlalu sibuk dengan persoalan Amal Usaha Muhammadiyah dan terkesan merasa puas dengan capain dakwahnya. Sehingga terkesan lambat (gagap) dalam merespon persoalan-persoalan baru yang terjadi di masyarakat. Gerakan Muhammadiyah dianggap bergeser dari gerakan berkultur dakwah cenderung mirip berkultur politik. Gerakan dakwah itu seharusnya adalah, merangkul, mengajak, membina, menasehati, berjiwa besar, ikhlas, tawadhu’, sejuk, ramah, bisa menerima perbedaan (toleran), tradisi “tabayun”, dan sebagainya. Nilai-nilai ini yang di anggap mulai pudar di Muhammadiyah dan terkesan dalam kepemimpinan Muhammadiyah cenderung “like and dislike”,1 dan nampak berorientasi pada materi, mulai lemah pemihakan terhadap masyarakat lemah. Bentuk transisi ideologi di kalangan aktivis Muhammadiyah sebagai berikut: 1) Aktivis Muhammadiyah yang aktif di FPI melihat Muhammadiyah, ada dua respon pertama, respon negatif-disintegratif melihat Muhammadiyah, kedua, respon positif-akomodatif melihat Muhammadiyah. 2) aktivis Muhammadiyah yang tidak ikut FPI melihat gerakan FPI, ada dua respon pertama, respon reaksioner-posistif melihat gerakan FPI, kedua, pandangan reaksioner-negatif melihat FPI. Jalur transisi ideologi yang dijadikan jalan transformasi teramati sebagai berikut: pertama jalur pendidikan lewat pengajian, majelis ta’lim (halaqa) dan tabliqh akbar. Jalur ini merupakan jalur yang effektif dalam proses penyebaran ideologi FPI di kalangan aktivis Muhammadiyah. Kedua, jalur latihan pencak silat. Jalur Pencak Silat sangat masif dan effektif dalam penggalangan massa, sebab kebanyakan kader dan simpatisan FPI merupakan anggota pecak silat. Ketiga, jalur jaringan alumni pesantren Ar-Roudaltul Ilmiyah Model “like and dislike” biasa digunakan dalam tradisi organisasi politik dalam menentukan kepemimpinan ataupun relasi keorganisasian antar anggota, dan ini sangat berbeda dengan tradisi organisasi dakwah yang lebih mengutamakan persaudaraan, kekeluargaan dan kebersamaan walaupun berbeda pandangan. 1 144 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” (YTP) Kertosono-Nganjuk. Lewat jalur ini di sebabkan aktivis Muhammadiyah Paciran banyak berasal dari alumni YTP, termasuk Ketua FPI Ustadz Anshori, sehingga ada ikatan emosional-kultural di antara mereka untuk saling membantu antar sesama alumni termasuk di gerakan FPI. Keempat, jalur alumni Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KB PII). Aktivis Muhammadiyah Paciran banyak dari alumni PII teramsuk ketua FPI, sehingga ada ikatan emosional-kultural di antara mereka untuk saling membantu atau mendukung antar sesama alumni. Media yang digunakan pada transisi ideologi di kalangan aktivis Muhammadiyah secara beragam. Pertama melalui media informasi, di antarnya pamflet, brosur, selebaran, surat himbuan yang berisi tentang informasi kegiatan dakwah FPI, opini dan sikap politik terhadap aksi-aksi kemaksiatan. Kedua, meda cetak, di antaranya majalah atau buletin yang berisi informasi dan doktrinasi ideologi, biasanya langsung dikirim dari FPI Pusat. Buku-buku yang berisi tentang ideologi ahlusunnah wal jama’ah versi FPI, tulisan tokoh-tokoh salafi seperti buku Dialog FPI: Amar Maruf Nahi Mungkar ditulis oleh Habib Rizieq. Ketiga, media aksi sweeping adalah media paling di gemari dan seolah sudah menjadi brand image FPI, artinya ”FPI ya Sweeping”. Transisi ideologi berimplikasi secara sosio-ideologis pada gerakan Muhammadiyah dan wajah Islam di Indonesia. Proses tersebut secara berlahan namun pasti akan merubah karakter ideologi dan prilaku sosio-keagamaan Muhammadiyah dan pada giliranya akan berpengaruh pada wajah Islam Indonesia. Ada dua implikasi, pertama; dampak ideologis, yaitu proses perubahan paradigma, pola pikir, cara pandang aktivis terhadap karakter ideologi Muhammadiyah. Di antaranya penggerusan (erosi) ideologi Muhammadiyah, yaitu melemahnya komitemen dan militansi ber-Muhammadiyah. Kedua; implikasi sosiologis, yaitu proses perubahan pola prilaku, interaksi sosial-keagamaan di Muhammadiyah. Di antarnya,mengganggu program kerja dakwah Muhammadiyah, mengganggu sistem kerja organisasi Muhammadiyah terutama pada sistem kerja Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), mencedThe Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 145 erai tradisi sosial-keagamaan Muhammadiyah yang sudah mempunyai tradisi sendiri. Perebuhan wajah Muhammadiyah gilirannya mempengaruhi “wajah” Islam di Indonesia. Implikasi tersebut sangat mungkin terjadi sebab Muhammadiyah dan NU merupakan salah satu representasi atau barometer gerakan Islam di Indonesia. Artinya wajah gerakan Islam di Indonesia tergantung dari wajah gerakan dari organisasi-organsasi Islam besar yang ada di Indonesia seperti NU-Muhammadiyah. Wajah Islam Indonesia (NU-Muhammadiyah) selama ini lebih di kenal sangat moderat, santun, toleran dan menghargai tradisi lokal, berubah wajah menjadi gerakan Islam Indonesia yang radikal, keras, garang, intoleran, diskrimanitif, anti tradisi lokal dan cenderung berprilaku meniru gaya tradisi masyarakat Timur Tengah atau “prilaku arabisme”. B. Refleksi Gerakan Berdasarkan potret di atas maka di perlukan refleksi gerakan untuk membentengi ideologi Muhammadiyah dari gempuran dan “gerusan” ideologi Islam radikal. Refleksi tersebut harus berorientasi masa depan dan berangkat dari permasalahan yang terjadi dan tantangan problematika dunia global-kontemporer umat Muslim. Langkah ke depan mungkin dapat dijadikan bahan renungan oleh aktivis dan pimpinan Muhammadiyah dalam merumuskan strategi gerakan: Pertama, menyolidkan kembaligerakan, yaitu merapatkan dan melurusakan shaff warga Muhammadiyah yang sering berbelok. Seiring berkembang dan besarnya organisasi Muhammadiyah maka sering terjadi konflik kepentingan untuk berebut dan mempertahankan kekuasaan (Kepala Sekolah, Rektor, Direktur RSM, pergantian Ketua Persyarikatan, dll) baik secara samar mapun terbuka. Konflik tersebut cenderung melemahkan ideologi dan 146 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” militansi ber-Muhammadiyah, karena ketika asyik berkonflik kewaspadaan terhadap infiltrasi atau transformasi ideologi lain ke Muhammadiyah menurun. Sehingga, mendorong percepatan proses radikalisasi ideologi di tubuh Muhammadiyah oleh karena itu diperlukan resoliditasi gerakan Muhammadiyah. Kedua, rekontekstualisasi gerakan, yaitu melakukan progresifitas gerakan Muhammadiyah dengan melakukan rekonstruksi paradigma dan metodologi gerakan Muhammadiyah dalam menghadapi problematika kontemporer-global. Perkembangan pemikiran dan gerakan di dunia Muslim kontemporer memberikan pengaruh luar biasa bagi perkembangan gerakan Islam di Indonesia (Baca: termasuk Muhammadiyah). Sementara, kita masih menggunakan paradigma dan metodologi lama dalam melihat realitas problematika masyarakat Muslim, sehingga tidak heran kita terkesan gagap menghadapinya. Transnasionalisasi gerakan Islam merupakan salah satu wacana dan pusat perhatian dunia Muslim kontemporer. Wacana ini mendorong Pan-Islamisme ideologi gerakan Umat Islam pada satu ideologi politik “Dawlah Islamiyah” dengan system Khilafah Islamiyah. Namun, sayang metode yang di gunakan dengan cara-cara kekerasan dan intoleransi. Ideologi transnasionalisasi di tengarai telah merasuki tubuh Muhammadiyah, maka kedepan perlu kiranya di lakukan untuk rekontekstualiasi gerakan Muhammadiyah agar warga Muhammadiyah tidak merasa terasing dan gagap dengan dunia luar. Ketiga, pribumisasi gerakan, adalah mengembalikan posisi awal Muhammadiyah yang lebih peka, peduli, dan welas asih terhadap probelematika para warganya, terutama pada kalangan kader muda dan kelompok termarginalkan (mustdha’afin). Muhammadiyah terkesan kurang memperhatikan kebutahan dan persoalan yang di hadapi para kader muda Muhammadiyah, sehingga kader-kader muda ini merasa sudah tidak nyaman beraktivitas di Muhammadiyah. Kader-kader muda ini merasa para elite-elite Muhammadiyah “lebih sibuk” mengurus Amal Usaha dari pada merawat “ngaramut” para jama’ahnya (baca; kader muda) sehingga meraka merasa tidak teropeni, sehingga merThe Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 147 eka mencari gerakan Islam alternative. Pelarian ini di lakukan karena di gerakan alternatif (FPI, HTI, MMI, JI), mereka merasa “teropeni” dan diperhatikan kebuthan dan persoalanya. Selain itu, stigma ideologi “welas asih” Muhammadiyah yang dulu menjadi modal gerakan untuk mengembangkan dakwah Muhammadiyah hingga bertahan di usianya yang + 100 tahun mulai bergeser. Muhammadiyah saat ini terkesan “elitis-biokratis” dan cenderung “pragmatis-materialistik” dalam memahami Amal Usaha Muhammadiyah (Rumah Sakit, Sekolahan, Perguruan Tinggi), sehingga kelempok Marginal atau “Mustdha’afin”, semakin menjauh karena tidak mampu menggapainya “melangit”. Padahal, mereka inilah awal dari sasaran dakwah Muhammadiyah yang menjadikan Muhammadiyah bisa berjaya hingga saat ini. Maka, ke dapan saya kira perlu ada pribumisasi gerakan Muhammadiyah dengan tetap memegang teguh teologi alMa’un. 148 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 149 150 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” EPILOG VARIAN IDEOLOGI KEBERAGAMAAN DI MUHAMMADIYAH DARI MODERAT HINGGA RADIKAL Prof. Masdar Hilmy, MA, Ph.D (Pakar Kajian Islam Radikal & Lulusan Institute Islamic Studies Mc Gill University Monteral Canada) Ideologi keberagamaan di Muhammadiyah tidak tunggal (variatif). Secara organisasi, Ideologi Muhammadiyah adalah tunggal sebagaimana dalam buku-buku rumusan ideologi Muhammadiyah.1 Namun dalam proses pemahaman terhadap rumusan ideologi terdapat beragam varian pemahaman di kalangan warga Muhammadiyah. Konsekuensi dari ragam varian pemahaman ideology, berdampak pula pada ragam sikap keberagamaan Ideologi merupakan landasan yang muncul dari pandangan dunia yang di gunakan oleh sekelompok orang untuk menjustifikasi tindakan mereka. Graham C. Kinioch, Ideologi and the social Science (t.tp: Greenwoon Press, 1981), h.78. Dari konsep diatas, iedologi keberagaman Muhammadiyah adalah pandangan dasar (keyakinan) oaring Muhammadiyah yang digunakan untuk menjustifikasi prilakun keberagamaan Muhammadiyah. Rumusan Ideologi Muhammadiyah di antaranya terdapat di Muaqqadimah AD Muhammadiyah, Matan Keyakinan Cita-cita Hidup (MKCH) Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM), AD/ART Muhammadiyah, Khittah Politik Muhammadiyah. 1 151 warga Muhammadiyah di masyarakat. Hal ini dapat teramati dari hasil penelitian Prof Mulkhan di Wuluhan Jembar yang membagi empat varian orang Muhammadiyah dari prespektif sosiologi-keagamaannya. Pertama, Muhammadiyah-Ikhlas, kedua; Muhammadiyah-Kiai Ahmad Dahlan, ketiga; Muhammadiyah-NU (MuNu), keempat; Muhammadiyah-Marhean (MarMud).2 Studi ini di perkuat dari hasil penelitian Biyanto,3 yang menemukan dua varian pemikiran dan sikap Kaum Muda Muhammadiyah terhadap wacana Pluralisme agama. Pertama; kaum muda Muhammadiyah yang menerima (setuju) terhadap Pluralisme agama. Argumentasi yang di gunakan adalah dalam memahami pluralisme agama harus di bedakan dengn pluralitas dan diversitas agama, sebab pluralisme keagaamaan lebih sekedar pengakuan secara pasif terhadap keragamaan keyakinan dan agama lain. Kedua; kaum muda Muhammadiyah yang menolak tegas wacana Pluralisme agama, argumentasi yang di gunakan bahwa pluralisme agama adalah paham yang mengajarkan semua agama benar dan ini bertentang dengan keyakinan bahwa agama yang paling benar di sisi Allah hanyalah Islam bukan yang lain. Artinya dari dua studi di atas, dapat di pahami bahwa antara “teks idealiatas” (teks ideologi Muhammadiyah) dengan realitas prilaku sosial keberagamaan Muhammadiyah itu berbeda, sangat variatif. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa fenomena itu terjadi dan bagaimana model varian ideology keberagamaan di Muhammadiyah? Ada beberapa latar yang teramati, Pertama, Muhammadiyah adalah “teks” realitas sosial keagamaan yang hidup dan dinamis, sehingga terus mengalami dialektika pergerakan dan perubahan di masyarakat. Artinya, Muhammadiyah akan terus di konstruksi oleh para anggotanya untuk di sesuaikan dengan realitas soMunir Mulkhan, Marhaenisme Muhammadiyah:Ajaran dan Pemikiran Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan, (Yogyakarta: Galang Press, 2013), h.221 3 Biyanto, Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan ; Pandangan Kaum Muda Muhammadiyah, ( Malang: UMMpress, 2009), h.251-252 2 152 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” sial kekinian, biar tidak dianggap stagnan, jumud “tradisional”. Apalagi dengan mengusung gerakan pembaharuan Islam (Tajdid), maka semakin mempengaruhi alam berfikir warga Muhammadiyah untuk di tuntut berfikir dan berprilaku modern, dan ini membutuhkan pembacaan ulang terus-menerus terhadap Muhammadiyah. Kedua, posisi struktur sosio-kultur pengikut Muhammadiyah bervariasi. Pada awal berdirinya Muhammadiyah banyak di back up oleh mayoritas pedagang dan priyayi (abdi dalem Keraton Ngayogyokarto), kemudian bergeser pada Pegawai Negeri Sipil (PNS) terutama guru dan dosen yang mayoritas tinggal diperkotaan, sehingga Muhammadiyah lebih cepat berkembang di Perkotaan daripada di Pedesaan. Perkembangan selanjutnya, dakwah Muhammadiyah mulai menyasar masyarakat pedesaan dan beragam komunitas sosial mulai Pekerja Seks Komersial (PSK), Petani, Buruh, Nelayan, Blogger, Eksekutif Muda, Pengusaha Artis dan sebagainya.4 Kondisi ini tentu berdampak bagi Muhammadiyah, mereka mengkonstruksi Muhammadiyah sesuai “alam berfikir” dan latar sosio-kulturnya, sehingga punya warna tersendiri di kalangan Muhammadiyah. Ketiga, ragam pemahaman terhadap pemikiran ideal Kiai Ahmad Dahlan yang di kaitkan dengan realitas sosial. Muhammadiyah adalah wujud dari cita-cita ideal Kiai Ahmad Dahlan dalam membangun masyarakat Islam dengan di landasi pada spirit nilai-nilai Islam, “welas asih” dan reformasi (tajdid).5 Cita-cita ideal inilah yang terus di konstruksi dengan beragam metodologi dan kepentingan untuk menemukan konstruksi se ideal mungkin dengan cita-cita Kiai Ahmad Dahlan dalam menjawab problematika masyarakat. Karena beragama metodologi dan kepentingan, maka secara otomatis hasil konstruksi pemahaman tersePengalaman ini kemudian memunculkan konsep Dakwah Kultural yang kemudian di lanjut dengan konsep Dakah Komunitas. Lebih lengkap baca, PP Muhammadiyah, Model Dakwah Pencerahan Berbasis Komunitas, (Yogyakarta: Gramsurya, 2015) 5 Achmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis; Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal, (Surabaya; LPAM, 2002) 4 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 153 but juga bervariatif. Ragam ini tentu mempengaruhi konstruksi ideal terhadap Muhammadiyah. Keempat, paradigma dan metodologi keilmuan yang berbeda dalam memahami realitas sosial Muhammadiyah dengan problem masyarakat kontemporer. Warga Muhammadiyah beragam latar pendidikan, mulai tidak sekolah sampai Profesor. Polarisasi latar ini berdampak pada paradigma dan metodologi yang digunakan dalam memahami dan menyikapi persoalan di Muhammadiyah. Fenomena ini dapat di amati ada sebagian warga Muhammadiyah yang masih berkutat pada pembahasan hukum Qunut Sholat Shubuh, TBC, Tahlilan, Ziarah Kubur, Tingkepan, dan sebagaianya, namun ada juga yang sudah membahas internasionalisasi Muhammadiyah di aras global. Potret di atas menggambarkan bahwa struktur sosio-kultur warga Muhammadiyah tidak tunggal. Kondisi ini secara alamiah mempengaruhi polarisasi pemahaman dan sikap keberagamaan di internal Muhammadiyah. Artinya, walaupun secara konsep, rumusan ide dan strategi perjuangan (ideologi) di sepakati bersama dan tunggal melalui keputusan organisasi, tetapi dalam proses pemahaman terhadap ideologi bervariatif, sehingga menimbulkan sikap sosial-keberagamaan yang bervariatif. Semisal ada ber-Muhammadiyah dengan paham ideologi Islam Moderat, Islam Puritan, Islam Liberal bahkan Islam Radikal “garis keras”. Polarisasi paham ideologi tersebut juga berpengaruh terhadap pemahaman dan penyikapan diskursus pemikiran Islam di kalangan Muhammadiyah. Wacana hangat yang jadi perdebatan di kalangan Muhammadiyah, pertama; penyikapan terhadap isuisu pemikiran Islam kontemporer, seperti masalah Liberalisme, Sekulerisme, Pluralisme, Geder, HAM, Demokrasi, toleransi antar non-Muslim dan sebagainya. Kedua, penyikapan terhadap relasi Islam dan politik, persoalan ini hingga saat ini masih menjadi perdebatan hangat terutama berkaitan dengan konsep Negara Islam (dawlah Islamiyah), Khilafah Islamiyah, Formalisasi Syariat Islam, dan sebagainya. Ketiga; penyikapan terhadap idealisasi model dakwah amar ma’ruf nahi mungkar di masyarakat, persoalan ini juga menja154 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” di pewacanaan di kalangan aktivis Muhammadiyah, terutama berkaitan dengan aktualisasi dakwah Muhammadiyah di tengah kemungkaran sosial dan problem akibat modernitas dan westernisasi.6 Wacana di atas dipahami dan di konstruksi oleh warga Muhammadiyah secara beragam. Konstruksi itu sangat di pengaruhi oleh konstruksi ideologinya. Pada kajian ini dapat dipotret varian ideologi keberagaman Muhammadiyah dari prespektif pemahaman ideologinya. Pertama; varian ideologi keberagamaan Moderat. Varian ini memahami ideologi Muhammadiyah secara terbuka (inklusif). Maksudnya, keberdaan Muhammadiyah di masyarakat tidaklah sendiri, tetapi berhimpit dengan gerakan sosial keagamaan yang lain (NU, PERSIS, AL-Irsyad, Syiah, FPI, HTI, dll), sehingga harus saling menghormati dan toleran. Kelompok ini terbuka dengan perubahan baru, namun tetap memperhatikan tradisi puritan Muhammadiyah. Kelompok ini mendasarkan pemahamannya pada kaidah Ushul al-Fiqh “al-Mukhafadhatu ‘ala qadhimi al-ashlah wal akhdzu ala jadidi al-ashlah” (Menjaga yang lama yang baik dan mmengambil yang baru yang baik). Varian ini dapat menerima wacana Liberalisme, Sekulerisme, Pluralisme, toleransi namun tidak harus diikuti semua, apabila ada yang baik maka dapat di adopsi dengan tradisi Muhammadiyah. Kedua, varian ideologi keberagamaan puritan. Varian ini memahami ideologi Muhammadiyah secara tertutup (ekslusif), artinya ideologi Muhammadiyah sudah final dan terbaik kebenaranya daripada ideologi keagamaan yang lain. Ideologi Muhammadiyah adalah ideologi yang berdasarkan al-Qur’an Hadits, dan berIslam itu harus “murni” berdasarkan pedoman al6 Arus modernitas berdampak pada pengabaian alam spiritual manusia. Pengabain disebabkan karena orientasi kehidupan modernitas fokus pada pencapain materialisme sehingga “hampa spiritual” atau meminjam istilah Maurice Clavel “the great repressed idea” atau “Tuhan telah menjadi ide dasar yang tertindas” dalam kultural modern. Lihat, A. Syafii Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Jakarta: Mizan, 1993), h.213-214 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 155 qur’an-Hadits dan hasil putusan Tarjih Muhammadiyah. Putusan Tarjih Muhammadiyah dipahami sudah sesuai dengan al-Qur’anHadits, tidak boleh dicampur dengan tradisi Tahayul, Bid’ah dan Khurufat (TBC). Varian ini paling fundamentalis dan konsisiten dalam mempraktekan Islam murni ala Majelis Tarjih, atau pinjam istilah Munir Mulkhan adalah Kelompok “Muhammadiyah Al-Ikhlas”7 atau disebut juga Muhammadiyah “Tus”.8 Ketiga; varian ideologi keberagamaan Liberal. Varian ini memahami bahwa ideologi Muhammadiyah harus di dekonstruksi ulang karena, di anggap kurang relevan untuk dapat menjawab problematika kontemporer. Konsep-konsep ideologi Muhammadiyah di anggap produk masa lalu, sehingga Muhammadiyah dianggap stagnan, ketinggalan, jumud, gagap dan sebagainya. Oleh karena itu jika Muhammadiyah ingin maju “modern”, maka di perlukan dekonstruksi ulang ideologi dengan mengadopsi penuh tradisi Barat. Semisal pemikiran tentang Liberalisme, Sekulerisme, Pluralisme, HAM, demokrasi dan sebagainya. Varian ini melakukan dekonstruksi ideologi Muhammadiyah dengan menggunakan perangkat keilmuan kontemporer, semisal filsafat, sejarah, sosiologi, antropologi, psyikologi, politik dan sebagainya. Keempat; varian ideologi keberagamaan radikal “garis keras”. Kemunculan varian ini dilandasi pada kajian posisi Muhammadiyah dengan penegakkan Syariat Islam (Khilafah Islamiyah) di Indonesia serta wacana aktualisasi ideologi dakwah amar ma’aruf nahi mungkar Muhammadiyah di masyarakat. Pertama; pada wacana penegakkan Syariat Islam Indonesia, varian ini beranggapan ideologi Muhammadiyah tidak tegas dalam memperjuangkan penegakkan Syariat Islam di Indonesia “abu-abu” tidak seperti yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam lainya seperti Hizbut at-Tahrir (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), KISDI, Komite Penerapan Syariat Islam (KPSI) dan sebagainya. Kedua; pada wacana aktualisasi dakwah amar ma’ruf nahi mungkar di masyarakat, varian ini beranggapan ideologi dakwah Muham7 8 156 Munir Mulkhan, Marhaenisme Muhammadiyah, h.221 Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LKiS, 2004),h.240 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” madiyah hanya berkutat pada dakwah “amar ma’ruf” amal baik, namun tidak tegas dan jelas pada aktulaisasi dakwah “nahi mungkar” terkesan gagap dan membiarkan, tidak seperti yang di lakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) yang lebih tegas dan keras dalam dakwah “nahi mungkar”. Konstruksi pemahaman ideologi tersebut menjadikan mereka mengambil langkah dengan mengadopsi ideologi kelompok Islam radikal, bahkan terlibat juga di dalamnya. Sehingga, pola ini kemudian mempengaruhi sikap keberagamaan mereka di Muhammadiyah cenderung radikal dan keras mirip “gaya” kelompok Islam radikal yang dianggap lebih Islami dari pada Muhammadiyah. Demikianlah, dan seterusnya. Apa yang dicabar di muka hanya hendak meneguhkan kontribusi dan signifikansi kehadiran karya akademik Sdr. Sholihul Huda, seorang intelektual muda Muhammadiyah, dalam mengurai dan mengelaborasi keberadaan berbagai modus keberagamaan di tubuh Muhammadiyah yang cukup beragam. Dia telah berhasil mengajak khalayak pembaca untuk tidak terjatuh pada reduskionisme akademik yang jamak dialami oleh para ilmuwan dan masyarakat kebanyakan. Yakni, sikap melakukan generalisasi (sikap ”hantam kromo”, Jawa) atas apapun yang ada di depan mata kita. Sikap semacam ini sungguh tidak mencerminkan sikap yang bijak dan dewasa atas realitas sosial yang begitu kompleks, tidak tunggal atau monolitik. Oleh karena itu, kehadiran karya ini diharapkan akan melahirkan kedewasaan akademik di kalangan khalayak pembaca pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 157 DAFTAR PUSTAKA Abou El Fadl, Khaled. Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (terj), Helmi Musthofa (Jakarta: Serambi, 2006) Adams, Ian. Ideologi Politik. Yogyakarta: Qalam, 2004 Agger, Ben.Teori Sosial Kritis (Kritik, Penerapan, dan Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003 Alaena, Badrun. NU Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 2000 Alfian.Muhammadiyah: the Political Behavior of A Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism. Yogyakarta: Gadja Mada University press, 1989 Ali, A. Mukti. Interpretasi Amalan Muhammadiyah, Jakarta: Harapan Melati, 1986 Ali, As’ad Said. Al-Qaeda; Tinjaun Sosial-Politik, Ideologi dan sepak terjangnya, (Jakarta: LP3S, 2014) Ali, Sayuthi. Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Teori dan Praktek, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000 Althusser, Louis.Tentang Ideologi (terj).Yogyakarta: Jalasutra, 2004 Al As’ary, Deni. Selamatkan Muhammadiyah: Agenda Mendesak. Yogyakarta: Kibar Press, 2009 Al-Jabiri, Muhammad Abid. Agama, Negara dan Penerapan Syariah. Yogyakarta: Pustaka, 2001 Al Zastrow, Ng. Gerakan Islam Simbolik Politik Kepentingan FPI. Yogyakarta: LKiS, 2006 Amin, Darori, Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: 158 Gama Media, 2000 Anam, Choirul. Pertumbuhan dan Perkembangan NU, Solo: Jatayu, 1985 Arifin, Syamsul. Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalisme, Malang: UMM Press, 2005 Arifin. Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah. Jakarta: Bumi Aksara, 1987 Arifin Thoha, Zainal. Runtunya Singgasana Kiai. Yogyakarta: Kutub, 2003 Asrofie, M.Yusron. Kyai Ahmad Dahlan, pemikiran dan Kepemimpinannya, Yogyakarta: Yogyakarta Offset, 1983 As-Shiddieqy, Hasbi. Pengantar Ilmu Fiqih. Jakarta: Bulan Bintang,1967 Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga Post Modernisme. Jakarta: Paramadina, 1996 Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1996Bisri Musthofa, Adib. Tarjamah Shahih Muslim Semarang: As-syifa’, 1992 Beger, Peter L. Langit Suci; Agama Sebagai Realitas Sosial, (Terjemahan Hartono), Jakarta: LP3S, 1991 Biyanto. Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan; Pandangan Kaum Muda Muhammadiyah. Malang: UMMpress, 2009 Boy, Pradana. Islam Dialektis Membendung Dokmatisme Menuju Liberalisme. Malang: UMM Press, 2005 ___________. Era Baru Gerakan Muhammadiyah, Malang: UMM Press, 2008 Budha Kusumandaru, Ken. Karl Marx, Revolusi dan Sosialisme. Yogyakarta: Resit Book, 2003 Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif, Jakarta: Prenada Media Group, 2007 Choueiri, Youssef M (terj). Islam Garis Keras: Melajak akar gerakan Fundamentalsime. Yogyakarta: Qonun Press, 2003 Creswell, Jhon. W. Research Design; Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013 Damanik, Ali Said. Fenomena Partai Keadilan Transformasi The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 159 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia. Bandung Mizan, 2002 Darban, Ahmad Adaby. Sejarah Kauman; Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010 Delong, Natana J. Wahabi Islam: From Revival and Reform Global Jihad. London: Oxford University Press, tt Dhofier, Zamakhsari. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3S, 1994 Effendi, Bachtiar. Teologi Baru Politik Islam. Yogyakarta: Galang Press, 2001 _____________. Islam dan Negara. Jakarta: Paramadina, 1998 Eriyanto.Analisis Wacana. Yogyakarta: LKiS, 2001 Esposito, John L. The Islamic Threat Myth or Reality, Oxford: Oxford University Press, 1992 Fealy, Greg. Jejak Khalifah: pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia Bandung: Mizan, 2005 Fillingham, Lydia Alix. Foucault untuk Pemula. Yogyakarta: 2001 Foucault, Michel. Pengetahuan dan Metode (Karya-Karya Penting Foucault) Bandung: Jalasutra. 2002 _____________. Power/Knowledge: Selected Interview with Michel Foucault” (ed.By Colin Gordon), Pantheon: New York, 1980 _____________. Discipline and Punish. Harmondsworth: Penguin, 1979 Greezt, Clifrod. Religion of Java, Chicago: The Universty of Chicago Press, 1959 Hadjid, RKH. Pelajaran KH A. Dahlan 7 Falsafah Ajarandan 17Kelompok Ayat Al-qur’an, Yogyakarta: LPI PPM, 2008 Hadikusumo, Djarnawi. Aliran Pembaharuan Islam dari Jamaluddin al-Afghani Sampai KH.A. Dahlan. Yogyakarta: Persatuan, tth _____________________. Matahari-Matahari Muhammadiyah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2014 160 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” Hambali, Hamdan. Ideologi dan Strategi Muhammadiyah Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007 Hartini. Kamus Sosisioologi & Kependudukan. Jakarta, Bumi Aksara, 1992 Hisyam, Cought Between Three fires: Javanes Penghulu Under Dutch Colonialism Administarition 1882-1942, (Jakarta: INIS, 2001 Huda, Miftachul. Ikhawanul Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah dan Kibar Press, 2007 Hunter, Shireen T. Politik Kebangkitan Islam Keragaman dan Kesatuan (terj),Ajat Sudrajat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001 Jahroni, Jajang dan Jamhari. Gerakan salafi Radikal di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 2004 Kebung, Konrad. Rasionalisasi dan Penemuan Ide-ide. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008 Kinioch, Graham C. Kinioch. Ideologi and the social Science. t.tp: Greenwoon Press, 1981 Jainuri, A. Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam Di Jawa pada awal abad Ke duapuluh. Surabaya: Bina Ilmu, 1981 Ma’arif, Syafi’I. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3S, 1986 ______________. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Jakarta: Mizan, 1993 Ma’ruf, F. Analisa Akhlak dalam Perkembangan Muhammadiyah. Yogyakarta: Yogyakartaoffset, 1964 Maliki, Zainuddin. Narasi Agung: Tiga Teori Socsal Hegemonik, Surabaya: Lpam, 2004 Marbun, BN. Kamus Politik. Jakarta: Sinar Harapan, 1996 Mas, Subhan. Muhammadiyah pintu Gerbang Protestanisme Islam, Mojokerto: al-Hikmah, 2005 Mua’rif. Meruwat Muhammadiyah. Yogyakarta: Pilar Media, 2005 _____________. Muhammadiyah dan Wahhabisme; Mengurai Titik Temu dan Titik Seteru, Yogyakarta: Suara MuhammadThe Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 161 iyah, 2012 Mulkhan, Abdul Munir (Edit). Api pembaharuan Kiai Ahmad dahlan. Yogyakarta: Multi Press, 2008 __________________________ Islam Murni dalam Masyarakat Petani. Yogyakarta: Bentang, 2000 ____________________MarhaenismeMuhammadiyah: Ajaran dan Pemikiran Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Galang Press, 2013 Musthofa,Adib Bisri. Tarjamah Shahih Muslim, Semarang: As-syifa’, 1992 Moertiyah, Koes, GRAy & Nasarudddin Anshory. Tafsir Jawa Keteladan Kiai Ahmad Dahlan, Yogyakarta: Adiwacana, 2010 Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005 Mustaqim, Abdul & Syahiron Syamsuddin (edit), Studi AlQur’an Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002 Muthohirin, Nafi’. Fundamentalisme Islam: Gerakan dan Tipologi Pemikiran Aktivis Dakwah Kampus. Jakarta: Indostrategi-MultiPresindo, 2014 McCarthy, E. Doyle.Knowledge as Culture. Routledge London & New York, 1996 Nakamura, Mitsuo. ‘The Crescent Arises Over the Banyan Tree: A Study of the Muhammadiyah Movemen in Central Javanese Town” Desertasi, Cornnel University, 1976 Nashir, Haidar. Gerakan Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia. Jakarta: Mizan, 2013 ____________. Kristalisasi Ideologi Muhammadiyah dan Komitmen BerMuhammmadiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007 ____________. Meneguhkan Ideologi Gerakan Muhammadiyah. Malang: UMM Press, cet ke- 2, 2007 ____________. Manifestasi Gerakan Tarbiyah; Bagaimana Sikap Muhammadiyah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2006 162 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” Noer, Dailer: Gerakan Modern Islam di Indonesia Tahun 19001942. Jakarta, LP3S, 1985 Pasha, Musthafa Kamal dan Ahmad Adaby Darban. Muhamamdiyah Sebagai Gerakan Islam. Yogyakarta: LPPI, 2003 Peacock, James L. Gerakan Muhamamdiyah Memurnikan Ajaran Islam di Indonesia. Jakarta: Citra Kreatif, 1986 Pijper, GF. Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1990-1950 (terj), Tudjimah dan Yessy Augustdin, Jakarta: Universitas Indonesia, 1984 Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dakwah Kultural Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2005 _________________________, Kesimpoelan Djawaban Masalah Lima dari beberapa ‘Alim ‘Oelama. Djokdjakarta: Hoofdbestur Moehammadijah, 1942 _________________________, Manhaj Gerakan Muhammadiyah: Ideologi, Khittah, dan Langkah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2009) _________________________, Model Dakwah Pencerahan Berbasis Komunitas, Yogyakarta: Gramasurya, 2015 Poster, Mark. Existential Marxism in Postwar France From Sartre to Althusser, Princenton University Press: New Jersey, 1975 Rahman, Fazlur. Gelombang Perubahan dalam Islam: Studi Fundamentalisme Islam (ter), penerjemah Aam Fahmia (Jakarta: Rajawali Press, 2001), 163 Rahmat, Imdadun. Arus Baru Islam Radika: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia, Jakarta: Erlangga, 2005 Rahyono. Teori sosial dan Politik. Surakarta: UMS Press, 1998 Riberu, JJ, dkk. Menguak Mistos –mitos Pembangunan : Telaah Etis dan Kritis Jakarta: Gramedia. 1986 Riza Ul Haq, Fajar. Membangun Keragaman MeneguhkanPemihakan:Visi Baru Politik Muhammadiyah. Surabaya: LPAM, 2004 RizieqSyihab, Muhammad. Dialog FPI: Amar Maruf Nahi Mungkar. Jakarta: Pustaka Ibnu Sida, 2004 Rosadi,Andri. Hitam-Putih FPI (Mengungkap Rahasia-rahasia The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 163 Mencengangkan Ormas Keagamaan Paling Kontroversial. Jakarta: Nun Publisher, 2008 Roy, Oliver. The Failure of Political Islam (London: I.B Tauris&Co. Ltd, 1994 Sairin, Weinata. Gerakan Pembaruuan Muhammadiyah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1995 Salam, Sholichin. Muhammadiyah dan Kehidupan Islam di Indonesia. Jakarta, NV Mega, 1956 Salam, Yunus. KH. Ahmad Dahlan, Amal dan Perjuanganya. Banten: Al-Wasat, 2009 Saleh,Fauzan. Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX. Jakarta: Serambi, 2004 Sudjak.Muhammadiyah dan Pendirinya. Yogyakarta, Suara Muhammadiyah,1989 Syamsuddin, Syahiron dan Abdul Mustaqim (edit). Studi AlQur’an Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002 Sumaji, Ma’in Abd. Mengembalikan Gerakan : Sejarah IMM Lamongan 1985-2006. Lamongan: IMM Cabang Lamogan, 2006 Syam, Nur. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS, 2004 Syuhadi, Fathurrohim. “ Laporan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Muhammadiyah Kabupaten Lamongan. Lamongan: Naskah, 2004 __________________. Mengenang Perjuangan: Sejarah Muhammadiyah Lamongan. Surabaya: Java Pustaka, 2006 Tim Penulis. Menembus Benteng Tradisi:Sejarah Muhammadiyah Jawa Timur 1921-2004. Surabaya: Hikmah Press, 2005 Tudjimah dan Yessy Augustadin, (terj). Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1990-1950. Jakarta: Universitas Indonesia,1984 Thompson, John. Kritik Ideologi Global: Teori Sosial Kritis Tentang Relasi Ideologi dan Komuniksai Massa.(terj) Yogyakarta: IRCIsod, 2003 _____________. Analisa Ideologi: Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia. (terj), Yogyakarta: IRCIsod, 2003 164 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” Wahyono,Ary. Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. Yogyakarta: Media Gresindo, 2001 Weber, Max. Sosiaologi Agama; A Handbook, Yogyakarta: IRCiSoD, 2012 Weinsheimer, Joel & Donald G Marshall, Truth and Method. New York: Continuum, 1997 Zada, Khamami. Islam RadikalPergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia. Bandung: Mizan, 2003 Jurnal/Artikel/Majalah/Buletin Abaza, Mona. “’Generasi Baru Mahasiswa Indonesia di Al Azhar”, Jurnal Islamika, No. Januari-Maret, 1994 Azra, Azumardi. “Kelompok Radikal Muslim” Jurnal Islamica, Edisi 26 Mei-1 Juni, 2003 Djadijono, M. “Pembangunan Ideologi selama Orde Baru; Problem dan Prospeknya”, Majalah Analisa, Nomor, 9 Tahun, 1985 Hamdani, Ahmad dan Suyuti Abdullah, “Penyimpangan Terhadap pengertian Ahlussunah”, Majalah Salafi, edis XV, Yogyakarta: Yayasan Assunnah, 1997 Hilmy, Masdar, “Geneologi dan Pengaruh Ideologi Jihadisme Negara Islam Iraq dan Suriah (NIIS) di Indonesia”, Jurnal TEOSOFI, Volume 4, Nomor 2, Desember, 2014 Koliq, Eric. “Radical Islam, Islamic Fervour and Political Sentiments In Central Java Indonesia”, Eouropen Journal of East Asian Studies, Nomor, 4 Volume, 1, Tahun, 2005 Nasr, Sayyed Vali Reza. “Reflections on the Myth Reality of Islamic Modernism, Hamdard Islamicus, Volume, 13, Nomor, 1, Tahun, 1990 Muzakki, Ach. . “Importasidan Lokalisasi Ideologi Islam: Ekspansi Gerakan Islam Pinggiran Pasca Soeharto”, Juranal MAARIF, Volume, 2, Nomor, 4, Juni, 2007 Qadir, Zuly. “Gerakan salafi Radikal dalam Konteks Islam Indonesia”, Jurnal Islamica, Volume 3, Nomor, 1, September, 2008 Sukidi,”Etika Protestan Muslim Puritan Muhammadiyah Sebagai Reformasi Islam Model Protestan “ Kompas, 1 Juni 2005 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 165 Sumbulah, Umi. “Agama, Kekerasan dan Perlawanan Ideologis”, Jurnal Islamica, Volume.1, Nomor 1, September, 2006 Thalib, Ja’far Umar. “Mengenal Sejarah dan Pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah”, dalam Buletin Salafi, edisi I, Yogyakarta: Yayasan Assunnah, 1995 http://id.wikipedia.org/wiki/sejarah front pembela islam //.note, akses tanggal 12 Februari 2012 www.fpi.or.id, akses tanggal 12 Februari 2009 http://pdmlamongan.org/index.php. Di akses tanggal 14 April 2009 Taqiyuddin An-Nabhani, Definisi Ideologi,Ideologi dalam http:// id.wikipedia.org/wiki/ideologi//.note. akses tanggal 29 Oktober 2010 Imam An-Nawawi, Syarah Arbai’n An Nawawi, (Hadits Web, http:// opi.11omb.com)// Hafid Saleh, ”Ideologi dalam http://id.wikipedia .org/wiki/ideologi//.note, di akses tanggal, 29 Oktober 2010 http://nurulhuda.wordpress.com/2006/11/26/ ideologi-praktek-kebudayaan, di akses tanggal, 29 Oktober 2010 Azumardi Azra, ISIS Mengancam Kita”, Forum Indonesia Lawyers Club (ILC) TV One, tanggal 24 Maret 2015 www.muhammadiyah.or.id www.lamongan.go.id Narasumber Wawancara Zainal Anshory, (Ketua DPW FPI Lamongan & Aktivis Pemuda Muhammadiyah Paciran, Tanggal 2-3 Juli 2010) Burhanuddin, ( Aktivis Pemuda Muhammadiyah & Simpatsian FPI, 3 Juli 2010, 3 Agustus 2010) Yoyon Suudi, (Aktifis FPI Paciran & Aktivis Pemuda Muhammadiyah, 3 Agustus 2010) Masrur Hadi, (Ketua PC Pemuda Muhammadiyah Paciran, 5 Agustus 2010) Yayang, (Aktifis FPI Paciran & Aktivis Pemuda Muhammadiyah, 3-4 Agustus 2010) Nur Khanif, (Simpatisan FPI Paciran & Aktivis Pemuda Mu- 166 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” hammadiyah & Mantan Aktivis IMM IAIN Sunan Ampel Surabaya, 3-4 Agustus 2010) Nur Fuad, (Mantan Aktivis IMM IAIN Sunan Ampel Surabaya & aktivis Pemuda Muhammadiyah Paciran, 5-6 Agustus 2010) Doni, (Aktifis Pemuda Muhammadiyah Paciran, 10-11 Agustus 2010) The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 167 DAFTAR SINGKATAN AD AKBB : Anggaran Dasar : Aliansi Kebangsaan Kebebasan Beragama Berkeyakinan ART : Anggaran Rumah Tangga AUM : Amal Usaha Muhammadiyah Banser : Barisan Serbaguna BMT : Baitul Mall wa Tamwil BO : Boedi Oetomo DDII : Dewan Dakwah Islam Indonesia DPP : Dewan Pimpinan Pusat DPW : Dewan Pimpinan Wilayah DPD : Dewan Pimpinan Daerah DPC : Dewan Pimpinan Cabang FBR : Forum Betawi Rempug FPI : Front Pembela Islam FKAWJ : Forum Komunikasi Ahlussunah wal Jama’ah FUIPL : Forum Ukhwah Islamiyah Pantura Lamongan GP Anshor : Gerakan Pemuda Anshor HAM : Hak Asasi Manusia HTI : Hizbut at-Tahrir HW : Hizbul Wathan IMM : Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah IM : Ikhwanul Muslimin IPM : Ikatan Pelajar Muhammadiyah ITB : Institute Teknologi Bandung ITS : Institute Teknologi Surabaya 168 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” IPB JAT JI JI JIMM : Institute Pertanian Bogor : Jama’ah Anshor At-Tauhid : Jama’ah Islamiyah : Jama’at al-Islami : Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah KAMMI : Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia KB PII : Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia KPSI : Komite Penerapan Syariat Islam LPI : Laskar Pembela Islam Masyumi : Majelis Syura Muslimin Indonesia MMI : Majelis Mujahiddin Indonesia MKCH : Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup MuNu : Muhammadiyah NU MarMud : Marhaen Muhammadiyah NA : Nasyiatul ‘Aisyiah NU : Nahdlatul Ulama ORMAS : Organisasi Masyarakat PDIP : partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PKS : Partai Keadilan Sejahtera PII : Pelajar Islam Indonesia Persis : Persatuan Islam PHIWM : Pedoman Hidup islami Warga Muhammadiyah PTM : Perguruan Tinggi Muhammadiyah PM : Pemuda Muhammadiyah PMII : Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia PP : Pimpinan Pusat PWM : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah PDM : Pimpinan Daerah Muhammadiyah PCM : Pimpinan cabang Muhammadiyah The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 169 PRM PKB PK PNS PANTURA PSK RSM SI TS TBC UI UMM YTP : Pimpinan Ranting Muhammadiyah : Partai Kebangkitan Bangsa : Partai Keadilan : Pegawai Negeri Sipil : Pantai Utara : Pekerja Seks Komersial : Rumah Sakit Muhammadiyah : Sarekat Islam : Tapak Suci : Tahayul Bid’ah Churafat : Universitas Indonesia : Universitas Muhammadiyah Malang : Yayasan Taman Pengetahuan GLOSARIUM Ahlussunah wal jama’ah: ahli sunnah atau pengikut ajaran sunnah Nabi Muhammad. Sementara Jama’ah yang di maksud adalah merujuk jama’ahnya Nabi Muhammad yang tak lain adalah para sahabat dan generasi selanjutnya seperti tabi’in dan tabiut tabiin. Autentisitas Islam: Artinya keaslian, kemurnian, hal keadaan dapat dipercaya. Secara istilah sebuah kebenaran, bahwa al-Qur’an dan intisari ajaran Islam selalu berkesesuaian di setiap zaman dengan segala perkembanganya, karena Allah maha tahu segela kode etik kehidupan di dunia ini. Dakwah kultural: Adalah konsep strategi melakukan dakwah dengan memperhatikan kondisi obyektif masyarakat yang hendak dirubah. Konsep dakwah kultural senafas dengan pandangan dan sikap Kiai Ahmad Dahlan yang tidak anti-tradisi. Daulah Islamiyyah: Merupakan makna yang di kandung oleh negara Islam merupakan nama dari berbagai tempat 170 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” yang berada ditangan kaum muslimin. Dalam prespektif fiqih, adalah kekuasaan yang tampak pada syiar islam dan kekuatan kaum muslimin. Ekstremisme Islam: Dapat juga disesbut sebagai gerakan teror yang mengancam masyarakat, kelompok lain, atau negara. Dalam melakukan protes, kelompok ini tidak segan-segan memakai cara kekerasan. Gerakan ini berjalan secara tersistem dan mendasarkan segala aksi kekerasaannya berdasarkan keyakinanya terhadap Islam. Formalisasi syariat Islam: Semangat untuk mengamalkan Syari’at Islam secara utuh di samping menformalisasikan melalui Undang-undang (UU) dalam kehidupan sehari-hari (ruang publik). Fundamentalisme Islam: Fenomena global yang menandai kebangkitan umat Islam di dunia. Gerakan ini bertujuan menciptakan tatanan dunia baru melalui kekuatan politik Islam, baik yang memanfaatkan sistem pemerintahan yang sudah mapan (demokrasi) maupun yang berupaya membangun kekuatan melalui kesadaran arus bawah. Gerakan Islam reformis-modernis: Gerakan yang melakukan perubahan-perubahan pemikiran dan aksi sosial yang berorientasi pada kemajuan peradaban modern. Islam moderat: Adalah gerakan Islam yang menjunjung tinggi sikap tasammuh, tawazun, tawasuth, dan menghargai perbedaan (toleran), menjunjung perdamaian, santun dan terbuka dalam berdakwah di masyarakat. Islam ortodoks: Islam yang murni dan asli ketika Islam tersebut di lahirkan. Hal ini di tunjukan dengan mempertahankan doktrin yang murni asli jauh dari penyimpangan atau bid’ah. Ideologi: Ide dasar (konsep berfikir) yang menyeluruh mengenai alam semesta, manusia dan hidup mencakup dua bagian yaitu fikrah dan thariqah. Islam transnasional: Gerakan yang ide awalnya banyak diThe Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 171 adopsi bahkan berjejaring dengan gerakan Islam di Timur Tengah. Kemunculan gerakan Islam transnasional di Indonesia berawal dan di transformasikan dari gerakan Islam Timur Tengah. Ideologi Muhammadiyah: Merupakan sistem paham (paradigama) dalam perjungan melaksanakan gerakan untuk mencapai tujuan Muhammadiyah. Integralistik: Pemikiran yang memahami antara agama dan sosio-politik memiliki kaitan integral yang tidak dapat dipisahkan dan cenderung menerpkan politik Islam secara formal dengan simbol-simbol agama. Jihad: Sebuah upaya sungguh-sungguh untuk menggerakkan segala tenaga, pikiran, dan harta untuk kemajuan Islam melalui dakwah. Jumud: Adalah pikiran dimana tidak bisa melihat sesuatu yang ada lebih luas lagi dan berfikir memang demikianlah adanya. Kebangkitan Islam: Fenomena yang mengisyaratkan menguatnya kecenderungan terhadap formalisasi syariat Islam. Kemunculanya dalam bentuk beragam, mulai dari kehidupan Ibadah, sosial, ekonomi, pendidikan, hukum, budaya dan politik. Semisal muncul istilah lembaga ekonomi Islam (Bank Syari’ah), Islamisasi Hukum Keluarga (UU Perkawinan), Partai politik Islam, Isu Khalifah Islamiyah, UU Sisdiknas dan dipakainya simbol-simbol Islam dalam acara kenegaraan. Khilafah Islamiyah: Kekuasaan yang menerapkan syariat Islam secara sempurna. Sistem yang dipimpin oleh seorang Khilafah yang menjalankan pemerintahan di seluruh dunia. Messianistik: Gerakan mengharapkan janji-janji kebahagian di akherat melalui para pemimpin agama, dalam konteks ini agama bersifat abstrak dan simbolik. Akan tetapi dengan bentuk yang demikian itu dapat menumbuhkan ikatan emosional yang kuat di antara mereka. Pemahaman literalistik: Pemahaman yang mendasarkan pada 172 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” pemahaman keagamaan secara tekstual atas teks-teks sumber ajaran Islam (Al-Qur’an- Hadits). Puritanisme Islam: Mengandung arti memurnikan pemikiran atau ajaran dari segala aspek dari luar yang mencampuri atau mempengaruhi suatu pemikiran atau ajaran tertentu yang dapat menodai kemurnian atau ajaran tersebut. Primordialisme: Sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawah sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya. Radikalisme Islam: Sikap perlawanan atau bentuk protes yang ditujukan kepada negara, komunitas masyarakat maupun umat muslim sendiri karena dianggap melenceng dari Syari’ah Islam. Islam radikal sangat mendekati dengan istilah ekstrimisme Islam, tetapi terminologi ini tidak dalam bentuk kekerasan. Gerakan ini bersikap melawan karena mengartikan kaidah-kaidah Islam secara literal. Revivalisme Islam: Gerakan yang ingin mengembalikan Islam ke dalam keadaanya yang asli dan murni. Karakter umum adalah seputar hijrah dan jihad, sementara karakter khusus adalah a) kembali ke Islam yang murni sebagai sebuah agama tauhid, b) anjuran membuka ijtihad dan melarang taklid buta, c) keharusan hijrah meninggalkan daerah yang di kuasai orang kafir, d) kepercayaan yang kuat terhadap seorang pemimpin tunggal sebagai sang pembaharu atau Imam Mahdi yang di tunggu-tunggu. Salafisme: Sebuah paham yang mengajarkan umat Islam agar mencontoh semua aspek perilaku Nabi Muhammad SAW, para sahabat, tabi’in dan tabi’in tabi’at. Sekuleristik: Pemikiran yang memisahakan antara agama dan sosio-politik secara formal sebab keduanya memiliki peran berbeda dan bahaya kalau dicampur. The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 173 Subtantif: Pemikiran yang memahami bahwa antara agama dan sosio-politik memiliki kaitan tetapi hanya pada nilai (subtansi ajaran) adapun model atau sistem politik tergantung pada kondisi sosio-historis masyarakat Syari’ah Islam: Hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sandi kehidupan umat Muslim. Tajdid: Gerakan yang mengusung ide pembaharuan pemikiran yang berlandaskan pada nalar teologis-kritis. Tanzih: Gerakan yang mengusung ide pemurnian terhadap praktik-praktik keagamaan (ibadah) yang sudah tercampur dengan tradisi masyarakat (bid’ah) dan harus kembali pada praktek agama yang di ajarkan dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Usrah: Sebuah konsep kaderisasi ikhwanul Muslimin yang di adopsi kelompok harakah tarbiyah di Indonesia. Model ini terbingkai dalam halaqah atau daurah yang biasa di adakan di masjid, rumah, kos mahasiswa. Peserta terdiri dari 10-20 mahasiswa dengan satu murabi. Semua aktivisnya di dorong untuk membenihkan berbagai pemikiran Hasan al-Bana dan Sayid Quthb. Wahabisme: Gagasan utama adalah bahwa umat Islam telah melakukan kesalahan dan menyimpang dari jalan Islam yang lurus dan hanya dengan kembali ke satu-satunya agama yang benar mereka akan di terima dan mendapat ridha dari Allah. 174 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” BIOGRAFI PENULIS Dr. Sholihul Huda, SHI, M.Fil.I dilahirkan di “Kota Soto” Lamongan, 29 Juni 1981 dari pasangan H. Atrup dan Hj. Rasmo’ah. Istri Maulida Puji Ayu K, AMd.Keb. Dikaruniai seorang Putri bernama G.H Nadda Ignacia. Dosen Tetap Prodi Studi Agama-Agama (SAA) FAI UMSurabaya. Riwayat pendidikan S1 Politik Islam Fakutas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya (2006), S2 Filsafat Islam Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya (2011), S3 Filsafat Islam Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya (2020). Alumni Pesantren YTP Kertosono Nganjuk (1997), Pesantren Luqmanul Hakim Palembang (2000). Pengalaman organisasi, Ketua OSIS MA Luqmanul Hakim, Ketum IMM Korkom UIN Sunan Ampel Surabaya (2003), Ketua DPD IMM Prov. Jawa Timur (2006), Sekum PW Pemuda Muhammadiyah Jawa Timur (2010), Wakil Sekretaris MEK PW Muhammadiyah Jawa Timur (2014), Anggota Majelis Tabligh PW Muhammadiyah Jawa Timur (2015), Sekum DPD KNPI Jawa Timur (2019). Aktivitas intelektual, Kepala PPAIK UMSurabaya (2020), Anggota DPP Asosisi Studi Agama Indonesia/ASAI (2020), Aggota DPP ALAIK PTM-PTA (2020), Direktur Institute Studi Islam Indonesia/InSID (2020), Pengasuh Kajian Padhang Wetan UMSurabaya. Riwayat penelitian: “Kaum Muda dan Konfliki Agama” (Peran Pemuda Muhammadiyah dan GP Ansor NU dalam mencegah aksi Kekekrasan Agama di Paciran Lamongan) (Th.2013). “Kampung Inklusif” (Studi Model Toleransi Antar Umat Beragama di Desa Balun Lamongan (Th. 2014). “Pengembangan Model Pendidikan Agama The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 175 Berbasis Toleransi di Perguruan Tinggi” (Th. 2016). “Persepsi Mahasiswa Terhadap Gerakan Islam Radikal (ISIS): Studi Mahasiswa di Lamongan” (Th. 2016). “Pandangan Elit Muhammadiyah Jatim Tentang Murtad (Apsotasy) (2017). “Respon Elit Muslim Terhada Perda Syariat di Kota Surabaya” (Th. 2017). “Muhammadiyah Dolly: Strategi Dakwah Komunitas Muhammadiyah Di Kota Surabaya (Th. 2017). Peserta International Confrence “Reactualizing Harmony And Tolerance Among Religious Communities” UIN Yogyakarta Tahun 2015. Karya Buku: Kontributor buku, Muhammadiyah Ahmad Dahlan, (2015). Manifesto Politik Kaum Muda Indoensia: Anti Kekerasan Agama (2018). The Inclusive Village In Indoensia (2019). Untuk korespondensi email; [email protected]. 176 The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” The Clash of IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Pertarungan Ideologi “Moderat Versus Radikal” 177