Academia.eduAcademia.edu

Perkembangan Tasawuf di Nusantara

2023

Sufism as an integral part of Islamic thought has been known to the people of Indonesia for centuries, paralleling the development of Islam at the end of the 12th century. Although various theories have been raised to determine the beginning of the arrival of Islam, the end of the 12th century can be used as the starting point for the development of Sufism in Indonesia. Archipelago. This research is a type of literature research, in which researchers conduct in-depth studies by reading, researching, and analyzing various types of relevant literature. The mass spread of Islam in Indonesia, especially since the 16th century, was colored by the role of the Sufis. From these Sufi teachers who were directly initiated in the Middle East, the tarekat then experienced a spread through their students, to all regions of Indonesia. Sufi figures who influenced the development of Sufism in

Tihamah: Jurnal Studi Islam Vol. 1 No. 1, Juni 2023 https://ejournal.stit-tihamah.ac.id/index.php/tihamah Perkembangan Tasawuf di Nusantara Barlian Fajri* Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Tihamah Cirebon [email protected] *Correspondence Received: June 2023 Accepted: June 2023 Published: June 2023 Abstract Sufism as an integral part of Islamic thought has been known to the people of Indonesia for centuries, paralleling the development of Islam at the end of the 12th century. Although various theories have been raised to determine the beginning of the arrival of Islam, the end of the 12th century can be used as the starting point for the development of Sufism in Indonesia. Archipelago. This research is a type of literature research, in which researchers conduct in-depth studies by reading, researching, and analyzing various types of relevant literature. The mass spread of Islam in Indonesia, especially since the 16th century, was colored by the role of the Sufis. From these Sufi teachers who were directly initiated in the Middle East, the tarekat then experienced a spread through their students, to all regions of Indonesia. Sufi figures who influenced the development of Sufism in Indonesia Keywords: Sufism, Development of Sufism, Archipelago Abstrak Tasawuf sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pemikiran Islam telah dikenal masyarakat Indonesia sejak berabad-abad yang lampau, paralel dengan perkembangan Islam di akhir abad 12. Kendati berbagai teori dimunculkan untuk menetapkan awal kedatangan Islam, namun akhir abad 12 dapat dijadikan tonggak awal perkembangan tasawuf di Nusantara. Penelitian ini adalah jenis penelitian pustaka, di mana peneliti melakukan kajian mendalam dengan membaca, meneliti, dan menganalisis berbagai jenis literatur yang relevan. Penyebaran Islam di Indonesia secara massal, khususnya sejak abad ke-16, diwarnai oleh peranan para sufi. Dari para guru sufi yang langsung diinisiasi di Timur Tengah ini, tarekat kemudian mengalami penyebaran melalui murid-murid mereka, ke seluruh daerah Indonesia.Tokoh-tokoh sufi yang mempengaruhi perkembangan tasawuf di Indonesia Kata Kunci: Tasawuf, Perkembangan Tasawuf, Nusantara PENDAHULUAN Tasawuf sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pemikiran Islam telah dikenal masyarakat Indonesia sejak berabad-abad yang lampau, paralel dengan perkembangan Islam di akhir abad 12. Kendati berbagai teori dimunculkan untuk menetapkan awal kedatangan Islam, namun akhir abad 12 dapat dijadikan tonggak awal perkembangan tasawuf di Nusantara. Azyumardi Azra mengemukakan bahwa penetrasi Islam Copyright © 2023 Barlian Fajri This article is licensed under CC-BY-SA | 34 Perkembangan Tasawuf di Nusantara | Barlian Fajri nampaknya lebih dilakukan para guru pengembara sufi yang sejak akhir abad ke-12 datang dalam jumlah yang semakin banyak ke Nusantara1. Para sejarawan telah mengemukakan bahwa inilah yang membuat Islam menarik bagi orang Asia Tenggara. Perkembangan tasawuf merupakan salah satu faktor yang menyebabkan proses Islamisasi Asia Tenggara dapat berlangsung. Ajaran-ajaran kosmologis dan metafisis tasawuf Ibn „Arabî (w. 1240 M) dapat dengan mudah dipadukan dengan ide-ide sufistik India dan ide-ide sufistik pribumi yang dianut masyarakat setempat.2 Begitu pula, ajaran-ajaran Tasawuf al-Ghazâlî (w. 1111 M) pun dengan cepat diterima masyarakat Asia Tenggara, melalui para guru-guru sufi dan tarekat. Di Jawa ajaran al-Ghazâlî dikembangkan oleh Walisongo, sebagaimana hasil pelacakan sumber oleh Alwi Shihab, yang mengungkapkan bahwa tiada sesuatu dari peninggalan Walisongo yang nyata, dan lebih berharga daripada Primbon, karya al-Sayyid al-„Ârif bi Allâh Ibrâhîm dengan gelar Sunan Bonang yang memuat hakikat pemikiran dan mazhab yang dianut Walisongo dalam aspek-aspek aqîdah, sharî„ah, dan tasawuf.3 Dalam Primbon tersebut tercakup ajaran-ajaran Sunan Bonang yang seluruhnya sesuai dengan aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ„ah, yang di bidang tasawuf mengacu pada ajaran alGhazâlî. Selain Walisongo di Jawa, Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani, Nuruddin alRaniri Nuruddin Ar Raniri (wafat tahun 1658 M ), Abdur Rauf As Sinkili (1615 -1693 M ), Muhammad Yusuf Al makkasary (1629-1699 M). Abdus Shamad al Palimbani. Para pelaku tasawuf atau sufi dari awal hingga di Indonesia memperkenalkan ajaran tasawufnya juga dengan beragam polemik yang terjadi dan berkepanjangan, akan tetapi hal itu tidak menjadi pokok yang dipertentangkan oleh masyarakat.4 METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah jenis penelitian pustaka, di mana peneliti melakukan kajian mendalam dengan membaca, meneliti, dan menganalisis berbagai jenis literatur yang 1 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII Dan XVIII (Bandung: Mizan, 1994). 2 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII Dan XVIII (Bandung: Mizan, 1995). 3 Alwi Shihab, Islam Sufistik: Islam Pertama Dan Pengaruhnya Hingga Kini Di Indonesia (Bandung: Mizan, 2001). 4 Syekh Yusuf al-Makassari, Al-Futuhat al-Ilahiyyah (Jakarta: Perpustakaan Nasional, n.d.). Tihamah: Jurnal Studi Islam, Vol. 1, No. 1, Juni 2023 | 35 Barlian Fajri | Perkembangan Tasawuf di Nusantara relevan. Ini mencakup sumber-sumber seperti, buku-buku, dan penelitian sebelumnya. Pendekatan pustaka memungkinkan peneliti untuk memahami topik secara mendalam melalui tinjauan teliti terhadap berbagai teks yang ada. Dengan mengandalkan referensi pustaka, penelitian ini dapat meliputi rentang waktu yang luas dan mendapatkan pemahaman menyeluruh tentang permasalahan yang diteliti, dengan sumbangan dari berbagai penulis dan ahli di bidang terkait.5 Penelitian, dalam intinya, adalah serangkaian kegiatan ilmiah untuk memecahkan suatu permasalahan. Namun, hasil penelitian tidak langsung menjadi solusi bagi masalah yang ada. Penelitian hanya merupakan bagian dari usaha yang lebih besar dalam menyelesaikan masalah. Fungsinya adalah memberikan penjelasan dan jawaban terhadap permasalahan serta mengusulkan alternatif-alternatif yang bisa digunakan untuk menemukan solusi masalah tersebut.6 HASIL DAN PEMBAHASAN Masuknya Tasawuf Islam Di Nusantara Tasawuf yang datang dan berkembang di kepulauan nusantara adalah tasawuf yang sudah terlebih dahulu dirumuskan oleh para sufi yang ada di Timur Tengah. Para sufi yang menyebarkan ajaran tasawufnya di nusantara tinggal berusaha untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Sufi-sufi tersebut ada yang memang sengaja datang dari luar untuk berdakwah di nusantara dan ada pula putra daerah yang belajar langsung ke Timur Tengah kemudian pulang ke tanah air untuk mengembangkan ajarannya. Sejarah pemikiran tasawuf di Indonesia, Aceh menempati posisi pertama dan strategis, karena nantinya akan mewarnai perkembangan tasawuf di nusantara secara keseluruhan. Menelusuri aliran ini di nusantara, maka hal ini tidak lepas dari andil orang-orang yang melakukan belajar ke negara Timur Tengah. Tasawuf atau sufisme di Nusantara berkembang seiring dengan proses awal perkembangan agama Islam, ketika ia secara intensif diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia. Menurut Fazlur Rahman, sufisme sebenarnya berupa gerakan moral keagamaan yang bersifat esoteris dan bertujuan kesucian moral.7 Namun dalam perkembangannya kemudian, berawal pada abad kedua belas sufisme bermetamorfosis Purwono, “Studi Kepustakaan,” Info Persadha 6, no. 2 (2008): 66–72. Hardani Hardani et al., Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif (Yogyakarta: CV. Pustaka Ilmu, 2020). 7 Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (Islamabad: University of Chicago Press, 1979). 5 6 36 | Tihamah: Jurnal Studi Islam, Vol. 1, No. 1, Juni 2023 Perkembangan Tasawuf di Nusantara | Barlian Fajri menjadi sufisme populer atau agama massa atau tarekat-tarekat sufistik. Walaupun tidak seluruhnya, namun banyak dari sufisme populer tersebut yang sudah menyimpang dari ajaran-ajaran prinsip Islam. Pertumbuhan dan perkembangan tasawuf di Nusantara dimotori oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani, dua tokoh sufi yang datang dari pulau Andalas (Sumatera) pada abad ke 17 M. Pada realitas pengamalannya tasawuf termasuk di Indonesia tergolong pada 2 macam yaitu tasawuf falsafi dan tasawuf akhlaki. Tasawuf falsafi yang dimotori oleh Ibn Araby kaya akan ide-ide pemahaman tentang Tuhan dan tasawuf akhlaki lebih menekankan amal ibadah dan akhlakulkarimah dalam mendekatkan diri pada Tuhan. Tasawuf akhlaki lebih mengalami perkembangan pesat dibuktikan dengan semakin banyaknya masyarakat yang mengikutinya. Kontribusinya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara jelas sekali. Pertama ketekunan dan keyakinan terhadap tarekat telah membentuk jiwa yang kuat dan istiqomah dalam melawan maksiat termasuk melawan penjajah hingga Indonesia merdeka berdaulat.. Selanjutnya pendekatan akhlak mulia sebagai usaha untuk mendekati Allah Swt. (tasawuf akhlaki) juga telah banyak melahirkan insan yang juga berubah baik akhlaknya. Tokoh Tasawuf di Nusantara dan ajarannya Hamzah Fansuri Riwayat Hidup Menurut para ahli sampai saat ini belum ditemukan manuskrip yang menginformasikan masa hidup, asal muasal keluarga, lingkungan, pendidikan kunjungan dan wafatnya Hamzah Fansuri. Kajian terbaru Bargansky diinformasikan bahwa Hamzah Hidup hingga akhir masa pemerintahan Iskandar Muda (1607-1636 M) dan mungkin wafat beberapa tahun sebelum kedatangan Al-Raniry kedua kalinya ke Aceh pada tahun 1637. 8 Namun demikian kebanyakan para ahli memastikan ia lahir di Barus, belajar di sana, lalu mengembara dan kemudian pergi ke Kerajaan Aceh Darussalam dan menjadi pemuka agama di sana, mendampingi raja yang berkuasa. Hamzah hidup pada masa pemerintahan Sultan ‗Alauddin Ri‘ayat Syah (1588-1604 M) sampai awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M).2 Al-Attas menduga bahwa Hamzah Fansuri meninggal sebelum tahun 1607 M. Pendapatnya ini berdasarkan pada sebuah syair pendek yang berjudul Ikatan-ikatan „Ilmu al-Nisa‟. 8 Edward Jamaris and Saksono Prijanto, Hamzah Fansuri Dan Nuruddin Ar-Raniri (Jakarta: Booklet Budaya, 1995). Tihamah: Jurnal Studi Islam, Vol. 1, No. 1, Juni 2023 | 37 Barlian Fajri | Perkembangan Tasawuf di Nusantara Ajaran Tasawuf Hamzah Al-Fansuri Pemikiran Hamzah Al-Fansuri tentang tasawuf banyak di pengaruhi oleh Ibnu Arabi dalam paham wahdah al-wujud-nya, Sadrudin al-Qunawi dan Fakhrudin ‗Iraqi. Sedangkan karangan-karangan syairnya banyak dipengaruhi Fariduddin al-Athar, Jalaludin Rumi, dan Abdur Rahman al-Jami. Sebagai seorang sufi ia mengajarkan bahwa Tuhan lebih dekat dari pada leher manusia sendiri. Tuhan juga tidak bertempat sekalipun sering dikatakan bahwa Dia ada dimana-mana. Ketika menjelaskan ayat fa ainama tuwallu fa tsamma wajhullah (QS. Al-Baqarah : 115) Artinya: dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah9. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui. Ia katakan bahwa kemungkinan untuk memandang wajah Allah dimana-mana merupakan wahdal al-wujud. Para sufi menafsirkan ―wajah Allah‖ sebagai sifat-sifat Tuhan seperti Pengasih, Penyayang, Jalal, dan Jamal. Konsep Wujudiyah Pokok pemikiran Hamzah Fansuri yang paling dikenal adalah wujudiyah. Wujudiyah adalah suatu paham tasawuf yang berasal dari paham wahdah al-wujud Ibnu Arabi yang memandang bahwa alamadalah penampakan (tajalli) Tuhan, yang berarti yang ada hanya satu wujud, yaitu wujud Tuhan, yang diciptakan Tuhan pada hakekatnya tidak mempunyai wujud. Hamzah Fansuri pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 memperkenalkan ajaran tasawuf wujudiyah. Disebut wujudiyah karena membicarakan wujud Tuhan dan wujud manusia atau makhluk-Nya yang lain. Ajaran ini mendapat tantangan dari banyak ulama yang hidup pada masa itu, Melalui Ibnu Arabi inilah Hamzah Fansuri mempelajari konsep wujudiyyah.10 Dalam ajaran tasawuf wujudiyah, ditemukan adanya aspek-aspek yang sama dengan konsep wahdah al-wujud dari Husin bin Umar Al-Hallaj dan Abu Bakar Muhammad bin Ali Muhyi Al-din Al-Hatimi AlAndalusi atau yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Arabi. Mereka mengajarkan bahwa Tuhan seolah-olah sama dengan makhluk-Nya (ittihad) atau Tuhan dapat menitis dan menjelma kepada semua benda ciptaan-Nya. Berdasarkan pandangan ini, banyak peneliti barat yang mengartikan wahdah al-wujud kedua tokoh tersebut dengan panteisme. 9 Kementrian Agama Republik Indonesia, Alquran Dan Terjemah (Bandung: Penerbit J-Art, 2014). Kiki Muhamad Hakiki, “TASAWUF WUJŪDIYYAT: Tinjauan Ulang Polemik Penyesatan Hamzah Fansūrī oleh Shaykh Nūr al-Dīn al-Ranīrī,” Jurnal Theologia 29, no. 1 (September 2, 2018): 25–58, https://doi.org/10.21580/teo.2018.29.1.2400. 10 38 | Tihamah: Jurnal Studi Islam, Vol. 1, No. 1, Juni 2023 Perkembangan Tasawuf di Nusantara | Barlian Fajri Panteisme merupakan paham yang menganggap bahwa Tuhan adalah semua benda atau sebaliknya semua benda adalah Tuhan. Dengan demikian, menurut paham ini, makhluk sama dengan Tuhan. Akan tetapi, akhir-akhir ini banyak sarjana yang tidak menyetujui bahwa konsep wahdah al-wujud sebagai paham panteisme karena paham keesaan dianut pengikut wahdah al-wujud itu mempunyai arti yang lebih, yaitu aspek rohaniah yang amat tinggi, (al-sir fi al-sir). Bagi seseorang yang menjalani taswuf yang sempurna memang dapat merasakan hakikat rantai-rantai rohaniah dengan Tuhan, tetapi manusia bisa sulit memikirkan hal itu karena kebenaran yang ada merupakan kebenaran rasa dzauq dan kasyaf yang merupakan hasil pencapaian dari amalan tasawuf seseorang itu.11 Dalam membicarakan hubungan antara manusia dengan Tuhan, Hamzah Fansuri selalu menggunakan kias dan ibarat, seperti kutipan berikut, “Ada ahli hakikat dua bagi: setengah beranak beristri dan berumah bertanaman, tetapi tiada hatinya lekat kepada tanaman dan pada anak istrinyadi rumah. Apabila hatinya tiada lekat kepada sekalian itu, tiada hijab paddanya sungguh pun ia beranak beristri berumah bertanaman. Jikalau rumahnya dan tanamannnya, tiada ia duka. Jika kerajaan Sulaiman dan Iskandar diberi Allah Ta‟ala akan dia pun tiada ia suka, karena hina dan mulia sama padanya, tiada ia melihat dirinya melainkan Allah Subhanahu wa Ta‟ala juga, karena pada ahli hakikat, wujud sekalian alam, wujud Allah. Apabila sekalian Allah, niscaya daripada-Nya. Seperkara lagi ketika ia memandang di luar dirinya, barang dilihatnya dirinya. Jika dilihatnya barang dipandangnya dirinya juga dipandangnya karena pada ahli hakikat alam dengan dirinya esa juga, tiada dua tiga. Apabila alam sekalian dengan dirinya esa, niscaya barang dilihatnya, seperti sabda Rasulullah SAW “Ra‟itu rabbi bi „annirabbi” artinya kulihat Tuhanku dengan mata rahmat Tuhanku.” Kutipan di atas menunjukkan bahwa hubungan antara manusia dengan Tuhan di mata Hamzah Fansuri sangat erat seperti hubungan dua orang kekasih. Pandangan ini memiliki kesamaan dengan pandangan AlHallaj, yang menganggap Tuhan sebagai kekasihnya.12 Orang banyak menyanggah Fansuri karena paham wihdatul wujud, hulul, ittihad-nya sehingga mengecapnya sebagai seorang yang zindiq, sesat, kafir, dan sebagainya. Akan tetapi, Tuduhan bahwa Hamzah Fansuri telah menempuh jalan sesat telah dibuktikan oleh beberapa ahli bahwa tuduhan 11 Hakiki. Syed Muhammad Naguib Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970). 12 Tihamah: Jurnal Studi Islam, Vol. 1, No. 1, Juni 2023 | 39 Barlian Fajri | Perkembangan Tasawuf di Nusantara itu tidak benar. Di antaranya disebutkan dalam sajak-sajaknya. Hamzah Fansuri malah mengecam para sufi palsu atau penngikutnya-pengikutnya yang menyelewengkan ajaran tasawuf yang benar. Nuruddin Ar Raniri Riwayat Hidup Nuruddin Ar-Raniry Ar-Raniri dilahirkan di Ranir, sebuah kota pelabuhan tua di pantai Gujarat, india. Nama lengkapnya adalah Nurudin Muhammad bin Hasanjin Al-Hamid Asy-Syafi‘I ArRaniri. Tahun kelahirannya tidak diketahui dengan pasti,tetapi kemungkinan besar menjelang abad ke-16. Ia mengikuti langkah keluarganya dalam hal pendidikannya. Pendidikan pertamanya diperoleh di Ranir dan kemudian dilanjutkan ke wilayah Hadhamaut. Ketika masih di negeri asalnya, ia sudah banyak menguasai ilmu agama. Di antara guru yang paling banyak memengaruhinya adalah abu Nafs Sayyid Imam bin Abdullah bin Syaiban, seorang guru Tarekat Rifa‘iyah keturunan Hadhramaut. Pembaruan utamanya adalah memberantas aliran wujudiyah yang di anggap sesat ArRaniry dikenal mula sebagai Syekh Islam yang mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa menentang Aliran wujudiyah. Bahkan lebih jauh ia mengeluarkan fatwa yang mengarah pada perburuan terhadap orang-orang sesat.13 Ar-Raniry dikatakan pulang kembali ke India setelah dia dikalahkan oleh dua orang murid Hamzah Fansuri pada suatu perdebatan umum. Ada riwayat mengatakan dia meninggal di India. Menurut Sirajuddin Abbas, riwayat hidup Syaikh Nuruddin ar-Raniry dapat dijumpai dalam ensiklopedi Ulama-Ulama India berjudul Nuzhah al-Khawatir (dalam bahasa Arab) karangan Abdul Haj Fakhruddin al-Hasany. Di sini disebutkan Syaikh Nuruddin wafat di kampung halamannya sendiri sekitar tahun 1068H. Ajaran Tasawuf Nurruddin Ar-Raniry Pendirian Ar-Raniry dalam masalah ketuhanan pada umumnya bersifat kompromis. Ia berupaya menyatukan paham mutakalimmin dengan paham para sufi yang diwakili Ibn Arabi.Ia berpendapat bahwa ungkapan‖ wujud Allah dan Alam Esa” berarti bahwa alam ini merupakan sisi lahiriah dari hakikatnya yang batin, yaitu Allah, sebagaimana yang dimaksud Ibn ‗Arabi.14 Namun, ungkapan itu pada hakikatnya menjelaskan bahwa alam ini tidak ada. yang ada hanyalah wujud Allah Yang Esa. Jadi 13 Jamaris and Prijanto, Hamzah Fansuri Dan Nuruddin Ar-Raniri. Syed Muhammad Naguib Al-Attas, Raniry and the Wujudiyyah of 17 Th. Century Aceh (Singapore: MMBRAS III, 1996). 14 40 | Tihamah: Jurnal Studi Islam, Vol. 1, No. 1, Juni 2023 Perkembangan Tasawuf di Nusantara | Barlian Fajri tidak dapat dikatakan bahwa alam ini berbeda atau bersatu dengan Allah. Pandangan AlRaniry hampir sama dengan Ibn Arabi bahwa alam ini merupakan tajalli Allah. Namun, tafsiranya di atas membuatnya terlepas dari label panteisme Ibn Arabi.15 Syamsuddin As-Sumatrani Syekh Syamsuddin bin Abdillah as-Sumatrani, sering pula disebut dengan Syamsuddian Pasai. Ia adalah ulama besar yang hidup di Aceh pada beberapa dasawarsa terakhir abad ke-16 dan tiga dasawarsa pertama abad ke-17 Menurut para sejarawan, penisbahan namanya dengan sebutan Sumatrani ataupun Pasai mengisyaratkan adanya dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, orang tuanya adalah orang Pasai (Sumatra). Dengan demikian maka dapat diduga bahwa ia sendiri dilahirkan dan dibesarkan di Pasai. Jika pun ia tidak lahir di Pasai, maka kemungkinan kedua bahwa sang ulama terkemuka pada zamannya ini telah lama bermukim di Pasai bahkan ia meninggal dan dikuburkan di sana. Ia adalah Syaikhul Islam di Kesultanan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1670-1636). Sebagai seorang ulama Tasawuf ia memiliki banyak pengikut.16 Ajaran Tasawuf Syamsuddin Sumatrani Syamsuddin Sumatrani sebagai seorang sufi yang mengajarkan faham wahdatul wujud (keesaan wujud) dengan mengikuti faham wahdatul wujud Ibnu Arabi. Istilah wahdatul wujud itu sendiri sebenarnya bukan diberikan oleh Ibnu Arabi sendiri. Artinya, Ibnu Arabi tidak pernah menyatakan bahwa sistem pemikiran tasawufnya itu merupakan paham wahdatul wujud. Dari hasil penelitian WC. Chittick, Sadr al-Din al-Qunawi (w. 673/1274) adalah orang pertama yang menggunakan istilah wahdatul wujud, hanya saja al-Qunawi tidak menggunakannya sebagai suatu istilah teknis yang independen. Selain al-Qunawi, masih banyak lagi yang menggunakan istilah wahdatul wujud. Namun tokoh yang paling besar peranannya dalam mempopulerkan istilah wahdatul wujud adalah Taqi al-Din Ibn Taymiyyah (w. 728/1328). Ia adalah pengecam keras ajaran Ibnu Arabi dan para pengikutnya. Syeikh Abdul Rauf As-Singkili Abdur Rauf Singkel, yang bernama panjang Syeh Abdur Rauf bin Ali al-Jawi alFansuri al-Singkili, lahir di Fansur, lalu dibesarkan di Singkil pada awal abad ke-17 M. 15 16 Hakiki, “TASAWUF WUJŪDIYYAT.” Taufik Abdullah, Islam Dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987). Tihamah: Jurnal Studi Islam, Vol. 1, No. 1, Juni 2023 | 41 Barlian Fajri | Perkembangan Tasawuf di Nusantara Ayahnya adalah Syeh Ali Fansuri, yang masih bersaudara dengan Syeh Hamzah Fansuri. A. Rinkes memperkirakan bahwa Abdul Rauf lahir pada tahun 1615 M. Ia dilahirkan pada tahun 1001 H (1593 M) dari keluarga ulama. Ayahnya syekh Ali Fansuy ulama terkenal yang membangun dan memimpin Dayah Simpang Kanan di pedalaman singkel. Meskipun mengenai tahun kelahiran beliau juga terjadi berbeda pandangan para ahli sejarah karena tidak ada bukti yang kongkrit tentang tahun kelahiran beliau, ada yang menetapkan tahun 1615 M sebagai tahun kelahiran Syeh Abdurrauf, hal ini didasarkan atas informasi yang menyebutkan bahwa pada tahun 1642 M Syeh Abdurrauf melanjutkan studi belajarnya ke negeri Arab, berdasar informasi di atas membuat alasan bahwa seseorang baru mampu merantau jauh pada umur 25-30 tahun, pendapat ini diterima oleh sebagian ahli sejarah Tasawuf Syekh Abdurrauf Tentang Tasawuf Rekonsiliasi syariah dan tasawuf yang dikembangkan oleh Abdul Rauf dapat diamati dari tiga pilar corak pemikirannya dalam bidang tasawuf, ketiga pokok pemikiran tersebut adalah ketuhanan dan hubungan dengan alam, insan kamil, dan jalan menuju Tuhan (tariqat).17 Aliran Tasawuf yang dikembangkan oleh Syeh Abdurrauf, tarekat Syattariah menjadi penyejukbagi perbedaan yang tajam antara dua aliran wahdatul wujud dan syuhuduyah tersebut. Dari ini ajaran tasawufnya mirip dengan Syamsuddin al-Sumatrani dan Nuruddin al-Raniri, yaitu menganut paham satu-satunya wujud hakiki, yakni Allah. Sedangkan alam ciptaan-Nya bukanlah merupakan Wujud hakiki, tetapi bayangan dari yang hakiki. Menurutnya jelaslah bahwa Allah berbeda dengan alam. Al-Sinkili menpunyai pemikiran tentang zikir. Zikir, dalam pandangan alSinkili, merupakan suatu usaha untuk melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa. Dengan zikir inilah hati selalu mengingat Allah. Tujuan zikir ialah mencapai fana‘ (tidak ada wujud selain wujud Allah), berarti wujud hati yang berzikir dekat dengan wujud-Nya. Ajaran tasawuf al-Sinkili yang lain adalah bertalian dengan martabat perwujudan. Menurutnya, ada tiga martabat perwujudan: pertama, martabat ahadiyyah atau la ta‟ayyun, yang mana alam pada waktu itu masih merupakan hakikat ghaib yang masih berada di dalam ilmu Tuhan. Kedua, martabat wahdah atau ta‟ayyun awwal, yang mana sudah tercipta haqiqat Muhammadiyyah yang potensial bagi terciptanya alam. Ketiga, 17 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, Dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia (Bandung: Mizan, 1995). 42 | Tihamah: Jurnal Studi Islam, Vol. 1, No. 1, Juni 2023 Perkembangan Tasawuf di Nusantara | Barlian Fajri martabat wahdiyyah atau ta‟ayyun tsani, yang disebut juga dengan a‟ayyan al-tsabitah dan dari sinilah alam tercipta. Menurutnya, tingkatan itulah yang dimaksud Ibn‘ Arabi dalam sya‟ir-sya‟nya. Dalam banyak tulisannya, Abdur Rauf Singkel menekankan tentang transendensi Tuhan di atas makhluk ciptaan-Nya. Ia menyanggah pandangan wujudiyyah yang menekankan imanensi Tuhan dalam makhluk ciptaan-Nya. Dalam karyanya yang berjudul Kifayat al-Muhtajin, Abdul Rauf berpendapat bahwa sebelum Tuhan menciptakan alam semesta, Dia menciptakan Nur Muhammad. Dari Nur Muhammad inilah Tuhan kemudian menciptakan permanent archetypes (al-a‗yan alkharijiyyah), yaitu alam semesta yang potensial, yang menjadi sumber bagi exterior archetypes (al-a‗yan al-kharijiyyah), bentuk konkret makluk ciptaan. tidak rusaknya alam. Allah berfirman, ‗Sekiranya di langit dan di bumi ini ada tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak dan binasa.‖ Berangkat dari pengetahuan inilah kemudian ia membicarakan hubungan ontologis atau kewujudan antara Pencipta dan ciptaan-ciptaan-Nya, antara Yang Satu dan ―yang banyak‖, antara al-wujud dan almaujudat. Alam adalah wujud yang terikat pada sifat-sifat mumkinat atau serba mungkin. Oleh karena itu alam disebut sebagai sesuatu selain Al-Haq. Syekh Yusuf Al-Makassari Syekh Yusuf al-Makassari Menurut Lontara warisan kerajaan kembar Gowa dan Tallo, masa kelahiran Syekh Yusuf adalah pada 3 Juli 1628 M, bertepatan dengan 8 Syawal 1036 H. Riwayat atas penetapan tanggal tersebut telah menjadi riwayat tradisi lisan masyarakat di Sulawesi Selatan sehingga semua kajian yang berkenaan dengan masalah itu sudah menjadi kesepakatan. Ayahnya bernama Gallarang Moncongloe, saudara seibu dengan Raja Gowa Sultan Alauddin Imanga‗rang‘ Daeng Marabbia, Raja Gowa yang paling awal masuk Islam dan menetapkannya sebagai agama resmi kerajaan pada tahun 1603 M. Sedang ibunya bernama Aminah binti Dampang Ko‘mara, seorang keturunan bangsawan dari Kerajaan Tallo, kerajaan kembar dengan Kerajaan Gowa. Beliau selama hidupnya dianggap duri dalam daging oleh penjajah barat di Nusantara, terutama Belanda di Batavia (Jakarta).18 Beliau diasingkan ke Ceylon (Sri Lagka) kemudian diasingkan ke Afrika Selatan dan wafat di Cape Town pada tahun 1699M. Tasawuf Syekh Yusuf Al Makasari 18 Syekh Yusuf al-Makassari, Al-Futuhat al-Ilahiyyah. Tihamah: Jurnal Studi Islam, Vol. 1, No. 1, Juni 2023 | 43 Barlian Fajri | Perkembangan Tasawuf di Nusantara Syekh Yusuf al-Makassari dalam kajiannya tidak membedakan antara perkataan tasawuf dan suluk. Beliau menyatakan bahwa istilah tasawuf merujuk kepada kaedah pengalaman syariah semata-mata. Suluk pada hakikatnya adalah merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. melalui pengalaman syariah Islam, yaitu ajaran yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW. Walau bagaimanapun istilah tasawuf biasa juga digunakan merujuk kepada hasil dari pada amal ibadah seseorang hamba.19 Dalam risalah al-Futuhat al-Ilahiyyah, Syekh Yusuf memperincikan rukun tasawuf kepada sepuluh perkara, yaitu: 1) tahrid al-Tauhid, yang bermaksud memurnikan ketauhidan kepada Allah, dengan memahami makna keesaan Allah mengikuti kandunagn surat al-Ikhlas. Di samping itu, dalam meyakini keesaan Allah, mesti dijauhi dari sifat tasybîh dan tajsîm. 2) Faham al-Sima‟i, yang bermaksud memahami tata cara menyimak petunjuk dan bimbingan Syekh mursyid dalam menjalani pendekatan diri kapada Allah yang menuju pada tuntutan Islam yang benar. 3) Husn al-„Ishra, yang bermaksud memperbaiki hubungan silaturrahim dalam pergaulan (muasarah). 4) Ithar al-Ithar, yang bermaksud mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri demi mewujudkan persaudaraan yang kukuh. 5) ark al-Ikhtiyar, yaitu bermaksud berserah diri kepada Allah tanpa i‟timad kepada ikhtiar sendiri. 6) Sur‟at al-Wujd, yang bermaksud memahami secara pantas suara hati nurani (wujudan) yang seiring kehendak al-Haq (Allah). 7) al-Kahf „an al-Khawâtir, yang bermaksud mampu membedakan yang benar dan yang salah. 8) Kathrat al-Safar, yang bermaksud melakukan perjalanan untuk mengambil i‘tibar dan melatih ketahanan jiwa. 9) Tark al-Iktisab, yang bermaksud tidak mengandalkan usahanya sendiri, akan tetapi ia lebih bertawakal kepada Allah Yang Maha Kuasa setelah ia berusaha. 10) Tahrîm al-Iddihâr, yang bermaksud tidak mengandalkan pada amal yang telah dilakukannya melainkan tumpuan harapannya hanyalah kepada Allah. Syekh Abdusshomad Al Falembani Menurut Azyumardi Azra yang merujuk pada sumber-sumber Melayu menyatakan, nama lengkap Al-Palimbani adalah ‗Abd Al-Shamad bin ‗Abd Allah AlJawi Al-Palimbani, tetapi menurut sumber-sumber Arab nama lengkap Al-Palimbani adalah Sayyid ‗Abd Al-Shamad bin ‗Abd Al-Rahman Al-Jawi. Sedangkan dalam Ensiklopedi Mini Sejarah & Kebudayaan Islam menyebutkan bahwa Syekh ‗Abd Al19 Syekh Yusuf al-Makassari. 44 | Tihamah: Jurnal Studi Islam, Vol. 1, No. 1, Juni 2023 Perkembangan Tasawuf di Nusantara | Barlian Fajri Shamad Al-Palimbani adalah seorang Ulama putra Indonesia yang berasal dari Palembang. Nama ayahnya adalah Syekh ‗Abd Al-Jalil bin Syekh ‗Abd Al-Wahab bin Syekh Ahmad Al-Madani. Syekh ‗Abd Al-Jalil merupakan salah seorang Muhajir yang berasal dari Yaman yang pada tahun 1112 H. atau 1700 M. menjabat sebagai mufti Kesultanan Kedah di Semenenjung Melayu. Mengenai kematian Al-Palimbani, Azyumardi Azra yang merujuk pada Al-Baythar menyatakan bahwa Al-Palimbani meninggal dunia setelah 1200 H./1785 M. Tetapi kemungkinan besar dia meninggal dunia setelah 1203 H./1789 M., yaitu tahun ketika dia menyelesaikan karyanya yang terakhir dan paling popular, Sayr Al-Salikin. Ketika dia menyelesaikan karya ini, mestinya umurnya adalah 85 tahun. Dalam Tarikh Salasilah Negri Kedah, diriwayatkan dia terbunuh dalam perang melawan Kerajaan Thai pada 1244 H./1828 M. Tetapi, menurut Azyumardi Azra, penjelasan ini sulit diterima karena tidak ada bukti dari sumber-sumber lain yang menunjukkan Al-Palimbani pernah kembali ke Nusantara. Selain itu, waktu itu mestinya umurnya sudah 124 tahun, usia yang terlalu tua untuk ikut terjun ke medan perang. Meski Al-Baythar tidak menyebutkan di mana Al-Palimbani meninggal dunia, ada kesan kuat dia meninggal di Arabia.20 Tasawuf Al falembani Pada masa Al-Palimbani, sudah ada tiga macam ajaran mengenai ketuhanan yang dianggap benar semuanya: pertama, ajaran ketuhanan dalam ilmu usuludin yang tidak mengakui adanya Tuhan selain Allah; kedua, ajaran fana dalam tauhid yang memandang bahwa yang ada hanya Allah; ketiga, ajaran wahdatul-wujud yang menganggap bahwa alam semesta ini adalah penampakan lahir Allah. Dalam pandangan Al-Palimbani, ketiga ajaran ini tidak berlawanan satu sama lain, sehingga ketiga-tiganya diuraikan dalam menerjemahkan penjelasan Al-Ghazali tentang akidah Ahli Sunnah yang antara lain adalah sebagai berikut: ―Bahwasanya Allah Taala itu wahidun la syarikalah, artinya; Yang Esa, tidak (yang) menyekutui bagi-Nya, qadiman la awwalun lah, artinya: Sedia tiada yang mendahuluinya bagi-Nya, abadiyyun la nihayatalah, artinya : Yang Berdiri dengan sendiri-Nya, tiada yang memutuskan bagi-nya. Syeikh Nawawi al-Bantani Kiki Muhamad Hakiki and Diparakhmawan Al Idrus, “Diskursus Tasawuf Di Barat (Membaca Pemikiran Martin Lings),” Al-Adyan: Jurnal Studi Lintas Agama 13, no. 2 (2018): 231–60, https://doi.org/10.24042/ajsla.v13i2.3297. 20 Tihamah: Jurnal Studi Islam, Vol. 1, No. 1, Juni 2023 | 45 Barlian Fajri | Perkembangan Tasawuf di Nusantara Syeikh Nawawi al-Bantani terlahir dengan nama asli Abu Abdullah al-Mu‘thi Muhammad Nawawi bin Umar, Nawawi dilahirkan di desa Tanara, kecamatan Tirtayasa, Banten bagian utara pada tahun 1230 H atau 1814 M.40 Nawawi merupakan sulung dari tujuh bersaudara putra dari Syaikh Umar bin Arabi al-Bantani dan Zubaedah yang merupakan salah satu keturunan dari Raja Pertama Banten, yakni Sultan Maulana Hasanuddin, Syeikh Nawawi meninggal pada di Makkah pada usia 84 tahun pada tanggal 25 Syawal 1314 H atau 1897 M dan dimakamkan di dekat makam Istri Rasulullah SAW, Siti Khodijah. Nawawi wafat pada saat menyusun sebuah tulisan yang menguraikan tentang kitab Minhajut Thalibin karya Yahya ibn Syaraf ibn Mura ibn Hasan ibn Husain. Sebagai tokoh kebanggan umat Islam di Jawa khususnya Banten, setiap akhir syawal pun masyarakat selalu memperingati Haul sebagai bentuk cinta dan untuk mengenang Syeikh Nawawi.21 Tasawuf Syekh Nawawi Al Banteni Dalam pemahaman tasawuf, Syaikh Nawawi merupakan tokoh sufi beraliran Qadiriyah. Aliran ini mendasarkan pemahaman pada ajaran Syaikh Abdul Qadir al-Jilani (w. 561 H/1166 M). Pada ranah tasawuf, Syaikh Nawawi menulis kitab Salalim alFudhala‘, yang didasarkan pada teks pelajaran tasawuf Hidayah al-Adzkiya (ila thariq alauliya), karya Zain ad-Din al-Malibari yang ditulis pada 914 H/508 M. Kitab ini sangat populer di pesantren-pesantren tanah Jawa, bahkan disebut dalam rangkaian kisah Serat Centini. Kitab lain dalam bidang tasawuf, yakni Mishbah ad-dhuln ‗ala Manhaj al-Atan fi tabwibil hukm (1314 H). tidak ada pada Allah. Dari kitab-kitab yang ditulis Syaikh Nawawi, terlihat bahwa beliau berhasil memperkenalkan teologi Asy‘ari dalam sistem pemikiran kaum muslim negeri ini, terutama transmisi pengetahuan melalui komunitas pesantren.22 Syaikh Nawawi juga membahas tentang dalil naqly dan aqly, yang menurut beliau harus digunakan bersama-sama. Jika terjadi pertentangan di antara keduanya, maka dalil naqly harus didahulukan. Menurut Syaikh Nawawi, menjadi kewajiban seorang muslim untuk memahami keesaan Allah dengan memahami dalil-dalil yang menjadi petunjuk keberadaan dan kemahabesaran Sang Khalik. 21 22 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, Dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia. Kafrawi Ridwan, Ensiklopedia Islam, vol. 4 (Jakarta: PT Ictiar Baru Van Hoeve, 1993). 46 | Tihamah: Jurnal Studi Islam, Vol. 1, No. 1, Juni 2023 Perkembangan Tasawuf di Nusantara | Barlian Fajri Bagi Syaikh Nawawi, pemikiran-pemikiran dalam bidang tasawuf yang disampaikan dalam karya-karyanya, berakar dari telaah sekaligus petualangan batinnya. Ia mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat sebagai laut dan hakekat merupakan intan dalam lautan yang hanya dapat diperoleh dengan kapal yang berlayar di samudra luas. Menurut Syaikh Nawawi, syariat dan tarekat merupakan awal perjalanan seorang sufi, sementara hakikat merupakan hasil dari syariat dan tarekat. Dengan demikian, Syaikh Nawawi menilai bahwa laku tarekat menjadi jembatan menuju hakikat, asalkan tidak bertentangan dengan syariat. Pemikiran Syaikh Nawawi agak berbeda dengan beberapa sufi Nusantara, semisal Hamzah Fansuri, Nuruddin ar-Raniri dan Abdurrauf as-Singkili. Syaikh Nawawi lebih dekat pada pemahaman tasawuf Imam alGhazali, dalam memandang sinergi tarekat, syariat dan hakikat. Dengan demiakian, tasawuf bagi Syaikh Nawawi sebagai jembatan untuk memperbaiki adab, etika manusia. Dari perspektif ini, dapat dipahami bahwa penguasaan ilmu lahiriyah semata tanpa penguasaan ilmu batiniyah akan berakibat pada terjerumusnya manusia dalam kefasikan. Sedangkan, penguasaan ilmu bathin semata tanpa ada perimbangan ilmu lahiriyah, hanya akan menjadikan manusa terjebak pada perilaku.23 SIMPULAN Penyebaran Islam di Indonesia secara massal, khususnya sejak abad ke-16, diwarnai oleh peranan para sufi. Dari para guru sufi yang langsung diinisiasi di Timur Tengah ini, tarekat kemudian mengalami penyebaran melalui murid-murid mereka, ke seluruh daerah Indonesia. Hal ini berlangsung hingga abad ke-18. Beriringan dengan menyebarnya ajaran tarekat sebagai doktrin dan metode taqarrub kepada Tuhan yang terjadi pula transformasi tarekat menjadi organisasi berbasis massal. Ini ditandai dengan semakin bertambahnya pengikut awam ke dalam setiap tarekat, dan dengan demikian terbentuk satu jaringan yang semakin luas. Konsekuensi paling signifikaan dari fenomena ini adalah dimungkinkannya mobilisasi massal, sebagaimana sering terlihat dalam sejarah perlawanan terhadap Belanda, pada abad ke-19 dan 20. Pertumbuhan dan perkembangan tasawuf selanjutnya menyebabkan tumbuh suburnya tarekat di Indonesia merupakan salah satu variabel penting yang menyemarakkan aktivitas keagamaan di Nusantara terutama dalam perlawanan menyerang dan mengusir penjajah hingga merebut 23 Syed Muhammad Naguib Al-Attas, Raniry and the Wujudiyyah of 17 Th. Century Aceh. Tihamah: Jurnal Studi Islam, Vol. 1, No. 1, Juni 2023 | 47 Barlian Fajri | Perkembangan Tasawuf di Nusantara kemerdekaan. Perkembangan tarekat hingga kini telah melembaga (organisasi) dan dikikuti oleh mobilisasi massa dimana-mana. Tokoh-tokoh sufi yang mempengaruhi perkembangan tasawuf di Indonesia, di antaranya Hamzah Al-fansuri, Nurudin Ar-raniri, Syehk Abdul rauf As-sinkili, dan Syek Yusuf Al-Makasari. Tokoh-tokoh sufi tersebut mempunyai pemkiran-pemikiran yang beragam. Pemikiran-pemikiran Al-Fansuri tentang tasawuf banyak dipengaruhi Ibn ‗Arabi dalam paham wahdat wujud nya. Sebagai seorang sufi, ia mengajarkan bahwa Tuhan lebih dekat daripada leher manusia sendiri, dan bahwa Tuhan tidak bertempat, sekalipun dikatakan bahwa ia ada di mana-mana. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufik. Islam Dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1987. Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII Dan XVIII. Bandung: Mizan, 1994. ———. Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII Dan XVIII. Bandung: Mizan, 1995. Hakiki, Kiki Muhamad. “TASAWUF WUJŪDIYYAT: Tinjauan Ulang Polemik Penyesatan Hamzah Fansūrī oleh Shaykh Nūr al-Dīn al-Ranīrī.” Jurnal Theologia 29, no. 1 (September 2, 2018): 25–58. https://doi.org/10.21580/teo.2018.29.1.2400. Hakiki, Kiki Muhamad, and Diparakhmawan Al Idrus. “Diskursus Tasawuf Di Barat (Membaca Pemikiran Martin Lings).” Al-Adyan: Jurnal Studi Lintas Agama 13, no. 2 (2018): 231–60. https://doi.org/10.24042/ajsla.v13i2.3297. Hardani, Hardani, Helmi Andriani, Ria Istiqomah, Dhika Sukmana, Roushandy Fardani, Nur Auliya, and Evi Utami. Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif. Yogyakarta: CV. Pustaka Ilmu, 2020. Jamaris, Edward, and Saksono Prijanto. Hamzah Fansuri Dan Nuruddin Ar-Raniri. Jakarta: Booklet Budaya, 1995. Kementrian Agama Republik Indonesia. Alquran Dan Terjemah. Bandung: Penerbit JArt, 2014. 48 | Tihamah: Jurnal Studi Islam, Vol. 1, No. 1, Juni 2023 Perkembangan Tasawuf di Nusantara | Barlian Fajri Martin van Bruinessen. Kitab Kuning, Pesantren, Dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia. Bandung: Mizan, 1995. Purwono. “Studi Kepustakaan.” Info Persadha 6, no. 2 (2008): 66–72. Rahman, Fazlur. Islamic Methodology in History. Islamabad: University of Chicago Press, 1979. Ridwan, Kafrawi. Ensiklopedia Islam. Vol. 4. Jakarta: PT Ictiar Baru Van Hoeve, 1993. Shihab, Alwi. Islam Sufistik: Islam Pertama Dan Pengaruhnya Hingga Kini Di Indonesia. Bandung: Mizan, 2001. Syed Muhammad Naguib Al-Attas. Raniry and the Wujudiyyah of 17 Th. Century Aceh. Singapore: MMBRAS III, 1996. ———. The Mysticism of Hamzah Fansuri. Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970. Syekh Yusuf al-Makassari. Al-Futuhat al-Ilahiyyah. Jakarta: Perpustakaan Nasional, n.d. Tihamah: Jurnal Studi Islam, Vol. 1, No. 1, Juni 2023 | 49