P-ISSN: 2615-7586, E-ISSN: 2620-5556
Volume 7, (1), 2024
licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License
http://publishing-widyagama.ac.id/ejournal-v2/index.php/yuridika/
Konsep Pentahelix Pada Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil
Shisca Elvetta1, Tarsisius Murwadji2, Etty Mulyati3
1Fakultas
Hukum, Ilmu Hukum, Universitas Padjadjaran,
[email protected]
2Fakultas Hukum, Ilmu Hukum, Universitas Padjadjaran, Indonesia
3Fakultas Hukum, Ilmu Hukum, Universitas Padjadjaran, Indonesia
ABSTRACT
MANUSCRIPT INFO
Empowerment according to Article 1 Number 8 of the MSME Law, is defined
as an effort by the central government, regional governments, the business
world, and the community in a synergistic manner. However, the fact that the
implementation of the empowerment of digital micro and small enterprises
(MSEs) in the marketplace by these stakeholders has actually become an
inhibiting factor for the success of the programs carried out. As a result, the
empowerment of the implementation program has not provided optimal
results for the development and growth of digital MSEs in the marketplace.
This research is based on a normative juridical approach and then analyzed
by qualitative juridical methods. The specification of this research is analytical
descriptive in order to describe the relationships between relevant
stakeholders in providing support for the digital MSE empowerment program
in the marketplace which is reviewed based on regulations and
implementation in practice. The results of this study found that, first, the
implementation of digital MSE empowerment in the marketplace by the
government, the business world, universities, and communities is still partial
and sectoral, resulting in overlapping programs. Second, the application of the
Pentahelix concept to efforts to empower digital MSEs in the marketplace can
be done by establishing the Pentahelix Institution, which is an entity that forms
cooperative relationships between five stakeholders, consisting of the
government, the business world, academia, the public, and the media.
Furthermore, the formation of these institutions needs to be set forth in the
form of laws and regulations.
Manuscript History:
Received:
2023-06-19
Cite this paper
Elvetta, S., Murwadji, T., & Mulyati, E. (2024). Konsep
Pentahelix Pada Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil.
Widya Yuridika: Jurnal Hukum, 7(1).
Accepted:
2024-03-12
Corresponding Author:
Shisca Elvetta,
[email protected]
.id
Keywords:
Empowerment of digital
MSEs; Institutional;
Marketplace; Pentahelix
Widya Yuridika: Jurnal
Hukum is Licensed under a
Creative Commons
Attribution-ShareAlike 4.0
International License
Layout Version:
v.7.2024
PENDAHULUAN
Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan salah satu pilar
perekonomian nasional yang masih perlu untuk diberdayakan. Secara eksplisit, pelaksanaan
pemberdayaan UMKM diamanatkan dalam Ketetapan MPR Nomor XVI/MPR/1998 yang
menyatakan bahwa UMKM harus memperoleh kesempatan utama, dukungan, pelindungan,
dan pengembangan seluas-luasnya sebagai wujud keberpihakan kepada kelompok usaha
ekonomi rakyat. Hal tersebut sejatinya tidak terlepas dari kondisi UMKM di Indonesia yang
hingga saat ini masih mengalami sejumlah tantangan dan kendala untuk berkembang.
Bahkan perkembangan struktur UMKM di Indonesia dapat dikatakan mengalami fenomena
179
Widya Yuridika: Jurnal Hukum, Volume 7 (1) 2024
stagnantasi selama beberapa tahun terakhir. Artinya, tidak terjadi pergeseran skala usaha
UMKM dari mikro ke kecil, kecil ke menengah, maupun dari menengah ke besar.
Pada tahun 2019, mayoritas usaha di Indonesia dapat dikategorikan sebagai usaha
mikro dan kecil dengan jumlah 64,6 juta unit atau 98,67% untuk usaha mikro dan 798.679
unit atau 1,22% untuk usaha kecil dari total keseluruhan UMKM yang ada. 1 Ditambah lagi,
pada tahun 2021 pemerintah membuat perluasan kriteria UMKM dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan
Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (PP No. 7 Tahun 2021) yang menyebabkan
skala usaha UMKM yang sebelumnya masuk dalam kriteria menengah bergeser menjadi
kecil dan dari skala usaha kecil menjadi mikro. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan
mayoritas usaha dan perluasan kriteria tersebut, penelitian ini akan difokuskan pada skala
usaha mikro dan kecil (UMK).
Berkembangnya ekonomi digital yang diikuti dengan peningkatan transaksi melalui
perdagangan secara elektronik menjadi sebuah peluang sekaligus tantangan bagi pelaku
UMK. Berdasarkan Survei Katadata Insight Center, kehadiran marketplace di Indonesia telah
memberikan berbagai manfaat, diantaranya memperluas jaringan usaha (72%),
mempermudah interaksi dengan konsumen (65%), hingga meningkatkan akses terhadap
penjualan ekspor (19%).2 Mirisnya, belum banyak pelaku UMK yang memiliki kesiapan
melakukan adaptasi dan digitalisasi terhadap bisnis dari yang semula konvensional menjadi
UMK digital. Hal itu dapat terlihat dari pendataan yang dilakukan oleh Deloitte Access
Economi, di mana tidak sedikit pelaku UMK yang belum familiar dengan pemanfaatan
teknologi digital, yaitu sekitar 36% UMK di Indonesia belum tersambung dengan teknologi
digital (termasuk internet), 37% sudah menjalankan usahanya secara online dengan tingkat
yang sangat mendasar (komputer atau akses broadband), 18% memiliki kemampuan
dengan tingkat menengah (menggunakan media sosial), dan hanya 9% yang memiliki
kemampuan lanjutan (menggunakan e-commerce).3
Menyikapi permasalahan di atas, pemerintah sebagai lembaga regulator dan
fasilitator utama sebenarnya telah sejak lama menyelenggarakan upaya pemberdayaan
dalam rangka mendukung pengembangan dan penguatan UMK. Dalam rangka mendorong
pelaku UMK memanfaatkan teknologi informasi dan go digital secara optimal, serangkaian
program pun telah dibentuk oleh pemerintah melalui jajaran kementerian/lembaga sebagai
penyelenggaranya. Beberapa program tersebut diantaranya adalah program inkubasi usaha
dan EDUKUKM.ID dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop
dan UKM); program Sejuta Domain.id, 1000 Startup Digital, dan UMKM Go Online oleh
Kementerian Komunikasi dan Informasi; program E-SMART dari Kementerian
Perindustrian; program Pasar Digital dan 30.000 UMKM Go Digital dari Kementerian BUMN;
dan masih banyak lagi program-program lainnya dari kementerian/lembaga.
Selain pemerintah, Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (UU UMKM) juga mengamanatkan peran serta dunia usaha dan masyarakat
dalam menyelenggarakan upaya pemberdayaan. Partisipasi dunia usaha terhadap
pemberdayaan UMK di Indonesia biasanya disalurkan melalui pelaksanaan Corporate Social
Responsibility (CSR). Secara luas, pelaksanaan CSR juga dapat bersumber dari etika bisnis
pada perusahaan-perusahaan swasta, program Badan Usaha Milik Negara, dan program
M. Ivan Mahdi, “Berapa Jumlah UMKM di Indonesia?”, https://dataindonesia.id/sektor-riil/detail/berapajumlah-umkm-di-indonesia, diakses pada 12 November 2022.
2
Kompas.com,
“UMKM
Pilih
Marketplace
selama
Pandemi,
Ini
Alasannya”,
2021,
https://money.kompas.com/read/2021/05/03/203116326/umkm-pilih-market-place-selama-pandemi-inialasannya, diakses pada 25 Agustus 2022.
3 Deloitte, “UKM Pemicu Kemajuan Indonesia”, Deloitte Access Economics, Report, 2015, hlm. 15-16.
1
180
Widya Yuridika: Jurnal Hukum, Volume 7 (1) 2024
Pengabdian Kepada Masyarakat.4 Namun sama halnya dengan di jajaran pemerintah,
pelaksanaan CSR dengan program pemberdayaan UMK oleh dunia usaha pun masih
dilakukan sendiri-sendiri. Begitu pun halnya dengan penyelenggaraan program
pemberdayaan UMK oleh masyarakat yang umumnya bersifat parsial oleh masing-masing
pemangku kepentingan.
Padahal peraturan perundang-undangan telah mengamanatkan bahwa
pemberdayaan harus dilakukan secara sinergis sesuai definisi pemberdayaan dalam Pasal 1
angka 8 UU UMKM yang berbunyi: “Pemberdayaan adalah upaya yang dilakukan pemerintah,
pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat secara sinergis dalam bentuk penumbuhan
iklim dan pengembangan usaha terhadap UMK, sehingga mampu tumbuh dan berkembang
menjadi usaha yang tangguh dan mandiri.” Istilah “sinergis” di sini tidak lain dimaksudkan
agar upaya pemberdayaan dilakukan dengan membangun hubungan kerja sama dan
koordinasi antar para pemangku kepentingan guna tercapai pemmberdayaan yang efektif,
efisien, dan memperoleh hasil yang optimal dibandingkan hanya dilakukan sendiri-sendiri.
Hal itu dikarenakan penyelenggaraan program pemberdayaan yang tidak sinergis dapat
meningkatkan potensi tumpang tindih. Bukan hanya itu, penyelenggaraan program
pemberdayaan yang kurang terkoordinasi pun dapat menyebabkan kelompok pelaku UMK
yang menjadi peserta program atau sebagai penerima manfaat pemberdayaan tidak merata
karena hanya berputar pada kelompok yang sama.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa penyelenggara pemberdayaan UMK oleh para
pemangku kepentingan ini justru menjadi salah satu faktor penghambat perkembangan
UMK digital. Bahkan secara umum, studi Growth Diagnostics Kementerian PPN/Bappenas
tahun 2018 juga mengungkapkan bahwa institusi merupakan salah satu penghambat utama
terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dikarenakan kurangnya penyelarasan strategis,
lemahnya pengawasan, dan tanggung jawab kelembagaan yang tumpang tindih. 5 Sejalan
dengan itu, menurut Laporan Organisation for Economic Cooperation and Development
(OECD), kurangnya koherensi dan sinergi kebijakan UMK skala nasional untuk layanan
pengembangan usaha merupakan kelemahan yang menjadi kendala penyelenggaraan
program pemberdayaan UMK di Indonesia.6
Pada dasarnya upaya untuk menciptakan kesinergian dalam upaya pemberdayaan
telah dituangkan dalam PP No. 7 Tahun 2021 mulai dari Pasal 94 sampai dengan Pasal 100
mengenai penyelenggaraan koordinasi dan pengendalian kemudahan, perlindungan, dan
pemberdayaan. Namun, ketiadaan wujud konkrit dari ketentuan tersebut dapat menjadikan
peraturan menjadi sebatas norma yang tertulis saja, sehingga seringkali menjadi
problematis ketika diimplementasikan. Sebagaimana disampaikan oleh Direktur Riset
Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, bahwa ketiadaan suatu program yang dapat
menyinergikan berbagai program pemberdayaan mengakibatkan upaya-upaya
mengembangkan UMK menjadi tidak maksimal.7 Oleh karena itu, perlu ada penguatan
dukungan kelembagaan penyelenggaraan program pemberdayaan UMK digital yang dapat
mensinergikan para pemangku kepentingan terkait.
4 Teguh Tresna Puja A. dan Tarsisius Murwadji, “Telaah Yuridis Penerapan Konsep Quadruplehelix pada
Pelaksanaan CSR Bagi UMKM”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 17, No. 1, 2020, hlm. 40.
5 Mohammad Firman Hidayat, Adhi Nugroho Saputro, dan Bertha Fania Maulana, Diagnosis Pertumbuhan
Indonesia: Prioritas Strategi untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi, Kementerian PPN/Bappenas, 2018, hlm.
17.
6 Tim Kebijakan Peningkatan Kapasitas Ekonomi Sekretariat TNP2K dan Lembaga Demografi FEB Universitas
Indonesia, Pemetaan Program Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Jakarta: Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, 2021, hlm. 19.
7 R. Jihad Akbar dan M. Yudha Prasetya, “RI Punya Banyak Program Pemberdayaan UMKM, Tapi Tumpang
Tindih”, 2021, https://www.viva.co.id/berita/bisnis/1430330-ri-punya-banyak-program-pemberdayaanumkm-tapi-tumpang-tindih?page=all, diakses pada 28 Januari 2023.
181
Widya Yuridika: Jurnal Hukum, Volume 7 (1) 2024
Guna mengatasi upaya pemberdayaan yang belum sinergis diperlukan konsep baru
dalam penyelenggaraan program pemberdayaan UMK digital di marketplace. Implementasi
program pemberdayaan harus dapat berjalan efektif dan efisien, sehingga dapat dirasakan
hasilnya oleh semua pemangku kepentingan, termasuk pelaku UMK. Dalam hal ini, Penulis
menawarkan penerapan konsep Pentahelix yang merupakan kolaborasi dari lima pemangku
kepentingan, yaitu Academics, Business, Community, Government, dan Media (ABCGM).
Berbasiskan konsep Pentahelix, optimasi peranan dari para pemangku kepentingan terkait
akan mendorong dan meningkatkan efektivitas program pemberdayaan UMK yang selama
ini belum berjalan dengan optimal.
Berdasarkan uraian tersebut, terdapat dua rumusan masalah yang akan dikaji lebih
lanjut. Pertama, bagaimana implementasi program pemberdayaan UMK digital terhadap
pemanfaatan marketplace di Indonesia. Kedua, bagaimana penerapan konsep Pentahelix
terhadap upaya pemberdayaan UMK digital di marketplace. Adapun penelitian ini bertujuan
untuk meninjau implementasi dari program pemberdayaan UMK digital dan merumuskan
konsep penerapan Pentahelix terhadap upaya pemberdayaan UMK digital di marketplace,
sehingga diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun praktis bagi
pembaca.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum dengan pendekatan yuridis
normatif yang didasarkan pada kaidah hukum peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analitis guna mendeskripsikan hubungan
antar pemangku kepentingan terkait dalam memberikan dukungan terhadap
penyelenggaraan program pemberdayaan UMK digital di marketplace yang ditinjau
berdasarkan peraturan perundangan-undangan serta implementasi pada praktiknya.
Adapun bahan dalam penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan narasumber terkait, yaitu
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah serta Perkumpulan Bumi Alumi.
Sementara data sekunder diperoleh dari hasil penelusuran berbagai literatur.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Implementasi Program Pemberdayaan
Marketplace di Indonesia
UMK
Digital terhadap
Pemanfaatan
Penyelenggaraan pemberdayaan UMK digital merupakan bagian dari pembangunan
perekonomian nasional yang berdasarkan demokrasi ekonomi sesuai hakikat Pasal 33 UUD
1945. Demokrasi ekonomi sering dipadankan dengan istilah ekonomi kerakyatan, yaitu
suatu penyelenggaraan ekonomi yang memberi dampak kepada kesejahteraan rakyat kecil
dan kemajuan ekonomi rakyat.8 Menurut Baswir, ekonomi kerakyatan juga diartikan sebagai
sistem ekonomi nasional berdasar usaha bersama atas asas kekeluargaan, di mana produksi
dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota
masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam
mengendalikan perekonomian.9 Selain itu, asas kekeluargaan juga yang mendasari adanya
perasaan untuk saling peduli, berbagi, dan memahami kondisi satu sama lain. Maka dari itu,
dapat dikatakan bahwa misi dari ekonomi kerakyatan adalah pemberdayaan terhadap
kekuatan ekonomi nasional terutama kepada UMK.
8 Romli Arsad, Hukum dan Peran Koperasi dalam Pembangunan Ekonomi Kerakyatan, Sumedang: Alqaprint
Jatinangor, 2016, hlm. 16.
9 Mukhtar Abdul Kader, “Peran UKM dan Koperasi dalam Mewujudkan Ekonomi Kerakyatan Indonesia”, Jurnal
Riset Bisnis dan Manajemen, Vol. VIII, No. 1, 2018, hlm. 20.
182
Widya Yuridika: Jurnal Hukum, Volume 7 (1) 2024
Secara etimologis, pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya” yang berarti
kekuatan atau kemampuan untuk bertindak. Adapun Jim Ife mengungkapkan pemberdayaan
sebagai upaya untuk meningkatkan daya dari kelompok yang kurang beruntung atas pilihan
pribadi dan kehidupan mereka; kesempatan; kebutuhan; institusi; sumber daya; aktivitas
ekonomi dan reproduksi dengan melakukan intervensi melalui pembuatan perencanaan dan
kebijakan, juga aksi politik dan sosial. 10 Sejalan dengan itu, UU UMKM mendefinisikan
pemberdayaan sebagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dunia
usaha, dan masyarakat secara sinergis dalam bentuk penumbuhan iklim dan pengembangan
usaha terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah sehingga mampu tumbuh dan
berkembang menjadi usaha yang tangguh mandiri.
Pengaturan mengenai pemberdayaan UMK pada awalnya diatur dalam UU UMKM
sebagai payung hukum yang mengklasifikasikan UMK menggunakan kriteria nilai asset awal
dan hasil penjualan tahunan. Setelah beberapa tahun berjalan kemudian terbit UndangUndang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja). Di
samping itu, pemerintah juga menerbitkan PP No. 7 Tahun 2021 sebagai peraturan
pelaksana atas beberapa ketentuan yang diatur dalam UU Cipta Kerja. Pembentukan UU
Cipta Kerja dan PP No. 7 Tahun 2021 tersebut merupakan salah satu upaya perbaikan
peraturan dan kebijakan pemerintah yang diharapkan mampu mengarahkan dan membawa
UMK menjadi usaha yang lebih tangguh, mandiri, dan berdaya saing. Adapun terhadap
ketentuan dalam UU UMKM dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diubah, dihapus, atau
diatur lain dalam UU Cipta Kerja.
Berdasarkan PP No. 7 Tahun 2021, usaha yang diklasifikasikan sebagai usaha mikro
adalah usaha yang mempunyai kekayaan bersih paling banyak 1 (satu) miliar diluar tanah
dan bangunan atau mempunyai hasil penjualan tahunan paling banyak sebesar 2 (dua)
miliar. Sementara yang masuk dalam kriteria usaha kecil adalah usaha yang memiliki
kekayaan bersih lebih dari 1 (satu) miliar sampai dengan 5 (lima) miliar tidak termasuk
tanah dan bangunan usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari 2 (dua) miliar
sampai dengan 15 (lima belas) miliar. Meskipun kriteria yang diatur dalam PP No. 7 Tahun
2021 terhadap UMK mempunyai nilai rentang ekonomi yang cukup besar, namun pada
kenyataannya UMK di Indonesia sebagian besarnya di dominasi oleh sektor informal, yaitu
suatu usaha ekonomi yang sering ditandai dengan belum mempunyai izin usaha, melakukan
kegiatan ekonomi secara swadaya, atau sumber daya yang hanya mengandalkan diri sendiri.
Kondisi di atas secara umum dapat disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu pertama,
pelaku UMK yang tidak proaktif mengakses sumber daya ekonomi yang telah tersedia, atau
kedua, pelaku UMK yang tidak mempunyai akses untuk mendapatkan sumber daya tersebut,
ataupun disebabkan oleh kedua-duanya. Faktor pertama menggambarkan bahwa sejatinya
akses untuk mendapatkan berbagai sumber daya ekonomi, seperti modal, tenaga ahli,
teknologi, dan pasar, telah disediakan namun tidak dimanfaatkan dengan baik oleh pelaku
UMK. Sementara faktor yang kedua menggambarkan bahwa kebutuhan UMK untuk
memperoleh berbagai sumber daya ekonomi tersebut belum terfasilitasi sepenuhnya oleh
penyelenggara, sehingga pelaku UMK mengalami kesulitan dalam mengembangkan
usahanya.
Sementara UMK digital sendiri merupakan suatu terminologi baru seiring dengan
berkembangnya ekonomi digital, yaitu pelaku usaha yang telah memproduksi, memasarkan,
10
Jim Ife dalam Isbandi Rukminto Adi, Intervensi Komunitas & Pengembangan Masyarakat sebagai Upaya
Pemberdayaan Masyarakat, Jakarta: Rajawali Pers, 2012, hlm. 207.
183
Widya Yuridika: Jurnal Hukum, Volume 7 (1) 2024
dan melakukan transaksi dalam dunia digital.11 Di Indonesia, UMK digital merupakan bagian
tidak terpisahkan dari pelaku usaha yang melakukan perdagangan melalui sistem
elektronik. Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019
tentang Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PP PMSE), pelaku usaha perdagangan
melalui sistem elektronik adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha yang
berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang dapat berupa pelaku usaha dalam
negeri dan pelaku usaha luar negeri dan melakukan kegiatan usaha di bidang PMSE. Dengan
merujuk pada pengertian tersebut, maka UMK digital adalah setiap usaha yang memenuhi
kriteria sebagai UMK dan melakukan kegiatan usaha di bidang PMSE, seperti melakukan
penawaran, pemasaran, dan transaksi secara elektronik.
Dalam rangka mendorong pengembangan UMK digital, pemerintah sejatinya telah
membentuk peraturan, program, dan Kemenkop dan UMK sebagai kementerian negara yang
khusus menyelenggarakaan urusan di bidang UMK. Bahkan, program pemberdayaan UMK
digital oleh pemerintah juga diselenggarakan oleh kementerian/lembaga negara lainnya.
Berdasarkan hasil pemetaan yang telah dilakukan, terdapat sedikitnya 27 program
pemberdayaan yang terkait dengan pengembangan UMK digital di marketplace oleh 10
kementerian/lembaga sebagaimana ditunjukkan tabel berikut.
Nama K/L
Nama Program
Kementerian Koperasi dan Di bagian hulu (supply side):
Usaha Kecil dan Menengah
1. Inkubasi usaha;
2. Kemitraan pasar tradisional dengan marketplace;
3. Indonesia sebagai Global Halal Hub.
Di bagian pelatihan (middle side):
1. EDUKUKM.ID;
2. Seri podcast, webinar, dan video;
3. Kaka asuh UMKM;
4. Pendampingan Geber UMKM; dan
5. Inkubator usaha.
Di bagian hilir (demand side):
1. Pengembangan Pasar Rakyat; dan
2. Gerakan Bersama UMKM (Geber UMKM).
Kementerian Komunikasi 1. UMKM Go Online/Gerakan Ayo UMKM Jualan Online;
dan Informasi
2. Satu Juta Nama Domain;
3. Gerakan Nasional 1000 Startup Digital;
4. Scalling-up UMKM/UMi;
5. Adopsi Teknologi Digital 4.0; dan
6. Digital Talent Scholarship (DTS).
Kementerian Perindustrian
1. E-SMART
Kementerian
Desa, 1. Digitalisasi Ekonomi Desa
Pembangunan
Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi
Kementerian Perdagangan
1. Fasilitator Edukasi Perdagangan melalui Sistem
Elektronik; dan
2. Designer Dispatch Service.
Kementerian BUMN
1. Pasar Digital (PaDi); dan
2. 30.000 UMKM BUMN Go Online.
11
Dadang Epi Sukarsa (et.al), Aspek Hukum Penguatan UMK Digital Lokal di Marketplace (Kajian Teoritis
Lingkungan Ekonomi Digital), Bandung: Yayasan Pendidikan Nasional, 2022, hlm. 3.
184
Widya Yuridika: Jurnal Hukum, Volume 7 (1) 2024
Lembaga
Kebijakan
Pengadaan
Barang/Jasa
Pemerintah
Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif
Bank Indonesia
Otoritas Jasa Keuangan
1. E-Katalog dan Bela Pengadaan
1. Apresiasi Kreasi Indonesia
1. Karya Kreatif Indonesia; dan
2. Edukasi dan Fasilitasi Onboarding UMKM.
1. UMKM-MU
Tabel 1 Pemetaan Program Pemberdayaan UMK Digital
Mengacu tabel di atas, dapat terlihat program pemberdayaan oleh kementerian/lembaga
yang berpotensi besar tumpang tindih dikarenakan:
1. Masing-masing kementerian/lembaga membentuk dan menyelenggarakan program
pemberdayaan UMK digital;
2. Sebagian besar kementerian/lembaga mengadakan kerja sama dengan mitranya
dalam menyelenggarakan program pemberdayaan UMK digital tersebut; dan
3. Secara garis besar program pemberdayaan yang diselenggarakan oleh setiap
kementerian/lembaga mempunyai bentuk kegiatan yang sama, seperti pemberian
materi, pelatihan, mentoring, dan aktivasi UMK pada platform digital marketplace.
Di samping penyelenggaraan oleh kementerian/lembaga, program pemberdayaan UMK
digital di marketplace juga diselenggarakan oleh pemangku kepentingan lainnya, seperti
dunia usaha (swasta) dan masyarakat. Hal ini sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 7 ayat
(2) dan Pasal 16 ayat (2) UU UMKM. Selain itu, Pasal 97 PP No. 7 Tahun 2021 juga
memperjelas peran dari dunia usaha dan masyarakat dalam hal perumusan kebijakan,
penyelenggaraan, pemantauan dan evaluasi pemberdayaan UMK di tingkat nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota. Adapun apabila mengacu pada ketentuan Pasal 15
Permenkop dan UKM Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan PP No. 7 Tahun 2021
bahwa tujuan peran serta dunia usaha dan masyarakat dalam pemberdayaan UMK ialah
agar:
a. setiap kebijakan pemerintah berada pada jalur pemihakan, kepastian, kesempatan,
perlindungan dan dukungan usaha seluas-luasnya;
b. terjalin keharmonisan antara UMKM dengan usaha besar dalam kegiatan ekonomi di
Indonesia; dan
c. tercapainya koordinasi dalam program pengembangan usaha, pembiayaan dan
penjaminan, serta kemitraan.
Penyelenggaraan program pemberdayaan UMK digital oleh dunia usaha diantaranya
dilakukan oleh Tokopedia dan Shopee, yang merupakan perusahaan penyelenggara
marketplace. Penyelenggaraan program pemberdayaan oleh dunia usaha ini tidak terlepas
dari kewajiban pelaksanaan CSR. Sebagaimana didefinisikan dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas (UU PT), pengertian dari CSR adalah komitmen
perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna
meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan
sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Pengaturan CSR lainnya
juga dapat dilihat dalam Pasal 15 huruf b UU PM yang menyatakan bahwa setiap penanam
modal berkewajiban untuk melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.
Sebagai contoh konkritnya, Tokopedia menyelenggarakan program “Kelas
Pemberdayaan UMKM bersama Tokopedia” dan kegiatan pemberdayaan UMK lainnya
melalui program CSR yang bernama “Tokopedia Beraksi untuk Sesama.”12 Sementara
12
Tokopedia, https://www.tokopedia.com/about/impact/, diakses pada 21 Februari 2023.
185
Widya Yuridika: Jurnal Hukum, Volume 7 (1) 2024
Shopee menyelenggarakan program yang bernama “Kampus UMKM Shopee” dengan
menyediakan modul materi, fasilitas pendukung berjualan secara online (foto produk dan
livestream studio), pendampingan, hingga membangun koneksi antar pelaku UMK digital
lainnya.13 Dalam hal ini, tentunya program yang diselenggarakan oleh Tokopedia dan
Shopee juga tentunya mengharapkan semakin banyak pelaku UMK yang masuk ke dalam
platformnya.
Berikutnya, program pemberdayaan UMK digital juga diselenggarakan oleh lapisan di
masyarakat yang salah satunya dilakukan oleh Perkumpulan Bumi Alumni (PBA). PBA
didirikan pada 26 September sebagai suatu perkumpulan perdata berbadan hukum yang
terdiri dari komunitas pelaku UMKM, komunitas non-UMKM (profesi, akademisi, hobi, dan
lain-lain) yang mempunyai fungsi koordinasi kelembagaan, koordinasi antaralumni,
pengembangan (pelatihan dan pembinaan), dan koordinasi pemasaran. Kemudian dalam
perkembangannya, para pendiri PBA membuat komitmen baru dengan mendirikan PT Bumi
Alumni Galeri untuk menjalankan platform digital bernama Bumialumni.com sebagai wadah
penjualan produk-produk UMKM secara online. Berdasarkan data yang didapatkan dari hasil
wawancara, Ary Zulfikar sebagai ketua PBA menyampaikan bahwa mayoritas UMK sebanyak
134 unit usaha yang tergabung dalam binaan PBA masih berbentuk informal.
Selain dunia usaha dan komunitas, penyelenggara yang turut aktif melakukan program
pemberdayaan di masyarakat adalah perguruan tinggi sebagai bentuk pelaksanaan
Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu kewajiban yang selalu berkaitan dengan triangle
academic meliputi penyelenggaraan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat. Berdasarkan Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Perguruan Tinggi (UU Perguruan Tinggi) menyatakan bahwa perguruan tinggi berperan
aktif menggalang kerja sama, baik antar perguruan tinggi maupun antara perguruan tinggi
dengan dunia usaha dan masyarakat dalam bidang penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat. Lebih lanjut, Pasal 48 ayat (2) menyatakan bahwa perguruan tinggi dapat
didayagunakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat sebagai pusat
penelitian atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, perguruan
tinggi sering kali dilibatkan dalam berbagai program pemberdayaan UMK digital yang
berperan sebagai knowledge transfer dalam rangka menguatkan UMK di era digital.
Sebagai contoh, Universitas Padjadjaran atau biasa disingkat Unpad merupakan
perguruan tinggi negeri yang mempunyai pusat inkubator bisnis Unpad Bernama “Oorange
Unpad” yang mempunyai 4(empat) tugas dan fungsi, yaitu:14 (1) mendorong pertumbuhan
usaha kecil, menengah, dan besar yang tangguh; (2) menciptakan lapangan kerja baru; (3)
membantu alih pengetahuan, sinergi akademis dan praktisi; dan (4) mempercepat
perkembangan kewirausahaan. Adapun kegiatan yang dilakukan oleh Oorange Unpad
berupa program inkubasi yang terdiri dari beberapa jenis layanan berikut: (1) Riset; (2)
Pelatihan; (3) Pendampingan/Konsultasi; (4) Kunjungan/Magang bisnis; (5) Expo/Business
Matching; dan (6) Seminar/Webinar.15
Berdasarkan program-program pemberdayaan yang diselenggarakan oleh berbagai
pemangku kepentingan di atas, setidaknya terdapat dua misi yang hendak dicapai dari
penyelenggaraan program pemberdayaan UMK digital ini, yaitu mendorong UMK masuk ke
platform digital (onboarding UMK) dan meningkatkan produktivitas UMK dalam platform
13
Shoppe,
Kampus
UMKM
Shopee,
2023,
https://seller.shopee.co.id/edu/article/18111#:~:text=Keuntungan%20Bergabung%20dalam%20Kampus%
20UMKM%20Shopee&text=Mendapatkan%20pendamping%20bisnis%20secara%20langsung,%2C%20sepe
rti%20foto%2Flivestream%20studio, diakses pada 21 Februari 2023.
14 SK Rektor/SK Pimpinan Perubahan Nomor 2721/UN6.RKT/Kep/HK/2021 tentang Pembentukan dan
Pengelolaan Satuan Usaha Pusat Inkubator Bisnis-Oorange Unpad.
15 Oorange Unpad, Profil Oorange Unpad, https://pib.unpad.ac.id/profile-oorange-2023/, diakses pada 6 Mei
2023.
186
Widya Yuridika: Jurnal Hukum, Volume 7 (1) 2024
digital. Dengan demikian, pemberdayaan UMK digital ini merupakan strategi untuk
meningkatkan pemanfaatan platform digital, terutama marketplace. Hal ini dikarenakan
pemanfaatan marketplace sebagai sarana pemasaran bagi UMK digital mempunyai beberapa
kelebihan, diantaranya: (1) peluang lebih besar melalui komunitas; (2) tidak perlu takut
kehilangan konsumen; (3) fitur dan regulasi yang baik; (4) tidak membutuhkan modal yang
besar; (5) dapat memantau perkembangan bisnis; (6) waktu fleksibel; dan (7) produk yang
ditawarkan lebih variasi.16
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya telah banyak
penyelenggaraan program pemberdayaan UMK digital yang dilakukan oleh berbagai
pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, dunia usaha, perguruan tinggi, hingga
lembaga yang berasal dari komunitas di masyarakat. Namun apabila ditinjau dari skala
nasional, dengan begitu banyaknya program yang telah diselenggarakan selama bertahuntahun belum optimal sesuai dengan hasil yang diharapkan. Hal tersebut dapat dilihat jumlah
pelaku UMK yang tercatat telah memanfaatkan marketplace pada tahun 2021 baru sebanyak
4,8 juta.17 Angka tersebut tentunya masih terbilang sedikit dibandingkan dengan total UMK
yang mencapai sekitar 65 juta. Sehubungan dengan itu, untuk mencapai tujuan dari
penyelenggaraan pemberdayaan UMK digital itu sendiri diperlukan adanya upaya
mensinergikan para pemangku kepentingan tersebut menjadi suatu kelembagaan yang
terpadu. Hal itu dikarenakan antara para pemangku kepentingan tersebut pada dasarnya
saling bergantung dan membutuhkan dukungan sama lain untuk mencapai tujuan bersama.
Penerapan Konsep Pentahelix dalam Penyelenggaraan Program Pemberdayaan UMK
Digital
Pemberdayaan UMK digital merupakan salah satu bentuk implementasi dari
kebijakan afirmasi yang wujudkan sebagai bentuk keberpihakan terhadap kelompok
ekonomi rakyat. Pembentukan PP No. 7 Tahun 2021 sebagai pelaksana UU Cipta tidak
terlepas dari adanya tujuan untuk melakukan penyesuaian terhadap berbagai aspek yang
diperlukan untuk memberikan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan bagi UMK.
Sehubungan dengan itu, upaya pemberdayaan UMK digital membutuhkan suatu sarana
melalui instrumen hukum untuk mengantarkan pada tujuan yang dihendaki.
Menurut Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, hukum adalah keseluruhan asas-asas dan
kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia, yang meliputi lembaga-lembaga dan
proses-proses, guna mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan.18 Merujuk
pada definisi tersebut, hukum yang memadai tidak hanya memandang hukum itu sebagai
suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam
masyarakat, tetapi juga mencakup lembaga (institution) dan proses (processes) yang
diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan. Selain itu, didapatkan juga
kandungan bahwa berjalannya hukum di masyarakat membutuhkan adanya dukungan
kelembangan.
Dewasa ini, pelbagai kebijakan hukum ekonomi yang dikembangkan perlu
mempertimbangkan kembali berbagai aspek yang terkandung dalam sebuah kelembagaan.
Penggunaan istilah kelembagaan sendiri dalam implementasinya seringkali menimbulkan
ketidaksamaan persepsi di masyarakat. Menurut North, kelembagaan atau lembaga
merupakan semua bentuk batasan-batasan yang dibuat oleh manusia untuk memberikan
16 Vina Salviana Darvina S., Monograf Model Pemberdayaan Masyarakat Partisipatif Integratif, Malang:
Universitas Muhammadiyah Malang, 2021, hlm. 14-15.
17 Puput Ady Sukarno, “Ada Pandemi, Jumlah Transaksi dan Pelaku UMKM di E-Commerce Melesat”, 2021, Ada
Pandemi, Jumlah Transaksi dan Pelaku UMKM di e-commerce Melesat (bisnis.com), diakses pada 21 Februari
2023.
18 Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, Bandung: Bina Cipta,
1975, hlm. 3-4.
187
Widya Yuridika: Jurnal Hukum, Volume 7 (1) 2024
bentuk terhadap interaksi yang terjadi diantara mereka, sedangkan organisasi yang
memberikan struktur bagi manusia berinteraksi berdasarkan kerangka kelembagaan yang
dibuat.19 Adapun menurut Uphoff, istilah institution memiliki dua bentuk dengan
menyatakan “some kinds of institutions have an organizational form with roles and structures,
whereas others exist as pervasive influenced on behaviour”.20 Maksudnya adalah bahwa
terdapat beberapa jenis institusi yang memiliki bentuk organisasi dengan peran dan
struktur, sedangkan yang lainnya sesuatu yang mempengaruhi perilaku. Lebih lanjut, Uphoff
juga mengakui adanya aspek organisasi dalam istilah kelembagaan.
Sementara di sisi lain, Goldsmith dan Brikenhoff menerangkan bahwa kelembagaan
merupakan aturan prosedur yang menetukan bagaimana manusia harus bertindak,
dan/atau peran dari organisasi yang bertujuan untuk memperoleh status atau legitimasi. 21
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya istilah kelembagaan lebih erat
dengan aturan main atau peraturan. Namun di dalam kelembagaan dapat mengandung
aspek keorganisasian yang erat kaitannya dengan struktur. Oleh karena itu, dalam sebuah
kelembagaan pada dasarnya dapat mengandung dua aspek, yaitu aspek kelembagaan itu
sendiri dan aspek keorganisasian, yang sifatnya saling komplementer dalam suatu sistem.
Apabila merujuk pada PP No. 7 Tahun 2021, istilah kelembagaan dalam pemberdayaan
UMK hanya disebutkan sekali dalam Pasal 93 ayat (3) huruf f yang berkaitan dengan tugas
gubernur dan bupati/wali kota untuk mengoordinasikan pengembangan kelembagaan dan
sumber daya manusia UMK di daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam pemberian
kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan. Kemudian disebutkan sekali di bagian
penjelasan Pasal 93 huruf a sebagai salah satu aspek dukungan di dalam peraturan
perundang-undangan dan kebijakan penumbuhan iklim serta pengembangan UMK.
Sementara dalam UU UMKM tepatnya dalam Pasal 15, istilah kelembagaan mengacu pada
aspek yang ditujukan untuk mengembangkan dan meningkatkan fungsi inkubator, lembaga
layanan pengembangan usaha, konsultan keuangan mitra bank, dan lembaga profesi sejenis
lainnya sebagai lembaga pendukung UMK.
Dengan mengacu pada kedua peraturan perundang-undangan di atas, maka
kelembagaan dalam penyelenggaraan pemberdayaan UMK dapat disimpulkan sebagai
lembaga ataupun institusi yang mempunyai peran dalam mendukung pengembangan UMK.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, bahwa penyelenggaraan pemberdayaan UMK digital
saat ini bukan hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga melibatkan para pemangku
kepentingan lainnya, meliputi dunia usaha, akademisi, dan masyarakat. Keempat pemangku
kepentingan tersebut merupakan aktor yang mempunyai peranan dalam mendukung
program akselerasi UMK digital dan naik kelas. Namun, era digital saat ini membutuhan juga
dukungan peranan dari media sebagai agen informasi.
Apabila ditinjau dari UU UMKM, media mempunyai peranan yang dapat mendukung
pengembangan UMK di bidang pemasaran. Pasal 18 UMKM menyebutkan bahwa
pengembangan di bidang pemasaran dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya
menyebarluaskan informasi pasar, menyediakan sarana pemasaran, serta memberikan
dukungan promosi produk, jaringan pemasaran dan distribusi. Bagi pelaku UMK, media akan
membantu dalam mengenalkan produk UMK kepada publik dan memudahkan pelaku UMK
dalam mengakses berbagai informasi yang dipublikasikan secara up to date, baik secara
elektronik maupun nonelektronik. Selain sebagai agen informasi, media juga dapat berperan
19
Sabana
Sumba,
“Kelembagaan
dan
Pembangunan
Ekonomi
Desa”,
https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7056/2/T2_902010002_BAB%20II.pdf, hlm. 23.
20 Syahyuti, “Alternatif Konsep Kelembagaan untuk Penajaman Operasionalisasi dalam Penelitian Sosiologi”,
Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 21, No. 2, 2003, hlm. 116.
21 Arief Daryanto, “Penguatan Kelembagaan Sosial Ekonomi Masyarakat sebagai Modal Sosial Pembangunan”,
Agrimedia, Vol. 9, No. 1, 2004, hlm. 28.
188
Widya Yuridika: Jurnal Hukum, Volume 7 (1) 2024
sebagai sarana penyebarluasan data UMK yang meliputi pemberian akses, pendistribusian,
dan pertukaran data sesuai Pasal 58 PP No. 7 Tahun 2021.
Oleh karena itu, hubungan sinergitas yang perlu dibentuk dalam penyelenggaraan
program pemberdayaan UMK digital setidaknya melibatkan 5 (lima) aktor utama, yaitu
pemerintah, dunia usaha/bisnis, akademisi, masyarakat/komunitas, dan media. Gabungan
pemangku kepentingan yang terdiri dari aktor publik dan privat dalam penyelenggaraan
pemberdayaan sendiri merupakan bentuk implementasi dari teori pemerintahan yang
kolaboratif atau dikenal dengan teori collaborative governance. Collaborative governance
adalah suatu model pendekatan pengendalian oleh satu atau lebih lembaga publik yang
secara langsung melibatkan para pemangku kepentingan stakeholder non-state dalam
proses pengambilan keputusan kolektif yang bersifat formal, berorientasi konsensus,
deliberatif, dan bertujuan untuk membuat atau menerapkan kebijakan publik, mengelola
program publik, atau aset publik.22
Urgensi kolaborasi para pemangku kepentingan pun tidak muncul tiba-tiba, melainkan
dipengaruhi oleh adanya kebutuhan institusi/lembaga untuk melakukan kerjasama karena
keterbatasan kemampuan lembaga serta kompleksitas dalam melaksanakan suatu program
kebijakan publik. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemberdayaan UMK digital ini,
dukungan peranan dari para pemangku kepentingan di dalam pemberdayaan UMK digital
dapat diwujudkan dengan penerapan konsep Pentahelix. Pentahelix terbentuk dari hasil
pengembangan konsep Triplehelix (Academicians, Business, dan Government) dan
Quadruplehelix (Academicians, Business, Government, dan Civil Society). Selanjutnya,
Quadruplehelix dikembangkan lagi menjadi konsep Pentahelix, yaitu suatu kerangka
konseptual yang melibatkan 5 (lima) pemangku kepentingan yang diyakini mampu
meningkatkan ekonomi untuk mengejar inovasi dan kewirausahaan melalui kolaborasi dan
sinergi.
Sehubungan dengan pembangunan ekonomi dan sosial, Halibas mengajukan konsep
Penta Helix yang komponennya terdiri dari:23 (1) akademisi, yang mampu mendorong dan
memungkinkan diseminasi ide dan implementasi inovasi dan kewirausahaan; (2)
pemerintah, yang berperan dalam mendukung sistem inovasi melalui investasi publik dalam
hal penelitian dan pengembangan serta infrastruktur pengetahuan, kebijakan inovasi publik,
dan dukungan inovasi dengan bermitra/berjejaring dengan lembaga swasta; (3) Dukungan
swasta, yaitu melalui pendanaan teknik komersialisasi penelitian dan pengembangan
produk. Begitu pun pihak swasta akan diuntungkan hasil penelitian berupa adanya teknologi
baru; terakhir (4) dan (5) lembaga nonpemerintah dan masyarakat sipil yang diharapkan
berpartisipasi aktif terlibat dalam pembangunan sosial dan ekonomi.
Adapun untuk mengadopsi konsep Pentahelix tersebut untuk diterapkan dalam
penyelenggaraan pemberdayaan UMK digital, maka perlu dibentuk adanya dukungan
kelembagaan pemberdayaan UMK yang berbasis Pentahelix atau sederhananya dapat
disebut Kelembagaan Pentahelix yang terdiri dari pemerintah, bisnis, akademisi,
masyarakat, dan media. Dalam hal ini, Kelembagaan Penta Helix yang dimaksud dalam
penyelenggaraan pemberdayaan UMK digital merujuk pada istilah kelembagaan yang
mengandung 2 (dua) aspek, yaitu aspek kelembagaan sebagai organisasi dan aspek
kelembagaan sebagai nilai, aturan, atau prosedur.
Chris Ansell dan Alison Gash, “Collaborative Governance in Theory and Practice”, Journal of Public
Administration Research and Theory, Vol. 18, No. 4, 2008, hlm. 544.
23 Alrence S. Halibas, Rowena O. Sibayan, dan Rolou L. R. Maata, “The Penta Helix Model of Innovation in Oman:
An HEI Perspective”, Interdisciplinary Journal of Information, Knowledge, and Management, Vol. 12, 2017, hlm.
162.
22
189
Widya Yuridika: Jurnal Hukum, Volume 7 (1) 2024
Aspek yang pertama adalah kelembagaan sebagai suatu organisasi yang mempunyai
struktur dan peran. Berdasarkan strukturnya, Kelembagaan Penta Helix mempunyai
struktur vertikal dan horizontal. Struktur vertikal menandakan tetap adanya hubungan
hierarkis antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Di tingkat pusat, urusan
penyelenggaraan pemberdayaan UMK digital di pegang oleh Kemenkop dan UKM yang
dipimpin oleh Menteri dan bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden. Sementara
di tingkat daerah, urusan tersebut menjadi tugas Dinas Koperasi dan UMKM yang dipimpin
oleh seorang kepala dan bertantanggung jawab kepada kepala daerah. Sementara struktur
horizontal menggambarkan bahwa kelima aktor pemangku kepentingan mempunyai
hubungan yang sejajar sesuai dengan peran yang dimiliki, layaknya seorang mitra bisnis.
Adapun peranan dari setiap aktor pemangku kepentingan yang dapat dikembangkan dalam
Kelembagaan Pentahelix ialah sebagai berikut:
1. Pemerintah sebagai regulator dan penjamin, sekaligus fasilitator. Peran pemerintah
sebagai regulator berkaitan dengan kewenangan dalam membentuk peraturan
perundang-undangan dan menetapkan kebijakan yang berpihak dan mendukung
pengembangan UMK digital yang seluasluasnya. Kemudian, peran pemerintah
sebagai penjamin sekaligus fasilitator adalah bahwa pemerintah mempunyai
tanggung jawab yang lebih untuk memastikan tersedianya fasilitasi dan bantuan yang
dibutuhkan oleh UMK digital.
2. Bisnis atau dunia usaha sebagai pendorong (enabler). Bisnis atau dunia usaha,
terutama perusahaan besar, mempunyai peran dalam mendorong pengembangan
UMK digital di Indonesia. Hal itu dikarenakan perusahaan besar mempunyai
kekuatan dari segi permodalan, sumber daya manusia, teknologi, dan manajemen
yang baik. Maka dari itu, perusahaan yang besar ditekankan untuk memperbantukan
pengembangan UMK digital melalui program binaan atau kemitraan.
3. Akademisi sebagai konseptor. Akademisi terutama dari perguruan tinggi berperan
untuk menyediakan konsep, standrarisasi, dan menyalurkan pengetahuan serta
keahlian di dalam penyelenggaraan pemberdayaan UMK digital.
4. Komunitas sebagai akselerator. Sebagai bagian dari masyarakat, komunitas
mempunyai peran dalam menjembatani hubungan antar pelaku UMK digital dan
antara pelaku UMK digital dengan pemangku kepentingan lainnya.
5. Media sebagai ekspander. Di era serba digital ini, hampir semua kegiatan di
masyarakat memanfaatkan media sebagai sarana penyebarluasan informasi dan
publikasi. Media juga dapat dioptimalkan sebagai ajang promosi dan membuat brand
image.
Selanjutnya aspek yang kedua adalah kelembagaan sebagai nilai atau aturan yang akan
mengikat setiap lembaga atau institusi dalam menjalin hubungan kolaborasi. Adapun agar
nilai dan aturan yang telah disepakati oleh setiap aktor Penta Helix benar-benar
dilaksanakan dan dapat dipertanggungjawabkan, maka perlu dituangkan ke dalam bentuk
regulasi yang secara tegas mengatur pembentukan Kelembagaan Penta Helix. Dengan
diaturnya pembentukan Kelembagaan Penta Helix dalam sebuah regulasi, maka
Kelembagaan Penta Helix ini akan menjadi entitas yang membentuk hubungan antara 5
(lima) pemangku kepentingan, terdiri dari pemerintah, bisnis/dunia usaha, akademisi,
komunitas, dan media untuk berkolaborasi dalam kegiatan upaya pemberdayaan UMK
digital di Indonesia. Rancangan dari regulasi tersebut sedikitnya meliputi ketentuan
mengenai: (1) Tujuan pembentukan Kelembagaan Pentahelix; (2) Susunan keanggotaan; (3)
Peran dan kedudukan kelima pemangku kepentingan; (4) Penyelenggaraan kolaborasi
program pemberdayaan UMK digital yang sinergis; (5) Pembinaan, Pengawasan, dan
Evaluasi; dan (6) Sanksi.
190
Widya Yuridika: Jurnal Hukum, Volume 7 (1) 2024
Menindaklanjuti rancangan ketentuan di atas, penulis mencoba membuat opsi yang
dapat dijadikan sebagai pilihan untuk menuangkan ketentuan tersebut, yaitu dengan
membuat peraturan baru setingkat setingkat Menteri, dalam hal ini oleh Menteri Koperasi
dan UKM. Dalam hal ini, pembentukan kelembagaan Pentahelix melalui peraturan setingkat
Menteri dapat memperkuat peranan dari Kemenkop dan UKM sebagai koordinator urusan
pemberdayaan UMK, serta mengefektifkan tugas dan fungsi kementerian dalam membantu
tugas Presiden, sehingga menimalisir birokrasi yang tumpang tindih. Berdasarkan hal
tersebut, pembentukan Kelembagaan Pentahelix ini merupakan salah satu wujud komitmen
dari para pemangku kepentingan dalam rangka memberikan pemberdayaan UMK digital
yang sinergis, sehingga dapat menjadi sarana koordinasi dalam memadukan program dan
kebijakan dari kelima aktor Pentahelix secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.
PENUTUP
Implementasi program pemberdayaan UMK digital di marketplace saat ini masih
bersifat sektoral dan parsial dikarenakan tidak adanya suatu kebijakan yang ditujukan untuk
mensinergikan berbagai program pemberdayaan yang dilakukan oleh para pemangku
kepentingan. Dalam hal ini, pemberdayaan UMK digital diselenggarakan pemerintah melalui
program-program yang dibentuk oleh kementerian/lembaga dengan bantuan lembaga
pendukung lainnya. Sementara di sisi lain, para pemangku kepentingan lainnya, seperti
dunia usaha, perguruan tinggi, dan masyarakat juga secara mandiri mempunyai program
pemberdayaannya sendiri. Oleh karena itu, penerapan konsep Pentahelix dapat menjadi
strategi mewujudkan pemberdayaan UMK digital yang sinergis dengan membentuk
Kelembagaan Pentahelix, yaitu suatu entitas yang membentuk hubungan antara 5 (lima)
pemangku kepentingan, terdiri dari pemerintah, bisnis/dunia usaha, akademisi, komunitas,
dan media untuk berkolaborasi dalam kegiatan upaya pemberdayaan UMK digital di
marketpace. Adapun landasan pembuatan Kelembagaan Penta Helix melalui peraturan
menteri akan menjadi lebih baik apabila mendapatkan delegasi di dalam PP No. 7 Tahun
2021, tepatnya pada bagian penyelenggaraan koordinasi dan pengendalian kemudahan,
pelindungan, dan pemberdayaan UMKM.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adi, Isbandi Rukminto. (2012). Intervensi Komunitas & Pengembangan Masyarakat sebagai
Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Rajawali Pers.
Arsad, Romli. (2016). Hukum dan Peran Koperasi dalam Pembangunan Ekonomi
Kerakyatan. Sumedang: Alqaprint Jatinangor.
Deloitte. (2015). UKM Pemicu Kemajuan Indonesia, Deloitte Access Economics, Report.
Hidayat, Mohammad Firman, dkk. (2018). Diagnosis Pertumbuhan Indonesia: Prioritas
Strategi untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi. Jakarta: Kementerian
PPN/Bappenas.
Kusumaatmadja, Mochtar. (1965). Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan
Nasional, Bandung: Bina Cipta.
Tim Kebijakan Peningkatan Kapasitas Ekonomi Sekretariat TNP2K dan Lembaga Demografi
FEB Universitas Indonesia. (2021). Pemetaan Program Pemberdayaan Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah (UMKM). Jakarta: Tim Nasional Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan.
S, Vina Salviana Darvina. (2021). Monograf Model Pemberdayaan Masyarakat Partisipatif
Integratif, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
191
Widya Yuridika: Jurnal Hukum, Volume 7 (1) 2024
Sukarsa, Dadang Epi, dkk. (2022). Aspek Hukum Penguatan UMK Digital Lokal di
Marketplace (Kajian Teoritis Lingkungan Ekonomi Digital). Bandung: Yayasan
Pendidikan Nasional.
Artikel Jurnal
A, Teguh Tresna Puja dan Murwadji, Tarsisius. (2020). Telaah Yuridis Penerapan Konsep
Quadruplehelix pada Pelaksanaan CSR Bagi UMKM. Jurnal Legislasi Indonesia, 17(1),
38-50.
Ansell, Chris dan Gash, Alison. (2008). Collaborative Governance in Theory and Practice”,
Journal of Public Administration Research and Theory, 18(4), 543-571.
Daryanto, Arief. (2004). Penguatan Kelembagaan Sosial Ekonomi Masyarakat sebagai Modal
Sosial Pembangunan. Agrimedia, 9(1), 24-31.
Halibas, A. S., Sibayan, R. O., & Maata, R. L. R. (2017). The penta helix model of innovation in
Oman: An HEI perspective. Interdisciplinary Journal of Information, Knowledge, and
Management, 12, 159-172.
Kader, Mukhtar Abdul. (2018). Peran UKM dan Koperasi dalam Mewujudkan Ekonomi
Kerakyatan Indonesia. Jurnal Riset Bisnis dan Manajemen, 8(1), 1-16.
Syahyuti. Alternatif Konsep Kelembagaan untuk Penajaman Operasionalisasi dalam
Penelitian Sosiologi. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 21(2), 113-127.
Website
Akbar, R. Jihad dan Prasetya, M. Yudha. RI Punya Banyak Program Pemberdayaan UMKM,
Tapi
Tumpang
Tindih.
Diambil
Januari
28,
2023.
Dari
https://www.viva.co.id/berita/bisnis/1430330-ri-punya-banyak-programpemberdayaan-umkm-tapi-tumpang-tindih?page=all.
Kompas.com. UMKM Pilih Marketplace selama Pandemi, Ini Alasannya. Diambil Agustus 25,
2022. Dari https://money.kompas.com/read/2021/05/03/203116326/umkmpilih-market-place-selama-pandemi-ini-alasannya.
Mahdi, M. Ivan. Berapa Jumlah UMKM di Indonesia?. Diambil November 12, 2022. Dari
https://dataindonesia.id/sektor-riil/detail/berapa-jumlah-umkm-di-indonesia.
Oorange Unpad. Profil Oorange Unpad. Diambil
https://pib.unpad.ac.id/profile-oorange-2023/.
Shopee.
Mei
6,
2023.
Dari
Kampus
UMKM
Shopee.
Diambil
Februari
21,
2023.
Dari
https://seller.shopee.co.id/edu/article/18111#:~:text=Keuntungan%20Bergabun
g%20dalam%20Kampus%20UMKM%20Shopee&text=Mendapatkan%20pendamp
ing%20bisnis%20secara%20langsung,%2C%20seperti%20foto%2Flivestream%2
0studio.
Sukarno, Puput Ady. Ada Pandemi, Jumlah Transaksi dan Pelaku UMKM di E-Commerce
Melesat. Diambil Februari 21, 2023. Dari Ada Pandemi, Jumlah Transaksi dan Pelaku
UMKM di e-commerce Melesat (bisnis.com).
Sumba, Sabana. Kelembagaan dan Pembangunan Ekonomi Desa. Diambil Februari 23, 2023.
Dari
https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7056/2/T2_902010002_BAB
%20II.pdf.
192
Widya Yuridika: Jurnal Hukum, Volume 7 (1) 2024
Tokopedia.
CSR.
Diambil
Februari
https://www.tokopedia.com/about/impact/.
193
21,
2023.
Dari
Widya Yuridika: Jurnal Hukum, Volume 7 (1) 2024
194