Dawat una: Journal of Communicat ion and Isla mic Broadcast ing
Volume 3 Nomor 4 (2023) 1196-1208 E-ISSN 2798-6683 P-ISSN 2798-690X
DOI: 10.47476/dawatuna.v3i4.3314
Sosial Media Sebagai Media Kampanye Partai Politik
1Mikhael
Yulius Cobis, 2Udi Rusadi
1Institut
Komunikasi & Bisnis LSPR,
Sahid
[email protected]
2Universitas
ABSTRACT
The development of information technology is currently growing rapidly. The use of social media as
an effective tool for political campaigns has been widely reported in several studies. The power of social
media has fueled transparency and supported e-democracy around the world. Citizens have the freedom to
choose the best candidate to represent them in parliament. This study aims to examine the role of social
media as a campaign media for political parties (political parties). This study was a descriptive study with
secondary data. The results of the study showed that there were several factors that affect the electability of
general elections. They can also be influenced by the existence of social media accounts for each candidate or
political party to attract sympathizers. The use of social media by political parties was carried out by almost
all political parties in Indonesia, so that political parties with a low existence rate compared to elite political
parties had a greater effort to demonstrate the capabilities of these political parties. Another advantage of
the use of social media by political parties was that they were able to embrace more sympathizers from the
younger generation, for example Gen Z and Millennials. This was expected to significantly increase public
participation in political activities for all people and generations.
Keywords : social media, political campaign, political parties.
ABSTRAK
Perkembangan informasi teknologi saat ini sangat berkembang pesat. Penggunaan media sosial
sebagai alat yang efektif untuk kampanye politik telah banyak dilaporkan di beberapa studi. Kekuatan
media sosial telah memicu transparansi dan mendukung e-demokrasi di seluruh dunia. Warga negara
memiliki kebebasan untuk memilih caleg terbaik untuk mewakilinya di parlemen. Penelitian ini bertujuan
untuk mengkaji peranan sosial media sebagai media kampanye partai politik (parpol). Studi ini adalah
studi deskriptif dengan data sekunder. Hasil studi menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi elektabilitas pemilihan umum juga dapat dipengaruhi oleh eksistensi akun sosial media
masing-masing calon atau parpol guna menarik angka simpatisan. Pemanfaatan dari sosial media oleh
parpol ini dilakukan hampir seluruh parpol yang ada di Indonesia, sehingga parpol dengan angka
eksistensi yang rendah dibandingkan parpol elite memiliki usaha yang lebih besar untuk menunjukkan
kapabilitas parpol tersebut. Keuntungan lain dari pemanfaatan sosial media oleh parpol ini adalah mampu
lebih banyak merangkul simpatisan dari generasi-generasi muda misanya Gen Z dan Milenial sehingga
diharapkan dapat secara signifikan meningkatkan partisipasi publik dalam kegiatan politik untuk semua
kalangan dan generasi.
Kata kunci: sosial media, kampanye politik, partai politik.
PENDAHULUAN
Perkembangan internet di Indonesia banyak digunakan untuk berbagai macam kegiatan,
salah satunya adalah komunikasi medsos atau media sosial. Jumlah pengguna sosial media kini
1196 | V o l u m e 3 N o m o r 4
2023
Dawat una: Journal of Communicat ion and Isla mic Broadcast ing
Volume 3 Nomor 4 (2023) 1196-1208 E-ISSN 2798-6683 P-ISSN 2798-690X
DOI: 10.47476/dawatuna.v3i4.3314
dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat, bahkan para tokoh politik. Perkembangan
komunikasi sosial media terutama dengan metode online menjadikan platform ini sebagai media
promosi termasuk untuk kepentingan politik. Aplikasi jejaring sosial seperti Facebook, Twitter,
Instagram, Youtube, dan aplikasi lainnya sangat berperan penting bagi para tokoh politik untuk
memberitahukan eksistensi dan kedekatan secara virtual lewat unggahan foto dan video.
Para partai politik (parpol) saling berlomba tampil di depan kamera dan merekam
kegiatan politiknya yang dianggap dapat menarik simpati masyarakat. Tidak jarang, banyak dari
tokoh parpol menyisipkan gimmick atau trik demi mencari atensi. Gimmick disampaikan dengan
kreativitas para tokoh di baliknya, seperti dengan bergaya komedi, mengikuti tren masa kini,
hingga saling berbalas komentar mengenai isu yang sedang hangat di masyarakat. Dengan
begitu, masyarakat dapat dengan mudah mengenal karakter dan visi misi tokoh -tokoh politik
tersebut. Salah satu aplikasi internet yang paling populer saat ini adalah situs media sosial.
Aplikasi media sosial ini tumbuh secara signifikan dan menarik banyak perhatian dari pengguna
online. Saat ini, media sosial telah digunakan untuk komunikasi pribadi, pendidikan (Abdillah,
2013), promosi (Rahadi & Abdillah, 2013), dan berbagi pengetahuan dan informasi (Abdillah,
2014).
Studi-studi sebelumnya berfokus terutama pada kajian kontribusi positif teknologi baru
terhadap perkembangan demokrasi (Sobri, 2012). Kajian-kajian ini memandang media sosial
sebagai media alternatif di mana para pemilih terlibat dalam pertimbangan dan partisipasi
politik (Suaedy, 2014). Kajian dari aliran ini sering melihat detail fitur teknologi media sosial dan
dampak selanjutnya terhadap politik, khususnya proses pemilu di Indonesia (Ibrahim et al.,
2015; Utomo, 2013; Yuliatiningtyas, 2014).
Internet telah menjadi saluran perantara yang populer untuk komunikasi politik selama
kampanye pemilu, dan khususnya, platform media sosial menjadi pilihan utama karena potensi
partisipatif dan interaktifnya yang cukup tinggi (Kalsnes, 2016). Partai politik dan politisi
perorangan dapat menggunakan media sosial untuk melewati media dan berkomunikasi
langsung dengan pemilih melalui situs web dan platform media sosial seperti Facebook dan
Twitter. Namun terlepas dari potensi hubungan yang lebih dekat dengan pemilih, beberapa
partai politik dan politisi enggan memanfaatkan aspek interaktif dan sosial dari media sosial.
Kehilangan kontrol, waktu terbatas, dan sumber daya diduga menjadi beberapa alasan mengapa
beberapa orang ragu-ragu menggunakan alat komunikasi digital baru (Klinger, 2013; Lüders et
al., 2014). Salah satu pandangan paling umum tentang media sosial adalah memungkinkan
warga untuk mendiskusikan isu-isu alternatif dari apa yang ditentukan oleh elit politik dan
ekonomi, dan karena itu umumnya diproduksi dan didistribusikan melalui media konvensional.
Studi yang lebih baru cenderung menekankan pada konsekuensi negatif dari penggunaan media
sosial di ranah politik dan pemilu seperti produksi dan distribusi berita bohong atau hoax
(Syahputra, 2017). Berdasarkan fenomena dan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis peranan sosial media sebagai media kampanye partai politik.
1197 | V o l u m e 3 N o m o r 4
2023
Dawat una: Journal of Communicat ion and Isla mic Broadcast ing
Volume 3 Nomor 4 (2023) 1196-1208 E-ISSN 2798-6683 P-ISSN 2798-690X
DOI: 10.47476/dawatuna.v3i4.3314
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah studi deskriptif menggunakan penelitian kepustakaan sebagai
sumber data dan informasinya, yang berasal dari buku, naskah akademik, artikel jurnal ilmiah,
atau sumber literatur lainnya. Penelitian deskriptif yaitu mengumpulkan data berdasarkan
faktor-faktor yang menjadi pendukung terhadap objek penelitian, kemudian menganalisa faktorfaktor tersebut untuk dicari peranannya (Arikunto, 2013). Data yang telah terkumpul akan
diolah dan pengolahan data dilakukan dengan triangulasi, reduksi, penyajian data, penarikan
kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Partai politik selalu beradaptasi dengan teknologi komunikasi baru dan li ngkungan
pemilu yang berubah untuk meningkatkan peluang mereka dalam pemilu nasional dan lokal.
Internet dan alat jejaring sosial semakin menjadi praktik komunikasi standar bagi para aktor
politik dan juga di luar kampanye pemilu (McNair, 2017). Kruikemeier et al., (2013) mengklaim
bahwa komunikasi politik online dapat meningkatkan keterlibatan politik warga negara dengan
mendekatkan politik kepada warga negara, yaitu melalui interaktivitas dan personalisasi.
Dengan demikian, penggunaan strategis media sosial selama kampanye pemilu dapat
bermanfaat bagi partai. Komunikasi politik pada umumnya memiliki fungsi strategis atau
terarah, apakah itu dimediasi melalui media sosial atau editorial atau berlangsung secara tatap
muka. Dengan demikian, dapat didefinisikan bahwa komunikasi politik sebagai komunikasi yang
dilakukan oleh politisi dan aktor politik lainnya untuk tujuan mencapai tujuan tertentu (McNair,
2017). Sejauh ini, sebagian besar penelitian berfokus pada analisis media tradisional dan apakah
penggunaan media sosial aktor politik mengarah pada visibilitas di media tradisional
(Kruikemeier et al., 2018; Wells et al., 2016). Chadwick et al., (2015) mencatat bahwa sebagian
besar konten kampanye yang didiskusikan secara online bersifat campuran, pertama kali muncul
di televisi atau surat kabar sebelum berpindah ke media sosial.
Pemanfaatan media sosial (medsos) sebagai alat kampanye merupakan suatu bentuk
revolusi komunikasi di ranah politik Indonesia. Peran media sosial selama ini telah berhasil
meningkatkan elektabilitas sejumlah partai politik (parpol) bahkan calon presiden (capres).
Sejumlah parpol sudah lama sadar akan pentingnya media sosial dalam mendorong elektabilitas
partai terutama di era disrupsi seperti saat ini, kampanye terbuka dinilai sudah tidak efektif lagi
karena selain menyedot anggaran yang besar untuk kehadiran massa yang begitu besar dalam
sebuah kampanye terbuka. Hal ini bukan lagi menjadi indikator kemenangan. Sejumlah partai
politik mengandalkan platform media sosial untuk meningkatkan popularitas jelang pemilu
2024. Berikut daftar jumlah followers akun partai politik per 21 Juli 2022 :
Partai Politik
GERINDRA
Tabel 1 Daftar Jumlah Followers Akun Partai Politik
Logo
Facebook
Twitter
Instagram
3,4 Juta
628 ribu
541 ribu
1198 | V o l u m e 3 N o m o r 4
2023
Total Followers
4,56 Juta
Dawat una: Journal of Communicat ion and Isla mic Broadcast ing
Volume 3 Nomor 4 (2023) 1196-1208 E-ISSN 2798-6683 P-ISSN 2798-690X
DOI: 10.47476/dawatuna.v3i4.3314
PSI
2,9 juta
152,8 ribu
235 ribu
3,28 juta
PDIP
1,5 Juta
275,7 ribu
263 ribu
2,04 juta
PKS
1 juta
458,6 ribu
305 ribu
1,76 juta
DEMOKRAT
225 ribu
207,6 ribu
613 ribu
1,04 juta
PKB
86 ribu
110,8 ribu
574 ribu
770,8 ribu
PERINDO**
383 ribu
25 ribu
331 ribu
739 ribu
PPP
312 ribu
50,4 ribu
136 ribu
498,4 ribu
PAN
183 ribu
76,3 ribu
59,3 ribu
318,6 ribu
NASDEM
100 ribu
111,9 ribu
77,4 ribu
289,3 ribu
GOLKAR
61 ribu
90 ribu
38,1 ribu
189,1 ribu
Sumber: (CNN Indonesia, 2022)
Merujuk dari jumlah followers atau pengikut di media sosial pada Juli 2022, Partai
Gerakan Indonesia Raya atau Partai Gerindra menjadi parpol terpopuler dengan jumlah pengikut
akun Instagram, Twitter, dan Facebook mencapai 4,57 juta akun. Partai yang didirikan oleh
Prabowo Subianto ini berhasil masuk peringkat pertama dari parpol pesaing lainnya.
Dinamika politik yang terjadi dalam momentum pemilu khususnya pada masa kampanye
adalah penggunaan komunikasi politik untuk menarik simpati pemilih dengan memanfaatkan
ruang media massa khususnya media sosial. Media sosial khususnya facebook telah menjadi alat
yang sangat diperlukan untuk menerapkan strategi kampanye. Kampanye kandidat d alam
bentuk iklan semakin meningkat menjelang hari pemungutan suara (Calvo et al., 2021). Media
sosial menjadi sebuah media massa penting dalam memperoleh khalayak yang leb ih luas. Pada
Pemilu 2019, media sosial menjadi sarana komunikasi politik yang sangat masif. Salah satu sosial
media yang paling banyak digunakan untuk media komunikasi politik siber adalah twitter.
Penelitian dari Yuliahsari (2016) menyatakan bahwa media sosial Twitter merupakan salah satu
contoh media massa yang populer di kalangan generasi muda dan telah menjadi sarana
sosialisasi politik tentang pemilu saat ini.
Kampanye kandidat dalam bentuk jumlah iklan akan meningkat menjelang hari
pemungutan suara (Calvo et al., 2021). Hal ini juga terlihat ketika pemaparan kampanye Obama
yang dilakukan pada minggu-minggu terakhir pemilu menghasilkan peningkatan yang cukup
besar pada intensi memilih masyarakat (Bartels, 2014). Momentum krusial di saat-saat
menjelang penyelenggaraan pemilu menyebabkan meningkatnya gelombang kampanye yang
semakin besar. Kampanye penyerangan dalam iklim pemilu di Indonesia kerap diakomodasi
oleh massa. Kandidat melakukan strategi kampanye untuk menyerang baik kampanye negatif
maupun kampanye hitam dengan memanfaatkan ruang media massa khususnya media sosial
karena sifat informasi yang tersebar lebih luas. Dalam kondisi demikian, peran buzzer sebagai
1199 | V o l u m e 3 N o m o r 4
2023
Dawat una: Journal of Communicat ion and Isla mic Broadcast ing
Volume 3 Nomor 4 (2023) 1196-1208 E-ISSN 2798-6683 P-ISSN 2798-690X
DOI: 10.47476/dawatuna.v3i4.3314
buzzer informasi sangat terasa. Sejak Pemilu 2014 di Indonesia, layanan informasi buzzer mulai
banyak digunakan oleh kandidat politik sebagai strategi komunikasi politik (Juditha, 2021).
Gambar 1 Partai Politik Terpopuler di Media Sosial
Sumber: GoodStats, 23 Juli 2022
Berdasarkan Gambar 1, selain Gerindra, peringkat 2 teratas diraih oleh Partai Solidaritas
Indonesia (PSI) yang mendapat jumlah total pengikut di Instagram, Twitter, dan Facebook
sebanyak 3,35 juta akun. Kemudian diikuti oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI -P)
mencapai 2,04 juta akun, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan jumlah 1,76 juta akun, dan
Partai Demokrat sejumlah 1,04 ribu akun. Jumlah ini membuktikan bahwa banyak para
pengguna media sosial di Indonesia yang turut aktif mengikuti perkembangan para partai pol itik
pilihan mereka untuk bersiap pada Pemilihan Umum (Pemilu) pada tahun 2024 mendatang.
Fenomena tersebut kemudian ditanggapi serius oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI yang
menyatakan bahwa akun media sosial parpol hingga pasangan calon (paslon) dan per seorangan
harus didaftarkan ke KPU sesuai tingkatan.
Berdasarkan penelitian sebelumnya tentang situs kampanye (Naseer & Mahmood, 2016)
dan pemanfaatan media sosial oleh partai politik dan politisi Indonesia (Alami, 2013; Beers,
2014; Johansson, 2016a, 2016b), menunjukkan bahwa partai-partai Indonesia belum mencapai
potensi maksimalnya dalam menggunakan media digital untuk menyebarluaskan pesan dan
propaganda politik. Partai tua yang mapan di Indonesia terus terlibat dengan konstituennya
tanpa terlalu bergantung pada media sosial. Studi ini menduku ng klaim oleh Lim (2013) bahwa
aktivisme media sosial di Indonesia belum diterjemahkan ke dalam aktivisme politik online.
Fakta bahwa akun Twitter dan Instagram partai, misalnya, hanya diikuti oleh pecahan jutaan
pengguna aktif menunjukkan sebagian besar masyarakat Indonesia tidak menyalurkan aspirasi
politiknya di internet.
Mendekati Pilpres 2024 mendatang, berbagai lembaga survei di Indonesia menyajikan
data survei elektabilitas kandidat populer calon presiden, dikenal pula survei capres. Tiga nama
yang selalu menduduki peringkat teratas ialah Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies
Baswedan. Elektabilitas menurut KBBI diartikan sebagai kompetensi atau kemampuan
1200 | V o l u m e 3 N o m o r 4
2023
Dawat una: Journal of Communicat ion and Isla mic Broadcast ing
Volume 3 Nomor 4 (2023) 1196-1208 E-ISSN 2798-6683 P-ISSN 2798-690X
DOI: 10.47476/dawatuna.v3i4.3314
seseorang dipilih untuk mengemban jabatan tertentu pada pemerintahan. Dalam analisis yang
dilakukan , ditemukan bahwa semakin maraknya pencitraan politik secara positif yang dilakukan
parpol baik melalui media cetak maupun elektronik ternyata tidak terlalu berdampak pada
kenaikan elektabilitas dari partai tersebut.
Menjelang Pemilu 2024, penggunaan frekuensi publik dalam upaya pencitraaan dan
untuk mendongkrak suara parpol kian meningkat. Berdasarkan survei Voxpopuli Research
Center, jika dibandingkan dengan survei-survei sebelumnya sejak Desember 2021, elektabilitas
Golkar stabil pada kisaran 8 persen, kini melemah menjadi 7,3 persen, tren elektabilitas Partai
Solidaritas Indonesia (PSI) terus naik, dan kini mencapai 5,5 persen, dari 15 parpol, terdapat 5
parpol yang menduduki posisi teratas, posisi puncak diduduki oleh PDIP dengan elektabilitas
18,4%, disusun Gerindra13,5 %, selanjutnya PKB pada urutan ke 4 (empat) dengan elektabilitas
8%, Golkar 7,3%, dan Demokrat 5,7%. Sementara urutan terbawah adalah PBB dengan
elektabilitas 0,3%. PDIP dan Gerinda menduduki dua posisi teratas dalam elektabilitas politik,
sepanjang 2022 kedua partai tersebut tetap memimpin dimana keduanya sama -sama peyangga
koalisi pemerintahan Jokowi periode kedua. PDIP sebagai satu-satunya partai yang bisa
mengusung capres-cawapres tanpa berkoalisi menjadi faktor signifikan dalam peta koalisi, dan
jika PDIP maju sendirian terbuka kemungkinan maksimal ada empat pasangan calon . (Prasetia,
2023)
Hasil survei Parameter Indonesia menunjukkan bahwa elektabilitas PDIP menduduki
posisi tertinggi dengan 22,1, disusul Gerindra dengan 11,9%, Golkar pada posisi ketiga dengan
10,8%, Demokrat dengan 8,4%, dan PKB pada posisi ke lima dengan 8,2%. Peingkatan
elektabilitas partai politik tersebut diprediksi dipengaruhi oleh faktor ketokohan, faktor citra
dan emosional dalam penentu arah pemilihan partai.
Survei DataIndonesia.id menyebutkan 8 suara tertinggi dalam simulasi semi t erbuka,
PDIP memimpin dengan eletabilitas tertinggi yakni 25,7%, disusul Golkar 10,5%, Gerindra 9,5%,
Demokrat 9%, PKB 7,4%, Nasdem 5,1%, PKS 4,4%, dan Perindo 2,8% (Sadya, 2023). Hasil survei
Centre for Strategic and International Studies (CSIS) PDIP menduduki posisi teratas dengan
elektabilitas 21,6%, Gerindra 18%, Golkar 11,3%, Demokrat 11,5%, PKB 6,9%, PKS 5,8%,
NasDem 5,1%, PPP 1,8%, PAN 1,8%, PSI 0,8%, Garuda 0,7%, Hanura 0,5%, PBB 0,3%, Berkarya
0,1%, dan PKPI 0,1% (Rahayu, 2022). Sementara itu, hasil survei Saiful Mujani Research and
Consulting (SMRC), PDIP mengalami penguatan, Partai Demokrat relatif stagnan, dan partai partai lain cenderung melemah. PDIP berada di posisi teratas dengan 25,6 persen dukungan.
Urutan kedua diperebutkan Golkar yang meraih 9,7%, Gerindra 9 %, dan Demokrat 8,6 %. PKB
mendapatkan dukungan 5,6%, Nasdem 4,8%, PKS 4,1%, PAN 3,2 %, partai-partai lain di bawah 3
% (Rizkia, 2022)
Dari hasil survei yang dilakukan oleh Voxpopuli Research Center, Parameter Indonesia,
DataIndonesia.id, Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS), serta Saiful Mujani
Research and Consulting (SMRC), menunjukkan bahwa elektabilitas partai yang kerap melakukan
pencitraan politik melalui media massa seperti Partai Hanura, PAN, PSI, Garuda, PBB, PKPI,
Berkarya, belum mampu menyaingi elektabilitas partai besar seperti PDIP, Gerindra, Demokrat,
1201 | V o l u m e 3 N o m o r 4
2023
Dawat una: Journal of Communicat ion and Isla mic Broadcast ing
Volume 3 Nomor 4 (2023) 1196-1208 E-ISSN 2798-6683 P-ISSN 2798-690X
DOI: 10.47476/dawatuna.v3i4.3314
PKB dan belum dapat menembus posisi lima besar dari setiap hasil survei yang diluncurkan. Hal
ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia semakin cerdas terhadap apa yang hendak dilihat
melalui media massa. Masyarakat Indonesia akan memilih partai politik yang dinilai memiliki
visi membela rakyat kecil, bukan berdasarkan banyaknya jumlah iklan maupun pencitraan
politik yang ditampilkan. Kemudian, keberadaan figur politik dari masing – masing partai politik
juga memiliki peranan yang cukup kuat terhadap elektabilitas partai itu sendiri (Widyanto &
Putri, 2014).
Studi oleh Lim (2015) menegaskan jutaan orang Indonesia, kebanyakan muda, memiliki
akses ke Internet dan mereka berbondong-bondong ke media sosial, menjadikan negara ini
sangat besar di Facebook dan Twitter. Sebuah studi oleh Tapsell & Jurriens (2017) menunjukkan
bahwa tidak jarang orang Indonesia membuat banyak akun Facebook; satu untuk publik tanpa
filter, sementara yang lainnya untuk orang yang mereka kenal cukup baik/close friends.
Seringkali, pengguna Indonesia memiliki lebih dari 1.000 'teman', banyak di antaranya belum
pernah mereka temui secara langsung. Dia juga berpendapat bahwa teknologi digital baru
menarik Indonesia ke dua arah; (1) digitalisasi memungkinkan oligarki untuk mengontrol media
arus utama dan mendorong struktur kekuasaan elit terpusat, (2) media digital digunakan oleh
warga untuk pembebasan. Semakin banyak calon presiden yang merangkul dan berusaha untuk
meningkatkan popularitas mereka di media sosial – sebuah keputusan yang menurut para ahli
akan menjadi kunci dalam pemilihan yang akan datang. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo
dari PDIP misalnya, telah lama diuntungkan oleh popularitas persona onli ne-nya, mengalahkan
favorit internal partai Puan Maharani, putri ketua umum Megawati Soekarnoputri. Selain itu
baru-baru ini menarik perhatian netizen Indonesia setelah memposting foto dirinya di Twitter di
mana dia berpose di bawah spanduk besar Puan tanpa senyum khasnya. Judulnya berbunyi,
"Siap!".
Berdasarkan analisa dari penelitian-penelitian sebelumnya dan hasil survei dari berbagai
patform, menunjukkan bahwa berbagai macam Partai politik dapat terlibat dan berpartisipasi
dalam upaya mempengaruhi situasi politik menjelang Pilpres 2024. Parpol ini juga
menggunakan media sosial untuk membangun citra politik jauh sebelum pemilu dimulai. Hal ini
menandakan bahwa menjelang Pemilu 2024, parpol sudah berusaha mempengaruhi respon dan
sikap politik masyarakat. Tren data juga menunjukkan kontestasi politik antara partai politik
nasionalis dan partai politik berbasis agama menjelang pemilihan presiden 2024. Berdasarkan
data, diketahui partai PKS, PKB, dan PAN berada pada posisi yang dianggap berusaha
mempengaruhi dominasi partai nasionalis seperti PDIP, Gerindra, PKB, Demokrat, dan Golkar.
Namun, hal itu juga membuka peluang bagi masing-masing parpol tersebut untuk membangun
koalisi politik pada pemilu mendatang untuk memenangkan pemilu.
Hal tersebut sejalan dengan analisis yang dilakukan oleh Syamsurrijal et al., (2021) yang
menyebutkan bahwa relevansi temuan ini memiliki karakteristik yang sama dengan situasi
politik Indonesia saat ini. Ini menyoroti peluang kemajuan kandidat potensial dengan
menghubungkan beberapa hal. Pertama, Anies Baswedan adalah Gubernur Jakarta, sering masuk
pasar pencalonan, memiliki pengalaman politik, dan beberapa periode sebelumnya diketahui
1202 | V o l u m e 3 N o m o r 4
2023
Dawat una: Journal of Communicat ion and Isla mic Broadcast ing
Volume 3 Nomor 4 (2023) 1196-1208 E-ISSN 2798-6683 P-ISSN 2798-690X
DOI: 10.47476/dawatuna.v3i4.3314
selalu ada calon yang berhasil maju sebagai capres setelah menjabat sebagai Gubernur Jakarta,
dan ini bisa dilihat dari pengalaman presiden saat ini, Joko Widodo yang sebelumnya menjabat
Gubernur Jakarta. Kedua, Prabowo adalah mantan kandidat dalam dua pemilihan presiden
sebelumnya. Namun, kalahnya Prabowo sangat memungkinkan untuk mencalonkan diri di
pemilu 2024 dengan berbekal politisi senior dan ketua umum Partai Gerindra. Ketiga, Ganjar
Pranowo menjadi sosok baru yang banyak dikaitkan dengan pencalonan presiden berdasarkan
survei. Ketiga kandidat potensial tersebut juga aktif menggunakan media sosial Twitter (Jaidka
et al., 2019; Rousidis et al., 2020). Kecenderungan ini mengakibatkan perdebatan politik antara
partai politik termasuk terkait parpol berbasis agama dan partai politik nasionalis (Hemmatian
& Sohrabi, 2019).
Fitur berbeda dari platform media sosial dapat memiliki implikasi penting bagi paparan
media politik dan pengaruhnya terhadap keterlibatan dan partisipasi. Orang dapat berargumen
bahwa sifat berbeda dari informasi politik di media sosial sangat menarik bagi generasi muda
yang melihat politik sebagai topik yang membosankan dan terbatas, serta stigma mengenai
sasaran parpol yang tidak berfokus pada generasi muda (Briggs, 2017; Moeller et al., 2018).
Padahal, selain akses yang mudah dan ada di mana-mana di media sosial, yang menghubungkan
mereka satu sama lain, relevansi pribadi, keragaman, dan keterarahan dapat menjelaskan
tingginya serapan platform media sosial untuk penggunaan informasi politik di kalangan anak
muda.
Sebuah survei Center for Strategic and International Studies (CSIS) memperkirakan
bahwa anggota Gen-Z dan milenial, yang didefinisikan sebagai mereka yang berusia 17 hingga 39
tahun, akan mencapai hampir 60 persen pemilih pada tahun 2024. Survei yang berfokus pad a
kaum muda juga menemukan bahwa 59 persen responden menggunakan media sosial sebagai
sumber informasi utama mereka, karenanya pentingnya platform media sosial untuk tujuan
kampanye. Tapi karena dimoderasi ringan, sudah ada tanda-tanda terulangnya dua pemilihan
presiden terakhir, di mana informasi yang salah dan ujaran kebencian berkembang dengan
mudah dan cepat di media sosial.
Dengan perkiraan Gen-Zers dan milenial yang sangat aktif dan mendominasi di dunia
internet akan menjadi lebih dari separuh pemilih dalam pemilihan presiden 2024. Sementara
disisi lain, adanya obrolan online dipenuhi dengan pesan-pesan yang mendukung dan menjelekjelekkan kandidat potensial tertentu dapat menjadi suatu kegaduhan. Penggunaan kalimatkalimat yang tidak baik, saling mengejek atau menghina secara pribadi oleh peserta pemilu dan
pendukungnya, menyinggung Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA), dan hal -hal negatif
lainnya berpotensi mengubah konflik di dunia maya menjadi dunia nyata. Padahal, kondisi
seperti itu tidak perlu terjadi jika seluruh peserta Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 bisa saling
menahan diri dan saling menghargai. Perdebatan di grup media sosial seperti WhatsApp dan
Facebook cenderung memanas karena salah satu pihak atau masing -masing pihak
mempertahankan argumen atau persepsi yang dipegang masing-masing. Selain itu, adanya
masalah yang muncul akibat akun palsu yang ikut berdebat dan cenderung provokatif juga
dinilai memperburuk kegaduhan.
1203 | V o l u m e 3 N o m o r 4
2023
Dawat una: Journal of Communicat ion and Isla mic Broadcast ing
Volume 3 Nomor 4 (2023) 1196-1208 E-ISSN 2798-6683 P-ISSN 2798-690X
DOI: 10.47476/dawatuna.v3i4.3314
Generasi Milenial lebih sering terlibat dalam praktik-praktik ini daripada aktivitas
politik. Milenial tumbuh di masa kemakmuran, jaminan sosial, dan tingkat pendidikan yang lebih
tinggi, yang mengarah ke 'peningkatan nilai ekspresif di kalangan generasi muda' (Dalton, 2017).
Sifat ini tercermin dalam tingkat partisipasi mereka yang lebih tinggi dalam kegiatan non-politik
dan bermotivasi politik. Andersen et al. (2021) menemukan efek positif dari paparan berita
politik pada partisipasi non politis tetapi bermotivasi politik baik dalam model statis maupun
dinamis. Dengan kata lain, semakin banyak warga negara terpapar informasi politik di media
berita, semakin mereka terlibat dalam praktik non-politik tetapi bermotivasi politik. Selain itu,
Andersen et al. (2021) menemukan pola serupa antara Baby Boomers dan Generasi Z sebagai
dua generasi yang paling terpengaruh. Generasi yang paling sering terlibat dalam praktik non politik tetapi bermotivasi politik yaitu Generasi X, mendapat manfaat paling sedikit dari paparan
media berita politik. Oleh karena itu, konten informasi politik dan cara penyajiannya di media
sosial dapat menarik kelompok populasi yang berbeda, terutama warga negara yang tergabung
dalam Milenial dan Generasi Z, yang memiliki minat dan pengetahuan politik yang lebih sedikit
daripada generasi yang lebih tua.
KESIMPULAN DAN SARAN
Perkembangan informasi dan teknologi saat ini sangat berkembang pesat dan dapat
menjadi suatu media komunikasi untuk berbagai macam tujuan. Salah satu pemanfaatan sosial
media sebagai sarana komunikasi online saat ini adalah kampanye partai politik. Beberapa
faktor yang mempengaruhi elektabilitas pemilihan umum juga dapat dipengaruhi oleh eksistensi
akun sosial media masing-masing calon atau parpol guna menarik angka simpatisan.
Pemanfaatan dari sosial media oleh parpol ini dilakukan hampir seluruh parpol yang ada di
Indonesia, sehingga parpol dengan angka eksistensi yang rendah dibandingkan parpol elite
memiliki usaha yang lebih besar untuk menunjukkan kapabilitas parpol tersebut. Keuntungan
lain dari pemanfaatan sosial media oleh parpol ini adalah mampu lebih banyak merangkul
simpatisan dari generasi-generasi muda misanya Gen Z dan Milenial sehingga diharapkan dapat
secara signifikan meningkatkan partisipasi publik dalam kegiatan politik untuk semua kalangan
dan generasi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, L. A. (2013). Students learning center strategy based on e -learning and blogs. arXiv
preprint arXiv:1307.7202.
Abdillah, L. A. (2014). Managing information and knowledge sharing cultures in higher
educations institutions. arXiv preprint arXiv:1402.4748.
Alami, A. N. (2013). Menakar Kekuatan Media Sosial Menjelang Pemilu 2014. Jurnal Penelitian
Politik, 10(1), 15.
Andersen, K., Ohme, J., Bjarnøe, C., Bordacconi, M. J., Albæk, E., & De Vreese, C. H. (2021).
1204 | V o l u m e 3 N o m o r 4
2023
Dawat una: Journal of Communicat ion and Isla mic Broadcast ing
Volume 3 Nomor 4 (2023) 1196-1208 E-ISSN 2798-6683 P-ISSN 2798-690X
DOI: 10.47476/dawatuna.v3i4.3314
Generational gaps in political media Use and civic engagement: From baby Boomers to
Generation Z. Taylor & Francis.
Arikunto, S. (2013). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik.
Bartels, L. M. (2014). Remembering to forget: A note on the duration of campaign advertising
effects. Political Communication, 31(4), 532–544.
Beers, S. (2014). Shallow or rational public spheres? Indonesian political parties in the twitter sphere. SEARCH: The Journal of the South East Asia Research Centre for Communication
and Humanities, 6(2), 1–23.
Boukes, M. (2019). Social network sites and acquiring current affairs knowledge: The impact of
Twitter and Facebook usage on learning about the news. Journal of Information
Technology & Politics, 16(1), 36–51.
Briggs, J. (2017). Young people and participation in Europe. In Young People and Political
Participation (hal. 63–86). Springer.
Cacciatore, M. A., Yeo, S. K., Scheufele, D. A., Xenos, M. A., Brossard, D., & Corley, E. A. (2018). Is
Facebook making us dumber? Exploring social media use as a predictor of political
knowledge. Journalism & mass communication quarterly, 95(2), 404–424.
Calvo, D., Cano-Orón, L., & Baviera, T. (2021). Global spaces for local politics: An exploratory
analysis of Facebook Ads in Spanish election campaigns. Social Sciences, 10(7), 271.
Chadwick, A., Dennis, J., & Smith, A. P. (2015). Politics in the age of hybrid media: Power, systems,
and media logics. In The Routledge companion to social media and politics (hal. 7–22).
Routledge.
CNN Indonesia. (2022). INFOGRAFIS: Daftar “Followers” Parpol Terbanyak di Media Sosial.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220722131639-35-824819/infografisdaftar-followers-parpol-terbanyak-di-media-sosial
Dalton, R. J. (2017). The participation gap: Social status and political inequality. Oxford University
Press.
Edgerly, S., Thorson, K., & Wells, C. (2018). Young citizens, social media, and the dynamics of
political learning in the US presidential primary election. American Behavioral Scientist,
62(8), 1042–1060.
Fletcher, R., & Nielsen, R. K. (2018). Are people incidentally exposed to new s on social media? A
comparative analysis. New media & society, 20(7), 2450–2468.
1205 | V o l u m e 3 N o m o r 4
2023
Dawat una: Journal of Communicat ion and Isla mic Broadcast ing
Volume 3 Nomor 4 (2023) 1196-1208 E-ISSN 2798-6683 P-ISSN 2798-690X
DOI: 10.47476/dawatuna.v3i4.3314
Gil de Zúñiga, H., Weeks, B., & Ardèvol-Abreu, A. (2017). Effects of the news-finds-me perception
in communication: Social media use implications for news seeking and learnin g about
politics. Journal of computer-mediated communication, 22(3), 105–123.
Hemmatian, F., & Sohrabi, M. K. (2019). A survey on classification techniques for opinion mining
and sentiment analysis. Artificial intelligence review, 52(3), 1495–1545.
Ibrahim, M., Abdillah, O., Wicaksono, A. F., & Adriani, M. (2015). Buzzer detection and sentiment
analysis for predicting presidential election results in a twitter nation. 2015 IEEE
international conference on data mining workshop (ICDMW), 1348–1353.
Jaidka, K., Ahmed, S., Skoric, M., & Hilbert, M. (2019). Predicting elections from social media: a
three-country, three-method comparative study. Asian Journal of Communication, 29(3),
252–273.
Johansson, A. C. (2016a). Social media and politics in Indonesia. Stockholm School of Economics
Asia Working Paper, 42(2).
Johansson, A. C. (2016b). Tweeting for Power: Social Media and Political Campaigning in
Indonesia. Stockholm School of Economics Asia Working Paper No, 43, 27.
Juditha, C. (2021). Analysis of Content The Case of Cyberbullying Against Celebrities on
Instagram. Jurnal Penelitian Komunikasi Dan Opini Publik, 25(2).
Kalsnes, B. (2016). The social media paradox explained: Comparing political parties’ Facebook
strategy versus practice. Social Media+ Society, 2(2), 2056305116644616.
Klinger, U. (2013). Mastering the art of social media: Swiss parties, the 2011 national election
and digital challenges. Information, communication & society, 16(5), 717–736.
Kruikemeier, S., Gattermann, K., & Vliegenthart, R. (2018). Understanding the dynamics of
politicians’ visibility in traditional and social media. The Information Society, 34(4), 215–
228.
Kruikemeier, S., Van Noort, G., Vliegenthart, R., & De Vreese, C. H. (2013). Getting closer: The
effects of personalized and interactive online political communication. European journal
of communication, 28(1), 53–66.
Lee, S., & Xenos, M. (2019). Social distraction? Social media use and political knowledge in two
US Presidential elections. Computers in human behavior, 90, 18–25.
Lim, M. (2013). The internet and everyday life in Indonesia: A new moral panic? Bijdragen tot de
taal-, land-en volkenkunde/Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia,
1206 | V o l u m e 3 N o m o r 4
2023
Dawat una: Journal of Communicat ion and Isla mic Broadcast ing
Volume 3 Nomor 4 (2023) 1196-1208 E-ISSN 2798-6683 P-ISSN 2798-690X
DOI: 10.47476/dawatuna.v3i4.3314
169(1), 133–147.
Lim, M. (2015). Many clicks but little sticks: Social media activism in Indonesia. Digital activism
in Asia reader, 127–154.
Lüders, M., Følstad, A., & Waldal, E. (2014). Expectations and experiences with MyLabourParty:
From right to know to right to participate? Journal of Computer-Mediated Communication,
19(3), 446–462.
McNair, B. (2017). An introduction to political communication. Routledge.
Moeller, J., Kühne, R., & De Vreese, C. (2018). Mobilizing youth in the 21st century: How digital
media use fosters civic duty, information efficacy, and political participation. Journal of
broadcasting & electronic media, 62(3), 445–460.
Naseer, M. M., & Mahmood, K. (2016). Ready for e-electioneering? Empirical evidence from
Pakistani political parties’ websites. Internet Research.
Prasetia, F. A. (2023). Survei Terkini Elektabilitas Partai Politik: PDIP Teratas Disusul GerindraPKB,
PSI
Alami
Kenaikan
(W.
Aji
(ed.)).
Tribunnews.com.
https://www.tribunnews.com/nasional/2023/01/08/survei-terkini-elektabilitas-partaipolitik-pdip-teratas-disusul-gerindra-pkb-psi-alami-kenaikan
Rahadi, D. R., & Abdillah, L. A. (2013). The utilization of social networking as promotion media
(Case study: Handicraft business in Palembang). arXiv preprint arXiv:1312.3532.
Rahayu, L. S. (2022). Survei CSIS: PDIP 21,6%, Gerindra 18%, Golkar-PD 11,3%. detikNews.
https://news.detik.com/pemilu/d-6312835/survei-csis-pdip-216-gerindra-18-golkarpd-113
Rizkia, R. (2022). Survei Terbaru SMRC: Elektabilitas PDIP dan Demokrat Meningkat, Gerindra
Turun. SINDOnews.com. https://nasional.sindonews.com/read/949759/12/surveiterbaru-smrc-elektabilitas-pdip-dan-demokrat-meningkat-gerindra-turun-1669201878
Rousidis, D., Koukaras, P., & Tjortjis, C. (2020). Social media prediction: a literature review.
Multimedia Tools and Applications, 79(9), 6279–6311.
Sadya, S. S. (2023). Survei Indikator: PDIP Terus Pimpin Elektabilitas Partai Politik (Di. Bayu
(ed.)). Dataindonesia.id. https://dataindonesia.id/Ragam/detail/survei -indikator-pdipterus-pimpin-elektabilitas-partai-politik.
Sobri, A. (2012). Donasi Online Biayai Kampanye Faisal-Biem. Kompas. com.
Stier, S., Bleier, A., Lietz, H., & Strohmaier, M. (2018). Election campaigning on social media:
1207 | V o l u m e 3 N o m o r 4
2023
Dawat una: Journal of Communicat ion and Isla mic Broadcast ing
Volume 3 Nomor 4 (2023) 1196-1208 E-ISSN 2798-6683 P-ISSN 2798-690X
DOI: 10.47476/dawatuna.v3i4.3314
Politicians, audiences, and the mediation of political communication on Facebook and
Twitter. Political communication, 35(1), 50–74.
Strömbäck, J., & Shehata, A. (2018). Political Journalism. In Oxford Research Encyclopedia of
Communication.
Suaedy, A. (2014). The role of volunteers and political participation in the 2012 Jakarta
gubernatorial election. Journal of Current Southeast Asian Affairs, 33(1), 111–138.
Syahputra, I. (2017). Demokrasi virtual dan perang siber di media sosial: Perspektif Netizen
Indonesia. Jurnal Aspikom, 3(3), 457–475.
Syamsurrijal, M., Nurmandi, A., Jubba, H., Hidayati, M., Baha ruddin, T., & Qodir, Z. (2021).
Prediction Candidates and Political Parties in the Presidential Election 2024 in Indonesia
Based on Twitter.
Tapsell, R., & Jurriens, E. (2017). The political economy of digital media. Digital Indonesia.
Singapore: ISEAS–Yusof Ishak Institute Singapore, 56–72.
Utomo, W. P. (2013). Menimbang media sosial dalam marketing politik di Indonesia: belajar dari
Jokowi-Ahok di Pilkada DKI Jakarta 2012. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 17(1), 67–
84.
Wells, C., Shah, D. V, Pevehouse, J. C., Yang, J., Pelled, A., Boehm, F., Lukito, J., Ghosh, S., & Schmidt,
J. L. (2016). How Trump drove coverage to the nomination: Hybrid media campaigning.
Political communication, 33(4), 669–676.
Widyanto, G., & Putri, N. A. (2014). PENCITRAAN MELALUI MEDIA DAN ELEKTABILITAS PARTAI
POLITIK. In E. Murwani, R. Ritonga, & A. Kadarisman (Ed.), Seminar Besar Nasional (hal.
219–224). Komunikasi Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia.
Yuliahsari, D. (2016). Pemanfaatan twitter buzzer untuk meningkatkan partisipasi pemilih muda
dalam pemilihan umum. Jurnal The Messenger, 7(1), 41–48.
Yuliatiningtyas, S. (2014). Campaign strategies of political parties in the 2014 presidential
election in Indonesia. The Australian Political Studies Association Annual Conference,
University of Sydney Paper.
1208 | V o l u m e 3 N o m o r 4
2023