WACANA PEMBUATAN PERADILAN KHUSUS PEMILU1
BAB I
PENDAHULUAN
Prolog
Pelaksanaan pesta demokrasi melalui pemilihan umum merupakan perwujudan dari
demokrasi. Dimana pemilihan umum itu sendiri tidak pernah terlepas dari warga negara,
karena hal tersebut merupakan hak konstitusional setiap warga negara baik untuk dipilih
maupun untuk memilih. Sebagaimana pemilihan umum diselenggarakan atas dasar
manifestasi persamaan dihadapan hukum (equality before the law) dan kesepatan yang sama
dalam pemerintahan (equal opportunity principle).
Bagi negara yang menganut paham demokrasi, maka tidak bisa tidak pemilihan umum
merupakan pilar utama dari sistem negara tersebut. Karena pemilu berperan sangat penting
dalam membedakan sistem politik, apakah suatu negara yang bersistem demokrasi apakah
bukan (sistem pemerintahan monarki/kerajaan).
Sebagaimana konsep demokrasi yang di kemukakan oleh Josep Schumpeter (mazhab
schumpeterian) yang menempatkan pemilu yang bebas dan berkala sebagai kriteria utama
bagi sistem politik untuk dapat disebut demokrasi. Konsep demokrasi juga di kemukakan
oleh Ijphart yang mengatakan seluruh ide mengenai demokrasi hanyalah konsep imajinasi
apabila diterapkan secara kaku, namun kehendak terhadap bentuk negara demokrasi itu dapat
diwujudkan dengan meletakkan kepada tingkat yang paling mungkin (areasonable degree).
Sehingga pemerintah demokrasi yang tepat bukan sepenuhya di kelola oleh rakyat.
BAB II
PEMBAHASAN
Fungsi Pemilihan
Teori yang mendasari adanya pemilihan umum sebagai konsep demokrasi bermula
dari teori kedaulatan rakyat yang di kemukakan oleh Jean Jacques Rousseau. Lahirnya teori
1
Ditulis untuk memenuhi syarat Lomba Debat Konstitusi 2015 Regional Timur yang diselengarakan oleh
Mahkamah Konstitusi.
Page | 1
ini berawal dari sikap kedaulatan dari raja yang kebanyakan megakibatkan tirani dan
kesengsaraan bagi rakyat. Jean Jacques Rousseau menjelaskan kekuasaan rakyat merupakan
kekuasan tertinggi dengan hal ini melalui perwakilan dengan suara terbanyak. Menurut Jean
Jacques Rousseau keputusan terbanyak merupakan yang mewakili kehendak umum.
Dasar Pengaturan Pemilu di Indonesia
Konstruksi penyeleggaraan pemilihan umum di Indonesisa tercantum dalam konstitusi
UUD 1945 pasal 23E yang terdiri dari 6 ayat. Dalam pasal tersebut khususnya ayat 3
disebutkan penyelenggaran pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan
Perwakilan Daerah. Namun setelah paska perubahan UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah pemilihan umum tidak hanya untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden,
dan Dewan Perwakilan Daerah, pemilihan umum juga dilakukan untuk memilih Kepala
Daerah dan wakil Kepala Derah.
Di negara Indonesia pemilihan umum telah dilakukan sebanyak 11 kali yang dimulai
sejak tahun 1955 dengan konsep yang berbeda-beda. Dalam perjalanan demokrasi tidak
menafikan adanya permasalahan-permasalahan persengketaan pemillihan umum. Contoh
pemilihan umum legislatif yang baru saja dilaksanakan tahu 2014, ada kurang lebih 7520
perkara pemilu baik pelanggaran pidana, pelanggaran administrasi, maupun pelanggaran
kode etik. Sehingga peranan lembaga peradilan sangat penting
sekali untuk ikut serta
mensukseskan pesta demokrasi tersebut.
Di indonesia implementasi dari teori ini dituangkan dalam konstitusi UUD 1945 bab
VII Pasal 22E tentang pemilihan umum. Di sana dijelaskan bahwa pemilihan umum
diseleggarakan untuk memilih Dewan Perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, presiden
dan wakil presiden dan dewan perwakilan rakyat daerah. Pemilihan umum juga dijelaskan
dalam UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, bahwa kepala daerah dan wakil
kepala derah dipilih melalui pemilihan umum. Penyelengaraan pemilihan umum dilakukan
oleh sebuah badan yang bersifat nasional, tetap dan mandiri yaitu Komisi Pemilihan Umum
(KPU). mengenai seluk beluk KPU diatur dalam UU No.12 Tahun 2003 tentang pemilu.
Tugas dan kewenagan KPU antara lain;
Page | 2
1. Merencanakan penyelenggaraan KPU.
2. Menetapkan organisasi dan tata cara semua tahapan pelaksanaan pemilu.
3. Mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua
4. Tahapan pelaksanaan pemilu.
5. Menetapkan peserta pemilu.
6. Menetapkan daerah pemilihan, jumlah kursi, dan calon anggota DPR,
7. DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
8. Menetapkan waktu, tanggal, tata cara pelaksanaan kampanye, dan pemungutan
suara.
9. Menetapkan hasil pemilu dan mengumumkan calon terpilih anggota DPR, DPD,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
10.Melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemilu.
11.Melaksanakan tugas dan kewenangan lain yang diatur undang-undang.
Mahkamah Konstitusi dalam Memutuskan Perselisian Hasil Pemilihan Umum
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yaitu suatu lembaga tertinggi negara yang
baru yang sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Salah
satu kewenangan MK adalah menyelesaiakan perselisihan hasil pemilu. Sehingga para pihak
yang bersengketa dalam pemilihan umum tidak berkembang menjadi konflik politik atau
apalagi berubah menjadi konflik sosial.
Sebelum para pihak ingin berpekara di pengadilan MK, maka harus memenuhi
persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan dalam UU No. 24 tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Secara khususnya apabila yang bersengketa adalah kepala daerah
diatur dalam peraturan MK No. 15 tahun 2008. Dalam pasal 15 dijelaskan bahwa
permohonan pembatalan penetepan hasil penghitungan suara pemilukada oleh pemohon
kepada MK selambat-lambatnya 3 hari kerja setelah termohon menetapknannya hasil
penghitungan pemilukada di tempat yang bersangkutan. Permohonan tersebut ditulis
sebanyak 12 rangkap dengan ditandatangani oleh pemohon atau kuasa hukumnya.
Permohonan harus memuat sekurang-kurangnya:
a). Identias lengkap pemohon yang dilampiri foto copy kartu tanda penduduk dan
bukti sebagai pesrta pemilukada.
b). Uraian jelas mengenahi:
1. Kesalahan penghitungan suara yang ditetapkan oleh termohon.
Page | 3
2. Permintaan/petitum untuk membatalkan penghitungan suara yang
ditetapkan oleh termohon.
3. Permintaan/petitum untuk menetapkan hasil penghitungan suara yang
benar menurut pemohon.
c) Permohonan tersebut disertai dengan alat bukti.
Dalam persidangan MK, para pihak yang berkepentingan dikenal dengan pihak
pemohon, pihak termohon dan pihak terkait. Yang disebut pihak termohon adalah
penyelenggara pemilihan umum atau disebut dengan KPU dan pihak pemohon adalah
pasangan calon sedangkan pihak terkait adalah pasangan calon selain pemohon2. Para pihak
tersebut akan dianggap sah oleh MK apabila memiliki legal standing atau kedudukan
hukum. Legal standing adalah adaptasi dari istilah persone standi in judicio3 yang artinya hak
untuk mengajukan gugatan atau permohonan didepan hukum.
Berkaitan dengan obyek permohon dalam PHPU pemilukada khusunya, di Mahkamah
Konstitusi diatur dalam pasal 4 peraturan MK No. 15 tahun 2008. Bahwa obyek perselisihan
pemilukada adalah hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh termohon yang
mempengaruhi:
a) penetapan calon yang dapat mengikuti pemutaran kedua,
b) terpilihnya pasangan calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Namun dalam prakteknya saat ini menurut MK objectum litis bukan semata-mata
perselisihan hasil pemilu secara kuantitatif, melainkan juga terkait dengan penilaian
pelaksanaan pemilihan umum yang baik. Misalnya melanggar asas luber dan jurdil4, maka
Mahkamah dapat memutuskan untuk melakukan penghitungan ulang dan bahkan
memerintahkan untuk melakukan pemilu ulang.
Dalam mentapkan putusannya, MK mengadakan sebuah rapat permusyawaratan hakim
yang bersifat tertutup dengan sekurang-kurang dihadiri 7 (tujuh) orang hakim MK.
Sedangkan pengambilan putusan dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat. Dalam hal
musyawarah tersebut tidak menghasilkan suara bulat, maka putusan diambil melalui suara
terbanyak. Dan apabila pengambian suara terbnyak tersebut tidak dapat dicapai juga, maka
suara terakhir ketua rapat permusyawarahan hakmim yang menentukan.
2
Pasal 3 ayat (2) peraturan MK No. 15 tahun 2008
Sudikno Merto Kusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (yogyakarta: liberty, 1998), 35-36.
4
Pasal 23 E UUD 1945.
3
Page | 4
Dalam pasal 13 peraturan MK No. 15 tahun 2008, putusan tersebut dibacakan paling
lambat 14 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku regristasi perkara konstitusi.
Putusan PHPU dibacakan dalam sidang pleno tebuka untuk umum yang dihadiri sekuangkuang 7 orang hakim kosntitusi. Amar putusan tersbut dapat berupa:
1. Permohonan dapat diterima apabila pemohon dan/atau permohonan tidk
memenuhi syarat sebagai mana yang dimaksut dalam pasal 3, pasal 4, pasal 5,
dan pasal 6 PMK No. 15 tahun 2008
2. Permohonan dikabulkan apabila permohonan
terbukti
beralasan dan
selanjutnya mahkamah membatalkan hasil penghitunga suara yang ditetapkan
oleh KPU/KIP kabupaten/kota, serta menetapkan hasil penghitungan yang
benar menurut mahkamah.
3. Permohonan ditolak apabila tidak beralasan.
Seperti dijelaskan dalam UUD 1945 pasal 24 C bahwa peradilan MK berwenang
mengadili tingkat pertama dan terakhir yang putusanya bersifat final. Artinya amar putusan
diatas merupakan putusan yang paling terakir dan berfungsi sebagai hukum untuk wajib
ditaati. Selain itu putusan tersebut tidak dapat di lakukan upaya hukum lain untuk
membatalkannya.
Konsep Peradilan Khusus di Indonesia
Telah banyak
undang-undang
yang
mengatur
mengenahi
peradilan
khusus.
Perbedaanya dalam setiap Undang-undang tersebut terdapat dalam derajat penegasan yang
berbeda-beda. Dalam UU No. 19 Tahun 1964 tentang badan peradilan hanya membedakan
antara peradilan Umum, peradilan TUN dan peradilan khusus. Peradilan Umum antara lain
meliputi Pengadilan Ekonomi, Pengadilan Subversi, Pengadilan Korupsi. Peradilan Khusus
terdiri dari Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer. Yang dimaksudkan dengan Peradilan
Tata Usaha Negara adalah yang disebut “peradilan administratif” dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara No. II/MPRS/1960, dan antara lain meliputi juga yang
disebut “peradilan kepegawaian” dalam Pasal 21 Undang-undang No. 18 tahun 1961 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kepegawaian. 5 Dalam peraturan pembaruannya UU No. 14
Tahun 1970 cukup ditegaskan mengenahi kewenagan yaitu Peradilan Agama, Militer dan
Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu
atau mengenai golongan rakyat tertentu, sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi
5
Penjelasan UU No. 19 Tahun 1964 Pasal 7 ayat (1).
Page | 5
rakyat pada umumnya mengenai baik perkara perdata, maupun perkara pidana.6 Namun dari
penjelasan kedua UU masih dalam pasal penjelasan dan istilah peradilan khusus belum secara
tegas dikenal. Istilah pengadilan khusus dinyatakan secara tegas baru pada UU No. 4 Tahun
2004 yang menggantikan UU No. 14 Tahun 1970. Selain itu dalam UU No. 4 Tahun 2004 ini
posisi pengadilan khusus tidak lagi ditempatkan dalam bagian penjelasan UU akan tetapi
telah dimasukkan dalam bagian batang tubuh yaitu dalam pasal 15 ayat 1yang menerangkan
tentang pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam satu lingkungan pengadilan dibawa
MA.
Mengenai pengertian istilah Pengadilan khusus di jelaskan dalam UU No. 4 tahun 2004
pasal 1 angka 8. Bahwa yang disebut pengadilan khhusu adalah pengadilan yang mempunyai
kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu, yang hanya dapat
dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan dibawah Mahkamah Agung yang
diatur dalam Undang-Undang. Lingkungan peradilan yang dimaksut tersebut adalah
pengadilan umum, pengadilan agama pengadilan militer, dan pengadilan tata Usaha Negara.7
BAB III
PENUTUP
Kewalahannya Lembaga MK dalam Menagani Persoalan Pemilu
Kita ketahuai bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yudisial
memiliki lima kewenangan yang begitu besar yang diamanatkan dalam UUD 1945.
Kewenagan tersebut antara lain;
a) Menguji undang-undang terhadap UUD 1945;
b) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945;
c) Memutus pembubaran partai politik;
d) Dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD
1945 yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) UU 24/2003, kewajiban Mahkamah
Konstitusi adalah memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil
6
7
Penjelasan UU No. 14 Tahun 1970 pasal 10 ayat (1).
Pasal 10 UU No. 4 tahun 2004.
Page | 6
Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Komite Pemilihan Indonesia mencatat, 85 persen (delapan puluh lima perseratus) lebih
Pemilukada berujung sengketa di MK. Berdasarkan pada fakta tersebut, tidak heran
kemudian muncul asumsi bahwa konsistensi majelis hakim MK mulai terkikis lantaran
seorang hakim bisa menggelar empat hingga lima sidang perhari, dan bahkan pada bulan
Agustus 2010, MK bersidang sebanyak 221 kali, yang berarti dalam 1 hari MK bersidang 11
kali. Intensitas persidangan seperti ini tentu menimbulkan pertanyaan dari sisi efektifitas dan
kualitas proses persidangan, yang pada ujung berpengaruh terhadap kualitas pelayanan
terhadap pencari keadilan.
Selain itu persoalan mengenahi batas waktu dalam mengajukan perkara yaitu dibatasi
selama tiga hari menjadi pangkal munculnya keluhan-keluhan dari berbagai pihak tentang
keadilan dari putusan Mahkamah Konstitusi tentang perselisihan hasil Pemilu. Contohnya
saja adalah masalah mengenahi rekap perhitungan hasil suara yang dikeluarkan oleh KPU
lebih dari tiga hari sejak pengumuman hasil suara. Belum lagi masalah jarak pada daerahdaerah diluar pulau Jawa yang juga menjadi salah satu faktor keterlambatan pengajuan
gugatan yang dikeluhkan beberapa pihak. Memang batas waktu yang sangat singkat ini
menyebabkan banyaknya gugatan ditolak dengan alasan daluarsa. Hal ini tentu saja
“merugikan” dalam perspsi penggugat. Bahwa daluarsa tidak mempertimbangkan unsur
keadilan dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Karena kasus yang daluarsa bahkan tidak
sempat diadili karena telah ditolak sebelumnya. Sedangkan disatu sisi, putusan Mahkamah
Konstitusi bersifat final pada tingkat pertama dan terakhir, serta tidak ada satupun upaya
hukum yang dapat dilakukan untuk menggugat putusan tersebut. Padahal sangat
dimungkinkan adanya bukti-bukti baru yang perlu ditunjukkan di tingkat yang selanjutnya
apabila putusan tersebut dapat di lakukan upaya hukum.
Peradilan Khusus Bukanlah Persoalan yang Krusial dalam Penyelegaraan Pemilu
Ide pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu merupakan sebuah ide yang tidak solutif
terhadap permasalahan pemilu yang ada di Indonesia saat ini. Bahwa sebenarnya akar
permasalahan munculnya kisruh seputar pemilihan umum dapat dibagi menjadi faktor
eksternal dan internal.
Faktor eksternal adalah kinerja KPU yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat dan
Bawaslu yang cenderung tidak dapat berbuat maksimal dalam mengawasi jalannya pemilu
Page | 7
dikarenakan Bawaslu tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan sebuah keputusan
yang bersifat eksekutorial. Dari segi internal adalah persoalan moralitas KPU, Bawaslu dan
para calon yang tidak sadar akan prinsip-prinsip demokrasi. Moralitas KPU dan Bawaslu
cenderung tidak idealis terhadap prinsip-prinsip demokratisasi di Indonesia. Bahwa kesadaran
untuk mewujudkan General Walfare bagi masyarakat Indonesia bukanlah sebuah kesadaran
yang terlembagakan di KPU dan Bawaslu padahal posisi dari pemilu sangat menentukan
bagaimana pemerintahan Indonesia lima tahun kedepan.
Begitupun para calon yang seolah melihat celah untuk mengajukan gugatan setiap
mereka kalah, padahal banyak gugatan yang diajukan hanya berdasarkan karena hasratnya
yang tidak dapat menerima kekalahan. Senada disampaikan oleh DR. Azkari bahwa problem
penyelesaian sengketa pemilukada disebabkan oleh beberapa hal antara lain: 5
a. Regulasi: bahwa dari aspek regulasi (misalnya UU No.32/2004 jo UU No.12/2008);
Belum memberikan suatu solusi hukum yang komprehensif, sebab hanya mengatur
aspek yuridis semata, tanpa memperhatikan aspek-aspek soaial yang ada dalam
masyarakat sebagai suatu kenyataan. Disamping itu, regulasi yang ada juga masih
memberikan kesempatan kepada incumbent untuk tidak meninggalkan jabatannya
meski yang bersangkutan hendak mencalonkan diri (dalam pemilukada). Sehingga
hal tersebut cenderung melahirkan potensi konflik yang dilatari kecemburuan
(subjektifitas) dan ketidakadilan;
b. Institusi penyelenggara pemilukada: bahwa terdapat kecenderungan dalam setiap
peneyelenggaraan pemilukada, KPUD dan Panwas melakukan keberpihakan kepada
calon-calon tertentu (peserta pemilukada), sehingga dalam melaksanakan tugasnya
tidak jarang berlaku subjektif (bahkan institusi tersebut kerapkali menjadi tempat
jual beli suara);
c. Parpol: sebagai pengusung calon juga belum berfungsi secara baik dan benar dalam
memberikan pendidikan politik terhadap rakyat, bahkan cenderung hanya
memikirkan kepentingannya secara sepihak, misalnya dengan menentukan sejumlah
tarif tertentu kepada calon-calon yang hendak “mengendarai” partainya;
d. Peserta pemilukada (para calon): bahwa pada umumnya peserta pemilukada tidak
berangkat dari niat yang benar, memang dalam penyampaian visi misinya seakanakan mereka tampil untuk dan atas nama kepentingan rakyat, padahal ujungujungnya yang lebih dominan dalam hitung-hitungannya adalah penumpukan
kekuasaan;
Page | 8
e. Masyarakat: psikologi masyarakat juga masih menunjukkan belum dimilikinya
kematangan emosional dalam mengikuti suatu penyelenggaraan pemilukada, oleh
karena itu diperlukan sosialisasi khusus untuk hal ini.
Lembaga-lembaga yang menangani persoalan pemilihan umum itupun tidak hanya
dilakukan semata-mata oleh MK. Ada lembaga lain yang ikut menangani permasalahanpermaslahan pemilu. Bedanya lembaga yang digunakan di lingkungan peradilan lainnya
sesuai dengan bentuk perkara. Peradilan itu adalah peradilan umum yang menagani perkara
yang berunsur pidana. Apabila ada putusan bersifat merugikan dapat dibawa ke pengadilan
TUN. Dan apabila ada pejabat penyelenggara pemilu yang melanggar kode etik dapat
dislesaikan di Dewaan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP).
Page | 9