Academia.eduAcademia.edu

PENERAPAN DAN MEMBANGUN FILSAFAT ILMU

2024, JAPAT PAROKI

TUGAS KULIAH FILSAFAT ILMU

PENERAPAN DAN MEMBANGUN FILSAFAT ILMU Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu Dosen Pengampu: Prof. Dr. Marsigit, M.A. Disusun Oleh: Japat Paroki (23031140092) MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2024 BAB I FILSAFAT UMUM Filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu "philosophia", yang secara harfiah berarti "cinta kebijaksanaan". Cinta artinya hasrat yang besar atau yang berkobar-kobar. Kebijaksanaan artinya kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Arti kata ini belum memerhatikan makna yang sebenarnya dari kata filsafat, sebab pengertian "mencintai" belum dapat memperlihatkan keaktifan seorang filsuf untuk memperoleh kearifan itu. Seseorang disebut filsuf bila telah mendapatkan atau meraih kebijaksanaan. Pembahasan tentang filsafat mencakup segala aspek tentang ilmu, jadi sudah sewajarnya para ahli filsafat mendefinisikannya dengan berbeda-beda. Seperti halnya pada buku Waris (2014) yang menjabarkan pendapar para filsuf mengenai definisi filsafat, sebagai berikut : 1. Plato (427348 SM). Filsuf Yunani yang termashur, murid Socrates dan guru Aristoteles ini mendefiniskan filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli. 2. Aristoteles (382322 SM). Filsafat adalah ilmu penge tahuan yang meliputi kebenaran mengenai ilmuilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika. Menurut dia ilmu filsafat itu adalah ilmu men cari kebenaran pertama, ilmu tentang segala yang ada yang menunjukkan ada yang mengadakan sebagai peng gerak pertama. 3. AlFarabi (870950). Filsuf terbesar sebelum Ibnu Sina men definisikan filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam yang maujud dan bagaimana hakekat yang sebenarnya. 4. Rene Descartes (15901650), seorang tokoh utama Renaissance, men definisikan filsafat adalah kumpulan segala penge tahuan dimana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikannya. 5. Immanuel Kant (17241804), seorang filsuf yang sering di sebut raksasa pikir Barat mendefinisikan filsafat adalah ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang men cakup di dalamnya empat persoalan,8 yaitu: a. Metafisika, menjawab apa yang dapat kita ketahui. b. Etika, menjawab apa yang boleh kita kerjakan. c. Agama, menjawab sampai dimana harapan kita d. Antropologi, menjawab apa yang dinamakan manusia. 6. Theodore Brameld, mendefinisikan filsafat merupakan usaha yang gigih dari orang orang biasa maupun orang orang cerdik pandai untuk membuat kehidupan sedapat mungkin dapat dipahami dan bermakna. Dalam filsafat ada tiga asfek yang perlu dipahami yaitu ontologi, epistemology, dan aksiologi. Hubungan antara ketiga aspek filsafat yang ada tersebut adalah ketika kita mampu memahami hakikat dari suatu objek (ontologi), maka kita dapat menentukan kapan suatu objek itu benar atau salah (epistemologi) yang selanjutnya jika objek tersebut benar, maka kita dapat menentukan apakah objek tersebut memiliki nilai atau tidak, dan jika memiliki nilai, maka nilai apa yang yang melekat pada objek tersebut (aksiologi)(Anderha & Maskar, 2021). A. Ontologi Filsafat Secara bahasa, ontologi berasal dari Bahasa Yunani yang asal katanya adalah “Ontos” dan “Logos”. Ontos adalah “yang ada” sedangkan Logos adalah “ilmu”. Sederhananya, ontologi merupakan ilmu yang berbicara tentang yang ada. Secara istilah, ontologi adalah cabang dari ilmu filsafat yang berhubungan dengan hakikat hidup tentang suatu keberadaan yang meliputi keberadaan segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada(Mahfud, 2018). Ontologi kerap kali diidentikkan dengan metafisika. Ontologi merupakan cabang ilmu filsafat yang berhubungan dengan hakikat apa yang terjadi. Ontologi menjadi pembahasan yang utama dalam filsafat, dimana membahas tentang realitas atau kenyataan. Pada dasarnya ontologi berbicara asas-asas rasional dari yang ada atau disebut suatu kajian mengenai teori tentang “ada”, karena membahas apa yang ingin diketahui dan seberapa jauh keingintahuan tersebut. Menurut Jujun S. Suriasumantri menjelaskan bahwa pokok dari permasalahan yang menjadi objek kajian dari filsafat awalnya meliputi logika, etika, metafisika, dan politik yang kemudian banyak berkembang hingga menjadi cabang-cabang dari filsafat yang mempunyai bidang kajian lebih spesifik lagi yang kemudian disebut sebagai filsafat ilmu. Kata ilmu itu sendiri berasal dari Bahasa Arab yaitu dari asal kata Alima yang artinya “pengetahuan”. Dalam Bahasa Indonesia, Ilmu dikenal dengan istilah Science yang berarti “pengetahuan”. Jadi, ilmu adalah pengetahuan (Suaedi , 2016). B. Epistemologi Filsafat Dalam mengkaji epistemologi, kita harus memahami bahwa epistemology merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan pengetahuan manusia (Rahmat, 2015). Hal demikian memunculkan Terjadinya perdebatan filosofis yang sengit di sekitar pengetahuan manusia, yang menduduki pusat permasalahan di dalam filsafat, terutama filsafat modern. Pengetahuan manusia adalah titik tolak kemajuan filsafat, untuk membina filsafat yang kukuh tentang semesta (universe) dan dunia. Maka sumber-sumber pemikiran manusia, kriteria-kriteria, dan nilai-nilainya tidak ditetapkan, tidaklah mungkin melakukan studi apa pun, bagaimanapun bentuknya (Ash-Shadr, 1999). Epistemologi, atau teori pengetahuan, berkaitan dengan esensi ilmu pengetahuan, asumsiasumsi yang melatarbelakangi, dasar-dasar yang terkandung di dalamnya, serta tanggung jawab terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan yang dimiliki oleh individu. Pengetahuan ini diperoleh manusia melalui akal budi dan pengamatan indera, menggunakan berbagai metode seperti metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatif, dan metode dialektis. (Surajiyo, 2008) Epistemologi menurut pandangan beragam aliran filsafat yang ada di dunia dibagi menjadi beberapa bagian diantaranya adalah 1. Epistemologi idealisme. Epistemologi idealisme ini meniscayakan kurikulum yang digunakan dalam pendidikan pun lebih berfokus pada isi secara objektif menyediakan beragam pengalaman belajar sebanyakbanyaknya, pada subjek didik untuk mampu menggerakan jiwanya pada ragam realitas yang akan menjadikan cara berfikir dan analisnya terhadap keseluruhan realitas pengalamnya. Pribadi Idealisme adalah pribadi yang peka terhadap realitas di sekitarnya, sehingga tidak Satu pun kejadian yang dilihat dan didengarnya luput dari pikirannya. Sedemikian rupa hingga memunculkan kepribadian yang cermat dan tangkas dalam mencerna keseluruhan realitas yang terbangun dari ruang idenya (Qomar, 2014). 2. Epistemologi Realisme. Epistemologi pendidikan dalam realisme adalah proses ilmiah yang ditujukan pada halhal yang beraneka ragam persoalan pendidikan seperti mengenai realitas peserta didik, pendidik, dan isi pendidikan, strategi dan lain sebagainya yang dapat digunakan oleh seseorang atau sekelompok orang sebagai dasar utama dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan. Realisme mengajarkan bahwa menanamkan pengetahuan tertentu kepada anak yang sedang tumbuh dan berkembang merupakan tugas paling penting disekolah. Oleh karena itu, inisiatif dalam penerapannya terletak pada guru sebagai pengalihan warisan bukan pada siswa. Guru yang selalu memutuskan ke arah mana subjek didik mau diarahkan dan apa saja subjek materi yang mesti mereka pelajari di dalam kelas. Epistemologi yang sudah dikemukakan diatas meniscayakan bahwa setiap proses pembelajaran mesti didekati dengan pendidikan induktif, bukan deduktif. Pendekatan ini baginya adalah cara yang relevan untuk menanamkan pengetahuan dan nilai dari subjek didik. Baginya, hal ini sejalan dengan watak manusia dalam memperoleh pengetahuan yang memang bersentuhan dengan sendi-sendi dunia yang secara nyata berhubungan satu sama lainnya. Realisme percaya, bahwa manusia mengenal dunia dari bagian-bagiannya yang bersifat materi dan teridentifikasi dalam kategori-kategori yang terukur dan nyata (Saparno, 2001). 3. Epistemologi Pragmatisme. Menurut kaum pragmatisme tidaklah dikatakan pengetahuan, jika tidak membawa pada perubahan bagi kehidupan manusia. Jadi nilai pengetahuan dilihat dari kadar instrumentalianya yang akan membawa pada akibat-akibat, baik yang, setelah atau yang akan dihasilkan oleh ide pikiran dalam dunia pengalaman nyata. Menurut kaum pragmatisme, guru harus mengonstruksi situasi belajar dengan menempatkan problem tertentu yang pemecahannya akan membawa siswa pada pemahaman yang lebih baik akan lingkungan social dan fisik mereka. Konsekuensinya, menggantikan struktur tradisional tentang subjek materi baik guru maupun kelas harus meramalkan apakah pengetahuan itu memberikan manfaat dalam pemecahan problem tertentu yang sedang mereka diskusikan, seperti transportasi sepanjang sejarah, persoalan-persoalan seksual saat ini ataupun persoalan kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Sehingga menjadikan ini lebih bermakna bagi subjek didik dan akan semakin mudah dikuasai ketika mereka dapat memanfaatkannya sebagai alat yang dapat memuaskan kebutuhan dan kepentingan mereka dalam menghadapi realitas. Menurut kaum pragmatis, seorang anak selalu belajar secara alamiah karena memang ia adalah makhluk yang secara natural selalu ingin tahu tentang sesuatu. Ia senantiasa akan mempelajari apapun yang ia rasakan ataupun yang ia pikirkan. Oleh karena itu guru harus menghidupkan spiritinquiry ini agar tampil dalam realitas pembelajaran. Mengajar subjek didik dari subjek materi telah jelas baginya merupakan suatu kebutuhan nyata bagi subjek didik dalam melaksanakan kegiatan belajar. Tugas penting guru adalah menolong dan membimbing subjek didiknya agar mampu mempelajari apa yang ia rasakan dan yang merangsang jiwa ingin tahunya yang selalu tumbuh. Kaum pragmatisme juga meyakini bahwa subjek didik harus belajar dari keingintahuan, sementara guru mesti merangsang keingintahuan itu tampil dalam proses inquiry (Santosa, 2015). 4. Epistemologi Eksistensialisme. Epistemologi Eksistensialisme adalah suatu eksistensi yang dipilih dalam kebebasan. Bereksistensi berarti bereksistensi dalam suatu perbuatan yang harus dilakukan oleh setiap orang bagi dirinya sendiri. Pilihan bukanlah soal konseptual melainkan soal komitmen total seluruh pribasi individu. Berangkat dari kebebasan sebagai corak bereksistensi, demikian tidak menempatkan individu ke dalam realitas yang abstrak tetapi individu dilihat sebagai satu pribadi yang sungguh hadir dan konkrit. Oleh karena itu, dalam mengambil keputusan, hanya yang konkrit yang dapat mengambil keputusan atas diriku bukan orang lain. Orang lain tidak berhak untuk menentukan pilihan dalam mengambil suatu keputusan atas apa yang dilakukan. Barang siapa yang tidak berani mengambil keputusan, maka ia tidak bereksistensi dalam arti yang sebenarnya. Hanya orang yang berani mengambil keputusan yang dapat bereksistensi dengan mengambil keputusan atas pilihanya sendiri, maka dia akan menentukan kemana arah hidupnya (Salam, 1997). C. Aksiologi Filsafat Salah satu cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya disebut aksiologi. Aksiologi mencoba untuk mencapai hakikat dan manfaat yang ada dalam suatu pengetahuan. Diketahui bahwa salah satu manfaat dari ilmu pengetahuan yaitu untuk memberikan kemaslahatan dan kemudahan bagi kehidupan manusia. hal ini yang menjadika aksiologis memilih peran sangat penting dalam suatu proses pengembangan ilmu pengetahuan karena ketika suatu cabang ilmu tidak memiliki nilai aksiologis akan lebih cenderung mendatangkan kemudharatan bagi kehidupan manusia bahkan tidak menutup kemungkinan juga ilmu yang bersangkutan dapat mengancam kehidupan sosial dan keseimbangan alam (Juhari, 2019). Aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu axion yang berarti nilai dan logos yang berarti ilmu. Sederhananya aksiologi adalah ilmu tentang nilai. Aksiologis dasarnya berbicara tentang hubungan ilmu dengan nilai, apakah ilmu bebas nilai dan apakah ilmu terikat nilai. Karena berhubungan dengan nilai maka aksiologi berhubungan dengan baik dan buruk, berhubungan dengan layak atau pantas, tidak layak atau tidak pantas. Ketika para ilmuwan dulu ingin membentuk satu jenis ilmu pengetahuan maka sebenarnya dia harus atau telah melakukan uji aksiologis. Contohnya apa gunanya ilmu Manajemen Pendidikan Islam yaitu kajian-kajian aksiologi yang membahas itu. Jadi pada intinya kajian aksiologi itu membahas tentang layak atau tidaknya sebuah ilmu pengetahuan, pantas atau tidaknya ilmu pengetahuan itu dikembangkan. Kemudian aksiologi ini juga yang melakukan pengereman jika ada ilmu pengetahuan tertentu yang memang tingkat perkembangannya begitu cepat, sehingga pada akhirnya nanti akan mendehumanisasi atau membuang nilai-nilai yang dipegang kuat oleh umat manusia. Dalam teori Islam klasik, wilayah etis tentang baik dan buruk ada dua pilihan, yaitu the theistic-subjectivism dan rationalistic-objectivism. Dalam hal ini, the theistic- subjectivism menekankan pada pemahaman bahwa baik dan buruk hanya ditentukan oleh Tuhan. Sedangkan rationalistic-objectivism lebih menekankan pada peran akal dalam menentukan baik dan buruknya sesuatu. Dalam pandangan Islam, ditinjau dari sisi manfaat (dimensi aksiologi) atas penerapan dan orientasinya, maka ilmu dibedakan menjadi dua, yaitu: Pertama, ilmu yang diterapkan dan bermanfaat langsung untuk kehidupan manusia di dunia. Dalam kelompok ilmu ini adalah yang jelas-jelas langsung dirasakan dan dibutuhkan oleh manusia di dunia atau dibutuhkan dalam masa hidupnya, seperti ilmu sains yang mencakup politik, ekonomi, sosial, budaya, dan kejiwaan (psikologi). Kedua, ilmu yang bermanfaat secara tidak langsung untuk kehidupan manusia di dunia, tetapi untuk kehidupan akhirat. Dimensi spiritual dalam kelompok ini dikategorikan dengan ilmuilmu yang bersifat non-materi dan hasil yang dirasakan tidak langsung untuk kehidupan manusia di dunia atau semasa hidupnya. Ilmu ini lebih banyak berkaitan dengan agama dan keimanan seseorang (Khomsatun, 2019). Aksiologi ilmu meliputi nilai-nilai (values) yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam kehidupan manusia yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik-material. Lebih dari itu nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu conditio sine qua non yang wajib dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu. (Sanprayogi, 2017) Para ilmuwan barat berpandangan bahwa pemikiran keilmuan dalam bidang apapun harus bersifat bebas nilai (free value) karena ilmu pengetahuan disandarkan pada nilai-nilai tertentu akan mengandung bias dan bersifat tidak netral. Di sisi lain, sebagian dari ilmuwan barat terutama kaum pragmatism dan penganut filsafat etika mengatakan bahwa setiap rumusan baru dalam ilmu pengetahuan akan diakui kebenarannya ketika ilmu tersebut bersifat pragmatis atau bernilai guna bagi kehidupan sosial. Berpijak pada landasan aksiologi, suatu pernyataan ilmiah dapat dianggap benar bila pernyataan ilmiah tersebut mengandung unsur aksiologi di dalamnya yaitu adanya nilai manfaat bagi kehidupan manusia. Ilmu pengetahuan memiliki ruh yang menginginkan adanya nilai manfaat dari ilmu pengetahuan tersebut, sehingga pengamalan terhadap ilmu tersebut juga harus berlandas pada tata nilai yang ada di masyarakat. Menghilangkan unsure aksiologis dari ilmu pengetahuan berarti telah memperlemah posisi dari ilmu tersebut dari sudut pandang filsafat ilmu pengetahuan. Aksiologi juga dapat dikatakan analisis terhadap nilai-nilai. Maksud dari analisis yaitu membatasi arti, ciri, tipe, kriteria, dan status dari nilai-nilai. Sedangkan nilai yang dimaksud di sini yaitu menyangkut segala yang bernilai. Nilai berarti harkat yaitu kualitas suatu hal yang menjadikan hal tersebut berguna. Nilai dapat bermakna bernilai guna sebagai suatu kebaikan. Apalagi dalam aksiologi dimana aksiologi merupakan bidang menyelidiki atau menganalisis nilai-nilai maka dalam implikasinya aksiologi mencoba untuk menguji dan mengintegrasikan semua nilai kehidupan dalam kehidupan manusia dan membinanya dalam kepribadian seseorang (Rochmawati, 2019). Aksiologi memberikan manfaat untuk mengantisipasi perkembangan kehidupan manusia yang negatif sehingga ilmu pengetahuan tetap berjalan pada jalur kemanusiaan. Daya kerja dari aksiologi diantaranya yaitu: Pertama, menjaga dan memberi arah agar proses keilmuan dapat menemukan kebenaran yang hakiki, maka perilaku keilmuan perlu dilakukan dengan penuh kejujuran dan tidak berorientasi pada kepentingan langsung. Kedua, dalam pemilihan objek penelaahan dapat dilakukan secara etis yang tidak mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, tidak mencampuri masalah kehidupan dan netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatik, arogansi kekuasaan dan kepentingan politik. Ketiga, pengembangan pengetahuan diarahkan untuk meningkatkan taraf hidup yang memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta keseimbangan, kelestarian alam lewat pemanfaatan ilmu dan temuan-temuan universal (Adib, 2014). BAB II FILSAFAT ILMU Filsafat ilmu merupakan landasan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan serta pembelajarannya(Parnabhakti & Puspaningtyas, 2020). Sedangkan Immanuel Kant (dalam Sinaga, 2021) berpendapat bahwa “Filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya empat persoalan, yaitu: (1) Apakah yang dapat kita ketahui, (2) Apa yang seharusnya kita kerjakan?, (3) Sampai di manakan harapan kita?, (4) Apakah yang dinamakan manusia itu?”. Keempat pertanyaan ini memiliki jawaban yang termasuk ke dalam bidang yang berbedabeda. Jawaban untuk pertanyaan pertama termasuk ke dalam bidang metafisika. Jawaban pertanyaan kedua termasuk ke dalam bidang etika. Jawaban pertanyaan ketiga termasuk pada bidang agama, dan jawaban untuk pertanyaan keempat termasuk pada bidang antropologi dan sosiologi, yang semuanya menyangkut interaksi manusia. Filsafat seperti yang kita ketahui memiliki tiga cabang yaitu, Ontologi Epistemologi, Aksiologi. Mempelajari ketiga cabang tersebut sangatlah penting dalam memahami filsafat yang begitu luas ruang lingkup dan pembahasannya. Ketiga teori diatas sebenarnya sama-sama membahas tentang ilmu, hanya saja mencakup hal dan tujuan yang berbeda. Ontologi membahas tentang apa objek yang kita kaji, bagaimana wujudnya yang hakiki dan hubungannya dengan daya pikir, Epistemologi membahas tentang bagaimana mendapat pengetahuan, bagaimana kita bisa tahu dan dapat membedakan dengan yang lain, sedangkan Aksiologi membahas tentang guna pengetahuan, klasifikasi, tujuan dan perkembangannya. Di antara ilmu pengetahuan, matematika memiliki hubungan yang unik dengan filsafat. Banyak filsuf telah menganggap matematika sebagai paradigma pengetahuan, dan penalaran yang digunakan dalam beberapa bukti matematika sering dianggap sebagai pemikiran, namun matematika juga merupakan sumber yang kaya akan masalah filosofis yang telah menjadi pusat epistemologi dan metafisika (Marsigit, 2007). Secara tradisional, matematika telah dianggap sebagai suatu paradigm pengetahuan yang khas. Hampir 2.500 tahun lalu, Euclid membangun struktur logika yang mengagumkan, yang hingga akhir abad kesembilan belas dianggap sebagai paradigma untuk menetapkan kebenaran dan kepastian. Newton dan Spinoza, dalam karya-karya mereka seperti Principia dan Ethics, menggunakan unsur-unsur logika tersebut untuk memperkuat argumen mereka dan menjelaskan kebenaran secara sistematis. Selama ini, matematika telah dianggap sebagai sumber pengetahuan yang paling pasti bagi umat manusia (Paul Ernest, 1991) Secara pragmatis, matematika dapat dipandang sebagai ilmu tentang dunia nyata dimana banyak konsep matematika muncul dari usaha manusia memecahkan persoalan dunia nyata misalnya pengukuran pada geometri, gerak benda pada kalkulus, perkiraan pada teori kemungkinan dll. Tetapi lebih dari itu, matematika juga digunakan untuk ilmu-ilmu lain, maka muncul pula istilah-istilah yang bersesuaian dengan ilmu-ilmu itu, misalnya yang berkaitan dengan mekanika, ilmu perbintangan, ilmu kimia, biologi dst. Kaum strukturalis mamandang matematika sebagai struktur yang bersifat abstrak yang tidak terkait dengan benda-benda fisik. Lambang-lambang yang digunakan di dalam struktur matematika juga tidak terkait dengan benda-benda fisik; lambang merupakan kesepakatan untuk menunjuk suatu makna atau arti, misal seperti yang terjadi pada struktur aljabar, teori group, teori ring, teori field, dst. Sementara itu metamatematika menggunakan bahasanya sendiri untuk menjelaskan matematika itu sendiri. Dalam hubungan matematika dan filsafat ini maka dibagilah bidang bidang filsafat matematika. Pembagian berikut ini telah sistematis yaitu A. Antologi Ilmu Ontologi Matematika terdiri dari dua kata, ontologi dan matematika. Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno. Menurut bahasa, ontologi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu On/Ontos=ada, dan Logos=ilmu. Ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Menurut istilah, ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality, baik yang berbentuk jasmani/konkret, maupun rohani/abstrak (Haryono, 2015). Ontologi menurut Aristoteles abad ke-4 SM, (dalam Haryono, 2015) mengemukakan bahwa ontologi hampir sama dengan metafisika, yaitu studi filosofis untuk menentukan sifat asli dari suatu benda untuk menentukan arti, struktur, dan prinsipnya. Pendapat lain diungkapkan oleh (Soetriono, 2007), bahwa ontology merupakan azas dalam menerapkan batas atau ruang lingkup wujud yang menjadi obyek penelaahan (obyek ontologis atau obyek formal dari pengetahuan) serta penafsiran tentang hakikat realita (metafisika) dari obyek ontologi atau obyek formal tersebut dan dapat merupakan landasan ilmu yang menanyakan apa yang dikaji oleh pengetahuan dan biasanya berkaitan dengan alam kenyataan dan keberadaan. Berdasarkan beberapa pengertian ontologi menurut pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa Ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Menurut istilah, ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality, baik yang berbentuk jasmani/konkret, maupun rohani/abstrak. Selanjutnya, untuk menjawab pertanyaan “apa matematika itu?”, Russeffendi (1980) mengungkapkan bahwa matematika berasal dari perkataan Latin “mathematika” yang berarti mempelajari atau “mathenein” yang berarti belajar atau berfikir atau dapat diartikan pengetahuan yang didapat dengan berpikir (bernalar). Russeffendi(1980) juga menyebutkan bahwa matematika adalah ilmu berfikir deduktif, karena matematika matematika terorganisasikan dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan dalil-dalil di mana dalil-dalil setelah dibuktikan kebenarannya berlaku secara umum James dan James (1976) mengungkapkan bahwa matematika adalah ilmu tentang logika, mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan lainnya. Matematika terbagi dalam tiga bagian besar yaitu aljabar, analisis dan geometri. Tetapi ada pendapat yang mengatakan bahwa matematika terbagi menjadi empat bagian yaitu aritmatika, aljabar, geometris dan analisis dengan aritmatika mencakup teori bilangan dan statistika. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian dari ontologism matematika adalah Ontologi Matematika merupakan cabang filsafat yang berhubungan dengan suatu yang ada termasuk hal-hal metafisik (hal-hal yang non fisik atau tidak kelihatan) dalam pengetahuan matematika termasuk didalamnya objek kajian matematika itu sendiri berupa fakta, konsep, operasi dan prinsip. Dalam ontologi matematika ada banyak hal yang dipersoalkan misalnya cakupan dari pertanyaan matematika (cakupan dunia nyata maupun tidak nyata), cakupan tersebut dalam pandangan realisme empirik menjawab bahwa cakupan tersebut merupakan suatu realitas dan eksistensi dari entitas-entitas matematika juga menjadi bahan pemikiran filsafat. Misalnya sebagai bidang geometri sudah lazim diterima bahwa di antara dua titik terdapat suatu garis lurus. Tetapi jika dicari dalam dunia pengalaman manusia, tidak pernah dijumpai titik dan garis dalam arti yang seutuhnya. (Haryono, 2014) B. Epistimologi Ilmu Epistemologi matematika merupakan cabang filsafat yang berhubungan pengentahuan dengan pengetahuan matematika. Hal- hal yang ditelaah dalam cabang filsafat ini adalah segi- segi dasar pengetahuan matematika, seperti sumber, hakikat, batas- batas, dan kebenaran pengetahuan beserta ciri- ciri matematika yang meliputi abstraksi, ruang, waktu, besaran, simbolik, bentuk dan pola. Matematika sebagai bagian dari sciene artinya matematika merupakan sebuah pengetahuan yang diperoleh dari proses belajar. Beberapa ilmuwan menyatakan bahwa matematika merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan bilangan- bilangan, titik, garis, ruang, abstraksi, besaran dan lain sebagainya. Matematika merupakan suatu ilmu yang lebih banyak mengkaji tentang kuantitas- kuantitas, bangunan, ruang dan perubahan. Saat ini seluruh kehidupan manusia menggunakan matematika, mulai dari perhitungan sederhana dalam kehidupan sehari- hari sampai pada perhitungan yang rumit seperti ilmu astronomi, geologi, informatika, dan lain sebagianya. Ilmu- ilmu lain yang menggunakan matematika sebagai alat bantu seperti ilmu ekonomi, social, biologi dan lain sebagainya. Dengan demikian, matematika dipakai untuk membantu perkembangan ilmu pengetahuan, yang secara langsung atau tidak langsung menjadi sarana kegiatan ilmiah. C. Aksiologi Ilmu Dalam perspektif aksiologi, matematika sekarang lebih fokus pada mengajarkan siswa untuk memecahkan masalah sehari-hari dan situasi kehidupan daripada sekadar menghafal rumus. Inilah salah satu fitur dari metode pembelajaran matematika yang progresif atau inovatif. Penting bagi guru untuk dapat menyampaikan makna dan manfaat saat mengajar suatu topic matematika, serta memiliki ilmu tentang matematika dalam konteks formal maupun informal terapan. Hal ini menjadi krusial dalam meningkatkan minat belajar matematika. Materi-materi sulit dalam matematika, yang cenderung terlalu abstrak, sebaiknya dijelaskan kepada siswa dengan memperhatikan nilai-nilai atau prinsip-prinsip matematika yang mendasar. Ini penting agar guru bisa lebih siap dalam mengajar. Mubarok (2022) menjelaskan bahwa beberapa topik yang dianggap sulit dalam matematika melibatkan konsep seperti persamaan linear, fungsi kuadrat, dan persamaan kuadrat BAB III MENERAPKAN FILSAFAT Filsafat dan matematika mempunyai kaitan yang sangat erat antara satu dan lainnya, matematika adalah ibu dari semua bidang ilmu dan filsafat merupakan dasar untuk mempelajari ilmu. Jadi, filsafat dan matematika adalah pangkal dari segala bidang ilmu. Matematika dan filsafat dikembangkan bersama dengan saling memberikan pertanyaan dan umpan balik (Tarigan, 2021). Filsafat dan matematika sama-sama memiliki sifat dasar yaitu sama-sama mencari kebenaran. Hal ini senada dengan (Simangunsong, 2021) yang menyatakan bahwa esensi filsafat adalah berpikir secara radikal (sampai ke akar-akarnya); mencari kejelasan (kejelasan seluruh realita); mencari kebenaran; mencari asas (esensi realita). Filsafat pendidikan matematika terbentuk dari filsafat matematika. Filsafat matematika mencakup ontologi dan epistemologi yang membahas asal matematika dan cara terbentuknya ilmu matematika (Suyitno & Rochmad, 2015), sedangkan filsafat pendidikan matematika merujuk pada masalah kegiatan belajar dan pembelajaran. Menurut (Ernest, 2016) matematika merupakan pengetahuan yang dikonstruksi bukan ditemukan (discovered). Ilmu matematika menyatu dalam sistem sistem dan struktur deduksi aksiomatiknya. Artinya untuk membuktikan kebenaran matematika menggunakan penalaran deduktif lalu merangkai pembuktian menuju kepada kesimpulan akhir. Filosofi pendidikan memandang pendidikan sebagai proses memanusiakan peserta didik agar dapat mengembangkan dan mewujudkan dirinya dengan segala potensi asli yang dimilikinya. Sains berkembang dari rasa ingin tahu yang melekat pada manusia. Menerapkan filsafat pendidikan pada pembelajaran akan membantu pengajar untuk memahami konsep pembelajaran matematika dan mempraktekkan pembelajaran matematika itu sendiri. Filsafat memberikan manfaat untuk kita semua, dengan menerapkan filsafat pendidikan matematika akan membantu siswa untuk mengembangkan potensi diri dalam bermatematika, dan memahami nilai-nilai matematika. Jadi, filsafat pendidikan matematika merupakan tujuan dan maksud dari pengajaran matematika dan teori belajar matematika. Pembelajaran matematika sangat membutuhkan model pembelajaran sehingga proses belajar mengajar dapat terlaksana sebagaimana rendahnya minat siswa terhadap pelajaran tentunya berkaitan dengan belum adanya model dan metode pembelajaran yang efektif yang membuat pembelajaran matematika sulit dipahami dan kurang menarik. Model pembelajaran yang banyk digunakan dan dianjurkan dalam kurikulum merdeka adalah model pembelajaran problem based learning (PBL). Model Problem Based Learning adalah suatu pendekatan pembelajaran yang membantu siswa menemukan masalah terutama dalam peristiwa dunia nyata, membuat keputusan pemecahan masalah melalui pengumpulan informasi menggunakan strategi yang diciptakan sendiri, kemudian disajikan dalam bentuk presentasi (Indrayana, 2022). Hal ini sejalan dengan Arend yang menyatakan model problem based learning merupakan suatu pendekatan pembelajaran dimana siswa menghadapi masalah autentik sehingga siswa diharapkan mampu membangun pengetahuannya sendiri, mengembangkan kompetensi dan inkuiri lanjutan, menjadikan siswa mandiri dan meningkatkan rasa percaya diri . Menurut (Hotimah, 2020), keterampilan yang dibutuhkan pada pada era globalisasi saat ini dapat di tingkatkan dengan menggunakan model ini. Oleh karna itu, dalam proses penemuan konsep melalui PBL, penerapan PBL dapat digunakan untuk membantu siswa menigkatkan keterampilannya dan membantu siswa dalam menyelesaikan masalah pembelajaran. Ciri utama paradigma baru pembelajaran adalah teori konstruktivisme. Konstruktivisme merupakan proses menumbuhkan atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif berdasarkan pengalaman (Medriati dkk, 2022). Teori konstruktivisme mendasari model-model pembelajaran abad 21, tak terkecuali model PBL. Menurut (Saputri, 2020) PBL dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam berfikir kritis untuk menemukan dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Model PBL menekankan pembelajaran secara kolaboratif sehingga mengoptimalkan pembelajaran dengan diskusi dan tanya jawab antara siswa dan guru Penerapan model Problem Based Learning terdiri dari 5 langkah/sintak (Trianto, 2009), yaitu: a. Langkah ke-1: Proses orientasi peserta didik pada masalah. Pada langkah ini, dijelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan alat dan bahan belajar apa yang di butuhkan, memberikan motivasi pada siswa, dan menyajikan masalah b. Langkah ke-2: Mengatur peserta didik. Pada langkah ini, siswa dibagi menjadi beberapa kelompok (2-3 orang), menjelaskan kepada siswa tentang masalah yang akan di pecahkan dan diselesaikan c. Langkah ke-3: Pada langkah ini, siswa didorong guru untuk mengumpulkan informasi, melakukan eksperimen dan penelitian untuk memperoleh penjelasan dan memecahkan masalah d. Langkah ke-4: Pada langkah ini, siswa dibantu guru untuk menyiapkan laporan dengan berbagi tugas dengan temannya e. Langkah ke-5: analisis serta evaluasi proses dan hasil. Pada langkah siswa di bantu guru untuk merefleksikan atau mengevaluasi proses dan hasil penelitian siswa Teori konstruksivisme merupakan landasan dari model Project Based Learning, yaitu peserta didik dibimbing untuk mengembangkan keterampilan kolaboratif, pemecahan masalah dan kemampuan berfikir kritis (Bintoro et al., 2021). Teori belajar kontruksivisme mengakui bahwa peserta didik akan dapat menginterpretasikan informasi kedalam fikiranya, hanya pada konteks pengalam dan pengetahuanya sendiri, pada kebutuhan latar belakang dan minatnya (Wahab & Rosnawati, 2020). Model Project Based Learning ini juga tepat digunakan untuk mengoptimalkan kemampuan berfikir kreatif peserta didik. Hal ini diperkuat dengan sintak pembelajaran yang menekankan pembelajaran berlangsung secara kolaboratif, artinya pembelajaran akan lebih maksimal jika dilakukan dengan proses diskusi dan tanya jawab atara pendidik dan peserta didik (Saputro & Rayahu, 2020). Filsafat pendidikan matematika memiliki pandangan mengenai model Project Based Learnin. Filsafat pendidikan matematika membahas psikologi belajar matematika, teori belajar matematika, sifat dasar matematika, pengembangan dan pelaksanaan kurikulum matematika. Pengembangan filsafat matematika diawali dengan isu-isu eksetnal seperti asal usul, sejarah dan aplikasi pemodelan matematika menggunakan pendekatan budaya. Filsafat mempunyai beberapa cabang ilmu. Pada artikel ini hanya membehas dua cabang ilmu yaitu ontology dan epistemology. Ontology adalah teori tantang ilmu dan kebenaran yang ada, ilmu yang mempelajari konsep atau hakikat yang ada, dan seluruh aspek kehidupan adalah objek kajian ilmu. Sedangkan epistemology adalah teori yang membahas teori ilmu pengetahuan dan merupakan pijakan atau dasar dari pengetahuan (Bintoro et al., 2021) BAB IV MEMBANGUN FILSAFAT Hakikat model pembelajaran PBL adalah siswa belajar melalui permasalahan kehidupan seharihari. Secara ontologi PBL sesuai dengan aliran filsafat pendidikan matematika logikalisme atau logisisme yaitu semua konsep matematika pada akhirnya dapat direduksi menjadi konsep logis. Model PBL pada fase pertama siswa diberikan permasalahan dan guru memberikan penjelasan terkait materi prasyarat serta memotivasi siswa agar terlibat dalam aktivitas pembelajaran. Permasalahan tersebut harus dicari solusi atau penyelesaian menggunakan konsep-konsep dasar yang telah mereka miliki. Hasil solusi atau penyelesaian merupakan kesimpulan dari pola pikir ditarik melalui analisis yang didasarkan dari pengetahuan. Hal tersebut sesuai pola pikir aliran logikalisme atau logisisme. Model PBL membimbing siswa untuk mengembangkan keterampilan kolaboratif, kemampuan berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah, secara epistemologi sesuai aliran konstruktivisme bahwa proses menkonstruksi arti dari suatu pengalaman dan diskusi melalui perpaduan pengalaman yang telah dimiliki dengan pengalaman baru menghasilkan sebuah pengetahuan baru. Pada tahapan model PBL fase ketiga siswa mencari informasi penyelesaian masalah secara individu maupun kelompok, siswa didorong guru untuk mengumpulkan informasi, melakukan eksperimen atau percobaan, dan mencari penyelesaian yang sesuai dengan permasalahan dan pada fase kelima siswa mengevaluasi dan menganalisis hasil pemecahan masalah dan siswa dibantu guru merefleksikan proses dan penyelidikan yang mereka gunakan. Artinya pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, siswa aktif mengkonstruksi dan guru hanya sebagai fasilitator. Hal tersebut sesuai pemikiran dari aliran konstruktivisme ditinjau secara epistemologi filsafat pendidikan matematika Aksiologi adalah teori yang menganalisis nilai. Jika dilihat secara aksiologi, implementasi model PBL bermanfaat bagi siswa dalam meningkatkan kemampuan berfikir kritis, kreatif, dan pemecahan masalah. Menurut (Mareti dan Hadiyanti, 2021) menemukan bahwa PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar siswa. Dalam penelitian yang dilakukan oleh (Suparman dan Husen, 2015) PBL dapat meningkatkan kemampuan kreatif siswa. PBL juga dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa (Ernawati, 2017). Pada fase pertama, siswa diberikan permasalahan oleh guru sehingga akan menumbuhkan kemampuan berpikir kritis siswa karena siswa akan mengolah Informasi yang dibaca sehingga memunculkan pertanyaan-pertanyaan. Pada fase ketiga, siswa mengumpulkan informasi, melakukan percobaan, dan menemukan solusi penyelesaian masalah. Fase ini akan membuat siswa memiliki kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan pemecahan masalah. Fase keempat, siswa akan mengembangkan dan menyajikan hasil penyelesaian masalah. Di fase ini siswa akan memiliki kemampuan kreatif. Terakhir, fase kelima siswa akan melakukan refleksi pada proses penyelidikan hasil pemecahan masalah. Di fase ini, siswa akan membutuhkan kemampuan berpikir kritis. Berdasarkan hasil pembahasan ditemukan bahwa (1) secara ontologi, model PBL sesuai dengan aliran cabang filsafat logikalisme atau logisisme yang terdapat pada fase ketiga, (2) secara epistemologi, model PBL sesuai dengan aliran cabang filsafat konstruktivi sme yang terdapat pada fase ketiga dan kelima, dan (3) secara aksiologi ditemukan bahwa model PBL mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan pemecahan masalah pada siswa. DAFTAR PUSTAKA Adib, Muhammad. 2014. Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014 Anderha, R. R., & Maskar, S. 2021. PENGARUH KEMAMPUAN NUMERASI DALAM MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA TERHADAP PRESTASI BELAJAR MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA. Jurnal Ilmiah Matematika Realistik, 2(1), 1–10. Arigan, R. (2021). Perkembangan Matematika Dalam Filsafat Dan Aliran Formalisme Yang Terkandung Dalam Filsafat Matematika. Sepren, 2(2), 17–22. Ash-Shadr, Muhammad Baqir 1999. Falsafatuna terhadap Belbagai Aliran Filsafat Dunia, (Cet. VII; Bandung: Mizan, 1999), h. 25 Bintoro, H. S., Rochmad, & Isnarto. (2021). Model Problem Based Learning Dalam Perspektif Ontologi Dan Epistemologi Filsafat Pendidikan Matematika. Prisma, Prosidin Ernawati, E. (2017). Penerapan model problem based learning untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah materi perbandingan dan skala. Jurnal Pendidikan Guru Sekolah Dasar, 2(4), 110-120. Ernest, P., Skovsmose, O., Bendegem, J. P. van, Bicudo, M., Miarka, R., & Moeller, L. K. R. (2016). The Philosophy of Mathematics Education. ICME-13 Topical Surveys. In ICME-13 Topical Surveys Haryono Didi.2015. Filsafat Matematika. Bandung: Alfabeta Haryono Didi.2015. Filsafat Matematika. Bandung: Alfabeta James and James, Van. 1976. Mathematic Dictionary. Nostrand Rienhold Juhari. 2019. Aksiologi Ilmu Pengetahuan (Telaah Tentang Manfaat Ilmu Pengetahuan dalam Konteks Ilmu Dakwah), Al-Idarah: Juenal Manajemen dan Administrasi Islam, Vol. 3, No. 1. Khomsatun, Novi. 2019. Pendidikan Islam Dalam Tinjauan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi, EDUCREATIVE: Jurnal Pendidikan Kreatif Anak, Vol. 4,No. 2, Mahfud. 2018. Mengenal Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dalam Pendidikan Islam, Cendekian: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 4, No.1, Mareti, J. W. & Hadiyanti, A. H. D. 2021. Model Problem Based Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Siswa. Jurnal Elementaria Edukasia, 4(1), 31-41. Marsigit. 2007. The role of Kant’s theory of knowledge In setting up the epistemological Foundation of mathematics. Tesis. Univerisitas Gajah Mada Mujammil, Qomar. 2005. Epistemologi Pendidikan Islam, Jakarta : Erlangga. Novi Khomsatun, Pendidikan Islam Dalam Tinjauan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi, EDUCREATIVE: Jurnal Pendidikan Kreatif Anak, Vol. 4, No. 2, 2019 Parnabhakti, L., & Puspaningtyas, N. D. (2020). Penerapan Media Pembelajaran Powerpoint melalui Google Classroom untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa. Jurnal Ilmiah Matematika Realistik, 1(2), 8–12. Paul Ernest. 1991. The Philosophy of Mathematics Education. RoutledgeFalmer is an imprint of the Taylor & Francis Group Rahmat, Aceng dkk. 2015. Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta: Prenamedia group. Rochmawati, Ida. 2019. Pendidikan Karakter dalam Kajian Filsafat Nilai, Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 3, No. 1. Rusefendi, E. T. 1988. Pengajaran Matematika Modern dan Masa Kini Untuk Guru dan SPG. Bandung : Tarsito. Salam H. 1997. Burhanuddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta : PT Kineka Cipta. Sanprayogi, Maria & Moh. Toriqul Chaer. 2017. Aksiologi Filsafat Ilmu dalam Pengembangan Keilmuan, AL MURABBI, Vol. 4, No. 1, 2017. Santosa. 2015 Nyong Eka Teguh Iman. Epistemologi Partisan Pendidikan Liberal. Adabiyah: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 1, No. 1, September. Saputro, O. A., & Rayahu, T. S. (2020). Perbedaan Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Project Based Learning ( Pjbl ) Dan Problem Based Learning ( Pbl ) Berbantuan Media Monopoli. Jurnal Ilmiah Pendidikan Dan Pembelajaran, 4(April), 185–193. Simangunsong, V. H. (2021). Hubungan Filsafat Pendidikan Dan Filsafat Matematika Dengan Pendidikan. Sepren, 2(2), 14–25. Sinaga, Dkk. 2021. Perkembangan Matematika Dalam Filsafat dan Aliran Formalisme Yang Terkandung Dalam Filsafat Matematika. Journal of Mathematics Education and Applied. Volume 02, No.02, Mei 2021 Soetriono dan Hanafie. 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Andi. Suparman, Suparman, and Dwi N. Husen. 2015.. "Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Melalui Penerapan Model Problem Based Learning." Bioedukasi Universitas Khairun, vol. 3, no. 2. Suparno ,Paul. 2001. Filsafat Pendidikan, Yogyakarta : Penerbit Kanisius 2001. Surajiyo. 2008. Ilmu Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara. Suyitno, H., & Rochmad, R. (2015). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Filsafat Matematika melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dengan Strategi Berbasis Kompetensi dan Konservasi. Kreano, Jurnal Matematika Kreatif-Inovatif, 6(2), 199. Trianto. (2009). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif, Kencana. Kencana. Wahab, G., & Rosnawati. (2020). Teori-Teori Belajar Dan Pembelajaran. Penerbit Adab Waris. 2014. Penganter filsafat. yogyakarta. STAIN Po PRESS