Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul "Delegasi dan Pemberian Kewenangan".
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL "VETERAN" JAWA TIMUR FAKULTAS EKONOMI PROGRAM STUDI AKUNTANSI SURABAYA 2015
Journal of Institutional and Theoretical Economics, 2007
Pendelegasian merupakan elemen yang esensial pada fase pengarahan dalam proses manajemen karena sebagian besar tugas yang diselesaikan oleh manajer (tingkat bawah, menengah dan atas) bukan hanya hasil usaha mereka sendiri, tetapi juga hasil usaha pegawai. Bagi manajer, pendelegasian bukan merupakan pilihan tetapi suatu keharusan. Ada banyak tugas yang sering kali harus diselesaikan oleh satu orang. Dalam situasi ini, pendelegasian sering terkait erat dengan produktivitas. Ada banyak alasan yang tepat untuk melakukan pendelegasian. Kadang kala manajer harus mendelegasikan tugas rutin sehingga mereka dapat menangani masalah yang lebih kompleks atau yang membutuhkan keahlian dengan tingkat yang lebih tinggi. Manajer dapat mendelegasikan tugas jika seseorang telah dipersiapkan dengan lebih baik atau memiliki keahlian yang tinggi atau lebih cakap tentang cara menyelesaikan masalah. Pendelegasian juga dapat digunakan sebagai sarana pembelajaran atau "pemberian" kesempatan kepada pegawai. Pegawai yang tidak didelegasikan tanggung jawab yang sesuai dapat menjadi bosan, tidak produktif, dan tidak efektif. (Marquis, Bessie L, dkk.2010 )
2002
Why do political constituencies delegate decision power to representative assemblies? And how is the size of such assemblies determined? We analyze these questions of constitutional design in a model with voters learning their preferred alternative only after engaging in costly information gathering. We show that there is an optimal assembly size that would be chosen at a constitutional stage. This
2012
Tulisan ini bertujuan menginterogasi gagasan demokrasi deliberatif, yang konon kabarnya bisa menjadi alternatif terhadap demokrasi liberal yang kian terperangkap elektoralisme. Istilah demokrasi deliberatif itu mulai populer di awal era 1980an (Bessette 1980). Para pendukung model ini dengan sengaja menggunakan terminologi deliberative untuk menegaskan sebuah pendekatan politik yang berbeda dalam memahami demokrasi. Perbedaan tersebut berkaitan erat dengan upaya meningkatkan kwalitas praktik demokrasi yang ada selama ini dengan memperbaiki karakter dan bentuk partisipasi. Bagi para deliberative democrats demokrasi kontemporer sedang mengalami degradasi serius; kian terperangkap dalam konflik kepentingan yang bersifat pribadi, perilaku politik yang lebih mengutamakan penampilan ketimbang substansi, "debat kusir" yang dilakukan secara publik dan pertarungan kekuasaan demi ambisi dan keuntungan pribadi. Sebagai gantinya kelompok pendukung ini menghendaki pratisipasi politik yang lebih substantif yang berdasarkan pada debat publik yang argumentatif, penggunaan reason dan pencarian "kebenaran" yang obyektif. Pertanyaan penting bagi para deliberative democrats adalah apakah proses-proses dan lembaga-lembaga demokrasi sebaiknya dibangun di atas fondasi kehendak empirik masyarakat yang terlibat dalam politik, ataukah sebaiknya didirikan berdasarkan apa yang mereka sebut dengan reasonable political judgement (Offe dan Preuss 1991). Jawabannya menurut Bernard Manin (1987: 351ff) adalah "…the source of legitimacy is not the predetermined will of individuals, but rather the process of its formation, that is, deliberation itself." Dengan lain perkataan model demokrasi ini menganggap tidak ada satu pun nilai dan perspektif individual yang benar dengan sendirinya tanpa lebih dulu melalui proses dialog dan persetujuan dengan individu lainnya. Selain itu dialog memungkinkan semua sudut pandang yang bersifat pribadi mendapatkan kesempatan untuk "diuji" kebenarannya setelah dipertemukan dengan sudut pandang pribadi lainnya. Disini resiprositas menjadi prinsip utama yang harus ada bagi sebuah rancangan institusional demokrasi deliberatif (Offe dan Preuss 1991). Keterbukaan, toleransi dan penghargaan terhadap pluralisme merupakan nilai-nilai mendasar lainnya yang memungkinkan berlangsungnya dialog publik. Bila disederhanakan, demokrasi deliberatif adalah model demokrasi yang menganggap legitimasi politik setiap proses pembuatan kebijakan dan pelaksanaan ke-pemerintah-an bersumber dari deliberasi publik antar warganegara yang bebas dan sederajat (Elster 1989; Bohman 1998; Saward 2003). Kedaulatan rakyat karenanya tidak lagi direpresentasikan oleh kotak suara atau suara mayoritas semata, tapi juga yang lebih penting berdasarkan pada keputusan-keputusan bersama yang dibuat dengan menggunakan reason yang bisa dipertangungjawabkan dan penjelasan yang bisa diperdebatkan.
Cultural Anthropology, 2010
Iniciación universitaria//Leer y escribir en la universidad, 2016
Тезисы докладов научной конференции «XI научные чтения памяти Усенина Боданинского», г. Бахчисарай, 4 октября 2024 г. – Бахчисарай: Типография издательства ИП Корниенко А.А., 2024. – С. 5., 2024
IOSR Journals , 2019
IpoTESI di Preistoria, 2019
Sur le journalisme - About journalism - Sobre jornalismo, 2019
Journal of Petroleum Science and Engineering, 2004
Pro Edu. International Journal of Educational Sciences, 2022
Social Science Research Network, 2023
2007 IEEE Sensors, 2007
PubMed, 2013
arXiv (Cornell University), 2022
Biomedical Research and Therapy, 2018
Physical Review D, 2012
Stochastic Processes and their Applications, 1979
Universitas Pelita Bangsa, 2024