Academia.eduAcademia.edu

Popularitas Dan Komodifikasi Konten Televisi DI Era Digital

Jurnal Analisa Sosiologi

Television often commodifies content in nowadays’ digital era, especially those related to the personal life of celebrities. In fact, this violates the norms stated in the provisions of P3SPS Chapter 9th article 13th paragraph 2nd regarding Respect for Privacy Rights and has the potential to make audiences ignore social realities that exist in society. This study uses a qualitative descriptive approach which aims to show the commodification of the personal life content of artists on television in the digital era by using the concept of struggle for recognition and institutions from market from meaning. Through literature review by collecting observational data on television and YouTube content with the theme of the artist's personal life, as well as secondary data in the form of online news searches, documents and journals to complement the findings. The results of the study show that the greater the ability of each actor to become a prosumer and reach the popularity, the greate...

284 Kurnia Alysia Aditianingrum1, Ricardi Adnan2 POPULARITAS DAN KOMODIFIKASI KONTEN TELEVISI DI ERA DIGITAL Jurnal Analisa Sosiologi April 2023, 12 (2): 284- 309 Kurnia Alysia Aditianingrum1, Ricardi Adnan2 Abstract Television often commodifies content in nowadays’ digital era, especially those related to the personal life of celebrities. In fact, this violates the norms stated in the provisions of P3SPS Chapter 9th article 13th paragraph 2nd regarding Respect for Privacy Rights and has the potential to make audiences ignore social realities that exist in society. This study uses a qualitative descriptive approach which aims to show the commodification of the personal life content of artists on television in the digital era by using the concept of struggle for recognition and institutions from market from meaning. Through literature review by collecting observational data on television and YouTube content with the theme of the artist's personal life, as well as secondary data in the form of online news searches, documents and journals to complement the findings. The results of the study show that the greater the ability of each actor to become a prosumer and reach the popularity, the greater the opportunity to commodify personal content facilitated by the broadcasting industry and other institutions for economic purposes. This can be seen in various television stations which commodify the content of the personal lives of artists by showing wedding processions, 7 monthly processions, and aqiqah with quite high intensity in 2021, as well as other artists' daily activities in infotainment by combining content from the artist's Youtube channel. This phenomenon shifts existing values which makes the KPI institution soften in responding to it. Keywords: broadcast industry, commodification, digital, prosumer Abstrak Televisi kerap melakukan komodifikasi konten di era digital saat ini, terlebih yang berkaitan dengan kehidupan pribadi. Padahal, hal ini melanggar norma yang tercantum dalam ketentuan P3SPS Bab 9 pasal 13 ayat 2 mengenai Penghormatan Terhadap Hak Privasi dan berpotensi membuat khalayak mengabaikan realitas sosial yang ada di masyarakat. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif yang bertujuan menunjukkan komodifikasi konten kehidupan pribadi artis dalam televisi di era digital dengan menggunakan konsep struggle for recognition dan institusi dari market from meaning. Melalui kajian kepustakaan dengan pengumpulan data observasi konten televisi dan Youtube yang bertema kehidupan pribadi artis, serta data sekunder berupa penelusuran berita daring, dokumen, dan jurnal untuk melengkapi temuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin besar kemampuan setiap aktor untuk menjadi prosumer dan mendulang popularitas, semakin besar pula peluang untuk mengkomodifikasikan konten pribadi yang difasilitasi oleh industri penyiaran beserta institusi lainnya dengan tujuan ekonomi. Hal ini tampak pada berbagai stasiun televisi yang mengkomodifikasikan konten kehidupan 1,2 1 Universitas Indonesia Correspondence email: aditianingrum. [email protected] Jurnal Analisa Sosiologi pribadi para artis dengan menayangkan prosesi pernikahan, prosesi 7 bulanan, serta aqiqah dengan intensitas cukup tinggi di tahun 2021, juga aktivitas harian artis lainnya di infotainment dengan menggabungkan konten dari channel Youtube artis. Fenomena ini menggeser nilai yang ada yang membuat melunaknya institusi KPI dalam menyikapinya. Kata Kunci: industri penyiaran, komodifikasi, digitali, prosumer PENDAHULUAN Ekonomi politik liberal diketahui melekat pada industri media, khususnya televisi. Dengan ini terjadilah persaingan di media massa dalam menarik konsumen (khalayak penonton) sebanyak-banyaknya, dengan cara mengkomodifikasi setiap hal dalam tayangannya (Widiastuti 2021). Komodifikasi berhubungan dengan bagaimana proses transformasi barang dan jasa beserta nilai gunanya menjadi suatu komoditas yang memiliki nilai tukar di pasaran. Dalam hal ini, produk media yang berupa informasi dan hiburan harus mengembangkan inovasi (Putri and Adnan 2022) agar menjadi barang yang dapat dipertukarkan dan bernilai ekonomis (Rustandi 2019) sehingga bisa memaksimalkan profit. Digitalisasi mendorong perubahan di segala aspek, termasuk industri media. Kehadiran media sosial telah mengubah layanan dan proses organisasi publik, dan juga mengubah hubungan antara organisasi sektor publik, warga negara, dan media massa (Lovari and Valentini 2020) terutama dalam komunikasi dan relasi sosial. Tak ada lagi hambatan untuk sekedar berinteraksi, maupun standar untuk mendulang popularitas yang saat ini identik dengan kata ‘viral’ bagi siapapun, termasuk kalangan selebriti. Istilah viral digunakan utuk menggambarkan penyebaran pesan yang sangat cepat dan luas seperti virus pada komputer (Isnawati 2022), namun dalam hal ini, sesuatu obyek yang memiliki keunikannya tersendiri dibanding obyek lain sehingga dapat meraih ketenaran atau popularitas dalam waktu yang singkat. Dan karenanya, hal ini berkaitan dengan eksistensi diri di tengah situasi dengan batasan serba kabur. Kemunculan perantara digital seperti mesin pencari dan media sosial telah secara cepat serta signifikan mengubah ekologi media (Sudibyo 2022: 15). Internet yang bersamaan dengan berkembangnya teknologi informasi 285 Kurnia Alysia Aditianingrum1, Ricardi Adnan2 dan komunikasi menghadirkan berbagai perubahan, salah satunya konvergensi media yang berimbas pada berubahnya pola konsumsi dan interaksi yang membuat segala batas menjadi kabur. Konvergensi media membuat aktivitas leisure untuk menikmati konten hiburan tak lagi hanya melalui media massa seperti televisi, tetapi dapat melalui media sosial seperti facebook, youtube, tiktok, instagram, juga layanan-layanan videoon-demand (VoD) seperti Netflix, WeTV, dan Vidio. Imbasnya, media mainstream semakin berada pada posisi persaingan yang sengit, sebagaimana Tryon (2015) mengungkapkan bagaimana HBO sebagai prototype televisi yang lebih baik yang berformat pay TV kalah bersaing dengan Netflix yang berjenis streaming VoD. Bahkan berdasarkan survei Lembaga Indikator Politik Indonesia (2022), sebanyak 55,3% masyarakat Indonesia lebih sering mengakses internet daripada televisi yang hanya memeroleh 36,1%. Artinya, masyarakat Indonesia lebih menyukai media berbasis internet daripada media televisi sebagai media konvensional. Akibatnya, tantangan televisi pun semakin besar, sehingga ia harus berinovasi untuk menyuguhkan konten yang menarik dan kreatif agar tidak ditinggalkan konsumennya. Salah satu konten yang menjadi daya tarik sekaligus unsur yang dikomodifikasikan adalah kehidupan pribadi artis yang dikemas dalam berbagai program acara, seperti infotainment, reality show, dan live. Artis atau selebritas sebagai obyek dari dunia hiburan selalu mengundang ketertarikan masyarakat dan mengundang rasa penasaran terutama pada kehidupan pribadinya. Tak peduli bersifat sensasi, rumor, ataupun kontroversi, masyarakat akan tetap menjadikannya sebagai bagian dari konsumsi hiburan. Karenanya, media massa pun dalam rangka struggle for recognition dalam eksistensi diri mengambil kesempatan ini guna meraih perolehan rating yang berkelindan dengan jumlah iklan untuk kapitalisasi ekonomi. Padahal, penayangan konten kehidupan pribadi artis sudah menyalahi kepentingan penggunaan frekuensi publik yang beragam demografinya dan kebutuhannya. Selain itu, konten kehidupan pribadi artis juga melanggar aturan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) (KPI 2016) dalam pasal 13 ayat 2, Bab 9 mengenai Penghormatan Terhadap Hak Privasi, yang berbunyi: 286 Jurnal Analisa Sosiologi Lembaga penyiaran wajib menghormati hak privasi seseorang dalam memproduksi dan/atau menyiarkan suatu program siaran, baik siaran langsung maupun siaran tidak langsung. Namun, baik pihak lembaga penyiaran maupun pengawas dari lembaga penyiaran dapat berdalih bahwa tidak ada unsur pelanggaran hak privasi, karena tidak ada penolakan atau alasan keberatan dari pihak artis yang bersangkutan. Akan tetapi, meskipun demikian, tayangan ini melanggar pasal 11 P3SPS Bab VII (KPI 2016) tentang perlindungan kepentingan publik, sebagaimana disebutkan: Lembaga penyiaran wajib memperhatikan kemanfaatan dan perlindungan untuk kepentingan publik. Lembaga penyiaran wajib menjaga independensi dan netralitas isi siaran dalam setiap program siaran. Artinya, lembaga penyiaran seyogyanya menyiarkan konten yang memfasilitasi dan mencakup demografi masyarakat Indonesia yang beragam juga bersifat netral. Netralitas di sini tidak hanya dari segi ranah politik, melainkan seluruh cakupan masyarakat yang beragam dan tidak memihak sekelompok masyarakat yang memiliki sumber daya akses internet untuk menunjukkan eksistensinya di media sosial yang seringkali dianggap sebagai permintaan publik. Studi-studi sebelumnya terkait dengan perubahan kultur media dan komodifikasi konten ini telah banyak dilakukan. Widiastuti (2021) menemukan unsur komodifikasi konten kehidupan pribadi artis melalui tayangan reality show, seperti Janji Suci Raffi dan Gigi, Diary The Onsu, dan Keluarga Bosque (Baim Wong dan Paula), namun studi ini terbatas pada reality show. Hanief (2016) mengungkap komodifikasi konten kehidupan pribadi artis pada acara musik Dahsyat yang dianalisis melalui hiperrealitas Baudrillard. Rustandi (2019) menemukan bahwa komodifikasi juga terjadi pada program gelar wicara Islam Itu Indah melalui analisis wacana Teun Van Dijk yang terdiri dari 3 elemen, yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Sutriono dan Haryatmoko (2018) mengkaji komodifikasi artis di media sosial. Muslikhin et al. (2021) dengan studi kasus portal 287 Kurnia Alysia Aditianingrum1, Ricardi Adnan2 Tribunnews.com mengungkapkan bahwa konten berita tersebut dapat disebarkan melalui pola komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi media sosial. Akibatnya, terjadilah perubahan dari sisi konsumsi kegiatan seperti berkomunikasi, mengkonstruksi kepercayaan, bahkan mendapat hiburan (Satria and Priyastowo 2022). Mayoritas studi ini belum mengungkap apa yang melatar-belakangi komodifikasi konten dan tidak menyinggung konteks komodifikasi dalam era konvergensi media. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komodifikasi konten kehidupan pribadi selebritas di media televisi pada era digital, dengan menggunakan konsep struggle for recognition. Dalam penelitian sebelumnya, konsep ini digunakan untuk menjelaskan perjuangan eksistensi mazhab keagamaan di tengah upaya puritanisasi (Ahmad et al. 2022) dan hak-hak pengendara sepeda dalam menghadapi regulasi transportasi umum (Egan 2021). Sedangkan dalam konsep struggle for recognition (cinta (love), tatanan hukum (legal order), dan solidaritas (solidarity) (Marta 2018)) dalam penelitian ini berfokus pada upaya meraih popularitas, yakni eksistensi yang berujung pada kepentingan ekonomi di era digital. Hal ini melibatkan institusi seperti dalam konsep market from meaning Beckert (2019). Berkaitan dengan konten yang diminati atau yang didukung oleh khalayak, menurut Beckert (2019), nilai dan preferensi tidak diberikan secara eksogen, dan bukan cerminan selera individu, melainkan hasil endogen dari proses pasar, dan yang dibentuk secara sosial. Jika studi sebelumnya yang dilakukan oleh Sholahudin (2020) terhadap tayangan pernikahan Raffi-Gigi di televisi mengungkap konsep masyarakat konsumsi dengan keglamoran artis menjadi daya tarik bagi konten tersebut, maka dalam studi ini dikaji lebih dalam lagi terkait institusi yang terlibat melalui konsep market from meaning. Market from meaning hadir ketika suatu produk tidak dapat ditentukan secara pasti value atau nilainya untuk menarik konsumennya, seperti konten televisi. Nilai ini berkaitan dengan kualitas konten atau produk yang menurut Beckert (2019) kualitasnya bukan ciri yang melekat pada produk atau tidak dapat diketahui pada saat ini karena ketidakpastian perkembangan di masa depan, khususnya konten televisi. Karenanya, 288 Jurnal Analisa Sosiologi penilaian kualitas berkaitan dengan narasi yang dibagikan secara intersubjektif antar aktor termasuk khalayak (penonton) yang kemudian menghasilkan konvensi. Kehadiran institusi seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berperan dalam menjaga konvensi tersebut, yang menurut Beckert (2019) berfungsi untuk menghasilkan keyakinan akan kredibilitas kualitas produk yang dalam hal ini adalah konten televisi. Sehingga konten apa yang bagus dan bermanfaat dilembagakan sebagai nilai dihargai, diterima, dan disepakati. Ketika nilai yang dianut berpegang pada struggle for recognition dan kepentingan ekonomi yang menghasilkan intersubjektif assessment, institusi dapat bertindak dengan mencerminkan nilai yang ada yang dalam hal ini adalah pasar. Hal inilah yang memengaruhi keputusan aktor sosial dalam pasar yang Castell sebut memungkinkan dipengaruhinya keputusan aktor sosial secara asimetris. METODE PENELITIAN Pada penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode kajian kepustakaan untuk mengkaji komodifikasi konten kehidupan pribadi artis di televisi pada era digital. Dalam hal ini metode pencarian jawaban penelitian menggunakan bahan materi tekstual dan visual sebagai sumber utama disebut dengan istilah studi pustaka (Ihsan and Mutahir 2023). Teknik pengumpulan data dalam studi ini berupa observasi konten televisi dan Youtube. Tujuan observasi ini untuk menggali penayangan konten kehidupan pribadi artis dalam periode 2019-2022. Dari hasil observasi ini terkumpul data sekunder berupa (i) berita daring terkait konten kehidupan pribadi artis yang ditayangkan di televisi, (ii) jurnal tentang komodifikasi konten, (iii) dokumen peraturan: P3SPS dan laporan Indeks Kategori Siaran. Data sekunder digunakan untuk menganalisis terbentuknya komodifikasi konten kehidupan pribadi artis. Fokus kajian dalam studi ini adalah melihat struggle for recognition dan institusi dalam konsep market from meaning Beckert (2019) dalam menjelaskan fenomena komodifikasi tayangan kehidupan pribadi artis di televisi pada era digital. 289 Kurnia Alysia Aditianingrum1, Ricardi Adnan2 Analisis data dilakukan dengan model Milles dan Huberman yang terdiri dari 3 tahap, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data dilakukan dengan memilah konten televisi yang akan diamati terbatas dengan tema kehidupan pribadi artis, seperti prosesi pernikahan, 7 bulanan, aqiqah, hingga infotainment. Data disajikan melalui pendataan dalam bentuk tabel, dokumentasi berupa foto, dan narasi deskriptif. Penarikan kesimpulan berupa penjelasan atas pertanyaan penelitian dan temuan data sekunder yang dihubungkan dengan teori. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Artis, Youtube, dan tayangan Live Seiring dengan meningkatnya penetrasi internet dan digitalisasi, semakin mempermudah pengguna termasuk bagi kalangan artis untuk menjadi prosumer. Hal ini membuat struggle for recognition sebagai eksistensi diri semakin penting di dunia hiburan. Gambar 1 adalah laman channel Youtube salah satu artis, yakni Rizky Billar, yang menunjukkan bagaimana ia mendeskripsikan diri berupa ajakan untuk mengikuti akun instagramnya serta nomor contact person. Deskripsi ini bertujuan agar mendapat hubungan timbal-balik berupa follower, subscriber, like, banyaknya penonton, maupun kolaborasi bisnis yang seluruhnya mengarah pada popularitas dan tujuan ekonomi. Gambar 1. Laman channel Youtube artis Rizky Billar. Sumber: https://www.youtube.com/@RizkyBillar/about 290 Jurnal Analisa Sosiologi Konten-konten yang ditayangkan dalam channel youtube artis umumnya berisi aktivitas harian artis baik yang berhubungan dengan pekerjaan seperti single terbaru, podcast/obrolan, challange, maupun kehidupan pribadi. Gambar 2 merupakan salah satu konten kehidupan pribadi artis Rizky Billar yang menceritakan bagaimana hubungannya dengan Lesti Kejora yang saat itu keduanya masih berstatus belum menikah. Gambar 2. Konten kehidupan pribadi artis Rizky Billar bersama Lesti Kejora dalam channel Youtube. Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=RiYLZA9LDOc Konten seperti ini berhasil menarik perhatian khalayak sebanyak 13.912.283 kali tontonan, dengan total like sebesar 765.000 dan 116.348 komentar. Selebriti lainnya yang memiliki channel Youtube seringkali mengunggah konten serupa dan mengungkap sisi lain dari kehidupan pribadi mereka. Karenanya, industri penyiaran yang memahami potensi dari para artis ini terutama ketika terdapat pasangan favorit yang akhirnya menikah, memanfaatkannya sebagai struggle for recognition dengan melakukan komodifikasi tayangan kehidupan pribadi artis. Salah satu bentuk tayangan ini adalah tayangan live. Bukan hal baru ketika stasiun televisi menayangkan konten kehidupan pribadi selebritas seperti pernikahan artis atau selebritas secara live. Salah stasiun TV swasta pernah menayangkan pernikahan Eko Patrio dan Viona Rosalina secara live di tahun 2001, selanjutnya pernikahan Anang-Ashanty di RCTI pada tahun 2012, dan pernikahan Raffi-Gigi di Trans TV dan RCTI pada 2014. Tabel 1 adalah data para artis yang kontennya ditayangkan secara live. Intensitas tayangan live kehidupan 291 Kurnia Alysia Aditianingrum1, Ricardi Adnan2 pribadi artis ini meningkat, terutama masa pandemi di tahun 2021, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. No 1 2 2 4 Acara Pernikahan Artis Irish Bella-Ammar Zoni 7 Bulanan Kehamilan Paula (Baim-Paula) Sule-Nathalie Holscher 7 Bulanan Bulanan Perjalanan Buah Hati (Zaskia-Irwansyah) 2019 Stasiun TV Sumber berita penayangan SCTV matamata.com 2019 RCTI liputan6.com 2020 ANTV matamata.com 2021 Indosiar liputan6.com Tahun 3 Atta Halilintar-Aurel Hermansyah 2021 RCTI 4 Lesy Kejora-Rizky Billar 2021 Indosiar; ANTV 5 Ria Ricis-Teuku Ryan 2021 MNCTV 7 8 9 9 10 matamata.com; kompas.com; liputan6.com matamata.com; kompas.com; liputan6.com matamata.com; liputan6.com liputan6.com Reza DA-Valda Alviana 2021 Indosiar Ifan Seventeen-Citra 2021 Trans TV wowkeren.com Monica 7 Bulanan Baby A 2021 RCTI matamata.com (Atta-Aurel) Via Vallen-Chevra 2022 Indosiar matamata.com Yolandi Tedak sinten Baby 2022 Indosiar kapanlagi.com Ameena (Atta-Aurel) Tabel 1. Tayangan Konten Pribadi Selebritas dalam format Live Sumber: Diolah Peneliti. Konten kehidupan pribadi artis tidak hanya sekedar acara pernikahan, namun seluruh prosesinya, dari mulai proses pengajian, lamaran, siraman, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. 292 Jurnal Analisa Sosiologi Gambar 3. Tayangan Prosesi Pernikahan Via Vallen dan Chevra Yolandi dari tanggal 13 hingga 15 Juli 2022. Sumber: Diolah peneliti. Tayangan konten kehidupan pribadi artis lainnya juga ditayangkan secara live sebagaimana acara pernikahan. Seperti prosesi 7 bulanan kehamilan, dan syukuran tedak sinten (Gambar 4). Gambar 4. Tayangan prosesi Tedak Sinten anak Atta-Aurel. Sumber: Indosiar (Channel Youtube) https://www.youtube.com/watch?v=a1fIuGteuJs. Sebagaimana program hiburan lainnya, acara live dari konten kehidupan pribadi para artis ini juga diiklankan di setiap jeda acara tayangan suatu program (Gambar 5). Hal ini menunjukkan seberapa pentingnya acara live tersebut bagi televisi, sebagaimana program lainnya seperti sinetron. Gambar 5. Iklan acara pernikahan Reza DA & Valda dan Syukuran 7 Bulanan Zaskia & Irwansyah. Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=GrMMLjen4iw Umumnya, artis-artis yang konten kehidupan pribadinya seperti pernikahan dan lain-lain ditayangkan secara live telah memiliki popularitas yang mumpuni. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya subscriber di channel Youtube-nya, berikut bentuk afiliasinya di channel lainnya (Tabel 2). Atta adalah artis dengan subscriber tertinggi kedua setelah Ria Ricis. Stasiun 293 Kurnia Alysia Aditianingrum1, Ricardi Adnan2 televisi telah menayangkan program live terkait selebrasi kehidupan pribadinya sebanyak 3 kali di tahun 2021 dan 2022. Tingginya popularitas sang artis dapat memberi dampak bagi industri penyiaran yang menyiarkan konten kehidupan pribadinya berupa tingginya rating dan share yang diperoleh. No Artis Nama Channel Jumlah Total Subscriber Video 1 Lesti Kejora Lesti Channel 5,25 juta 2 Rizky Billar Rizky Billar 4,48 juta Aish TV 4,62 juta 3 4 5 Irish Bella & Ammar Zoni ZaskiaIrwansyah, Shereen-Teuku Wisnu Baim WongPaula Verhoeven The Sungkars 4,63 juta Baim Paula 20,9 juta 6 Atta Halilintar AH 30,3 juta 7 Aurel Hermansyah Aurelie Atta 4,35 juta 8 Ria Ricis Ricis Official 31 juta 9 Teuku Ryan Ryan TR Official 94,3 ribu Afiliasi Channel lain Leslar 181 Entertainment, Rizky Billar Leslar 284 Entertainment, Lesti Channel 713 - 1000 The Sungkar Kids, Zaskia Sungkar 2,1 ribu AHHA Records, Halilintar 2000 Lenggogeni, Aurelie Atta The Hermansyah 536 A6, AH, Arsy Arsya In Wonderland 2,4 Ryan TR Official, ribu Oki Setiana Dewi 42 Ricis Official Tabel 2. Data Channel Youtube artis yang kontennya sering ditayangkan di televisi. Sumber: Diolah Peneliti. Artis, infotainment, dan KPI Sebelum trend konten kehidupan pribadi berupa acara besar artis secara live, komodifikasi jenis ini umumnya ditayangkan dalam program infotainment. Di era media sosial konten program ini menjadi lebih kaya akan ekspos kehidupan pribadi karena menggabungkan konten asli dari 294 Jurnal Analisa Sosiologi channel youtube pribadi sang artis. Dalam kasus ini, peneliti menunjukkan 2 konten kehidupan pribadi artis Ria Ricis di sebelah kiri dan Arumi Bachsin di sebelah kanan. Konten ini kemudian dikomodifikasikan oleh program infotainment di televisi yang ditunjukkan pada Gambar 6 bagian atas dan menggabungkan konten channel Youtube pribadi sang artis pada Gambar 6 bagian bawah. Gambar 6. Tayangan kehidupan pribadi artis dalam infotainment yang menggabungkan konten dengan konten channel Youtube pribadi sang artis. Sumber: Diolah peneliti. Berdasarkan gambar di atas, konten artis Ria Ricis dan Teuku Ryan sedang melakukan selebrasi aqiqah putrinya (sebelah kiri). Sedangkan di sebelah kanan berupa konten artis Arumi Bachsin yang sedang family trip menemani suaminya bekerja di Melbourne. Kedua konten ini berasal dari konten yang diunggah dalam channel Youtube sang artis (Gambar 6 bagian bawah), kemudian diulas dan dikemas kembali sesuai frame dari salah satu infotainment yang tayang di Indosiar (Ria Ricis) dan RCTI (Arumi Bachsin). Di sisi lain, KPI (2019) mengakui bahwa ekspos dari konten infotainment dinilai melampaui batas ranah privasi dan justru lebih menunjukkan kualitas yang buruk suatu program yang tayang di frekuensi publik. Berdasarkan Indeks Katagori Program Siaran Periode II/2019 KPI (KPI 2019) yang ditunjukkan dalam Gambar 7 di sebelah kiri, bahwa 295 Kurnia Alysia Aditianingrum1, Ricardi Adnan2 terdapat beberapa program yang masih belum mencapai standar KPI berindeks 3, yaitu infotainmet, sinetron, dan variety show. Dalam laporan ini, program infotainment hanya mencapai indeks sebesar 2,34 dan menjadi katagori yang terendah di antara program lainnya. Gambar 7. Indeks Kategori Program Siaran Periode II Tahun 2019 Sumber: KPI 2019 KPI menetapkan enam indikator aspek kualitas tayangan program infotainment (Gambar 7 di sebelah kanan). Jika melihat Indeks Katagori Program Siaran, infotainment mendapatkan poin kualitas terrendah pada aspek menghormati kehidupan pribadi sebesar 1,98. Hal ini terjadi karena tujuan program infotainment di Indonesia adalah mengupas sisi lain kehidupan artis. Sehingga komodifikasi tayangan kehidupan pribadi artis, seperti aktivitas harian artis di rumahnya, berbelanja bersama keluarga, quality time dengan perjalanan liburan ke luar negeri, dan lain-lain rutin ditayangkan di program infotainment televisi. Oleh karena itu, kehadiran media sosial seperti channel Youtube artis menambah kekayaan konten infotainment. Kekayaan konten ini semakin menambah kesempatan televisi untuk mengkomodifikasikan konten kehidupan pribadi artis yang berdampak pada penurunan kualitas tayangan program tersebut. Pembahasan Artis sebagai Prosumer Pada konteks perubahan sosial akibat perkembangan teknologi, ketika lahirnya televisi di abad ke-20, terbentuklah budaya masyarakat massa (mass society). Budaya massa melahirkan produk yang sifatnya massa dan standar yang disebut dengan mass production (Widyawati 2019). Saat ini, pada konteks perubahan sosial yang disebabkan oleh internet dan 296 Jurnal Analisa Sosiologi perkembangan teknologi digital di Indonesia, terjadi pergeseran pola produksi dan konsumsi media. Jika pada era mass society masyarakat bertindak hanya sebagai konsumen budaya massa, maka ketika era internet dan digitalisasi, masyarakat dapat bertindak 2 hal, yaitu sebagai users juga sebagai doers. Teknologi digital melahirkan berbagai platform media sosial yang memfasilitasi individu untuk memproduksi konten sehingga lahirlah masyarakat sebagai produsen sekaligus konsumen atau prosumer (Lukmantoro 2018). Hal ini terjadi karena pengguna dapat memproduksi dan mereproduksi konten yang dapat dilihat dan dinilai oleh orang lain sehingga dapat mencapai prestasi melalui popularitas dan bermuara pada tujuan ekonomi melalui monetisasi media sosial. Mengulik perilaku prosumer dari pengguna media sosial, pemilik channel Youtube berlomba-lomba menghasilkan konten yang kreatif dan unik yang menunjukkan eksistensi diri agar dapat viral di jagat maya, karenanya dikenal pula beberapa studi terkait viral marketing sebagai bagian dari pemasaran digital (Isnawati 2022; Boentoro, Paramita, and Paramita 2020; Furqon 2020). Bersamaan dengan itu terdapat sejumlah studi terkait monetize dari media sosial itu sendiri (Hua et al. 2022; Zappin et al. 2021; Kopf 2020) yang bila kontennya telah banyak dilihat, dilanggan, juga disukai akan semakin banyak pula perolehan iklannya yang nantinya menjadi pundi-pundi uang bagi pemilik akun tersebut. Beragam profesi baru pun bermunculan, seperti influencer, selebgram, dan Youtuber. Ria Ricis dan Atta Halilintar (Gambar 8) adalah dua Youtuber dengan pendapatan tertinggi di Indonesia (Oketechno, 2022). Gambar 8. Channel Youtube Ria Ricis (kiri) dan Channel Atta Halilintar (kanan) Sumber: https://www.youtube.com/results?search_query=ria+ricis dan https://www.youtube.com/c/AttaHalilintar 297 Kurnia Alysia Aditianingrum1, Ricardi Adnan2 Struggle for recognition dan Institusi dalam Komodifasi Konten Kehidupan Pribadi Artis Tak ketinggalan, artis lainnya pun berlomba-lomba meluncurkan channel Youtube, seperti Lesti Channel (sejak 2016), Aurelie Atta (sejak 2018), The Sungkars (sejak 2018), Aish TV (Ammar Zoni-Irish Bella) sejak 2019, Rizky Billar (sejak 2019), dan lain sebagainya. Layaknya pengguna media sosial lainnya, para artis ini pun juga berlomba menghasilkan kontenkonten yang menarik, unik, dan kreatif untuk menggaet popularitas hingga menyajikan kehidupan pribadi yang bersifat privasi. Konten kehidupan pribadi ini merupakan bentuk dari struggle for recognition. Mereka semuanya berlomba ingin menunjukkan dan mengeksistensikan identitas kulturalnya sebagai individu atau kelompok sosial istimewa dan menjadi pembeda dengan individu dan kelompok sosial lainnya (Sholahudin 2020). Menurut Marta (2018) bentuk pengakuan ini akan terus meningkat kemudian dimediasikan melalui proses pengakuan timbal balik dengan subyek-subyek lainnya. Timbal balik ini dapat berbentuk banyaknya subscriber, komentar, juga like. Sebagai prosumer, sikap para artis yang mengeksploitasi kehidupan pribadi dengan dalih konten untuk mendatangkan atau mempertahankan subscriber yang dalam hal ini sebagai viewer, demi memperoleh iklan yang lebih banyak juga termasuk dalam komodifikasi sebagai tujuan ekonomi. Komodifikasi biasa diartikan sebagai kegiatan pengelola media dalam memperlakukan pesan sebagai komoditas yang bisa menyenangkan khalayak, mengundang para pemasang iklan, dan memperpanjang bisnis media (Halim 2013:50). Teori ekonomi politik yang digagas oleh Vincent Mosco memiliki tiga proses komodifikasi yaitu komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi (Ariska, Syaefudin, and Rosmaniah 2021). Namun dalam hal ini, selebritas tersebut melakukan komodifikasi konten atau isi dari pesan suatu produk budaya. Rustandi (2019) menjabarkan bahwa jenis komodifikasi ini dimulai ketika pelaku media mengubah pesan melalui teknologi sehingga pesan atau konten tersebut menjadi marketable atau dipandang sesuai dengan selera pasar. Di sisi lain, industri penyiaran di tengah struggle for recognition akibat tingginya persaingan di era digital melihat peluang struggle for 298 Jurnal Analisa Sosiologi recognition dari artis ini sebagai peluang baginya untuk mengakumulasi modal melalui komodifikasi. Hal ini terutama bagi konten yang memenuhi dimensi cinta seperti dalam argumen Honneth, berupa kolaborasi konten dengan pasangan, berbelanja, jalan-jalan bersama keluarga, pertunangan, pernikahan, dan lain sebagainya. Artis populer selalu mengundang rasa penasaran fans akan kehidupan pribadinya yang pada akhirnya dimanfaatkan oleh media yang profit-oriented. Dengan demikian, media pun melakukan komodifikasi di segala aspek tayangannya termasuk reality show yang juga mengulik kehidupan pribadi artis. Bahkan acara live pun juga mengusung kehidupan pribadi artis, seperti acara prosesi pernikahan dari mulai lamaran hingga pernikahan yang merupakan aspek cinta yang bersesuaian dengan norma dan adat-istiadat yang berlaku di masyarakat Indonesia, yakni pernikahan. Hal inilah yang dikatakan dalam Beckert (2019) sebagai value, yakni nilai yang mencerminkan interpretasi subjektif dari penilaian kualitas yang dikomunikasikan di pasar. Inilah yang menjadi daya tarik bagi konsumen media untuk menyaksikan tayangan tersebut yang tercermin melalui perolehan rating. Konten ini muncul seperti dalam pernikahan Irish Bella dan Amar Zoni di 2019, Atta dan Aurel di tahun 2021, Lesti dan Rizky Billar di 2021, Reza DA dan Valda di 2021, serta Via Vallen dan Chevra Yolandi di 2022 (Tabel 1). Sholahudin (2020) yang mengkaji penayangan selebrasi pernikahan Raffi-Gigi dengan menggunakan konsep Bourdillard mengungkap bahwa yang terpenting dari aspek selebrasi dalam tayangan adalah casing, citra (image), prestise yang mampu mengeksiskan dirinya. Eksistensi diri ini terkait erat dengan konsep struggle for recognition. Tak hanya acara lamaran dan pernikahan, rangkaian acara pribadi artis lainnya pun juga ditayangkan, seperti acara aqiqah anak Ria Ricis dan Teuku Ryan, 7 bulanan Zaskia dan Irwansyah di tahun 2021, dan upacara tedak sinten putri Atta dan Aurel di tahun 2022 (Tabel 1). Seolah mengalahkan situasi pandemi, tujuan utama ekonomi yang dalam hal ini berupa komodifikasi kehidupan pribadi artis dan struggle for recognition dari para artis dan industri penyiaran membuat acara-acara live seperti itu tetap ditayangkan bahkan ada yang mengambil 7 jam waktu tayang (Detikhot 2021). Tayangan lamaran dan pertunangan, pernikahan, 299 Kurnia Alysia Aditianingrum1, Ricardi Adnan2 dan acara tujuh bulanan artis semakin banyak ditayangkan pada tahun 2021. Kuantitas tayangan ini dalam penyiaran publik sebenarnya dipertanyakan manfaatnya, khususnya di tengah pandemi yang melarang terselenggaranya hajatan pernikahan. Konten kehidupan pribadi artis pun menjadi trend di berbagai stasiun televisi tanah air yang menunjukkan aspek solidaritas media dalam upaya ekonomi sehingga merubah aspek sakral pernikahan menjadi nilai tukar untuk publik. Acara live semacam ini membentuk solidaritas antar media sehingga tidak hanya Indosiar yang kerap menayangkan konten kehidupan pribadi artis, tetapi juga stasiun televisi lainnya, seperti Trans TV, SCTV, RCTI, ANTV, dan MNC. Solidaritas, menurut Honneth, merupakan relasi antar subyek yang saling bersimpati bagi keragaman cara hidup secara simetris (Prabowo 2019). Namun yang menjadi dasar bagi para kapitalis media di sini bukanlah simpati, melainkan tujuan ekonomi dengan dalih keinginan pasar yang berwujud besarnya rating dan share yang bersamaan dengan itu meningkatkan eksistensi media mainstream. Trend komodifikasi kehidupan pribadi seperti ini sebenarnya tidak terlepas dari latar belakang media massa itu sendiri yang dalam hal ini adalah industri pertelevisan. Menjamurnya stasiun TV swasta yang memiliki jangkauan nasional membuat persaingan antar program televisi semakin besar. Perolehan rating dan share yang diperebutkan oleh masing-masing stasiun televisi diharapkan menjadi daya tarik bagi para pengiklan agar menjadi sumber pemasukan bagi TV itu sendiri. Adanya persaingan ketat tersebut menuntut para pemilik modal di industri media harus kreatif dan inovatif dalam membuat konten medianya, agar tidak ditinggalkan oleh pemirsanya (Widiastuti 2021). Dengan hadirnya media sosial di era digitalisasi ini, persaingan pun semakin rumit karena khalayak mulai menggeser pola konsumsinya menjadi ke ranah pribadi atau lebih ke media sosial. Karenanya, stasiun TV cenderung menggabungkan konten Youtube yang mengandung aspek cinta dan cenderung emosional dan sensasional. Dalam hal ini, baik stasiun televisi maupun para artis memiliki tujuan yang sama terkait eksistensi diri. Melihat trend yang ada saat ini, dengan penguatan eksistensi diri dan tujuan ekonomi, hubungan kekuasaan juga mengalami pergeseran yang 300 Jurnal Analisa Sosiologi tercermin dalam institusi. Landasan struggle for recognition dan kapitalisme dalam dunia penyiaran yang membentuk solidaritasnya dalam menayangkan konten kehidupan pribadi artis, memungkinkan aktor sosial yang dalam hal ini adalah media dan pelaku industrinya (termasuk artis) memengaruhi secara asimetris keputusan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan cara mendukung kehendak, kepentingan, dan nilai yang diberdayakan. Hal inilah yang termasuk dalam aspek legal order dalam struggle for recognition Honneth. Institusi, menurut Beckert (2019), tidak menghasilkan trust atau kepercayaan, melainkan keyakinan. Dalam hal ini, keyakinan berupa kredibilitas sebagai tampilan bagi kualitas konten yang berakar pada sebuah konvensi yang terlembagakan yang mewakili kepentingan publik. Hal ini tercantum dalam pedoman P3SPS dan visi KPI, yakni terwujudnya sistem penyiaran nasional yang berkeadilan dan bermartabat untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Karenanya, KPI seharusnya menjadi pengawas media penyiaran publik dengan mewakili kepentingan masyarakat. Akan tetapi, lembaga ini justru menunjukkan perubahan sikap. Ketika pada tahun 2014 RCTI menayangkan persalinan Ashanty selama 4 jam, KPI langsung bereaksi tegas dengan memberi teguran. Bahkan S. Rahmat Arifin (dari KPI) menyatakan keberatannya karena penyiaran konten urusan pribadi yang disiarkan dalam frekuensi milik publik (Nasional Tempo 2014). Namun, hal sebaliknya justru terjadi saat ini, terutama ketika pandemi. Konten yang bersifat privasi seperti lamaran dan pernikahan artis disiarkan bahkan berhari-hari di re-run, KPI justru seolah bersikap lunak. Adanya hubungan kekuasaan antara KPI sebagai pengawas dengan stasiun televisi sebagai obyek yang diawasi, menurut Castell (2009: 11) memberi tingkat kepatuhan dan penerimaan terhadap konvensi yang berlaku, seperti di tahun 2014. Namun, ketika resistansi terjadi akibat kebutuhan akan struggle for recognition dan tujuan ekonomi, terjadilah perubahan konvensi yang membuat tujuan institusi pengawas bergeser pada kepentingan pasar. Hal ini tercermin dengan bagaimana KPI mengambil sikap. Meskipun pada akhirnya memberi sanksi berupa peringatan keras kepada stasiun TV 301 Kurnia Alysia Aditianingrum1, Ricardi Adnan2 yang menyiarkan (setelah menerima pengaduan masyarakat) di kemudian hari (JawaPos 2021), acara live semacam ini tetap ada. Merujuk pada pendapat Agung Suprio, selaku ketua KPI, menjelaskan alasan mengapa KPI memilih bersikap lunak terhadap tayangan pernikahan Atta-Aurel melalui reportase dari Konde.co (2021) berkaitan dengan norma agama atau aspek relijiusitas, yakni salah satu bentuk penghindaran dari zinah serta asumsi generalisasi penonton: “Jadi ketika itu akun sosmed KPI dibanjiri oleh akunakun yang mendukung Atta dan Aurel yang rata-rata milenial, umurnya 20 tahun ke bawah. Jadi yang setuju ini mengatakan bahwa mereka membutuhkan tayangan Atta dan Aurel karena mereka para fans ini tidak harus datang ke pernikahan Atta secara langsung. Ada juga yang mendukung dari perspektif religius yang mengatakan bahwa Atta telah mengajarkan soal menikah muda, ini bagus, agar tidak berzinah.” “Jadi hanya 1 orang yang menolak dan yang mendukung lebih banyak di sosial media KPI. Ini trend anak muda, tidak nonton tv tapi menjadi atensi. Ketika Atta dan Aurel manggung, anak-anak muda pada nonton. Jadi yang menolak hanya 1, dan yang mendukung 30 dalam satu hari.” Atas alasan viewer, KPI menggeneralisasi opini publik terkait dengan konten sehingga menyimpang dari konvensi atau aturan terinstitusional yang telah disepakati seperti pedoman P3SPS. Artinya, KPI sendiri telah melanggar aturan yang dibuatnya sendiri sebagai aspek legal order dari struggle for recognition yang dihasilkan dari tindakan komodifikasi konten kehidupan pribadi artis atas nama kapitalisasi. Berkaitan dengan aspek legal yang dipegang oleh otoritas KPI, menurut Prabowo (2019) mengenai Honneth yang mengandaikan adanya kesetaraan bagi subyek dalam ranah hukum dengan memiliki hak-hak yang dilindungi, dihormati, dan dipenuhi, hal ini tercermin dengan asumsi ketua KPI yang mengeneralisasi penonton dengan anggapan “1 yang menolak, 30 yang mendukung dalam sehari, berdasarkan sosial media”. Seolah komodifikasi konten pribadi menjadi nilai yang disepakati oleh masyarakat luas. Konvensi menurut Castell (2009: 14) seperti kotak hitam bermakna polisemik yang interpretasinya tergantung pada aktor sosial yang dalam kasus ini adalah pasar itu sendiri. Pendapat KPI terkait dengan mayoritas 302 Jurnal Analisa Sosiologi dukungan publik, mengesankan adanya ketidak-pahaman atau mungkin saja pengabaian dari institusi mengenai situasi digital devide sehingga menggeneralisasi kelompok fans menjadi mayoritas publik. Selain itu, alasan “pemaaf” yang dijadikan argumen utama bagi KPI untuk mengizinkan tayangan pernikahan Atta-Aurel adalah sosialisasi kebudayaan dalam Konde.co (2021). “Sebagai orang Jawa, saya juga jadi belajar soal midodareni dari perkawinan Atta dan Aurel, kemarin saya tidak tahu apa itu midodareni… sekarang media adalah alat pesan bagi anak muda karena dari pernikahan Atta dan Aurel mereka menjadi belajar budaya Jawa dari pernikahan ini.” “Orang luar negeri juga menonton pernikahan Atta karena ini budaya Jawa, rating dan share televisinya juga bagus dan memberikan pendidikan budaya pernikahan Jawa. Sebagai orang Jawa, saya jadi tahu budaya Jawa yang sedetail itu dari pernikahan ini.” “Ada juga budaya Minang juga dalam pernikahan tersebut.” Seolah mengaminkan bentuk komodifikasi kehidupan artis oleh media, Presiden Joko Widodo selaku kepala negara sendiri hadir dalam acara tersebut. Sikap kepala negara dalam hal ini menunjukkan sikap populis yang memang kerap kali ditunjukkan untuk mengambil simpati rakyat melalui kehangatan dan keramah-tamahan yang merupakan bentuk struggle for recognition dalam aspek cinta juga legal order karena peran sebagai presiden atau kepala negara yang seharusnya tidak melaksanakan tugas yang dinilai kontroversi tersebut. Gambar 9. Presiden Joko Widodo hadiri pernikahan Atta-Aurel sebagai saksi. Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=B2mxdEBiLJw 303 Kurnia Alysia Aditianingrum1, Ricardi Adnan2 Selain acara live dan reality show, komodifikasi kehidupan pribadi artis pun juga mencakup dalam tayangan infotainment dengan menggabungkan konten dari channel youtube pribadi sang aktris. Di Indonesia, infotainment merupakan program acara televisi yang bertujuan menyebarkan informasi (berita ringan) yang menghibur yang menyoroti kehidupan selebritas. Sejak kemunculannya pertama kali di tahun 1996, keberadaan infotainment membantu struggle for recognition bagi industri penyiaran dalam kapitalisasi melalui komodifikasi sisi lain dari kehidupan selebritas. Meskipun dalam perjalanannya, program infotainment kerap mendapat teguran dari otoritas pengawas kepentingan publik seperti KPI, tetap saja jenis program ini bertambah dari semula hanya di RCTI dengan Kabar Kabari, kini menjamur di setiap stasiun televisi yang memungkinkan untuk memengaruhi secara asimetris keputusan KPI. Dikatakan asimetris karena adanya kesan pengabaian bagi beragamnya masyarakat beserta kebutuhannya akan media. Karenanya, meski sering mendapat teguran bahkan penghentian sementara siaran untuk program ini, tetap saja tidak mengurangi jenis acara ini, namun semakin bertambah dan bervariasi. Dengan adanya digitalisasi dan konvergensi media menggeser nilai struggle for recognition dengan mengeskploitasi kehidupan pribadi selebritas demi tujuan ekonomi. Hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan kesadaran palsu bagi masyarakat yang berujung pada pengabaian akan realitas lain seperti isu sosial yang tengah berkembang di masyarakat. Karenanya, dengan kultur era digital yang menuntut persaingan di berbagai bidang, seyogyanya komodifikasi konten agar tetap mengikuti nilai/norma masyarakat. Pemerintah sebagai regulator harus berpacu mengantisipasi berbagai perkembangan media agar liberalisasi media tetap bisa memberikan dampak positif kepada masyarakat luas. Selain itu, pendidikan literasi bagi masyarakat untuk tetap digalakkan sehingga masyarakat tetap memperhatikan tata aturan dan norma yang ada dan tidak terjebak dengan kapitalisasi. 304 Jurnal Analisa Sosiologi KESIMPULAN Era digital yang memicu konvergensi media dan mengubah khalayak menjadi prosumer membuat televisi memiliki persaingan yang sangat ketat untuk menunjukkan eksistensinya. Persaingan atau struggle for recognition dilihat dari dua sisi, yakni dari kalangan para artis yang mengekspos kehidupan pribadi di media sosial dan industri penyiaran yang memfasilitasi penayangannya dalam berbagai program siaran. Persaingan dilihat dari sudut pandang struggle for recognition di kalangan artis yang juga menjadi prosumer. Artis yang menggunakan channel Youtube untuk mendulang popularitas dan mencapai tujuan aspek ekonomi dengan cara mengekspos konten kehidupan pribadi yang seharusnya menjadi ranah privasi. Industri penyiaran yang dalam hal ini stasiun televisi melihat fenomena di atas, menjadikannya peluang dengan mengkomodifikasikan konten kehidupan pribadi kalangan artis. Proses industri penyiaran mengakomodasi struggle for recognition konten kehidupan pribadi artis dengan memenuhi aspek cinta, solidaritas, dan legal order. Aspek cinta ditunjukkan melalui tayangan prosesi pernikahan, 7 bulanan, aqiqah, dan lain sebagainya. Solidaritas ditunjukkan dengan banyaknya stasiun televisi yang menayangkan konten kehidupan pribadi para artis dan tingginya kuantitas tayangan tersebut di tahun 2021. Hal ini menunjukkan semakin besar kemampuan setiap aktor untuk menjadi prosumer dan mendulang popularitas, semakin besar pula peluang untuk mengkomodifikasikan konten kehidupan pribadi yang difasilitasi oleh industri penyiaran. Perubahan ini pun berimbas pula pada melunaknya institusi KPI dalam menegakkan aturan P3SPS terhadap iklim industri penyiaran, sebagai aspek legal order dalam struggle for recognition. Institusi dalam market from meaning tidak menghasilkan trust atau kepercayaan, melainkan keyakinan. KPI sebagai institusi seharusnya berperan menegakkan konvensi yang telah disepakati melalui visi-misi dan pedoman P3SPS guna menjaga kualitas konten dalam industri penyiaran. Ketika terjadi perubahan konvensi yang lebih mengarah pada kepentingan pasar, KPI pun berubah sikap. Perubahan ini tercermin dengan sikap KPI yang dulu memprotes tayangan proses persalinan artis di tahun 2014 tetapi 305 Kurnia Alysia Aditianingrum1, Ricardi Adnan2 kini mengizinkan tayangan live dengan tema kehidupan pribadi artis yang lebih beragam dan kuantitas yang cukup sering di tahun 2021. Aktor sosial yang dalam hal ini adalah industri penyiaran dan pelaku industrinya (artis) memengaruhi secara asimetris keputusan KPI dengan cara mendukung kehendak, kepentingan, dan nilai yang diberdayakan oleh pasar. DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Mubarak, Bunyamin Bunyamin, Muhammad Azhar Nawawi, Cahya Adhitya Pratama, and Rizkindo Junior. 2022. “The Struggle for Recognition: A Study of the Existence of the Indonesian Ahmadiyya Community in the Concept of Axel Honneth’s Recognition.” MUHARRIK: Jurnal Dakwah Dan Sosial 5(2):307–20. doi: 10.37680/muharrik.v5i2.1648. Ariska, Yogi, Syaefudin, and Rosmaniah. 2021. “Komodifikasi ODGJ Pada Kanal Youtube Dalam Perspektif Ekonomi Politik Di Media Baru.” Jurnal Ilmu Komuikasi 8(1):65–76. Beckert, Jens. 2019. “Markets from Meaning: Quality Uncertainty and the Intersubjective Construction of Value.” Cambridge Journal of Economics (August 2019):285–301. doi: 10.1093/cje/bez035. Boentoro, Yenty, Sinta Paramita, and Sinta Paramita. 2020. “Komunikasi Pemasaran Viral Marketing (Studi Kasus Kopi Kwang Koan).” Prologia 4(1):141. doi: 10.24912/pr.v4i1.6455. Castell, M. 2009. Communication Power. New York: Oxford University Press Inc. Detikhot. 2021. “Pernikahan Rizky Billar-Lesti Tetap Disiarkan Live di TV Meski Penolakan Terdengar” Retrieved August 25, 2022, from https://hot.detik.com/celeb/d-5682316/pernikahan-rizky-billar-lestitetap-disiarkan-live-di-tv-meski-penolakan-terdengar. Egan, Robert. 2021. “‘Provoking Responsibility’: The Struggle for Recognition as an Everyday Cyclist in Dublin City.” Geoforum 127:23–32. doi: 10.1016/j.geoforum.2021.09.012. Furqon, Mohammad Amir. 2020. “Pengaruh Viral Marketing Dan Turbo Marketing Terhadap Keputusan Pembelian.” Jurnal Inspirasi Bisnis Dan Manajemen 4(1):79. doi: 10.33603/jibm.v4i1.3311. 306 Jurnal Analisa Sosiologi Halim, S. (2013). Postkomodifikasi Media. Yogyakarta : Jalasutra. Hanief, Lalita. 2016. “Komodifikasi Kehidupan Pribadi Artis Dalam Tayangan Musik (Kajian Kritis Hiperrealitas Baudrillard).” Metacommunication: Journal of Communication Studies Vol 1, No(1). Hua, Yiqing, Manoel Horta Ribeiro, Thomas Ristenpart, Robert West, and Mor Naaman. 2022. “Characterizing Alternative Monetization Strategies on YouTube.” Proceedings of the ACM on HumanComputer Interaction 6(CSCW2). doi: 10.1145/3555174. Ihsan, Alfian, and Arizal Mutahir. 2023. “SEDUCTION DAN SIMULAKRA.” 17–35. Isnawati, Setya Indah. 2022. “Viral Marketing Sebagai Strategi Pemasaran Melalui Media Sosial.” Manajemen Dan Akuntansi 2(1):2022. JawaPos. 2021. “KPI Tegur RCTI Usai Siarkan Acara Lamaran Atta-Aurel Secara Maraton.” Retrieved September 26, 2022, from https://www.jawapos.com/entertainment/infotainment/18/03/2021/kpitegur-rcti-usai-siarkan-acara-lamaran-atta-aurel-secara-maraton/ Konde.co. 2021. “Aktivis Kritik KPI Yang Memperbolehkan Tayangan Perkawinan Artis di Televisi.” Retrieved from August 7, 2022, from https://www.konde.co/2021/07/aktivis-kritik-kpi-yangmemperbolehkan-tayangan-perkawinan-artis-di-televisi.html/ Kopf, Susanne. 2020. “‘Rewarding Good Creators’: Corporate Social Media Discourse on Monetization Schemes for Content Creators.” Social Media and Society 6(4). doi: 10.1177/2056305120969877. KPI. 2016. “Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) Dan Standar Program Siaran.” KPI. 2019. Kualitas Program Siaran TV Periode II Tahun 2019. Lembaga Indikator Politik Indonesia. 2022. “Rilis Survei Online 20 April 2022: Akses Media Dan Perilaku Digital.” (8). Lovari, Alessandro, and Chiara Valentini. 2020. “Public Sector Communication and Social Media.” The Handbook of Public Sector Communication 315–28. doi: 10.1002/9781119263203.ch21. Lukmantoro, Triyono. 2018. “Hoaks Serbuan TKA Dari Tiongkok : Kepanikan Moral Dan Budaya Ketakutan.” Masyarakat Indonesia 44(1):31–46. 307 Kurnia Alysia Aditianingrum1, Ricardi Adnan2 Marta, Rustono Farady. 2018. “Perjuangan Multikulturalisme Perhimpunan Indonesia Tionghoa Dalam Perspektif Rekognisi Axel Honneth.” Bricolage : Jurnal Magister Ilmu Komunikasi 4(01):023. doi: 10.30813/bricolage.v4i01.1649. Muslikhin, Muslikhin, Deddy Mulyana, Dadang Rahmat Hidayat, and Prahastiwi Utari. 2021. “The Commodification, Spatialization and Structuration of Social Media in the Indonesian Cyber Media News.” Media and Communication 9(2):110–18. doi: 10.17645/mac.v9i2.3752. Nasional tempo. 2014. “RCTI Kena Semprot Tayangkan Ashanty Melahirkan.” Retrieved October 19, 2021, from https://nasional.tempo.co/read/629026/rcti-kena-semprot-tayangkanashanty-melahirkan/full&view=ok Oketechno. 2022. “Fantastis, 10 YouTuber Indonesia dengan Penghasilan Mencapai Rp110 Miliar.” Retrieved September 21, 2022, from https://techno.okezone.com/read/2022/01/20/57/2535260/fantastis-10youtuber-indonesia-dengan-penghasilan-mencapai-rp110-miliar Prabowo, Rian Adhivira. 2019. “Politik Rekognisi Axel Honneth: Relevansinya Terhadap Jaminan Kesetaraan Dalam Hukum Di Indonesia.” Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan 4(2):75. doi: 10.14710/jiip.v4i2.5379. Putri, Syora Alya Eka, and Ricardi S. Adnan. 2022. “The Adaptive Science Communication Model in the Middle of VUCA Era in Indonesia: Study of Startup Kok Bisa.” Informasi 52(1):1–22. doi: 10.21831/informasi.v52i1.42399. Rustandi, Ridwan. 2019. “Analisis Wacana Kritis Komodifikasi Daí Dalam Program Televisi.” Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi 2(2):179– 202. doi: 10.15575/cjik.v2i2.4949. Satria, Faudyan Eka, and Triyan Rahayu Priyastowo. 2022. “Kebudayaan Pasca-Digital Dan Pasifikasi Mal Dalam Fakultas Eksistensialnya.” Jurnal Analisa Sosiologi 11(2):269–87. doi: 10.20961/jas.v11i2.57558. Sholahudin, Umar. 2020. “Selebrasi Pernikahan Artis Dalam Perspektif Teori Masyarakat Konsumsi Baudrillard.” Journal of Urban Sociology 2(2):57. doi: 10.30742/jus.v2i2.991. Sudibyo, A. (2022). Dialektika Digital: Kolaborasi dan Kompetisi Antara 308 Jurnal Analisa Sosiologi Media Massa dan Platform Digital. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Sutriono, Sutriono, and Haryatmoko Haryatmoko. 2018. “Selebriti Dan Komodifikasi Kapital Di Media Sosial.” Journal Acta Diurna 14(2):99. doi: 10.20884/1.actadiurna.2018.14.2.1363. Tryon, Chuck. 2015. “TV Got Better: Netflix’s Original Programming Strategies and Binge Viewing.” Media Industries Journal 2(2):104–16. Widiastuti, Nela. 2021. “Komodifikasi Keluarga Artis Indonesia Di Media Televisi Swasta.” Jurnal Ars University 2(1):1–12. Widyawati, Nina. 2019. “Komodifikasi Kehidupan Pribadi Dan Demokrasi Semu Dalam Budaya Digital.” Masyarakat Indonesia 44(1):47–60. Zappin, Anthony, Haroon Malik, Elhadi M. Shakshuki, and David A. Dampier. 2021. “YouTube Monetization and Censorship by Proxy: A Machine Learning Prospective.” Procedia Computer 198(2021):23–32. doi: 10.1016/j.procs.2021.12.207. Science 309