Academia.eduAcademia.edu

Hakikat Manusia Dan Pendidikan

2022

Dalam Islam , Istilah Pendidikan diartikan dengan Tarbiyah yang memiliki makna mendidik,membimbing manusia menuju kepada kedewasaan. Ada beberapa istilah yang digunakan dalam memberikan arti pendidikan, diantaranya yaitu Ta’lim, Ta’dib dan Tarbiyah. Masing – masing istilah ini memberikan makna yang berbeda beda dalam memberikan arti Pendidikan

Tazkiya, Vol. X No.2, Juli-Desember 2021 http://jurnaltarbiyah.uinsu.ac.id/index.php/tazkiya e-mail: [email protected] P-ISSN: 2086-4191; E-ISSN:2807-3959 HAKIKAT MANUSIA DAN PENDIDIKAN Afrahul Fadhila Daulai Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan Email: [email protected] Abstrak: Dalam Islam , Istilah Pendidikan diartikan dengan Tarbiyah yang memiliki makna mendidik,membimbing manusia menuju kepada kedewasaan. Ada beberapa istilah yang digunakan dalam memberikan arti pendidikan, diantaranya yaitu Ta’lim, Ta’dib dan Tarbiyah. Masing – masing istilah ini memberikan makna yang berbeda beda dalam memberikan arti Pendidikan. A. PENDAHULUAN HAKIKAT MANUSIA Pengetahuan tentang hakikat manusia secara mendasar dalam Islam telah terdapat konsepsi yang diajarkan oleh Allah SWT dalam kitab suci Al-Qur‟an yang dikembangkan lebih lanjut oleh Muhammad Rasulullah Saw dalam sunnahnya. Dari segi biologis dan fisiologis, manusia diciptakan Allah SWT sebagai makhluk yang paling sempurna dan paling mulia diantara makhluk-makhluk lainnya, namun dalam jiwanya terdapat 2 macam kecenderungan yaitu Tuhan memberikan kemampuan yang cenderung ke arah kebaikan dan ketaqwaan yang berwatak tunduk dan taat kepada peraturan Tuhan-Tuhan-Nya. Namun dibalik itu diberi kemampuan yang cenderung buruk , kufur, membantah perintah, menyeleweng dari aturan dan ketertiban. Jika dilihat dari segi subtansinya, manusia terbentuk dari unsur rohaniah dan unsur jasmaniah, yang menyatu di dalam tubuh hidup manusia yang tak dapat dipisahpisahkan. Rohaniah di sini dimaksudkan sebagai kemampuan kejiwaan, yaitu kemampuan berbuat berkat kekuatan roh yang telah dimasukkan oleh Tuhan ke dalam tubuhnya. Roh memiliki zat yang berbeda dari jasmani, oleh karena itu pada waktu belum dihembuskan oleh malaikat atas perintah Allah ke dalam tubuhnya, roh telah diciptakan terpisah dari tubuh jasmaniah manusia (dan makhluk hidup pada umumnya) dan pada waktu meninggal dunia roh manusia terpisah lagi dari tubuhnya. 68 Tazkiya, Vol. X No.2, Juli-Desember 2021 http://jurnaltarbiyah.uinsu.ac.id/index.php/tazkiya e-mail: [email protected] P-ISSN: 2086-4191; E-ISSN:2807-3959 Dengan demikian, roh dan tubuh jasmani manusia berdiri sendiri. Barangkali dapat dipersamakan dengan api dan kayu. Ketika api telah membakar sebatang kayu, maka api dan kayu telah menjadi satu, sehingga tak dapat lagi dipisah satu sama lain. Api adalah zat yang mempunyai daya panas dan memanaskan benda lain, demikian juga roh mempunyai daya menghidupkan benda-benda jasmaniah. Bendabenda yang tidak mempunyai roh, tergolong benda mati. Makhluk hidup, karena memiliki roh dalam dirinya, maka ia dapat tumbuh dan berkembang secara vertikal atau horizontal berdasarkan sunnatullah masing-masing. Bila dilihat dari segi perbedaan substansialnya, maka eksistensi roh dan tubuh jasmaniah (benda) masing-masing berdiri sendiri, sehingga dapat dikatakan secara psikologis, manusia adalah makhluk psiko-fisik netral (terutama dilihat dari segi psikologi personalitik). Akan tetapi jika dilihat dari segi biologis, manusia adalah makhluk psiko-fisik paralelisme roh dan tubuhnya saling berkaitan). (Crow Hester, 1961). Dalam kitab suci Al-Qur‟an kita dapati firman-firman Allah yang menunjukkan pandangan dasar tersebut di atas misalnya : Artinya : “Sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk (struktur) yang paling baik” (QS. At-Tin, 5). Tentang proses kejadiannya Allah memberitahukan kepada itu sebagai berikut : Artinya : “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari sari tanah, lalu Kami jadikan sari tanah itu air mani (sperma) yang tersimpan dalam tempat yang paling kokoh (yaitu rahim ibu); Kemudian dari air mani itu Kami ciptakan segumpal darah kental; Kemudian kami jadikannya mudghah (segumpal daging) dan dari segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang; Kemudian tulang belulang itu Kami tutup (balut) dengan daging; Kemudian ia Kami jadikan makhluk yang baru (yaitu manusia yang sempurna). Maha Suci Allah, Pencipta yang paling baik”. (QS. Al-Mu‟minun:1214). Menurut sabda Nabi saw yang berkaitan dengan proses pertumbuhan dan perkembangan manusia antara lain adalah tergambar di dalam al-Hadits sebagai berikut: Artinya : Nabi bersabda: bahwasannya seseorang dari padamu dihimpun kejadiaannya di dalam perut ibunya selama 40 hari, kemudian menjadi segumpal darah (alaqah) 69 Tazkiya, Vol. X No.2, Juli-Desember 2021 http://jurnaltarbiyah.uinsu.ac.id/index.php/tazkiya e-mail: [email protected] P-ISSN: 2086-4191; E-ISSN:2807-3959 selama itu pula, kemudian menjadi mudghah (segumpal daging) selama itu pula, kemudian Allah mengutus seorang Malaikat yang diperintahkan : “Catatlah amalannya, rizqinya, ajalnya dan celaka dan bahagianya, kemudian ditiupkanlah ke dalam dirinya roh.” (H.R. Buchary). Tentang roh yang ditiupkan ke dalam diri makhluk ciptaan-Nya, Allah SWT memfirmankannya dalam beberapa ayat Al-Qur‟an misalnya sebagai berikut : Artinya : “Maka apabila aku telah menyempurnakan (kejadiaannya), maka aku telah meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama, kecuali Iblis. Ia enggan ikut bersama-sama pada (malaikat) yang sujut itu (QS. Al-Hijr: 29-31). Dengan ditiupkannya roh Tuhan itu ke dalam diri Adam, maka menjadilah manusia itu makhluk yang termulia, sehingga para Malaikat pun diperintahkan untuk bersujud kepada manusia (Adam). Derajat dan martabat Adam dan anak cucunya yaitu manusia yang diciptakan Allah untuk berkembang biak dan hidup berkembang di atas permukaan bumi adalah derajat dan martabat yang mengandung sifat-sifat Ilahyah, yaitu sifat-sifat yang berwatak baik, berkecenderungan ke arah perilaku baik yang mengabdi kepada-Nya. Hanya iblislah yang berwatak jahat yang berusaha untuk menjatuhkan derajat dan martabat manusia ke dalam jurang kehinaan dan kerendahan. Dalam Al-Qur‟an telah dijelaskan oleh Allah, bahwa iblis menjadi makhluk terkutuk karena berwatak mengingkari Tuhannya dan memusuhi manusia sampai akhir zaman. Keingkarannya kepada Tuhan dan permusuhannya terhadap manusia ditandai dengan sikap menentang perintah untuk bersujud kepada Adam, setelah Allah memberitahu bahwa Adam dijadikan sebagai khalifah-Nya di atas bumi. Oleh karena itu, maka Allah mengangkat Adam (dan anak keturunannya) menjadi mandataris (khalifah) di atas bumi agar mengelola kekayaannya serta memelihara kelestariannya secara menggali, mengolah dan memanfaatkannya bagi kepentingan kesejahteraan hidupnya di dunia sebagai bekal bagi hidup akhiratnya. Firman Allah yang berkaitan dengan tugas manusia sebagai khalifah-Nya di ats bumi antara lain sebagai berikut : Artinya : “Dan ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang khalifah di muka bumi…..” (QS. Al-Baqarah, 30) 70 Tazkiya, Vol. X No.2, Juli-Desember 2021 http://jurnaltarbiyah.uinsu.ac.id/index.php/tazkiya e-mail: [email protected] P-ISSN: 2086-4191; E-ISSN:2807-3959 Dan Tuhan mencipatakan manusia dari tanah liat kering….. (Al-Hijr, 28) Meskipun semula ditentang oleh para Malaikat, pada akhirnya setelah Allah memberikan pengertian tentang maksud dan tujuannya mengangkat khalifah di muka bumi, melalui proses pendidikan terhadap Adam yaitu mengajarkan nama-nama kepadanya, kemudian mereka diperintahkan untuk menyebutkan nama-nama benda itu, namun tidak dapat mereka lakukan, maka mereka menyerah kepada-Nya, seraya menyatakan : Artinya : “Mereka mengatakan: Maha Suci Engkau, kita tidak punya pengetahuan melainkan apa yang telah Engkau ajarkan kepada kita: Sesungguhnya Engkau ……..lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-Baqarah, 32) Firman-firman Allah yang tersebut di atas menunjukkan bahwa Tuhan pun Maha Pendidik dan Pengajar yang telah menciptakan proses belajar-mengajar dalam alam metafisis terhadap makhluk ciptaan-Nya yaitu malaikat, iblis dan manusia (Adam) dengan metode dialogis. Jadi jelas dalam substansi kejadian manusia berlainan dengan malaikat yang tercipta dari cahaya Tuhan (Nur Ilahi), dan iblis dari api, maka manusia diciptakan dari unsur material yaitu tanah yang dihidupi dan digerakkan oleh Roh Tuhan itu sendiri. Dalam perjalanan hidupnya di alam materi (duniawi), manusia selalau mendapatkan godaan dari iblis yang membangkang terhadap perintah Tuhan. Manusia yang menjadi “khalifah” di atas bumi pada hakikatnya adalah makhluk termulia bila saja mereka taat menjalankan perintah-perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya. Sedangkan manusia yang terperosok ke dalam jurang kesesatan karena mengikuti nafsu iblis, maka ia tak pantas lagi menjadi khalifah Allah di atas bumi. Dengan melalui proses kependidikanlah, manusia dapat dibimbing dan diarahkan menjadi hamba Allah yang taat kepada perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, sehingga mampu berfungsi menjadi pembangun terhadap dunia tempat tinggalnya agar memperoleh kehidupan yang layak, sebagaimana firman-Nya: Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami ciptakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur” (QS. Al-A‟raf, 10) Sebagai khalifah di muka bumi yang harus mengelola kekayaan yang terkandung di dalamnya, manusia telah diberi kelengkapan-kelengkapan dasar (potensi 71 Tazkiya, Vol. X No.2, Juli-Desember 2021 http://jurnaltarbiyah.uinsu.ac.id/index.php/tazkiya e-mail: [email protected] P-ISSN: 2086-4191; E-ISSN:2807-3959 dasar) yang dapat dibina dan dikembangkan sejauh mungkin (setinggi mungkin) melalui proses belajar mengajar. Kemampuan dasar itu disebut Fitrah. Di dalam kerangka fitrah itu terdapat komponen-komponen psikologis yang saling memperkokoh dalam proses perkembangannya menuju ke arah kapasitas yang optimal. Dan diantara komponen fitrah itu adalah potensi untuk beragama (Islam), potensi interlektual (kecerdesan) yang menjadi dasar berpikir kreatif, dan potensi untuk hidup bermasyarakat (naluri sosialitas) serta potensi nafsu (baik atau buruk) yang bersifat menggerakkan. Juga potensi dasar untuk berkembang dan sebagainya. (1). Potensi dasar untuk beragam atau fitrah dinijjah yang oleh Carl Gustav Jung disebut naturaliter religiosa telah diberitahukan oleh Allah SWT dalam ayat Al-Qur‟an, Surat Ar-Rum, 30 sebagai berikut : Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah) (tetaplah) atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah; (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Rum, 30). Jelas bahwa fitrah tersebut mengandung potensi dasar untuk beragama lurus yaitu agama Allah. Fitrah tersebut tidak dapat diartikan sebagai jiwa yang suci bersih yang kosong dari kemampuan potensial untuk dikembangkan. Pengertian dari firman Allah tersebut bertentangan dengan teori tabulae rasae (meja lilin atau kertas putih) dari John Lock yang terkenal dalam dunia pendidikan. Sebagai paham Nativisme. Begitu pula sabda Muhammad Rasulullah Saw berikut ini mengandung pengertian yang sama dengan kandungan ayat tersebut di atas; Oleh karena manusia mempunyai fitrah beragama itulah, maka ia dapat dididik untuk beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi. Artinya : “Setiap anak itu dilahirkan dengan membawa fitrah, maka kedua orang taunyalah yang mendidiknya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi” Benih jiwa keagamaan yang bersifat umum yang terkandung di dalam makna fitrah itulah yang menjadi dorongan internal (dari dalam) berproses secara interaktif dengan pengaruh pendidikan yang dilakukan oleh pendidik yaitu orang tuanya sendiri sebagai pendidik pertama. 72 Tazkiya, Vol. X No.2, Juli-Desember 2021 http://jurnaltarbiyah.uinsu.ac.id/index.php/tazkiya e-mail: [email protected] P-ISSN: 2086-4191; E-ISSN:2807-3959 Oleh karena itu dapat dibenarkan jika diantara ahli teologi menyatakan bahwa manusia adalah homo divinans yaitu makhluk yang berketuhanan. Atau oleh ahli antropologi agama menggelarinya dengan homo religius, makhluk yang beragama. Diantara ulama dan ilmuwan Islam sendiri ada yang berpendapat (misalnya Jamaluddin Al Afghani dalam kitab tafsirnya Al Manar) bahwa manusia dengan fitrahnya itu mampu beragama Islam, karena agama Islam adalah agama fitrah. Begitu pula Abul A‟la Al-Maududi, mempersamakan makna fitrah dengan human nature (tabiat asli manusia) yang berwatak tawakkal (menyerahkan diri) kepada Maha Penciptanya, sedang agama yang mengajarkan sikap berserah diri dan tunduk kepada kehendak (iradah) Maha Penciptanya adalah Islam. Bahkan menurut pandangannya semua makhluk baik yang hidup maupun benda mati berserah diri kepada Maha Pencipta. Jadi pada hakikatnya manusia adalah makhluk Tuhan yang diberi kemampuan untuk beragama, pengabdi kepada Tuhan, Khaliknya. Dalam firman Allah berikut ini menunjukkan tujuan apa manusia diciptakan: Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS. Al-Dzariaat, 56). Kemampuan belajar-mengajar (dididik dan mendidik) manusia termasuk komponen fitrah jua. Ayat-ayat yang diturunkan Allah pertama-tama memerintahkan Nabi Muhammad saw (dan umatnya) untuk belajar membaca dan menulis dengan kalam sebagai berikut: Artinya : “Bacalah, wahai Muhammad, dengan nama Tuhanmu yang menciptakan; Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah; Bacalah dan Tuhan-mu yang paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (tulis-baca); Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-Alaq, 1-5) Firman Allah yang lain menunjukkan bahwa manusia untuk belajar memperoleh ilmu pengetahuan, diberi kelengkapan organ-organ tubuh seperti telinga, mata dan hati guna menangkap pengertian-pengertian dari objek yang dipelajari. Artinya : “Dan Allah mengeluarkan kamu sekalian dari perut ibumu tidak mengetahui sesuatu apa pun, dan Allah menjadikan bagimu (alat) pendengaran, dan penglihatan dan hati……”(QS. Al-Nahlu, 78). 73 Tazkiya, Vol. X No.2, Juli-Desember 2021 http://jurnaltarbiyah.uinsu.ac.id/index.php/tazkiya e-mail: [email protected] P-ISSN: 2086-4191; E-ISSN:2807-3959 Di samping kemampuan untuk mengembangkan diri melalui proses belajar, manusia juga sebagai makhluk yang diwajibkan untuk mengajar atau mendidik orang lain karena memang ia telah diberi fitrah sebagai pendidik atau pengajar. Kemampuan mengajar tersebut diaktualisasikan sesuai dengan kondisi keterdidikan masing-masing orang. Di lingkungan hidup pedesaan, sesuai taraf pendidikannya, orang tua di dalam keluarga masing-masing melaksanakan pengajaran secara lisan dalam bentuk cerita, nasihat atau perintah dan larangan, pemberian contoh, perilaku, keteladanan (uswatum hasanah) dan sebagainya. Sabda-sabda Nabi saw di bawah ini menunjukkan agar manusia di samping belajar juga mengajar. Artinya : “Aku diutus (Allah) untuk menjadi pengajar”. (HR. Baihaqi) Artinya : “Dan barang siapa diajari suatu ilmu pengetahuan, lalu menyembunyikannya, maka Allah akan mengekang mulutnya dengan kekangan api neraka pada hari kiamat.” (H.R. Abu Daud, Tarmizi dan Ibnu Hibban dari Abi Huraerah). Artinya : “Jadikanlah kamu pengajar atau pelajar (orang yang belajar) atau pendengar akan pelajaran, atau pencinta pelajaran dan janganlah menjadi orang yang kelima maka rusaklah kamu.” Demikianlah pandangan Islam tentang manusia sebagai makhluk yang belajar dan makhluk yang mengajar. Dengan dorongan kemampuan masing-masing individu yang berbeda-beda, proses belajar mengajar dapat berlangsung sejak lahir sampai liang lahat. Untuk lebih menegaskan fungsi kekhalifahan manusia di alam ini dapat dilihat misalnya ayat-ayat di bawah ini : Artinya : Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat (QS. Al-An‟am, 6:165). Artinya : Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barang siapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. (QS. Fathir, 35:39). Artinya : Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (dari pada kaum Nuh itu). (QS. Al-A‟raf, 7:69). 74 Tazkiya, Vol. X No.2, Juli-Desember 2021 http://jurnaltarbiyah.uinsu.ac.id/index.php/tazkiya e-mail: [email protected] P-ISSN: 2086-4191; E-ISSN:2807-3959 Ayat-ayat tersebut di samping menjelaskan kedudukan manusia di alam raya ini sebagai khalifah dalam arti yang lain juga memberi isyarat tentang perlunya sikap moral atau etika yang harus ditegakkan dalam melaksanakan fungsi kekhalifahannya itu. Quraisy Shihab, mengatakan bahwa hubungan anatar manusia dengan alam atau hubungan manusia dengan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara penakluk dengan ditaklukkan, atau antara tuan dengan hamba, tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah SWT, karena kalaupun manusia mampu mengelola (menguasai), namun hal tersebut bukan akibat kekuatan yang dimilikinya, tetapi akibat Tuhan menundukkannya untuk manusia. Oleh karena itu manusia dalam visi kekhalifahannya, bukan saja sekedar menggantikan, namun dengan arti yang luas ia harus senantiasa mengikuti perintah yang digantikan (Allah). Untuk melaksanakan tugasnya sebagai khalifah, Allah telah memberikan kepada manusia seperangkat potensi (fitrah) berupa aqal, qalb, dan nafs. Namun demikian, aktualisasi fitrah itu tidaklah otomatis berkembang, melainkan tergantung pada manusia itu sendiri. Untuk itu, Allah menurunkan wahyu-Nya kepada para Nabi, agar menjadi pedoman bagi manusia dalam mengaktualisasikan fitrahnya secara utuh selaras dengan tujuan penciptaannya, sehingga manusia dapat tampil sebagai makhluk Allah yang tinggi martabatnya. Jika tidak, manusia akan tidak berbeda esensinya dengan hewan. Dengan kedudukan dan fungsi, serta kelebihan yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya melebihi makhluk lain, memiliki konsekwensi nilai moral religius. Manusia harus mempertanggungjawabkan semua aktifitas perbuatannya di hadapan khaliknya. Rasulullah SAW bersabda: Artinya : Dan Ibn Umar ra berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW, bersabda: “Tiaptiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawabannya terhadap apa yang dipimpinnya……..(HR. Mutafaq „Alaih). Selanjutnya Ahmad Hasan Firhat, membedakan kedudukan kekhalifahan manusia pada dua bentuk yaitu : Pertama, khalifah kauniyah: Dimensi ini mencakup wewenang manusia secara umum yang telah dianugerahkan Allah SWT untuk mengatur dan memanfaatkan alam semesta beserta isinya bagi kelangsungan kehidupan umat manusia di muka bumi. Pemberian wewenang Allah SWT kepada manusia dalam 75 Tazkiya, Vol. X No.2, Juli-Desember 2021 http://jurnaltarbiyah.uinsu.ac.id/index.php/tazkiya e-mail: [email protected] P-ISSN: 2086-4191; E-ISSN:2807-3959 konteks ini, meliputi pemaknaan yang bersifat umum, tanpa dibatasi oleh agama apa yang mereka yakini. Artinya, label kekhalifahan yang dimaksud diberikan kepada semua manusia sebagai penguasa alam semesta. Bila dimensi ini dijadikan standard dalam melihat predikat manusia sebagai khalifah Allah fi-al-ardh, maka akan berdampak negatif bagi kelangsungan kehidupan manusia dan alam semesta. Manusia dengan kekuatannya akan mempergunakan alam semesta sebagai konsekwensi kekhalifahannya tanpa kontrol dan melakukan penyimpangan-penyimpangan dari nilai Ilahiyah. Akibatnya, keberadaannya di muka bumi, bukan lagi sebagai pembawa kemakmuran, namun cenderung berbuat kerusakan dan merugikan makhluk Allah lainnya. Ketiadaan nilai kontrol inilah yang dikhawatirkan malaikat tatkala Allah mengutarakan keinginan-Nya menciptakan makhluk yang bernama manusia. Kedua, khalifah syar‟iyat. Dimensi ini wewenang Allah yang diberikan kepada manusia untuk memakmurkan alam semesta. Hanya saja, untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab ini, predikat khalifah, secara khusus ditujukan kepada orang-orang mukmin. Hal ini dimaksudkan, agar dengan keimanan yang dimilikinya, mampu menjadi pilar dan kontrol dalam mengatur mekanisme alam semesta, sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah yang telah digariskan Allah lewat ajaran-Nya. Dengan prinsip ini, manusia akan senantiasa berbuat kebaikan dan memanfaatkan alam semesta demi kemaslahatan umat manusia. (Quraish Shihab, 1992). Bila dimensi ini dikembangkan dalam kajian pendidikan, maka dalam proses mempersiapkan generasi penerus estafet kekhalifahan yang sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah, maka pendidikan yang ditawarkan harus mampu memberikan dan membentuk pribadi peserta didiknya dengan acuan nilai-nilai Ilahiyah. Dengan penanaman ini, akan menjadikan panduan baginya dalam melaksanakan amanat Allah di muka bumi. Kekosongan akan nilai-nilai ilahiyah, akan mengakibatkan manusia akan bebas kendali dan berbuat sekehendaknya. Sikap yang demikian akan berimplikasi timbulnya nilai egoistic yang bermuara kepada tumbuhnya sikap angkuh dan sombong pada diri manusia. Sikap ini akan berbias kepada tumbuhnya sikap memandang rendah orang lain [Syihab, 1992]. Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa untuk merealisasikan tugas dan kedudukan manusia tersebut dapat ditempuh manusia lewat pendidikan. Dengan media 76 Tazkiya, Vol. X No.2, Juli-Desember 2021 http://jurnaltarbiyah.uinsu.ac.id/index.php/tazkiya e-mail: [email protected] P-ISSN: 2086-4191; E-ISSN:2807-3959 ini, diharapkan manusia mampu mengembangkan potensi yang diberikan Allah SWT secara optimal, untuk merealisasikan kedudukan, tugas, dan fungsinya. Namun tidak semua pendidikan dapat mengemban tugas dan fungsi manusia tersebut. Oleh karena itu, diperlukan penataan ulang konsep pendidikan. yang ditawarkan sehingga lebih berperan bagi pengembang manusia yang berkualitas, tanpa menghilangkan nilai-nilai fitri yang dimilikinya. Dan nampaknya satu-satunya konsep pendidikan yang dapat dikembangkan adalah konsep pendidikan Islam. Dengan pendidikan Islam manusia sebagai khalifah tidak akan berbuat sesuatu yang mencerminkan kemungkaran kepada Allah, dan bahkan ia berusaha agar segala aktifitasnya sebagai khalifah harus dilaksanakan dalam rangka ubudiyah kepada Allah SWT. B. PENGERTIAN PENDIDIKAN Istilah pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberinya awalan “pe” dan akhiran “an”, mengandung arti “perbuatan” (hal, cara dan sebagainya). Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu “paedagogie”, yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkanke dalam bahasa Inggris dengan “education” yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini sering diterjemahkan dengan “tarbiyah” yang berarti pendidikan. Istilah lain ”Ta‟lim” yang berarti pengajaran dan “ta‟dib” yang berarti melatih. Dalam perkembangannya istilah pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Dalam perkembangan selanjutnya, pendidikan berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental. Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan peserta didik untuk memimpin perkembangan potensi jasmani dan rohaninya ke arah kesempurnaannya. (Sudirman, 1987:4) 77 Tazkiya, Vol. X No.2, Juli-Desember 2021 http://jurnaltarbiyah.uinsu.ac.id/index.php/tazkiya e-mail: [email protected] P-ISSN: 2086-4191; E-ISSN:2807-3959 Pada dasarnya pengertian pendidikan dapat dilihat dari segi-segi : 1) Segi individual dan 2) Segi sosial-kultural. a. Dari Segi individual, pendidikan dapat diartikan sebagai proses bimbingan dan pengarahan yang dilakukan oleh pendidik terhadap anak didik kearah pertumbuhan dan perkembangan kemampuan dasar atau pembawaan sampai pada titik optimalnya. Pertumbuhan dan perkembangan kemampuan tersebuat berlangsung secara bertahap yang berbeda-beda intensitas dan ekstensitasnya bagi masing-masing individu anak didik. Pertumbuhan dan perkembangan tersebut berjalan berdasarkan atas hukumhukum, yaitu hukum perkembangan kesatuan organis, yang menganggap bahwa perkembangan manusia itu berlangsung secara menyeluruh baik fungsi-fungsi psikologisnya maupun fungsi-fungsi fisiologisnya, yang satu sama lain saling berkaitan. Hukum perkembangan berdasarkan tempo (hukum Tempo) ialah yang menyatakan bahwa setiap anak/manusia berbeda-beda kecepatan perkembangannya baik yang berkaitan dengan fungsi-fungsi psikologisnya maupun fisiologisnya. Kadang-kadang salah satu fungsi psikologisnya berkembang lebih cepat dari pada fungsi fisiologis dalam periode waktu tertentu, akan tetapi kadang-kadang sebaliknya, fungsi fisiologisnya (jasmaniah) berkembang lebih cepat dari fungsi psikologisnya. Atau dapat juga terjadi salah satu fungsi psikologisnya lebih lambat dari pada fungsi psikologis yang lainnya, misalnya, fungsi berfikir anak lebih cepat berkembang dari fungsi perasaannya atau sebaliknya. Hukum yang ketiga ialah Konvergensi yaitu yang menyatakan bahwa perkembangan anak didik/manusia berlangsung secara interaktif (saling pengaruh-mempengaruhi) antara kemampuan dasar dengan kemampuan sekitar. Hukum kesatuan organis didasarkan atas teori psikologi Gestalk, sedang hukum Tempo dibenarkan oleh Prof. Dr. Mennicke berdasarkan atas timbulnya masa-masa peka (gevoelige periode) dalam perkembangan anak. Hukum Konvergensi didasarkan atas teori konvergensi yang dipelopori oleh William Stern. b. Jika pendidikan dilihat dari segi kebudayaan maka dapat didefenisikan sebagai proses kebudayaan manusia melalui nilai-nilai cultural masyarakat dengan transfer (pengalihan) atau transformasi (pengubahan) nilai-nilai kebudayaan tersebut untuk diwariskan kepada generasi yang lebih muda oleh generasi yang lebih tua. 78 Tazkiya, Vol. X No.2, Juli-Desember 2021 http://jurnaltarbiyah.uinsu.ac.id/index.php/tazkiya e-mail: [email protected] P-ISSN: 2086-4191; E-ISSN:2807-3959 Pengertian pendidikan menurut pandangan sosiokultural tersebut mengandug makna pelestarian nilai-nilai kultural masyarakat dari generasi ke generasi. c. Pendidikan menurut pandangan ahli filsafat pendidikan diartikan sesuai dengan aliran paham masing-masing ahli tersebut. Di sini hanya diberikan beberapa contoh pendapat dari filosuf pendidikan sebagai berikut : (a) John Dewey berpendapat bahwa pendidikan adalah proses yang tanpa akhir (Education is the process without and). Dan pendidikan merupakan proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut daya pikir (daya intelektual) maupun daya emosional (perasaan) yang diarahkan kepada tabiat manusia dan kepada sesamanya. Karena Dewey berpaham behaviorisme, di mana pengaruh pendidikan dipandang dapat membentuk manusia menjadi apa saja yang diinginkan oleh pendidik maka istilah pembentukan merupakan cirri khas yang menunjukkan kekuasaan pendidik terhadap anak didik. (b) Van Cleve Morris, yang berpaham kultural-empirisme berpendapat bahwa pendidikan adalah studi filosofis yang pada dasarnya bukan hanya alat untuk mengalihkan cara hidup secara menyeluruh kepada setiap generasi, melainkan juga merupakan agent (lembaga) yang bertugas melayani hati nurani masyarakat dalam perjuangannya mencapai hari depan yang lebih baik. Studi filosofis di sini dimaksudkan, bahwa pendidikan melakukan pemikiran yang sistematis dan logis secara mendasar tentang proses alih nilai kultural suatu masyarakat kepada generasi penerusnya di satu sisi, sedang di sisi lain, pendidikan menjadi lembaga yang bertugas mengembangkan cita-cita masyarakat untuk meraih kehidupan masa depan yang lebih baik. (c) Pendapat ahli filsafat idealisme, Herman H. Horne menyatakan bahwa pendidikan adalah proses penyesuaian diri manusia secara timbal balik dengan alam sekitar, dengan sesama manusia dan dengan alam jagad raya. Jadi menurut pengertiannya, mendidik adalah suatu kegiatan secara bertahap untuk menjadikan anak didik mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar, dan dengan masyarakat serta dengan alam semesta yang maha luas melalui proses interaksional (saling pengaruh-mempengaruhi). (d) Dr.Omar Mohammad al Toumy al Syaebani, mengartikan pendidikan sebagai usaha mengubah tingkah laku individual (orang per orang) dalam kehidupan 79 Tazkiya, Vol. X No.2, Juli-Desember 2021 http://jurnaltarbiyah.uinsu.ac.id/index.php/tazkiya e-mail: [email protected] P-ISSN: 2086-4191; E-ISSN:2807-3959 pribadinya, dalam kehidupan sosial (kemasyarakatan)-nya dan dalam kehidupan di lingkungan alam sekitar melalui suatu proses. Jadi menurut pendapat ini, pendidikan adalah proses mengubah perilaku anak didik agar menjadi manusia dewasa yang mampu hidup mandiri dan mampu hidup sebagai anggota masyarakatnya serta mampu hidup bahagia dalam lingkungan alam sekitar. (e) Dr. Mohammad Fadhil al-Djamaly berpendapat bahwa pendidikan adalah proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik yang mengangkat derajat manusia sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajarnya (pengaruh dari luar). Jadi mendidik adalah mengarahkan perkembangan kemampuan dasar dan pengaruh pendidikan ke arah pembinaan kehidupan manusia yang lebih baik sesuai dengan harkat dan martabat manusiawi-nya. Pendapat ini jelas menunjukkan bahwa Dr. Fadhil al-Djamaly terpengaruh paham konvergensi. Paham konvergensi dalam pendidikan banyak dianut oleh para ahli pendidikan sampai saat ini, karena paham ini menghargai hakikat dam martabat manusia dan juga pengaruh pendidikan yang bersifat manusiawi (artinya menghargai pertumbuhan dan perkembangan menurut hukum-hukumnya yang khas). (f) Dr. M.J. Langeveld berpendapat bahwa pekerjaan mendidik adalah membimbing anak didik yang belum dewasa kea rah kedewasaan yang bercirikan kemandirian (zelf-standig). Menurutnya, pendidikan dimulai dengan pemeliharaan sebagai persiapan kea rah pendidikan yang sesungguhnya. Pendidikan dalam bentuk pemeliharaan adalah berbentuk dressur (membiasakan seperti terhadap binatang) yang belum didasarkan atas kesadaran murni. Sedangkan pendidik dalam pengertian sesungguhnya menuntut kepada anak didik untuk memahami apa yang dikehendaki oleh pendidik, sebagai pemegang kewibawaan serta ia harus dapat menyadari bahwa apa yang dididiknya adalah amat diperlukan bagai kehidupan dirinya. Dengan istilah lain dapat dikatakan bahwa ciri pokok dari pendidikan yang sesungguhnya adalah adanya kesiapan interaksi-edukatif antara pendidik dengan si terdidik. 80 Tazkiya, Vol. X No.2, Juli-Desember 2021 http://jurnaltarbiyah.uinsu.ac.id/index.php/tazkiya e-mail: [email protected] P-ISSN: 2086-4191; E-ISSN:2807-3959 Pendidikan yang sesungguhnya menurut Langeveld, baru dimulai pada usia 3 4 tahun, yang dikenal sebagai periode krisis atau pembangkang yang justru periode inilah terbuka kepekaan (sensitivitas) terhadap pendidikan ke arah kepatuhan dan ketaatan anak dalam arti sesungguhnya. Usia 3 tahun inilah menurut Langeld, disebut sebagai batas bawah pekerjaan mendidik. Sedangkan batas akhir atau batas atas dari pekerjaan mendidik, adalah kedewasaan anak, karena itu tujuan pendidikan adalah mendewasakan anak didik di mana ia telah mampu hidup di atas kemampuan sendiri, tidak lagi bergantung atas orang dewasa atau orang lain. Sebenarnya untuk menetapkan batas akhir dari pendidikan sebagai proses amat sulit, karena kematangan jiwa manusia itu tak dapat ditetapkan secara pasti dilihat dari segi kehidupan psikologis individual anak didik. Pengaruh lingkungan sekitar juga ikut mencampuri proses pendewasan seorang anak didik, sehingga dapat mempercepat atau sebaliknya memperlambat proses bimbingan ke arah batas-batas kematangan psikologisnya. Oleh karena itu sebaiknya kita bersikap hati-hati dalam proses bimbingan kependidikan terhadap anak didik dengan cara mengamati secara teliti tentang perbedaan-perbedaan bakat, watak dan minat si terdidik untuk dilakukan pendidikan yang mengacu kepada individualisasi si terdidik. Kita harus lebih menghargai segala apa yang dimiliki oleh si terdidik untuk dibimbing, bukannya selaku pendidik bersikap sebagai penguasa yang lebih mementingkan kehendaknya terhadap si terdidik. (Teacher-centered). 1) Pengertian pengajaran oleh para ahli pendidikan (terutama di Eropa) dibedakan dari pengertian pendidikan dilihat dari sasaran yang hendak diproses. Sasaran proses pengajaran hanya dibatasi pada pengembangan intelektualitasnya anak didik dengan memberikan ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya sehingga anak didik dapat menguasai atau mengembangkannya lebih lanjut. Jadi pengajaran adalah proses pemberian ilmu pengetahuan kepada anak didik yang berawal dari pemberian pengertian, pemahaman, dan penghayatan sampai pada pengalaman kecerdasan akal-pikirannya, atau intelektualitasnya. 2) Pendidikan mengandung pengertian yang lebih luas dari pengajaran, karena sasaran pendidikan tidak hanya mencakup pengembangan intelektualitas saja, akan tetapi lebih ditekankan pada proses pembinaan kepribadian anak didik secara menyeluruh. 81 Tazkiya, Vol. X No.2, Juli-Desember 2021 http://jurnaltarbiyah.uinsu.ac.id/index.php/tazkiya e-mail: [email protected] P-ISSN: 2086-4191; E-ISSN:2807-3959 Jadi tujuannya adalah mengubah perilaku dan sikap anak didik dari yang bersifat negatif ke positif, dari yang destruktif ke yang konstruktif, dari berakhlak buruk ke akhlak al-karimah, dan sebagainya. Menurut Charles E. Silberman, misalnya, pendidik tidak sama pengertiannya dengan pengajaran. Pengajaran hanya menitikberatkan pada usaha mengembangkan intelektualitas manusia. Pendidikan bertugas mengembangkan seluruh aspek kepribadian setiap manusia. Dengan lain perkataan, pengajaran hanya terbatas pada usaha mengembangkan seluruh aspek kemampuan manusia yang oleh Bloom, terdiri dari kemampuan kognitif, efektif dan psikomotor, yang dijiwai dengan nilai-nilai cultural atau agama yang diagungkan. Jadi pengajaran merupakan bagian dari kegiatan pendidikan. Karena sifat dan sasaran pendidikan yaitu manusia, maka mengandung banyak aspek dari sifatnya sangat kompleks, maka tidak sebuah batasanpun yang cukup memadai untuk menjelaskan arti pendidikan secara lengkap. Batasan tentang pendidikan yang dibuat oleh para ahli beraneka ragam dan kandungannya berbeda yang satu dari yang lain. Perbedaan tersebut mungkin karena orientasinya, konsep dasar yang digunakan, aspek yang menjadi tekanan, atau karena falsafah yang melandasinya. Disini akan dikemukakan beberapa batasan pendidikan yang berbeda berdasarkan fungsinya sebagai berikut : 1. Pendidikan sebagai proses trasformasi budaya diartikan, pendidikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. 2. Pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi diartikan, pendidikan sebagai suatu kegiatan yang sistematis terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. 3. Pendidikan sebagai proses penyiapan warga Negara diartikan, pendidikan sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga negara yang baik. 4. Pendidikan sebagai penyiapan tenaga kerja diartikan, pendidikan sebagai kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal dasar untuk bekerja. 5. Defenisi pendidikan menurut GBHN. GBHN 1988, memberi batasan tentang pendidikan Nasional sebagai berikut : Pendidikan Nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila serta Undang-undang Dasar 1945 diarahkan untuk 82 Tazkiya, Vol. X No.2, Juli-Desember 2021 http://jurnaltarbiyah.uinsu.ac.id/index.php/tazkiya e-mail: [email protected] P-ISSN: 2086-4191; E-ISSN:2807-3959 meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas dan mandiri sehingga mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan Nasional dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. (Umar Tirtarahardja, 1995:33-37). Defenisi tersebut menggambarkan terbentuknya manusia yang utuh sebagai tujuan pendidikan. Dengan memperhatikan kesatuan aspek jasmani dan rohani, aspek individualitas, aspek social, aspek kognitif, efektif, dan psikomotor, serta segi hubungan manusia dengan dirinya, dengan lingkungan sosial dan alamnya, dan dengan Tuhannya. Pendidikan dalam arti yang luas, didalamnya mengandung pengertian pendidikan, pengajaran dan pembentukan keterampilan. Dari konsep tersebut dapat dikemukakan bahwa mendidik tidak lain merupakan suatu usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh penanggung jawab untuk membimbing anak didik agar memiliki watak dan kepribadian yang baik. Apabila konsep tersebut dijabarkan maka tiga perkataan, yaitu mendidik, mengajar dan melatih, pada hakekatnya merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan, karena masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri dan mengarah kepada pembentukan bagian kepribadian tertentu dari anak didik. Jelasnya adalah bahwa mendidik, lebih tertuju kepada pengembangan segi-segi kepribadian yang lain sebagai manusia yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Adapun melatih lebih dicurahkan untuk mengembangkan dalam rangka mempraktekkan atau mengamalkan hasil pendidikan dan pengajaran yang diterima. Dari pola berpikir itu jelaslah bahwa tidak tepat apabila seluruh usaha pendidikan hanya dititik beratkan pada pendidikan saja, pengajaran saja, atau pada pemberian keterampilan saja. Apabila hal itu dikerjakan, anak didik tidak akan memiliki watak dan kepribadian seperti yang diharapkan. Apabila dihubungkan dengan kekuatan manusia yang hakiki yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa, hal-hal yang diuraikan itu sungguh sangat sesuai, artinya mendidik merupakan usaha yang lebih ditujukan kepada pengembangan budi perkerti, hati nurani, semangat, kecintaan, rasa kesusilaan, ketaqwaan dan lain-lain yang lebih bermaksud untuk mengangkat martabat kemanusiaan siterdidik. Kesimpulannya ialah sasaran kegiatan mendidik adalah hati anak didik, mengajar merupakan kegiatan yang lebih ditujukan untuk mengembangkan dan mempertajam 83 Tazkiya, Vol. X No.2, Juli-Desember 2021 http://jurnaltarbiyah.uinsu.ac.id/index.php/tazkiya e-mail: [email protected] P-ISSN: 2086-4191; E-ISSN:2807-3959 kemampuan untuk manganalisa suatu masalah, mencari hubungan semua fakta yang dihadapi, mencari dan mengumpulkan alasan serta pertimbangan, untuk akhirnya menarik kesimpulan secara logis, yang terakhir adalah melatih, tidak lain merupakam kegiatan untuk mengembangkan keterampilan tangan, kaki dan alat-alat perlengkapan jasmani dan lain dari anak didik. Dengan demikian maka sasaran dari kegiatan melatih adalah keterampilan jasmani (skil) anak didik. Demikianlah, sebagaimana diri anak didik itu merupakan kesatuan yang harmonis dari semua kegiatan hakiki dan unsur-unsurnya, maka usaha dan kegiatan yang tiga macam dari pendidikan pada umumnya itu haruslah dilakukan secara bersama-sama, simultan dan padu serta berkelanjutan, serasi dengan perkembangan anak didik beserta lingkungan hidupnya. Tidak serasinya pelaksanaan usaha pendidikan akan menjatuhkan anak didik dari tujuan yang diharapkan. DAFTAR BACAAN Abd. Allah Nashih Ulwan, Tarbiyahal-Aulad Fial Islam, Kairo: Dar al-Salam Li alThibaah wa al-Tauzi 1981. Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, Bandung: Asy-Syifa, 1981. Abdurrahman An-Nahlawi, Lingkungan Pendidikan Islam, Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Bairut, Libanon; Dar al-Fikr al-Ma‟asyir, 1983, ke 2. Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, Jakarta; Rineka Cipta, 1990. Abu Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Aditya Media, 1992. Abu Ahmadi, Drs., 1975, Didaktik Metodik, Semarang, CV. Toha Putra. Abu Ahmadi, Drs., 1976, Ilmu Pendidikan I - II, Semarang, CV. Toha Putra. Ahmad Tafsir, Metodogi Pengajaran Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, cet. 3 1996. Azyumardi Azra, Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains: Sebuah Pengantar; dalam Michael Stanton, Pendidikan Tinggi Dalam Islam. Baihaqi A.K. dalam Ramayulis, Pendidikan Islam Dalam Rumah Tangga, Jakarta : Kalam Mulia, 1995. 84 Tazkiya, Vol. X No.2, Juli-Desember 2021 http://jurnaltarbiyah.uinsu.ac.id/index.php/tazkiya e-mail: [email protected] P-ISSN: 2086-4191; E-ISSN:2807-3959 Beeby, C.E, dalam Yusuf Enoch, Dasar-dasar Perencanaan Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara, 1992. Brubacher, John S, 1970, Modern Phylosophy of Education, New Delhi, Mc. Hraw Hill. Agoses Soejono, 1980, Pendahuluan Ilmu Pendidikan Umum, Bandung, CV. Ilmu. Balai Pendidikan Guru, 1960, Ilmu Pendidikan, Bandung Sumber Jaya. Crijn, Reksosiswojo, 1984, Pengantar di dalam Praktek Pengajaran dan Pendidikan, Jakarta, Prajnaparamita. Dalmanto, 1959, Pengantar Teori Mendidik, Bandung, Pendidikan Massa. Departemen Agama RI Dirjen Bagais, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Kegiatan Pembelajaran Fiqh, Jakarta : 2003. Driyarkara, 1980, Driyarkara Tentang Pendidikan, Yogyakarta, Yayasan Kanisius. Dep. P & K, 1979, Pendidikan Indonesia Dari Zaman ke Zaman, Jakarta, BP3 k. hal. 89. Ekosusilo M., 1985, Dasar-Dasar Pendidikan, Semarang, “Effhar Publishing”. Ki Hajar Dewantara, 1962, Pendidikan, Yogyakarta, Majlis Luhur Persatuan Taman Siswa. M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1996. M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Sekolah dengan Rumah Tangga, Jakarta: Bulan Bintang, 1976. M. Athiyah al-Abrasyi, Al-Tarbiyah Al-Islamiyah wa Falsafatuha, Qahirah: Isa al-Babi al Halabi, 1969. Muhammad Athiyah al-Abrasy, Ruh al-Tarbiyah, waal-Ta‟lim, Saudi Arabiya : Dar alahya, tt. M, Topan, Demokrasi Pancasila, Analisa Konseptional Aplikatif, Jakarta : 1989. 85