Academia.eduAcademia.edu

Gong dalam Budaya Masyarakat di Indonesia

2023, Journal of Music Science, Technology, and Industry

This paper aims to briefly discuss the existence of the gong as a traditional musical instrument which has taken root in the lives of most people in Indonesia, which began with the development of bronze culture. The vast power of the Majapahit kingdom and inter-island trade, known as the silk route trade, greatly influenced the spread of Gong in the archipelago. Research Method: This phenomenon is discussed through the perspective of art studies as a form of traditional society's need for gong which is considered to have regius value as a means of ceremonies and goods for traditional needs so that gong spreads very quickly to remote areas of the interior. It is very possible that Gong is traded by bartering or exchanging forest and mining products such as: spices, agarwood, rattan, bird's nests, gold, diamonds and so on. Results and discussion: The existence of three types of gong forms in the archipelago, both those with high sides, low sides and non-pencu gongs, as well as forms of large and small ensembles show a very important identity for each community or ethnic group. Melodic gongs arranged horizontally show differences from gongs arranged in a semicircle such as those in Burma, Vietnam, Cambodia and Thailand. The different forms of gongs and ensembles will of course color the diversity of forms of Indonesian culture, especially in the field of traditional music. Implication: This article is an initial investigation of the existence of gongs in the archipelago with the hope that they can become material for appreciation and education for the younger generation in Indonesia. The gap between traditional culture, especially the Gong music ensemble, which was once a part of people's lives in the past, seems to urgently need attention, both by the government, art colleges, artists, cultural observers and the younger generation of music owners.

Journal of Music Science, Technology, and Industry Volume 6, Number 1, 2023 e-ISSN. 2622-8211 https://jurnal.isi-dps.ac.id/index.php/jomsti/ Gong dalam Budaya Masyarakat di Indonesia Wahyu Sri Wiyati1, Saptono2, Anis Raharjo3, 1,2,3, ProgramStudi Musik, InstitutSeni Indonesia Denpasar Email: [email protected] Article Info ____________ Article History: Received: September 2022 Accepted: Januari 2023 Published: April 2023 ______________ Keywords: gong, culture, indonesian culture ABSTRACT __________________________________________________ Purpose: This paper aims to briefly discuss the existence of the gong as a traditional musical instrument which has taken root in the lives of most people in Indonesia, which began with the development of bronze culture. The vast power of the Majapahit kingdom and inter-island trade, known as the silk route trade, greatly influenced the spread of Gong in the archipelago. Research Method: This phenomenon is discussed through the perspective of art studies as a form of traditional society's need for gong which is considered to have regius value as a means of ceremonies and goods for traditional needs so that gong spreads very quickly to remote areas of the interior. It is very possible that Gong is traded by bartering or exchanging forest and mining products such as: spices, agarwood, rattan, bird's nests, gold, diamonds and so on. Results and discussion: The existence of three types of gong forms in the archipelago, both those with high sides, low sides and non-pencu gongs, as well as forms of large and small ensembles show a very important identity for each community or ethnic group. Melodic gongs arranged horizontally show differences from gongs arranged in a semicircle such as those in Burma, Vietnam, Cambodia and Thailand. The different forms of gongs and ensembles will of course color the diversity of forms of Indonesian culture, especially in the field of traditional music. Implication: This article is an initial investigation of the existence of gongs in the archipelago with the hope that they can become material for appreciation and education for the younger generation in Indonesia. The gap between traditional culture, especially the Gong music ensemble, which was once a part of people's lives in the past, seems to urgently need attention, both by the government, art colleges, artists, cultural observers and the younger generation of music owners. © 2023 Institut Seni Indonesia Denpasar 19 Journal of Music Science, Technology, and Industry [JoMSTI] Volume 6, Number 1, 2023. E-ISSN: 2622-8211 PENDAHULUAN Gong merupakan instrumen gamelan yang paling besar, dan besarnya ditentukan berdasarkan diameter yang dalam kalangan pembuat gamelan di Surakarta disebutnya bunderan (Asep Nata, 1990: 98-114). Untuk melacak sejarah persebaran gong tentunya harus memerlukan penelitian secara kusus dan waktu yang tidak sedikit. Namun demikian beberapa penelitian para ahli tentang sejarah kebudayaan perunggu kiranya sangat membantu penelusuran gong di Indonesia. Pada abad III SM telah dikenal sebagai era masuknya kebudayaan perunggu ke wilayah Indonesia yang menyebar karena gelombang migrasi besar-besaran dari daratan Asia yang diperkenalkan pada beberapa suku bangsa neolitik menunjukkan bahwa bendabenda tersebut berasal dari pereode kebudayaan Dongson (Mantle Hood, 1977: 167173). Ditemukanya moko atau nekara (bronze drum di kepulauan Indonesia bagian Timur menunjukan telah terjadi persebaran kebudayaan perunggu yang dibawa oleh para imigran dari daratan China Selatan dan Asia Tengah sebagai peninggalan kebudayaan Donson.Teknik pengecoran perunggu tentu saja telah lama diperkenalkan oleh masyarakat Cina yang ditunjukan pada beberapa jenis alat musik genta (bronze bell) yang dikenal dengan nama bian zhong (Cina) atau bonshou (Jepang). Namun demikian kedua jenis alat musik perunggu yang berbentuk genta dan nekara tersebut kurang berkembang pesat di wilayah kepulauan Indonesia. Alat musik jenis bronze gong nampaknya lebih menarik minat masyarakat di kepulauan Indonesia pada waktu itu, karena gong bukan semata-mata berfungsi sebagai alat musik tetapi dianggap sebagai salah satu benda yang memiliki nilai religius yang tidak terpisahkan dengan kegiatan-kegiatan ritual mereka, seperti misalnya penghormatan terhadap roh para leluhur. Kepercayaan masyarakat terhadap roh para leluhur dan penggunaan gong sebagai media komunikasi kemungkinan telah diwarisi dari paham shamanisme yang berkembang di Siberia dan Asia Tengah (Eliade,1974: 4). Peninggalan shamanisme hingga sekarang masih dapat dijumpai di beberapa kelompok masyarakat tradisional seperti: di Kalimantan, Jawa, Sunda, Bali, NTT, Sulawesi dan sebagainya. Gong perunggu yang dibuat menggunakan teknik tempa (hot-forging) yang berkembang di pulau Jawa, Bali dan sekitarnya hingga sekarang tentunya tidak lepas dari pengaruh teknologi peleburan perunggu yang sangat di kenal di wilayah Burma kuna. Hubungan dua budaya musik juga ditunjukan dengan intrumen musik perunggu 20 Journal of Music Science, Technology, and Industry [JoMSTI] Volume 6, Number 1, 2023. E-ISSN: 2622-8211 di Burma seperti misalnya: moung (gong), kyi waing (gong chime) disusun melingkar. Sampai sekarang bahwa gong merupakan alat musik yang sangat familier di dalam kehidupan masyarakat, artinya bahwa hampir seluruh masyarakat kita telah mengenal apa yang dinamakan gong. Bahkan istilah gong juga dipakai oleh masyarakat diluar Indonesia kususnya sebagian negara-negara di Asia Tenggara. Jose Maceda menjelaskan bahwa tipe agung yang memiliki pencu tinggi dan ber sisi lebar dimungkinkan datang atau dibuat dari Brunei, Singapura, Palawan, China, Java dan Kuching (Maceda, 198: 51). Namun demikian penulis sepakat dengan adanya pengaruh kerajaan Majapahit pada abad XIV (1365 M) yang telah menguasai kepulauan Nusantara dan beberapa wilayah Asia Tenggara, semakin mewarnai persebaran gong kususnya yang bersisi rendah sehingga bentuk gong pipih berkembang lebih cepat hampir di seluruh kepulauan di Indonesia bagian Barat dan Tengah. Sedangkan gong bersisi tinggi dan flat gong (gong tanpa pencu) yang ditemukan di wilayah Kalimantan kemungkinan didatangkan dari Filipina. Hal tersebut dapat dilihat pada bentuk-bentuk gong datar berukuran sedang (30 -40 cm) yang dikenal dengan nama palog dan topaya (Filipina) yang masih digunakan sampai sekarang. Jenis gong bersisi tinggi atau bentuk bondan kejawan (Jawa) rupanya sangat jarang diketemukan di daerah-daerah yang memiliki ansambel besar seperti Sunda, Bali, Lombok dan lain sebagainya. Kemiripan bentuk gong bersisi tinggi atau lebar seperti yang disebutkan Maceda, hanya dapat kita temukan di daerah- daerah pedalaman Kalimantan. Mereka memberikan istilah tawak atau garantung, sedangkan masyarakat Filipina Selatan dan Malaysia mereka menamakan dengan istilah agung. Gambar 1: nekara/moko (bronze drum) dan gentha (bronze bell) (Sumber: Wiyati, 2023) 21 Journal of Music Science, Technology, and Industry [JoMSTI] Volume 6, Number 1, 2023. E-ISSN: 2622-8211 Ramainya perdagangan antarpulau yang dikenal dengan istilah jalur perdagangan sutra pada waktu itu, tentunya telah memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap perkembangan gong di Nusantara. Karena kebutuhan masyarakat yang begitu besar pada benda-benda yang di anggap memiliki nilai religius sebagai sarana upacara adat, seperti tempayan atau guci dan gong sehingga benda-benda tersebut menyebar sangat cepat hingga di wilayah pelosok pedalaman seperti misalnya di Kalimantan, Sumatra, Sulawesi dan beberapa daerah lainnya. Sangat dimungkinkan pada waktu itu bahwa gong didapatkan dengan cara barter, yaitu menukar dengan hasil hutan seperti: rempah-rempah, sarang burung, emas, rotan dan lain sebagainya. Jika melihat bentuk gong- gong kuna berbagai ukuran yang ada di Nusantara dapat dibedakan menjadi tiga: 1). Bentuk gong bersisi pendek dapat dilihat di Jawa, Sunda, Bali, Lombok, Madura, Sulawesi Tengah, Maluku Utara dan di Sumatra Utara 2). Bentuk gong bersisi tinggi dapat kita temukan di daerah-daerah pedalaman Kalimantan 3). Bentuk gong polos dan atau bermotif naga yang memiliki sisi tipis dan tidak menggunakan pencu masih bisa ditemukan di Kalimantan (gong kandong) dan di Jawa (gong beri). METODE PENELITIAN Penelitian ini pada dasarnya penggabungan penelitian kepustakaan (library research) sekaligus didukung data wawancara dan observasi. Dengan demikian data penelitian ini salah satunya diperoleh melalui survey kepustakaan untuk mendapatkan bahanbahan yang berkaitan langsung dengan topik penelitian keberadaan gong. Sebelum survey kepustakaan, terlebih dahulu dilakukan pemilahan, identifikasi dan pengklasifikasian tentang data yang dibutuhkan. Hasil pengklasifikasian data sangat membantu dan memudahkan dalam proses pencarian dan pengumpulan data, Data yang berhasil dikumpulkan, diorganisasikan menurut pokok dan sub masalahnya. Untuk menghasilkan data yang teruji, setiap sumber (dari manapun datangnya) diseleksi dengan jalan membandingkan satu sama lain sehingga terjadi fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan kebenaranya. Penyeleksian dan hasil analisis data meruapakan data-data yang digunakan dalam penulisan ini. 22 Journal of Music Science, Technology, and Industry [JoMSTI] Volume 6, Number 1, 2023. E-ISSN: 2622-8211 HASIL DAN PEMBAHASAN Sebelum membicarakan fungsi gong dalam masyarakat, kiranya perlu disampaikan pengertian gong dalam arti yang lebih luas, bukan gong menurut pengertian etnis tertentu. Gong dapat diartikan sebagai alat musik yang terbuat dari perunggu atau logam yang lainnya dan berbentuk bundar pipih yang dimainkan dengan cara dipukul menggunakan alat pemukul atau tabuh (Jawa) pada bagian pencu atau tengahnya. Arti yang lebih luas mengenai gong telah disepakati oleh para musikolog Barat dengan memberikan istilah gong –chime untuk menyebut pada alat musik jenis gong yang berukuran kecil yang berfungsi sebagai melodi seperti misalnya bonang Jawa, talempong Sumatra, kromong Betawi dan lain sebagainya. Di samping sebagai alat musik bahwa gong biasa digunakan sebagai sarana upacara, mas kawin, mahar, dan persyaratan hukum adat yang mana peristiwa tersebut masih dilakukan oleh sebagaian masyarakat tradisional di Indonesia sampai saat sekarang. Sebagai bukti dapat ditunjukan penggunaan jenis gong berukuran kecil yang dinamakan canang atau bondi oleh masyarakat Kalimantan Barat biasanya digunakan sebagai alat komunikasi untuk memberikan pengumuman atau tandatanda tertentu. Jenis gong kecil yang dinamakan bende (Jawa) pernah digunakan dalam lingkungan tradisi kraton Yogyakarta dan Surakarta sebagai tanda akan disampaikan pengumumuman atau berita dari raja kepada para prajurit. Jenis gong tanpa pencu dan berukuran kecil juga pernah digunakan oleh suku Apu Kayan di Kalimantan Timur untuk mendatangkan seekor elang pada saat diberikan persembahan. Beberapa suku Dayak di pedalaman Kalimantan, misalnya masyarakat Dayak Siang di Kalimantan Tengah, hingga sekarang mereka masih menggunakan gong dan barang-barang lain seperti tempayan yang disebut tesule urong (bahasa Siang) mangkok dari bahan kuningan (tesule tusu), dan senjata mandau sebagai syarat utama untuk maskawin dan denda adat. Gong yang digunakan sebagai sarana upacara adat tersebut biasanya jenis gong yang memiliki pencu dan berukuran garis tengah lebih besar, yaitu sekitar 40 cm – 50 cm. Biasanya mereka menggunakan ukuran besar lingkaran gong dengan hitungan jengkal untuk menentukan nilai masingmasing gong. Fungsi gong yang memiliki peranan penting juga terjadi pada masyarakat di kepulauan Sulawesi, dan kesenian Caci (tarian perang cambuk) di Manggarai NTT, yang menggunakan 2 buah gong dan satu ketuk (Jawa) sebagai pengiring utamanya. Sebagian masyarakat Minahasa masih mempercayaai kepada 23 Journal of Music Science, Technology, and Industry [JoMSTI] Volume 6, Number 1, 2023. E-ISSN: 2622-8211 dewa gong yang mereka sebut kolantung yang berasal dari kata antung yang berarti gong besar. Masyarakat Maluku Utara menggunakan satu buah gong dengan lima buah tifa untuk mengiringi tarian ritual cakalele atau tarian perang. Mereka menggunakan gong untuk mengiringi tarian ritual tertentu dengan istilah dengkang yang artinya dalam bahasa daerah adalah memukul. Fungsi gong sebagai sebuah benda ritual yang memiliki kekuatan magis masih terlihat dalam tradisi Jawa dan Bali hingga sekarang. Biasanya seorang empu (pembuat gong) atau pemilik gong memberikan gelar kyai pada nama depan yang artinya sebuah nama kehormatan. Gelar tersebut biasanya juga diberikan pada seseorang yang dianggap mumpuni dalam ilmu batin. Sebagai contoh misalnya gong Kyai Guntur, gong Kyai Slamet, gong Kyia Kere dan lain sebagainya. Nilai religiusitas gong sebenarnya telah diawali dari proses pembuatan yang dilakukan oleh seorang empu (ahli membuat gamelan). Para empu biasanya melakukan upacara ritual dengan berbagai macam sesaji yang disertai puasa saat membuat gong, dan hal tersebut masih sering dilakukan oleh sebagian empu pembuat gamelan hingga sekarang. Organologi Pembuatan gong merupakan pekerjaan yang amat berat, baik dari segi fisik, biaya, resiku dan tanggung jawab untuk menghasilkan bentuk dan suara yang baik. Untuk membuat gong diperlukan waktu yang lumayan lama di dalam penempaannya, dan tergantung juga dari segi besar kecil bentuk dan ukurannya hingga yang besar beratnya mencapai bobot 50 kg. Tentu saja pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh seorang empu tanpa bantuan para pekerja yang telah diatur sesuai keahlian masingmasing. Seperti kalau pembuatan gong di Surakarta untuk pekerjaan penempaan gong yang berukuran 70 cm jika dikerjakan oleh 9 orang akan membutuhkan waktu satu setengah hari (Asep, 1990:105). Ada beberapa hal penting yang perlu disampaikan disini, kususnya tentang pembuatan gong dan material dasar yang selama ini tidak pernah atau jarang diketahui oleh masyarakat umum atau bahkan oleh masyarakat pemilik gong itu sendiri. Bahan dasar untuk membuat gong secara umum dapat digolongkan menjadi tiga jenis yang sangat berkiatan dengan kualitas dan tentu saja akan pengaruh pada nilai atau harga gong, yaitu : 1). Bahan perunggu (bronze) dibuat menggunakan campuran bahan tembaga dan timah putih, 2). Bahan kuningan (brass), dan 3). Bahan 24 Journal of Music Science, Technology, and Industry [JoMSTI] Volume 6, Number 1, 2023. E-ISSN: 2622-8211 plat besi. Jenis bahan plat besi dibedakan menjadi tiga yaitu: a). full besi, b). besi dengan pencu kuningan dan c). setengah besi- setengah kuningan yang biasa disebut atom. Jenis bahan kuningan dibedakan menjadi dua yaitu: a). kuningan sambung (cold forging) dan b). kuningan jujudan (hot forging) yang artinya dibuat dengan cara dibakar seperti pembuatan gong perunggu. Berikut ini akan diberikan gambaran kisaran ukuran diameter gong yang masih sering kita jumpai pada saat sekarang seperti sebagai berikut: gong besar atau gong ageng (ukuran diameter 85 cm – 125 cm), gong sedang (60 cm – 80 cm), gong kecil (35 cm – 58 cm), gong paling kecil (18 cm – 25 cm) dan masing-masing daerah memiliki bentuk dan jumlah gong yang berbeda. No Daerah 1 Jawa 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Banyumas Nama gong gong ageng, gong siyem/ suwukan, kempul, kenong, kethuk, kempyang, bendhe, penonthong, engkuk, Gong sebul Keterangan ukuran besar, sedang, kecil paling kecil dan Satu ruas bambu besar yang didalamnya menggunakan satu ruas bambu kecil Sunda gong, jengglong sedang dan kecil Betawi Gong besar Batak ogung kecil Kalimantan garantung / tawak, bondi kecil dan paling kecil Lampung talo, balak besar dan sedang Makasar Dengkang sedang Bali gong lanang, gong wadon, besar, sedang, kecil dan gong bheri, kempur, paling kecil kemong, bende, tawatawa, kajar, kempli, Maluku Utara Gong sedang NTT katalla bakul, kingkang, besar, sedang, kecil dan dung-dung, posa paling kecil Table 1: Gong berdasarkan ukuran dan asal daerahnya Bentuk Ensambel Gong atau ensambel gamelan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ensambel besar yang meliputi bentuk ensambel gamelan yang didukung oleh delapan sampai dengan duapuluh orang penabuh, bahkan kadang lebih. sebagai contoh: gamelan Sunda, Cirbon, Jawa, Banyuwangi, Madura, Bali dan Lombok. Ensambel kecil biasanya didukung oleh dua sampai lima orang penabuh saja, seperti misalnya : gambang kromong (Betawi), kelintangan (Kalimantan Timur), begamal (Kalimantan Barat), talo 25 Journal of Music Science, Technology, and Industry [JoMSTI] Volume 6, Number 1, 2023. E-ISSN: 2622-8211 balak (Lampung), kolintang (Sulawesi Tengah), maoling (Minahasa), cakalele (Maluku), talempong (Sumatra Barat). Pada ensambel besar yang pada saat sekarang biasa disebut gamelan telah dimulai paling tidak sejak jaman kerajaan Majapahit. Istilah gamelan yang mulai muncul sekitar abad XVI Masehi awalnya digunakan istilah agamel yang diartikan sebagai alat musik perkusi (J. Ferdinandus, 2003: 374). Jennifer Lindsay dalam buku The Javanese Gamelan menjelaskan bahwa set gamelan Kodok Ngorek dan Monggang yang dibagi menjadi dua di kraton Yogyakarta dan Surakarta pada tahu 1755 adalah berasal dari abad XII Masehi. Ensambel yang masih menggunakan dua dan tiga nada tersebut didukung oleh alat musik byong (pohon gentha) dan rojeh (jenis simbal kecil) dan tanpa diiringi oleh vokal (Lindsay, 1992: 7). Jenis ensambel gamelan Kodok ngorek dan Monggang memang tidak begitu dikenal oleh masyarakat karena gamelan tersebut dimainkan hanya pada saat-saat tertentu seperti misalnya upacara perkawinan dan kematian raja atau kerabat kerajaan saja. Di Bali, gong juga sangat umum digunakan untuk menyebut ensambel gamelan barungan misalnya; gong gede, gong kebyar, gong luang, gong bheri, gong suling (Supanggah, 2002: 30). Perkembangan ensambel yang lebih besar ditunjukan oleh gamelan sekaten di beberapa kraton di Jawa, seperti: Yogyakarta, Surakarta, Cirebon, Banten, dan Madura pada abad XVI. Dalam ensambel gamelan sekaten tersebut belum menggunakan vokal dan kendang sebagai pamurba irama (pengatur irama) serta jenis instrument tabuh loro seperti: rebab, gender dan gambang. Pertunjukan gamelan sekaten masih bisa kita lihat sampai saat sekarang kususnya pada setiap acara Maulud Nabi atau peringatan hari kelahiran nabi Muhamad yang dimainkan di depan masjid agung kraton selama tujuh hari. Perkembangan ansambel yang lebih lengkap telah dimulai paling tidak sejak jaman Mataram abad XVIII. Hal tersebut dapat kita lihat pada pertujukan gamelan Jawa dan Bali yang masih dilakukan sampai saat sekarang. Ansambel besar biasanya dibagi menjadi dua sampai tiga kelompok berdasarkan laras, seperti misalnya: slendro dan pelog (Jawa), degung dan salendro (Sunda), gong gede, gong kebyar dan semar pagulingan (Bali). Selain itu ada beberapa ansambel kecil, baik di Jawa maupun di Bali yang dikelompokan secara khusus sebagai pengiring pakurmatan seperti misalnya: gamelan salonding, monggang dan kodok ngorek, yang biasa digunakan sebagai pengiring upacara atau pakurmatan. 26 Journal of Music Science, Technology, and Industry [JoMSTI] Volume 6, Number 1, 2023. E-ISSN: 2622-8211 Gong sebagai Melodi Disamping gong yang biasanya dimainkan secara kolotomik seperti pada ansambel gamelan Jawa, Sunda, Bali, Lombok juga terdapat gong melodi atau yang dikenal dengan istilah gong chime berukuran diameter berkisar 18 cm sd 25 cm yang disusun berderet di atas papan kayu sesuai urutan nada masing-masing daerah asal. Jenis alat musik tersebut disusun berjajar dalam posisi horizontal sebagai penciri jenis intrumen di Indonesia dan beberap negara tetangga seperti di Malaysia, Brunei dan Filipina. Kemudian posisi setengah melingkar (tapal kuda) hanya kita jumpai di wilayah Asia Tenggara sebelah utara seperti misalnya di Birma, Vietnam, Laos dan Thailand. Berikut ini akan diberikan gambaran jenis gong melodi yang biasa dimainkan di berbagai wilayah di Indonesia seperti sebagai berikut: No Daerah 1 Jawa 2 Bali 3 Sunda 5 Betawi 6 Lampung 7 Kalimantan Timur Kalimantan Tengah Kalimantan Barat Sulawesi Tengah/ Minahasa Sumatra Barat 8 9 10 11 Nama instrument Jumlah Keterangan satuan bonang barung, peneru 14 (pencon dimainkan dua laras slendro-pelog, /rancak) orang dan bonang penembung, trompong 10 dimainkan satu orang reyong 12 dimainkan empat orang ponggang 4 Dimainkan dua orang bonang degung 14 (dua dimainkan satu set/rancak) orang bonang salendro 10 dimainkan satu orang kromong 10 dimainkan satu orang Kelitang 6 – 12 (dua dimainkan dua set) orang kelintang / kelintangan 6 dimainkan satu orang kanong atau 5 dimainkan satu kangkanong orang Gamal 5 dimainkan satu orang Kolintang 7 dimainkan satu orang (4 set) talempong 27 dimainkan empat orang Journal of Music Science, Technology, and Industry [JoMSTI] Volume 6, Number 1, 2023. E-ISSN: 2622-8211 12 Maluku 12 dimainkan satu orang Tabel 2: Penggunaan gong sebagai melodi berdasarkan jumlah dan asalnya. Totobuang Penggunaan Istilah Gong Istilah gong juga sering digunakan untuk menamakan jenis alat musik, baik yang berfungsi sebagai gong seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya maupun sekedar nama, artinya tidak memeiliki fungsi seperti gong pada umumnya. No Nama 1 2 3 4 5 6 Bahan/ bentuk Daerah Cara asal memainkan gong logam berbentuk bilah berpencu Jawa dan dipukul kemodong berjumlah dua buah, menggunakan Sunda atau gong kotak kayu yang didalamnya diletakan buyung belanga sebagai resonator (Sunda), dan gong pulu (Bali) gong pipa bambu Jawa ditiup bumbung Tengah sasando Sebuah istilah untuk menamakan NTT dipetik gong sasanda yang menggunakan steman/ sebagai laras tangganada pentatonic melodi gong kayu bilah kayu berpencu berjumlah 6 buah NTT dipukul yang distem atau ditala dalam sebagai tangganada pentatonic melodi gong grabah berbentuk belanga diberikan Jawa dipukul klenthing penutup karet sebagai membrane gong Kayu melingkar diberikan membran Jawa ditepak terbang kulit yang bentuknya menyerupai rabana yang berukuran besar diameter 50 – 70 cm Tabel 3: Gong berdasarkan bahan dan cara memainkan. SIMPULAN Gong merupakan alat musik tradisional yang telah mengakar dalam kehidupan sebagian besar masyarakat di Indonesia dan keberadaanya telah dimulai sejak perkembangan kebudayaan perunggu. Kekuasaan kerajaan Majapahit yang begitu luas dan perdagangan antar pulau yang dikenal dengan istilah perdagangan jalur sutra sangat mempengaruhi penyebaran gong di Nusantara. Kebutuhan masyarakat tradisional terhadap gong yang dianggap memiliki nilai regius sebagai sarana upacara dan barang kebutuhan adat sehingga gong tersebar sangat cepat sampai di daerah28 Journal of Music Science, Technology, and Industry [JoMSTI] Volume 6, Number 1, 2023. E-ISSN: 2622-8211 daerah pelosok pedalaman. Sangat dimungkinkan bahwa gong diperdagangkan dengan cara barter atau tukar menukar dengan barang-barang hasil hutan dan tambang seperti: rempah-rempah, kayu gaharu, rotan, sarang burung, emas, berlian dan lain sebagainya. Keberadaan tiga jenis bentuk gong di Nusantara, baik yang bersisi tinggi, bersisi rendah (pipih) maupun gong yang tidak menggunakan pencu, serta bentuk-bentuk ansambel besar dan kecil menunjukan sebuah identitas yang amat penting bagi masing-masing kelompok etnis masyarakat atau suku. Gong melodi yang disusun secara horizontal menunjukan perbedaan dengan gong yang disusun setengah lingkaran seperti yang terdapat di Birma, Vietnam, Kamboja, dan Thailand. Perbedaan bentuk gong dan ansambel tentunya akan mewarnai keaneka-ragaman bentuk kebudayaan Nusantara, khususnya dalam bidang musik tradisional. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan motivasi pada para peneliti muda dan generasi muda pada umumnya yang selama ini masih acuh-tak acuh untuk lebih peka dan peduli terhadap permasalahan musik tradisional, kususnya gong yang ada di sekitar kita. Sudah barang tentu tulisan ini masih banyak kekurangan yang dikarenakan keterbatasan kami untuk mendapatkan data dan informasi. Sehubungan dengan itu, kami mohon kritik, saran dan masukan dari para pembaca yang bijaksana demi menyempurnakan tulisan selanjutnya. DAFTAR PUSTAKA Eliade, Mircea, 1974, Shamanism: Archaic Techniques of Ecstasy, Princeton: Princeton University Press Haryanto, 2021, Musik Suku Dayak: Catatan Perjalanan di Pedalaman Kalimantan, Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta Koentjaraningrat, 1984, Masyarakat Desa di Indonesia, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Kunst, Jaap, 1973, Music in Java, 2 Vols., Martinus Nijhoff, The Hague. Lontaan, J.U, 1975, Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, Jakarta: Bumi Restu Offset Lindsay, J., 1992, Javanese Gamelan” Traditional Orcchestra of Indonesia, New York: Oxford University Press Lindsay, J., 1991, Klasik, Kitch, Kontemporer: Sebuah Studi Tantang Seni Pertunjukan Jawa, terjemahan: Nin Bakdi Sumanto, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 29 Journal of Music Science, Technology, and Industry [JoMSTI] Volume 6, Number 1, 2023. E-ISSN: 2622-8211 Maceda, Jose et al. 1980, “Phillipines“ dalam Stanley Sadie (ed.), 1980, The New Grove Dictionary of Music and Musicions, XIV, Macmillan Publiser, London, hal. 631 -652 Maceda, Jose et al. 1981, A Manual of A Field Music Research with Special Reference to Southeast Asia, University of Phillipines, Quezon City, Phillipines. Malm, William P., 1976, Music Cultures of the Pacific, the Near East and Asia, New Jersey: Prentice Hall Engle Wood Cliffs Merriam, Alan P., 1964, The Anthropology of Music, Chicago: North Western University Press. Nata, Asep, 1990. Aspek Ritual Dalam Pembuatan Gamelan di Surakarta (dalam) Jurnal Masyarakat Musikologi Indonesia. Surakarta: Yayasan Masyarakat Musikologi Indonesia. Pieter Eduard.JF. 2001. Alat Musik Jawa Kuno, Yogyakarta: Yayasan Mahardhika. Supanggah, Rahayu. 2002, Bothekan Karawitan 1. Jakarta: Ford Foundation & Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Taylor, E. 1989. Musical Instruments of South-East Asia. Oxford University Press, USA. 30