Academia.eduAcademia.edu

Kajian Orientalis Tentang Hadist Presentasi Makalah

METODELOGI STUDI ISLAM Model Kajian Teks-teks Keislaman: Studi Isalam Dosen Pengampu: Drs. Zakkyudin Baedlowi Disusun Oleh : Febri Ari Sandi (11310010) Emma Amalia (11310009) PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI (STAIN) SALATIGA 2011/2012 MODEL KAJIAN TEKS-TEKS KEISLAMAN: STUDI HADIS Bab I Pendahuluan Latar Belakang Hadis merupakan Sumber utama Islam kedua setelah Al-Quran, karena itu perdebatan hadis bukanlah sesuatu yang asing antara sarjana muslim, kritikus hadis, dan sarjana barat. Dan hal ini terus terjadi hingga sekarang. Pada akhir abad-20, studi hadis mencatat kemajuan yang berarti dan semakan banyak memperoleh perhatian dari kalangan dunia Isalam dan Barat. Hal ini disebabkan karena begitu banyaknya penemuan-penemuan sumber baru dan perkembangan dalam dalam metodelogi. Studi hadis adalah dua pendekatan yang dapat membedakan: pertama, analisis isnad terhadap hadis-hadis yang ahad, demikian herald motzki(1992)menyebutnya, yang terbukti menjadi alat peneliti yang sangat kuat. Kedua, pendekatan yang fokus terhadap analisis teks(matn) hadis yang dikembangkan melalui penyelidikan varian teks-teks hadis, dan kombinasi pendekatan analisis teks dan isnad. Hal inilah yang mendorong setudi islam untuk mengkaji Model teks-teks keislaman studi hadis. BAB II PEMBAHASAN Kajian Orientalis Tentang Hadis Kata “orientalis” berasal dari kata orient yang berarti Asia Timur; atau berasal dari kata oriental yang berarti orang Timur atau Asia. Secara geografis kata orient bermakna dunia belahan timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa timur. Secara geografis kata orient bermakna dunia belahan timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa timur. Sedangkan dalam kamus ilmiah populer ”orientalis” adalah ahli Barat yang mempelajari Timur. Dilihat dari segi terminologinya, Ismail Ya’kub menyatakan bahwa orientalis adalah orang yang ahli tentang soal-soal ketimuran, yakni segala sesuatu mengenai negeri-negeri Timur, terutama Negeri-negeri Arab pada umumnya dan Islam pada khususnya, tentang kebudayaannya, agamanya, peradabannya, kehidupannya dan lain-lain. Dan dalam kata ”orientalis” terkandung sifat umum nama pelaku atau ahli-ahli ketimuran, artinya dalam beberapa hal siapapun orangnya apakah ia muslim atau non muslim, apabila ia telah luas pengetahuannya tentang ketimuran maka ia seringkali terkategorikan secara langsung sebagai orientalis, seperti dinyatakan oleh kelompok Oxford bahwa orientalis adalah semua orang yang telah luas pengetahuannya tentang bahasa-bahasa Timur serta kesustraannya. Dalam kajian-kajian orientalis dengan berbagai diskursus studi keislaman ini, sebenarnya bisa diberi pengertian bahwa mereka adalah orang-orang yang dengan sengaja menyerang keyakinan umat Islam dan mendiskreditkan Islam, sedangkan mempelajari tradisi Islam merupakan topeng  an sich. Pengertian ini didasarkan pada peristiwa Perang Salib, dimana bangsa Barat mengalami kekalahan atas bangsa Timur dalam memperebutkan kawasan Palestina, tempat ziarah kaum Nasrani, yang di menangkan tentara Islam pimpinan Salahuddin al-Ayubi (1169-1193). Dari sinilah, orientalis kemudian tertuju kepada penjajahan dunia Islam, dengan berkedok menggali dan mempelajari khazanah Islam, yang muara akhirnya hanyalah untuk menghancurkan Islam. Memang masing-masing bidang studi tidak luput dari sentuhan kajian para orientalis, bahkan mereka berhasil menghasilkan karya-karya bermutu yang tidak dapat dilakukan oleh sebagian umat. Islam Lebih dari itu, sebagian sarjana Muslim kadang menggunakan karya-karya mereka sebagai bahan referensi dalam penelitian mereka. Sebagai bukti dalam bidang hadis mereka menyusun sebuah kamus besar guna melacak kebenaran sebuah hadis berdasarkan teks utama dari hadist tersebut dalam enam buku koleksi hadis kanonik, Sunan Al-darimi, Muwatta’ Malik, dan Musnad Ahmad Ibn Hambal dengan judul Concordace Et Indices De La Tradition Musulmane ( al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz) Al Hadith al-Nabawi dalam tujuh jilid. Kamus hadis ini adalah karya sekelompok orientalis yang dipublikasikan oleh A.J. Wensinck dan J. P. Mensing. Selain kamus ini A. J. Wensinck juga menyusun kamus hadis yang lebih kecil darinya yang berjudul Miftah Kunuz Al-Sunnah. Dua karya monumental ini sekaligus bukti bahwa tidak semua karya para orientalis jelek, bahkan sebaliknya. Memang sebagian karya mereka tidak luput dari motivasi sentimen keagamaan yang berujung pada kesalahan, baik itu disengaja maupun tidak disengaja. Hanya saja, dari masa ke masa kajian sebagian orientalis mengalami pergeseran paradigma dari subyektivisme yang dipacu oleh sentimen keagamaan menuju obyektivisme yang dimotori oleh keterbukaan dan kejujuran intelektual. Kajian ini mencakup studi hadis semua orientalis dan garapan studi hadis ini adalah tentang: Teori Sistem Isnad Kata “sanad” menurut bahasa adalah “sandaran”, atau sesuatu yang kita jadikan sandaran. Dikatakan demikian, karena hadits bersandar kepadanya. Menurut istilah, terdapat perbedaan rumusan pengertian. Al-Badru. Menurut ulama hadits, kedudukan sanad sangat penting dalam riwayat hadits. Maka apabila suatu berita tidak memiliki sanad, menurut ulama hadits berita tersebut tidak bisa disebut dengan hadits tetapi dapat disebut hadits palsu atau hadits maudlu’, walaupun seseorang menyatakannya sebagai hadits. Abdullah bin al-Mubarak memberi pernyataan bahwa sanad hadits merupakan bagian dari agama. Apabila hadits tersebut tidak ada sanadnya, maka seseorang bebas dalam menyatakan sesuai dengan kehendaknya. Pendapat tersebut menjelaskan pentingnya sanad dalam kualitas hadits Terlepas dari perdebatan para sarjana Muslim baik klasik maupun kontemporer tentang persamaan atau perbedaan antara isnad dan sanad, posisi isnad dan sanad sangat urgen dalam Islam. Urgensinya terletak pada tradisi keilmuan utama Islam, seperti tafsir, hadis, fikih, teologi, dan sejarah. Para sarjana Muslim klasik menyajikan materi dalam buku-buku mereka dengan cara mencantumkan riwayat dan pendapat dengan menisbatkan kepemilikananya, terutama dalam bidang hadis. Apabila hadits tersebut tidak ada sanadnya, maka seseorang bebas dalam menyatakan sesuai dengan kehendaknya. Pendapat tersebut menjelaskan pentingnya sanad dalam kualitas hadits. Dengan demikian hadits dapat diterima selagi sanadnya berkualitas sahih. Sebaliknya apabila sanad tidak sahih, maka hadits tersebut harus ditinggalkan. Imam Nawawi menyatakan bahwa hubungan hadits dengan sanadnya ibarat hubungan hewan dengan kakinya. Sanad dijadikan sebagai obyek penelitian karena banyak sanad yang palsu. Hal inilah yang menyebabkan banyak terjadi kontrofersi antara sarjana barat dan timur yang mereka saling menguatkan pendirian mereka masing-masing tentang system sanad dalam sebuah hadist Berkaitan dengan relasi antara isnad dan hadis, bila mayoritas sarjana Muslim Sunni sepanjang sejarah meyakini permulaan sistem isnad bersamaan dengan proses periwayatan hadis, maka sebagian orientalis tidak demikian. Mereka masih saja mempersoalkan permulaan dan validitas sistem isnad, sebuah sistem periwayatan hadis handal khas Islam, yang menurut Ibn al-Mubarak merupakan bagian dari Islam. Bahkan mereka berbeda pendapat secara tajam. Evolusi Historis Teori sistem isnad sangat erat kaitannya dengan evolusi historisitas hadis, karena isnad tidak bisa dipisahkan dari hadis. Oleh sebab itu, bila seorang peneliti berangkat dari asumsi salah tentang teori isnad, maka pada gilirannya ia akan memengaruhi pandangannya tentang evolusi historisitas hadis, apakah kemunculan isnad bersamaan dengan kemunculan hadis atau ia muncul jauh sesudah hadis itu disabdakan oleh Nabi saw. dan apakah hadis-hadis dalam buku-buku koleksi hadis itu benar-benar berasal dari Nabi saw. atau tidak. Ini juga masuk pada persoalan otentisitas dan validitas hadis. Dalam hal ini, pendapat Goldziher dalam Muhamedanische Studien perlu dikemukakan. Sebab, menurut Muhammad Mustafa al-A’zami, buku ini ibarat kitab suci pegangan para peneliti di dunia orientalisme. Dalam buku ini Goldziher mencatat, sebagaimana dinukil oleh Ali Masrur, bahwa fenomena hadis berasal dari zaman Islam yang paling awal. Akan tetapi, karena kandungan hadis yang terus membengkak pada era selanjutnya dan dalam setiap generasi Muslim materi hadis berjalan paralel dengan doktrin-doktrin fikih dan teologi yang seringkali saling bertentangan, maka dapat disimpulkan bahwa sangat sulit untuk menentukan hadis-hadis orisinal yang berasal dari Nabi. Sebagian besar materi hadis dalam koleksi kitab hadis merupakan hasil perkembangan keagamaan, historis, dan sosial Islam selama dua abad pertama, atau refleksi dari kecenderungan-kecenderungan yang tampak pada masyarakat Muslim selama masa-masa tersebut. Pendapat dengan substansi hampir senada, tetapi dengan rangkaian kata berbeda dicetuskan oleh Schacht melalui projecting back theory gagasannya. Teori yang juga dikenal dengan nama backward-projection theory atau nazariyyah al-qadhaf al-khalfi li al-asad ini termasuk teori penting dalam kajian hadis orientalis yang sedikit atau banyak memengaruhi pemikiran dua sarjana Muslim kontemporer, A. A. Fyzee dan Fazlur Rahman. Schacht menegaskan bahwa hukum Islam belum eksis pada masa al-Sha’bi (w. 110 H). Oleh sebab itu, bila ditemukan hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum, maka hadis-hadis itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sha’bi. Hukum Islam baru dikenal sejak pengangkatan para hakim agama (qad’i) yang baru dilakukan pada masa Dinasti Umayyah. Keputusan-keputusan yang diberikan pada qad’i ini memerlukan legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas lebih tinggi. Oleh karena itu, mereka tidak menisbatkan keputusan-keputusan itu kepada dirinya sendiri, melainkan menyandarkannya kepada tokoh-tokoh sebelumnya demi memperoleh legitimasi lebih kuat, yang semakin lama semakin jauh ke belakang hingga kepada Nabi Muhammad saw. Bila merujuk pada teori ini, maka klaim kesejarahan hadis yang diyakini umat Islam tidak berguna lagi. Sebab teori ini secara tidak langsung menafikan kemunculan hadis pada masa Rasulullah saw., tetapi muncul jauh sesudah beliau wafat di tangan para qad’i yang dibubuhi sanad serta diproyeksikan pada generasi-generasi sebelumnya. Dengan kata lain, hadis tidak otentik berasal dari Nabi, tetapi hanya kreasi orang-orang setelahnya. Problem Validitas Hadis Bila teori sistem isnad sangat erat kaitannya dengan evolusi historisitas hadis, maka dua hal itu juga sangat memengaruhi problem validitas hadis. Sebab sistem isnad adalah sistem untuk mengukur tingkat akurasi periwayatan hadis, sehingga hadis itu bisa dinilai valid atau tidak. Dengan kata lain, validitas hadis sangat bergantung pada penilaian terhadap akurasi penerapan sistem isnad . Sementara itu, pengkajian terhadap evolusi historisitas hadis sangat membantu pelacakan otentisitas dan validitas sebuah hadis. Dengan kata lain, apakah keadaan sebuah hadis bisa dibuktikan dengan adanya catatan historis atau tidak. Oleh sebab itu, hasil kajian yang salah terhadap salah satu dari tiga hal tersebut sangat memengaruhi hasil kajian yang lain. Contoh terbaik untuk tesis tersebut adalah dua argumentasi dari empat argumentasi Goldziher dalam meragukan kesahihan hadis Nabi saw. Pertama, koleksi hadis belakangan tidak menyebutkan sumber tertulisnya dan memakai istilah-istilah isnad yang lebih mengimplikasikan periwayatan lisan daripada periwayatan tertulis. Kedua, perkembangan hadis secara massal sebagaimana terdapat dalam koleksi hadis belakangan tidak termuat dalam koleksi hadis yang lebih awal. Dua argumentasi itu sangat berkaitan dengan tiga aspek sekaligus. Argumentasi pertama mengandung tiga kemungkinan yang saling berkaitan satu sama lain. Pertama, aspek isnad yang menurutnya menggunakan istilah-istilah periwayatan dengan lisan, bukan periwayatan tertulis. Secara tidak langsung, ia berpendapat bahwa periwayatan tertulis lebih kuat daripada periwayatan lisan. Kedua, aspek historisitas hadis yang menurutnya koleksi hadis belakangan tidak menyebutkan sumber tertulisnya. Sumber tertulis merupakan sumber historis yang cukup memadai untuk dipercaya sebagai salah satu dukomen yang bernilai tinggi. Ketiga, aspek validitas hadis yang bisa ditangkap secara tersirat bahwa ketika sebuah hadis tidak memiliki sumber tertulis atau direkam sejarah serta lebih banyak dilakukan secara lisan, maka validitas hadis itu sangat diragukan. Argumentasi kedua juga mengandung tiga hal yang saling berkaitan satu sama lain. Pertama, aspek isnad yang dapat ditangkap secara tersirat bahwa ada semacam keterputusan dan pelebaran sanad antara koleksi hadis yang lebih awal dengan koleksi hadis belakangan. Dua hal itu menyebabkan perbedaan jumlah koleksi hadis yang seharusnya sama antar generasi. Kedua, aspek historisitas hadis yang dapat ditangkap secara tersirat bahwa sejarah pembukuan hadis tidak berjalan secara linear, tetapi berjalan membengkak. Ini terbukti dengan adanya perluasan materi atau koleksi hadis yang semakin hari semakin banyak. Ketiga, aspek validitas hadis yang dapat ditangkap secara tersirat bahwa pembengkakan jumlah hadis dari generasi ke generasi menimbulkan asumsi bahwa hadis tersebut bukan berasal dari Nabi saw., tetapi berasal dari generasi-generasi setelahnya. Di antara orientalis yang karyanya, sedikit atau banyak, berkaitan dengan studi hadis adalah Alois Sprenger (1813-1893), Sir William Muir (1819-1905), Ignaz Goldziher (1850-1921), David Samuel Margoliouth, P. Henri Lammens (1862-1937), Snouck Hurgronje (1857-1936), Leone Caetani (1869-1926), Josef Horovitz (1873-1931), Gregor Schoeler, Patrcia Crone, Alfred Guillaume (1888- ), James Robson (1890- ), Joseph Schacht (1902-1969), G. Weil, R. P. A. Dozy, Michael A. Cook, Norman Calder, David S. Powers, M. J. Kister, Daniel W. Brown, L. T. Librande, Nabia Abbot, Rafael Talmon, Brannon Wheeler, Noel J. Coulson Charles J. Adams, Herbert Berg, G. Lecomte, R. Sellheim, R. Marston Speight, John Wansbrough, Burton, Hinds, Hawting, Uri Rubin, J. Fück, H. A. R. Gibb, W. M. Watt, Nabia Abbot, G. H. A. Juynboll, dan Harald Motzki. Dengan mencermati ide-ide utama mereka, kita berkesimpulan bahwa mereka seakan-akan terlibat dalam jaringan intelektual yang sangat erat saling mewarisi ide, mengembangkan, merevisi, bahkan mengkritik dan menolaknya habis-habisan. Fokus Kajian Orientalis Ada tiga hal yang sering dikemukakan orientalis dalam penelitian mereka terhadap al-Hadits, yaitu tentang para perawi hadis, kepribadian Nabi Muhammad SAW, metode pengklasifikasian hadits: Aspek Perawi Hadis Para orientalis sering mempertanyakan tentang para perawi yang banyak meriwayatkan hadits dari rasulullah. seperti yang kita ketahui bersama para sahabat yang terkenal sebagai perawi bukanlah para sahabat yang yang banyak menghabiskan waktunya bersama rasulullah seperti Abu bakar, Umar, Usman dan Ali. Namun yang banyak meriwayatkan hadits adalah sahabat-sahabat junior dalam artian karena mereka adalah orang “baru” dalam kehidupan rasulullah. Dalam daftar sahabat yang banyak meriwayatkan hadis tempat teratas diduduki oleh sahabat yang hanya paling lama 10 tahun berkumpul dengan Nabi, seperti Abu hurairah, Sayyidah Aisyah, Anas bin malik, Abdullah ibn Umar dll. Abu hurairah selama masa 3 tahun dia berkumpul dengan Nabi telah berhasil meriwayatkan lebih dari 5800 hadis, Sayyidah Aisyah mengumpulkan lebih dari 3000 hadis dan demikian juga dengan Abdullah ibn Umar, Anas. Aspek Kepribadian Nabi Muhammad SAW Tidak cukup dengan menyerang para perawi hadits, kepribadian Nabi Muhammad juga perlu dipertanyakan. Mereka membagi status nabi menjadi tiga sebagai rasul, kepala negara, dan pribadi biasa sebagaimana orang kebanyakan. Bahwa selama ini hadis dikenal sebagai segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad baik perbuatan, perkataan dan ketetapan beliau juga perlu direkontruksi ulang. Sesuatu yang berdasarkan dari Nabi baru disebut hadits jika sesuatu tersebut berkaitan dengan hal-hal praktis keagamaan, karena jika tidak hal itu tidak layak untuk disebut dengan hadis, karena bisa saja hal itu hanya timbul dari status lain seorang Muhammad. Aspek Pengklasifikasian Hadits Sejarah penulisan hadits juga tidak lepas dari kritikan mereka. Penulisan hadits yang baru dilakukan beberapa dekade setelah Nabi Muhammad wafat juga perlu mendapat perhatian khusus. Hal itu, lanjut mereka, membuka peluang terhadap kesalahan dalam penyampaian hadits secara verbal, sebagaimana yang dikatakan oleh Montgomerywatt,salah seorang orientalis ternama saat ini: “Semua perkataan dan perbuatan Muhammad tidak pernah terdokumentasikan dalam bentuk tulisan semasa Ia hidup atau sepeninggalnya. Pastinya hal tersebut disampaikan secara lisan ke lisan, setidak-tidaknya pada awal mulanya. Hal itu diakui ataupun tidak sedikit banyak akan mengakibatkan distorsi makna, seperti halnya dalam permainan telpon-telponan anak kecil”. Hal diatas adalah sebagian dari pemikiran Orientalis tentang Islam , lebih spesifik lagi tentang hadits. Hal itu sedikit banyak bisa memberikan pemahaman dan wacana baru bagi kita agar kita bisa melihat hadis, sesuatu hal berharga yang kita punyai tidak hanya dengan pandangan dan penilaian kita tapi juga dengan sisi pandang orang lain, yang boleh jadi akan lebih objektif dari kita. kita harus berterima kasih kepada mereka karena telah meneliti kehidupan kita, sehingga kita bisa mengambil hasil penelitian mereka sebagai bahan koreksi dan pembelajaran bersama, terlepas dari niat-niat buruk dari sebagian mereka. Perbedaan Metodelogi Kajian Hadis: Sarjana Barat dan Sarjana Timur Perbedaan antara pendekatan sarjana hadis muslim dan hadis Barat adalah perbedaan fundamental pendekatan terhadab tradisi Islam secara keseluruhan. Sikap muslim tradisional terhadab hadis dapat dilihat sebai berikut “… sunnah, atau hadis Nabi.. merupakan sumber utama kedua dalam hokum Islam, benar, selamanya, dan kehidupan nabi merupakan teladan yang harus diikuti oleh muslim tanpa memandang waktu dan ruang. Untuk alas an ini, para sahabat, bahkan yang hidup pada masa nabi, mulai mengembangkan pengetahuan tentang sunnah dan hal ini dianjurkan oleh Nabi sendiri.” ( Azami, 1977:46). Dengan kata lain hadis memiliki peran utama dalam Islam. Hal ini lah yang mendorong Nabi dan para sahabat untuk mememelihara hadis secara akurat, dan dalam pandangan tradisonal Anas Binmalik yaitu dengan cara mungkin sekitar 60 orang duduk bersama dan Nabi akan mengajarkan kepada mereka Hadis dan jika Nabi pergi karena ada keperluan maka mereka akan menghafalkan hadis tersebut dengan benar menanamkan hadis tersebut sampai kejiwa. Bagia sarjana muslim Islam telah ditegakan oleh Allah jadi Nabi pasti akan selalu dan sangat mempehatikan bentuk agamanya yang akan dielaborasi secara penuh beberapa abad kenudian. “sampaikanlah apa-apa yang berasal dariku meskipun hanya satu ayat”(HR.Bukhari). “Allah menyinari orang-orang yang medengarkan hadis dariku,jagalah ia dengan hati-hati, dan sampaikanlah kepada yang lain”(HR. Ibn Hambal). hadis ini dapat kita implementasikan sebagai langkah awal untuk memelihara hadis dan menjaganya dengan hati-hati. Telah diterangkan bahwa hadits mempunyai unsur pokok yaitu sanad dan matan, maka obyek penelitian hadits merujuk pada keduanya. Dalam melakukan penelitian hadis, banyak hal penting yang perlu dikaji dalam Sanad dan matan hadist sebagai berikut: Sanad Menurut ulama hadits, kedudukan sanad sangat penting dalam riwayat hadits. Maka apabila suatu berita tidak memiliki sanad, menurut ulama hadits berita tersebut tidak bisa disebut dengan hadits tetapi dapat disebut hadits palsu atau hadits maudlu’, walaupun seseorang menyatakannya sebagai hadits. Abdullah bin al-Mubarak memberi pernyataan bahwa sanad hadits merupakan bagian dari agama. Apabila hadits tersebut tidak ada sanadnya, maka seseorang bebas dalam menyatakan sesuai dengan kehendaknya. Pendapat tersebut menjelaskan pentingnya sanad dalam kualitas hadits. Dengan demikian hadits dapat diterima selagi sanadnya berkualitas sahih. Sebaliknya apabila sanad tidak sahih, maka hadits tersebut harus. ditinggalkan. Imam Nawawi menyatakan bahwa hubungan hadits dengan sanadnya ibarat hubungan hewan dengan kakinya. Sanad dijadikan sbagai objek penelitian karena banyak sanad yang palsu. Adapun tanda-tanda sanad yang palsu yaitu: Perawi hadits yang diketahui banyak orang adalah seorang pembohong Seorang perawi mengakui bahwa hadits yang diriwayatkan adalah palsu Seorang perawi mengaku mendapatkan hadis dari seorang syekh, tetapi tidak dapat dipastikan pernah menemui syekh tersebut Kepalsuan hadits yang diketahui dari keadaan perawi dan dorongan psikologisnya Krtitik eksteren sanad, dalam penelitian sanad dikenal dengan istilah kritik ekstren yaitu kritik terhadap rangkaian para perawi yang menyampaikan kepada matan hadis. Dalam meneliti sanad,agar lebih muda untuk menilai sanad apakah itu dapat dijadikan sahih atau tidak. Adapun bagian-bagian yang dapat diteliti sbb: Nama-nama seseorang perawi yang meriwayatkan hadis Lambang-lambang yang digunakan para dalam meriwayatkan hadis seperti sami’tu, akhbaroni, an, dan anna,dll. Dari uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kesahihan hadis tergantung pada kualitas sanad. Selain itu juga ada unsur sanad dalam hadis yang sangat penting karena sanad dijadikan sandaran. Unsur kritik kaidah sanad adalah: Unsur kaidah mayor yang pertama. Sanad bersambung, mengandung unsure-unsur kaidah minor: Mutthasil (bersambung), marfu’ (bersandar pada Nabi saw), mahfuz (terhindar dari syudzudz), dan bukan mu’all (bercacat). Unsur kaidah mayor yang kedua. Perawi bersifat adil, mengandung unsure-unsur kaidah minor: Beragama Islam, mukalaf ( balig dan berakal), Melaksanakan ketentuan agama Islam), dan memelihara muru’ah (adab kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri manusia kepada tegaknya kebijakan moral dan kebiasaan-kebiasaan) Unsur kaidah mayor yang ketiga. Perawi bersifat dhabith atau adbath, mengandung unsur-unsur kaidah minor: hafal dengan baik hadis yang diriwayatkan, mampu dengan baik menyampaikan riwayat hadis yang dihafalkan kepada orang lain, terhindar dari syudzudz dan terhindar dari illat. Dengan acuan kaidah mayor dan minor bagi sanad tersebut, maka penelitian sanad hadist dilakasanakan. Sepanjang semua unsure diterapkan secara benar cermat, maka penelitian akan menghasilkan kualitas sanad dengan tingkat akurasi tinggi. Sendangkan bagi sarjana Barat, ungkapan hadis “Allah menyinari orang yang mendengarkan hadis dariku, mejaganya dengan hati-hati, dan menyampaikannya kepada yang lain”, adalah salah satu bukti hadis yang tidak pernah diucapkan oleh Nabi Muhammad saw. Bagi mereka hadis ini dibuat setelah kehidupan Nabi dengan tujuan untuk mendukung upaya-upaya pengumpulan hadis. Bukan hanya sarjana barat saja yang mempersoalkan tentang otensitas sebagian hadis karena ada banyak hadis palsu yang merupan hal fakta yang diakui oleh sarjana muslim maupun sarjana barat. Matan Obyek penelitian yang kedua yaitu matan hadits. Penelitian ini diperlukan karena keadaan matan tidak bisa dipisahkan dari keadaan sanad hadits. Selain itu matan hadits diriwayatkan dalam makna (Riwayah bil Ma’na) karena semua rawi belum tentu memenuhi syarat sah meriwayatkan hadits secara makna. Penelitian matan hadits dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan bahas, rasio, sejarah dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Tetapi walaupun banyak pendekatan yang digunakan, masih sulit meneliti keadaan matan hadits.Kesulitan tersebut disebabkan: Adanya periwayatan secara makna. Pendekatan yang dijadikan acuan bermacam-macam Latar belakang timbulnya petunjuk hadits sulit diketahui Kandungan petunjuk hadits yang bersangkutan dengan hal yang supra rasional Kitab-kitab yang membahas kritik matan masih langka Dari uraian tersebut, dapat dilihat bahwa meneliti matan itu sangatlah sulit. Maka dari itu untuk melakukan penelitian matan, seorang perawi harus jeli dan memerlukan kecerdasan dalam memetakkan masalah, dan pendekatan mana yang relevan dengan masalah yang akan diteliti tersebut. Kritik Intren Matan Dalam penelitian matan hadits dikenal istilah kritik intern adalah mengkritiki materi yang bersandar pada Nabi berkaitan dengan nilai-nilai konteks. Maka untuk memahami hadits Nabi harus memperhatikan konteks informasi. Adapun unsur-unsur kaidah kritik matan sbb: Matan itu tidak boleh mengandung kata-kata yang tidak pernah diucapkan oleh seorang ahli retorik atau penulur bahasa yang baik. Tidak boleh bertentangan dengan pengertian-pengertian rasional yang aksiomatik, yang sekitarnya tidak mungkin ditakwilkan Tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah umum dalam hukum dan akhlak. Tidak boleh bertentangan dengan indera dan kenyataan. Tidak boleh bertentangan dengan hal yang aksiomatik dalam kedokteran dan ilmu pengetahuan. Tidak mengandung hal-hal yang hina, yang tentunya agama tidak membenarkannya. Tidak bertentangan dengan hal-hal yang masuk akal (rasional) dalam prinsip-prinsip kepercayaan (aqidah) tentang sifat-sifat Allah dan para Rasul-Nya. Tidak bertentangan dengan Sunnatullah dalam alam dan manusia. Tidak mengandung hal-hal yang tidak masuk akal yang dijauhi oleh manusia yang berpikir. Tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an atau dengan Sunnah yang mantap, atau yang sudah terjadi ijma’ padanya, atau yang diketahui agama secara pasti, yang sekiranya tidak mengandung kemungkinan ta’wil. Tidak boleh bertentangan dengan kenyataan-kenyataan sejarah yang diketahui dari zaman Nabi SAW. Tidak boleh bersesuaian dengan mazhab rawi yang giat mempropagandakan mazhabnya sendiri. Tidak boleh berupa berita tentang peristiwa yang terjadi dengan kesaksian sejumlah besar manusia kemudian seorang rawi hanya dia seorang yang meriwayatkannya. Tidak boleh timbul dari dorongan emosional, yang membuat rawi meriwayatkannya. Tidak boleh mengandung janji berlebihan dalam pahala untuk perbuatan kecil atau berlebihan dalam ancaman yang keras untuk perkara sepele. Berikut ini adalah penjelasan singkat mengenai perberdaan antara sarjana Muslin dengan sarjana Barat. Sudah dijelaskan baibana cara sarjana muslim menentukan suatu hadis namun memang tidak dapat dipungkiri juga ada banyak hadis yang bersifat masih rancu. Ibn Qayyim (w. 1350) menulis hadis proses penolakan hadis berdasarkan muatanya. Menurutnya sebuah hadis yang menyatakan “Tidak ada Tuhan Selain Allah, yang merupakan bagian pertama dari syahadat, Tuhan menciptakan dari hal ini seekor burung dengan 70000 bahasa”, adalah hadis yang rancu, dan kontradiksi dengan sunnah, bertentangan dengan dengan Al-Quran. Hadis ini lebih menyerupai perkataan mistikus (Garden,2005:16-17) Sehingga pada akhirnya standart yang ditetapkan untuk menilai periwayatan hadis ada sekitar 12, sejak siqatun sabitun hingga kazzab sehingga hadis dibagi menjadi dua kelompok hadis maqbul dan hadis mardud, dengan masing-masing kategori yang terbagi kedalam beberapa tingkatan. Berdasarkan system kritik hadis yang mapan ini, para mistikus Muslim dapat mengkodifikasi hadis-hadis shahih yang terkumpul dalam kitab Bukhari dan Muslim, dan banyak hadis lainnya yang tidak dipandang sahih, namun memiliki keaslian yang dapat diterima sehingga dapat digunakan untuk tujuan-tujuan hokum dan ibadah. Sementara itu, para sarjana Barat tidak terkesan dengan kecanggihan metode-metode untuk menentukan keaslian hadis berdasarkan Isnad. Mereka cenderung menginginkan untuk kembali kepada matan atau muatan dari sebuah hadis. Karena mereka memiliki alas an utuk meragukan adanya hadis yang tidak berasal dari Nabi karena hadis itu membicarakan persoalan-persoalan setelah masa kewafatan Nabi. Hal ini didukung oleh fakta bahwa sebagian kaum muslim belakangan berusaha untuk menemukan dukungan bagi kelompok atau ajaran mereka dengan menyandarkan pandangan mereka kepada perkataan Muhammad. Sebagai contoh adalah masalah suksesi kepemimpinan. Ada sekelompak yang merasa bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang yang tepat untuk mengantikan Nabi sebagai khalifah pertama, bukan sebagai khalifah keempat. Dari kelompok ini munculah syi’ah. Jadi, para sarjana Barat mejumpai suatu hadis yang mengatakan: “ketika Nabi masih hidup di antara kami, kami tidak membandungkan seorangpun dengan Abu Bakar, sesudahnya Ummar, dan kemudian Usman. Kami tidak membeda-bedakan antara sahabat-sahabat Nabi yang ada”(HR.Abu Daud). Sarjana Barat berpendapat bahwa Hadis ini beredar setelah Nabi wafat dengan tujuan untuk melegalitimasi klaim Ali sebagai khalifah. Juga ada hadis yang memiliki pesan bertentangan, bahwa Muhammad saw. Bermaksud agar agar Ali menjadi penggantinya. Muhammad saw. Dikatakan telah bersabda: “Barang siapa yang ingin jadi patronku, maka Ali juga patronnya” HR. Ahmad Ibn Hambal). Dari contoh ini, jelas system metode isanad belumlah cukup. Banyak sarjana barat yang melihat matan sekaligus isnad untuk menentukan keaslian suatu hadis, begitu pula mereka menentukan keaslian suatu hadis berdasarkan isanad dan matanya. Sebagai mana mereka memandang bahwa isnad tumbuh “belakangan” artinya, pada sumber-sumber awal, suatu hadis dijumpai dengan system isnad yang luas hingga abad ke-8. Asumsi para sarjana barat adalah karena pentingnya pertumbuhan hadis dan ilmu yang mengritikanyapun juga sudah semakin cangih, yang menuntut asal-usaul hadis dari Nabi sendiri, hadis yang dihiasi isnad pada akhirnya tersambung dengan Nabi Muhammad saw. Dan perbedaan-perbedaan dalam mendekati hadis ini bermula dari berbagai pendekatan yang mendasar pada tradisi keagamaan secara keseluru Kajian Sadrjana Muslim Modern Kajian sarjana muslim modern cenderung kepada pengkajian persoalan kritik teks yang pada akhirnya akan meragukan beberapa catatan tentang hadis. Di antara mereka adalah M. Rashid Ridha, Mahmoud Abu Rayyah, Ahmad Amin, dan Ismail Ahmad Adham. Yang masing-mengatakan Membahas kritik matan, tidak dapat menerima hadis jika hadis-hadis tersebut tidak dapat diterima secara rasional maupun teologis atau jika hadis-hadis itu bertentangan dengan hadis(Ridha,19928:40) Hadis pada umumnya harus dikaji secara luas agar dapat dipertanggung jawabkan reliabilitas teksnya, dan metode penelitian dan kajian hadis tidak dapat berubah. (Mahmoud Abu Rayyah) Para Srjana meletakkan berbagai aturan yang sangat hati-hati untuk mengeritik dan menilai hadis yang terlampau rinci. Namun intinya metode mereka lebih memerhatikan untuk melihat periwayat dari pada periwayat itu sendiri.(Ahmad Amin) Para Sarjana hadis dan kritik mereka tidak mengarah pada kritik teks yang dilakukan secara ilmiah.(Ismail Ahmad Adham) Sehingga keempat sarjana muslim diatas mendapatkan respon dari sarjana muslim yang lainnya, dari sudut pandang merekalah terjadi pengelohan penjelasan-penjelasan tentang karya klasik hadis para periwayat terhormat telah dilakukan oleh sarjana muslim modern Abu Rayyah. Ratuhan halaman ditulis untuk mempertahankan sunnah dari penolaknya, khususnya yang berkaitan dengan persoalan kritik matan. Dikatakan hadis tidak boleh berisi pernyatan-pernyataan yang rancu atau bertentangan dengan ajaran dari sumber-sumber yang lebih otoriatif seperti Al-quran. Sehingga para kritikus berpendapat bahwa kajian mereka tentang muatan hadis dan upayanya tidak bermana jika tidak diperkokoh dengan ilmu dirayah. Ilmu dirayah adalah ilmu yang memuat studi analitik dan sejarah perkataan, perbuatan Nabi. Ilmu ini bermaksud untuk menyelidiki syarat-sayarat perawi dan yang diriwayatkan (marwi). Al-Ghazali mencatat dua prinsip kritik matan hadis sebagai berikut: 1. Matan harus bebas dari syuzuz, yakni bertentangan dengan sumber-sumber yang lebih terpercaya, 2. Matan harus bebas dari catatan serius (‘illah qabibah).(syekh Muhammad Al-Ghazali). Dua sayarat ini, menurutnya menjamin secara terpercaya tentang kebenaran suatu hadis jika diterapkan dengan sebenar-benarnya. Itulah penjelasan pembahasannya yang dibahas oleh banyak kaum orientalis dan beberapa sarjana dan kritikus Muslim modern yang merutnya muhandisun masa awal telah memberikan tekanan terhadap isnad dan saat melakukan kritik hadis, dan bahwa mereka telelah mengabaikan kritik atas muatan hadis itu sendiri, tidak dapat diterima dan keliri. Yang sesunggunya para muhandisun sudah melakukan pengritikan baik dari sehi isnad maupun matannya. Pendekatan Revolusioner: al-Albani Menurut al-Alnbani penempatan hadis itu sebgai pilar utama dalam proses yuridis, karena hadis menyediakan jawaban atas persoalan-persoalan yang tidak ditemukan dalam AL-Quran tanpa bersandarkan pada mazhab fiqih yang ada. Karena ituibu kandung semua ilmu keagamaan adalah hadis, yang dimana hadis juga digunakan sebagai sumber kedua setalah Al-Quran dalam pemgacuan berbagai hukum. Menurunya penalaran secara idepende harus dikeluarakan dari proses ini: kritik matan harus benar-benar menjadi ilmu formal, yang perlu ditantakan adalah Sanad. Sebagai metodenya al-Albani menghasilkan fatwa-fatwa yang bertentanga dengan ijma Isalam pada umumnya khususnya terhadap mazhab fiqih Hambali. Contohnya, dia menyatakan bahwa mihrab masjid yang menunjukan arah mekkah adalah bidah, dan dia juga menyatakan kebolehan sholat dimasjid dengan sepatu. Pandangan yang lebih controversial adalah penduduk palestina tidak boleh meninggalkan tanah palestina yang sedang dijajah karena ibadah iman itu lebih penting dari pada sejengkal tanah. Akhirnya al-Albani mengambil posisi menentang terlibat dalam masalah politik. Dan dia lebih memilih persaudaraan Isalam. Pendekatan al-Albani ini juga mendapatkan pertentangan terutama dari kaum Wahabbi yang tidah setuju bahkan menyerangnya. Kontroversi ini makin menegang saat diterbitkanya buku yang berjudul “Jilbab Perempuan Muslim” yang dima Labani berargumen bahwa jilbab perempuan muslim tidak harus menutupi wajahnya. Penentangan antara al-Albani pun terjadi, tidak hanya dalam intelektual saja bahkan Agama juga menjadi pertentanga yang mencolok diantara mereka, yang dimana menurut Al-Albani tradisi baik segi agama,hokum dll telah dimonopoli oleh sekelompok kecil aristocrat dari Najd yang hidup disekiar Muhammad bin Abdul Wahab dan pengikutnya. Yang dimana ilmu menururut tradisi wahabi, adalah hasil dari proses warisan dan tergantung pada sejumblah ijaz yang diberikan seorang ulama kepada muridnya. Dan menurur al-Albani warisan semacam ini tidak penting sama sekali, karena setiap hadis itu terbuka untuk dikritik dan suatu hadis yang di riwayatkan oleh ulama terhormat sekalipun tidak menjamin keasliannya. Sebaiknya proses yang penting salah akumulasinya.Artinya seorang ulama hadis adalag seorang yang meghafal sejumblah besar hadis dan lebih penting lagi adalah biografi sejumblah besar periwayat. Jadi, ilmu hadis dapat diukur menurut criteria objektif yang tidak berhubungan dengan kelurga, suku, atau,keturunan yang mengesampingkan meritokrasi. BAB III PENUTUP Kesimpulan Dapat disimpulkan para sarjana muslim sendiri bersikap berbeda dalam memandang kegiatan para orientalis. Diantaranya ada yang m emandang sebagai murni kajian keilmuan namun disisi lain lebih banyak yang menganggap sebagai sebuah propaganda melawan Islam. Dari keseluruhan gerakan orientalisme tersebut dalam berbagai bentuknya dari awal hingga akhir ini, Edward Said menyimpulkan dalam 3 poin yaitu: Bahwa orientalisme itu lebih merupakan gambaran tentang pengalaman manusia Barat ketimbang tentang manusia Timur (orient). Bahwa Orientalisme itu telah menghasilkan gambaran yang salah tentang kebudayaan Arab dan Islam. Bahwa meskipun kajian orientalis nampak obyektif dan tanpa interes (kepentingan), namun ia berfungsi untuk tujuan politik. Tidak hanya itu dalam pengkajian hadis Sanad dan matan harus benar-benar digunakan secara mendalam untuk meninjau sebuah hadis.Karena tidak hanya sedikit hadis-hadis yang bersifat masih rancu sehingga pengkajiannya benar-benar harus lebih teliti, dan harus diakui bahwa selain dari bidang-bidang pemahaman dan penafsiran Islam, para oritentalis banyak yang berjasa dalam kerja-kerja ilmiah lainnya dan cukup dirasakan manfaatnya, seperti misalnya dalam penyusunan lexicon, kamus-kamus, encyclopedia, kompilasi hadis dan sebagainya. Oleh karena itu umat Islam perlu bersikap bijaksana, tidak melulu apresiatif yang berlebihan dan tidak pula bersikap apriori secara membabi buta. Umat Islam perlu bersikap kritis dan profesional dalam mengkaji dan menanggapi karya-karya orientalis itu.