Academia.eduAcademia.edu

Konsep Neraka Dalam Pandangan Gereja Katolik

ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani

Penelitian ini berfokus pada ajaran Gereja Katolik tentang neraka. Gereja Katolik mengajarkan hukuman utama di neraka adalah terpisah secara kekal dari Allah (KGK. 1035). Keterpisahan dengan Allah menyebabkan manusia kehilangan penglihatan yang membahagiakan dengan Allah. Maka penelitian ini bertujuan menjelaskan bahwa neraka bukanlah sebuah tempat. Gambaran tentang neraka dalam Injil merupakan bahasa apokaliptik yang digunakan Yesus sebagai peringatan kepada orang-orang yang tidak mau menghiraukan amanat-Nya serta tidak mau mengadakan perubahan hidup yang selaras dengan warta keselamatan. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh munculnya ajaran-ajaran yang mengajarkan bahwa neraka adalah sebuah tempat yang menakutkan, kejam dan penuh siksaan. Akibatnya, gambaran tentang Allah yang berbelas kasih dan berkehendak menyelamatkan semua orang tidak diperhatikan. Padahal gambaran tentang neraka bertujuan untuk menegaskan hakikat manusia yang berasal dari Allah. Penelitian ini menggunakan stu...

ILLUMINATE Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani Vol 5, No 2, Des 2022 (145-159) ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) http://www.sttbaptis-medan.ac.id/e-journal/index.php/illuminate Konsep Neraka Dalam Pandangan Gereja Katolik Mathias Jebaru Adon, Petrus Maria Handoko Sekolah Tinggi Teologi Widya Sasana Malang [email protected] Abstract This research focuses on the teachings of the Catholic Church about hell. The Catholic Church teaches that the ultimate punishment in hell is eternal separation from God (KGK 1035). Separation from Allah causes humans to lose sight of happiness with Allah. So this research aims to explain that hell is not a place. The description of hell in the Bible is the apocalyptic language used by Jesus as a warning to people who do not want to ignore His message and do not want to make life changes that are in line with the message of salvation. This research is motivated by the emergence of teachings that teach that hell is a scary, cruel, and torturous place. As a result, the image of a God who is compassionate and willing to save all people goes unnoticed. Whereas the description of hell aims to emphasize human nature that comes from God. The research method used was a literature study that found that Jesus never taught about hell as a place of terrible torture. Jesus' teachings centered on the Kingdom of God. The apocalyptic images of hell that Jesus used were meant to urge His listeners to repent and believe in the good news of salvation. Keywords: Hell, Repentance, Mercy of God, Salvation, Eternal Life Abstrak Penelitian ini berfokus pada ajaran Gereja Katolik tentang neraka. Gereja Katolik mengajarkan hukuman utama di neraka adalah terpisah secara kekal dari Allah (KGK. 1035). Keterpisahan dengan Allah menyebabkan manusia kehilangan penglihatan yang membahagiakan dengan Allah. Maka penelitian ini bertujuan menjelaskan bahwa neraka bukanlah sebuah tempat. Gambaran tentang neraka dalam Injil merupakan bahasa apokaliptik yang digunakan Yesus sebagai peringatan kepada orang-orang yang tidak mau menghiraukan amanat-Nya serta tidak mau mengadakan perubahan hidup yang selaras dengan warta keselamatan. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh munculnya ajaranajaran yang mengajarkan bahwa neraka adalah sebuah tempat yang menakutkan, kejam dan penuh siksaan. Akibatnya, gambaran tentang Allah yang berbelas kasih dan berkehendak menyelamatkan semua orang tidak diperhatikan. Padahal gambaran tentang neraka bertujuan untuk menegaskan hakikat manusia yang berasal dari Allah. Metode penelitian yang digunakan ialah studi literatur kepustakaan yang menemukan bahwa Yesus tidak pernah mengajarkan tentang neraka sebagai tempat penyiksaan yang mengerikan. Pengajaran Yesus berpusat pada Kerajaan Allah. Gambarangambaran apokaliptik neraka yang digunakan Yesus bertujuan mendesak para pendengar-Nya untuk bertobat dan percaya kepada kabar baik keselamatan. Kata Kunci: Neraka, Pertobatan, Belas kasih Allah, Keselamatan, Hidup kekal. I. Pendahuluan Pada dasarnya Allah adalah kasih. Kasih-Nya yang besar kepada manusia diwujudkan dengan mengutus Putera-Nya yang tunggal untuk menjadi tebusan umat manusia.1 Yesus menunjukkan kasih-Nya dengan memberikan nyawa-Nya sendiri untuk para sahabat-Nya, Paus Fransiskus, “Misericordiae Vultus Wajah Kerahiman Allah,” in Bulla Pemberitahuan Yubileum Luar Biasa Kerahiman Paus Fransiskus 11 April 2015, 99th ed. (Jakarta: Depertemen Dokumentasi Dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia, 2015). 1 Copyright 2022, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 145 Mathias Jebaru Adon, Petrus: Konsep Neraka Dalam Pandangan Gereja... “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada seorang yang memberikan nyawa-Nya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13). Demikianlah, “Allah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh 3:16). Karena itu, sejak awal penciptaan rencana keselamatan manusia telah ada dalam pikiran Allah dan karya keselamatan itu mencapai puncaknya dalam pengurbanan diri Putranya yang tunggal di atas kayu salib.2 Begitu besar kasih dan kemurahan hati Allah itu sehingga Yesus harus berjalan dari kota ke kota dan dari desa ke desa agar semua orang bertobat dan menerima keselamatan. Demi keselamatan itu Ia harus menderita dan wafat secara sadis di salib.3 Gambaran tentang neraka dalam bahasa apokaliptik juga seringkali digunakan dalam dunia Perjanjian Lama. Kata sheol yang digunakan untuk melukiskan neraka misalnya digunakan untuk menunjukkan kematian dan tempat yang gelap, di situ semua orang mati dikumpulkan. Orang Israel kuno percaya bahwa sheol berada di tempat bumi yang paling bawah. (Ams. 9:2 Bil. 6:30-33,) dan digambarkan seperti memasuki sebuah pintu yang penuh dengan kegelapan. b Mazmur menggambarkan tempat itu seperti hukuman penjara, orang mati yang terisolasi dari Allah (Maz. 30:9).4 Sedangkan b Ayub menggambarkan neraka sebagai keadaan tanpa aktivitas sehingga dalam keadaan seperti itu tidak terdapat kemajuan (Ayb. 3:17-20; 7:9; 17:16). Itulah sebabnya gambaran tentang dunia penghuni dunia bawah dilukiskan terpisah dari Allah dan tidak dapat lagi mempersembahkan pujian kepada Allah. Sedangkan dunia Perjanjian Baru menggambarkan tempat orang yang telah meninggal adalah dunia bawah yakni Hades. Dalam Perjanjian Baru kata Hades muncul 10 kali yakni dalam Injil Matius, Lukas, Kisah Para Rasul dan wahyu. Gambaran Hades sebagai tempat orang yang telah mati bertolak dari gambaran surga sebagai tempat tertinggi.5 Gambaran sebagai tempat tertinggi ini paling jelas dalam kisah orang kaya dan Lazarus yang miskin dalam Lukas 16: 19-3, dan perikop Yoh. 14:1-14 tentang Rumah Bapa. Gambaran-gambaran tersebut merupakan bahasa apokaliptik yang dijiwai oleh pengharapan yang besar akan kemenangan Allah yang sudah dekat terhadap kekuasaankekuasaan jahat, akan pembelaan Allah atas orang-orang yang setia kepada Allah, dan akan penghukuman terakhir terhadap musuh-musuh Allah. Kalau Kerajaan Allah melambangkan atau menggambarkan keselamatan yang akan segera diwujudkan oleh Allah, Gehenna melambangkan atau menggambarkan kehancuran yang diancamkan oleh Yesus terhadap orang-orang yang melawan Allah. Seperti halnya Kerajaan Allah digambarkan dengan berbagai perumpama.6 Demikian juga Gehenna dilukiskan dengan berbagai gambaran seperti tempat dimana terdapat ratapan dan kertak gigi (mat. 25:30), tempat yang sangat gelap (Mat. 22: 13), tempat dimana ulat tak akan mati (Mrk. 9:43-44), lautan api (Why. 14:11) dan lainlain. Gambaran-gambaran ini mesti dipahami sebagai lukisan keterpisahan dengan Allah Yohanes Paulus II, “Katekismus Gereja Katolik,” Konstitusi Apostolik FIidei Depositum (Koferensi Waligereja Indonesia, 1992). 3 Renihati Gulo, “Belas Kasih Adalah Kunci Untuk Mengampuni,” BONAFIDE:Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 2 (2021): 23–35. 4 Mira Permata Sari Simanjuntak and Pardomuan Munthe, “Tinjauan Dogmatis Tentang Sheol Tempat Orang Mati,” Jurnal Sabda Akademika 1, no. 2 (2021): 63–71. 5 Peter C. Phan, 101 Tanya Jawab Tentang Kematian Dan Kehidupan Kekal, 05 ed. (Yogyakarta: Kanisius, 2005). 6 Jaringan, “Sumbangan Teks Apokaliptik Terhadap Gerakan Sosial Politik Dalam Gereja.” 2 Copyright 2022, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 147 ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 5, No 2, Des 2022 secara kekal yang mendatangkan penderitaan yang tak berakhir karena terbukanya pengetahuan akan melimpahnya kasih Allah namun tidak mampu menanggapinya. 7 Demikian halnya perumpamaan-perumpamaan Kerajaan Allah tidak boleh dipahami secara harfiah, demikian juga gambaran-gambaran Gehenna tidak boleh di pahami secara harfiah. Memang, seandainya dipahami secara harfiah, semuanya itu akan saling meniadakan, misalnya, kegelapan akan diusir oleh api. Maka dalam membaca teks-teks tersebut perlu memahami makna yang ingin disampaikan di balik penggambaran teks tersebut. Baik untuk memahami teks-teks itu secara tepat maupun untuk menghindarkan jenis fundamentalisme yang dipegang kuat oleh kalangan-kalangan tertentu yang dengan tegas menjelaskan neraka sebagai sebuah tempat penyiksaan yang sangat mengerikan sebagaimana yang diajarkan oleh Hadis ’Misoginis’.8 Singkatnya alam di balik teks-teks ini adalah alam dunia apokaliptik yang muncul dan berkembang pada zaman ketika umat beriman mengalami banyak penderitaan, pengejaran dan penindasan. Dalam situasi krisis semacam ini iman umat bisa goyah. Mereka mengira Allah sudah melupakan mereka. Maka gambaran apokaliptik digunakan untuk menghidupkan kembali semangat dan pengharapan mereka.9 Inti pokok dari pengajaran apokaliptik ialah untuk mengingat bahwa sejarah masa lalu, masa kini dan masa depan dalam terang Sabda Allah. Orang diajak untuk melihat bahwa Allah tetap hadir dalam sejarah umat manusia. Tidak ada yang lepas dari kuasa Allah. Biarpun setan beserta anak buahnya menang, namun sebenarnya hanya Allah yang berkuasa atas kejadian/peristiwa sejarah di dunia ini. Oleh karena itu orang tidak oleh berkecil hati.10 Allah memang membiarkan setan dan anak-anak buahnya mengacau dunia. Tetapi suatu saat kekacauan dan penderitaan akan mencapai puncaknya, lalu Allah akan menghancurkan dunia yang jahat itu beserta kerajaan setan dan menciptakan dunia dan zaman yang baru bagi pengikut-Nya yang setia sampai akhir. Maka sebab itu perlu memahami apa yang dimaksudkan dengan gambaran-gambaran yang disampaikan Yesus tentang kertak gigi, api yang tak terpadamkan dan ratap tangis dengan keadaan orang-orang yang terkutuk dan terkucil dari pemerintahan Allah. Untuk memahami maksudnya, harus menempatkan gambaran-gambaran itu dalam konteks kesusastraan apokaliptik Yahudi, baik yang kanonis (mis. Daniel) maupun yang ekstrakanonis (mis. Enokh pertama), yang bahasanya digunakan oleh Yesus secara eksplisit.11 Misalnya, harus mengatakan bahwa api menunjuk kepada penghakiman ilahi, ratap tangis, kepada kepedihan atau penyesalan orang-orang terkutuk; kertak gigi, kepada kemarahan mereka, dan kegelapan luar, kepada keputusasaan mereka. Semua gambaran tersebut digunakan oleh Yesus untuk mengingatkan mereka yang menyebut saudara mereka bodoh (Mat 5:22), yang berdosa dengan mata dan tangan dan kaki mereka (Mat mereka tetapi tidak mengkhawatirkan jiwa mereka juga (Mat 5:29,30; Mrk 9:45,47), yang hanya Yohanes Paulus II, “Katekismus Gereja Katolik.” Asep Setiawan, “Perempuan Sebagai Mayoritas Penghuni Neraka Dan Kelemahannya Dari Sisi Akal Dan Agama (Sanggahan Atas Gugutan Kaum Feminisme Terhadap Hadis ’Misoginis’),” Tajdid 18, no. 1 (2019): 1–23. 9 Gunawan, Eksegese Kitab Suci Perjanjian Baru Sinoptik. 10 Delon Patrick F. Mussa and Marthinus Ngabalin, “Parosia Dalam Perspektif Jemaat Di Tesalonika Dan Implikasinya Bagi Gereja Masa Kini,” Didakso: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 1, no. 2 (2021): 89–96. 11 Berthold Anton Pareira, Alkitab Dan Ketanahan (Yogyakarta: Kanisius, 2009). 7 8 Copyright 2022, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 148 Mathias Jebaru Adon, Petrus: Konsep Neraka Dalam Pandangan Gereja... mengkhawatirkan tubuh 10:28; Luk 12:5), yang menjadi batu sandungan, terutama bagi anakanak kecil (Mat 18:9; Mrk 9:43), dan para ahli b dan orang Farisi (Mat 23:15, 33) serta warga dunia dalam teks tersebut maupun yang hidup saat ini akan hakikat dan panggilan hidup manusia yang berasal dari Allah. Allah menciptakan manusia bukan untuk jatuh dalam kebinasaan maut tetapi untuk hidup bersatu dengan Allah. Dan bahwa sejak awal mula Allah berkehendak agar setiap orang diselamatkan dan menikmati sukacita bersama-Nya dalam Kerajaannya yang kudus. Kasihnya yang besar dan penghargaan akan martabat manusia sehingga Allah membiarkan manusia untuk memilih keselamatan atau maut, tetapi kasih-Nya yang besar tidak membiarkan maut selamanya menguasai manusia sehingga melalui pelbagai cara ia berkehendak menyelamatkan manusia yang mencapai puncaknya ketika ia mengutus Putra-Nya yang tunggal agar semua orang diselamatkan.12 Namun banyak orang memahami neraka sebagai tempat yang sangat mengerikan dan tempat penghakiman dan penyiksaan yang luar biasa dimana penderitaan yang tiada tara berlangsung terus menerus. Seperti pandangan neraka sebagai api kekal dan siksaan kekal.13 Oleh karena itu dalam sudut pandang pengajaran Yesus, perlu memahami gambaran apokaliptik neraka bukan sebagai tempat penghakiman seperti gambaran api yang tak terpadamkan atau ulat yang tak dapat mati tetapi keterpisahan manusia dari kasih dan belas kasih Allah yang merupakan asal dan tujuan hidup manusia. Katekismus Gereja Katolik yang mengatakan:“Pertanyaan-pertanyaan b Suci dan Ajaran-ajaran Gereja tentang neraka merupakan seruan supaya manusia bertanggung jawab dalam menggunakan kebebasan mengingat nasib hidup kekal . Dan sekaligus semua itu merupakan seruan yang mendesak supaya bertobat” (No. 1036). Cara hidup ini tidak lain adalah hidup sebagai murid Yesus yang mengabdi Allah yang adalah keadilan dan sekaligus cinta kasih dengan melayani Anak-anak Allah.14 Penelitian tentang makna teologis neraka telah banyak dilakukan seperti penelitian yang dilakukan oleh Yonas Angwarmas dan Ignasius Refo dalam sebuah penelitian yang berjudul, Pandangan Popular tentang Kematian Umat katolik Paroki St. Yosef Rumahtiga. Penelitian ini dilakukan di kota Ambon. Hasil penelitian ini menemukan kemajemukan masyarakat Ambon mempengaruhi pemahaman umat Katolik tentang kematian termasuk mempengaruhi konsep mereka tentang neraka. Hal ini misalnya pandangan mereka tentang neraka sebagai suatu tempat api yang tak terpadamkan dan lubang ke mana orang-orang jahat dilemparkan.15 Penelitian tentang neraka juga dilakukan oleh Deri Susanto tahun 2019 dalam sebuah penelitian yang berjudul, Neraka Api Kekal dan Siksaan. Penelitian ini menemukan bahwa orang kristen umumnya memandang neraka sebagai tempat siksaan. Menurut Susanto hal ini berkembang sejak zaman Agustinus hingga saat ini yang mengajarkan orang berdosa yang meninggal dan tidak bertobat akan menderita hukuman api abadi dan siksaan kekal. Menurut Deri Susanto pandangan ini tidak sesuai dengan visi Albiah tentang cinta kasih Allah Dolfinus B Watopa and Zulkisar Pardede, “Pentingnya Pemahaman Eskatologi Menurut Matius 24 Bagi Jemaat GPdI Pisga,” EPIGRAPHE: Jurnal Teologi dan Pelayanan Kristiani 4, no. 2 (2020): 283–295. 13 Susanto, “Neraka Api Kekal Dan Siksaan.” 14 Yohanes Paulus II, “Katekismus Gereja Katolik.” 15 Yonas Angwarmas and Ignasius S.S. Refo, “Pandangan Popular Tentang Kematian Umat Katolik Paroki St. Yosef Rumahtiga,” Fides et Ratio (n.d.). 12 Copyright 2022, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 149 ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 5, No 2, Des 2022 dan keadilan ilahi. Secara spesifik hal ini bertentangan dengan visi kenabian dunia baru dalam Wahyu 21:4.16 Penelitian tentang neraka juga dilakukan oleh Indahsari et. al tahun 2021 di paroki St. Yoseph Palembang dengan narasumber penelitian Pastor Paroki Gereja St. Yoseph Palembang. Fokus penelitian ini pada api penyucian atau purgatory sebagai tempat penyucian orang-orang yang meninggal tidak bersahabat dengan Allah. Penelitian ini menemukan dalam Gereja Katolik walaupun api penyucian tidak terdapat dalam praktek liturgis tetapi memiliki ritus. Oleh karena api penyucian dalam Gereja Katolik adalah pengajaran dogmatis bukan praktek peribadatan.17 Ajaran tentang api penyucian ini diajarkan oleh Gereja Katolik sebagai dogma untuk menegaskan akan hakikat Allah sebagai ciptaan dan keadilan bagi setiap orang bahwa dosa manusia tidak dapat membatalkan kasih Allah yang Maha besar dan mulia.18 Berdasarkan hal tersebut tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pemahaman bahwa neraka bukanlah sebuah tempat penyiksaan dan penderitaan yang kekal melainkan situasi dimana orang merasa terpisah dari Allah sebagai sumber cinta; Mengkaji mengenai gambaran-gambaran api yang tak terpadamkan dan lubang neraka yang digunakan Yesus dalam pewartaan-Nya adalah gambaran bahasa apokaliptik yang digunakan Yesus untuk mengancam para pendengarnya dan pengikut-Nya jika mereka tidak mendengarkan warta keselamatan yang dibawa Yesus serta melakukan pertobatan. Maka mereka akan mengalami penderitaan dan siksaan yang berat sebagaimana gambaran tentang hukuman ghenna dalam masyarakat Yahudi. II. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan studi literatur kepustakaan mengenai pandangan Gereja Katolik tentang konsep neraka. Sumber data penelitian ini terdiri dari dua bagian utama yakni sumber primer dan sumber penelitian sekunder. Sumber primer berasal dari ajaran Magisterium Gereja Katolik yang terdapat dalam Katekismus Gereja katolik dan b Suci. Sumber data sekunder berasal dari jurnal-jurnal ilmiah yang meneliti tentang hidup setelah kematian dan ajaran tentang neraka. Proses pengerjaan penelitian dilakukan dengan pertamatama membaca ajaran Magisterium Gereja Katolik tentang neraka dan tafsiran teologis akan pewartaan Yesus tentang neraka. Hasil penelitian ini disarikan sehingga menghasilkan tesis bahwa Yesus pada dasarnya tidak mengajarkan sesuatu tentang neraka, pusat pengajaran Yesus ialah Kerajaan Allah. Namun dalam pengajaran-Nya tentang Kerajaan Allah, Yesus menggunakan gambaran bahasa apokaliptik tentang hukuman abadi yang menanti mereka yang tidak mendengarkan warta keselamatan yang dibawa-Nya. Tesis penelitian ini kemudian diperkuat dengan membaca sumber-sumber sekunder. Dengan kata lain, penelitian ini merupakan perpaduan antara hasil penelitian primer dan sekunder sehingga menghasilkan tesis penelitian ini yakni konsep neraka dalam pandangan Gereja Katolik. Oleh karena itu, penelitian memberikan gambaran pandangan Gereja Katolik tentang neraka bahwa neraka dalam pandangan Gereja Katolik bukanlah sebuah temapat penyiksaan melainkan gambaran Susanto, “Neraka Api Kekal Dan Siksaan.” Ade Destarahayu Indahsari, Nur Fitriyana, and Sofia Hayati, “Api Penyucian Dalam Pengajaran Gereja Katolik St. Yoseph Palembang,” JSA 4, no. 1 (2021): 38–45. 18 Walter Kasper, Belas Kasih Allah: Dasar Kitab Suci Dan Kunci Hidup Kristiani, ed. Karmelindo (Malang, 2016). 16 17 Copyright 2022, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 150 Mathias Jebaru Adon, Petrus: Konsep Neraka Dalam Pandangan Gereja... tentang keadaan jiwa-jiwa orang yang terpisah selama-lamanya dari belas kasih Allah. Jiwajiwa ini dikucilkan dari persekutuan dengan Allah dan Para Kudus yang merupakan tujuan akhir hidupnya. III. Pembahasan Neraka Dalam Dunia Perjanjian Baru Neraka berasal dari kata al-Nar yang berarti sesuatu yang membakar dan dipahami sebagai sesuatu yang sedang menyala serta ditangkap oleh indra.19 Dalam ajaran Islam neraka selalu dikaitkan dengan tempat penyiksaan orang-orang kafir (Qs. 2:24) dan pada tingkatan yang paling bawah diperuntukkan untuk orang-orang yang munafik di tempat itu tidak akan penolong bagi mereka (Qs. 4:145). Dalam dunia Perjanjian Baru Yesus menggunakan gambaran gehenna untuk mendesak para pendengar-Nya bertobat dan menerima pewartaanNya. Gehenna berasal dari bahasa Yunani. Dalam bahasa Aram kata gehenna ditulis gehinnam, yang berarti Lembah Hinnom. Lembah ini menunjuk kepada lembah yang membentang dari selatan ke barat daya Yerusalem. Lembah ini adalah tempat pemujaan berhala dewa-dewa Kanaan, Molok, dan Baal. Pemujaan ini dilakukan dengan mengorbankan anak-anak dengan melewatkan dan menyerahkan mereka melalui api di suatu tempat yang tinggi ke tangan dewa-dewa itu. Oleh karena itu, Gehenna disebut "lembah terkutuk" atau "jurang dalam" dan menggambarkan tempat orang-orang Yahudi yang jahat dihukum dengan api.20 Kengerian tempat ini berasal dari dunia Perjanjian Lama dimana tempat ini tampaknya menjadi lembah tempat Tuhan membunuh tentara Asyur pada masa Hizkia sebanyak 185.000 orang (Yes 30:31-33: 37). Yeremia memperkirakan tempat ini sebagai lembah pembantai bagi orang-orang Israel karena dosa-dosa mereka.21 Nubuat ini seolah-olah menggambarkan apa yang terjadi dengan orang-orang Yahudi pada tahun 70 M dimana Bait Allah dihancurkan oleh tentara Romawi, dan mayat-mayat orang Yahudi ditimbun dalam lembah ini. Itulah sebabnya namanya menjadi “topneth” yang berarti sebagai tempat yang diludahi. Situasi ini selanjutnya dipakai untuk menggambarkan pembantaian orang-orang berdosa pada akhir zaman (Yes 66:24).22 Oleh karena itu, lembah ini dipercaya sebagai tempat hukuman akhir sehingga disebut sebagai tempat terkutuk (1 Henokh 27:2, 3). Maka Yesus mengecam orangorang yang tidak percaya akan kabar baik keselamatan yang diwartakan-Nya dengan hukuman abadi di gehenna. Sebelum wafat dan kebangn-Nya Yesus mengajarkan bahwa pada akhir zaman orang benar dan orang fasik akan dipisahkan. Orang benar akan diselamatkan dan masuk dalam kehidupan abadi bersama bapa-Nya dalam Kerajaan Surga sedangkan orang fasik akan diturunkan ke dalam dunia orang mati yakni ke sheol (Mat. 25: 31-46).23 Itulah sebabnya sheol dipakai sebagai gambaran neraka karena selalu menunjuk kepada dunia orang mati (Kej. 19 Deddy Ilyas, “Antara Surga Dan Neraka : Menanti Kehidupan Nan Kekal Bermula,” Jia XIV, no. 2 (2013): 163–174. 20 Petrus Maria Handoko, Dicipta Untuk Dicinta: Antropologi Teologis Fundamental (Teologi Penciptaan) (Malang, 1996). 21 Gunawan, Eksegese Kitab Suci Perjanjian Baru Sinoptik. 22 Susanto, “Neraka Api Kekal Dan Siksaan.” 23 Simanjuntak and Munthe, “Tinjauan Dogmatis Tentang Sheol Tempat Orang Mati.” Copyright 2022, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 151 ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 5, No 2, Des 2022 37:35), tempat yang dan gelap (Ayb. 17:13.16) atau gambaran kerongkongan yang terus menganga yang tidak pernah puas menelan (Ams. 27:20; 30:15-16; Yes. 5:14; Ibr. 2:5).24 Dengan gambaran semacam ini dapatlah dimengerti mengapa Yesus untuk mengecam orangorang Yahudi dan para pendengar-Nya untuk bertobat dan percaya kepada kabari baik keselamatan Allah.25 Gambaran tentang neraka ini oleh penyair Italia kemudian diabadikan dan disempurnakan dengan menggambarkan neraka sebagai tempat yang penuh teror, di situ orang-orang fasik tergagap menggeliat dan berteriak meraung-raung dengan keras dalam darah yang sedang mendidih. Sedangkan orang-orang benar diselamatkan dan bersukacita di surga.26 Dengan kata lain, Yesus menggunakan gambaran bahasa apokaliptik neraka untuk menegaskan kasih Allah yang amat besar kepada manusia bahwa manusia pada hakikatnya bersekutu dengan Allah. Jadi gambaran tentang neraka bukanlah gambaran tentang tempat yang berisi penghakiman yang keji dan mengerikan. Melainkan gambaran itu dipakai Yesus untuk menyerukan pertobatan serta menjelaskan belas kasih Allah yang besar dan melimpah dengan akibat penolakan terhadap kasih-Nya.27 Hal ini menunjukkan bahwa di mata Allah manusia adalah ciptaan yang mulia yang sejak awal diciptakan dengan tujuan untuk bersama Allah menikmati sukacita surgawi. Maka ketika manusia jatuh dalam dosa, Allah melalui berbagai cara ingin menyelamatkan manusia dan rencana keselamatan itu mencapai puncaknya perutusan Putra-Nya untuk menghapus utang dosa manusia agar manusia kembali fitrahnya sebagai ciptaan yang diciptakan secitra dengan Allah. 28 Namun keselamatan itu sungguh terjadi ketika manusia sungguh percaya dan menaruh seluruh harapannya kepada Yesus sebagai satu-satunya jalan dan pintu keselamatan. Sebagaimana Yesus bersabda,” Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yoh. 14:6). Sebab dialah Allah yang menjelma menjadi manusia (Yoh. 1:1), utusan Allah untuk menyelamatkan manusia dari belenggu dosa (Yoh. 6:29) dan satu-satunya yang tahu jalan ke surga (Yoh. 14:1-3).29 Neraka Dalam Pandangan Gereja Katolik Dokumen-dokumen terpenting Magisterium Gereja Katolik mengajarkan neraka sebagai “Pernyataan Iman”. Katekismus Gereja Katolik (KGK no. 1035) mengatakan bahwa neraka itu ada dan berlangsung selama-lamanya. Di situ jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dalam keadaan dosa berat akan mengalami siksaan “api abadi”.30 Hal ini berkaitan erat dengan kebebasan manusia untuk menolak belas kasih dan kebenaran tentang Allah secara radikal sampai pada saat kematian. Sejak awal tidak ada seorang pun ditentukan oleh Sumihar Tamba, “Intermediate State : Studi Reflektif Tentang Kematian Dan Relevansinya Bagi Orang Percaya,” Asteros:Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 7, no. 1 (2019): 30–38. 25 Watopa and Pardede, “Pentingnya Pemahaman Eskatologi Menurut Matius 24 Bagi Jemaat GPdI Pisga.” 26 Susanto, “Neraka Api Kekal Dan Siksaan.” 27 Hendra Winarjo, “Apakah Allah Itu Kejam?: Sebuah Tinjauan Doktrin Dosa Dan Keadilan Allah Untuk Menjawab Tuduhan Kekejaman Allah Dalam Kejadian 19:26,” Consilium 20 (2019): 32–54. 28 Nemesius Pradipta, “Belas Kasih Allah Dalam Kematian Kristiani Menurut Karl Rahner,” Jurnal Teologi 08, no. 01 (2019): 47–64. 29 Federans Randa, “Karya Keselamatan Allah Dalam Yesus Kristus Sebagai Jaminan Manusia Bebas Dari Hukuman Kekal Allah,” Jurnal Teologi Logon Zoes (2020). 30 Yohanes Paulus II, “Katekismus Gereja Katolik.” 24 Copyright 2022, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 152 Mathias Jebaru Adon, Petrus: Konsep Neraka Dalam Pandangan Gereja... Allah untuk masuk neraka. KGK no. 1037 mengajarkan bahwa orang-orang yang melakukan pengingkaran secara sukarela terhadap Tuhan (dosa berat) yang berlangsung seumur hidupnya akan membawanya kepada siksaan neraka. Sebab penderitaan neraka yang sesungguhnya ialah keterpisahan abadi dengan Allah sebagai sumber dan asal kehidupan dan kebahagiaan manusia, karena dengan maksud itulah manusia diciptakan dengan Allah agar bersekutu dengan-Nya (KGK. 1035). Dengan kata lain, “api abadi” dan “cacing yang tidak dapat binasa” adalah gambaran keterpisahan manusia dari Allah. Gereja Katolik memisahkan antara kepedihan neraka sebagai “kepedihan kehilangan”, yakni terpisah dari Allah dan tidak memperoleh penglihatan yang membahagiakan dan “kepedihan pancaidra” penderitaan jasmani.31 Keterpisahan kekal dengan Allah sesungguhnya adalah penderitaan dan kepedihan yang sesungguhnya dari neraka yang digambarkan sebagai api abadi, cacing yang tak binasa sebagaimana yang digambarkan oleh Edwards teolog abad ke-18 yang berasal dari Amerika dan Charles Spurgeon pada abad-19 dari Inggris yang menggambarkan hukuman neraka secara mengerikan seperti tungku api yang sedang mengamuk yang berisi tubuh dan jiwa orang fasik atau seperti tubuh manusia yang terbaring terkena penyakit abses dimana setiap bagian tubuhnya dipenuhi dengan siksaan. Di situ Iblis jahat memainkan lagu jahatnya dari ratapan yang tak terkatakan.32 Gereja menggunakan gambaran tersebut untuk mengingatkan mereka yang menolak Allah secara sadar akan mendapat hukuman api abadi neraka. St. Alfonsus de Liguori mengatakan, “Justru di atas ranjang, mereka yang mati dalam penyesalan yang dosa mulai mengalami semacam prapenderitaan dari neraka-mendalam, ketakutan dan putus asa - dan begitulah, mereka yang meninggal dalam cinta akan Allah, dalam hati mereka mulai mengalami damai, yang akan mereka nikmati di surga sampai selama-lamanya." KGK 1036 menegaskan hal tersebut dengan mengatakan, “Pernyataan-pernyataan b Suci dan ajaran Gereja mengenai neraka merupakan peringatan kepada manusia, supaya mempergunakan kebebasannya secara bertanggung jawab dalam hubungannya dengan nasib abadinya. Semua itu juga merupakan himbauan yang mendesak supaya bertobat: "Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kebinasaan”.33 Singkatnya, dokumen-dokumen ini menegaskan bahwa neraka itu ada, bahwa mereka yang meninggal dunia dalam dosa berat langsung masuk neraka, dan hukuman di neraka sebanding dengan dosa-dosa mereka. Berkaitan dengan neraka sebagai tempat, Katekismus Gereja Katolik memberikan ajaran tentang neraka dalam menerangkannya dalam kaitan dengan kebebasan manusia: “Meninggal dunia dalam dosa berat tanpa menyesal dan menerima cinta Allah yang penuh belas kasih berarti tetap terpisah dari Allah untuk selamanya menurut pilihan bebas sendiri. Keadaan terkucil dari persatuan dengan Allah dan orang-orang kudus inilah yang disebut “neraka” (KGK no. 1033). Ajaran Gereja tentang kenyataan dan kekekalan neraka pada dasarnya hendak mengatakan bahwa mungkin saja beberapa orang, dari kebebasan mereka sendiri, dapat memilih menolak tawaran persahabatan dan cinta kasih dari Allah dan bahwa keputusan ini akan menjadi definitif dan final dalam Irfan Afandi, “Demythologizing Neraka Huthomah,” Jurnal Darussalam: Jurnal Pendidikan, Komunikasi dan Pemikiran Hukum Islam VII, no. 2 (2016): 425–440. 32 Susanto, “Neraka Api Kekal Dan Siksaan.” 33 Yohanes Paulus II, “Katekismus Gereja Katolik.” 31 Copyright 2022, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 153 ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 5, No 2, Des 2022 proses meninggal dan kematian.34 Meski demikian, Gereja tidak mengatakan apakah seseorang, pada kenyataannya, telah atau akan dihukum di neraka ataukah tidak. Mengingat kengerian hukuman neraka Gereja dalam doa hariannya serta dalam perayaan Ekaristi memohon belas kasih Allah supaya "Jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat" (2 Ptr 3:9): "Terimalah dengan rela persembahan umat-Mu. Bimbinglah jalan hidup kami dan selamatkanlah kami dari hukuman abadi agar tetap menjadi umat kesayangan-Mu”.35 Sebab kehadiran dosa dalam diri manusia membuat manusia kehilangan kekudusan dan kemuliaan di hadapan Allah. Akibatnya manusia tidak dapat berkomunikasi dan bersatu dengan Allah. Kejatuhan manusia dalam lumpur dosa membuat manusia dibelenggu oleh dosa. Dalam situasi ini Allah berinisiatif datang untuk menyelamatkan manusia yakni dengan mengutus Putra-Nya yang tunggal untuk menjadi silih atas dosa manusia.36 Rasul Paulus mengungkapkan hal ini secara indah dengan mengatakan, “Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa” (Rm. 5:12). Tetapi Kasih karunia Allah menurut Paulus jauh lebih besar dari dosa dan kuasa maut yang dilimpahkan kepada semua orang yakni Yesus Kristus (Rm. 5:15). Mengingat betapa besarnya kasih karunia yang dilimpahkan Allah tersebut, Gereja dalam persekutuan Para Kudus “Menyerahkan orang-orang yang telah meninggal kepada belas kasihan Allah serta berdoa untuk mereka, terutama dalam kurban Ekaristi (KGK 1055). Katekismus Gereja Katolik no. 1861 mengurai demensi kerahiman Ilahi tersebut dengan mengatakan, “Sama seperti kasih, dosa adalah satu kemungkinan radikal yang dapat dipilih manusia dalam kebebasan penuh, yang dapat mengakibatkan kehilangan kebajikan ilahi, kasih, dan rahmat pengudusan”. Dengan kata lain, jika manusia tidak memperbaiki dan menyesali perbuatannya yang bertentangan dengan Allah melalui penyesalan dan pengampunan ilahi, maka manusia akan mengalami pengucilan dari persatuan dengan Kristus. Hal itu berarti manusia mengalami kematian abadi di dalam neraka.37 Dengan kata lain, penyiksaan dan penghukuman terhadap neraka bukan semata-mata karena hukuman neraka yang kejam dan mengerikan tetapi lebih-lebih karena keterpisahan manusia dengan Allah selama-lamanya.38 Penderitaan itu semakin menyakitkan karena pada saat budi dan pikiran manusia terbuka dalam memahami misteri kebaikan dan kasih Allah yang besar. Kesadaran itulah yang menyebabkan penderitaan yang mengerikan.39 Sebab dengan kebebasan manusia dapat memutuskan pilihan untuk menerima rahmat Allah atau menentangnya secara radikal. Pilihan tersebut akan berlaku secara defenitif dan tidak dapat ditarik kembali. Namun Gereja tetap sadar bahwa, “Meskipun manusia dapat menilai bahwa satu perbuatan dari dirinya sendiri merupakan pelanggaran berat, namun harus menyerahkan penilaian mengenai manusia kepada keadilan dan kerahiman Allah” (KGK.1861). 34 Phan, 101 Tanya Jawab Tentang Kematian Dan Kehidupan Kekal. Yohanes Paulus II, “Katekismus Gereja Katolik.” 36 Yosep Pranadi, “Kematian Dan Kehidupan Abadi: Sebuah Eksplorasi Dalam Perspektif Gereja Katolik,” Melintas 34, no. 3 (2018): 248–271. 37 Yohanes Paulus II, “Katekismus Gereja Katolik.” 38 Pradipta, “Belas Kasih Allah Dalam Kematian Kristiani Menurut Karl Rahner.” 39 F. X. Hadisumarta, “Kerahiman Allah Menurut Maria,” in Kerahiman Allah, ed. Edison R. L Tinambunan (Malang: Karmelindo, 2017). 35 Copyright 2022, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 154 Mathias Jebaru Adon, Petrus: Konsep Neraka Dalam Pandangan Gereja... Beberapa Persoalan Berkaitan Dengan Ajaran Tentang Neraka Pengajaran tentang neraka sebagai suatu hukuman kekal dalam kenyataannya telah menimbulkan berbagai kesulitan-kesulitan meskipun ajaran ini untuk menyadarkan manusia akan hakikat dirinya sebagai makhluk yang bersekutu dengan Allah dan yang tidak dapat hidup tanpa belas kasih Allah. Namun dalam kenyataannya ajaran tentang neraka membawa persoalan tersendiri tidak hanya bagi orang yang tak beriman tetapi juga untuk orang yang beriman.40 Sebab ajaran tentang neraka akan mengubah pandangan tentang Allah yang penuh belas kasihan menjadi seorang penyiksa yang sadis dan kejam? Bagaimana dapat dipahami, Allah yang di satu sisi penuh belas kasihan kepada setiap ciptaan-Nya namun di sisi lain seorang yang kecam dan penyiksa tanpa ampun? Dapatkah memuji dan memuliakan Allah sebagai seorang pendendam yang menyiksa orang berdosa tanpa ampun dan berlangsung selama-lamanya? Pertanyaan-pertanyaan ini telah menimbulkan perdebatan diantara orang beriman dan ahli teologi selama berabad-abad.41 Ajaran tentang kekekalan neraka telah muncul sejak abad ke-3 dan menimbulkan berbagai kesulitan. Maka tidaklah heran jika dalam perjalanan sejarah terdapat berbagai ajaran untuk menjelaskan keberatan-keberatan tersebut. Misalnya untuk menjawab keberatan atas hukuman kekal neraka dan sifat Allah yang berbelas kasih kepada setiap makhluk muncullah ajaran tentang reinkarnasi. Dimana setiap orang pada akhirnya mampu mencapai pembebasan. Dengan kata lain, ajaran reinkarnasi ingin menjawab keberatan tentang keberadaan Allah yang dalam cinta dan belas kasih yang tak terbatas pasti menghendaki agar semua orang diselamatkan (1 Tim 2:3-4) dan tidak membiarkan setiap orang terpisah dari pada-Nya secara “kekal”, tanpa kemungkinan sama sekali untuk kembali kepada-Nya. Maka dengan ajaran tentang reinkarnasi akan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk selamanya tidak akan terpisah dengan Allah.42 Gagasan reinkarnasi tersebut didukung oleh prinsip keadilan yang melihat, Allah macam apakah akan “memperbolehkan” hukuman kekal, yang rupanya bersifat balas dendam belaka karena hukuman itu tidak akan pernah menghasilkan perbaikan moral dalam diri terhukum? Sebab sistem keadilan tidak sempurna jika penjahat-penjahat yang terhukum tidak memperoleh kesempatan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya.43 Selain itu, tentu akan bahagia di surga jika orang-orang yang cintai, saudara-saudari terpisah selama-lamanya dan menderita siksaan kekal api neraka dan kepedihan seburuk-buruknya secara kekal. Dalam Gereja Katolik gagasan tersebut ditolak dan tentang sebab reinkarnasi mengajarkan bahwa apa yang dialami merupakan akibat dari baik-buruknya perbuatan masa sebelumnya. Selain itu, proses kehidupan ini dilihat sebagai seuatu penderitaan dan penderitaan ini hanya dapat dilepaskan ketika seseorang melepaskan semuanya dari dunia ini dan mencapai pencerahan (enlightment).44 Di samping itu, penjelmaan dari satu makhluk hidup ke makhluk hidup yang Mathias Jebaru Adon, “Peran Komunitas Kristen Sebagai Jembatan Kasih Di Tengah Penderitaan Bangsa Indonesia,” VOX DEI: Jurnal Teologi dan Pastoral 2, no. 1 (2021): 63–83. 41 Susanto, “Neraka Api Kekal Dan Siksaan.” 42 Phan, 101 Tanya Jawab Tentang Kematian Dan Kehidupan Kekal. 43 Henricus Pidyarto Gunawan, “Kerahiman Allah Menurut Alkitab,” in Kerahiman Allah, ed. Edison R.L. Tinambunan (Malang: Karmelindo, 2017). 44 Elisa Tenggana, “Kritik Terhadap Eksistensi Manusia Dalam Konsep Reinkarnasi Buddhisme,” Journal of Chemical Information and Modeling 53, no. 9 (2013): 1689–1699. 40 Copyright 2022, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 155 ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 5, No 2, Des 2022 lain dalam bentuk reinkarnasi menyebabkan tidak adanya perbedaan antara manusia dan makhluk hidup yang lain.45 Maka reinkarnasi tidak kompatibel dengan ajaran kristiani, pertama-tama karena ajaran itu menolak rencana keselamatan Allah yang dinyatakan dalam Kristus. Selanjutnya ajaran tentang reinkarnasi juga tidak sesuai dengan akal sehat, sebab bahkan binatang yang paling rendah dari manusia dapat lahir kembali menjadi manusia. Itulah sebabnya ajaran tentang reinkarnasi bertentangan dengan konsep neraka. Keberatan-keberatan inilah yang mendorong Origenes dan Bapa-Bapa Gereja yang lain seperti Misalnya Gregorius dari Nyssa (kira-kira 330-kira-kira 395), Gregorius dari Nazianze (329-389), dan Ambrosius (kira- kira 339-397) untuk mengembangkan teori keselamatan semesta (universal) atau apocatastasis yang berarti pemulihan. 46 Menurut teori ini, Rahmat Allah akhirnya akan berjaya dalam semua makhluk berakal budi, termasuk rohroh jahat, dengan menggerakkan mereka untuk menerima cinta dan belas kasih Allah.47 Namun gagasan yang dikembangkan oleh Origenes dan para pengikutnya dikutuk oleh suatu sinode di Konstantinopel pada tahun 543, dan pengutukan itu secara resmi disahkan dalam konsili ekumenis kelima yang diadakan di kota itu sepuluh tahun kemudian yang mengatakan: “Jika ada orang yang berkata atau berpendirian bahwa hukuman terhadap setan-setan dan orang-orang fasik itu bersifat sementara, dan akan berakhir pada suatu waktu, atau bahwa akan ada pemulihan sepenuhnya (apocatastasis) setan-setan serta orang-orang fasik adalah sesat, anathema sit”.48 KGK 1013 mengatakan bahwa kematian adalah titik akhir peziarahan manusia di dunia titik akhir dari masa rahmat dan belas kasihan, yang Allah berikan kepadanya, supaya melewati kehidupan di dunia ini sesuai rencana Allah dan dengan demikian menentukan nasibnya yang terakhir. “Apabila jalan hidup duniawi yang satu-satunya sudah berakhir (Lumen Gentium 48), tidak kembali lagi, untuk hidup beberapa kali lagi di dunia. Manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja setelah itu dihakimi” (Ibr. 9:27).49 Apa yang dimaksudkan oleh Magisterium dengan keputusannya itu ialah bahwa tidak diperbolehkan menyatakan dengan kepastian dogmatis bahwa semua orang akan diselamatkan dan harus bersungguh-sungguh memperhitungkan kemungkinan riil bahwa sendiri dapat saja hilang, tidak selamat, dan itu untuk selama-lamanya. Dasar terdalam ajaran ini ialah ajaran b Suci dan sifat kodrati kebebasan manusia: pilihan-pilihan yang diambil secara bebas oleh manusia, tidak dapat diubah pada waktu mati.50 Jika demikian, apa yang dapat dikatakan tentang keselamatan bagi semua orang. Menurut Pater C. Pan meskipun tidak dapat menyatakan secara pasti orang berdosa, namun sebagai orang kristen pengharapan harus bersifat universal lingkupny.51 Artinya dalam pengharapan yakin bahwa semua orang diselamatkan. Katekismus Gereja Katolik no. 633 mengajarkan bahwa bukti paling kuat bahwa Kristus solider dengan semua orang berdosa Bikshu Suddmasilo, “Konsep Filosofis Reinkarnasi Dan Argumentasinya,” Extension Course Filsafat, no. November (2015): 1–9. 46 Phan, 101 Tanya Jawab Tentang Kematian Dan Kehidupan Kekal. 47 Handoko, Dicipta Untuk Dicinta: Antropologi Teologis Fundamental (Teologi Penciptaan). 48 Phan, 101 Tanya Jawab Tentang Kematian Dan Kehidupan Kekal. 49 Yohanes Paulus II, “Katekismus Gereja Katolik.” 50 Lumen Gentium, “Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium,” in Seri Dokumen Gereja No. 7, ed. R. Hardawiryana (Jakarta: Depertemen Dokumentasi Dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia, 1990), 1– 116. 51 Phan, 101 Tanya Jawab Tentang Kematian Dan Kehidupan Kekal. 45 Copyright 2022, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 156 Mathias Jebaru Adon, Petrus: Konsep Neraka Dalam Pandangan Gereja... ialah ketika Kristus masuk dalam perhentian orang mati (Hades atau Sheol karena tertahan di sana) pada misteri Sabtu Suci. Tetapi itu tidak berarti bahwa semua mereka diselamatkan. b Suci menyampaikan kepada dalam perumpamaan tentang Lasarus yang miskin, yang diterima "dalam pangkuan Abraham". "Jiwa orang jujur, yang menantikan Penebus dalam pangkuan Abraham, dibebaskan Kristus Tuhan waktu Ia turun ke dunia orang mati". Kisah ini menggambarkan kedaan neraka dan jiwa-jiwa yang menunggu kedatangan Sang juru selamat yang datang membebaskan orang yang berada dalam penantian.52 Dengan turun ke dunia orang mati Yesus menunjukkan solidaritas-Nya yang sepenuhpenuhnya dengan orang-orang berdosa dalam Kematian. Ia mengidentifikasikan diri seutuhnya dengan orang-orang berdosa. Meskipun la tak berdosa, la mati sebagai orang berdosa, ditinggalkan oleh Allah. Meskipun la adalah Anak Allah, la alami “neraka”, yaitu keadaan ditinggalkan Allah Bapa-Nya dengan cara yang tak mungkin bagi manusia lain mana pun. Namun, lebih dari itu sebagai orang yang “turun ke neraka”, Yesus adalah lambang bahwa Allah tidak mau meninggalkan orang-orang berdosa, bahkan di tengah-tengah tempat di mana, menurut definisi, Allah tidak dapat berada.53 Kesediaan Allah turun ke neraka sendiri untuk ada bersama dengan orang-orang berdosa itulah yang, menurut von Balthasar, akan meluluhkan kekerasan hati dan perlawanan orang-orang berdosa, bukan dengan menekan dan memaksa kebebasan manusia, melainkan dengan memikat dan membujuk- Nya untuk menyambut cinta kasih Allah.54 Katekismus mengajarkan dengan turun ke dunia orang yang telah mati, "Orang-orang mati akan mendengar suara Anak Allah ... dan mereka yang mendengar-Nya, akan hidup" (Yoh 5:25). Yesus, adalah "Pemimpin kehidupan" (Kis 3:15), yang "Memusnahkan iblis yang berkuasa atas maut, karena dengan jalan demikian Ia membebaskan mereka yang seumur hidupnya berada dalam perhambaan oleh karena takutnya kepada maut" (Ibr 2:14-15). Kristus yang telah bangkit, sekarang memegang di tangan-Nya "Segala kunci maut dan kerajaan maut" (Why 1:18), dan "dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi" (Flp 2:10) (KGK 636). 55 Oleh karena itu, tidak ada suatu apa pun yang menghalangi seorang Kristen untuk mengharapkan (bukan mengetahui) bahwa dalam kenyataannya nanti keadaan terakhir setiap orang, sebagai buah yang dihasilkan oleh kebebasannya dengan daya kuasa rahmat Allah yang membuat segala yang jahat menjadi tak berarti dan juga tertebus dengan sedemikian rupa sehingga neraka tidak akan ada pada akhir-Nya. Orang-orang Kristen dapat mempunyai pengharapan ini, pertama-tama untuk orang-orang lain dan dengan demikian untuk diri mereka sendiri jika di dalam sejarah kebebasan mereka, mereka secara bersungguh-sungguh memikirkan bertobat dan percaya akan kabar baik keselamatan.56 Melalui pengharapan ini orang kristen diajak untuk mengharapkan keselamatan kekal bukan hanya untuk dirinya tetapi juga untuk orang lain. Itulah identitas hidup orang kristiani yang bersumber dari Kristus yang mati bagi semua orang di segala abad. Karena Kristus Yohanes Paulus II, “Katekismus Gereja Katolik.” Surip Stanislaus and R Oktavianus Saragih, “Belas Kasih Dan Keadilan Allah (Kel 34: 5-7),” Logos, Jurnal Filsafat-Teologi 17, no. 2 (2020): 5–7. 54 Phan, 101 Tanya Jawab Tentang Kematian Dan Kehidupan Kekal. 55 Yohanes Paulus II, “Katekismus Gereja Katolik.” 56 Mathias Jebaru Adon, “The Eucharist and the Spirituality of the Catholics in the Public Space,” PASCA: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen 18, no. 1 (2022): 12–27. 52 53 Copyright 2022, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 157 ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 5, No 2, Des 2022 solider dengan semua orang berdosa, maka pengharapan Kristen harus bersifat semesta (universal) lingkupnya.57 Katekismus mengatakan, “inilah tahap terakhir perutusan Yesus sebagai Mesias: penyebarluasan karya penebusan kepada semua orang dari segala waktu dan tempat, karena penebusan diperuntukkan bagi semua orang benar” (KGK 634). Solider dengan semua orang berdosa itulah apa yang disebut bagi von Balthasar, bukti paling kuat bahwa Kristen-Nya “Misteri Sabtu Suci”.58 Ia mengatakan bahwa Sabtu Suci tidak mewujudkan turunnya Kristus yang Jaya ke dalam Dunia bawah (Sheol atau Hades), tetapi solidaritas-Nya yang sepenuh-penuhnya dengan orang-orang berdosa dalam kematian. Namun pengharapan seperti itu tidak dapat hanya berbentuk kemauan setengahsetengah atau impian sentimental hati yang berdarah. Pengharapan seperti itu merupakan perintah di mana harus bertindak dengan harapan bahwa semua orang akan diselamatkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa neraka bukanlah sebuah tempat penyiksaan yang paling ngeri sebagai hukuman terhadap dosa manusia melainkan sebuah gambaran apokaliptik tentang situasi dan kondisi jiwa-jiwa yang terpisah selamanya dengan Allah sang sumber dan tujuan hidup manusia. Karena mendesaknya pertobatan itu sehingga Yesus menggunakan gaya bahasa apokaliptik agar pendengarnya percaya kepada Injil yang diwartakan IV. Kesimpulan Pada hakikatnya, Allah menghendaki agar semu orang diselamatkan dan bersatu dengan Allah Sang Sumber Hidup dan kebahagiaan manusia. Dengan maksud inilah, Allah melalui pelbagai cara menyelamatkan manusia. Salah satunya melalui pengajaran tentang Kerajaan Surga. Karena itu, da menyampaikan kabar baik keselamatan itu, Yesus mengancam orangorang yang tidak mau mendengarkan pewartaan-Nya dengan gambaran neraka dalam dunia apokaliptik yang berkembang pada zaman itu. Itulah sebabnya Yesus menggunakan gambaran neraka seperti gambaran hukum dan siksaan gehenna untuk mempertegas hakikat manusia sebagai makhluk yang bersekutu dengan Allah. Sebab penolakan terhadap cinta dan belas kasih Allah akan membawa manusia pada pemisahan yang kekal dengan Allah dimana manusia tidak dapat merasakan kebaikan Allah. Karena itu, neraka sejatinya bukanlah sebuah tempat penyiksaan kekal, api tak terpadamkan melainkan situasi dan keadaan dimana manusia tidak dapat merasakan kebaikan dan belas kasih Allah. Sebab belas kasih Allah diperuntukkan bagi keselamatan semua orang di segala abad. Referensi Adon, Mathias Jebaru. “Peran Komunitas Kristen Sebagai Jembatan Kasih Di Tengah Penderitaan Bangsa Indonesia.” VOX DEI: Jurnal Teologi dan Pastoral 2, no. 1 (2021): 63–83. Warseto Freddy Sihombing, “Konsep Keselamatan Universalisme,” Jurnal Pionir LPPM Universitas Asahan 7, no. 3 (2020): 7–22. 58 Phan, 101 Tanya Jawab Tentang Kematian Dan Kehidupan Kekal. 57 Copyright 2022, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 158 Mathias Jebaru Adon, Petrus: Konsep Neraka Dalam Pandangan Gereja... ———. “The Eucharist and the Spirituality of the Catholics in the Public Space.” PASCA: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen 18, no. 1 (2022): 12–27. Afandi, Irfan. “Demythologizing Neraka Huthomah.” Jurnal Darussalam: Jurnal Pendidikan, Komunikasi dan Pemikiran Hukum Islam VII, no. 2 (2016): 425–440. Angwarmas, Yonas, and Ignasius S.S. Refo. “Pandangan Popular Tentang Kematian Umat Katolik Paroki St. Yosef Rumahtiga.” Fides et Ratio (n.d.). Gulo, Renihati. “Belas Kasih Adalah Kunci Untuk Mengampuni.” BONAFIDE:Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 2 (2021): 23–35. Gunawan, Henricus Pidyarto. Eksegese b Suci Perjanjian Baru Sinoptik. Malang, 2002. ———. “Kerahiman Allah Menurut Alb.” In Kerahiman Allah, edited by Edison R.L. Tinambunan. Malang: Karmelindo, 2017. Hadisumarta, F. X. “Kerahiman Allah Menurut Maria.” In Kerahiman Allah, edited by Edison R. L Tinambunan. Malang: Karmelindo, 2017. Handoko, Petrus Maria. Dicipta Untuk Dicinta: Antropologi Teologis Fundamental (Teologi Penciptaan). Malang, 1996. Ilyas, Deddy. “Antara Surga Dan Neraka : Menanti Kehidupan Nan Kekal Bermula.” Jia XIV, no. 2 (2013): 163–174. Indahsari, Ade Destarahayu, Nur Fitriyana, and Sofia Hayati. “Api Penyucian Dalam Pengajaran Gereja Katolik St. Yoseph Palembang.” JSA 4, no. 1 (2021): 38–45. Jaringan, Yohanes Hasiholan Tampubolon. “Sumbangan Teks Apokaliptik Terhadap Gerakan Sosial Politik Dalam Gereja.” Jurnal Ledalero 18, no. 2 (2019). Kasper, Walter. Belas Kasih Allah: Dasar b Suci Dan Kunci Hidup Kristiani. Edited by Karmelindo. Malang, 2016. Lumen Gentium. “Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium.” In Seri Dokumen Gereja No. 7, edited by R. Hardawiryana, 1–116. Jakarta: Depertemen Dokumentasi Dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia, 1990. Mussa, Delon Patrick F., and Marthinus Ngabalin. “Parosia Dalam Perspektif Jemaat Di Tesalonika Dan Implikasinya Bagi Gereja Masa Kini.” Didakso: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 1, no. 2 (2021): 89–96. Pareira, Berthold Anton. Alb Dan Ketanahan. Yogyakarta: Kanisius, 2009. Paus Fransiskus. “Misericordiae Vultus Wajah Kerahiman Allah.” In Bulla Pemberitahuan Yubileum Luar Biasa Kerahiman Paus Fransiskus 11 April 2015. 99th ed. Jakarta: Depertemen Dokumentasi Dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia, 2015. Phan, Peter C. 101 Tanya Jawab Tentang Kematian Dan Kehidupan Kekal. 05 ed. Yogyakarta: Kanisius, 2005. Pradipta, Nemesius. “Belas Kasih Allah Dalam Kematian Kristiani Menurut Karl Rahner.” Jurnal Teologi 08, no. 01 (2019): 47–64. Pranadi, Yosep. “Kematian Dan Kehidupan Abadi: Sebuah Eksplorasi Dalam Perspektif Gereja Katolik.” Melintas 34, no. 3 (2018): 248–271. Randa, Federans. “Karya Keselamatan Allah Dalam Yesus Kristus Sebagai Jaminan Manusia Bebas Dari Hukuman Kekal Allah.” Jurnal Teologi Logon Zoes (2020). Setiawan, Asep. “Perempuan Sebagai Mayoritas Penghuni Neraka Dan Kelemahannya Dari Sisi Akal Dan Agama (Sanggahan Atas Gugutan Kaum Feminisme Terhadap Hadis ’Misoginis’).” Tajdid 18, no. 1 (2019): 1–23. Sihombing, Warseto Freddy. “Konsep Keselamatan Universalisme.” Jurnal Pionir LPPM Universitas Asahan 7, no. 3 (2020): 7–22. Simanjuntak, Mira Permata Sari, and Pardomuan Munthe. “Tinjauan Dogmatis Tentang Sheol Tempat Orang Mati.” Jurnal Sabda Akademika 1, no. 2 (2021): 63–71. Stanislaus, Surip, and R Oktavianus Saragih. “Belas Kasih Dan Keadilan Allah (Kel 34: 57).” Logos, Jurnal Filsafat-Teologi 17, no. 2 (2020): 5–7. Copyright 2022, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 159 ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 5, No 2, Des 2022 Suddmasilo, Bikshu. “Konsep Filosofis Reinkarnasi Dan Argumentasinya.” Extension Course Filsafat, no. November (2015): 1–9. Susanto, Deri. “Neraka Api Kekal Dan Siksaan.” JPP-Danum Pambelum 15, no. 2 (2019). Tamba, Sumihar. “Intermediate State : Studi Reflektif Tentang Kematian Dan Relevansinya Bagi Orang Percaya.” Asteros:Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 7, no. 1 (2019): 30–38. Tenggana, Elisa. “Kritik Terhadap Eksistensi Manusia Dalam Konsep Reinkarnasi Buddhisme.” Journal of Chemical Information and Modeling 53, no. 9 (2013): 1689– 1699. Tobing, David hizki, Yohanes Kartika Herdiyanto, and Dewi Puri Astiti. “Bahan Ajar Metode Penelitian Kualitatif.” Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udaya (2016): 42. https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/870ba33936829bb37ecd8f62f8 514ba7.pdf. Watopa, Dolfinus B, and Zulkisar Pardede. “Pentingnya Pemahaman Eskatologi Menurut Matius 24 Bagi Jemaat GPdI Pisga.” EPIGRAPHE: Jurnal Teologi dan Pelayanan Kristiani 4, no. 2 (2020): 283–295. Winarjo, Hendra. “Apakah Allah Itu Kejam?: Sebuah Tinjauan Doktrin Dosa Dan Keadilan Allah Untuk Menjawab Tuduhan Kekejaman Allah Dalam Kejadian 19:26.” Consilium 20 (2019): 32–54. Yohanes Paulus II. “Katekismus Gereja Katolik.” Konstitusi Apostolik FIidei Depositum. Koferensi Waligereja Indonesia, 1992. Zaluchu, Sonny Eli. “Strategi Penelitian Kualitatif Dan Kuantitatif Di Dalam Penelitian Agama.” Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat 4, no. 1 (2020): 28. Copyright 2022, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 160