ILLUMINATE
Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani
Vol 5, No 2, Des 2022 (145-159)
ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online)
http://www.sttbaptis-medan.ac.id/e-journal/index.php/illuminate
Konsep Neraka Dalam Pandangan Gereja Katolik
Mathias Jebaru Adon, Petrus Maria Handoko
Sekolah Tinggi Teologi Widya Sasana Malang
[email protected]
Abstract
This research focuses on the teachings of the Catholic Church about hell. The Catholic Church
teaches that the ultimate punishment in hell is eternal separation from God (KGK 1035). Separation
from Allah causes humans to lose sight of happiness with Allah. So this research aims to explain that
hell is not a place. The description of hell in the Bible is the apocalyptic language used by Jesus as a
warning to people who do not want to ignore His message and do not want to make life changes that
are in line with the message of salvation. This research is motivated by the emergence of teachings
that teach that hell is a scary, cruel, and torturous place. As a result, the image of a God who is
compassionate and willing to save all people goes unnoticed. Whereas the description of hell aims to
emphasize human nature that comes from God. The research method used was a literature study that
found that Jesus never taught about hell as a place of terrible torture. Jesus' teachings centered on
the Kingdom of God. The apocalyptic images of hell that Jesus used were meant to urge His listeners
to repent and believe in the good news of salvation.
Keywords: Hell, Repentance, Mercy of God, Salvation, Eternal Life
Abstrak
Penelitian ini berfokus pada ajaran Gereja Katolik tentang neraka. Gereja Katolik mengajarkan
hukuman utama di neraka adalah terpisah secara kekal dari Allah (KGK. 1035). Keterpisahan dengan
Allah menyebabkan manusia kehilangan penglihatan yang membahagiakan dengan Allah. Maka
penelitian ini bertujuan menjelaskan bahwa neraka bukanlah sebuah tempat. Gambaran tentang
neraka dalam Injil merupakan bahasa apokaliptik yang digunakan Yesus sebagai peringatan kepada
orang-orang yang tidak mau menghiraukan amanat-Nya serta tidak mau mengadakan perubahan
hidup yang selaras dengan warta keselamatan. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh munculnya ajaranajaran yang mengajarkan bahwa neraka adalah sebuah tempat yang menakutkan, kejam dan penuh
siksaan. Akibatnya, gambaran tentang Allah yang berbelas kasih dan berkehendak menyelamatkan
semua orang tidak diperhatikan. Padahal gambaran tentang neraka bertujuan untuk menegaskan
hakikat manusia yang berasal dari Allah. Metode penelitian yang digunakan ialah studi literatur
kepustakaan yang menemukan bahwa Yesus tidak pernah mengajarkan tentang neraka sebagai
tempat penyiksaan yang mengerikan. Pengajaran Yesus berpusat pada Kerajaan Allah. Gambarangambaran apokaliptik neraka yang digunakan Yesus bertujuan mendesak para pendengar-Nya untuk
bertobat dan percaya kepada kabar baik keselamatan.
Kata Kunci: Neraka, Pertobatan, Belas kasih Allah, Keselamatan, Hidup kekal.
I. Pendahuluan
Pada dasarnya Allah adalah kasih. Kasih-Nya yang besar kepada manusia diwujudkan
dengan mengutus Putera-Nya yang tunggal untuk menjadi tebusan umat manusia.1 Yesus
menunjukkan kasih-Nya dengan memberikan nyawa-Nya sendiri untuk para sahabat-Nya,
Paus Fransiskus, “Misericordiae Vultus Wajah Kerahiman Allah,” in Bulla Pemberitahuan Yubileum
Luar Biasa Kerahiman Paus Fransiskus 11 April 2015, 99th ed. (Jakarta: Depertemen Dokumentasi Dan
Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia, 2015).
1
Copyright 2022, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 145
Mathias Jebaru Adon, Petrus: Konsep Neraka Dalam Pandangan Gereja...
“Tidak ada kasih yang lebih besar daripada seorang yang memberikan nyawa-Nya untuk
sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13). Demikianlah, “Allah mengaruniakan Anak-Nya yang
tunggal supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan beroleh hidup
yang kekal” (Yoh 3:16). Karena itu, sejak awal penciptaan rencana keselamatan manusia telah
ada dalam pikiran Allah dan karya keselamatan itu mencapai puncaknya dalam pengurbanan
diri Putranya yang tunggal di atas kayu salib.2 Begitu besar kasih dan kemurahan hati Allah
itu sehingga Yesus harus berjalan dari kota ke kota dan dari desa ke desa agar semua orang
bertobat dan menerima keselamatan. Demi keselamatan itu Ia harus menderita dan wafat
secara sadis di salib.3
Gambaran tentang neraka dalam bahasa apokaliptik juga seringkali digunakan dalam
dunia Perjanjian Lama. Kata sheol yang digunakan untuk melukiskan neraka misalnya
digunakan untuk menunjukkan kematian dan tempat yang gelap, di situ semua orang mati
dikumpulkan. Orang Israel kuno percaya bahwa sheol berada di tempat bumi yang paling
bawah. (Ams. 9:2 Bil. 6:30-33,) dan digambarkan seperti memasuki sebuah pintu yang penuh
dengan kegelapan. b Mazmur menggambarkan tempat itu seperti hukuman penjara, orang
mati yang terisolasi dari Allah (Maz. 30:9).4 Sedangkan b Ayub menggambarkan neraka
sebagai keadaan tanpa aktivitas sehingga dalam keadaan seperti itu tidak terdapat kemajuan
(Ayb. 3:17-20; 7:9; 17:16). Itulah sebabnya gambaran tentang dunia penghuni dunia bawah
dilukiskan terpisah dari Allah dan tidak dapat lagi mempersembahkan pujian kepada Allah.
Sedangkan dunia Perjanjian Baru menggambarkan tempat orang yang telah meninggal adalah
dunia bawah yakni Hades. Dalam Perjanjian Baru kata Hades muncul 10 kali yakni dalam
Injil Matius, Lukas, Kisah Para Rasul dan wahyu. Gambaran Hades sebagai tempat orang
yang telah mati bertolak dari gambaran surga sebagai tempat tertinggi.5 Gambaran sebagai
tempat tertinggi ini paling jelas dalam kisah orang kaya dan Lazarus yang miskin dalam
Lukas 16: 19-3, dan perikop Yoh. 14:1-14 tentang Rumah Bapa.
Gambaran-gambaran tersebut merupakan bahasa apokaliptik yang dijiwai oleh
pengharapan yang besar akan kemenangan Allah yang sudah dekat terhadap kekuasaankekuasaan jahat, akan pembelaan Allah atas orang-orang yang setia kepada Allah, dan akan
penghukuman terakhir terhadap musuh-musuh Allah. Kalau Kerajaan Allah melambangkan
atau menggambarkan keselamatan yang akan segera diwujudkan oleh Allah, Gehenna
melambangkan atau menggambarkan kehancuran yang diancamkan oleh Yesus terhadap
orang-orang yang melawan Allah. Seperti halnya Kerajaan Allah digambarkan dengan
berbagai perumpama.6 Demikian juga Gehenna dilukiskan dengan berbagai gambaran seperti
tempat dimana terdapat ratapan dan kertak gigi (mat. 25:30), tempat yang sangat gelap (Mat.
22: 13), tempat dimana ulat tak akan mati (Mrk. 9:43-44), lautan api (Why. 14:11) dan lainlain. Gambaran-gambaran ini mesti dipahami sebagai lukisan keterpisahan dengan Allah
Yohanes Paulus II, “Katekismus Gereja Katolik,” Konstitusi Apostolik FIidei Depositum (Koferensi
Waligereja Indonesia, 1992).
3
Renihati Gulo, “Belas Kasih Adalah Kunci Untuk Mengampuni,” BONAFIDE:Jurnal Teologi dan
Pendidikan Kristen 2 (2021): 23–35.
4
Mira Permata Sari Simanjuntak and Pardomuan Munthe, “Tinjauan Dogmatis Tentang Sheol Tempat
Orang Mati,” Jurnal Sabda Akademika 1, no. 2 (2021): 63–71.
5
Peter C. Phan, 101 Tanya Jawab Tentang Kematian Dan Kehidupan Kekal, 05 ed. (Yogyakarta:
Kanisius, 2005).
6
Jaringan, “Sumbangan Teks Apokaliptik Terhadap Gerakan Sosial Politik Dalam Gereja.”
2
Copyright 2022, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online)
| 147
ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 5, No 2, Des 2022
secara kekal yang mendatangkan penderitaan yang tak berakhir karena terbukanya
pengetahuan akan melimpahnya kasih Allah namun tidak mampu menanggapinya. 7 Demikian
halnya perumpamaan-perumpamaan Kerajaan Allah tidak boleh dipahami secara harfiah,
demikian juga gambaran-gambaran Gehenna tidak boleh di pahami secara harfiah. Memang,
seandainya dipahami secara harfiah, semuanya itu akan saling meniadakan, misalnya,
kegelapan akan diusir oleh api.
Maka dalam membaca teks-teks tersebut perlu memahami makna yang ingin
disampaikan di balik penggambaran teks tersebut. Baik untuk memahami teks-teks itu secara
tepat maupun untuk menghindarkan jenis fundamentalisme yang dipegang kuat oleh
kalangan-kalangan tertentu yang dengan tegas menjelaskan neraka sebagai sebuah tempat
penyiksaan yang sangat mengerikan sebagaimana yang diajarkan oleh Hadis ’Misoginis’.8
Singkatnya alam di balik teks-teks ini adalah alam dunia apokaliptik yang muncul dan
berkembang pada zaman ketika umat beriman mengalami banyak penderitaan, pengejaran dan
penindasan. Dalam situasi krisis semacam ini iman umat bisa goyah. Mereka mengira Allah
sudah melupakan mereka. Maka gambaran apokaliptik digunakan untuk menghidupkan
kembali semangat dan pengharapan mereka.9 Inti pokok dari pengajaran apokaliptik ialah
untuk mengingat bahwa sejarah masa lalu, masa kini dan masa depan dalam terang Sabda
Allah. Orang diajak untuk melihat bahwa Allah tetap hadir dalam sejarah umat manusia.
Tidak ada yang lepas dari kuasa Allah. Biarpun setan beserta anak buahnya menang, namun
sebenarnya hanya Allah yang berkuasa atas kejadian/peristiwa sejarah di dunia ini. Oleh
karena itu orang tidak oleh berkecil hati.10 Allah memang membiarkan setan dan anak-anak
buahnya mengacau dunia. Tetapi suatu saat kekacauan dan penderitaan akan mencapai
puncaknya, lalu Allah akan menghancurkan dunia yang jahat itu beserta kerajaan setan dan
menciptakan dunia dan zaman yang baru bagi pengikut-Nya yang setia sampai akhir.
Maka sebab itu perlu memahami apa yang dimaksudkan dengan gambaran-gambaran
yang disampaikan Yesus tentang kertak gigi, api yang tak terpadamkan dan ratap tangis
dengan keadaan orang-orang yang terkutuk dan terkucil dari pemerintahan Allah. Untuk
memahami maksudnya, harus menempatkan gambaran-gambaran itu dalam konteks
kesusastraan apokaliptik Yahudi, baik yang kanonis (mis. Daniel) maupun yang ekstrakanonis (mis. Enokh pertama), yang bahasanya digunakan oleh Yesus secara eksplisit.11
Misalnya, harus mengatakan bahwa api menunjuk kepada penghakiman ilahi, ratap tangis,
kepada kepedihan atau penyesalan orang-orang terkutuk; kertak gigi, kepada kemarahan
mereka, dan kegelapan luar, kepada keputusasaan mereka. Semua gambaran tersebut
digunakan oleh Yesus untuk mengingatkan mereka yang menyebut saudara mereka bodoh
(Mat 5:22), yang berdosa dengan mata dan tangan dan kaki mereka (Mat mereka tetapi tidak
mengkhawatirkan jiwa mereka juga (Mat 5:29,30; Mrk 9:45,47), yang hanya
Yohanes Paulus II, “Katekismus Gereja Katolik.”
Asep Setiawan, “Perempuan Sebagai Mayoritas Penghuni Neraka Dan Kelemahannya Dari Sisi Akal
Dan Agama (Sanggahan Atas Gugutan Kaum Feminisme Terhadap Hadis ’Misoginis’),” Tajdid 18, no. 1 (2019):
1–23.
9
Gunawan, Eksegese Kitab Suci Perjanjian Baru Sinoptik.
10
Delon Patrick F. Mussa and Marthinus Ngabalin, “Parosia Dalam Perspektif Jemaat Di Tesalonika
Dan Implikasinya Bagi Gereja Masa Kini,” Didakso: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 1, no. 2 (2021):
89–96.
11
Berthold Anton Pareira, Alkitab Dan Ketanahan (Yogyakarta: Kanisius, 2009).
7
8
Copyright 2022, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online)
| 148
Mathias Jebaru Adon, Petrus: Konsep Neraka Dalam Pandangan Gereja...
mengkhawatirkan tubuh 10:28; Luk 12:5), yang menjadi batu sandungan, terutama bagi anakanak kecil (Mat 18:9; Mrk 9:43), dan para ahli b dan orang Farisi (Mat 23:15, 33) serta warga
dunia dalam teks tersebut maupun yang hidup saat ini akan hakikat dan panggilan hidup
manusia yang berasal dari Allah.
Allah menciptakan manusia bukan untuk jatuh dalam kebinasaan maut tetapi untuk
hidup bersatu dengan Allah. Dan bahwa sejak awal mula Allah berkehendak agar setiap orang
diselamatkan dan menikmati sukacita bersama-Nya dalam Kerajaannya yang kudus. Kasihnya yang besar dan penghargaan akan martabat manusia sehingga Allah membiarkan manusia
untuk memilih keselamatan atau maut, tetapi kasih-Nya yang besar tidak membiarkan maut
selamanya menguasai manusia sehingga melalui pelbagai cara ia berkehendak
menyelamatkan manusia yang mencapai puncaknya ketika ia mengutus Putra-Nya yang
tunggal agar semua orang diselamatkan.12 Namun banyak orang memahami neraka sebagai
tempat yang sangat mengerikan dan tempat penghakiman dan penyiksaan yang luar biasa
dimana penderitaan yang tiada tara berlangsung terus menerus. Seperti pandangan neraka
sebagai api kekal dan siksaan kekal.13
Oleh karena itu dalam sudut pandang pengajaran Yesus, perlu memahami gambaran
apokaliptik neraka bukan sebagai tempat penghakiman seperti gambaran api yang tak
terpadamkan atau ulat yang tak dapat mati tetapi keterpisahan manusia dari kasih dan belas
kasih Allah yang merupakan asal dan tujuan hidup manusia. Katekismus Gereja Katolik yang
mengatakan:“Pertanyaan-pertanyaan b Suci dan Ajaran-ajaran Gereja tentang neraka
merupakan seruan supaya manusia bertanggung jawab dalam menggunakan kebebasan
mengingat nasib hidup kekal . Dan sekaligus semua itu merupakan seruan yang mendesak
supaya bertobat” (No. 1036). Cara hidup ini tidak lain adalah hidup sebagai murid Yesus yang
mengabdi Allah yang adalah keadilan dan sekaligus cinta kasih dengan melayani Anak-anak
Allah.14
Penelitian tentang makna teologis neraka telah banyak dilakukan seperti penelitian
yang dilakukan oleh Yonas Angwarmas dan Ignasius Refo dalam sebuah penelitian yang
berjudul, Pandangan Popular tentang Kematian Umat katolik Paroki St. Yosef Rumahtiga.
Penelitian ini dilakukan di kota Ambon. Hasil penelitian ini menemukan kemajemukan
masyarakat Ambon mempengaruhi pemahaman umat Katolik tentang kematian termasuk
mempengaruhi konsep mereka tentang neraka. Hal ini misalnya pandangan mereka tentang
neraka sebagai suatu tempat api yang tak terpadamkan dan lubang ke mana orang-orang jahat
dilemparkan.15 Penelitian tentang neraka juga dilakukan oleh Deri Susanto tahun 2019 dalam
sebuah penelitian yang berjudul, Neraka Api Kekal dan Siksaan. Penelitian ini menemukan
bahwa orang kristen umumnya memandang neraka sebagai tempat siksaan. Menurut Susanto
hal ini berkembang sejak zaman Agustinus hingga saat ini yang mengajarkan orang berdosa
yang meninggal dan tidak bertobat akan menderita hukuman api abadi dan siksaan kekal.
Menurut Deri Susanto pandangan ini tidak sesuai dengan visi Albiah tentang cinta kasih Allah
Dolfinus B Watopa and Zulkisar Pardede, “Pentingnya Pemahaman Eskatologi Menurut Matius 24
Bagi Jemaat GPdI Pisga,” EPIGRAPHE: Jurnal Teologi dan Pelayanan Kristiani 4, no. 2 (2020): 283–295.
13
Susanto, “Neraka Api Kekal Dan Siksaan.”
14
Yohanes Paulus II, “Katekismus Gereja Katolik.”
15
Yonas Angwarmas and Ignasius S.S. Refo, “Pandangan Popular Tentang Kematian Umat Katolik
Paroki St. Yosef Rumahtiga,” Fides et Ratio (n.d.).
12
Copyright 2022, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online)
| 149
ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 5, No 2, Des 2022
dan keadilan ilahi. Secara spesifik hal ini bertentangan dengan visi kenabian dunia baru dalam
Wahyu 21:4.16
Penelitian tentang neraka juga dilakukan oleh Indahsari et. al tahun 2021 di paroki St.
Yoseph Palembang dengan narasumber penelitian Pastor Paroki Gereja St. Yoseph
Palembang. Fokus penelitian ini pada api penyucian atau purgatory sebagai tempat penyucian
orang-orang yang meninggal tidak bersahabat dengan Allah. Penelitian ini menemukan dalam
Gereja Katolik walaupun api penyucian tidak terdapat dalam praktek liturgis tetapi memiliki
ritus. Oleh karena api penyucian dalam Gereja Katolik adalah pengajaran dogmatis bukan
praktek peribadatan.17 Ajaran tentang api penyucian ini diajarkan oleh Gereja Katolik sebagai
dogma untuk menegaskan akan hakikat Allah sebagai ciptaan dan keadilan bagi setiap orang
bahwa dosa manusia tidak dapat membatalkan kasih Allah yang Maha besar dan mulia.18
Berdasarkan hal tersebut tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pemahaman
bahwa neraka bukanlah sebuah tempat penyiksaan dan penderitaan yang kekal melainkan
situasi dimana orang merasa terpisah dari Allah sebagai sumber cinta; Mengkaji mengenai
gambaran-gambaran api yang tak terpadamkan dan lubang neraka yang digunakan Yesus
dalam pewartaan-Nya adalah gambaran bahasa apokaliptik yang digunakan Yesus untuk
mengancam para pendengarnya dan pengikut-Nya jika mereka tidak mendengarkan warta
keselamatan yang dibawa Yesus serta melakukan pertobatan. Maka mereka akan mengalami
penderitaan dan siksaan yang berat sebagaimana gambaran tentang hukuman ghenna dalam
masyarakat Yahudi.
II. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi literatur kepustakaan mengenai pandangan Gereja
Katolik tentang konsep neraka. Sumber data penelitian ini terdiri dari dua bagian utama yakni
sumber primer dan sumber penelitian sekunder. Sumber primer berasal dari ajaran
Magisterium Gereja Katolik yang terdapat dalam Katekismus Gereja katolik dan b Suci.
Sumber data sekunder berasal dari jurnal-jurnal ilmiah yang meneliti tentang hidup setelah
kematian dan ajaran tentang neraka. Proses pengerjaan penelitian dilakukan dengan pertamatama membaca ajaran Magisterium Gereja Katolik tentang neraka dan tafsiran teologis akan
pewartaan Yesus tentang neraka. Hasil penelitian ini disarikan sehingga menghasilkan tesis
bahwa Yesus pada dasarnya tidak mengajarkan sesuatu tentang neraka, pusat pengajaran
Yesus ialah Kerajaan Allah. Namun dalam pengajaran-Nya tentang Kerajaan Allah, Yesus
menggunakan gambaran bahasa apokaliptik tentang hukuman abadi yang menanti mereka
yang tidak mendengarkan warta keselamatan yang dibawa-Nya. Tesis penelitian ini kemudian
diperkuat dengan membaca sumber-sumber sekunder. Dengan kata lain, penelitian ini
merupakan perpaduan antara hasil penelitian primer dan sekunder sehingga menghasilkan
tesis penelitian ini yakni konsep neraka dalam pandangan Gereja Katolik. Oleh karena itu,
penelitian memberikan gambaran pandangan Gereja Katolik tentang neraka bahwa neraka
dalam pandangan Gereja Katolik bukanlah sebuah temapat penyiksaan melainkan gambaran
Susanto, “Neraka Api Kekal Dan Siksaan.”
Ade Destarahayu Indahsari, Nur Fitriyana, and Sofia Hayati, “Api Penyucian Dalam Pengajaran
Gereja Katolik St. Yoseph Palembang,” JSA 4, no. 1 (2021): 38–45.
18
Walter Kasper, Belas Kasih Allah: Dasar Kitab Suci Dan Kunci Hidup Kristiani, ed. Karmelindo
(Malang, 2016).
16
17
Copyright 2022, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online)
| 150
Mathias Jebaru Adon, Petrus: Konsep Neraka Dalam Pandangan Gereja...
tentang keadaan jiwa-jiwa orang yang terpisah selama-lamanya dari belas kasih Allah. Jiwajiwa ini dikucilkan dari persekutuan dengan Allah dan Para Kudus yang merupakan tujuan
akhir hidupnya.
III. Pembahasan
Neraka Dalam Dunia Perjanjian Baru
Neraka berasal dari kata al-Nar yang berarti sesuatu yang membakar dan dipahami
sebagai sesuatu yang sedang menyala serta ditangkap oleh indra.19 Dalam ajaran Islam neraka
selalu dikaitkan dengan tempat penyiksaan orang-orang kafir (Qs. 2:24) dan pada tingkatan
yang paling bawah diperuntukkan untuk orang-orang yang munafik di tempat itu tidak akan
penolong bagi mereka (Qs. 4:145). Dalam dunia Perjanjian Baru Yesus menggunakan
gambaran gehenna untuk mendesak para pendengar-Nya bertobat dan menerima pewartaanNya. Gehenna berasal dari bahasa Yunani. Dalam bahasa Aram kata gehenna ditulis
gehinnam, yang berarti Lembah Hinnom. Lembah ini menunjuk kepada lembah yang
membentang dari selatan ke barat daya Yerusalem. Lembah ini adalah tempat pemujaan
berhala dewa-dewa Kanaan, Molok, dan Baal. Pemujaan ini dilakukan dengan mengorbankan
anak-anak dengan melewatkan dan menyerahkan mereka melalui api di suatu tempat yang
tinggi ke tangan dewa-dewa itu. Oleh karena itu, Gehenna disebut "lembah terkutuk" atau
"jurang dalam" dan menggambarkan tempat orang-orang Yahudi yang jahat dihukum dengan
api.20
Kengerian tempat ini berasal dari dunia Perjanjian Lama dimana tempat ini tampaknya
menjadi lembah tempat Tuhan membunuh tentara Asyur pada masa Hizkia sebanyak 185.000
orang (Yes 30:31-33: 37). Yeremia memperkirakan tempat ini sebagai lembah pembantai bagi
orang-orang Israel karena dosa-dosa mereka.21 Nubuat ini seolah-olah menggambarkan apa
yang terjadi dengan orang-orang Yahudi pada tahun 70 M dimana Bait Allah dihancurkan
oleh tentara Romawi, dan mayat-mayat orang Yahudi ditimbun dalam lembah ini. Itulah
sebabnya namanya menjadi “topneth” yang berarti sebagai tempat yang diludahi. Situasi ini
selanjutnya dipakai untuk menggambarkan pembantaian orang-orang berdosa pada akhir
zaman (Yes 66:24).22 Oleh karena itu, lembah ini dipercaya sebagai tempat hukuman akhir
sehingga disebut sebagai tempat terkutuk (1 Henokh 27:2, 3). Maka Yesus mengecam orangorang yang tidak percaya akan kabar baik keselamatan yang diwartakan-Nya dengan
hukuman abadi di gehenna.
Sebelum wafat dan kebangn-Nya Yesus mengajarkan bahwa pada akhir zaman orang
benar dan orang fasik akan dipisahkan. Orang benar akan diselamatkan dan masuk dalam
kehidupan abadi bersama bapa-Nya dalam Kerajaan Surga sedangkan orang fasik akan
diturunkan ke dalam dunia orang mati yakni ke sheol (Mat. 25: 31-46).23 Itulah sebabnya
sheol dipakai sebagai gambaran neraka karena selalu menunjuk kepada dunia orang mati (Kej.
19
Deddy Ilyas, “Antara Surga Dan Neraka : Menanti Kehidupan Nan Kekal Bermula,” Jia XIV, no. 2
(2013): 163–174.
20
Petrus Maria Handoko, Dicipta Untuk Dicinta: Antropologi Teologis Fundamental (Teologi
Penciptaan) (Malang, 1996).
21
Gunawan, Eksegese Kitab Suci Perjanjian Baru Sinoptik.
22
Susanto, “Neraka Api Kekal Dan Siksaan.”
23
Simanjuntak and Munthe, “Tinjauan Dogmatis Tentang Sheol Tempat Orang Mati.”
Copyright 2022, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online)
| 151
ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 5, No 2, Des 2022
37:35), tempat yang dan gelap (Ayb. 17:13.16) atau gambaran kerongkongan yang terus
menganga yang tidak pernah puas menelan (Ams. 27:20; 30:15-16; Yes. 5:14; Ibr. 2:5).24
Dengan gambaran semacam ini dapatlah dimengerti mengapa Yesus untuk mengecam orangorang Yahudi dan para pendengar-Nya untuk bertobat dan percaya kepada kabari baik
keselamatan Allah.25 Gambaran tentang neraka ini oleh penyair Italia kemudian diabadikan
dan disempurnakan dengan menggambarkan neraka sebagai tempat yang penuh teror, di situ
orang-orang fasik tergagap menggeliat dan berteriak meraung-raung dengan keras dalam
darah yang sedang mendidih. Sedangkan orang-orang benar diselamatkan dan bersukacita di
surga.26
Dengan kata lain, Yesus menggunakan gambaran bahasa apokaliptik neraka untuk
menegaskan kasih Allah yang amat besar kepada manusia bahwa manusia pada hakikatnya
bersekutu dengan Allah. Jadi gambaran tentang neraka bukanlah gambaran tentang tempat
yang berisi penghakiman yang keji dan mengerikan. Melainkan gambaran itu dipakai Yesus
untuk menyerukan pertobatan serta menjelaskan belas kasih Allah yang besar dan melimpah
dengan akibat penolakan terhadap kasih-Nya.27 Hal ini menunjukkan bahwa di mata Allah
manusia adalah ciptaan yang mulia yang sejak awal diciptakan dengan tujuan untuk bersama
Allah menikmati sukacita surgawi. Maka ketika manusia jatuh dalam dosa, Allah melalui
berbagai cara ingin menyelamatkan manusia dan rencana keselamatan itu mencapai
puncaknya perutusan Putra-Nya untuk menghapus utang dosa manusia agar manusia kembali
fitrahnya sebagai ciptaan yang diciptakan secitra dengan Allah. 28 Namun keselamatan itu
sungguh terjadi ketika manusia sungguh percaya dan menaruh seluruh harapannya kepada
Yesus sebagai satu-satunya jalan dan pintu keselamatan. Sebagaimana Yesus bersabda,”
Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa,
kalau tidak melalui Aku.” (Yoh. 14:6). Sebab dialah Allah yang menjelma menjadi manusia
(Yoh. 1:1), utusan Allah untuk menyelamatkan manusia dari belenggu dosa (Yoh. 6:29) dan
satu-satunya yang tahu jalan ke surga (Yoh. 14:1-3).29
Neraka Dalam Pandangan Gereja Katolik
Dokumen-dokumen terpenting Magisterium Gereja Katolik mengajarkan neraka
sebagai “Pernyataan Iman”. Katekismus Gereja Katolik (KGK no. 1035) mengatakan bahwa
neraka itu ada dan berlangsung selama-lamanya. Di situ jiwa-jiwa orang yang telah
meninggal dalam keadaan dosa berat akan mengalami siksaan “api abadi”.30 Hal ini berkaitan
erat dengan kebebasan manusia untuk menolak belas kasih dan kebenaran tentang Allah
secara radikal sampai pada saat kematian. Sejak awal tidak ada seorang pun ditentukan oleh
Sumihar Tamba, “Intermediate State : Studi Reflektif Tentang Kematian Dan Relevansinya Bagi
Orang Percaya,” Asteros:Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 7, no. 1 (2019): 30–38.
25
Watopa and Pardede, “Pentingnya Pemahaman Eskatologi Menurut Matius 24 Bagi Jemaat GPdI
Pisga.”
26
Susanto, “Neraka Api Kekal Dan Siksaan.”
27
Hendra Winarjo, “Apakah Allah Itu Kejam?: Sebuah Tinjauan Doktrin Dosa Dan Keadilan Allah
Untuk Menjawab Tuduhan Kekejaman Allah Dalam Kejadian 19:26,” Consilium 20 (2019): 32–54.
28
Nemesius Pradipta, “Belas Kasih Allah Dalam Kematian Kristiani Menurut Karl Rahner,” Jurnal
Teologi 08, no. 01 (2019): 47–64.
29
Federans Randa, “Karya Keselamatan Allah Dalam Yesus Kristus Sebagai Jaminan Manusia Bebas
Dari Hukuman Kekal Allah,” Jurnal Teologi Logon Zoes (2020).
30
Yohanes Paulus II, “Katekismus Gereja Katolik.”
24
Copyright 2022, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online)
| 152
Mathias Jebaru Adon, Petrus: Konsep Neraka Dalam Pandangan Gereja...
Allah untuk masuk neraka. KGK no. 1037 mengajarkan bahwa orang-orang yang melakukan
pengingkaran secara sukarela terhadap Tuhan (dosa berat) yang berlangsung seumur hidupnya
akan membawanya kepada siksaan neraka. Sebab penderitaan neraka yang sesungguhnya
ialah keterpisahan abadi dengan Allah sebagai sumber dan asal kehidupan dan kebahagiaan
manusia, karena dengan maksud itulah manusia diciptakan dengan Allah agar bersekutu
dengan-Nya (KGK. 1035). Dengan kata lain, “api abadi” dan “cacing yang tidak dapat
binasa” adalah gambaran keterpisahan manusia dari Allah. Gereja Katolik memisahkan antara
kepedihan neraka sebagai “kepedihan kehilangan”, yakni terpisah dari Allah dan tidak
memperoleh penglihatan yang membahagiakan dan “kepedihan pancaidra” penderitaan
jasmani.31
Keterpisahan kekal dengan Allah sesungguhnya adalah penderitaan dan kepedihan
yang sesungguhnya dari neraka yang digambarkan sebagai api abadi, cacing yang tak binasa
sebagaimana yang digambarkan oleh Edwards teolog abad ke-18 yang berasal dari Amerika
dan Charles Spurgeon pada abad-19 dari Inggris yang menggambarkan hukuman neraka
secara mengerikan seperti tungku api yang sedang mengamuk yang berisi tubuh dan jiwa
orang fasik atau seperti tubuh manusia yang terbaring terkena penyakit abses dimana setiap
bagian tubuhnya dipenuhi dengan siksaan. Di situ Iblis jahat memainkan lagu jahatnya dari
ratapan yang tak terkatakan.32 Gereja menggunakan gambaran tersebut untuk mengingatkan
mereka yang menolak Allah secara sadar akan mendapat hukuman api abadi neraka. St.
Alfonsus de Liguori mengatakan, “Justru di atas ranjang, mereka yang mati dalam penyesalan
yang dosa mulai mengalami semacam prapenderitaan dari neraka-mendalam, ketakutan dan
putus asa - dan begitulah, mereka yang meninggal dalam cinta akan Allah, dalam hati mereka
mulai mengalami damai, yang akan mereka nikmati di surga sampai selama-lamanya." KGK
1036 menegaskan hal tersebut dengan mengatakan, “Pernyataan-pernyataan b Suci dan ajaran
Gereja mengenai neraka merupakan peringatan kepada manusia, supaya mempergunakan
kebebasannya secara bertanggung jawab dalam hubungannya dengan nasib abadinya. Semua
itu juga merupakan himbauan yang mendesak supaya bertobat: "Masuklah melalui pintu yang
sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kebinasaan”.33
Singkatnya, dokumen-dokumen ini menegaskan bahwa neraka itu ada, bahwa mereka
yang meninggal dunia dalam dosa berat langsung masuk neraka, dan hukuman di neraka
sebanding dengan dosa-dosa mereka. Berkaitan dengan neraka sebagai tempat, Katekismus
Gereja Katolik memberikan ajaran tentang neraka dalam menerangkannya dalam kaitan
dengan kebebasan manusia: “Meninggal dunia dalam dosa berat tanpa menyesal dan
menerima cinta Allah yang penuh belas kasih berarti tetap terpisah dari Allah untuk
selamanya menurut pilihan bebas sendiri. Keadaan terkucil dari persatuan dengan Allah dan
orang-orang kudus inilah yang disebut “neraka” (KGK no. 1033). Ajaran Gereja tentang
kenyataan dan kekekalan neraka pada dasarnya hendak mengatakan bahwa mungkin saja
beberapa orang, dari kebebasan mereka sendiri, dapat memilih menolak tawaran persahabatan
dan cinta kasih dari Allah dan bahwa keputusan ini akan menjadi definitif dan final dalam
Irfan Afandi, “Demythologizing Neraka Huthomah,” Jurnal Darussalam: Jurnal Pendidikan,
Komunikasi dan Pemikiran Hukum Islam VII, no. 2 (2016): 425–440.
32
Susanto, “Neraka Api Kekal Dan Siksaan.”
33
Yohanes Paulus II, “Katekismus Gereja Katolik.”
31
Copyright 2022, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online)
| 153
ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 5, No 2, Des 2022
proses meninggal dan kematian.34 Meski demikian, Gereja tidak mengatakan apakah
seseorang, pada kenyataannya, telah atau akan dihukum di neraka ataukah tidak.
Mengingat kengerian hukuman neraka Gereja dalam doa hariannya serta dalam
perayaan Ekaristi memohon belas kasih Allah supaya "Jangan ada yang binasa, melainkan
supaya semua orang berbalik dan bertobat" (2 Ptr 3:9): "Terimalah dengan rela persembahan
umat-Mu. Bimbinglah jalan hidup kami dan selamatkanlah kami dari hukuman abadi agar
tetap menjadi umat kesayangan-Mu”.35 Sebab kehadiran dosa dalam diri manusia membuat
manusia kehilangan kekudusan dan kemuliaan di hadapan Allah. Akibatnya manusia tidak
dapat berkomunikasi dan bersatu dengan Allah. Kejatuhan manusia dalam lumpur dosa
membuat manusia dibelenggu oleh dosa. Dalam situasi ini Allah berinisiatif datang untuk
menyelamatkan manusia yakni dengan mengutus Putra-Nya yang tunggal untuk menjadi silih
atas dosa manusia.36 Rasul Paulus mengungkapkan hal ini secara indah dengan mengatakan,
“Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu
juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang
telah berbuat dosa” (Rm. 5:12). Tetapi Kasih karunia Allah menurut Paulus jauh lebih besar
dari dosa dan kuasa maut yang dilimpahkan kepada semua orang yakni Yesus Kristus (Rm.
5:15).
Mengingat betapa besarnya kasih karunia yang dilimpahkan Allah tersebut, Gereja
dalam persekutuan Para Kudus “Menyerahkan orang-orang yang telah meninggal kepada
belas kasihan Allah serta berdoa untuk mereka, terutama dalam kurban Ekaristi (KGK 1055).
Katekismus Gereja Katolik no. 1861 mengurai demensi kerahiman Ilahi tersebut dengan
mengatakan, “Sama seperti kasih, dosa adalah satu kemungkinan radikal yang dapat dipilih
manusia dalam kebebasan penuh, yang dapat mengakibatkan kehilangan kebajikan ilahi,
kasih, dan rahmat pengudusan”. Dengan kata lain, jika manusia tidak memperbaiki dan
menyesali perbuatannya yang bertentangan dengan Allah melalui penyesalan dan
pengampunan ilahi, maka manusia akan mengalami pengucilan dari persatuan dengan Kristus.
Hal itu berarti manusia mengalami kematian abadi di dalam neraka.37
Dengan kata lain, penyiksaan dan penghukuman terhadap neraka bukan semata-mata
karena hukuman neraka yang kejam dan mengerikan tetapi lebih-lebih karena keterpisahan
manusia dengan Allah selama-lamanya.38 Penderitaan itu semakin menyakitkan karena pada
saat budi dan pikiran manusia terbuka dalam memahami misteri kebaikan dan kasih Allah
yang besar. Kesadaran itulah yang menyebabkan penderitaan yang mengerikan.39 Sebab
dengan kebebasan manusia dapat memutuskan pilihan untuk menerima rahmat Allah atau
menentangnya secara radikal. Pilihan tersebut akan berlaku secara defenitif dan tidak dapat
ditarik kembali. Namun Gereja tetap sadar bahwa, “Meskipun manusia dapat menilai bahwa
satu perbuatan dari dirinya sendiri merupakan pelanggaran berat, namun harus menyerahkan
penilaian mengenai manusia kepada keadilan dan kerahiman Allah” (KGK.1861).
34
Phan, 101 Tanya Jawab Tentang Kematian Dan Kehidupan Kekal.
Yohanes Paulus II, “Katekismus Gereja Katolik.”
36
Yosep Pranadi, “Kematian Dan Kehidupan Abadi: Sebuah Eksplorasi Dalam Perspektif Gereja
Katolik,” Melintas 34, no. 3 (2018): 248–271.
37
Yohanes Paulus II, “Katekismus Gereja Katolik.”
38
Pradipta, “Belas Kasih Allah Dalam Kematian Kristiani Menurut Karl Rahner.”
39
F. X. Hadisumarta, “Kerahiman Allah Menurut Maria,” in Kerahiman Allah, ed. Edison R. L
Tinambunan (Malang: Karmelindo, 2017).
35
Copyright 2022, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online)
| 154
Mathias Jebaru Adon, Petrus: Konsep Neraka Dalam Pandangan Gereja...
Beberapa Persoalan Berkaitan Dengan Ajaran Tentang Neraka
Pengajaran tentang neraka sebagai suatu hukuman kekal dalam kenyataannya telah
menimbulkan berbagai kesulitan-kesulitan meskipun ajaran ini untuk menyadarkan manusia
akan hakikat dirinya sebagai makhluk yang bersekutu dengan Allah dan yang tidak dapat
hidup tanpa belas kasih Allah. Namun dalam kenyataannya ajaran tentang neraka membawa
persoalan tersendiri tidak hanya bagi orang yang tak beriman tetapi juga untuk orang yang
beriman.40 Sebab ajaran tentang neraka akan mengubah pandangan tentang Allah yang penuh
belas kasihan menjadi seorang penyiksa yang sadis dan kejam? Bagaimana dapat dipahami,
Allah yang di satu sisi penuh belas kasihan kepada setiap ciptaan-Nya namun di sisi lain
seorang yang kecam dan penyiksa tanpa ampun? Dapatkah memuji dan memuliakan Allah
sebagai seorang pendendam yang menyiksa orang berdosa tanpa ampun dan berlangsung
selama-lamanya? Pertanyaan-pertanyaan ini telah menimbulkan perdebatan diantara orang
beriman dan ahli teologi selama berabad-abad.41
Ajaran tentang kekekalan neraka telah muncul sejak abad ke-3 dan menimbulkan
berbagai kesulitan. Maka tidaklah heran jika dalam perjalanan sejarah terdapat berbagai
ajaran untuk menjelaskan keberatan-keberatan tersebut. Misalnya untuk menjawab keberatan
atas hukuman kekal neraka dan sifat Allah yang berbelas kasih kepada setiap makhluk
muncullah ajaran tentang reinkarnasi. Dimana setiap orang pada akhirnya mampu mencapai
pembebasan. Dengan kata lain, ajaran reinkarnasi ingin menjawab keberatan tentang
keberadaan Allah yang dalam cinta dan belas kasih yang tak terbatas pasti menghendaki agar
semua orang diselamatkan (1 Tim 2:3-4) dan tidak membiarkan setiap orang terpisah dari
pada-Nya secara “kekal”, tanpa kemungkinan sama sekali untuk kembali kepada-Nya. Maka
dengan ajaran tentang reinkarnasi akan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk
selamanya tidak akan terpisah dengan Allah.42
Gagasan reinkarnasi tersebut didukung oleh prinsip keadilan yang melihat, Allah
macam apakah akan “memperbolehkan” hukuman kekal, yang rupanya bersifat balas dendam
belaka karena hukuman itu tidak akan pernah menghasilkan perbaikan moral dalam diri
terhukum? Sebab sistem keadilan tidak sempurna jika penjahat-penjahat yang terhukum tidak
memperoleh kesempatan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya.43 Selain itu, tentu akan
bahagia di surga jika orang-orang yang cintai, saudara-saudari terpisah selama-lamanya dan
menderita siksaan kekal api neraka dan kepedihan seburuk-buruknya secara kekal. Dalam
Gereja Katolik gagasan tersebut ditolak dan tentang sebab reinkarnasi mengajarkan bahwa
apa yang dialami merupakan akibat dari baik-buruknya perbuatan masa sebelumnya. Selain
itu, proses kehidupan ini dilihat sebagai seuatu penderitaan dan penderitaan ini hanya dapat
dilepaskan ketika seseorang melepaskan semuanya dari dunia ini dan mencapai pencerahan
(enlightment).44 Di samping itu, penjelmaan dari satu makhluk hidup ke makhluk hidup yang
Mathias Jebaru Adon, “Peran Komunitas Kristen Sebagai Jembatan Kasih Di Tengah Penderitaan
Bangsa Indonesia,” VOX DEI: Jurnal Teologi dan Pastoral 2, no. 1 (2021): 63–83.
41
Susanto, “Neraka Api Kekal Dan Siksaan.”
42
Phan, 101 Tanya Jawab Tentang Kematian Dan Kehidupan Kekal.
43
Henricus Pidyarto Gunawan, “Kerahiman Allah Menurut Alkitab,” in Kerahiman Allah, ed. Edison
R.L. Tinambunan (Malang: Karmelindo, 2017).
44
Elisa Tenggana, “Kritik Terhadap Eksistensi Manusia Dalam Konsep Reinkarnasi Buddhisme,”
Journal of Chemical Information and Modeling 53, no. 9 (2013): 1689–1699.
40
Copyright 2022, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online)
| 155
ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 5, No 2, Des 2022
lain dalam bentuk reinkarnasi menyebabkan tidak adanya perbedaan antara manusia dan
makhluk hidup yang lain.45 Maka reinkarnasi tidak kompatibel dengan ajaran kristiani,
pertama-tama karena ajaran itu menolak rencana keselamatan Allah yang dinyatakan dalam
Kristus. Selanjutnya ajaran tentang reinkarnasi juga tidak sesuai dengan akal sehat, sebab
bahkan binatang yang paling rendah dari manusia dapat lahir kembali menjadi manusia. Itulah
sebabnya ajaran tentang reinkarnasi bertentangan dengan konsep neraka.
Keberatan-keberatan inilah yang mendorong Origenes dan Bapa-Bapa Gereja yang
lain seperti Misalnya Gregorius dari Nyssa (kira-kira 330-kira-kira 395), Gregorius dari
Nazianze (329-389), dan Ambrosius (kira- kira 339-397) untuk mengembangkan teori
keselamatan semesta (universal) atau apocatastasis yang berarti pemulihan. 46 Menurut teori
ini, Rahmat Allah akhirnya akan berjaya dalam semua makhluk berakal budi, termasuk rohroh jahat, dengan menggerakkan mereka untuk menerima cinta dan belas kasih Allah.47
Namun gagasan yang dikembangkan oleh Origenes dan para pengikutnya dikutuk oleh suatu
sinode di Konstantinopel pada tahun 543, dan pengutukan itu secara resmi disahkan dalam
konsili ekumenis kelima yang diadakan di kota itu sepuluh tahun kemudian yang mengatakan:
“Jika ada orang yang berkata atau berpendirian bahwa hukuman terhadap setan-setan dan
orang-orang fasik itu bersifat sementara, dan akan berakhir pada suatu waktu, atau bahwa
akan ada pemulihan sepenuhnya (apocatastasis) setan-setan serta orang-orang fasik adalah
sesat, anathema sit”.48
KGK 1013 mengatakan bahwa kematian adalah titik akhir peziarahan manusia di
dunia titik akhir dari masa rahmat dan belas kasihan, yang Allah berikan kepadanya, supaya
melewati kehidupan di dunia ini sesuai rencana Allah dan dengan demikian menentukan
nasibnya yang terakhir. “Apabila jalan hidup duniawi yang satu-satunya sudah berakhir
(Lumen Gentium 48), tidak kembali lagi, untuk hidup beberapa kali lagi di dunia. Manusia
ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja setelah itu dihakimi” (Ibr. 9:27).49 Apa yang
dimaksudkan oleh Magisterium dengan keputusannya itu ialah bahwa tidak diperbolehkan
menyatakan dengan kepastian dogmatis bahwa semua orang akan diselamatkan dan harus
bersungguh-sungguh memperhitungkan kemungkinan riil bahwa sendiri dapat saja hilang,
tidak selamat, dan itu untuk selama-lamanya. Dasar terdalam ajaran ini ialah ajaran b Suci dan
sifat kodrati kebebasan manusia: pilihan-pilihan yang diambil secara bebas oleh manusia,
tidak dapat diubah pada waktu mati.50
Jika demikian, apa yang dapat dikatakan tentang keselamatan bagi semua orang.
Menurut Pater C. Pan meskipun tidak dapat menyatakan secara pasti orang berdosa, namun
sebagai orang kristen pengharapan harus bersifat universal lingkupny.51 Artinya dalam
pengharapan yakin bahwa semua orang diselamatkan. Katekismus Gereja Katolik no. 633
mengajarkan bahwa bukti paling kuat bahwa Kristus solider dengan semua orang berdosa
Bikshu Suddmasilo, “Konsep Filosofis Reinkarnasi Dan Argumentasinya,” Extension Course
Filsafat, no. November (2015): 1–9.
46
Phan, 101 Tanya Jawab Tentang Kematian Dan Kehidupan Kekal.
47
Handoko, Dicipta Untuk Dicinta: Antropologi Teologis Fundamental (Teologi Penciptaan).
48
Phan, 101 Tanya Jawab Tentang Kematian Dan Kehidupan Kekal.
49
Yohanes Paulus II, “Katekismus Gereja Katolik.”
50
Lumen Gentium, “Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium,” in Seri Dokumen Gereja No. 7, ed. R.
Hardawiryana (Jakarta: Depertemen Dokumentasi Dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia, 1990), 1–
116.
51
Phan, 101 Tanya Jawab Tentang Kematian Dan Kehidupan Kekal.
45
Copyright 2022, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online)
| 156
Mathias Jebaru Adon, Petrus: Konsep Neraka Dalam Pandangan Gereja...
ialah ketika Kristus masuk dalam perhentian orang mati (Hades atau Sheol karena tertahan di
sana) pada misteri Sabtu Suci. Tetapi itu tidak berarti bahwa semua mereka diselamatkan. b
Suci menyampaikan kepada dalam perumpamaan tentang Lasarus yang miskin, yang diterima
"dalam pangkuan Abraham". "Jiwa orang jujur, yang menantikan Penebus dalam pangkuan
Abraham, dibebaskan Kristus Tuhan waktu Ia turun ke dunia orang mati". Kisah ini
menggambarkan kedaan neraka dan jiwa-jiwa yang menunggu kedatangan Sang juru selamat
yang datang membebaskan orang yang berada dalam penantian.52
Dengan turun ke dunia orang mati Yesus menunjukkan solidaritas-Nya yang sepenuhpenuhnya dengan orang-orang berdosa dalam Kematian. Ia mengidentifikasikan diri
seutuhnya dengan orang-orang berdosa. Meskipun la tak berdosa, la mati sebagai orang
berdosa, ditinggalkan oleh Allah. Meskipun la adalah Anak Allah, la alami “neraka”, yaitu
keadaan ditinggalkan Allah Bapa-Nya dengan cara yang tak mungkin bagi manusia lain mana
pun. Namun, lebih dari itu sebagai orang yang “turun ke neraka”, Yesus adalah lambang
bahwa Allah tidak mau meninggalkan orang-orang berdosa, bahkan di tengah-tengah tempat
di mana, menurut definisi, Allah tidak dapat berada.53 Kesediaan Allah turun ke neraka
sendiri untuk ada bersama dengan orang-orang berdosa itulah yang, menurut von Balthasar,
akan meluluhkan kekerasan hati dan perlawanan orang-orang berdosa, bukan dengan
menekan dan memaksa kebebasan manusia, melainkan dengan memikat dan membujuk- Nya
untuk menyambut cinta kasih Allah.54
Katekismus mengajarkan dengan turun ke dunia orang yang telah mati, "Orang-orang
mati akan mendengar suara Anak Allah ... dan mereka yang mendengar-Nya, akan hidup"
(Yoh 5:25). Yesus, adalah "Pemimpin kehidupan" (Kis 3:15), yang "Memusnahkan iblis yang
berkuasa atas maut, karena dengan jalan demikian Ia membebaskan mereka yang seumur
hidupnya berada dalam perhambaan oleh karena takutnya kepada maut" (Ibr 2:14-15). Kristus
yang telah bangkit, sekarang memegang di tangan-Nya "Segala kunci maut dan kerajaan
maut" (Why 1:18), dan "dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang
ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi" (Flp 2:10) (KGK 636). 55 Oleh karena itu, tidak
ada suatu apa pun yang menghalangi seorang Kristen untuk mengharapkan (bukan
mengetahui) bahwa dalam kenyataannya nanti keadaan terakhir setiap orang, sebagai buah
yang dihasilkan oleh kebebasannya dengan daya kuasa rahmat Allah yang membuat segala
yang jahat menjadi tak berarti dan juga tertebus dengan sedemikian rupa sehingga neraka
tidak akan ada pada akhir-Nya. Orang-orang Kristen dapat mempunyai pengharapan ini,
pertama-tama untuk orang-orang lain dan dengan demikian untuk diri mereka sendiri jika di
dalam sejarah kebebasan mereka, mereka secara bersungguh-sungguh memikirkan bertobat
dan percaya akan kabar baik keselamatan.56
Melalui pengharapan ini orang kristen diajak untuk mengharapkan keselamatan kekal
bukan hanya untuk dirinya tetapi juga untuk orang lain. Itulah identitas hidup orang kristiani
yang bersumber dari Kristus yang mati bagi semua orang di segala abad. Karena Kristus
Yohanes Paulus II, “Katekismus Gereja Katolik.”
Surip Stanislaus and R Oktavianus Saragih, “Belas Kasih Dan Keadilan Allah (Kel 34: 5-7),” Logos,
Jurnal Filsafat-Teologi 17, no. 2 (2020): 5–7.
54
Phan, 101 Tanya Jawab Tentang Kematian Dan Kehidupan Kekal.
55
Yohanes Paulus II, “Katekismus Gereja Katolik.”
56
Mathias Jebaru Adon, “The Eucharist and the Spirituality of the Catholics in the Public Space,”
PASCA: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen 18, no. 1 (2022): 12–27.
52
53
Copyright 2022, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online)
| 157
ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 5, No 2, Des 2022
solider dengan semua orang berdosa, maka pengharapan Kristen harus bersifat semesta
(universal) lingkupnya.57 Katekismus mengatakan, “inilah tahap terakhir perutusan Yesus
sebagai Mesias: penyebarluasan karya penebusan kepada semua orang dari segala waktu dan
tempat, karena penebusan diperuntukkan bagi semua orang benar” (KGK 634). Solider
dengan semua orang berdosa itulah apa yang disebut bagi von Balthasar, bukti paling kuat
bahwa Kristen-Nya “Misteri Sabtu Suci”.58 Ia mengatakan bahwa Sabtu Suci tidak
mewujudkan turunnya Kristus yang Jaya ke dalam Dunia bawah (Sheol atau Hades), tetapi
solidaritas-Nya yang sepenuh-penuhnya dengan orang-orang berdosa dalam kematian.
Namun pengharapan seperti itu tidak dapat hanya berbentuk kemauan setengahsetengah atau impian sentimental hati yang berdarah. Pengharapan seperti itu merupakan
perintah di mana harus bertindak dengan harapan bahwa semua orang akan diselamatkan. Hal
tersebut menunjukkan bahwa neraka bukanlah sebuah tempat penyiksaan yang paling ngeri
sebagai hukuman terhadap dosa manusia melainkan sebuah gambaran apokaliptik tentang
situasi dan kondisi jiwa-jiwa yang terpisah selamanya dengan Allah sang sumber dan tujuan
hidup manusia. Karena mendesaknya pertobatan itu sehingga Yesus menggunakan gaya
bahasa apokaliptik agar pendengarnya percaya kepada Injil yang diwartakan
IV. Kesimpulan
Pada hakikatnya, Allah menghendaki agar semu orang diselamatkan dan bersatu dengan
Allah Sang Sumber Hidup dan kebahagiaan manusia. Dengan maksud inilah, Allah melalui
pelbagai cara menyelamatkan manusia. Salah satunya melalui pengajaran tentang Kerajaan
Surga. Karena itu, da menyampaikan kabar baik keselamatan itu, Yesus mengancam orangorang yang tidak mau mendengarkan pewartaan-Nya dengan gambaran neraka dalam dunia
apokaliptik yang berkembang pada zaman itu. Itulah sebabnya Yesus menggunakan gambaran
neraka seperti gambaran hukum dan siksaan gehenna untuk mempertegas hakikat manusia
sebagai makhluk yang bersekutu dengan Allah. Sebab penolakan terhadap cinta dan belas
kasih Allah akan membawa manusia pada pemisahan yang kekal dengan Allah dimana
manusia tidak dapat merasakan kebaikan Allah. Karena itu, neraka sejatinya bukanlah sebuah
tempat penyiksaan kekal, api tak terpadamkan melainkan situasi dan keadaan dimana manusia
tidak dapat merasakan kebaikan dan belas kasih Allah. Sebab belas kasih Allah diperuntukkan
bagi keselamatan semua orang di segala abad.
Referensi
Adon, Mathias Jebaru. “Peran Komunitas Kristen Sebagai Jembatan Kasih Di Tengah
Penderitaan Bangsa Indonesia.” VOX DEI: Jurnal Teologi dan Pastoral 2, no. 1 (2021):
63–83.
Warseto Freddy Sihombing, “Konsep Keselamatan Universalisme,” Jurnal Pionir LPPM Universitas
Asahan 7, no. 3 (2020): 7–22.
58
Phan, 101 Tanya Jawab Tentang Kematian Dan Kehidupan Kekal.
57
Copyright 2022, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online)
| 158
Mathias Jebaru Adon, Petrus: Konsep Neraka Dalam Pandangan Gereja...
———. “The Eucharist and the Spirituality of the Catholics in the Public Space.” PASCA:
Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen 18, no. 1 (2022): 12–27.
Afandi, Irfan. “Demythologizing Neraka Huthomah.” Jurnal Darussalam: Jurnal Pendidikan,
Komunikasi dan Pemikiran Hukum Islam VII, no. 2 (2016): 425–440.
Angwarmas, Yonas, and Ignasius S.S. Refo. “Pandangan Popular Tentang Kematian Umat
Katolik Paroki St. Yosef Rumahtiga.” Fides et Ratio (n.d.).
Gulo, Renihati. “Belas Kasih Adalah Kunci Untuk Mengampuni.” BONAFIDE:Jurnal
Teologi dan Pendidikan Kristen 2 (2021): 23–35.
Gunawan, Henricus Pidyarto. Eksegese b Suci Perjanjian Baru Sinoptik. Malang, 2002.
———. “Kerahiman Allah Menurut Alb.” In Kerahiman Allah, edited by Edison R.L.
Tinambunan. Malang: Karmelindo, 2017.
Hadisumarta, F. X. “Kerahiman Allah Menurut Maria.” In Kerahiman Allah, edited by Edison
R. L Tinambunan. Malang: Karmelindo, 2017.
Handoko, Petrus Maria. Dicipta Untuk Dicinta: Antropologi Teologis Fundamental (Teologi
Penciptaan). Malang, 1996.
Ilyas, Deddy. “Antara Surga Dan Neraka : Menanti Kehidupan Nan Kekal Bermula.” Jia
XIV, no. 2 (2013): 163–174.
Indahsari, Ade Destarahayu, Nur Fitriyana, and Sofia Hayati. “Api Penyucian Dalam
Pengajaran Gereja Katolik St. Yoseph Palembang.” JSA 4, no. 1 (2021): 38–45.
Jaringan, Yohanes Hasiholan Tampubolon. “Sumbangan Teks Apokaliptik Terhadap Gerakan
Sosial Politik Dalam Gereja.” Jurnal Ledalero 18, no. 2 (2019).
Kasper, Walter. Belas Kasih Allah: Dasar b Suci Dan Kunci Hidup Kristiani. Edited by
Karmelindo. Malang, 2016.
Lumen Gentium. “Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium.” In Seri Dokumen Gereja No. 7,
edited by R. Hardawiryana, 1–116. Jakarta: Depertemen Dokumentasi Dan Penerangan
Konferensi Waligereja Indonesia, 1990.
Mussa, Delon Patrick F., and Marthinus Ngabalin. “Parosia Dalam Perspektif Jemaat Di
Tesalonika Dan Implikasinya Bagi Gereja Masa Kini.” Didakso: Jurnal Teologi dan
Pendidikan Kristen 1, no. 2 (2021): 89–96.
Pareira, Berthold Anton. Alb Dan Ketanahan. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Paus Fransiskus. “Misericordiae Vultus Wajah Kerahiman Allah.” In Bulla Pemberitahuan
Yubileum Luar Biasa Kerahiman Paus Fransiskus 11 April 2015. 99th ed. Jakarta:
Depertemen Dokumentasi Dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia, 2015.
Phan, Peter C. 101 Tanya Jawab Tentang Kematian Dan Kehidupan Kekal. 05 ed.
Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Pradipta, Nemesius. “Belas Kasih Allah Dalam Kematian Kristiani Menurut Karl Rahner.”
Jurnal Teologi 08, no. 01 (2019): 47–64.
Pranadi, Yosep. “Kematian Dan Kehidupan Abadi: Sebuah Eksplorasi Dalam Perspektif
Gereja Katolik.” Melintas 34, no. 3 (2018): 248–271.
Randa, Federans. “Karya Keselamatan Allah Dalam Yesus Kristus Sebagai Jaminan Manusia
Bebas Dari Hukuman Kekal Allah.” Jurnal Teologi Logon Zoes (2020).
Setiawan, Asep. “Perempuan Sebagai Mayoritas Penghuni Neraka Dan Kelemahannya Dari
Sisi Akal Dan Agama (Sanggahan Atas Gugutan Kaum Feminisme Terhadap Hadis
’Misoginis’).” Tajdid 18, no. 1 (2019): 1–23.
Sihombing, Warseto Freddy. “Konsep Keselamatan Universalisme.” Jurnal Pionir LPPM
Universitas Asahan 7, no. 3 (2020): 7–22.
Simanjuntak, Mira Permata Sari, and Pardomuan Munthe. “Tinjauan Dogmatis Tentang Sheol
Tempat Orang Mati.” Jurnal Sabda Akademika 1, no. 2 (2021): 63–71.
Stanislaus, Surip, and R Oktavianus Saragih. “Belas Kasih Dan Keadilan Allah (Kel 34: 57).” Logos, Jurnal Filsafat-Teologi 17, no. 2 (2020): 5–7.
Copyright 2022, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online)
| 159
ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 5, No 2, Des 2022
Suddmasilo, Bikshu. “Konsep Filosofis Reinkarnasi Dan Argumentasinya.” Extension Course
Filsafat, no. November (2015): 1–9.
Susanto, Deri. “Neraka Api Kekal Dan Siksaan.” JPP-Danum Pambelum 15, no. 2 (2019).
Tamba, Sumihar. “Intermediate State : Studi Reflektif Tentang Kematian Dan Relevansinya
Bagi Orang Percaya.” Asteros:Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 7, no. 1 (2019):
30–38.
Tenggana, Elisa. “Kritik Terhadap Eksistensi Manusia Dalam Konsep Reinkarnasi
Buddhisme.” Journal of Chemical Information and Modeling 53, no. 9 (2013): 1689–
1699.
Tobing, David hizki, Yohanes Kartika Herdiyanto, and Dewi Puri Astiti. “Bahan Ajar Metode
Penelitian Kualitatif.” Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udaya
(2016): 42.
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/870ba33936829bb37ecd8f62f8
514ba7.pdf.
Watopa, Dolfinus B, and Zulkisar Pardede. “Pentingnya Pemahaman Eskatologi Menurut
Matius 24 Bagi Jemaat GPdI Pisga.” EPIGRAPHE: Jurnal Teologi dan Pelayanan
Kristiani 4, no. 2 (2020): 283–295.
Winarjo, Hendra. “Apakah Allah Itu Kejam?: Sebuah Tinjauan Doktrin Dosa Dan Keadilan
Allah Untuk Menjawab Tuduhan Kekejaman Allah Dalam Kejadian 19:26.” Consilium
20 (2019): 32–54.
Yohanes Paulus II. “Katekismus Gereja Katolik.” Konstitusi Apostolik FIidei Depositum.
Koferensi Waligereja Indonesia, 1992.
Zaluchu, Sonny Eli. “Strategi Penelitian Kualitatif Dan Kuantitatif Di Dalam Penelitian
Agama.” Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat 4, no. 1 (2020):
28.
Copyright 2022, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online)
| 160