Academia.eduAcademia.edu

Kualitas Fisik Abon Itik dari Strain Berbeda

Jurnal Ilmiah Peternakan Halu Oleo

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh daging itik dari strain yang berbeda terhadap kualitas fisik abon daging itik. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan dan 6 ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah itik tegal (P1), itik alabio (P2), itik entog (P3) dan itik peking (P4). Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah kualitas fisik yaitu pH, susut masak dan rendemen. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam dan perlakuan yang berpengaruh nyata terhadap variabel yang diukur diuji lanjut menggunakan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa abon itik dari strain yang berbeda berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pada variabel pH dan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap susut masak dan rendemen abon daging itik. Diantara empat strain itik yang sangat bagus digunakan dalam pembuatan abon yaitu pada perlakuan 4 (Itik Peking). Kata Kunc...

JIPHO (Jurnal Ilmiah Perternakan Halu Oleo): Vol: 5, No 3, Juli 2023 eISSN: 2548-1908 DOI: 10.56625/jipho.v5i3.39112 Halaman:224-228 Kualitas Fisik Abon Itik dari Strain Berbeda (Physical Quality of Shredded Duck from Different Strains) Putri Melani Joni1, Harapin Hafid1*, Fitrianingsih1 Fakultas Peternakan, Universitas Halu Oleo, Kampus Hijau Bumi Tridharma Jl. H. E. A. Mokodompit, Andonohu, Kendari, Sulawesi Tenggara, Indonesia 93232. 1 *Corresponding author: [email protected] Abstrak. Daging itik merupakan salah satu sumber protein hewani yang didapat dari unggas dengan kandungan protein dan lemak yang cukup tinggi. Daging itik berbau anyir atau amis daripada daging ayam atau daging sapi sehingga banyak masyarakat jarang mengkonsumsi atau kurang suka dengan daging itik Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh daging itik dari strain yang berbeda terhadap kualitas fisik abon daging itik. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan dan 6 ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah itik tegal (P1), itik alabio (P2), itik entog (P3) dan itik peking (P4). Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah kualitas fisik yaitu pH, susut masak dan rendemen. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam dan perlakuan yang berpengaruh nyata terhadap variabel yang diukur diuji lanjut menggunakan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa abon itik dari strain yang berbeda berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pada variabel pH dan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap susut masak dan rendemen abon daging itik. Diantara empat strain itik yang sangat bagus digunakan dalam pembuatan abon yaitu pada perlakuan 4 (Itik Peking). Kata Kunci: Daging itik, abon, pH, susut masak, rendemen Abstract. Duck meat is a source of animal protein obtained from poultry with a fairly high protein and fat content. Duck meat smells rancid or fishy rather than chicken or beef, so many people rarely consume or do not like duck meat. This study aims to evaluate the effect of duck meat of different strains on the physical quality of shredded duck meat. The design used in this study was a completely randomized design (CRD) consisting of 4 treatments and 6 replications. The treatments used were Tegal ducks (P1), Alabio ducks (P2), Muscovy ducks (P3) and Peking ducks (P4). The variables measured in this study were physical qualities, namely pH, cooking losses and yield. The data obtained were analyzed by analysis of variance and the treatment that had a significant effect on the measured variable was further tested using Duncan's Multiple Range Test (DMRT). The results showed that shredded duck from different strains had a significant (P<0.05) effect on the pH variable and had no significant effect (P>0.05) on cooking losses and yield of shredded duck meat. Among the four very good duck strains used in making floss, namely in treatment 4 (Peking duck). Keywords: Duck meat, shredded, pH, cooking loss, yield 1. Pendahuluan Itik adalah ternak unggas penghasil telur maupun daging. Daging itik merupakan sumber daging dengan kandungan gizi yang cukup baik, namun memiliki bau khas anyir ketimbang daging dari ternak lain seperti ayam atau sapi sehingga daging itik jarang dikonsumsi. Bau anyir daging itik disebabkan oleh komponen volatil yang berasal dari hasil oksidasi lemak tak jenuh. Kandungan lemak tak jenuh sekitar 60% dari total asal lemak daging dan memiliki warna daging merah yang mudah teroksidasi Kandungan lemak pada itik kisaran 2,7 – 8,2% [1]. Badan Pusat Statistik menurut Provinsi Sulawesi Tenggara (2022) mencatat bahwa daging itik yang diproduksi tahun 2022 sebanyak 426,82 kg per tahun [2]. Selain bau anyir, warna daging itik lebih merah dan alot dibandingkan dengan daging ayam, hal ini turut serta mempengaruhi preferensi konsumen terhadap daging itik. Untuk meningkatkan 224 JIPHO (Jurnal Ilmiah Perternakan Halu Oleo): Vol: 5, No 3, Juli 2023 eISSN: 2548-1908 DOI: 10.56625/jipho.v5i3.39112 Halaman:224-228 penerimaan konsumen terhadap daging itik, dapat dilakukan dengan mengolahnya menjadi produk olahan daging seperti abon. Abon merupakan salah satu bentuk olahan yang umumnya dibuat dari daging yang disuwir dan ditambahkan bumbu kemudian dilakukan penggorengan dan pengepresan [3]. Pengolahan daging menjadi abon melewati serangkaian proses dan penambahan bahan-bahan seperti santan dan bumbu-bumbu aromatik, sehingga memungkinkan bau anyir dari daging itik dapat dihilangkan. Daging itik dapat berasal dari berbagai jenis strain itik, antara lain itik tegal, itik alabio, itik entog dan itik peking. Karakteristik daging dari strain yang berbeda menunjukan adanya perbedaan, dimana daging itik tegal memiliki tekstur yang lebih alot dengan warna daging merah cerah karena dipengaruhi kandungan hemoglobin dan mioglobin, serta memiliki kandungan protein tinggi berkisar antara 20,04% dan rendahnya kalori. Daging itik alabio memiliki daging yang alot sama dengan itik tegal dan itik entog, berbau yang khas didominasi bau lemak (fatty), memiliki warna merah cerah yang dipengaruhi oleh mioglobin dan daging itik entog memiliki tekstur daging yang keras dan tebal dibanding daging itik alabio dan itik tegal, serta memiliki warna daging merah kehitaman dan itik peking memiliki warna daging merah pucat dibandingkan daging ayam, serta kandungan lemaknya tinggi sekitar 2,7 - 6,8% [4]. 2. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2022 sampai bulan Januari 2023 bertempat di Laboratorium Unit Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Halu Oleo, Kendari. Materi utama yang digunakan dalam penelitian adalah daging itik. Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan abon ini yaitu daging itik tegal (Anas Plantyhynchos Javanicus), itik alabio (Anas platyrinchos Borneo), itik entog (Cairina moschata) dan itik peking (Anas Platyrhynchos), ketumbar, bawang putih, bawang merah, sereh, daun salam, lengkuas, gula merah, garam, santan kelapa dan minyak goreng. Peralatan yang digunakan dalam penelitian yaitu pH meter, kertas kode, timbangan digital, baskom, wajan, spatula, kompor, sendok, panci, piring, talenan, pisau, spiner, gelas ukur 50 ml, kamera dan alat tulis. Prosedur pembuatan abon daging itik dimulai dengan menyiapkan alat dan bahan. Kemudian daging direbus dengan serai dan daun salam sampai matang/empuk dengan suhu 80 C selama (1/2 jam). Selanjutnya bumbu-bumbu disiapkan berupa bawang merah, bawang putih, daun salam, ketumbar, serai, lengkuas, garam, gula merah dan santan, setelah dilakukan perebusan daging, maka daging disuwir-suwir dan bumbu dimasak. Setelah dilakukan penggorengan abon ditiriskan dan dispinner yang bertujuan untuk menghilangkan sisa minyak yang ada. Setelah proses spinner selesai abon kemudian dikeluarkan dari mesin spinner lalu dimasukkan ke dalam wadah yang telah diberi masing-masing kode. Penelitian ini menggunakan metode rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 6 ulangan. Perlakuan yang diberikan yaitu: P1= Daging itik tegal (Anas Plantyhynchos Javanicus) P2= Daging itik alabio (Anas platyrinchos Borneo) P3= itik entog (Cairina moschata) P4= Daging itik peking (Anas Platyrhynchos). Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah kualitas fisik (pH, susut masak dan rendemen). Data yang diperolah dianalisis menggunakan sidik ragam. Selanjutnya apabila perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pengolahan data dilakukan dengan menggunakan SPSS IBM Versi 26. 3. Hasil dan Pembahasan Hasil kualitas fisik pH, susut masak dan rendemen terhadap abon daging itik dari strain berbeda disajikan pada tabel 1. 3.1. Derajat keasaman (pH) Derajat keasaman atau pH merupakan derajat keasaman untuk menentukan tingkat keasaman atau kebasaan dalam suatu bahan pangan [5]. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai pH abon itik dari strain berbeda berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai pH abon daging itik. Rataan nilai pH 225 JIPHO (Jurnal Ilmiah Perternakan Halu Oleo): Vol: 5, No 3, Juli 2023 eISSN: 2548-1908 DOI: 10.56625/jipho.v5i3.39112 Halaman:224-228 abon yang dihasilkan berkisar antara 5,65 - 5,88. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa pH abon pada perlakuan P1 berbeda nyata lebih rendah dibanding perlakuan P2, P3 dan P4. Namun pH abon pada perlakuan P2 dan P3 tidak berbeda nyata. pH abon pada perlakuan P4 adalah paling tinggi dari perlakuan lainnya. Tabel 1. Rataan kualitas fisik pH, susut masak dan rendemen abon daging itik Perlakuan Variabel P1 ( Itik Tegal) P2 (Itik Alabio) P3 (Itik Entog) P4 (Itik peking) pH 5,65a±0,05 5,78b±0,04 5,85bc±0,08 5,88c±0,04 Susut Masak 21,42±0,96 22.24±1,30 22,61±1,50 22,68±1,70 Rendemen 71,44±0,88 70,68±1,19 70,36±1,37 71,19±1,54 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Secara garis besar perubahan pH dipengaruhi oleh jumlah protein pada produk yaitu sejumlah muatan positif akan dilepaskan jika pH lebih tinggi atau lebih rendah dari pada pH isoelektrik sehingga terjadi kelebihan muatan negatif yang akan mengakibatkan penolakan miofilamen dan memberi banyak ruang molekul air [6]. Perubahan pH dipengaruhi salah satu faktor yaitu perubahanperubahan yang terjadi pada denaturasi protein dalam sarkoplasma [7]. Nilai pH berubah setelah ternak mati, pada dasarnya ditentukan oleh kandungan glikogen pada daging dan penanganan sebelum penyembelihan, lama post mortem berpengaruh nyata terhadap pH abon, sehingga semakin lama waktu post mortemnya, maka pH abon cenderung turun, hal ini dikarenakan pH daging mengalami penurunan setelah hewan dipotong. Selain itu juga, adanya perubahan keseimbangan hidrogen pada abon berpengaruh dari nilai pH bahan dasar yang digunakan dalam pembuatan abon. Pencampuran bahan-bahan membuat titik keseimbangan hidrogen yang baru pada abon [8]. Nilai pH abon itik dari daging segar menurun ketika diolah menjadi sebuah produk abon yaitu dipengaruhi oleh proses sebelum dan sesudah diolah, pada saat pengolahan menjadi abon mengalami perubahan yaitu pada saat penambahan bumbu-bumbu. kualitas daging dan karkas dipengaruhi oleh faktor sebelum yaitu genetik, spesies dan sesudah pemotongan yaitu seperti sterilisasi area lingkungan, dan pengolahan menjadi sebuah produk [9]. Faktor lain yang mempengaruhi nilai pH abon antara lain karena adanya penambahan bumbu-bumbu seperti gula pada pembuatan abon daging itik. Semakin banyak penambahan gula maka nilai pH yang terkandung dalam abon akan cenderung meningkat [10]. 3.2. Susut Masak Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging sehubungan dengan jus daging yaitu banyaknya air yang berikatan didalam dan diantara serabut otot. Daging dengan susut masak lebih rendah mempunyai kualitas relatif lebih baik dibandingkan daging yang memiliki susut masak lebih besar [11]. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strain itik tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap susut masak abon. Rataan nilai susut masak abon yang dihasilkan berkisar antara 21,42 - 22,68%, dimana P1 dengan rataan 21,42%, P2 dengan rataan 22,24%, P3 dengan rataan 22,61% dan P4 dengan rataan 22,68%. Strain itik tidak mempengaruhi nilai susut masak karena jenis daging itik dari strain berbeda sama-sama memiliki protein (21,4%) dan lemak (8,2%) yang tinggi, sehingga pada saat proses pengolahan berlangsung air daging yang keluar cenderung sama, sehingga nutrisi yang hilang bersama air semakin sedikit. Faktor yang mempengaruhi susut masak adalah protein daging yang dapat mengikat air, dengan demikian semakin banyak air yang ditahan oleh protein daging maka semakin sedikit air yang terlepas dan menghasilkan susut masak yang lebih rendah. Hal ini diduga bahwa susut masak dipengaruhi oleh hilangnya air selama pemasakan, disebabkan oleh protein yang dapat mengikat air. Nilai susut masak yang normal berkisar 1,5 - 54,5%, susut masak yang baik adalah rendahnya air daging yang keluar selama pemasakan sehingga nutrisi yang hilang bersama air semakin sedikit, daging dengan susut masak rendah memiliki kualitas yang baik karena selama pemasakan tidak banyak kehilangan nutrisi [12]. 226 JIPHO (Jurnal Ilmiah Perternakan Halu Oleo): Vol: 5, No 3, Juli 2023 eISSN: 2548-1908 DOI: 10.56625/jipho.v5i3.39112 Halaman:224-228 3.3 Rendemen Rendemen dapat diartikan sebagai persentase rasio antara hasil produk akhir terhadap bahan baku awal yang digunakan [13]. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strain itik yang berbeda tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap nilai rendemen abon itik. Rataan nilai Rendemen abon semua perlakuan berkisar antara 70,36 - 71,44%, dimana P1 dengan rataan 71,44% P2 dengan rataan 70,68% P3 dengan rataan 70,36% dan P4 dengan rataan 71,19%. Rendemen banyak dipengaruhi oleh kandungan air, serta penambahan bahan pendukung selama proses pengolahan. Daging itik dari semua jenis strain yang digunakan memiliki kadar air yang cenderung sama yaitu pada itik tegal memiliki kadar air 68,8%, itik alabio memiliki kadar air 54,30%, itik entog memiliki kadar air 72,69% - 73,55% dan itik peking memiliki kadar air 77,66% [14]. Rendemen abon juga dipengaruhi oleh besarnya penyusutan pada saat pengolahan menjadi abon pada tahap perebusan dan penggorengan mengakibatkan terjadi penguapan dan pengeluaran kadar air dari daging. Hal ini diduga bahwa rendemen Ketika pressure cooker mulai dipanasi, maka suhu air naik lebih cepat dari pada suhu titik tengah daging dan pada akhirnya suhu titik daging sama dengan suhu air. Suhu dan lama pemasakan mempunyai efek yang sangat signifikan terhadap sifat-sifat fisik dan kualitas daging. Peningkatan suhu dapat meningkatkan denaturasi protein-potein miofibril, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan sifat-sifat protein tersebut, termasuk kemampuannya mengikat air [15]. Faktor lain yang mempengaruhi rendemen pada abon yaitu waktu penggorengan yang lama. Penggunaan waktu yang lama akan mengeluarkan energi oleh media pengering akan semakin tinggi sehingga air dapat teruapkan terlalu banyak dan akan mengakibatkan kadar air menurun. Selain itu disebabkan pula oleh air bebas yang terdapat dalam bahan langsung diuapkan oleh panas dari wajan dan minyak sebagai media perantara sehingga sebagian dari air bebas tersebut yang terdapat didalam jaringan bahan akan dapat menguap atau berkurang [16]. 4. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa abon itik dari strain yang berbeda berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kualitas fisik abon yaitu pada vaeriabel pH dan tidak berpngaruh nyata (P>0,05) terhadap susut masak dan rendemen. 5. Daftar Pustaka [1] Matitaputty PR dan Suryana. 2010. Karakteristik daging itik dan permasalahan sertaupaya pencegahan off-flavor akibat oksidasi lipida. jurnal Wartazoa 3(20). [2] Badan Pusat Statistik. 2018. Data Statistik Sektoral Dinas Peternakan. Provinsi Sulawesi Tenggara [3] Nur’aini H, Ishar dan Darius. 2019. Inovasi pengolahan abon lokan (pilsbryoconcha exilis) dengan perlakuan substitusi tebu telur (saccharum edule). Jurnal Agritepa VI (1) [4] Zulfahmi M, YB Pramonodan A Hintono. 2013. Pengaruh Marinasi Ekstrak Kulit Nenas (Ananas Comocus L. Merr) Pada Daging Itik Tegal Betina Afkir Terhadap Kualitas keempukan Dan Organoleptik. Jurnal Pangan dan Gizi 4(8) [5] Soeparno. 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta. [6] Aberle, E.D., J.C. Forrest. D.E., Gerrand, and E.W. Mills. 2001. Principles of Meat Science. Fourth Ed. Amerika. Kendal/Hunt Publishing Company [7] Lawrie. 2007. Ilmu Daging. Edisi kelima. Terjemah: A. Parakkasi dan Y. Amwila. Universitas Indonesia Press. Jakarta. [8] Linawati, 2006. Kadar protein kolagen dan hubungannya dengan kualitas daging sapi PO.Laporan Penelitian. Universitas Gadjah Mada, [9] Roswandono, A Setyonugroho, EHM Restijono, DAK Sari. 2021. Analisis Kualitas Daging Bebek Dengan Menggunakan Uji Ph, Daya Ikat Air dan Uji Eber Di Pasar Tradisional Kabupaten Kediri. Jurnal vitek bidang kedokteran 11(2). 227 JIPHO (Jurnal Ilmiah Perternakan Halu Oleo): Vol: 5, No 3, Juli 2023 eISSN: 2548-1908 DOI: 10.56625/jipho.v5i3.39112 Halaman:224-228 [10] Rasman, H Hafid dan Nuraini. 2018. Pengaruh Penambahan Buah Nangka Muda terhadap Sifat Fisik dan Organoleptik Abon Daging Itik Afkir. Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan Tropis.5(3):95-101 [11] Pratiwi ON, Suharyanto Dan Warnoto. 2021. Karakteristik Fisikokimia Dan Organoleptik Pepes Daging Itik Petelur Afkir Yang Dilumuri Bubuk Daun Nangka (Artocarpus Heterophyllus. Jurnal Buletin Peternakan Tropis 2(2). [12] Hardoko, PY Sari dan YE Puspitasari. 2015. Subtitusi jantung pisang dalam pembuatan abon dari pindang ikan tongkol. Jurnal Perikananan Dan Kelautan1(1). [13] Soeparno. 2011. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Pertama. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta. [14] Saparudin, D. Wulandani, & N. Purwanti. 2016. Validasi simulasi tekanan dan suhu air serta suhu daging sapi selama pemasakan dalam pressure cooker. Jurnal Teknologi Industri Pertanian 26(3):343-351. [15] Gaga L. M Tahir dan Z Antuli. 2021. Pengaruh lama pemasakan terhadap karakteristik fisikokimia abon ikan gabus (channa striata) dengan substitusi jantung pisang. Jambura journal of food technology (JJFT) 4(1). [16] Zaroroh. 2013. Eksperimen pembuatan abon keong sawah dengan substitusi kluwih dan penggunaan gula yang berbeda. Jurnal pendidikan ilmu pangan dan kuliner 2(2) 228