Academia.eduAcademia.edu

Ludruk dan Panggung bagi Waria

2020

Prosentase plagiat tinggi karena artikel yang sama dan ditulis oleh orang yang sama juga diterbitkan di online secara bersamaan

View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk brought to you by CORE provided by Scientific Repository Ludruk dan Panggung Bagi Waria Judul buku: Waria (Relasi, Jati Diri, Ekspresi) Penulis: Agus Koecink Tahun TERBIT: 2019 Penerbit: Pagan Press Tebal: xii + 116 halaman ISBN: 978-623-7564-21-8 Agus Koecink begitu naratif dalam mendeskripsikan kiprah waria di panggung ludruk. Namun, ada catatan yang terlewatkan mengenai pandangan kritis. — ADA narasi yang terbangun secara turun-temurun yang menyebutkan bahwa semua pemain ludruk adalah laki-laki. Mengapa laki-laki? Rupanya, kemunculan seni ludruk tak bisa dilepaskan dari masa revolusi fisik melawan penjajah Belanda maupun Jepang. Artinya, karena ludruk dipakai sebagai ”alat untuk berjuang”, pemain ludruk haruslah siap untuk angkat senjata atau malah siap jika ditangkap. Namun, ada catatan tertulis mengenai ludruk saat kali pertama digelar. Dalam penelitian Peacock (1968) disebutkan, itu terjadi pada 1822. Catatan Peacock tersebut melukiskan bahwa ludruk hanya dibintangi dua orang, yaitu seorang pemain dagelan yang melucu dan seorang waria. Berdasar catatan itu, peran waria dalam ludruk sangat menonjol. Buku yang ditulis Agus Koecink ini berusaha membongkar bagaimana proses waria menciptakan dirinya untuk mencari jati diri yang terungkap secara estetis dalam pertunjukan ludruk. Dengan mengambil objek Ludruk Irama Budaya Surabaya, Agus memusatkan perhatiannya pada aktualisasi waria dalam ludruk. Termasuk juga bagaimana menempatkan posisi waria dalam berbagai situasi ruang dan waktu. Itulah yang disebut Agus sebagai proses situasi sosial. Konstruksi Diri Waria Teori queer makin berkembang seiring dengan makin toleran atau justru makin tidak tolerannya perilaku masyarakat terhadap liyan. Dalam konteks ludruk, seperti juga dalam praktik seni pertunjukan tradisi lainnya, waria memperoleh ruangnya. Agus menyatakan, dalam ludruklah kaum waria dapat mengaktualisasikan diri kepada penonton. Dalam buku ini, Agus secara terperinci mencatat praktik-praktik yang terjadi saat penonton sedang menikmati ludruk. Perilaku yang terjadi di penonton serta bagaimana interaksi penonton dengan saat waria mulai tampil di panggung (halaman 42–44). Dalam catatan Agus, dengan bermain di ludruk, waria merasa seakan-akan bisa diterima khalayak. Saat beraksi di panggung, saat itulah waria mengonstruksi dirinya, berpikir tentang dirinya, serta berstrategi untuk menempatkan diri mereka di hadapan penonton (halaman 20). Dalam kebudayaan, itulah yang disebut ruang negosiasi. Di atas panggung pula, waria bermain tanda. Simbol-simbol pertunjukan dimanfaatkan untuk membangun jati diri sesuai dengan harapan-harapan mereka. Ekspresi tubuh, ungkapan bahasa, dan ciri-ciri tubuh menjadi alat negosiasi waria di depan penonton. Merias adalah aktivitas yang dilakukan waria dalam merekonstruksi diri. Dalam buku ini, digambarkan bagaimana mereka memiliki tokoh-tokoh idola, baik tokoh di sinetron maupun penyanyi. Gambaran tentang citra selebriti itulah yang ditiru dalam proses merias. Agus menuliskannya sebagai wajah penafsiran. Dalam hal itulah menjadi penting untuk mendalami mengenai waria tidak hanya saat mereka di atas panggung, tapi juga kala berada dalam kelompok ludruk yang berinteraksi dengan masyarakat umum. Proses interaksi melalui ruang-ruang sosial itu bagi waria adalah proses menemukan jati diri. Agus Koecink dalam buku ini begitu naratif dalam mendeskripsikan praktik-praktik waria di panggung ludruk. Namun, ada catatan yang terlewatkan mengenai pandangan kritis. Untuk melihat praktik waria dalam ludruk yang dilihat sebagai suatu interaksi, teori queer sebagai pendekatan kritis pada norma masyarakat seharusnya bisa terapkan dalam pembahasan di buku ini. Hal tersebut penting untuk membongkar mengapa suatu hal bisa dijadikan norma, sementara yang lain tidak. Hal apa yang hilang, ditutup-tutupi, dan dibuang ketika suatu hal tersebut menjadi norma? Pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa menjadi poin pendalaman agar buku ini makin komprehensif dalam melakukan kajian kritis, terutama dalam menjawab peran waria yang berjarak antara di atas panggung dan di luar panggung. Ada hal yang menarik di buku ini dalam kaitannya dengan penerimaan masyarakat yang masih setengah-setengah kepada waria. Saat waria berpenampilan apa adanya (belum di-make up), mereka dipandang sebagai makhluk yang ”aneh”; makhluk yang menyimpang dari norma sosial dan agama. Namun, di sisi lain, saat waria mulai mendandani diri dan menjadi sosok yang menggairahkan dan mengundang nafsu berahi yang tampil dalam panggung seni, masyarakat menganggap bahwa waria tersebut merupakan makhluk yang serbabisa. Penerimaan yang mendua itulah yang kemudian justru dipahami waria tentang seperti apakah dunia yang seharusnya mereka miliki. Ludruk adalah dunia mereka, panggung yang menerima jati diri waria berikut interaksi mereka. (*) *) Obed Bima Wicandra, Dosen Estetika DKV UK Petra Surabaya