2 SP
2 SP
2 SP
Abstract: This research discusses the short story "Orang Bunian" by Gus TF Sakai as a material object and
ecological studies related to local wisdom and myths in literary works as formal objects. The short story
"Orang Bunian" is one of the short stories of Gus TF Sakai in the short story anthology that contains
narratives about myths and people who believe in them. The method used is descriptive qualitative research
analysis. This research was carried out with the aim of identifying and analyzing based on ecological studies
of myths in the short story and its relationship with local wisdom in the local area. The results showed that
the presence of myth as a form of local wisdom serves as the conservation and preservation of natural
resources, as the development of culture and science, and as advice, beliefs, literature, and abstinence.
Abstrak: Penelitian ini menjadikan cerpen “Orang Bunian” karya Gus TF Sakai sebagai objek material dan
kajian ekologis yang berhubungan dengan kearifan lokal terkait dengan mitos dalam karya sastra sebagai
objek formal. Cerpen “Orang Bunian” merupakan salah satu cerpen Gus TF Sakai dalam kumpulan cerpen
Kaki Yang Terhormat yang memuat narasi tentang mitos dan masyarakat yang memercayai mitos tersebut.
Adapun metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif analisis deskriptif. Penelitian ini
dilakukan dengen tujuan untuk mengidentifikasi serta menganalisis berdasarkan kajian ekologis mitos dalam
cerpen tersebut dan hubungannya dengan kearifan lokal di daerah setempat. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kehadiran mitos sebagai bentuk dari kearifan lokal berfungsi sebagai konservasi dan pelestarian
sumber daya alam, sebagai pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan; dan sebagai petuah,
kepercayaan, sastra, dan pantangan.
Pendahuluan
Melestarikan nilai kearifan lokal merupakan salah satu cara dalam menjaga budaya tradisional
di Indonesia. Sebagai negara yang multikultural dan multietnik, masyarakat Indonesia mempunyai
tradisi dan tata cara tersendiri dalam berinteraksi dengan alam. Sebuah tradisi yang sarat nilai luhur
dalam memperlakukan alam dengan membaca dan memaknai tanda-tanda yang diberikannya.
Kemajemukan suku yang ada di Indonesia menjadikannya sebagai bangsa yang menyimpan
keberagaman bentuk tradisi dalam menjaga alam dan lingkungan. Tidak jarang, bentuk kearifan
lokal masyarakat itu melatarbelakangi penciptaan karya beberapa penulis sastra di Indonesia.
Dalam berbagai genre karya sastra tidak jarang ditemukan bentuk kearifan lokal sebagai
tema ceritanya. Kearifan lokal adalah tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam
berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif 1. Beberapa bentuk kearifan lokal yang
dituliskan dalam karya sastra berkaitan dengan mitos dan kondisi alam, seperti hutan dan berbagai
isinya yang saling berkaitan dengan kehidupan manusia. Hal itu memberikan informasi kepada
pembaca tentang bentuk kearifan lokal suatu kelompok masyarakat. Tentu saja karya sastra yang
mengangkat tema semacam itu menarik untuk dibaca.
Cerpen “Orang Bunian” karya Gus TF Sakai merupakan salah satu cerpen yang mengangkat
tema tentang mitos dan kearifan lokal suatu kelompok masyarakat. Cerpen “Orang Bunian” termuat
dalam buku kumpulan cerpen Kaki Yang Terhormat. Cerpen itu sebelumnya pernah dimuat di
1
Supriatna dalam Sudikan, Ekologi Sastra, (Lamongan: Pustaka Ilalang Grup, 2016) h.77.
1
harian Kompas pada 25 April 20102. “Orang Bunian” bercerita tentang kenangan seorang ayah pada
masa mudanya ketika berburu babi di salah satu bukit di kampung, tepatnya di daerah bukit Burai.
Kisah ini mengenai tokoh yang tidak mengindahkan pantangan dan larangan dalam berburu.
Padahal mereka mempunyai tradisi tersendiri dalam menghormati alam sebelum kegiatan berburu.
Cerita itu bermula dari pertanyaan anak perempuannya mengenai keberadaan orang bunian pada
saat ini. Si tokoh Ayah menjawabnya dengan menceritakan peritiwa aneh ketika sedang berburu
babi, peristiwa yang dapat disebut sudah di luar nalar manusia, persitiwa yang sudah masuk dalam
dunia gaib, sebuah peristiwa yang sulit untuk dilupakan. Sebuah kisah memadukan mitos yang
hidup di tengah masyarakat dengan bentuk kearifan lokal masyarakatnya dalam berinteraksi dan
menjaga lingkungan.
Penelitian ini mengambil objek materil salah satu cerpen yang termuat dalam kumpulan
cerpen Kaki Yang Terhormat karya Gus TF Sakai, yaitu cerpen “Orang Bunian”. Berdasarkan
pandangan latar belakang yang telah dituliskan sebelumnya, objek formil dari penelitian ini adalah
kajian ekokritik terhadap cerpen tersebut. Peneliti bermaksud meneliti bagaimana bentuk kearifan
lokal masyarakat dalam mejaga alamnya dari tradisi berburu babi. Dengan begitu penelitian ini
diharapkan mampu mengetahui bentuk-bentuk kearifan lokal masyarakat dalam teks “Orang
Bunian” (masyarakat adat Minangkabau) dari tradisi berburu babi. Sehingga dapat memberikan
pemahaman betapa pentingnya mengetahui nilai-nilai kearifan lokal nenek moyang dalam
berintekrasi dengan alam sebagai sebuah warisan budaya.
Persoalan lingkungan, alam dan bentuk-bentuk kearifan lokal menjadi salah satu pendekatan
dalam menganalisis karya sastra. Kajian yang memperhatikan hubungan antara makhluk hidup
dengan lingkungannya (alam) merupakan bentuk kajian sastra dengan pendekatan ekologi. Ekologi
ialah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya 3.
Atas dasar defenisi tersebut dapat dikemukakan bahwa ekologi sastra juga mencari hubungan timbal
balik antara sastra dengan lingkungannya. Hubungan resiprokal itu penting untuk melihat
keterkaitan satu sama lain.
Dalam cerpen “Orang Bunian” banyak diksi simbol-simbol alam yang digunakan sebagai
latar cerita. Misalnya ada diksi lembah, lakuak, hutan, dan bukit yang digambarkan sebagai latar
cerita. Selain dari itu, nama binatang seperti babi dan anjing, kemudian diksi batu, rotan,
pepohonan, dedaunan, akar, dan kabut juga menjadi pilihan kata dalam menuliskan cerpen ini.
Dengan mengangkat tata cara berburu babi dengan segala bentuk ritual dan aturan tradisionalnya,
menguatkan interpretasi pembaca bahwa cerpen ini merupakan teks yang mengangkat persoalan
alam dan lingkungan dengan nilai-nilai kearifan lokal pada suatu kelompok masyarakat.
Menggunakan pendekatan kajian ekologi sastra yang berfokus terhadap ecocriticism kearifan lokal
lingkungan (ekologis) dalam teks sastra, merupakan cara analisis yang tepat dalam mengkaji cerpen
ini.
Kajian ekologi sastra berupaya untuk menemukan spesifikasi lebih tepat mengenai
hubungan antara kegiatan manusia dan proses alam tertentu dalam suatu kerangka analisis
ekosistem atau menekankan saling ketergantungan sebagai suatu komunitas alam 4. Pendapat lain
yang menguatkan argumen sebelumnya adalah penjabaran mengenai jenis kritik ekologi dalam
sastra Indonesia, setidaknya ada lima jenis yaitu genre sastra ekologis, kearifan lokal lingkungan
(ekologis) dalam karya sastra, metafora (alam) dalam karya sastra, kategori ekokritik baru; kelas,
gender, dan ras, serta kritik lingkungan dalam sastra kontemporer dan sastra populer5.
Penjelasan lebih rinci mengenai persamaan ekokritik sastra dan ekologi sastra, yaitu (1)
keduanya selalu terfokus pada sastra sebagai bahan kajian, (2) keduanya memperhatikan ihwal
lingkungan. Perbedaan ekokritik sastra dan ekologi sastra, yaitu terletak pada aspek kajiannya 6. Jika
2
Gus TF Sakai, Kaki Yang Terhormat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012) h.116.
3
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Ekologi Sastra: Konsep, Langkah, dan Penerapan, (Yogyakarta:
CAPS, 2016) h.3.
4
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian ekologi...., h.18.
5
Sudikan, Ekologi Sastra, (Lamongan: Pustaka Ilalang Grup, 2016) h. xvii.
6
Suwardi Endraswara, Ekokritik Sastra: Konsep, Teori, dan Terapan, (Yogyakarta: Morfolingua, 2016) h.5.
2
ekokritik menekankan pada aspek kritik, ekologi sastra tidak selalu pada kritik. Dalam pembahasan
ekologis dalam karya sastra juga dapat mempertimbangkan bentuk-bentuk kearifan lokal. Adapun
pengertian kearifan adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk
antara lain mengelola lingkungan hidup secara lestari7.
Defenisi lain mengenai kearifan lokal merupakan semua bentuk pengetahuan, keyakinan,
pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam
kehidupan di dalam komunitas ekologis8. Bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada dalam masyarakat
dapat berupa nilai, norma, kepercayaan, dan aturan-aturan khusus. Bentuk yang bermacam-macam
itu mengakibatkan fungsi kearifan lokal menjadi banyak pula. Fungsi kearifan lokal, diantaranya: 1)
sebagai konservasi dan pelestarian sumber daya alam; 2) untuk mengembangkan sumber daya
manusia; 3) sebagai pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan; dan 4) sebagai petuah,
kepercayaan, sastra, dan pantangan9.
Kearifan lokal merupakan modal utama masyarakat dalam membangun dirinya tanpa
merusak tatanan sosial yang adaptif dengan lingkungan alam sekitarnya. Kearifan lokal dibangun
dari nilai-nilai sosial yang dijunjung dalam struktur sosial masyarakat sendiri dan memiliki fungsi
sebagai pedoman, pengontrol, dan rambu-rambu untuk berperilaku dalam berbagai dimensi
kehidupan baik saat berhubungan dengan sesama maupun dengan alam 10. Dalam menganalisis
cerpen ini digunakan pendakatan secara ekologi dengan melihat kearifan lokal mengenai tradisi
suatu kelompok masyarakat dalam membaca tanda alam sebelum berburu babi.
Beberapa penelitian yang melakukan kritik kumpulan cerpen Gus TF Sakai yaitu yang
dilakukan Miftahul Usman dengan judul “Pergeseran Nilai Budaya Minangkabau dalam Kumpulan
Cerpen Kaki Yang Terhormat karya Gus Tf Sakai”11. Penelitian ini mengambil dua cerpen yang
termuat dalam ontologi itu, yakni “Kaki Yang Terhormat” dan “Orang Bunian”. Ia melihat
terjadinya pergeseran nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat adat Minangkabau dalam dua
cerpen itu. Hal itu disebabkan oleh kemajuan teknologi yang mengakibatkan terjadinya pergesekan
antara tradisi dan modernitas, sehingga mempengaruhi pola pikir masyarakat.
Penelian selanjutnya yaitu yang dilakukan oleh Karami dkk. dengan judul “Masyarakat
Minangkabau dalam Kumpulan Cerpen Kaki Yang Terhormat Karya Gus Tf Sakai” 12. Ia memaknai
realitas sosial yang tersirat dalam kumpulan cerpen tersebut. Ia menyimpulkan bahwa terdapat tujuh
realitas sosial masyarakat Minangkabau yang tercermin dalam teks yaitu (1) bahasa, terdapat bahasa
Minang dan bahasa Indonesia; (2) sistem ilmu pengetahuan, mengenai alam takambang jadi guru;
(3) sistem kemasyarakatan/sistem sosial, berupa tradisi yang menjadi identitas bagi masyarakat
Minangkabau; (4) peralatan/perlengkapan, mengenai peralatan/ciri khas bagi masyarakat
Minangkabau yang menjadi kebutuhan untuk hidup maupun kebudayaan dari masyarakat
Minangkabau; (5) sistem mata pencaharian, mengenai pekerjaan bagi masyarakat Minangkabau (6)
kesenian, mengenai seni gerak yang dimiliki masyarakat Minangkabau yaitu silek, dan (7) sistem
religi, mengenai budaya ke surau bagi remaja di Minangkabau.
Kemudian beberapa penelitian yang berkaitan dengan objek formal yaitu kajian dengan
pendekatan ekologi sastra, yaitu yang dilakukan Chandra dengan judul “Ekokritik Dalam Cerpen
Indonesia Mutakhir”13. Penelitiannya mengulas pelbagai cerpen mutakhir seperti karya S. Prasetyo
“Petunjuk Hari Ketujuh”, Adi Zamzam “Rob”, Tjak S. Parlan “Pergi Ke Bukit”, dan Muliadi GF
“Alfatiah untuk Pohon-pohon”. Ia memaknai hubungan timbal balik teks karya-karya itu dengan
7
Anonim. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam laman Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan
https://www.kemenkopmk.go.id/content/uu-nomor-32-tahun-2014 Diunduh pada 12 Desember 2019 pukul 13:15 WIB.
8
Sudikan, Ekologi Sastra, (Lamongan: Pustaka Ilalang Grup, 2016) h.77.
9
Sudikan, Ekologi Sastra...., h.78.
10
Sudikan, Ekologi Sastra...., h.78.
11
Miftahul Usman, “Pergeseran Nilai Budaya Minangkabau dalam Kumpulan Cerpen Kaki Yang Terhormat karya
Gus Tf Sakai,” Skripsi Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, 2019.
12
Habibullah Karami, Wahyudi Rahmat, Aruna Laila, ““Masyarakat Minangkabau dalam Kumpulan Cerpen Kaki
Yang Terhormat Karya Gus Tf Sakai,” Jurnal Bahasa, Vol. 1 No. 2.
13
Afry Adi Chandra, “Ekokritik Dalam Cerpen Indonesia Mutakhir,” Jurnal Pena Indonesia (JPI), Vol. 3 No. 2.
3
lingkungan hidup, termasuk hubungan dengan realitas sosial budaya dan fisik, yang biasanya
menjadi perhatian dalam ekologi. Penelitian lain yaitu dilakukan oleh Widianti dengan judul
“Kajian Ekologi Sastra Dalam Kumpulan Cerpen Kompas 2014 Di Tubuh Tarra Dalam Rahim
Pohon”14. Ia melakukan ekokritik terhadap beberapa cerpen yang termuat dalam kumpulan cerpen
itu. Ia mengungkapkan dalam teks-teks cerpen itu adanya hubungan karya sastra dalam upaya
pelestarian alam dan sumber kehidupan, serta kaitannya dengan kepercayaan/mitos.
Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan ekokritik dengan metode analisis deskriptif. Metode
penelitian analisis deskriptif yaitu data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, sehingga
laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajiaan laporan
tersebut15. Analisis dekrpitif dilakukan dengan mendiskiprikan teks-teks dalam cerpen “Orang
Bunian” yang berkaitan dengan nilai-nilai keraifan lokal dan mitos masyarakat adat Minangkabau
dalam menjaga alam lingkungannya. Metode tersebut digunakan untuk memaknai secara mendalam
fenomena yang berkaitan dengan subjek penelitian. Objek material penelitian ini cerpen “Orang
Bunia” karya Gus TF Sakai dalam kumpulan cerpen Kaki Yang Terhormat, sedangkan kajian
ekologis yang berhubungan dengan kearifan lokal terkait dengan mitos dalam karya sastra sebagai
objek formal.
Sumber data dalam penelitian sastra adalah karya sastra tersebut 16. Penelitian ini mengambil
sumber datanya adalah cerpen “Orang Bunian” karya Gus TF Sakai dalam kumpulan cerpen Kaki
Yang Terhormat. Sedangkan data yaitu “bahan penelitian” atau lebih tepatnya “bahan jadi
penelitian” yang terdapat dalam karya-karya sastra yang akan diteliti 17. Adapun data yang
digunakan adalah teks-teks termuat dalam cerpen yang berkaitan dengan nilai-nilai keraifan lokal
masyarakat adat Minangkabau dalam menjaga alam lingkunnya pada tradisi berburu babi. Teknik
pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan teknik dokumentasi. Teknik
dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip,
buku, surat kabar, majalah, notulen rapat, legger, agenda, dan sebagainya18.
14
Ande Wina Widianti, “Kajian Ekologi Sastra Dalam Kumpulan Cerpen Kompas 2014 Di Tubuh Tarra Dalam
Rahim Pohon,” Jurnal Diksatrasia, Vol. 1 No. 2.
15
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014) h.11.
16
Sangidu, Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik, dan Kiat, (Yogyakarta: Unit Penerbitan Sastra
Asia Barat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah mada, 2004) h. 63.
17
Sangidu, Penelitian Sastra: Pendekatan...., 61.
18
Arikunto dalam Mardiana Sari, “Ekologi Sastra Pada Puisi Dalam Novel Bapangku Bapunkku Karya Pago
Hardian,” Jurnal Parataksis, Vol. 1 No. 1. Hlm. 6.
19
Wasana, “Mitos dan Legenda Minangkabau di Kenagarian Abai Kecamatan Sangir Batang Hari Kabupaten Solok
Selatan”. Laporan Penelitian Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas.
http://repo.unand.ac.id/9263/1/LaporanPenelitian.pdf. Diunduh pada tanggal 12 Desember 2019 Pukul 16:23 WIB.
4
bicara, siapa pun akan terbawa, tertawan, hidup selamanya di dunia orang
bunian”20.
Dari kutipan teks di atas, dapat dipahami bahwa tempat orang bunian merupakan daerah-
daerah yang memang sepi dan tidak didiami oleh manusia. Dalam dunia orang bunian semua bisa
saja berubah dengan cepat. Dalam teks dituliskan bahwa masyarakat juga mempunyai pantangan
tertentu yang tidak boleh dilakukan. Pantangan itu harus mereka lakukan agar terhindar dari
gangguan orang bunian. Namun begitu, hal utama yang dilihat dalam tulisan ini adalah kearifan
lokal masyarakat setempat dan simbol-simbol alam yang digunakan dalam menceritakan orang
bunian. Dalam menganalisis cerpen ini secara ekologi dengan melihat kearifan lokal adalah
mengenai pemahaman masyarakat mengenai dunia lain, tempat tinggal urang bunian.
Dalam teks Gus TF Sakai menuliskan mengenai dunia yang dibelah menjadi dua bagian.
Ada lapis atas dan lapis bawah. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa dunia lapis atas merupakan
dunia di balik kabut, dunia yang sangat misterius dan rahasia. Dunia lapis atas dapat dimaknai dunia
gaib atau dunia di atas langit. Sedangkan dunia lapis bawah adalah dunia yang biasa ditempati oleh
manusia dalam menjalani kehidupan keseharian dan juga oleh sosok gaib. Berikut kutipan teks yang
menjabarkan mengenai dunia lapis atas dan bawah tersebut:
“Lalu dunia bagai dibelah. Lapis atas dan lapis bawah. Lapis atas, dunia di balik
kabut itu, semata rahasia, kesenyapan, tempat yang entah kenapa dalam kepalanya
hanya terhampar malam dan bintang-bintang. Sementara lapis bawah, ia lihat
dirinya dan teman-temannya, para pemburu, bersama anjing-anjing yang
menghambur dan menyalak, berlarian mengejar babi hutan yang mendudu,
melanda semak atau belukar atau apa pun, terhosoh-hosoh ketakutan”21.
Namun begitu, ada hal menarik mengenai dunia lapis bawah itu. Pada bagian dunia lapis
bawah ada dunia lain yang tidak terjamah atau tempat-tempat sunyi yang ditakuti oleh manusia.
Dunia lapis bawah yang secara geografis sulit atau mustahil untuk didiami oleh manusia, dalam teks
disebut dengan lembah dan lakuak (bahasa Minangkabau yang menyebut lembah-lembah kecil di
antara gundukan bukit). Tempat itu menjadi tempat bersemayamnya orang bunian atau disebut juga
dalam kepercayaan masyarakat Minangkabau sebagai alam jihin. Berikut kutipan teksnya:
“Tapi, sebetulnya, dunia lapis bawah itu juga tak semata terang. Ada banyak
ceruk, lembah, dan lakuak (bahasa mereka untuk menyebut lembah-lembah kecil
di antara undukan bukit) yang bila ditempuh akan menangkup lebat dedaun dan
akar, menghalangi rembes rambat cahaya, menjadikan mata mereka seolah buta,
tak bisa mengenali atau melihat apa-apa, menyerahkan arah hanya pada naluri
atau krosak langkah dan gerung salak anjing-anjing mereka. Dan, sebetulnya pula,
di lapis bawah ini, bukannya tak ada apa yang ia sebut rahasia”.
“Di tengah gelap ceruk, kelam lembah atau lindap lakuak, bisa saja tiba-tiba
terbentang dunia terang. Dunia yang semua daun adalah bunga dan semua bunga
adalah cahaya. Pohon-pohon meliuk, reranting berjalin, membentuk kubah dan
pilar-pilar. Di situlah singgasana, alam jihin dan lelembut, dunia orang bunian.
Tapi saat bertemu orang bunian, mereka tak boleh menyebut apa-apa. Karena jika
bicara, siapa pun akan terbawa, tertawan, hidup selamanya di dunia orang
bunian”22.
Dari teks di atas dapat dipahami bahwa masyarakat dalam cerpen mempunyai kearifan
tersendiri dalam membagi alam. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa kearifan lokal yang
ada dalam masyarakat dapat berupa nilai, norma, kepercayaan, dan aturan-aturan khusus. Bentuk
yang bermacam-macam itu mengakibatkan fungsi kearifan lokal menjadi banyak pula dan fungsi
20
Gus TF Sakai, Kaki Yang Terhormat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012) h. 82.
21
Gus TF Sakai, Kaki Yang...., h. 81.
22
Gus TF Sakai, Kaki Yang...., h. 81-82
5
yang tepat dari penjabaran teks mengenai dunia urang bunian adalah sebagai petuah, kepercayaan,
sastra, dan pantangan.
Pondasi utama Gus TF Sakai dalam mengembangkan cerpen “Orang Bunian” adalah
mengenai larangan dan pantangan tentang gangguan orang bunian yang dipercayai oleh masyarakat
Minangkabau. Sebagai sebuah legenda yang sudah turun temurun dipercayai oleh masyarakat
Minangkabau, orang bunian menjadi sosok makhluk yang ditakuti. Oleh sebab itu, untuk
menghindari gangguannya ada pantangan atau larangan yang harus dilakukan oleh masyarakat
setempat. Larangan atau pantangan itu berguna bagi masyarakat bila hendak menelusuri daerah-
daerah yang disebut sebagai sarangnya orang bunian agar terhindar dari gangguannya. Adapun
larangan-larangan tersebut ditulis secara detail oleh Gus Tf Sakai dalam cerpennya. Berikut kutipan
pantangan dan larangan tersebut:
“Semua percaya, jika bertemu orang bunian mereka tak boleh bicara. Tapi akan
ada pemburu, teman-temannya dari suku lain, yang menyertai dengan pantangan.
Pantangan yang juga akan tak sama. Ada yang berpantang membawa apa pun
peralatan berbuhul rotan, ada yang tak boleh rebahan di antara dua munggu. Ada
yang kembali pulang jika melihat binatang dengan tingkah tertentu, ada yang
dilarang menggauli istri pada Jumat malam sebelum berburu. Dan ia merasa
senang (atau lega?) tak menerima pantangan apa pun dari tetua kaumnya kecuali
menjaga apa yang mereka sebut sumangaik”23.
Kemudian, dalam pembahasan ekoligis dari nilai kearifan lokal adalah pengetahuan
masyarakat dalam membaca petanda alam. Pada cerpen “Orang Bunian” diceritakan bagaimana
masyarakat membaca tanda alam mengenai waktu yang tepat untuk berburu. Berkaitan dengan
kearifan lokal adalah tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan
lingkungan tempatnya hidup secara arif, serta menjelaskan bahwa bentuk-bentuk kearifan lokal
yang ada dalam masyarakat dapat berupa nilai, norma, kepercayaan, dan aturan-aturan khusus.
Adapun bentuk dari nilai kearifan mengenai membaca petanda alam sebagai waktu yang tepat untuk
berburu adalah sebagai konservasi dan pelestarian sumber daya alam dan pengembangan
kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Berikut kutipan teksnya:
“Sebenarnya, hari itu pagi yang cerah. Semua tanda alam yang sangat ia kenali,
sejak malam sampai dini hari, menunjukan besok siang bakal cemerlang. Malam
dingin, udara seperti parutan es, dan bumi bagai merembeskan air dari pori-pori
tanah. Ia tahu, itulah saat di mana babi-babi lekap lama, menyuruk dalam ke
kehangatan sarang, dan buru-buru keluar waktu menjelang. Waktu yang pendek,
jangka yang seketika, saat kabut terangkat dan embun dilibas matahari tiba-tiba,
babi-babi masih akan berada di perlintasan. Itulah saat yang tepat. Mereka
menyebutnya bakutiko: babi-babi masih berkeliaran saat mereka pas tiba di
hutan”24.
Dalam cerpen “Orang Bunian” mitos adanya sosok Orang Bunian memberikan pesan tersirat
dalam memperlakukan alam. Dalam ceritanya, si ayah menyampaikan bahwa masyarakat di
daerahnya selalu melakukan ritual tertentu sebelum berburu babi. Selain itu, untuk menentukan
waktu yang baik dan tepat untuk berburu mereka selalu membaca tanda-tanda yang diberikan oleh
alam, seperti melihat cuaca, merasakan temperatur suhu alam, hingga tidak melanggar semua
pantangan. Cerpen ‘Orang Bunian” dapat dikatakan sebagai cerpen yang mengangkat bentuk-
bentuk kearifan lokal suatu kelompok masyarakat dalam menjaga alam dan lingkungannya.
Kegiatan berburu babi yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat di dalam cerpen yang
diceritakan oleh Gus TF Sakai sarat akan makna filosofi dalam menjaga ekosistem dan lingkungan.
Simpulan
23
Gus TF Sakai, Kaki Yang Terhormat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012) h. 84.
24
Gus TF Sakai, Kaki Yang...., h. 84-85.
6
Dengan membaca cerpen “Orang Bunian” dapat diambil pemahaman mengenai kearifan
lokal masyarakat dalam memperlakukan alamnya. Alam dan lingkungan merupakan tempat untuk
beraktualisasi, bereksistensi, dan berinteraksi bagi manusia. Hubungan antara sesama manusia
dengan makhluk lain bisa dijalankan dengan baik, apabila terjadi simbiosis mutualisme, dengan
prinsip kerjasama yang saling menguntungkan. Masing-masing saling memberi ruang dan
kemerdekaan hidup, sehingga terjalin keselarasan dan keserasian. Seperti yang telah disampaikan
sebelumnya bahwa dalam pembahasan ekologis dalam karya sastra juga dapat mempertimbangkan
bentuk-bentuk kearifan lokal. Kearifan lokal merupakan semua bentuk pengetahuan, keyakinan,
pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam
kehidupan di dalam komunitas ekologis.
Bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada dalam masyarakat dapat berupa nilai, norma,
kepercayaan, dan aturan-aturan khusus. Bentuk yang bermacam-macam itu mengakibatkan fungsi
kearifan lokal menjadi banyak pula. Adapun fungsi kearifan lokal dalam cerpen “Orang Bunian”
adalah sebagai konservasi dan pelestarian sumber daya alam, sebagai pengembangan kebudayaan
dan ilmu pengetahuan; dan sebagai petuah, kepercayaan, sastra, dan pantangan. Maka dalam hal ini,
cerpen “Orang Bunian” mengungkapkan untuk saliang manjago (saling menjaga) dengan tujuan
untuk melindungi diri berserta lingkungan sekitar agar tidak berbuat yang senonoh dan merusak
lingkungan sekitar.
Daftar Pustaka
Chandra, Afry Adi. 2017. “Ekokritik Dalam Cerpen Indonesia Mutakhir”. Dalam Jurnal Pena
Indonesia (JPI) Vol. 3 No. 2. Hlm. 100-129.
Endraswara, Suwardi. 2016. Metodologi Penelitian Ekologi Sastra: Konsep Langkah, dan
Penerapan. Yogyakarta: CAPS.
_________________. 2016. Ekokritik Sastra. Yogyakarta: Morfalingua.
Karami, Habibullah, Wahyudi Rahmat, Aruna Laila. 2019. “Masyarakat Minangkabau dalam
Kumpulan Cerpen Kaki Yang Terhormat Karya Gus Tf Sakai”. Dalam Jurnal Bahasa Vol.
1 No. 2. Hlm. 120-135.
Moleong, Lexy J. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sakai, Gus TF. 2012. Kaki Yang Terhormat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sangidu. 2004. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik, dan Kiat. Yogyakarta: Unit
Penerbit Sastra Asia Barat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
Sari, Mardiana. 2018. “Ekologi Sastra Pada Puisi Dalam Novel Bapangku Bapunkku Karya Pago
Hardian”. Dalam Jurnal Parataksis, Vol. 1 No. 1. Hlm. 1-15.
Sudikan, Setya Yuwana. 2016. Ekologi Sastra. Lamongan: CV. Pustaka Ilalang Group.
Pemerintah Indonesia. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Diunduh pada laman Kementerian
Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Usman, Miftahul. 2019. “Pergeseran Nilai Budaya Minangkabau dalam Kumpulan Cerpen Kaki
Yang Terhormat karya Gus Tf Sakai,” Skripsi Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Andalas. Padang.
Wasana. 2017. Mitos dan Legenda Minangkabau di Kenagarian Abai Kecamatan Sangir Batang
Hari Kabupaten Solok Selatan. Laporan Penelitian Dosen Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas.
Widianti, Ande Wina. 2017. “Kajian Ekologi Sastra dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2014
Di Tubuh Tarra dalam Rahim Pohon”. Dalam Jurnal Diksatrasia Vol. 1 No. 2. Hlm. 1-9.