1 PB
1 PB
1 PB
ABSTRACT
A. Pendahuluan
Cerita rakyat merupakan sebuah hal yang unik dalam sebuah daerah, hampir setiap
daerah mempunyai cerita rakyat kebanggaannya masing-masing. Ada cerita rakyat yang
sudah sangat lama sekali kejadiannya akan tetapi masih hangat dalam pembicaraan
masyarakat, cerita rakyat tersebut berkembang luas di masyarakat tertentu. Disampaikan
secara lisan dari mulut ke mulut dari satu generasi ke generasi sampai turun temurun
hingga saat ini Alan Dundes dalam (Danandjaja, 2007). Berkenaan dengan jenis
kebudayaannya, Yadnya dalam (Endraswara, 2013) menyatakan bahwa folklore merupakan
bagian dari kebudayaan yang bersifat tradisional, tidak resmi (unofficial), dan nasional.
Pandangan ini mengatakan bahwa folklore bukan hanya yang bersifat etnik, melainkan juga
yang nasional; yang penyampaiannya secara tidak resmi.
Dalam cerita rakyat biasanya terdapat hal-hal yang bersifat baik dan hal-hal yang
bersifat buruk, hal-hal bersifat baiknya agar dapat diteladani, seperti; nasihat, hiburan, dan
wejangan dan hal-hal bersifat buruknya agar tidak dilakukan dan dijauhi oleh generasi-
generasi penerus bangsa yang membaca cerita rakyat kebanggaan daerah mereka masing-
masing.
Ekologi merupakan bagian dari ekosistem, sastra pun memiliki ekosistem yang luas,
tentunya ekologi dan sastra merupakan dua hal yang berbeda, akan tetapi dalam sebuah
karya sastra akrab dengan ekosistem dan ekologi, karena dalam suatu karya sastra biasanya
29
Kajian Ekologi Sastra dalam Cerita Rakyat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta – Hermawan, Muhammad Alfian dan
Wulandari, Yosi.
terdapat diksi-diksi yang memuat tentang ekologi sebagai unsur estetik karya tersebut.
Contoh saja diksi-diksi seperti; air, sungai, hutan, hewan, tumbuhan, diksi-diksi yang saya
sebutkan tadi adalah sebuah diksi yang tidak asing dijumpai saat membaca karya sastra.
Menurut Endraswara (2016), sastra tanpa ekologi seperti halnya ada kekosongan elemen,
sastra butuh lingkungan, sastra butuh ekosistem untuk berkembang.
Beberapa prinsip-prinsip moral yang relevan dalam lingkungan hidup. Keraf (2010)
,merumuskan setidaknya ada enam prinsip moral yang dapat dijadikan acuan atau tuntunan
bagi manusia dalam bertingkah laku dalam memperlakukan alam. Prinsip-prinsip tersebut
yaitu: hormat kepada alam, tanggung jawab kepada alam, solidaritas kosmis, kasih sayang
dan kepedulian terhadap alam, no harm, dan hidup sederhana dan selaras dengan alam
Ekosistem sastra yang baik tentu akan melahirkan karya-karya sastra yang baik, jikalau
diperibahasakan mungkin peribahasa “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya” dirasa tepat
untuk mewakili vitalnya kedekatan antara ekosistem lingkungan dan kesusastraan. Ekologi
sastra seperti halnya tanaman yang memfokuskan pada hubungan timbal balik antara
tanaman tersebut dan lingkungannya. Kedua hal tersebut saling memengaruhi dan saling
bersinergi, maka dari itu sastra tidak mungkin lepas dari lingkungan sekitarnya Karya sastra
sering kali memanfaatkan alam sebagai latar fisik (lingkungan) atau objek penceritaannya.
Alam merupakan bagian penting dalam sebuah karya sastra. lingkungan di sini diartikan
semua faktor eksternal yang langsung berdampak pada kehidupan, pertumbuhan,
perkembangan, dan reproduksi organisme (Endraswara, 2016).
Kajian yang relevan dengan penelitian ini adalah kajian yang dilakukan oleh Widianti
(dalam Widianti, 2017) kajiannya tersebut menitikberatkan pada analisis ekologi alam dan
ekologi budaya dalam cerita pendek Kompas berjudul “Di Tubuh Tarra dalam Rahim Pohon”,
sedangkan kajian yang dilakukan oleh Herbowo (dalam Herbowo, 2020) memfokuskan
penelitian ekologi sastra pada latar yang berhubungan dengan lingkungan alam pada cerpen
berjudul “Orang Bunian” karya Gus Tf Sakai, selain itu Suwatno (dalam Suwatno, 2012)
mengkaji tentang gerakan hijau pada film dan peran alam sebagai latar fisik dalam film
Avatar karya James Cameron.
Berbeda dengan penelitian di atas, kajian ini meneliti cerita rakyat Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta khususnya pada aspek etika lingkungan dan peran latar fisik
(lingkungan) yang dapat dimainkan dalam alur cerita rakyat. Oleh karena itu, kontribusi
penelitian ini adalah memaparkan etika lingkungan dan peran latar fisik dalam cerita rakyat
di DIY. Urgensi lainnya yang menunjukkan kepetingan kajian ini adalah melestarikan cerita
rakyat dan mengangkat citra cerita rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta sehingga dapat
memberikan manfaat bagi masyarakat luar yang mempelajarinya. Tujuan kajian adalah
mendeskripsikan etika lingkungan dalam cerita rakyat provinsi DIY dan mendeskripsikan
peran latar fisik (lingkungan) dalam alur cerita rakyat provinsi DIY.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Metode ini berfungsi untuk
memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji
dan menginterpretasikan data. Metode ini tidak sekedar memberikan penjelasan, akan tetapi
juga memberikan pemahaman yang jelas terkait data yang diperoleh dan dianalisis. Teknik
analisis merupakan proses mengelompokkan dan mengurutkan data ke dalam suatu pola,
kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat ditarik
kesimpulan hipotesis kerja, seperti yang disarankan oleh data (Moleong, 2010). Tujuan dari
analisis data ialah mendeskripsikan sebuah data sehingga data tersebut mudah dipahami dan
dapat mempermudah peneliti dalam menarik kesimpulan mengenai karakteristik populasi
berdasarkan data yang didapatkan dari sampel.
Subjek penelitian merupakan tempat di mana penelitian dilakukan dalam
memperoleh data untuk variabel penelitian (Arikunto, 2010). Dalam hal ini yang menjadi
subjek penelitian adalah cerita rakyat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdapat
30
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol 10, No. 1, Maret 2021; 29-43
pada buku “Antologi Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta”. Buku ini adalah hibah dari
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional yang ditulis oleh Dhanu Priyo Prabowo pada
tahun 2004.
Adapun cara yang dilakukan dalam penelitian ini dalam menganalisis data adalah
sebagai berikut; (1) Membaca cerita rakyat yang sudah peneliti pilih secara saksama, (2)
Mengidentifikasi unsur etika lingkungan dan latar fisik yang terkandung dalam cerita rakyat,
(3) Membuat catatan dalam kartu data berdasarkan hasil analisis untuk menjabarkan hasil
analisis data, (4) Mendeskripsikan data yang memuat etika lingkungan dan latar fisik
(lingkungan) dalam cerita rakyat, (5) Menarik kesimpulan terkait hasil analisis yang telah
dilakukan.
C. Pembahasan
Pada cerita rakyat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ditemukan etika lingkungan
hidup di dalamnya. Etika lingkungan dikelompokkan menjadi enam konsep, yaitu sebagai
berikut: (1) konsep hormat kepada alam, (2) konsep tanggung jawab kepada alam, (3)
konsep solidaritas kosmis, (4) konsep kasih sayang dan kepedulian terhadap alam, (5)
konsep no harm, (6) konsep hidup sederhana dan selaras dengan alam.
“Paman Patih, Prabayeksa hendaknya dibangun dengan kayu jati yang benar-benar kuat
dan tua.” (hlm 2).
31
Kajian Ekologi Sastra dalam Cerita Rakyat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta – Hermawan, Muhammad Alfian dan
Wulandari, Yosi.
“Hutan harus dijaga agar tidak rusak. Hutan yang terawat akan menyimpan air bagi
kepentingan rakyat di sekitar hutan ini.” (hlm 4-5).
Dalam kutipan tersebut menunjukkan bahwa ketua abdi dalem menghimbau dan
memberikan nasihat kepada anggotanya untuk menjaga ekosistem hutan. Di dalam hutan
yang terawat terdapat sumber mata air untuk kepentingan orang banyak. Seperti yang
disebutkan pada kutipan di atas, ketua abdi dalem melakukan prakarsa, usaha, kebijakan dan
tindakan secara nyata dalam bentuk memberi himbauan kepada anggotanya secara langsung
agar tidak merusak hutan dan menjaganya sebaik mungkin. Hal tersebut relevan dengan
kehidupan di zaman sekarang, bahwa ekosistem hutan merupakan ekosistem yang sangat
harus dijaga selain karena sumber daya alamnya juga karena hutan merupakan paru-paru
dunia. Fakta juga menunjukkan bahwa pohon adalah salah satu penyumbang oksigen
terbesar di dalam bumi. Hal tersebut sejalan dengan prinsip etika lingkungan berupa
tanggung jawab kepada alam karena dalam konsep ini mengatakan bahwa manusia harus
mengambil prakarsa, usaha, kebijakan dan tindakan secara nyata untuk menjaga alam
semesta.
Sabda Kiai Jegot (Jin penunggu pohon jati): “Kalian boleh menebang pohon jati di tempat
tinggalku ini. Akan tetapi, aku memohon agar diperkenankan tetap berada di dalamnya.
Apakah kalian setuju?”.
Mendengar syarat dari Kiai Jegot tersebut, pemimpin abdi dalem meminta waktu untuk
berpikir dan bertanya kepada Sultan Hamengkubuwono I.
Sabda Sultan Hamengkubuwono I: “Abdi dalemku! Katakan kepada Kiai Jegot, aku tidak
merasa keberatan dengan syaratnya itu. Namun, aku minta agar ia mau menjaga
Kerajaan Ngayogyakarta untuk selama-lamanya.”
Dari kutipan di atas menjelaskan bahwa makhluk gaib penunggu pohon jati tertua yang
bernama Kiai Jegot meminta agar tetap tinggal di kayu jati yang akan digunakan untuk
32
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol 10, No. 1, Maret 2021; 29-43
“Benar! Untuk itu, kita hanya diperkenankan memotong pohon jati sesuai dengan
perintah!”. “Kita tidak diperkenankan menebang pohon jati yang belum benar-benar tua,
juga tidak diperkenankan merusak pohon-pohon lainnya yang ada di hutan
Karangasem.” (hlm 4).
“Sebelum aku meninggalkan tempat yang banyak semutnya ini, aku bersabda bahwa
kelak kalau tempat ini dihuni manusia maka akan disebut Desa Semutan” sabda Sultan
Agung sambil meninggalkan tempat itu. (hlm 23).
Dari kutipan di atas menjelaskan bahwa Sultan Agung memberi nama sebuah desa
dengan menggunakan unsur alam di dalamnya, yaitu desa Semutan. Alam memang tidak
memiliki perasaan tetapi sebagai manusia kita harus menghargai dan menghormati alam. Jika
hal tersebut dapat ditanamkan di setiap individu, maka tentu juga akan berdampak baik bagi
alam karena manusia dan alam itu saling membutuhkan. Oleh karena itu, jika kita menghargai
dan menghormati alam, alam akan membalasnya dengan memberikan keindahan,
33
Kajian Ekologi Sastra dalam Cerita Rakyat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta – Hermawan, Muhammad Alfian dan
Wulandari, Yosi.
kenyamanan, dan kehidupan. Hal tersebut selaras dengan konsep menghormati alam yang
menyebutkan bahwa manusia memiliki kewajiban moral untuk menghargai alam semesta
dengan segala isinya karena manusia juga merupakan anggota atau bagian dari alam semesta.
“Sungguh kasihan, rakyat di desa ini. Mereka harus mencari air dari tempat yang sangat
jauh. Aku ingin mengakhiri penderitaan mereka”. Sultan Agung kemudian menancapkan
keris pusakanya pada sebuah batu besar. Tiba-tiba dari batu besar ini keluarlah sumber
air. Air yang keluar dari sumber tersebut sangatlah berlimpah, jernih dan bersih.” (hlm
24).
Dari kutipan di atas menjelaskan bahwa Sultan Agung merasa kasihan terhadap
penderitaan masyarakat sekitar yang susah dalam hal mencari air, maka dengan kekuatan
pusakanya, ia tancapkan keris pada sebuah batu besar kemudian keluarlah sumber mata air
yang berlimpah yang dipergunakan masyarakat sekitar untuk keperluan sehari-hari. Hal
tersebut sepantasnya dapat diteladani, sikap ikut merasa susah apabila melihat manusia lain
kesusahan tentunya merupakan suatu hal yang baik karena saat manusia saling memiliki
tenggang rasa satu sama lain maka kehidupan bermasyarakat akan saling menopang, saling
bantu-membantu dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Hal ini selaras dengan
konsep solidaritas kosmis yang menyebutkan bahwa manusia harus memiliki tenggang rasa
kepada makhluk hidup lain, ikut merasakan sedih dan sakit saat makhluk hidup lain juga
merasakannya, ikut merasa apa yang terjadi dengan alam karena ia merasa satu dengan alam.
“Senja telah turun. Para kawula di Kerajaan Mataram sudah lama menyelesaikan
pekerjaannya di ladang dan di sawah. Dengan bahagia mereka bercanda dengan seluruh
anggota keluarga. Mereka sangat bersyukur karena panen padi dapat berhasil dengan
baik. Untuk musim yang akan datang, mereka berharap agar lebih banyak dibandingkan
musim sebelumnya.” (hlm 19).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa para masyarakat Mataram sangat bersyukur karena
panen padi pada musim itu berhasil dengan baik. Bersyukur merupakan bentuk tindakan
berupa rasa terima kasih kepada Tuhan dengan bersyukur tentunya secara tidak langsung
kita berterima kasih dengan Tuhan. Sikap bersyukur juga akan menjauhkan setiap individu
pada sifat rakus dan tamak yang tentunya sifat-sifat tersebut tidak disukai oleh Tuhan. Hal itu
sejalan dengan konsep hidup sederhana dan selaras dengan alam yang menekankan bahwa
bukan sifat rakus dan tamak mengumpulkan harta dan memiliki sebanyak-banyaknya, tetapi
yang jauh lebih penting adalah mensyukuri apa yang ada dan mutu kehidupan yang baik.
34
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol 10, No. 1, Maret 2021; 29-43
“He, manusia tak tahu aturan! Siapa dirimu ini? Engkau datang ke tempatku tanpa
permisi.”
“Aku Syekh Surbakti. Utusan Kanjeng Sultan Agung, penguasa Kerajaan Mataram.
Termasuk tempatmu berada ini. Engkau sendiri siapa? Sungguh sangat berani dirimu
mengatakan kalau hutan ini milikmu.?”
“Memang akulah penguasa hutan ini. Sudah ratusan tahun aku tinggal di sini bersama
kawulaku. Namaku Jagarumeksa.!”
“Mereka semua sudah ku makan dan darahnya ku minum. Aku terpaksa melakukan
semua itu karena mereka telah berani merusak rumahku. Mereka datang ke sini
menganggap tempat ini seperti tidak bertuan. Sombong betul mereka itu!”. (hlm 61-62)
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Jagarumeksa begitu marah dan mengamuk karena
hutan yang sudah dianggapnya sebagai rumah tersebut dirusak oleh kawanan pekerja
pembukaan hutan Mentaok. Sikap mengamuk dan marah yang ditunjukkan oleh Jagarumeksa
bisa dipandang dalam pandangan positif bahwa ia marah dan mengamuk karena hutan yang
sudah dianggapnya sebagai rumah dirusak oleh kawanan pekerja pembukaan hutan. Hal itu
tentunya dapat memunculkan sebuah pertanyaan bahwa siapa orang yang tidak marah
apabila rumah yang sudah ia lama tinggali itu dirusak oleh orang lain?. Sikap seperti itulah
yang harus ditanamkan kepada setiap individu terhadap alam bahwa kita harus memiliki
tanggung jawab yang tinggi dan komitmen yang tinggi untuk menjaga alam. Hal tersebut
selaras dengan konsep tanggung jawab kepada alam yang menyebutkan bahwa setiap
individu harus memiliki tenggang rasa dan tanggung jawab yang tinggi untuk memelihara
alam semesta ini.
“Sabda Sultan Agung: “Mengapa harus melibatkan Sunan Kalijaga, Bapa Syekh Surbakti?
Bukankah Bapa sendiri sudah cukup?”
“Sabda Syech Surbakti: “Akan tetapi, mengatasi pembukaan hutan mentaok sebelah
selatan bukanlah pekerjaan yang mudah, Untuk itu, saya akan mohon bantuan Kanjeng
Sunan Kalijaga. Guru hamba itu pasti punya cara terbaik untuk menyelesaikan masalah
ini.”
“Syekh Surbakti lalu menghadap Sultan Agung di istana. Dilaporkanlah semua peristiwa
yang terjadi. Bahkan, Sultan Agung menunjuk Syekh Surbakti sebagai pemimpin
pembukaan hutan itu.”
“Setelah semua aman, Syekh Surbakti lalu mengajak tiga keluarga dari Kulon Progo
untuk meneruskan membukan hutan yang pernah dihuni Jagarumeksa itu. Keluarga-
keluarga itu adalah Kiai Wanaraya dan istrinya, Kiai Mendhung dan istrinya, dan Kiai
Gemak dan istrinya. Mereka adalah orang-orang sakti dan pilih tanding. Oleh karena itu,
35
Kajian Ekologi Sastra dalam Cerita Rakyat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta – Hermawan, Muhammad Alfian dan
Wulandari, Yosi.
pembukaan hutan itu akhirnya dapat mereka selesaikan juga dan menjadi sebuah desa
yang maju di kelak kemudian hari. Desa itu kemudian diberi nama Sulang, akronim dari
Kesusu Ilang (tergesa-gesa hilang). Sekarang, desa itu termasuk dalam wilayah
Kabupaten Bantul. Tepatnya, di sebelah utara pantai Parangtritis.’ (hlm 59 dan 64).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Syekh Surbakti tidak ingin gegabah dalam hal
melaksanakan tugas dari rajanya dikarenakan ia sebagai pribadi manusia merasa belum siap
secara mental dan spiritual dan ada yang lebih ahli dalam masalah tersebut yaitu gurunya
Sunan Kalijaga. Setelah ia berkonsultasi kepada Sunan Kalijaga, masalah pembukaan hutan
Mentaok dapat terselesaikan. Sikap tidak merasa paling pintar dan sikap tidak gegabah
merupakan sikap yang harus diteladani dalam cerita rakyat di atas karena sikap sadar itulah
yang membuat manusia menjadi pribadi yang lebih matang. Hal itu selaras dengan konsep
kasih sayang dan kepedulian terhadap alam yang menyebutkan bahwa semakin manusia
mencintai dan peduli kepada alam, manusia semakin berkembang menjadi pribadi yang lebih
matang. Walaupun masalah tersebut membahas tentang pembukaan hutan akan tetapi secara
kontekstual Syekh Surbakti memiliki konsep kasih sayang dan peduli terhadap alam hal itu
diwujudkan dengan ia tidak ingin gegabah dan perlu menerima saran dan bantuan dari
gurunya Sunan Kalijaga yang ia rasa jauh lebih ahli dan mengerti dalam pemecahan masalah
tersebut. Jalan tersebut ia tempuh semata-mata agar dapat mengatasi masalah pembukaan
hutan Mentaok dengan baik dan benar.
“Konon ceritanya, setelah mereka berpisah, Ki Ageng Pemanahan lalu bertapa di suatu
tempat yang belum pernah dirambah oleh manusia. Tempat ia bertapa kemudian dikenal
secara turun-temurun dengan nama Kembang Lampir. Sekarang, pertapaan tersebut
terletak di Bumi Sekar, Panggang, Gunung Kidul.” (hlm 95-96)
36
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol 10, No. 1, Maret 2021; 29-43
“Memang tidak masuk akal. Seharusnya yang dapat tumbuh menjadi sebuah pohon
adalah buah kelapa. Akan tetapi, di dunia ini segala sesuatunya dapat terjadi jika
memang dikehendaki Tuhan. Termasuk sabut kelapa kering yang ada di tanganmu itu.”
“Ki Ageng Giring memerintahkan Ki Bintulu Aji agar merawatnya. Pagi dan sore, sabut
kelapa kering itu disiraminya. Lama kelamaan, sabut itu benar-benar tumbuh menjadi
pohon kelapa. Dengan telaten dan teliti, Ki Bintulu Aji menjaga pohon kelapa itu hingga
pada akhirnya berbuah.” (hlm 97)
“Tidak! Tidak, Ki Dipa! Saya memelihara Jaka Mangu itu hanya didasari keinginan untuk
menyelamatkannya. Pada waktu itu Jaka Mangu tiba di sini, burung itu tampak
kecapaian dan kelaparan serta kehausan. Sepertinya baru terbang jauh. Lalu aku tangkap
dan ku rawat dengan baik.” (hlm 181)
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Ki Wangsayuda merasa kasihan kepada burung Jaka
Mangun yang terlihat haus dan lapar serta capai karena seperti sedang terbang jauh. Setelah
itu, Ki Wangsayuda merawat burung Jaka Mangun tersebut. Sikap Ki Wangsayuda dalam
cerita tersebut harus kita teladani karena manusia, binatang, dan tumbuhan hidup bersama
dalam alam semesta ini. Oleh karena itu, kita harus saling menjaga dan merawat agar
ekosistem dalam alam semesta ini dapat terjaga dengan baik. Hal di atas sejalan dengan
konsep solidaritas kosmis di mana manusia ikut merasakan apa yang dirasakan oleh makhluk
hidup lain yang ada di dalam semesta ini.
“Saya sedang mencari burung perkutut. Burung itu lepas. Sudah berbulan-bulan lamanya
saya mengembara mencari Jaka Mangun!”. (hlm 180)
37
Kajian Ekologi Sastra dalam Cerita Rakyat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta – Hermawan, Muhammad Alfian dan
Wulandari, Yosi.
“Pada zaman dahulu ada seorang yang sangat gemar memelihara hewan. Orang itu
bernama Ki Wangsayuda. Ia tinggal di Desa Paker. Menurut pendapatnya, hewan patut
dicintai karena dapat memperindah dunia. Hewan-hewan yang dipelihara oleh Ki
Wangsayuda antara lain kuda, gajah, burung, ayam dan sebagainya. Kecintaan kepada
hewan didasari keinginan untuk melestarikannya dari kepunahan. Lebih-lebih terhadap
hewan yang hampir musnah.” (hlm 179)
38
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol 10, No. 1, Maret 2021; 29-43
masuk dalam karya sastra, dan pendekatan evolusi berguna untuk menganalisis sebab-sebab
mengapa unsur-unsur ekologis termuat dalam karya sastra.
Jadi, ketiga pendekatan itu dapat digunakan untuk menganalisis aspek ekologis dalam
suatu karya sastra secara luas. Termasuk latar fisik (lingkungan) yang terdapat ada cerita
rakyat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
“Tidak berselang lama setelah itu, berangkatlah rombongan para abdi dalem Kerajaan
Ngayogyakarta menuju hutan Karangasem. Perjalanan para abdi dalem dari Kerajaan
Ngayogyakarta itu pun sudah sampai di tempat tujuan. Mereka benar-benar merasakan
hutan Karangasem sangat angker. Di sana-sini mereka melihat ular besar dan kecil
merintangi langkah.” (hlm 4-5)
Kutipan tersebut mendeskripsikan latar fisik sebagai gambaran bahwa awal mula para
abdi dalem berangkat dari keraton Ngayogyakarta menuju hutan Karangasem. Dapat
dipahami keraton Ngayogyakarta adalah tempat persinggahan dan tempat pusat
pemerintahan Sultan Hamengkubuwono dan para kawulanya. Peran latar fisik lainnya adalah
di hutan Karangasem, penggunaan latar fisik berupa hutan dapat dipahami bahwa memang
kayu jati yang berukuran besar dan berumur tua biasanya terletak di dalam hutan belantara
yang jarang dikunjungi oleh manusia. Hutan Karangasem merupakan tempat yang begitu
seram dan angker, keberadaan binatang buas di hutan menambah kesan seram karena
binatang buas dalam hutan biasanya bersifat liar dan memiliki karakter memangsa atau
membunuh. Hal tersebut tergambar dari kutipan bahwa para abdi dalem ketika sampai di
hutan Karangasem menjumpai beberapa ular besar dan kecil yang merintangi langkah
mereka.
(1) Ladang/sawah
“Senja telah turun. Para kawula di Kerajaan Mataram sudah lama menyelesaikan
pekerjaannya di ladang dan di sawah. Dengan bahagia mereka bercanda dengan seluruh
anggota keluarga. Mereka sangat bersyukur karena panen padi dapat berhasil dengan
baik.” (hlm 19)
Peran latar fisik ladang dan sawah memberikan gambaran sebagai tempat mengais
rezeki atau tempat bekerja para kawula kerajaan Mataram. Ladang dan sawah dalam cerita
rakyat ini menjadi sarana pembentuk alur untuk menggambarkan kebahagiaan para kawula
kerajaan Mataram karena panen padi dapat berhasil dengan baik. Hal itu ditunjukkan dalam
kutipan di atas di mana para kawula kerajaan Mataram merasa bahagia dan mereka sangat
bersyukur atas apa yang mereka dapat pada musim panen.
39
Kajian Ekologi Sastra dalam Cerita Rakyat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta – Hermawan, Muhammad Alfian dan
Wulandari, Yosi.
Peran latar fisik di pedesaan bernama “Semutan” dimaknai berupa sebuah simbol atau
ikon di daerah tersebut karena pada daerah yang bernama “Semutan” itu memang
diceritakan banyak dihuni binatang semut. Pedesaan “Semutan” identik dengan banyaknya
binatang semut di daerah tersebut. Hal itu menggambarkan bahwa pada pedesaan tersebut
ekosistem alam memang masih asri dan belum tersentuh campur tangan manusia karena
menurut manusia semut adalah hewan pengganggu dan menimbulkan efek negatif bagi
mereka tetapi bagi alam semut memiliki peran yang baik, yaitu sebagai penyebar benih dan
menyuburkan tanah dengan nutrisi dari binatang, dan tanaman yang sudah mati. Berhubung
pedesaan tersebut belum memiliki nama karena memang belum berpenghuni pada saat itu,
maka dari itu Sultan Agung mengambil kebijakan untuk memberikan nama pada pedesaan
tersebut agar kelak tapak tilasnya juga dapat dikenang oleh generasi selanjutnya.
Peran latar fisik di pedesaan bernama “Kembang Sore” dimaknai berupa sebuah simbol
atau ikon pada daerah tersebut karena pada daerah yang bernama “Kembang Sore” itu
diceritakan banyak ditumbuhi bunga Kembang Sore. Desa Kembang Sore identik dengan
banyak bunga, hal tersebut menggambarkan sebuah keindahan sebuah pedesaan yang masih
asri dan lestari. Berhubung pedesaan tersebut belum memiliki nama karena memang belum
berpenghuni maka dari itu Sultan Agung kemudian mengambil kebijakan untuk memberi
nama pedesaan tersebut sesuai dengan kondisi di sekitar wilayah tersebut yang banyak
ditumbuhi Kembang Sore sehingga pedesaan tersebut mempunyai nama desa “Kembang
Sore”.
Peran latar fisik (lingkungan) di perbukitan Merak menjadi pembentuk alur untuk
menyampaikan kebahagiaan Sultan Agung karena perjalanan ia mencari selama ini sudah
pada titik temunya. Perbukitan merak digambarkan sebagai bukit yang berbau harum, hal
40
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol 10, No. 1, Maret 2021; 29-43
tersebut menunjukkan perbukitan Merak tersebut memang menjadi bukit pilihan sebagai
tempat yang akan dibangun peristirahatan terakhir oleh Sultan Agung hal itu diperkuat lagi
karena bola tanah dari mekkah dalam cerita itu juga tidak menggelinding kembali. Sesuai
dengan petunjuk dari Imam Sopini apabila bola tanah dari Mekkah tersebut tidak
menggelinding kembali maka tempat itulah yang terpilih untuk dijadikan makam raja-raja
kerajaan Mataram.
Peran latar fisik (lingkungan) di hutan Mentaok sebagai gambaran tempat yang seram
dan mencekam karena di lokasi tersebut para pekerja pembukaan hutan kerajaan Mataram
hilang dan tewas. Hutan memang identik dengan tempat yang seram karena hutan biasanya
berisikan pohon-pohon yang sangat rumpun, binatang buas, dan tempat tinggal makhluk
gaib. Syekh Surbakti diutus oleh Raja Mataram untuk pergi ke hutan Mentaok yang bertujuan
untuk mencari sebab dari beberapa pekerja pembukaan lahan yang hilang dan ditemukan
tewas selain itu ia juga diberi mandat untuk menyelesaikan masalah pembukaan hutan
tersebut.
(3) Hutan yang berubah menjadi pedesaan bernama “Sulang” yang letaknya berada di dekat
pantai Parangtritis.
“Oleh karena itu, pembukaan hutan itu akhirnya dapat mereka selesaikan juga dan
menjadi sebuah desa yang maju di kelak kemudian hari. Desa itu kemudian diberi nama
Sulang, singkatan kesusu ilang (tergesa-gesa hilang). Sekarang, desa itu termasuk dalam
wilayah Kabupaten Bantul. Tepatnya, di sebelah utara pantai Parangtritis.” (hlm 64)
Peran latar fisik (lingkungan) di hutan yang kemudian menjadi sebuah pedesaan
bernama “Sulang” membantu mengalirkan peristiwa antara Syekh Surbakti dengan
Jagarumeksa dan pengikutnya. Hutan yang awalnya dihuni oleh Jagarumeksa dan
pengikutnya akhirnya bisa dikuasai oleh Syekh Surbakti dan kemudian hutan itu dibuka
lahannya dan menjadi sebuah pedesaan bernama “Sulang” yang letaknya tidak jauh dari
Pantai Parangtritis. Selain itu, latar ini pun menjadi awal sebuah asal-usul pedesaan bernama
“Sulang” singkatan kesusu ilang (tergesa-gesa hilang) hal itu didasari oleh Jagarumeksa dan
pengikutnya yang ketakutan pada Syekh Surbakti. Oleh karena itu, mereka tergesa-gesa
hilang dan pergi untuk meninggalkan hutan Mentaok.
41
Kajian Ekologi Sastra dalam Cerita Rakyat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta – Hermawan, Muhammad Alfian dan
Wulandari, Yosi.
1. Penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum atau peserta didik untuk
memperoleh pemahaman dan pengetahuan yang mendalam mengenai etika lingkungan
dalam kehidupan maupun dalam dunia sastra, selain itu juga dapat memberikan
pengetahuan mengenai latar fisik (lingkungan) yang digunakan dalam sebuah karya
sastra.
2. Penelitian ini dapat menjadi acuan bagi penelitian yang akan dilaksanakan selanjutnya,
selain itu juga dapat dijadikan sebagai pembelajaran bagi pembaca khususnya nilai
pendidikan karakter yang terdapat pada penelitian yang dibuat ini.
3. Cerita rakyat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memuat banyak nilai moral, adab
sopan santun, budaya tolong menolong, sikap kejujuran yang sangat bermanfaat bagi
pembaca ataupun peserta didik.
42
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol 10, No. 1, Maret 2021; 29-43
Daftar Rujukan
Danandjaja, J. (2007). Folklore Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. PT. Temprint.
Endraswara, S. (2013). Folklor nusantara: hakikat, bentuk dan fungsi. Folklor Nusantara:
Hakikat, Bentuk Dan Fungsi, 1–298. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/dr-
suwardi-mhum/folklor-nusantaradamicetak.pdf
Endraswara, S. (2016). Metodologi Penelitian Ekologi Sastra (B. Seda (ed.); First). CAPS (Center
for Academic Publishing Sevice).
Herbowo, N. A. S. (2020). Kajian Ekologi Sastra Berbasis Nilai Kearifan Lokal Dalam Cerpen
“Orang Bunian” Karya Gus Tf Sakai. Dialektika: Jurnal Bahasa, Sastra, Dan Pendidikan
Bahasa Dan Sastra Indonesia, 7(1), 63–75. https://doi.org/10.15408/dialektika.v7i1.13887
Suwatno. (2012). Ekokritik Film Avatar Karya James Cameron Sarana Pendidikan Lingkungan
Siswa. Seloka: Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, 6(2), 44–59.
Widianti, A. W. (2017). Kajian Ekologi Sastra dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2014 di
Tubuh Tarra dalam Rahim Pohon. Jurnal Diksatrasia, 1(2), 1–9.
Wulandari, Y. (2017). Kearifan Ekologis dalam Legenda “Bujang Sembilan” (Asal-usul Danau
Maninjau). 8. http://library1.nida.ac.th/termpaper6/sd/2554/19755.pdf
43