Kelompok 5 - Laporan Lumba Lumba - Penangkaran A

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PRAKTIKUM

PRAKTIKUM PENANGKARAN DAN RESTOCIKNG


TAHUN 2024
MODUL IV: DOLPHIN

Disusun Oleh:
Kelompok 5
Muharnanta Fahreza 26040122130106
Galuh Yuanita Maira 26040121130074
Arshy Paramita 26040121130079
Acriska Nissia Gesta 26040122140094
Belinda Aureliawati 26040122140126
Johnatan Febian Revero 26040122140123

Penanggung Jawab Kelompok


Kirana Bening 26040121130054

Dosen Pengampu Mata Kuliah:


Dr. Ir. Retno Hartati, M. Sc.
Prof.Dr. Ir. Ambariyanto, M. Sc.
Dr. Pi. Ir. Widianingsih, M. Sc.
Dra. Rini Pramesti, M. Si.

DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan laporan praktikum pada praktikum Penangkaran dan Restocking Endangered
Species ini dengan sebaik mungkin dan dapat dikumpulkan dengan tepat waktu. Tidak lupa
juga penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada koordinator dosen
yaitu Ibu Dr. Ir. Retno Hartati, M. Sc. pada mata kuliah Pencemaran Laut Penangkaran dan
Restocking Endangered Species dan para asisten praktikum Penangkaran dan Restocking
Endangered Species yang sudah membantu dalam bimbingan materi serta memberikan
kesempatan kepada kami agar dapat menuliskan laporan praktikum ini.
Penulis menyadari bahwa masih ada banyak sekali kesalahan-kesalahan kecil maupun
besar dalam penulisan laporan resmi ini. Oleh karena itu, penulis ingin memohon maaf apabila
terjadi kesalahan, seperti kesalahan penulisan maupun penggunaan kata yang salah. Dan
penulis menerima kritik dan saran yang membangun agar laporan ini dapat tersusun lebih baik
lagi. Di akhir kata, penulis berharap agar laporan ini dapat menambah wawasan serta
bermanfaat untuk studi ke depannya.

Semarang, 9 Mei 2024

Kelompok 5 Ilmu Kelautan A


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................................. 3
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................ 4
DAFTAR TABEL .................................................................................................................... 5
I. PENDAHULUAN ................................................................................................................. 6
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 6
1.2 Tujuan.......................................................................................................................... 6
1.3 Manfaat........................................................................................................................ 7
II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................................... 8
2.1. Biologi Lumba-Lumba.................................................................................................... 8
2.2 Ekologi Lumba-Lumba ............................................................................................... 9
2.3 Habitat Lumba-Lumba .............................................................................................. 10
2.4. Identifikasi Lumba-Lumba........................................................................................ 11
2.5 Proses Perkawinan Lumba-Lumba............................................................................ 12
2.6 Pemeliharaan Bayi Lumba-Lumba............................................................................ 13
2.7 Pelepasliaran Lumba-Lumba..................................................................................... 13
2.8 Lokasi Pembesaran .................................................................................................... 14
2.9 Pemberian Pakan ....................................................................................................... 15
2.10 Risiko ........................................................................................................................ 16
III. MATERI DAN METODE PRAKTIKUM.................................................................... 17
3.1. Materi ........................................................................................................................ 17
3.2. Tempat....................................................................................................................... 17
3.3. Alat dan Bahan .......................................................................................................... 17
3.4 Metode....................................................................................................................... 17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................................ 19
4.1 Hasil .......................................................................................................................... 19
4.2. Pembahasan................................................................................................................... 19
V. KESIMPULAN.................................................................................................................. 24
5.1 Kesimpulan................................................................................................................ 24
5.2 Saran .......................................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 25
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Lumba Lumba Hidung Botol.................................................................................. 8


DAFTAR TABEL

Tabel 1. Alat dan Bahan Pembesaran Lumba-Lumba............................................................. 17


I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut Pamela dan Juniati (2021), Cetacean merupakan salah satu jenis Ordo yang
ada yang merupakan jenis mamalia air. Lumba-lumba hidung botol, atau Tursiops aduncus,
adalah spesies yang menarik perhatian di perairan Indonesia. Dengan moncong yang
menyerupai botol dan warna tubuh yang khas, mereka sering ditemukan berenang di perairan
hangat di sepanjang pesisir. Kelompok-kelompok besar, atau pod, sering menjadi
pemandangan umum, menunjukkan sifat sosial mereka yang kuat. Meskipun tidak secara
langsung diburu, lumba-lumba hidung botol menghadapi ancaman dari polusi laut, tangkapan
sampingan dalam perikanan, dan gangguan habitat akibat aktivitas manusia. Perlindungan
terhadap spesies ini tidak hanya penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem laut, tetapi
juga untuk mendukung industri pariwisata yang bergantung pada keberadaan mereka. Dengan
langkah-langkah konservasi yang tepat, kita dapat memastikan kelangsungan hidup lumba-
lumba hidung botol di perairan Indonesia.
Lumba-lumba hidung botol juga memiliki peran penting dalam ekosistem laut sebagai
predator di rantai makanan, membantu menjaga keseimbangan populasi mangsa dan spesies
lainnya. Selain itu, kehadiran mereka juga memberikan manfaat ekonomi melalui pariwisata
dan ekowisata. Banyak destinasi di Indonesia yang menawarkan pengalaman melihat lumba-
lumba hidung botol di habitat alaminya, menyediakan pendapatan bagi masyarakat lokal dan
kesempatan untuk meningkatkan kesadaran tentang perlindungan lingkungan.
Untuk memastikan kelangsungan hidup lumba-lumba hidung botol di Indonesia, perlu
adanya kerjasama antara pemerintah, organisasi konservasi, masyarakat lokal, dan pemangku
kepentingan lainnya. Langkah-langkah konservasi termasuk penegakan hukum terhadap
praktik perburuan ilegal, perlindungan habitat, dan edukasi publik tentang pentingnya menjaga
keanekaragaman hayati laut. Dengan upaya bersama ini, kita dapat melindungi lumba-lumba
hidung botol sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keindahan dan keberlanjutan perairan
Indonesia.

1.2 Tujuan
1. Memahami biologi, ekologi dan habitat lumba-lumba sebagai dasar dilakukan
penangkaran terhadapnya
2. Mendesain pembesaran untuk melakukan penangkaran pada lumba-lumba
3. Mendesain usaha pembesaran lumba-lumba

1.3 Manfaat
1. Praktikan dapat memahami biologi, ekologi dan habitat lumba-lumba sebagai dasar
dilakukan penangkaran terhadapnya
2. Praktikan dapat mendesain pembesaran untuk melakukan penangkaran pada lumba-
lumba
3. Praktikan dapat mendesain usaha pembesaran lumba-lumba
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biologi Lumba-Lumba (Morfologi, Anatomi, Sistem Pencernaan, Sistem


Reproduksi) (Belinda Aureliawati Wibowo_26040122140126)

Gambar 1. Lumba Lumba Hidung Botol

Lumba-lumba memiliki karakteristik seperti bentuk morfologi, anatomi, sistem


pencernaan dan sistem reproduksi antara lain, lumba-lumba hidung botol memiliki moncong
yang panjang dan menonjol, yang memberikan kesan mirip dengan botol, itulah sebabnya
mereka disebut "hidung botol". Secara umum, lumba-lumba hidung botol memiliki tubuh yang
lebih kecil dibandingkan dengan beberapa spesies lumba-lumba lainnya. Panjang tubuhnya
berkisar antara 1,9 hingga 2,5 meter. Berat tubuh lumba-lumba hidung botol dapat bervariasi
tergantung pada usia dan kondisi individu. Beratnya dapat berkisar antara 80 kg hingga 235
kg. Mereka ditandai tubuh ramping berwarna abu-abu, sirip punggung dan bagian perut
berwarna putih, serta bagian dada berwarna kekuningan. Bagian tubuh Cetacea, termasuk
lumba-lumba, memiliki sirip dorsal dan ekor (fluks) yang membantu dalam kestabilan dan
regulasi panas tubuh. Pada beberapa spesies, sirip dorsal bisa kecil atau bahkan tidak ada sama
sekali. Fluks horizontal berada di ujung ekor, didukung oleh tulang ekor di bagian tengah,
sementara bagian lainnya terdiri dari jaringan non-tulang. Meskipun tidak dijelaskan secara
rinci, lumba-lumba juga memiliki organ-organ internal seperti jantung, paru-paru, hati, ginjal,
dan lain-lain yang memungkinkannya untuk hidup di air (Lubis et al., 2016).
Sistem pencernaan lumba-lumba dilengkapi dengan gigi, beberapa spesies bahkan
memiliki hingga 250 gigi. Gigi-gigi ini diyakini berfungsi sebagai antena untuk menerima
suara dan menentukan lokasi objek. Makanan utama lumba-lumba adalah ikan dan cumi-cumi.
Selain itu, mereka memiliki saluran pencernaan seperti esofagus, lambung, usus, dan anus
seperti mamalia lainnya. Lumba-lumba bernapas dengan paru-paru dan perlu sering naik ke
permukaan untuk menghirup udara melalui blowhole, yaitu lubang hidung di atas kepalanya,
yang salurannya dipenuhi dengan minyak sekresi.Sistem reproduksi lumba-lumba melibatkan
ovarium yang dalam, terutama pada ovarium mysticetes yang lebih terkena rongga tubuh. Janin
biasanya berkembang di salah satu tanduk ovarium. Lumba-lumba betina ovulasi di kedua
ovarium, meskipun ovarium kiri cenderung lebih cepat dari yang kanan. Meskipun tidak
spesifik tentang lumba-lumba, namun mereka termasuk dalam famili Cetacea yang memiliki
beberapa kesamaan dalam sistem reproduksinya. Betina memiliki sistem reproduksi internal
yang mirip dengan mamalia lainnya, dengan ovarium, tuba falopi, uterus, dan vagina. Jantan
memiliki testis internal dan penis yang dapat ditarik ke dalam tubuh. Betina memiliki periode
estrus yang berlangsung beberapa minggu setiap tahunnya.

2.2 Ekologi Lumba-Lumba (Kebutuhan Kualitas Air Untuk Hidup, Misal Salinitas,
Suhu, pH, Substrat) (Belinda Aureliawati Wibowo_26040122140126)
Ekologi lumba-lumba dilihat berdasarkan parameter lingkungan yang diukur.
Parameter yang diukur adalah suhu dan salinitas karena kedua parameter fisika ini merupakan
faktor yang paling berpengaruh terhadap tingkat stress ikan. Stres yang dialami lumba-lumba
dapat menyebabkan penyimpangan tingkah laku pada lumba-lumba. Perubahan cuaca akan
mempengaruhi kondisi laut. Angin misalnya sangat menentukan terjadinya gelombang dan
arus di permukaan laut, dan curah hujan dapat menentukan salinitas air laut. Kondisi perairan
dapat pula mempengaruhi keberadaan biota yang ada di dalam perairan tersebut. Adanya
perubahan iklim yang berdampak terhadap peningkatan suhu permukaan laut mengakibatkan
terganggunya jalur migrasi dan waktu migrasi dari lumba-lumba. Sebagian dari lumba-
lumba dan paus hidup pada perairan yang hangat. Migrasi yang dilakukan mamalia di
daerah ekuator dari arktik dan antartika bertujuan untuk mendapatkan makanan dan untuk
beradaptasi terhadap suhu hangat. Suhu air di permukaan dipengaruhi oleh kondisi
meteorologi. Faktor-faktor meteorologi seperti curah hujan, penguapan, kelembaban udara,
suhu udara, kecepatan angin dan itensitas cahaya. Oleh sebab itu biasanya suhu permukaan
mengikuti pula pola musiman. Salinitas menggambarkan konsentrasi seluruh ion yang
terdapat di perairan (Faizah et al., 2017).
Beberapa jenis lumba-lumba memiliki toleransi terhadap salinitas. Hal ini dapat
diketahui dengan aktivitas beberapa lumba-lumba yang mampu berenang atau mencari
makan sampai ke wilayah estuari. Arus merupakan gerakan horizontal atau vertikal dari masa
air laut menuju kestabilan yang terjadi secara terus menerus. Arus perairan mempunyai peranan
yang penting dalam menentukan alur pelayaran bagi kapal-kapal. Arus juga dapat
dimanfaatkan oleh lumba-lumba dalam aktivitas renang. Beberapa spesies lumba-lumba
dijumpai berenang di depan atau samping kapal dengan memanfaatkan arus yang
dihasilkan dari kapal. Arus yang terdapat di perairan dimanfaatkan lumba-lumba untuk
menghemat energi saat melakukan aktivitas renang. Parameter kualitas air adalah faktor utama
dalam pemeliharan lumba-lumba. Hal ini dikarenakan perubahan parameter perairan akan
mempengaruhi kelangsungan hidup dari lumba-lumba itu sendiri. Kadar total klorin diperiksa
menggunakan spektroquant, standar pada kolam antara 0.20-1.00 ppm. Suhu kolam tidak
dibawah 10℃ dan tidak lebih dari 32℃. Salinitas air pada kolam standar 28-33. Standar pH
normal berkisar 7.20-8.20 (Lubis et al., 2016).

2.3 Habitat Lumba-Lumba (Acriska Nissia Gesta_26040122140094)


Lumba-lumba merupakan salah satu mamalia laut yang tidak menetap disatu tempat
atau di suatu perairan. Lumba-lumba akan melakukan migrasi atau selalu berpindah tempat
pada saat hidupnya. Lumba-lumba memiliki persebaran yang sangat luas di setiap negara yang
ada di dunia. Habitat lumba-lumba dapat bervariasi tergantung pada spesiesnya, tetapi secara
umum mereka ditemukan di perairan hangat dan tropis di seluruh dunia. Lumba-lumba sering
ditemukan di perairan lepas atau lepas pantai, terutama di perairan hangat dan dalam di sekitar
samudra dan laut lepas. Lumba-lumba cenderung menghuni perairan yang hangat, dengan suhu
antara 10°C hingga 32°C, meskipun beberapa spesies dapat menyesuaikan diri dengan suhu
yang lebih dingin di perairan yang lebih dalam. Kebanyakan spesies lumba-lumba ditemukan
di perairan tropis dan subtropis di seluruh dunia, di mana mereka dapat menemukan berbagai
sumber makanan dan lingkungan yang cocok untuk reproduksi dan pertumbuhan (La Manna
et al., 2016).
Lumba-lumba hidung botol (Tursiops sp) merupakan salah satu biota laut yang
memiliki sebaran yang sangat luas, mulai dari kawasan perairan pesisir hingga laut lepas.
Lumba-lumba ini dapat ditemukan pada perairan tropis dan subtropis di seluruh dunia. Lumba-
lumba hidung botol ini juga dapat ditemukan pada berbagai macam habitat, mulai dari perairan
terumbu karang pesisir hingga lepas pantai, perairan berpasir dan berpadang lamun serta
kawasan esturi. Hal tersebut menandakan bahwa hewan lumba-lumba hidung botol ini
memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi. Akan tetapi, luma-lumba hidung botol Indopasifik
(Tursiops aduncus) sangatlah teratas, khususnya keberadaannya pada perairan Indonesia
(Andrimida., 2021).
2.4. Identifikasi Lumba-Lumba (Arshy Paramita_26040121130079)
Menurut Heryani (2022), Cetacea adalah salah satu kelompok mamalia laut yang terdiri
dari dua subordo, yaitu Mysticeti dan Odontoceti. Delphinidae, salah satu keluarga dalam
Cetacea, termasuk dalam subordo Odontoceti. Setiap anggota keluarga Delphinidae memiliki
beragam karakteristik fisik dan sinyal suara. Lumba-lumba, sebagai salah satu spesies yang
menarik dalam keluarga ini, dapat diidentifikasi melalui ciri khas suaranya. Identifikasi lumba-
lumba juga dapat dilakukan dengan melalui analisis sinyal suara menggunakan dua filter, yaitu
low pass dan high pass filter, serta melalui penggunaan koefisien wavelet. Tingkah laku lumba-
lumba, seperti melakukan perjalanan bersama untuk mencari makanan atau melakukan migrasi,
juga dapat menjadi ciri identifikasi. Sebagai contoh, T. aduncus memiliki panjang tubuh sekitar
3,7 meter dengan berat badan hingga 454 kg dan biasanya ditemukan di wilayah perairan
Pasifik. Kemampuan hidup lumba-lumba hidung botol di berbagai tipe lingkungan perairan
menunjukkan adaptasi yang baik terhadap lingkungan mereka (Aulia et al., 2022).
Identifikasi lumba-lumba hidung botol (Tursiops aduncus) dilakukan berdasarkan
dokumentasi pengamatan dan morfometri. Lumba-lumba hidung botol berwarna abu-abu yang
bervariasi dari abu-abu gelap di bagian atas dekat sirip punggung ke abu-abu muda keputih-
putihan di bagian bawah. Bentuk tubuh dari lumba-lumba jenis ini adalah tubuh ramping,
moncong yang panjang, dan sirip berwarna gelap. Panjang dari lumba-lumba hidung botol
berkisar 2 sampai 4 meter, dan beratnya berkisar 150 sampai 650 kilogram. Lumba-lumba
hidung botol memiliki kepekaan pendengaran yang baik dan dapat menghasilkan berbagai
macam suara, termasuk klik broad-band ekolokasi yang digunakan untuk memantau
lingkungan. Biasanya, Lumba-lumba hidung botol dapat ditemukan di perairan laut dan sungai
di seluruh dunia, kecuali Samudra Arktik dan Samudra Selatan. umba-lumba hidung botol
betina memiliki kematangan reproduksi pada usia 7-12 tahun yang ditandai dengan
keberhasilan pembuahan dan perkawinan yang terjadi pada musim panas dan musim semi.
Masa kehamilan lumba-lumba hidung botol adalah 12 bulan atau 1 tahun, dan tingkat kelahiran
adalah 3-4 tahun sekali. Lumba-lumba hidung botol jantan memilih untuk kawin dengan lebih
dari satu betina dan saling bekerjasama dengan "mate guarding" terhadap betina. Feeding habit
dari lumba-lumba jenis ini dengan cara berkelompok dan dapat ditemukan di perairan laut
dangkal, yang mana posisi tersebut berdekatan dengan sumber makanan yang tersedia (Lubis
et al., 2016).
2.5 Proses Perkawinan Lumba-Lumba (Galuh Yuanita Maira_26040121130074)
Menurut Zuleni (2023), lumba-lumba berkembang biak dengan cara melahirkan atau
biasa disebut vivipar. Hewan ini memiliki kelenjar susu sehingga mampu menyusui anaknya.
Lumba-lumba memiliki sistem perkawinan yang berbeda[1]beda tergantung spesiesnya, tetapi
umumnya lumba-lumba jantan bersaing untuk memperebutkan betina yang kemudian mereka
kawinkan. Umur lumba-lumba saat pertama kali melakukan perkawinan bervariasi tergantung
dari spesies. Rata-rata lumba-lumba betina dewasa mencapai kematangan seksual dan dapat
bereproduksi di usia sekitar 5-13 tahun, sementara lumba-lumba jantan di mencapai
kematangan seksual di usia sekitar 10-13 tahun. Perkawinan antara lumba-lumba jantan dan
betina melibatkan banyak kontak termasuk menyeruduk kepala dan mencakar (menggunakan
gigi mereka untuk saling mencakar atau mencakar. Saat akan melakukan proses perkawinan,
lumba-lumba jantan memiliki cara untuk menunjukkan kekuatan dan kesiapan mereka untuk
berkembang biak, seperti melompat ke udara, berteriak atau bersuara keras, dan saling
mengejar dengan kecepatan tinggi. Lumba-lumba jantan akan menjadi sangat agresif terhadap
lumba-lumba lainnya. Mereka akan membuat suara-suara sebagai peringatan terhadap
lawannya. Selain itu, lumba-lumba juga akan membenturkan tubuhnya dengan lumba-lumba
lain. Hal tersebut dilakukan bertujuan untuk menunjukkan kekuatannya dengan pejantan lain.
Ovulasi sering dirangsang oleh kehadiran lumba-lumba jantan atau dapat terjadi pada induk
setelah kehilangan betisnya. Ereksi adalah aktivitas sukarela oleh lumba-lumba jantan. Penis
ereksi lumba-lumba jantan diarahkan agar mudah dimasukkan ke dalam betina dan tidak
memerlukan rangsangan untuk melepaskan sperma. Penis menghadap ke depan saat ereksi
untuk memudahkan koitus. Betina berguling di satu sisi, menghadirkan sisi perutnya ke jantan.
Proses perkawinan pada lumba-lumba dapat berlangsung secara cepat atau dalam
beberapa kasus dapat terjadi selama beberapa jam atau bahkan beberapa hari. Pelepasan sperma
terjadi saat berenang dan sangat cepat (terjadi sekitar 10 detik) dan membutuhkan sedikit atau
tanpa rangsangan. Setelah terjadinya pembuahan, betina biasanya akan melahirkan satu bayi
lumba-lumba setelah masa kehamilan yang berkisar 9-17 bulan. Proses kawin lumba-lumba
pun biasanya dilakukan dalam beberapa tahapan dengan frekuensi beberapa kali selama
berhari-hari. Waktu yang dibutuhkan untuk lumba-lumba mengandung lalu melahirkan anak
berbeda tergantung dari spesies lumba-lumba tersebut. Rentang waktu paling singkat dalam
masa mengandung lumba-lumba yakni 12 bulan untuk jenis Tucuxi, sedangkan masa
terpanjangnya yakni berkisar 17 bulan untuk jenis Orca (Susanto, 2018).
2.6 Pemeliharaan Bayi Lumba-Lumba (Galuh Yuanita Maira_26040121130074)
Lumba-lumba betina mencapai kematangan seksual antara usia 5-12 tahun, dan lumba-
lumba jantan antara usia 9-13 tahun. Setelah pembuahan selesai, lumba[1]lumba akan
mengandung selama 11-12 bulan. Tanda-tanda proses melahirkan hampir mirip dengan
mamalia darat, misalnya kontraksi rahim. Tanda-tanda lain yang terlihat adalah menurunnya
nafsu makan dan meningkatnya gerakan berenang. Selama proses melahirkan di kolam, lumba-
lumba betina dipisahkan dari betina lainnya, hal ini dilakukan untuk menghindari stres
berlebihan pada lumba[1]lumba saat proses melahirkan. Saat anak lumba-lumba yang baru
lahir lahir, induknya membawanya ke permukaan untuk bernapas. Bayi lumba-lumba akan
menyusui pada induknya hingga berumur 18 bulan (Burhanuddin, 2018).
Menurut Nowacek dan Nowacek (2006), bayi lumba-lumba dalam penangkarang akan
dilakukan monitoring atau pengecekan kesehatan serta tingkat pertumbuhannya secara teratur.
Biasanya bayi lumba-lumba akan menyusu pada tahun kedua dari kelahirannya, namun ada
pula kejadian dimana bati lumba-lumba menyusu hingga berumur 3 tahun. Ketika bayi lumba-
lumba sudah berumur 1 tahun maka bayi lumba-lumba sudah bisa diberi pakan yang lebih
padat. Bayi lumba-lumba terbukti lebih menyukai pakan berapa cumi-cumi daripada ikan. Pada
awal kelahiran, bayi lumba-lumba beserta induknya diberikan pakan yang lebih kaya akan
kalori. Pada satu tahun pertama bayi lumba-lumba dilahirkan, terlihat bahwa bayi lumba-lumba
menghabiskan sebagian besar waktu mereka berenang dekat dengan induknya. Dengan
sejalannya waktu, sekitar umur 2-3 tahun mereka mulai berenang dengan jarak yang semakin
tahun semakin menjauh. Hal ini dipercaya bahwa dengan berkembangnya bayi lumba-lumba
mereka semakin berani untuk mengeksplor kawasan.

2.7 Pelepasliaran Lumba-Lumba (Galuh Yuanita Maira_26040121130074)


Menurut Sarinastitia dan Wicaksoni (2021), pelepasliaran satwa merupakan suatu
upaya melepasliarkan satwa hasil evakuasi ataupun hasil rehabilitasi ke habitat alaminya.
Dengan kata lain, hewan yang dilepasliarkan merupakan hewan hasil sitaan atau serahan
sukarela dan dikembalikan ke alam. Biasanya hewan yang dilepasliarkan telah menjalani
proses rehabilitasi agar memunculkan perilaku liar pada satwa sehingga dapat bertahan hidup
ketika dilepasliarkan ke alam. Banyak manfaat yang diperoleh dengan mengembalikan satwa-
satwa sitaan ke alam atau habitat alaminya seperti meningkatkan potensi konservasi jangka
panjang spesies atau populasi lokal suatu spesies dan kawasan, membuat pernyataan
politis/pendidikan yang kuat menyangkut nasib satwa dan mempromosikan nilai-nilai
konservasi lokal dan mengembalikan peran dan fungsi ekologis dan biologis satwa yang
dilepasliarkan. Pelepasliaran lumba-lumba sendiri sebelumnya dilakukan suatu penilaian
mengenai kesehatan, lokasi yang dipilih sesuai dengan habitat asli serta dilakukan suatu
pemantauan.
Pelepasliaran lumba-lumba adalah upaya konservasi yang dilakukan untuk
mengembalikan lumba-lumba dari penangkaran atau situasi penahanan ke lingkungan laut
alaminya. Langkah-langkah ini diambil untuk melindungi dan mendukung kesejahteraan
lumba-lumba yang mungkin terluka, sakit, atau terjebak dalam kondisi yang tidak sesuai.
Proses pelepasliaran melibatkan evaluasi kesehatan menyeluruh, termasuk pemeriksaan medis
dan rehabilitasi jika diperlukan. Sebelum dilepasliarkan, lumba-lumba mungkin mendapatkan
pelatihan untuk membantu mereka beradaptasi kembali dengan kehidupan laut yang alami.
Pemantauan setelah pelepasliaran menjadi langkah penting untuk memastikan keberhasilan
adaptasi mereka ke lingkungan laut dan untuk memantau kesejahteraan mereka (Marquez et
al., 2021)

2.8 Lokasi Pembesaran (Acriska Nissia Gesta_26040122140094)


Lokasi pembesaran lumba-lumba dalam penangkaran harus dipilih dengan cermat
untuk memastikan kesejahteraan hewan dan kesuksesan program penangkaran. Kondisi
lingkungan seperti suhu air yang stabil, kualitas air yang baik, dan fasilitas yang memadai
untuk menjaga kebersihan air adalah faktor penting yang harus dipertimbangkan. Selain itu,
lokasi harus memiliki kolam pembesaran yang cukup besar dan dalam, dilengkapi dengan area
persembunyian dan bermain untuk memberikan stimulasi mental dan fisik bagi lumba-lumba.
Aksesibilitas lokasi juga penting untuk memfasilitasi pengawasan harian oleh staf penangkaran
dan transportasi perlengkapan dan perawatan medis. Fasilitas dan infrastruktur yang sesuai,
ketersediaan sumber daya seperti air bersih dan listrik, serta pemenuhan regulasi dan
persyaratan perizinan juga harus dipertimbangkan dengan cermat dalam lokasi pembesaran
lumba-lumba yang dilakukan (Setyaningrum dan Indrawati., 2020).
Kolam pembesaran lumba-lumba yang baik memiliki beberapa karakteristik yang
memastikan kenyamanan lumba-lumba dalam lingkungan penangkaran. Ukuran dan
kedalaman kolam harus mencukupi untuk memberikan ruang yang memadai bagi lumba-lumba
untuk bergerak secara alami. Kolam juga harus dirancang dengan struktur yang memungkinkan
interaksi yang baik antara lumba-lumba dan lingkungannya, termasuk area persembunyian dan
hambatan alami. Kualitas air dalam kolam harus dipertahankan pada tingkat yang optimal,
yang melibatkan sistem filtrasi dan pemurnian air yang efektif. Selain itu, pencahayaan yang
memadai dan pengaturan suhu yang tepat juga diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang
nyaman bagi lumba-lumba. Kolam harus mudah diakses oleh staff penangkaran untuk
pengawasan dan perawatan, serta respons cepat terhadap keadaan darurat. Dengan
memperhatikan semua karakteristik ini, kolam pembesaran lumba-lumba dapat menjadi
lingkungan yang ideal untuk mendukung kesejahteraan dan perkembangan hewan-hewan
tersebut dalam lingkungan penangkaran (Fanny dan Redi., 2018).

2.9 Pemberian Pakan (Acriska Nissia Gesta_26040122140094)


Pemberian pakan pada lumba-lumba di penangkaran adalah aspek krusial dalam
menjaga kesehatan dan kesejahteraan hewan-hewan tersebut. Proses ini memerlukan perhatian
khusus terhadap kebutuhan nutrisi yang tepat untuk memastikan bahwa lumba-lumba
mendapatkan asupan makanan yang memadai. Jenis pakan yang diberikan bisa beragam, mulai
dari ikan, cumi-cumi, udang, hingga makanan buatan yang dirancang khusus untuk memenuhi
kebutuhan diet lumba-lumba. Penting untuk memperhatikan frekuensi pemberian pakan yang
sesuai dengan kebiasaan makan alami lumba-lumba di habitat aslinya serta menyesuaikan
ukuran porsi agar sesuai dengan ukuran dan kondisi tubuh masing-masing hewan. Selain itu,
variasi dalam diet juga penting untuk memastikan bahwa lumba-lumba mendapatkan semua
nutrisi yang mereka butuhkan. Selama proses pemberian pakan, perlu dilakukan pemantauan
kesehatan secara teratur untuk memastikan bahwa lumba-lumba menerima asupan nutrisi yang
memadai dan tidak mengalami masalah kesehatan terkait dengan diet mereka (Clegg dan
Delfour., 2018).
Waktu pemberian makan lumba-lumba di penangkaran diatur secara teratur dan
konsisten untuk memastikan asupan makanan yang memadai sepanjang hari. Rutinitas
pemberian makan biasanya mencakup beberapa kali sesi selama hari, dimulai pada pagi hari
setelah bangun tidur. Ini memberikan asupan energi yang dibutuhkan untuk memulai aktivitas
harian. Pemberian makan juga dilakukan pada siang hari, terutama jika lumba-lumba aktif dan
bermain di kolam pembesaran. Sore hari juga menjadi waktu yang cocok untuk memberikan
makan, sesuai dengan kebiasaan makan alami lumba-lumba di habitat aslinya. Pemberian
makan pada malam hari juga kadang dilakukan, terutama untuk memenuhi kebutuhan
tambahan atau memberikan stimulasi mental sebelum istirahat malam. Penting untuk
memperhatikan bahwa frekuensi pemberian makan yang konsisten dan diet yang beragam
penting untuk memastikan kesehatan dan kesejahteraan lumba-lumba di penangkaran
(Elmanaviean dan Seta., 2023).
2.10 Risiko (Muharnanta Fahreza_26040122140106)
Pembesaran dan peranakan lumba-lumba dalam penangkaran memberikan sejumlah
manfaat, termasuk sebagai sumber penelitian dan edukasi, kontribusi terhadap konservasi
spesies, dan potensi ekonomi melalui taman laut dan pertunjukan. Namun, ada beberapa risiko
yang perlu dipertimbangkan secara serius. terkait dengan kesejahteraan hewan, lumba-lumba
adalah makhluk sosial yang dalam kehidupan alaminya hidup dalam kelompok besar dan
melakukan perilaku alami seperti berburu dan bersosialisasi. Di lingkungan penangkaran,
mereka seringkali terbatas dalam ruang gerak dan aktivitas, menyebabkan stres, frustrasi, dan
perilaku abnormal. Selain itu, penangkaran juga meningkatkan risiko penyakit dan cedera pada
lumba-lumba, karena lingkungan hidup yang tidak alami dan penggunaan metode pelatihan
yang mungkin menyebabkan stres dan trauma. Terkait dengan dampak konservasi,
penangkaran lumba-lumba dapat mengurangi minat publik untuk melindungi populasi liar, dan
lumba-lumba yang dibesarkan di penangkaran mungkin tidak dapat dilepaskan kembali ke
habitat alaminya. Selain itu, menangkap lumba-lumba dari alam liar untuk tujuan penangkaran
dapat mengganggu populasi liar dan merusak ekosistem laut. Sehingga banyak orang
menganggap tidak etis untuk memelihara lumba-lumba di penangkaran karena mereka adalah
hewan liar yang seharusnya hidup bebas di habitat alaminya. Pertunjukan lumba-lumba juga
sering dikritik karena mengeksploitasi hewan tersebut dan memaksa mereka untuk melakukan
trik yang tidak alami. (Andini et al., 2022)
Menurut Sirinastiti dan Wicaksono (2021) Beberapa kendala utama dalam penangkaran
lumba-lumba, yang meliputi masalah kesejahteraan hewan, aspek etika dan konservasi, serta
tantangan terkait aspek legal dan regulasi. Terkait dengan kesejahteraan hewan, kendala
meliputi ruang yang terbatas dalam kolam penangkaran. Kurangnya stimulasi mental dan fisik
yang mengakibatkan kebosanan dan frustrasi, serta perilaku tidak alami yang diperintahkan
untuk atraksi, yang bisa menyebabkan cedera fisik dan stres psikologis pada lumba-lumba. Dari
perspektif etika dan konservasi, penangkapan lumba-lumba dari alam liar. Rendahnya tingkat
reproduksi di penangkaran, dan risiko pelepasan kembali ke alam liar yang mungkin
berdampak negatif terhadap populasi liar dan keseimbangan ekosistem menjadi kendala utama.
Dalam legal dan regulasi, kekurangan peraturan yang jelas terkait penangkaran lumba-lumba
di Indonesia, pengawasan yang lemah, dan kurangnya transparansi dari pengelola taman
hiburan mengenai kondisi lumba-lumba dan program pelatihan juga menjadi masalah yang
perlu diperhatikan.
III. MATERI DAN METODE PRAKTIKUM

3.1. Materi (Arshy Paramita_26040121130079)


Kegiatan praktikum dengan materi pembesaran lumba lumba hidung botol dilaksanakan pada
hari Jumat, 3 Mei 2024. Pelaksaan praktikum dilakukan secara luring di ruang 109 gedung G
Kampus FPIK, Universitas Diponegoro.

3.2. Tempat (Arshy Paramita_26040121130079)


Pelaksanaan kegiatan pembesaran dan penangkaran lumba-lumba hidung botol
dilaksanakan di Taman Safari Indonesia, Cisarua Bogor, Jawa Barat. Taman Safari Indonesia
adalah tempat wisata keluarga berwawasan lingkungan yang berorientasi pada habitat satwa di
alam bebas. Taman Safari Indonesia terletak di Desa Cibeureum Kecamatan Cisarua,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat atau yang lebih dikenal dengan kawasan Puncak.

3.3. Alat dan Bahan (Arshy Paramita_26040121130079)


Alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan pembesaran lumba-lumba adalah
sebagai berikut.
Tabel 1. Alat dan Bahan Pembesaran Lumba-Lumba
No. Alat dan Bahan Fungsi
1. Lumba-lumba hidung botol Sebagi objek utama dalam pembesaran dan
penangkaran
2. Kolam pembesaran/penampungan Sebagai tempat untuk menampung lumba-
lumba
3. Pompa air dan volume udara Untuk mengatur volume air yang dibutuhkan
pada kolam
4. Air penampungan Sebagai sarana utama
5. Alat pengukur kualitas perairan Untuk mengukur kualitas kolam lumba-lumba

3.4 Metode (Arshy Paramita_26040121130079)


Menurut Nachtigall et al.,(2008), metode yang diterapkan dalam penangkaran lumba-
lumba dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu:
1) Peralatan disiapkan untuk restrain dan pemindahan sebelum dilakukannya pemindahan.
Alat-alat yang dibutuhkan antara lain stretcher, pikulan, dan ember berisi air laut.
Stretcher dapat dibuat dari kanvas dan harus dilengkapi dengan tiang kayu atau logam
sebagai penyangga atau pikulan.
2) Cara pemindahan lumba-lumba indukan dari kolam training tank menuju kolam
fiberglass yaitu lumba-lumba digiring menuju pinggir kolam dengan menggunakan alat
bantu jaring. Lumba-lumba yang berada di dalam jarring kemudian dibawa ke pinggir
kolam.
3) Lumba-lumba lalu diangkat keluar dari kolam. Stretcher disiapkan di samping lumba-
lumba. Lumba-lumba dipegang dengan cara memegang kedua flipper dan bagian
ekornya lalu secara bersamaan,
4) Kemudian diangkat dan dipindahkan ke stretcher yang telah disiapkan.stretcher
diangkat dan diletakkan di atas penyangga setelah lumba-lumba berada diatas stretcher.
Lumba-lumba dipindahkan menuju kolam lainnya setelah lumba-lumba tenang.
5) Pada saat perjalanan ke lokasi pemindahan, lokasi penempatan lumba-lumba berupa
tanki yang diisi air harus memiliki air yang cukup yang bertujuan untuk menghindar
kekeringan. Tubuh lumba-lumba mudah kering yaitu selama 10-30 menit. Kekeringan
dapat menyebabkan kondisi tubuh pada lumba-lumba menjadi tidak normal yang dapat
menyebabkan stress dan atau kematian. Untuk pengambilan air dapat dilakukan
pengambilan pada saat kondisi pasang. Hal ini bertujuan untuk menghindari adanya
sedimen yang dapat masuk pada pengambilan air, pada saat pasang terdapat sedikit
sedimen sehingga cocok untuk pengambilan air.
6) Penurunan lumba-lumba ke kolam. Penurunan lumba-lumba dilakukan menggunakan
alat pengangkat sebagai bantuan untuk memindahkan lumba-lumba dari transportasi ke
kolam. Penurunan dilakukan secara perlahan agar lumba-lumba tidak terluka. Sistem
pengairan kolam harus dalam keadaan yang bersih serta memiliki sistem filtrasi yang
bekerja. Hal ini diperlukan untuk menghindari adanya tumbuh mikroalga atau bakteri
yang dapat melukai lumba-lumba, beserta puing puing yang dapat memasuki blowhole
pada lumba-lumba.
7) Setelah semua langkah telah dilakukan, lumba-lumba hanya memerlukan waktu untuk
beradaptasi pada lingkungan baru, lalu sudah siap untuk dilakukan proses yang
diperlukan seperti pengawinan, proses kelahiran, perawatan anak.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil (Johnatan Febian Revero_26040122140123)

4.2. Pembahasan
4.2.1. Jelaskan Mengenai Alur Penangkaran Lumba-Lumba dari Desain Kolam yang
Telah Dibuat! (Muharnanta Fahreza_26040122140106)
Alur perawatan dan penangkaran hasil rescue lumba-lumba dimulai dengan
penyelamatan dan evaluasi awal kondisi hewan yang mungkin menjadi korban penangkapan
ilegal atau cedera akibat aktivitas manusia. Setelah diselamatkan, lumba-lumba menerima
perawatan medis yang sesuai untuk mengatasi cedera dan kondisi kesehatan lainnya. Setelah
kondisinya stabil, mereka dipindahkan ke fasilitas pembesaran yang menyediakan lingkungan
yang aman dan makanan yang cukup untuk pertumbuhan optimal. Setelah mencapai kondisi
fisik yang memadai, lumba-lumba yang diselamatkan dapat dimasukkan ke dalam program
peranakan untuk menjaga keberlanjutan populasi. Di sini, mereka dipasangkan dengan
pasangan yang sesuai untuk reproduksi yang diawasi ketat. Selama masa pembesaran dan
peranakan, lumba-lumba juga menjadi subjek edukasi untuk meningkatkan kesadaran publik
tentang pelestarian laut. Sebelum dilepas kembali ke habitat alaminya, mereka diberikan
pelatihan khusus untuk meningkatkan kemampuan bertahan hidup mereka. Proses pelepasan
kembali dilakukan dengan harapan bahwa lumba-lumba akan berhasil beradaptasi kembali ke
lingkungan laut yang alami (Fanny dan Redi, 2018)
Dalam perawatan, langkah awal melibatkan evakuasi hati-hati dari lokasi kejadian dan
stabilisasi kondisi hewan yang terdampar atau terluka. Selanjutnya, lumba-lumba menjalani
rehabilitasi di kolam yang disesuaikan dengan kebutuhan medis dan nutrisi mereka.
Pembesaran dilakukan setelah lumba-lumba pulih secara fisik dan emosional, dengan fokus
pada pengembangan perilaku alami dan kesehatan yang optimal. Sementara itu, proses
peranakan melibatkan pemilihan pasangan yang cocok, pemantauan ketat selama kehamilan
dan kelahiran, serta perawatan anak selama periode menyusui dan pembelajaran perilaku alami.
Alur dari melahirkan dan pembesaran lumba-lumba dimulai dengan proses melahirkan yang
alami, di mana induk lumba-lumba membantu bayinya untuk mengapung ke permukaan air
dan bernapas. Setelah melahirkan, induk lumba-lumba merawat dan menyusui bayinya dengan
penuh perhatian, sambil mengajari mereka berbagai keterampilan penting seperti berenang dan
berkomunikasi. Selanjutnya, bayi lumba-lumba memasuki tahap pembesaran awal, di mana
mereka tinggal di kolam pembesaran yang disediakan oleh fasilitas penangkaran. Di sini,
mereka terus diberi makanan bergizi dan dipantau secara teratur untuk memastikan kesehatan
dan perkembangan yang optimal. Selama masa pembesaran, lumba-lumba muda juga dilatih
untuk melakukan perilaku alami yang diperlukan untuk bertahan hidup di habitat alaminya,
seperti berburu dan bersosialisasi dengan sesama (Melinda et al., 2024).

4.2.2 Sebutkan dan Jelaskan Karakteristik Biologi Utama yang Berpengaruh Terhadap
Keberhasilan Restocking Lumba-Lumba! (Galuh Yuanita Maira_26040121130074)
Keberhasilan restocking lumba-lumba sangat dipengaruhi oleh karakteristik biologi
utama spesies tersebut. Faktor keberlanjutan genetik menjadi kunci dalam memastikan
populasi yang diintroduksi dapat berkembang secara mandiri. Lumba-lumba memiliki tingkat
reproduksi yang rendah dan lambat, dengan periode kehamilan yang panjang dan jumlah anak
yang dilahirkan terbatas, sehingga pemilihan individu yang memiliki keragaman genetik yang
cukup penting. Selain itu, parameter lingkungan seperti suhu air, salinitas, dan ketersediaan
makanan harus dipertimbangkan agar dapat menciptakan kondisi yang optimal bagi
kelangsungan hidup dan perkembangan lumba-lumba di habitat baru. Hal ini diperkuat oleh
Fany dan Redi (2018) bahwa penyelenggaraan fasilitas kolam dan sumber air untuk satwa harus
memperhatikan kebutuhan spesifik dari satwa yang bersangkutan. Peraturan Direktur Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Nomor: P.16/IV-SET/2014) menegaskan bahwa
sumber air yang digunakan, baik dari laut maupun tawar yang dicampur dengan garam tanpa
natrium, haruslah sesuai dengan kebutuhan biologis lumba-lumba. Di samping itu, peraturan
ini juga menekankan pentingnya pemantauan yang cermat terhadap kondisi kolam dari
berbagai aspek. Salah satu aspek yang penting adalah penyesuaian kandang dengan bentuk
tubuh dan perilaku alami lumba-lumba. Jika lumba-lumba membutuhkan ruang gerak yang
luas, maka kolam haruslah direncanakan sedemikian rupa sehingga memberikan ruang gerak
yang memadai. Pasal 16 dari Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam (Nomor: P.09/IV-SET/2011) menegaskan bahwa lingkungan tempat tinggal satwa,
termasuk kelengkapannya, haruslah dirancang dengan mempertimbangkan kebutuhan biologis,
fisik, dan perilaku alami dari satwa tersebut. Hal ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan
yang nyaman dan aman bagi lumba-lumba, sehingga mereka dapat beradaptasi dengan baik
dan mempertahankan kesejahteraan mereka di fasilitas konservasi.
Fasilitas pemeliharaan lumba-lumba adalah fasilitas untuk mengembangbiakkan dan
memelihara lumba-lumba penangkaran untuk tujuan konservasi, penelitian, atau pameran.
Jenis fasilitas ini dirancang untuk menciptakan kondisi optimal bagi individu-individu yang
sedang berkembang biak atau lumba-lumba dewasa yang digunakan untuk berkembang biak
agar berhasil berkembang biak dan menghasilkan keturunan yang sehat. Menurut Pettit dan
McCulloch (2021), kolam harus cukup besar agar lumba-lumba dapat berenang dan berperilaku
alami. Kolam juga harus dilengkapi dengan sistem sirkulasi air, penyaringan, pemanas, dan
pencahayaan untuk menjaga kualitas dan kondisi air yang optimal. Lumba-lumba harus diberi
makan makanan yang seimbang dan bergizi serta menerima perawatan dokter hewan secara
teratur untuk menjaga kesehatannya. Lumba-lumba adalah hewan yang sangat sosial dan
membutuhkan interaksi sosial yang teratur dengan lumba-lumba lain untuk menjaga kesehatan
fisik dan mental mereka. Fasilitas juga harus menyediakan pengayaan lingkungan seperti
mainan dan teka-teki agar lumba-lumba tetap terstimulasi secara mental dan aktif. Fasilitas ini
membutuhkan program pengembangbiakan yang dirancang dengan cermat dengan
mempertimbangkan fisiologi reproduksi lumba-lumba, kebutuhan akan keanekaragaman
genetik, dan penghindaran perkawinan sedarah. Fasilitas ini juga berfungsi sebagai pusat
penelitian dan pendidikan, yang memberikan kesempatan kepada para ilmuwan dan mahasiswa
untuk mempelajari perilaku, fisiologi, dan konservasi lumba-lumba. Secara keseluruhan,
penangkaran lumba-lumba harus memprioritaskan kesehatan dan kesejahteraan lumba-lumba
yang mereka rawat sambil berkontribusi pada perlindungan dan pemahaman tentang lumba-
lumba.

4.2.3 Mengapa Memilih Posisi atau Lokasi Penempatan untuk Penangkaran yang
Tepat Sangat Dibutuhkan pada Usaha Penangkaran?
Memilih posisi atau lokasi penempatan lumba-lumba untuk penangkaran adalah
langkah krusial dalam memastikan keberhasilan usaha penangkaran tersebut. Lokasi yang tepat
akan memberikan kondisi lingkungan yang optimal bagi pertumbuhan dan kesejahteraan
lumba-lumba yang dipelihara. Faktor seperti kualitas air, suhu, dan keberadaan alami sumber
makanan menjadi pertimbangan utama dalam menentukan lokasi penangkaran yang sesuai.
Selain itu, keamanan dari ancaman eksternal seperti polusi, perburuan ilegal, dan gangguan
manusia juga harus dipertimbangkan dengan serius. Memilih lokasi yang terpencil namun tetap
dapat diakses oleh tenaga ahli dan mendapatkan perhatian yang memadai adalah strategi yang
bijaksana. Pemilihan posisi penempatan yang strategis juga dapat mempertimbangkan faktor-
faktor seperti aksesibilitas transportasi untuk distribusi lumba-lumba yang sehat dan aman.
Kesesuaian dengan peraturan dan regulasi lingkungan serta perlindungan hewan harus menjadi
prioritas dalam pemilihan lokasi penangkaran. Secara keseluruhan, pemilihan posisi atau lokasi
penempatan yang tepat merupakan landasan penting untuk keberhasilan jangka panjang dan
keberlanjutan usaha penangkaran lumba-lumba (Saputra et al., 2022)
Pemilihan lokasi atau posisi penempatan penangkaran yang tepat sangat penting dalam usaha
restocking karena faktor-faktor lingkungan dapat mempengaruhi keberhasilan bertahan
hidupnya lumba-lumba. Penangkaran harus ditempatkan di lokasi yang memenuhi persyaratan
lingkungan yang tepat, seperti akses yang mudah ke sumber air yang bersih dan sehat, suhu air
yang sesuai, dan ketersediaan pakan yang cukup. Jika penangkaran ditempatkan di lingkungan
yang tidak sesuai, hal tersebut dapat mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup lumba-lumba,
pertumbuhan, dan kesehatan. Selain itu, kondisi lingkungan yang buruk dapat memicu
timbulnya berbagai penyakit pada lumba-lumba. Dengan memilih posisi atau lokasi
penempatan penangkaran yang tepat, faktor-faktor lingkungan dapat diperhatikan dan diatur
dengan baik, sehingga dapat memaksimalkan keberhasilan produksi dan tingkat kelangsungan
hidup lumba-lumba (Suryawati et al., 2020).

4.2.4 Berdasarkan Studi Literatur dan Analisa Saudara Setelah Mendesain Kolam
untuk Penangkaran Lumba-Lumba, Apakah Feasible atau Layak Dilakukan di
Indonesia? (Muharnanta Fahreza_26040122140106)
Beberapa rekomendasi desain kolam lumba-lumba yang bertujuan meningkatkan
kecepatan gerak lumba-lumba, termasuk ukuran kolam yang luas, bentuk oval atau melingkar,
kedalaman yang memadai, serta penggunaan substrat halus dan sistem filtrasi yang efektif.
Rekomendasi ini sangat relevan di Indonesia, namun memerlukan penyesuaian dengan kondisi
alam dan spesies lumba-lumba yang beragam. Variasi iklim di Indonesia memerlukan
pengaturan suhu air yang berbeda-beda sesuai dengan lokasi geografis. Selain itu, gelombang
laut yang tinggi di beberapa daerah menuntut desain kolam yang memastikan keamanan lumba-
lumba. Selanjutnya, penyesuaian desain juga perlu dilakukan berdasarkan spesies lumba-
lumba yang dipelihara, mengingat karakteristik dan kebutuhan masing-masing spesies.
relevansi yang signifikan dengan konteks pengelolaan kolam lumba-lumba di Indonesia,
seperti yang telah dibahas sebelumnya. Pertama, dalam konteks keberagaman spesies lumba-
lumba di Indonesia, penyesuaian desain kolam dengan karakteristik masing-masing spesies
menjadi penting. Rekomendasi untuk memperhatikan ukuran kolam, bentuk, kedalaman,
substrat, dan sistem filtrasi dapat membantu mengakomodasi kebutuhan beragam spesies
lumba-lumba tersebut (Setyaningrum dan Indrawati 2020).
Karakteristik bioakustik dan tingkah laku lumba-lumba jantan hidung botol (Tursiops
aduncus) di alam liar memberikan wawasan penting untuk desain dan pengelolaan kolam
karantina lumba-lumba. Berdasarkan informasi tersebut, desain kolam karantina yang efektif
dapat mencakup beberapa aspek penting. Pertama, ukuran kolam yang luas dengan bentuk oval
atau melingkar meminimalkan hambatan air dan memungkinkan lumba-lumba berenang
dengan efisien. Kedalaman kolam yang dangkal, sekitar 3 meter, memudahkan observasi dan
penanganan lumba-lumba. Hindari penggunaan substrat kasar dan rintangan di kolam untuk
mengurangi risiko cedera pada lumba-lumba. Sistem filtrasi yang baik diperlukan untuk
menjaga kualitas air tetap bersih, sementara pengaturan suhu air dan area perlindungan seperti
gua buatan atau area teduh membantu menciptakan lingkungan yang nyaman bagi lumba-
lumba. Selain itu, pemahaman terhadap tingkah laku lumba-lumba di alam liar penting untuk
menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan mereka di kolam karantina. Lumba-
lumba adalah hewan sosial, aktif, dan cerdas, sehingga penting untuk menyediakan teman
sejenis, ruang untuk beraktivitas, serta stimulasi mental dalam bentuk mainan dan aktivitas.
Dengan memperhatikan karakteristik bioakustik dan tingkah laku lumba-lumba, desain kolam
karantina dapat disesuaikan untuk mengurangi stres dan kecemasan pada lumba-lumba serta
mempercepat adaptasi mereka di lingkungan baru (Lubis et al., 2016).

4.2.5 Apa Tantangan Dari Desain Kolam yang Saudara Buat dan Bagaimana Strategi
Saudara untuk Menghadapi Tantangan Tersebut? (Johnatan Febian
Revero_26040122140123)
V. KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan (Johnatan Febian Revero_26040122140123)

5.2 Saran
1) Diharapkan pada saat praktikum ditayangkan video yang mendukung modul tersebut
untuk memudahkan praktikan dalam memahami.
2) Diharapkan melalukan sesi doa pada saat memulai dan mengakhiri praktikum.
DAFTAR PUSTAKA

Andini, K. F. N., Khairina, A., Firdausi, H. Z., & Adikusuma, L. A. (2022). Industri Perikanan
Jepang Ditinjau dari Perspektif Tata Kelola Global. TRANSBORDERS: International
Relations Journal, 6(1), 63-79.

Andrimida, A., 2021. Pola Sebaran Lumba-Lumba Hidung Botol (Tursiops aduncus) di Selat
Sempu, Indonesia: Berdasarkan Hasil Pengamatan Oportunistik. JECE-Journal of
Empowerment Community and Education, 1(4).

Aulia, K. T., A. Indarwati dan Safika. 2022. Kelimpahan Fungi Kelas Dothideomycetes pada
Lumba-lumba Hidung Botol (Tursiops aduncus). Acta Veterinaria Indonesian., 10(2):
148-156.

Burhanuddin, A. I. 2018. Vertebrata Laut. Deepublish.

Clegg, I. L. dan Delfour, F., 2018. Can We Assess Marine Mammal Welfare in Captivity and
in the Wild? Considering The Example Of Bottlenose Dolphins. Aquatic Mammals,
44(2).

Elmanaviean, M. dan Seta, D. R., 2023. Pemantauan Penanganan Esophageal Ulcer Dan
Gastric Ulcer Pada Lumba-Lumba Hidung Botol Indo-Pasifik (Tursiops Aduncus)
Dengan Teknik Endoskopi. ARSHI Veterinary Letters, 7(1): 11-12.

Faizah, R., Dharmadi, D. dan Purnomo, F. S., 2017. Distribusi Dan Kepadatan Lumba-Lumba
Sfenella longirostris Di Laut Sawu, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia, 12(3): 175-181.

Fanny, V. dan Redi, A., 2018. Perlindungan Lumba-lumba Sebagai Satwa Langka yang
Dilindungi Dari Tindakan Penempatan dan Atraksi Hiburan yang tidak Sesuai. Jurnal
Hukum Adigama, 1(1), 1806-1831.

Fanny, V., & Redi, A. 2018. Perlindungan Lumba-lumba Sebagai Satwa Langka yang
Dilindungi Dari Tindakan Penempatan dan Atraksi Hiburan yang tidak Sesuai. Jurnal
Hukum Adigama, 1(1), 1806-1831.

Heryani, R. P. 2022. Case Study of Sound Production and Dolphin Behavior in Waters. Jurnal
Perikanan dan Kelautan., 27(1): 100-104.

La Manna, G., Ronchetti, F., & Sarà, G. 2016. Predicting common bottlenose dolphin habitat
preference to dynamically adapt management measures from a Marine Spatial Planning
perspective. Ocean & coastal management, 130, 317-327.

Lubis, M. Z., Pujiyanti, S., Hestrianoto, T., Wulandari, P. D. dan Sultan, K., 2016. Produksi
Suara dan Tingkah Laku Lumba-lumba Jantan Hidung Botol (Tursiops aduncus)
dengan Metode Bioakustik di Taman Safari, Cisarua Bogor, Indonesia. Jurnal
Enggano, 1(2): 20-28.
Lubis, M. Z., Wulandari, P. D. dan Hestrianoto, T., 2016. Karakteristik Bioakustik Dan
Tingkah Laku Lumba-Lumba Jantan Hidung Botol (Tursiops aduncus). Jurnal
Teknologi Perikanan dan Kelautan, 7(2): 179-190.

Lubis, M. Z., Wulandari, P. D., & Hestrianoto, T. 2016. Karakteristik bioakustik dan tingkah
laku lumba-lumba jantan hidung botol (Tursiops aduncus). Jurnal Teknologi Perikanan
dan Kelautan, 7(2), 179-190.

Marques, G. N., Silva, N. U., Leal, M. O., dan Flanagan, C. A. 2021. The use of posaconazole
delayed-release tablets in the successful treatment of suspected mucormycosis in a
bottlenose dolphin (Tursiops truncatus) calf. Medical Mycology Case Reports, 32, 77-
80.

Melinda, S., Kusumawati, I., & Rahma, E. A. (2024). PENANGANAN MAMALIA LAUT
TERDAMPAR LUMBA-LUMBA SPOTTED DOLPIN (Stenella attenuata) DI
UJONG BATEE. Jurnal Abdi Insani, 11(1), 81-87.

Nachtigall, P. E., T. A. Mooney, K. A. Taylor, L. A. Miller, M. H. Rasmussen, T. Akamatsu,


J. Teilmann, M. Linnenschmidt Dan G. A. Vikingsson. 2008. Shipboard Measurements
Of The Hearing Of The White-Beaked Dolphin Lagenorhynchus Albirostris. The
Journal Of Experimental Biology., 211(1): 642-647.

Nowacek, S. and D. Nowacek. 2006. Discovering Dolphins. Voyageur Press.

Pettit, S. G., & McCulloch, S. P. 2023. Odontocetes (‘Toothed Whales’): Cognitive Science
and Moral Standing–Are Dolphins Persons?. Journal of Applied Animal Ethics
Research, 5(1): 109-144.

Saputra, D. R. T., Rachmad, B., Sabariyah, N. dan Maulita, M., 2022. Hubungan Kemunculan
Lumba-Lumba Hidung Botol (Tursiops aduncus) dengan Karakteristik Lingkungan di
Perairan Nusa Penida, Provinsi Bali. In Prosiding Seminar Nasional Perikanan
Indonesia (pp. 349-363).

Sarinastiti, E. N., & Wicaksono, M. S. 2021. Komersialisasi Dan Pariwisata: Manajemen


Theme Park Berbasis Konservasi Di Wilayah Yogyakarta Dan Jawa Tengah. Jurnal
Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan (Journal of Natural Resources and
Environmental Management), 11(1), 69-82.

Sarinastitia, E.N. dan Wicaksonob, M.S., 2021. Komersialisasi dan pariwisata: Tantangan-
tantangan dalam pengelolaan Theme Park berbasis konservasi satwa liar berkelanjutan
di wilayah Jawa Tengah. Journal of Natural Resources and Environmental
Management., 11(1): 69-82.

Setyaningrum, W. dan Indrawati, I., 2020. Pengaruh Karakteristik Kolam terhadap Kecepatan
Gerak Lumba-Lumba. Sinektika: Jurnal Arsitektur, 16(1): 20-25.

Suryawati, S. H., Soetarto, E., Adrianto, L. dan Purnomo, A. H., 2020. Identifikasi sistem
insentif pengelolaan sumberdaya di Laguna Segara Anakan. Jurnal Kebijakan Sosial
Ekonomi Kelautan Dan Perikanan, 1(1): 45-61
Susanto, I. D. 2018. Estetika Gerak Ekor Orcaella Brevirostris dalam Teknik Bakar Raku.
Ekspresi Seni: Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Karya Seni, 20(1): 32-44.

Zuleni, E. 2023. KONSEP DASAR IPA (BIOLOGI) Berbasis Contextual Teaching and
Learning (CTL)(Disertai Petunjuk Analisis dan Refleksi Lingkungan sekitar). Penerbit
Lakeisha.

Anda mungkin juga menyukai