MODUL Filsafat Pendidikan-KLP 4

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 35

A.

Latar Belakang Munculnya Filsafat Pendidikan

Filsafat merupakan ilmu yang sudah sangat tua. Bila kita membicarakan

filsafat maka pandangan kita akan tertuju jauh ke masa lampau di zaman Yunani

Kuno. Pada masa itu semua ilmu dinamakan filsafat. Dari Yunanilah kata “filsafat”

ini berasal, yaitu dari kata “philos” dan “sophia”. “Philos” artinya cinta yang sangat

mendalam dan “sophia” artinya kebijakan atau kearifan. Istilah filsafat sering

dipergunakan secara populer dalam kehidupan sehari-hari, baik secara sadar maupun

tidak sadar. Dalam penggunaan populer, filsafat dapat diartikan sebagai suatu

pendirian hidup (individu) dan dapat juga disebut sebagai pandangan masyarakat

(masyarakat). Mungkin anda pernah bertemu dengan seseorang dan mengatakan:

“filsafat hidup saya adalah hidup seperti oksigen, menghidupi orang lain dan diri saya

sendiri”. Orang lain lagi mengatakan: “Hidup harus bermanfaat bagi orang lain dan

dunia”. Hal ini adalah contoh sederhana tentang filsafat seseorang. Selain itu,

masyarakat juga mempunyai filsafat yang bersifat kelompok. Oleh karena manusia itu

makhluk sosial, maka dalam hidupnya ia akan hidup bermasyarakat dengan

berpedoman pada nilai-nilai hidup yang diyakini bersama. Hal ini yang disebut

filsafat atau pandangan hidup. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan filsafat

bangsa. Henderson (via Sadulloh, 2007:16) mengemukakan: “Populerly, philosophy

menans one’s general view of lifeof men, of ideals, and of values, in the sense

everyone has a philosophy of life”. Di Jerman dibedakan antara filsafat dengan

pandangan hidup (Weltanscahuung). Filsafat diartikan sebagai suatu pandangan kritis

yang sangat mendalam sampai ke akar-akarnya. Pernyataan ini sejalan dengan

pendapat Suseno (1995:20) bahwa filsafat sebagai ilmu kritis. Dalam pengertian lain,

filsafat diartikan sebagai interpretasi atau evaluasi terhadap apa yang penting atau apa
yang berarti dalam kehidupan. Di pihak lain ada yang beranggapan bahwa filsafat

sebagai cara berpikir yang kompleks, suatu pandangan yang tidak 2 memiliki

kegunaan praktis. Ada pula yang beranggapan bahwa para filsuf bertanggung jawab

terhadap cita-cita dan kultur masyarakat tertentu, contohnya Karl Marx dan Fredrich

Engels yang telah menciptakan komunisme, John Dewey yang menjadi peletak dasar

kehidupan pragmatis di Amerika. Gazalba (1974:7) mengatakan bahwa filsafat adalah

hasil kegiatan berpikir yang radikal, sistematis, universal. Kata “radikal” berasal dari

bahasa Latin “radix” yang artinya akar. Filsafat bersifat radikal, artinya permasalahan

yang dikaji, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dan jawaban yang diberikan

bersifat mendalam sampai ke akar-akarnya yang bagi orang awam mungkin dianggap

hal biasa yang tidak perlu dibahas lagi, tetapi filsafat ingin mencari kejelasan makna

dan hakikatnya.

Jika kita memperhatikan pemikiran orang barat yang membahas filsafat

mereka sama sekali lepas dari apa yang dikatakan agama. Bagi mereka titik berat

filsafat adalah mencari hikmah. Hikmah itu dicari untuk mengetahui suatu keadaan

yang sebenarnya, apa itu, dari mana itu, hendak kemana, dan bagaimana. Namun

pertayaan filosofis itu kalau diteruskan, akhirnya akan sampai dan berhenti pada

sesuatu yang disebut agama. Baik filosofis Timur maupun barat mereka memiliki

pandangan yang sama bila sudah sampai pada pertanyaanya “ bilakah permulaan

yang ada ini , dan apakah yang sesuatu yang pertama kali terjadi, apakah yang

terakhir sekali bertahan didalam ini” (Rifai, 1994: 67). Akan tetapi mereka akan

berusaha.untuk mencari hikmah yang sebenarnya supaya sampai puncak pengetahuan

yang tinggi, yaitu Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Mahakuasa.


B. Perkembangan pemikiran filsafat spiritualisme kuno

Dari uraian diatas dapat diketahui filsafat mulai berkembang dan berubah fungsi,

dari sebagai induk ilmu pengetahuan menjadi semacam pendekatan perekat kebali

sebagai ilmu pengetahuan yang telah berkembang pesat dan terpisah satu dengan

lainnya. Jadi, jelaslah bagi kita bahwa filsafat berkembang sesuai perputaran zaman.

Paling tidak, sejarah filsafat lama membawa manusia untuk mengetahui cerita dalam

katagori filsafat spiritualisme kuno. Kira-kira 1200-1000 SM sudah terdapat cerita-

cerita lahirnya zarathusthra, dari keluarga sapitama, yang lahir ditepi sebuah sungai,

yang ditolong oleh ahura Mazda dalam masa pemerintahaan raja-raja akhamania

(550-530 SM). Timur jauh Yang termasuk dalam wilayah timur jauh ialah Cina India

dan jepang. Di India berkembang filsafat spiritualisme, Hinduisme, dan Buddhisme.

Sedangkan di Jepang berkembang shintoisme. Begitu juga di Cina berkembang,

Taoisme, dan Komfusianism.

 Hinduisme

Pemikiran spiritualisme Hindu adalah konsep karma yang berarti setiap

individu telah dilahirkan kembali secara berulang dalam bentuk manusia atau

binatang sehingga ia menjadi suci dan sempurna sebagai bagian dari jiwa universal

( reingkarnasi ). Karma tersebut pada akhirnya akan menemukan status seseorang

sebagai anggota suatu kasta. Poedjawijatna (1986:54) mengatakan, bahwa para filosof

Hindu berpikir untuk mencari jalan lepas dari ikatan duniawi agar bisa masuk dalam

kebebasan yang menurut mereka sempurna.


 Buddha

Pencetus ajaran Buddha ialah Sidarta Gautama ( Kira-kira 563-483 SM )

sebagai akibat ketidakpuasannya terhadap penjelasan para guru Hindu isme tentang

kejahatan yang sering menimpa manusia. Setelah melakukan hidup bertapa dan

meditasi selama 6 tahun, secara tiba-tiba menemukan gagasan dan jawaban dari

pertanyaannya. Gagasa-gagasan itulah yang kemudian menjadi dasar-dasa agama

Buddha ( samuel Smith, 1986:12 ). Filsafat Buddha berkeyakinan bahwa segala

sesuatu yang ada di Dunia ini terliputi oleh sengsara yang disebabakan oleh “Cinta”

terhadap suatu yang berlebihan.

 Taoisme

Pendiri Taoisme adalah Leo Tse, Lahir pada tahun 604 SM. Tulisannya yang

mengandung makna Filsafat adalah jalan tuhan atau sabda tuhan, Tao ada dimana-

mana tetapi tidak berbentuk dan tida pula diraba, dilihat,dan di dengar.

Manusia harus hidup selaras dengan tao, dan harus bisa menahan hawa nafsunya

sendidi. Pengertian Tao dalam filsafat Lao Tse tersebut dapat dimasukan dalam aliran

spiritualisme. Dan menurut aliran-aliran filsafat India dan Tiongkok, spirirtualisme

itu berkaitan dengan Etika, karena ia memberi petunjuk bagaimana manusia mesti

bersikap dan bertindak di dunia agar memperoleh bahagia dan kesempurnaan ruh

( Gazalba1986:60).
 Shinto

Shinto merupakan salah satu kepercayaan yang banyak dipeluk masyarakat

Jepang. Agama Shinto tumbuh di jepang yang sangat respek terhadap alam ( natural )

di sebabkan ajaran-ajaranya mengadung nilai antara lanin kreasi ( SOZO), generasi

( size), pembangunan (hatten), sehingga ia menjadi jalan hidup dan kehidupan dan

mengandung nilai optimis.Melihat ajaran-ajaran pokok moral Shinto yang

mengandung makna filsafat yang tinggi diatas, maka tidalah berlebihan jika ajaran-

ajaranya mengandung nilai motivasi dan optimistik guru menjadi pegangan bagi

penganutnya

 Yahudi

Yahudi berasal dari nama seorang putra ya’kub, yahuda. Putra ke empat dari

12 bersaudar, 12 orang inilah yang kelak menjadi nenek moyang bangsa yahudi yang

dinamakan bangsa Israel, agama yahudi pada prinsipnya sama dengan Agama nasroni

dan Agama islam, karena itu Agama Yahudi disebut juga Agama kitab ( samawi ),

yang berarti agama yang mempunyai kitab suci dari Nabi.

Pemikiran-pemikiran fisafat timur tengah muncul sekitar 1000-150 SM. Tanda-tanda

yang tempat keberadaan pemikiran filsafat itu ialah adanya penguraian tentang

bentuk-bentuk penindasan moral dari monotiesme, peredaran, kebenaran dan bernilai

tinggi. Selama dua ribu tahun yang lalu dokrtin-doktrin monotiesme dan pengajaran

tentang etnis yang di anggap penting dari kaum Yahudi, yang di kembangkan oleh

Nabi musa dan para Nabi Elijah. Pendidikan di mulai guna mengangkat martabat dan

pengharapan kemanusiaan pada masa depan ( Smith, 1986:4)


 Kristen

pengikutnya agama Kristen pada waktu itu tidak ubahnya seperti penganut

agama lainnya, yaitu dari golongan rakyat jelata. Setelah berkembang, pengikutnya

merabah kekalangan atas, ahli fikir ( filosof ), dan kemudian para pemikir atas

kemajuannya, zaman ini disebut zaman patristic. Pater berarti bapa, yaitu para bapak

gereja. zaman patristik adalah zaman rasul ( pada abad pertama ), sampai abad

kedelapan. Para filosofis Kristen pada masa itu mempunyai identitas yang berpariasi

dan mempunyai banyak aliran.

 Romawi dan Yunani:Antromornisme

Antromornisme merupakan suatu paham yang menyamakan sifat-sipat Tuhan

( pencipta ) dengan sifat-sifat manusia ( yang di ciptakan ). Misalnya tentang tuhan di

samakan dengan tangan manusia. Paham ini muncul zaman patristic dan skolastik,

pada akhir zaman kuno atau zaman pertengahan filsafat barat di pengaruhi oleh

pemikiran Kristian. Aliran-aliran filsafat yang memepunyai pengaruh sangat besar di

roma adalah, pertama, epistimologi, yang di motori oleh epicurus ( 341-270 ).

Epicurus mengatakan bahwa rasa suka dimiliki apabila hidup secara relevan dengan

alam manusia. Sementara rasa duka merupakan yang terburuk dan patut di hindari.

Kedua, aliran stoa, yang dipelopori oleh zani (336-246 ). Aliran mempunyai pendapat

bahwa adanya kebajikan itu apa bila manusia hidup sesuai dengan alam ( Poedjawi

jatna, 1986:22 )’ Dalam sejarah, filsafat Yunani dipakai sebagai penangkal sejarah

filsafat barat. Dikatakan pangkal karena dunia barat dalam alam pemikiran mereka

berpangkal pada pemikiran Yunani. Di Yunani sejak sebelum permualaan tahun

masehi, ahli-ahli piker mecoba menarik teka-teki alam, mereka ingin mengetahui asal
mula alam serta dengan isinya. Pada masa itu terdapat keterangan-keterangan

mengenai proses terjadinya alam semesta dan isinya, semua keterangan tersebut

sebatas kepercayaan semata.

 Sejarah Singkat Filsafat pendidikan

Akar filsafat pendidikan dapat ditelusuri kembali ke zaman Yunani Kuno, di

mana para filsuf mulai merenungkan tentang sifat manusia, pengetahuan, dan

kebajikan. Tokoh-tokoh penting seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles memberikan

kontribusi besar pada pemikiran pendidikan awal. Dikenal dengan metode dialognya

yang kritis, Socrates menekankan pentingnya pengetahuan diri dan pemikiran kritis

dalam pendidikan. Murid Socrates, Plato mendirikan Akademi di Athena, salah satu

institusi pendidikan tinggi pertama di Barat. Dalam karyanya, "Republik", Plato

menguraikan visi masyarakat yang ideal dan peran pendidikan dalam

mewujudkannya.

Murid Plato, Aristoteles menulis banyak karya tentang pendidikan, termasuk

"Politik" dan "Retorika". Dia menekankan pentingnya pendidikan moral dan

intelektual untuk mengembangkan individu yang berbudi luhur dan warga negara

yang bertanggung jawab. Pemikiran para filsuf Yunani Kuno ini terus memengaruhi

pemikiran pendidikan selama berabad-abad, dan hingga saat ini masih menjadi dasar

bagi banyak teori dan praktik pendidikan modern.


 Era Modern

Pada masa Pencerahan dan Revolusi Industri, pemikiran tentang pendidikan

kembali mengalami perkembangan pesat. Tokoh-tokoh seperti John Locke, Jean-

Jacques Rousseau, dan Johann Pestalozzi memberikan ide-ide baru tentang tujuan dan

metode pendidikan. John Locke (1632-1704): Dalam bukunya "Some Thoughts

Concerning Education", Locke berpendapat bahwa pendidikan harus fokus pada

pengembangan pikiran dan karakter individu. Dia menekankan pentingnya

pengalaman dan observasi dalam proses belajar.

Jean-Jacques Rousseau (1712-1778): Dalam bukunya "Emile", Rousseau

mengemukakan gagasan tentang pendidikan alami, di mana anak-anak belajar melalui

interaksi dengan alam dan pengalaman langsung. Johann Pestalozzi (1746-1827):

Pestalozzi mendirikan sekolah-sekolah inovatif yang berfokus pada pengembangan

seluruh aspek anak, termasuk fisik, intelektual, moral, dan sosial. Dia menekankan

pentingnya kasih sayang dan perhatian dalam proses belajar mengajar. Pemikiran

para pemikir modern ini membawa perubahan signifikan dalam praktik pendidikan,

dengan fokus yang lebih besar pada individualitas, pengalaman belajar, dan

pengembangan holistik anak.

 Perkembangan Terkini

Filsafat pendidikan terus berkembang hingga saat ini, dengan munculnya

berbagai aliran pemikiran baru yang menanggapi tantangan dan kebutuhan

masyarakat yang terus berubah. Beberapa isu kontemporer yang menjadi fokus dalam
filsafat pendidikan meliputi: Keadilan dan kesetaraan pendidikan: Bagaimana kita

dapat memastikan bahwa semua anak memiliki akses ke pendidikan berkualitas yang

sesuai dengan kebutuhan mereka? Peran teknologi dalam pendidikan: Bagaimana kita

dapat memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan pembelajaran dan mendukung

berbagai gaya belajar? Globalisasi dan pendidikan: Bagaimana kita dapat

mempersiapkan siswa untuk hidup dan bekerja di dunia yang semakin terhubung

secara global?

Filsafat pendidikan memainkan peran penting dalam membantu kita

memahami tujuan dan nilai pendidikan, serta dalam mengembangkan praktik

pendidikan yang efektif dan adil bagi semua. Dengan terus mengkaji pertanyaan-

pertanyaan fundamental tentang pendidikan, kita dapat menciptakan masa depan

pendidikan yang lebih cerah bagi semua anak. Filsafat pendidikan memiliki sejarah

panjang dan kaya, yang mencerminkan berbagai pemikiran tentang tujuan, hakikat,

dan praktik pendidikan. Dari pemikiran para filsuf Yunani Kuno hingga isu-isu

kontemporer yang kita hadapi saat ini, filsafat pendidikan terus memberikan kerangka

kerja untuk memahami dan meningkatkan pendidikan bagi semua.

C. Sejarah Singkat Filsafat Pendidikan

Filsafat pendidikan adalah cabang terapan atau praktis filsafat yang berkaitan

dengan sifat dan tujuan pendidikan dan masalah filosofis yang timbul dari teori dan

praktik pendidikan. Karena praktik itu ada di mana-mana di dalam dan di seluruh

masyarakat manusia, Manifestasi sosial dan individu begitu bervariasi, dan

pengaruhnya begitu mendalam, subjeknya luas, melibatkan isu-isu dalam etika dan
filsafat sosial/politik, epistemologi, metafisika, filsafat pikiran dan bahasa, dan bidang

filsafat lainnya. Karena kelihatannya baik ke dalam ke disiplin orang tua dan ke luar

ke pendidikan praktik dan konteks sosial, hukum, dan kelembagaan di mana ia

terjadi, filsafat pendidikan menyangkut dirinya sendiri dengan kedua belah pihak dari

pembagian teori / praktik tradisional. Subjeknya meliputi Kedua masalah filosofis

dasar (misalnya, sifat pengetahuan layak mengajar, karakter kesetaraan dan keadilan

pendidikan, dll.) dan masalah mengenai kebijakan pendidikan tertentu dan praktik

(misalnya, keinginan kurikulum standar dan pengujian, dimensi sosial, ekonomi,

hukum dan moral tertentu pengaturan pendanaan, justifikasi keputusan kurikulum,

dll.). Dalam semua ini, filsuf pendidikan menghargai konseptual kejelasan, ketelitian

argumentatif, pertimbangan berpikiran adil dari kepentingan semua yang terlibat

dalam atau dipengaruhi oleh upaya pendidikan dan pengaturan, dan penilaian

pendidikan yang terinformasi dan beralasan tujuan dan intervensi.

Filsafat pendidikan memiliki sejarah panjang dan terhormat di Tradisi

filosofis Barat, dari pertempuran Socrates dengan sofis hingga hari ini. Banyak tokoh

paling terkemuka di Tradisi itu memasukkan masalah pendidikan ke dalam mereka

yang lebih luas agenda filosofis (Curren 2000, 2018; Rorty 1998). Sementara itu

Sejarah bukanlah fokus di sini, perlu dicatat bahwa cita-cita penyelidikan beralasan

yang diperjuangkan oleh Socrates dan keturunannya telah lama menginformasikan

pandangan bahwa pendidikan harus mendorong semua siswa, kepada sejauh

mungkin, disposisi untuk mencari alasan dan kemampuan untuk mengevaluasi

mereka secara kolembut, dan dipandu oleh evaluasi mereka dalam masalah

kepercayaan, tindakan dan penilaian. Pandangan ini, bahwa pendidikan secara

terpusat melibatkan pembinaan akal atau rasionalitas, memiliki dengan Berbagai


artikulasi dan kualifikasi telah dianut oleh sebagian besar tokoh-tokoh sejarah itu; Itu

terus dipertahankan oleh kontemporer filsuf pendidikan juga (Scheffler 1973 [1989];

Siegel 1988, 1997, 2007, 2017). Seperti halnya tesis filosofis itu adalah

Kontroversial; Beberapa dimensi kontroversi dieksplorasi bawah.

 Zaman Kuno

 Plato

Herma Plato yang tertulis (Berlin, Museum Altes)

Filsafat pendidikan Plato didasarkan pada visi Republik yang ideal di

mana individu paling baik dilayani dengan tunduk pada masyarakat yang adil karena

pergeseran penekanan yang berangkat dari pendahulunya. Pikiran dan tubuh harus

dianggap sebagai entitas yang terpisah. Dalam dialog Phaedo, yang ditulis dalam

"periode pertengahan" (360 SM), Plato mengungkapkan pandangannya yang khas

tentang sifat pengetahuan, realitas, dan jiwa: Ketika jiwa dan tubuh bersatu, maka

alam memerintahkan jiwa untuk memerintah dan memerintah, dan tubuh untuk
mematuhi dan melayani. Sekarang manakah dari dua fungsi ini yang mirip dengan

yang ilahi? dan yang mana bagi manusia? Bukankah yang ilahi muncul ... menjadi

apa yang secara alami memerintah dan memerintah, dan yang fana menjadi apa yang

tunduk dan hamba?

Atas premis ini, Plato menganjurkan untuk memindahkan anak-anak dari

perawatan ibu mereka dan membesarkan mereka sebagai bangsal negara, dengan

sangat hati-hati diambil untuk membedakan anak-anak yang cocok untuk berbagai

kasta, yang tertinggi menerima pendidikan paling banyak, sehingga mereka dapat

bertindak sebagai penjaga kota dan merawat yang kurang mampu. Pendidikan

akan bersifat holistik, termasuk fakta, keterampilan, disiplin fisik, dan musik dan

seni, yang dianggapnya sebagai bentuk usaha tertinggi. Plato percaya bahwa bakat

didistribusikan secara non-genetik dan karenanya harus ditemukan pada anak-anak

yang lahir di kelas sosial apa pun. Dia membangun ini dengan bersikeras bahwa

mereka yang berbakat harus dilatih oleh negara sehingga mereka mungkin memenuhi

syarat untuk mengambil peran kelas penguasa. Apa yang ditetapkan ini pada dasarnya

adalah sistem pendidikan publik selektif yang didasarkan pada asumsi bahwa

minoritas penduduk yang berpendidikan, berdasarkan pendidikan mereka (dan

pendidikan bawaan), cukup untuk pemerintahan yang sehat.

Tulisan-tulisan Plato mengandung beberapa gagasan berikut: Pendidikan

dasar akan terbatas pada kelas wali sampai usia 18 tahun, diikuti oleh dua

tahun pelatihan militer wajib dan kemudian oleh pendidikan tinggi bagi mereka yang

memenuhi syarat. Sementara pendidikan dasar membuat jiwa responsif terhadap

lingkungan, pendidikan tinggi membantu jiwa untuk mencari kebenaran yang

meneranginya. Baik anak laki-laki maupun perempuan menerima jenis pendidikan


yang sama. Pendidikan dasar terdiri dari musik dan senam, yang dirancang untuk

melatih dan memadukan kualitas lembut dan sengit pada individu dan menciptakan

orang yang harmonis. Pada usia 20, seleksi dibuat. Siswa terbaik akan mengambil

kursus lanjutan dalam matematika, geometri, astronomi dan harmonik. Kursus

pertama dalam skema pendidikan tinggi akan berlangsung selama sepuluh tahun. Itu

untuk mereka yang memiliki bakat untuk sains. Pada usia 30 akan ada seleksi lain;

Mereka yang memenuhi syarat akan mempelajari dialektika

dan metafisika, logika dan filsafat selama lima tahun ke depan. Setelah menerima

posisi junior di ketentaraan selama 15 tahun, seorang pria akan menyelesaikan

pendidikan teoritis dan praktisnya pada usia 50 tahun.

 Aristoteles

Patung Aristoteles. Salinan Romawi setelah perunggu Yunani asli

oleh Lysippos dari 330 SM. Hanya fragmen risalah Aristoteles Tentang

Pendidikan yang masih ada. Dengan demikian kita tahu filsafat pendidikannya
terutama melalui bagian-bagian singkat dalam karya-karya lain. Aristoteles

menganggap sifat, kebiasaan, dan akal manusia sebagai kekuatan yang sama

pentingnya untuk dibudidayakan dalam pendidikan. Jadi, misalnya, ia menganggap

pengulangan sebagai alat kunci untuk mengembangkan kebiasaan baik. Guru harus

memimpin siswa secara sistematis; ini berbeda, misalnya, dari penekanan Socrates

pada mempertanyakan pendengarnya untuk mengeluarkan ide-ide mereka sendiri

(meskipun perbandingannya mungkin tidak sesuai karena Socrates berurusan dengan

orang dewasa).

Aristoteles menempatkan penekanan besar pada keseimbangan aspek teoritis

dan praktis dari mata pelajaran yang diajarkan. Mata pelajaran yang secara eksplisit ia

sebutkan sebagai penting termasuk membaca, menulis, dan matematika; musik;

pendidikan jasmani; sastra dan sejarah; dan berbagai ilmu. Dia juga menyebutkan

pentingnya bermain. Salah satu misi utama pendidikan untuk Aristoteles, mungkin

yang paling penting, adalah untuk menghasilkan warga negara yang baik dan berbudi

luhur untuk polis. Semua orang yang telah merenungkan seni mengatur umat

manusia telah yakin bahwa nasib kerajaan tergantung pada pendidikan kaum muda.

 Abad pertengahan

 Ibnu Sina

Di dunia Islam abad pertengahan, sebuah sekolah dasar dikenal

sebagai maktab, yang berasal dari setidaknya abad ke-10. Seperti madrasah (yang

mengacu pada pendidikan tinggi), maktab sering melekat pada masjid. Pada abad ke-

11, Ibnu Sina (dikenal sebagai Avicenna di Barat), menulis sebuah bab yang
membahas maktab berjudul "Peran Guru dalam Pelatihan dan Pengasuhan Anak-

anak", sebagai panduan bagi para guru yang bekerja di sekolah-sekolah maktab. Dia

menulis bahwa anak-anak dapat belajar lebih baik jika diajarkan di kelas daripada

pelajaran individu dari tutor pribadi, dan dia memberikan sejumlah alasan mengapa

hal ini terjadi, mengutip nilai persaingan dan persaingan di antara siswa serta

kegunaan diskusi kelompok dan debat. Ibnu Sina

menggambarkan kurikulum sekolah maktab secara rinci, menggambarkan kurikulum

untuk dua tahap pendidikan di sekolah maktab. Ibnu Sina menulis bahwa anak-anak

harus dikirim ke sekolah maktab dari usia 6 tahun dan diajarkan pendidikan

dasar sampai mereka mencapai usia 14 tahun. Selama waktu itu, ia menulis bahwa

mereka harus diajarkan Al-Qur'an, metafisika Islam, bahasa, sastra, etika Islam, dan

keterampilan manual (yang bisa merujuk pada berbagai keterampilan praktis). [74]

Ibnu Sina mengacu pada tahap pendidikan menengah sekolah maktab sebagai

periode spesialisasi, ketika siswa harus mulai memperoleh keterampilan manual,

terlepas dari status sosial mereka. Dia menulis bahwa anak-anak setelah usia 14 tahun

harus diberi pilihan untuk memilih dan mengkhususkan diri dalam mata pelajaran

yang mereka minati, apakah itu membaca, keterampilan manual, sastra,

khotbah, kedokteran, geometri, perdagangan dan perdagangan, keahlian, atau subjek

atau profesi lain yang mereka minati untuk mengejar karir masa depan. Dia menulis

bahwa ini adalah tahap transisi dan bahwa perlu ada fleksibilitas mengenai usia di

mana siswa lulus, karena perkembangan emosional siswa dan mata pelajaran yang

dipilih perlu diperhitungkan.

Teori empiris 'tabula rasa' juga dikembangkan oleh Ibnu Sina. Dia

berpendapat bahwa "kecerdasan manusia saat lahir agak seperti tabula rasa, potensi
murni yang diaktualisasikan melalui pendidikan dan menjadi tahu" dan bahwa

pengetahuan dicapai melalui "keakraban empiris dengan benda-benda di dunia ini

dari mana seseorang mengabstraksikan konsep universal" yang dikembangkan

melalui "metode penalaran silogistik; Pengamatan mengarah pada pernyataan

preposisional, yang ketika digabungkan mengarah pada konsep abstrak lebih lanjut.

Dia lebih lanjut berpendapat bahwa intelek itu sendiri "memiliki tingkat

perkembangan dari intelek material (al-'aql al-hayulani), potensi yang dapat

memperoleh pengetahuan ke intelek aktif (al-'aql al-fa'il), keadaan intelek manusia

dalam hubungannya dengan sumber pengetahuan yang sempurna."

 Ibnu Tufailmengedit

Pada abad ke-12, filsuf dan novelis Andalusia-Arab Ibnu Tufail (dikenal

sebagai "Abubacer" atau "Ebn Tophail" di Barat) mendemonstrasikan

teori empiris 'tabula rasa' sebagai eksperimen pemikiran melalui novel filosofis

Arabnya, Hayy ibn Yaqzan, di mana ia menggambarkan perkembangan pikiran

seorang anak liar "Dari tabula rasa ke orang dewasa, dalam isolasi total dari

masyarakat" di pulau terpencil, melalui pengalaman saja. Beberapa sarjana

berpendapat bahwa terjemahan Latin dari novel filosofisnya, Philosophus

Autodidactus, yang diterbitkan oleh Edward Pococke the Younger pada tahun 1671,

memiliki pengaruh pada formulasi tabula rasa John Locke dalam "An Essay

Concerning Human Understanding".


 Modern

 Michel de Montaign

Pendidikan anak adalah salah satu topik psikologis yang ditulis Michel de

Montaigne. Esai-esainya On the Education of Children, On Pedantry, dan On

Experience menjelaskan pandangannya tentang pendidikan anak. Beberapa

pandangannya tentang pendidikan anak masih relevan hingga saat ini. Pandangan

Montaigne tentang pendidikan anak-anak bertentangan dengan praktik pendidikan

umum pada zamannya. Dia menemukan kesalahan baik dengan apa yang diajarkan

dan bagaimana itu diajarkan Sebagian besar pendidikan pada masa Montaigne

difokuskan pada pembacaan klasik dan pembelajaran melalui buku. Montaigne tidak

setuju dengan belajar secara ketat melalui buku. Dia percaya itu perlu untuk mendidik

anak-anak dalam berbagai cara. Dia juga tidak setuju dengan cara informasi disajikan

kepada siswa. Itu disajikan dengan cara yang mendorong siswa untuk mengambil

informasi yang diajarkan kepada mereka sebagai kebenaran mutlak. Siswa tidak

diberi kesempatan untuk mempertanyakan informasi tersebut. Oleh karena itu, siswa

tidak dapat benar-benar belajar. Montaigne percaya bahwa, untuk belajar dengan

sungguh-sungguh, seorang siswa harus mengambil informasi dan menjadikannya

milik mereka sendiri.

Di yayasan Montaigne percaya bahwa pemilihan tutor yang baik penting bagi

siswa untuk menjadi terdidik. Pendidikan oleh seorang tutor harus dilakukan sesuai

kecepatan siswa. Dia percaya bahwa seorang tutor harus berdialog dengan siswa,

membiarkan siswa berbicara terlebih dahulu. Tutor juga harus memungkinkan diskusi

dan debat yang bisa didapat. Dialog semacam itu dimaksudkan untuk menciptakan
lingkungan di mana siswa akan mengajar diri mereka sendiri. Mereka akan dapat

menyadari kesalahan mereka dan melakukan koreksi seperlunya.

Pembelajaran individual merupakan bagian integral dari teorinya tentang

pendidikan anak. Dia berpendapat bahwa siswa menggabungkan informasi yang

sudah diketahui dengan apa yang dipelajari dan membentuk perspektif unik tentang

informasi yang baru dipelajari. Montaigne juga berpikir bahwa tutor harus

mendorong keingintahuan alami siswa dan memungkinkan mereka untuk

mempertanyakan berbagai hal. Dia mendalilkan bahwa siswa yang berhasil adalah

mereka yang didorong untuk mempertanyakan informasi baru dan mempelajarinya

sendiri, daripada hanya menerima apa yang telah mereka dengar dari pihak

berwenang tentang topik tertentu. Montaigne percaya bahwa rasa ingin tahu anak

dapat berfungsi sebagai alat pengajaran yang penting ketika anak diizinkan untuk

mengeksplorasi hal-hal yang ingin diketahui anak.

Pengalaman juga merupakan elemen kunci untuk belajar bagi Montaigne.

Tutor perlu mengajar siswa melalui pengalaman daripada hanya melalui menghafal

informasi yang sering dipraktikkan dalam pembelajaran buku. Dia berpendapat

bahwa siswa akan menjadi orang dewasa yang pasif, patuh secara membabi buta dan

tidak memiliki kemampuan untuk berpikir sendiri. Tidak ada hal penting yang akan

dipertahankan dan tidak ada kemampuan yang akan dipelajari. Dia percaya bahwa

belajar melalui pengalaman lebih unggul daripada belajar melalui penggunaan buku.

Untuk alasan ini ia mendorong tutor untuk mendidik siswa mereka melalui latihan,

perjalanan, dan interaksi manusia. Dengan demikian, ia berpendapat bahwa siswa

akan menjadi pembelajar aktif, yang dapat mengklaim pengetahuan untuk diri mereka

sendiri.
Pandangan Montaigne tentang pendidikan anak terus memiliki pengaruh di

masa sekarang. Variasi gagasan Montaigne tentang pendidikan dimasukkan ke dalam

pembelajaran modern dalam beberapa cara. Dia menentang cara mengajar yang

populer pada zamannya, mendorong pembelajaran individual. Dia percaya pada

pentingnya pengalaman, lebih dari pembelajaran buku dan menghafal. Pada akhirnya,

Montaigne mendalilkan bahwa titik pendidikan adalah untuk mengajarkan siswa

bagaimana memiliki kehidupan yang sukses dengan mempraktikkan gaya hidup aktif

dan interaktif secara sosial.

 John Lockeedit

Dalam Some Thoughts Concerning Education and Of the Conduct of the

Understanding John Locke menyusun garis besar tentang bagaimana mendidik

pikiran ini untuk meningkatkan kekuatan dan aktivitasnya: "Bisnis pendidikan

bukanlah, seperti yang saya pikirkan, untuk membuat mereka sempurna dalam salah

satu ilmu, tetapi untuk membuka dan mengatur pikiran mereka sebaik mungkin

membuat mereka mampu melakukan apa pun, ketika mereka akan menerapkan diri

mereka untuk itu. "Jika manusia untuk waktu yang lama terbiasa hanya pada satu

jenis atau metode pemikiran, pikiran mereka menjadi kaku di dalamnya, dan tidak

siap beralih ke yang lain. Oleh karena itu untuk memberi mereka kebebasan ini, saya

pikir mereka harus dibuat untuk melihat ke dalam segala macam pengetahuan, dan

melatih pemahaman mereka dalam berbagai macam dan stok pengetahuan. Tetapi

saya tidak mengusulkannya sebagai variasi dan stok pengetahuan, tetapi variasi dan

kebebasan berpikir, sebagai peningkatan kekuatan dan aktivitas pikiran, bukan

sebagai perluasan kepemilikannya. Locke menyatakan keyakinan bahwa pendidikan


membuat manusia, atau, lebih mendasar, bahwa pikiran adalah "lemari kosong",

dengan pernyataan, "Saya pikir saya dapat mengatakan bahwa dari semua orang yang

kita temui, sembilan bagian dari sepuluh adalah apa adanya, baik atau jahat, berguna

atau tidak, dengan pendidikan mereka. Locke juga menulis bahwa "kesan kecil dan

hampir tidak masuk akal pada kegilaan lembut kita memiliki konsekuensi yang sangat

penting dan abadi.

Dia berpendapat bahwa "asosiasi ide" yang dibuat seseorang ketika muda

lebih penting daripada yang dibuat kemudian karena mereka adalah fondasi diri:

mereka, dengan kata lain, apa yang pertama kali menandai tabula rasa.

Dalam Esainya, yang memperkenalkan kedua konsep ini, Locke memperingatkan

terhadap, misalnya, membiarkan "pelayan bodoh" meyakinkan seorang anak bahwa

"goblin dan sprite" dikaitkan dengan malam karena "kegelapan akan selamanya

membawa serta ide-ide menakutkan itu, dan mereka akan begitu bergabung, sehingga

dia tidak bisa lebih menanggung yang satu daripada yang lain." "Associationism",

demikian teori ini kemudian disebut, memberikan pengaruh yang kuat atas pemikiran

abad kedelapan belas, khususnya teori pendidikan, karena hampir setiap penulis

pendidikan memperingatkan orang tua untuk tidak membiarkan anak-anak mereka

mengembangkan asosiasi negatif. Hal ini juga menyebabkan

perkembangan psikologi dan disiplin baru lainnya dengan upaya David Hartley untuk

menemukan mekanisme biologis untuk asosiasionisme dalam Observations on

Man (1749).

 Jean-Jacques Rousse


Jean-Jacques Rousseau by Maurice Quentin de La Tour
Jean-Jacques Rousseau, meskipun ia menghormati filsafat Plato, menolaknya

sebagai tidak praktis karena keadaan masyarakat yang membusuk. Rousseau juga

memiliki teori perkembangan manusia yang berbeda; di mana Plato berpendapat

bahwa orang dilahirkan dengan keterampilan yang sesuai dengan kasta yang berbeda

(meskipun ia tidak menganggap keterampilan ini sebagai warisan), Rousseau

berpendapat bahwa ada satu proses perkembangan yang umum bagi semua manusia.

Ini adalah proses intrinsik dan alami, di mana manifestasi perilaku utamanya adalah

rasa ingin tahu. Ini berbeda dari 'tabula rasa' Locke karena itu adalah proses aktif

yang berasal dari sifat anak, yang mendorong anak untuk belajar dan beradaptasi

dengan lingkungannya. Rousseau menulis dalam bukunya Emile bahwa semua anak
adalah organisme yang dirancang dengan sempurna, siap untuk belajar dari

lingkungan mereka sehingga tumbuh menjadi orang dewasa yang berbudi luhur,

tetapi karena pengaruh jahat dari masyarakat yang korup, mereka sering gagal

melakukannya. Rousseau menganjurkan metode pendidikan yang terdiri dari

memindahkan anak dari masyarakat misalnya, ke rumah pedesaan dan secara

bergantian mengkondisikannya melalui perubahan pada lingkungannya dan

memasang perangkap dan teka-teki untuk dipecahkan atau diatasinya.


Rousseau tidak biasa karena ia mengenali dan membahas potensi masalah

legitimasi untuk mengajar. Dia menganjurkan agar orang dewasa selalu jujur dengan

anak-anak, dan khususnya bahwa mereka tidak pernah menyembunyikan fakta bahwa

dasar otoritas mereka dalam mengajar adalah murni paksaan fisik: "Saya lebih besar

dari Anda." Begitu anak-anak mencapai usia nalar, sekitar 12 tahun, mereka akan

terlibat sebagai individu bebas dalam proses berkelanjutan mereka sendiri. Dia pernah

berkata bahwa seorang anak harus tumbuh tanpa campur tangan orang dewasa dan

bahwa anak harus dibimbing untuk menderita konsekuensi alami dari tindakan atau

perilakunya sendiri. Ketika dia mengalami konsekuensi dari tindakannya sendiri, dia

menasihati dirinya sendiri. Rousseau membagi perkembangan menjadi lima tahap

(sebuah buku dikhususkan untuk masing-masing). Pendidikan dalam dua tahap

pertama mencari indra: hanya ketika Émile berusia sekitar 12 tahun, tutor mulai

bekerja untuk mengembangkan pikirannya. Kemudian, dalam Buku 5, Rousseau

meneliti pendidikan Sophie (yang akan dinikahi Émile). Di sini ia menetapkan apa

yang dilihatnya sebagai perbedaan mendasar yang mengalir dari seks. 'Pria itu harus

kuat dan aktif; wanita itu harus lemah dan pasif' (Everyman edn: 322). Dari

perbedaan ini muncul pendidikan yang kontras. Mereka tidak boleh dibesarkan dalam

ketidaktahuan dan terus melakukan pekerjaan rumah tangga: Alam berarti mereka

berpikir, berkehendak, mencintai untuk mengolah pikiran mereka serta pribadi

mereka; Dia meletakkan senjata-senjata ini di tangan mereka untuk menebus

kekurangan kekuatan mereka dan untuk memungkinkan mereka mengarahkan

kekuatan pria. Mereka harus belajar banyak hal, tetapi hanya hal-hal yang cocok'

(Everyman edn.: 327)."


 Immanuel Kant

Immanuel Kant percaya bahwa pendidikan berbeda dari pelatihan karena yang

pertama melibatkan pemikiran sedangkan yang terakhir tidak. Selain mendidik

alasan, yang sangat penting baginya adalah pengembangan karakter dan pengajaran

maksim moral. Kant adalah pendukung pendidikan publik dan belajar dengan

melakukan.

 Charlotte Masonmengedit

Charlotte Mason adalah seorang pendidik Inggris yang menginvestasikan

hidupnya dalam meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak. Ide-idenya mengarah

pada metode yang digunakan oleh beberapa homeschooler. Filsafat pendidikan

Mason mungkin paling baik diringkas oleh prinsip-prinsip yang diberikan di awal

setiap bukunya. Dua motto utama yang diambil dari prinsip-prinsip tersebut adalah

"Pendidikan adalah suasana, disiplin, kehidupan" dan "Pendidikan adalah ilmu

hubungan." Dia percaya bahwa anak-anak dilahirkan sebagai orang dan harus

dihormati seperti itu; mereka juga harus diajarkan Jalan Kehendak dan Jalan Nalar.

Motonya untuk siswa adalah "Saya, saya bisa, saya harus, saya akan." Charlotte

Mason percaya bahwa anak-anak harus diperkenalkan pada subjek melalui buku

hidup, bukan melalui penggunaan "ringkasan, abstrak, atau seleksi." Dia

menggunakan buku singkat hanya ketika isinya dianggap tidak pantas untuk anak-

anak. Dia lebih suka orang tua atau guru membacakan dengan lantang teks-teks itu

(seperti Plutarch dan Perjanjian Lama), membuat kelalaian hanya jika diperlukan.
 Abad ke-20 dan ke-21

 Rudolf Steiner (pendidikan Waldor

Rudolf Steiner

Pendidikan Waldorf (juga dikenal sebagai pendidikan Steiner atau Steiner-

Waldorf) adalah pendekatan humanistik untuk pedagogi berdasarkan filosofi

pendidikan filsuf Austria Rudolf Steiner, pendiri antroposofi. Sekarang dikenal

sebagai pendidikan Waldorf atau Steiner, pedagoginya menekankan pengembangan

yang seimbang antara keterampilan kognitif, afektif / artistik, dan praktis (kepala,

hati, dan tangan). Sekolah biasanya dikelola sendiri oleh fakultas; Penekanan
ditempatkan pada memberikan guru individu kebebasan untuk mengembangkan

metode kreatif.

Teori perkembangan anak Steiner membagi pendidikan menjadi tiga tahap

perkembangan diskrit yang mendahului tetapi dengan kesamaan yang dekat dengan

tahap perkembangan yang dijelaskan oleh Piaget. Pendidikan anak usia dini terjadi

melalui peniruan; Guru menyediakan kegiatan praktis dan lingkungan yang sehat.

Steiner percaya bahwa anak-anak kecil harus memenuhi hanya kebaikan. Pendidikan

dasar sangat berbasis seni, berpusat pada otoritas kreatif guru; Anak usia sekolah

dasar harus bertemu dengan kecantikan. Pendidikan menengah berusaha

mengembangkan penilaian, kecerdasan, dan idealisme praktis; Remaja harus

memenuhi kebenaran.

Belajar bersifat interdisipliner, mengintegrasikan unsur-unsur praktis, artistik,

dan konseptual. Pendekatan ini menekankan peran imajinasi dalam belajar,

mengembangkan pemikiran yang mencakup komponen kreatif maupun analitis.

Tujuan menyeluruh filosofi pendidikan adalah untuk memberikan kaum muda dasar

untuk berkembang menjadi individu yang bebas, bertanggung jawab secara moral dan

terintegrasi, dan untuk membantu setiap anak memenuhi takdirnya yang unik,

keberadaan yang dikemukakan oleh antroposofi. Sekolah dan guru diberi kebebasan

yang cukup besar untuk mendefinisikan kurikulum dalam struktur kolegial.

 John Dewey

John Dewey pada tahun 19021


Dalam Demokrasi dan Pendidikan: Pengantar Filsafat Pendidikan, John

Dewey menyatakan bahwa pendidikan, dalam arti luas, adalah sarana "kelangsungan

hidup sosial" mengingat "fakta utama yang tak terhindarkan dari kelahiran dan

kematian masing-masing anggota konstituen dalam kelompok sosial". Oleh karena

itu, pendidikan adalah suatu keharusan, karena "kehidupan kelompok terus

berjalan."Dewey adalah pendukung Progresivisme Pendidikan dan merupakan juru

kampanye tanpa henti untuk reformasi pendidikan, menunjukkan bahwa pendekatan

pengetahuan otoriter, ketat, pra-ditahbiskan dari pendidikan tradisional modern

terlalu peduli dengan penyampaian pengetahuan, dan tidak cukup dengan memahami

pengalaman aktual siswa.

Pada tahun 1896, Dewey membuka Sekolah Laboratorium di Universitas

Chicago dalam upaya institusional untuk mengejar bersama daripada memisahkan

"utilitas dan budaya, penyerapan dan ekspresi, teori dan praktik, [yang] merupakan

elemen [yang sangat diperlukan] dalam skema pendidikan apa pun. Sebagai kepala

terpadu departemen Filsafat, Psikologi dan Pedagogi, John Dewey mengartikulasikan


keinginan untuk mengatur pengalaman pendidikan di mana anak-anak bisa lebih

kreatif daripada model progresif terbaik pada zamannya. Transaksionalisme sebagai

filsafat pragmatis tumbuh dari pekerjaan yang dilakukannya di Sekolah

Laboratorium. Dua karya paling berpengaruh yang berasal dari penelitian dan

studinya adalah The Child and the Curriculum (1902) dan Democracy and

Education (1916). Dewey menulis tentang dualisme yang melanda filsafat pendidikan

dalam buku terakhir: "Alih-alih melihat proses edukatif dengan mantap dan secara

keseluruhan, kita melihat istilah yang saling bertentangan. Kami mendapatkan kasus

anak vs. kurikulum; dari sifat individu vs. budaya sosial.

Dewey menemukan bahwa keasyikan dengan fakta sebagai pengetahuan

dalam proses edukatif membuat siswa menghafal "aturan dan prinsip yang tidak

dipahami" dan sementara pengetahuan bekas yang dipelajari dengan kata-kata belaka

adalah awal dalam studi, kata-kata belaka tidak pernah dapat menggantikan

kemampuan untuk mengatur pengetahuan menjadi pengalaman yang berguna dan

berharga.

 Maria Montessori

Maria Montessori dan Samuel Sidney McClure


Metode Montessori muncul dari penemuan Dr. Maria Montessori tentang apa

yang disebutnya sebagai "sifat normal sejati anak" pada tahun 1907, yang terjadi

dalam proses pengamatan eksperimentalnya terhadap anak-anak kecil yang diberi

kebebasan dalam lingkungan yang disiapkan dengan materi yang dirancang untuk

kegiatan belajar mandiri mereka. Metode itu sendiri bertujuan untuk menduplikasi

pengamatan eksperimental anak-anak ini untuk menghasilkan, mempertahankan, dan

mendukung cara alami mereka yang sebenarnya.

 William Mendengar Kilpatrick

William Heard Kilpatrick adalah seorang filsuf pendidikan Amerika

Serikat dan seorang kolega dan penerus John Dewey. Dia adalah tokoh utama dalam

gerakan pendidikan progresif pada awal abad ke-20. Kilpatrick

mengembangkan Metode Proyek untuk pendidikan anak usia dini, yang merupakan
bentuk kurikulum terorganisir Pendidikan Progresif dan kegiatan kelas di sekitar tema

sentral mata pelajaran. Dia percaya bahwa peran seorang guru harus menjadi

"pemandu" yang bertentangan dengan sosok otoriter. Kilpatrick percaya bahwa anak-

anak harus mengarahkan pembelajaran mereka sendiri sesuai dengan minat mereka

dan harus diizinkan untuk mengeksplorasi lingkungan mereka, mengalami

pembelajaran mereka melalui indera alam. Para pendukung Pendidikan Progresif dan

Metode Proyek menolak sekolah tradisional yang berfokus pada menghafal,

menghafal, ruang kelas yang diatur secara ketat (meja dalam baris; siswa selalu

duduk), dan bentuk-bentuk penilaian yang khas.

 William Chandler Bagleymengedit

William Chandler Bagley mengajar di sekolah dasar sebelum menjadi

profesor pendidikan di University of Illinois, di mana ia menjabat sebagai Direktur

Sekolah Pendidikan dari tahun 1908 sampai 1917. Dia adalah seorang profesor

pendidikan di Teachers College, Columbia, dari tahun 1917 hingga 1940. Sebagai

penentang pragmatisme dan pendidikan progresif, Bagley bersikeras pada nilai

pengetahuan untuk kepentingannya sendiri, bukan hanya sebagai instrumen, dan dia

mengkritik rekan-rekannya karena kegagalan mereka untuk menekankan studi

sistematis tentang mata pelajaran akademik. Bagley adalah pendukung esensialisme

pendidikan.
 S. Neillmengedit

A. S. Neill mendirikan Summerhill School, sekolah demokrasi tertua yang ada

di Suffolk, Inggris, pada tahun 1921. Dia menulis sejumlah buku yang sekarang

mendefinisikan banyak filsafat pendidikan demokratis kontemporer. Neill percaya

bahwa kebahagiaan anak harus menjadi pertimbangan terpenting dalam keputusan

tentang pengasuhan anak, dan bahwa kebahagiaan ini tumbuh dari rasa kebebasan

pribadi. Dia merasa bahwa perampasan rasa kebebasan ini selama masa kanak-kanak,

dan ketidakbahagiaan yang dialami oleh anak yang tertekan, bertanggung jawab atas

banyak gangguan psikologis masa dewasa.

 Martin Heideggermengedit

Filsafat Martin Heidegger tentang pendidikan terutama terkait dengan

pendidikan tinggi. Dia percaya bahwa pengajaran dan penelitian di universitas harus

disatukan dan bahwa siswa harus diajarkan "untuk fokus pada dan secara eksplisit

menyelidiki prasuposisi ontologis yang secara implisit memandu penelitian di setiap

domain pengetahuan," sebuah pendekatan yang dia yakini akan "mendorong

transformasi revolusioner dalam ilmu pengetahuan dan humaniora."

 Jean Piagetmengedit

Jean Piaget adalah seorang psikolog perkembangan Swiss yang dikenal karena

studi epistemologisnya dengan anak-anak. Teorinya tentang perkembangan

kognitif dan pandangan epistemologis bersama-sama disebut "epistemologi genetik".

Piaget sangat mementingkan pendidikan anak-anak. Sebagai Direktur Biro

Pendidikan Internasional, ia menyatakan pada tahun 1934 bahwa "hanya pendidikan


yang mampu menyelamatkan masyarakat kita dari kemungkinan keruntuhan, baik

kekerasan, atau bertahap." Piaget mendirikan Pusat Internasional

untuk Epistemologi Genetik di Jenewa pada tahun 1955 dan mengarahkannya hingga

tahun 1980. Menurut Ernst von Glasersfeld, Jean Piaget adalah "pelopor besar teori

pengetahuan konstruktivis."Jean Piaget menggambarkan dirinya sebagai

seorang epistemologis, tertarik pada proses pengembangan kualitatif pengetahuan.

Seperti yang dia katakan dalam pengantar bukunya Epistemologi Genetik (ISBN 978-

0-393-00596-7): "Apa yang diusulkan epistemologi genetik adalah menemukan akar

dari berbagai varietas pengetahuan, sejak bentuk dasarnya, mengikuti ke tingkat

berikutnya, termasuk juga pengetahuan ilmiah."

 Mortimer Jerome Adlermengedit

Mortimer Jerome Adler adalah seorang filsuf, pendidik, dan penulis populer

Amerika. Sebagai seorang filsuf ia bekerja dalam tradisi Aristoteles dan Thomistik.

Dia tinggal untuk bentangan terpanjang di New York City, Chicago, San Francisco,

dan San Mateo, California. Dia bekerja untuk Universitas Columbia, Universitas

Chicago, Encyclopædia Britannica, dan Institut Penelitian Filsafat Adler sendiri.

Adler menikah dua kali dan memiliki empat anak. Adler adalah

pendukung perenialisme pendidikan.

 Harry S. Broudymengedit

Pandangan filosofis Harry S. Broudy didasarkan pada tradisi realisme klasik,

berurusan dengan kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Namun, ia juga dipengaruhi

oleh filsafat modern, eksistensialisme, dan instrumentalisme. Dalam buku teksnya

Building a Philosophy of Education ia memiliki dua gagasan utama yang merupakan

poin utama bagi pandangan filosofisnya: Yang pertama adalah kebenaran dan yang
kedua adalah struktur universal yang dapat ditemukan dalam perjuangan umat

manusia untuk pendidikan dan kehidupan yang baik. Broudy juga mempelajari isu-isu

tentang tuntutan masyarakat terhadap sekolah. Dia pikir pendidikan akan menjadi

penghubung untuk menyatukan masyarakat yang beragam dan mendesak masyarakat

untuk lebih percaya dan berkomitmen pada sekolah dan pendidikan yang baik.

 Jerome Brunermengedit

Kontributor penting lainnya untuk metode penyelidikan dalam pendidikan

adalah Jerome Bruner. Buku-bukunya The Process of Education and Toward a

Theory of Instruction adalah landmark dalam konseptualisasi pembelajaran dan

pengembangan kurikulum. Dia berpendapat bahwa subjek apa pun dapat diajarkan

dalam bentuk yang jujur secara intelektual kepada anak mana pun pada setiap tahap

perkembangan. Gagasan ini merupakan dasar untuk konsepnya tentang kurikulum

"spiral" (heliks) yang mengemukakan gagasan bahwa kurikulum harus meninjau

kembali ide-ide dasar, membangunnya sampai siswa memahami konsep formal

penuh. Dia menekankan intuisi sebagai fitur yang diabaikan tetapi penting dari

pemikiran produktif. Dia merasa bahwa minat pada materi yang dipelajari adalah

stimulus terbaik untuk belajar daripada motivasi eksternal seperti nilai. Bruner

mengembangkan konsep pembelajaran penemuan yang mempromosikan

pembelajaran sebagai proses membangun ide-ide baru berdasarkan pengetahuan saat

ini atau masa lalu. Siswa didorong untuk menemukan fakta dan hubungan dan terus

membangun apa yang sudah mereka ketahui.


 Paulo Freire

Paulo Freire

Seorang filsuf dan pendidik Brasil yang berkomitmen untuk mendidik para

petani miskin di bangsanya dan berkolaborasi dengan mereka dalam mengejar

pembebasan mereka dari apa yang dianggapnya sebagai "penindasan", Paulo

Freire terkenal karena serangannya terhadap apa yang disebutnya "konsep perbankan

pendidikan", di mana siswa dipandang sebagai rekening kosong untuk diisi oleh guru.

Freire juga menyarankan agar timbal balik yang mendalam dimasukkan ke dalam

gagasan kita tentang guru dan siswa; Dia hampir menyarankan agar dikotomi guru-

murid dihapuskan sepenuhnya, alih-alih mempromosikan peran peserta di kelas

sebagai guru-murid (guru yang belajar) dan siswa-guru (pelajar yang mengajar). Pada

awalnya, bentuk yang kuat kelas semacam ini kadang-kadang dikritik dengan alasan

bahwa itu dapat menutupi daripada mengatasi otoritas guru.


Aspek-aspek filsafat Freirian telah sangat berpengaruh dalam perdebatan

akademis mengenai "pembangunan partisipatif" dan pembangunan secara lebih

umum. Penekanan Freire pada apa yang ia gambarkan sebagai "emansipasi" melalui

partisipasi interaktif telah digunakan sebagai alasan untuk fokus partisipatif

pembangunan, karena dianggap bahwa 'partisipasi' dalam bentuk apa pun dapat

mengarah pada pemberdayaan kelompok miskin atau terpinggirkan. Freire adalah

pendukung pedagogi kritis. "Dia berpartisipasi dalam impor doktrin dan gagasan

Eropa ke Brasil, mengasimilasi mereka dengan kebutuhan situasi sosial-ekonomi

tertentu, dan dengan demikian memperluas dan memfokuskan kembali mereka

dengan cara yang menggugah pikiran".

 John Holtmengedit

Pada tahun 1964 John Holt menerbitkan buku pertamanya, How Children

Fail, menegaskan bahwa kegagalan akademik anak sekolah bukan terlepas dari upaya

sekolah, tetapi sebenarnya karena sekolah. Bagaimana Anak-anak Gagal memicu

badai kontroversi. Holt terlempar ke dalam kesadaran nasional Amerika sampai-

sampai ia tampil di acara bincang-bincang TV utama, menulis ulasan buku untuk

majalah Life, dan menjadi tamu di acara permainan To Tell The Truth TV. Dalam

karya lanjutannya, How Children Learn, yang diterbitkan pada tahun 1967, Holt

mencoba menjelaskan proses belajar anak-anak dan mengapa ia percaya bahwa

sekolah mengalami hubungan pendek dengan proses itu.


 Nel mengangguk

Buku pertama yang ditulis Nel Noddings Caring: A Feminine Approach to

Ethics and Moral Education (1984) menyusul publikasi tahun 1982 dari karya

terobosan Carol Gilligan dalam etika perawatan In a Different Voice. Sementara

karyanya tentang etika berlanjut, dengan penerbitan Women and Evil (1989) dan

kemudian bekerja pada pendidikan moral, sebagian besar publikasi kemudian telah

pada filsafat pendidikan dan teori pendidikan. Karya-karyanya yang paling signifikan

di bidang ini adalah Educating for Intelligent Belief or Unbelief (1993)

dan Philosophy of Education (1995).

Kontribusi Nodings terhadap filosofi pendidikan berpusat di sekitar etika

perawatan. Keyakinannya adalah bahwa hubungan guru-siswa yang peduli akan

menghasilkan guru merancang kurikulum yang berbeda untuk setiap siswa, dan

bahwa kurikulum ini akan didasarkan pada minat dan kebutuhan khusus siswa. Klaim

guru untuk peduli tidak harus didasarkan pada keputusan bajik satu kali tetapi minat

yang berkelanjutan dalam kesejahteraan siswa.

Anda mungkin juga menyukai