Angga Achmad Ridhwan (Resume Modul 2 Ham - Pkni4317)
Angga Achmad Ridhwan (Resume Modul 2 Ham - Pkni4317)
Angga Achmad Ridhwan (Resume Modul 2 Ham - Pkni4317)
NIM : 858904469
RESUME MODUL 2
KEGIATAN BELAJAR 1
A. PERJANJIAN INTERNASIONAL
Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan oleh subjek subjek hukum
internasional dan bertujuan untuk melahirkan akibat-akibat hukum tertentu. Termasuk ke dalam
perjanjian internasional adalah perjanjian yang dibuat oleh negara dengan negara, antara negara
dengan organisasi internasional, antara organisasi internasional yang satu dengan yang lainnya,
dan perjanjian yang dibuat antara Tahta Suci dengan negara negara.
Perjanjian bilateral adalah perjanjian yang diadakan oleh dua pihak, seperti perjanjian
antara Republik Indonesia dan Filipina tentang Pemberantasan Penyelundupan dan Pajak Laut.
Perjanjian bilateral bersifat tertutup, artinya tidak ada kemungkinan bagi pihak lain untuk ikut
serta dalam perjanjian. Sedangkan perjanjian multilateral, adalah perjanjian yang diadakan oleh
banyak pihak. Perjanjian ini biasanya tidak hanya mengatur kepentingan pihak-pihak yang
terlibat dalam perjanjian.
Sedangkan jika dilihat dari sifat mengikatnya, perjanjian internasional dapat dibedakan atas
treaty contract dan law making treaty. Treaty contract adalah perjanjian yang dimaksudkan untuk
melahirkan akibat-akibat hukum yang hanya mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
Adapun law making treaty adalah perjanjian yang akibat-akibatnya menjadi dasar ketentuan atau
kaidah hukum internasional. Ke dalam jenis ini dapat dicontohkan Konvensi Hukum Laut (tahun
1958).
Perjanjian internasional dibuat melalui tiga proses berikut: (1) perundingan (negotiation),
(2) penandatanganan (signature), dan (3) pengesahan (ratification). Pada tahap perundingan
biasanya pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian mempertimbangkan terlebih dahulu materi-
materi apa yang hendak dicantumkan dalam perjanjian. Tahap perundingan akan diakhiri dengan
penerimaan naskah (adoption of the text) dan pengesahan bunyi naskah (authentication of the
text). Dalam praktek perjanjian internasional, peserta biasanya menetapkan ketentuan mengenai
jumlah suara yang harus dipenuhi untuk memutuskan apakah naskah perjanjian diterima. atau
tidak. Demikian pula menyangkut pengesahan bunyi naskah yang diterima akan dilakukan
menurut cara yang disetujui semua pihak. Bila konvensi tidak menentukan cara pengesahan,
maka pengesahan dapat dilakukan dengan penandatanganan, penandatanganan sementara,
(Kusumaatmadja, 1990: 91). atau dengan pembubuhan paraf
Dengan menandatangani suatu naskah perjanjian, suatu negara berarti sudah menyetujui
untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian. Selain melalui penandatanganan, persetujuan
untuk mengikat diri pada perjanjian dapat pula dilakukan melalui ratifikasi, pernyataan turut
serta (acesion) atau menerima (acceptance) suatu perjanjian.
6. keuangan negara.
Dalam mengesahkan suatu perjanjian internasional, lembaga pemrakarsa yang terdiri atas
lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun non-departemen,
menyiapkan salinan naskah perjanjian, terjemahan, rancangan undang-undang, atau rancangan
keputusan presiden tentang pengesahan perjanjian internasional dimaksud serta dokumen-
dokumen lain yang diperlukan.
Di samping perjanjian internasional yang disahkan melalui undang undang atau keputusan
presiden, pemerintah dapat membuat perjanjian internasional yang berlaku setelah
penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara lain
sesuai dengan kesepakatan antara para pihak yang dituangkan dalam perjanjian.
Dalam memahami berlakunya hukum internasional terdapat dua teori, yaitu teori
voluntarisme, yang mendasarkan berlakunya hukum internasional pada kemauan negara, dan
teori objektivis, yang menganggap berlakunya hukum internasional lepas dari kemauan negara.
Perbedaan pandangan atas dua teori tersebut membawa akibat yang berbeda dalam memahami
hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. Pandangan teori voluntarisme
memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua perangkat hukum yang
berbeda, saling berdampingan dan terpisah. Berbeda dengan pandangan teori objektivis yang
menganggap hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua perangkat hukum dalam satu
kesatuan perangkat hukum.
a. Aliran Dualisme
Aliran dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional bersumber
pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau
perangkat hukum yang terpisah. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh aliran dualisme,
sebagai berikut:
1) Sumber hukum,
3) Struktur hukum,
4) Kenyataan.
Maka sebagai akibat dari teori dualisme ini adalah kaidah-kaidah dari perangkat hukum
yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasar pada perangkat hukum yang lain. Dengan
demikian dalam teori dualisme tidak ada hierarki antara hukum nasional dan hukum
internasional karena dua perangkat hukum tersebut tidak saja berbeda dan tidak bergantung satu
dengan yang lain tetapi juga terlepas antara satu dengan yang lainnya.
b. Aliran Monisme
Teori monisme didasarkan pada pemikiran bahwa satu kesatuan dari seluruh hukum yang
mengatur hidup manusia. Ada pihak yang menganggap hukum nasional lebih utama dari hukum
internasional. Paham ini dalam teori monisme disebut sebagai paham monisme dengan primat
hukum nasional. Paham lain beranggapan hukum internasional lebih tinggi dari hukum nasional.
Paham ini disebut dengan paham monisme dengan primat hukum internasional. Hal ini
memungkinkan dalam teori monisme.
Monisme dengan primat hukum nasional, hukum internasional atau dapat dikatakan bahwa
hukum internasional hanya sebagai hukum nasional untuk urusan luar negeri. Paham ini melihat
bahwa kesatuan hukum nasional dan hukum internasional pada hakikatnya adalah hukum
internasional bersumber dari hukum nasional. Alasan yang di kemukakan adalah sebagai berikut:
1. Tidak adanya suatu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-
negara;
2. Dasar hukum internasional dapat mengatur hubungan antar negara terletak pada
wewenang negara untuk mengadakan perjanjian internasional yang berasal dari
kewenangan yang diberikan oleh konstitusi masing-masing negara.
Monisme dengan primat hukum internasional, paham ini beranggapan bahwa hukum
nasional bersumber dari hukum internasional. Menurut paham tersebut hukum nasional tunduk
pada hukum internasional yang pada hakikatnya berkekuatan mengikat berdasarkan pada
pendelegasian wewenang dari hukum internasional.
1. Penjajakan
2. Perundingan
3. Perumusan Naskah
4. Penerimaan
5. Penandatanganan
Dalam Undang-undang No. 24 Tahun 2000. Adapun isi yang diatur dalam undang-undang
tersebut adalah:
1. Ketentuan Umum;
2. Pembuatan Perjanjian Internasional;
3. Pengesahan Perjanjian Internasional;
4. Memberlakukan Perjanjian Internasional;
5. Penyimpangan Perjanjian Internasional;
6. Pengakhiran Perjanjian Internasional;
7. Ketentuan Peralihan;
8. Ketentuan Penutup.
Dalam pengesahan perjanjian internasional terbagi dalam empat kategori sebagai berikut:
1. Ratifikasi (ratification), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian
internasional turut menandatangani naskah perjanjian internasional.
2. Akses (accesion), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian
internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian.
3. Penerimaan (acceptance) atau penyetujuan (approval) yaitu pernyataan menerima atau
menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan
perjanjian internasional tersebut.
4. Selain itu juga ada perjanjian-perjanjian internasional yang sifatnya selt-executing
(langsung berlaku pada saat penandatanganan).
KEGIATAN BELAJAR 2
Individu sebagai Subjek Hukum Internasional dan Hakikat Kedaulatan Negara dalam
Masyarakat
Untuk memahami subjek hukum internasional dapat dilakukan analisis dari dua sisi, yakni
sisi teoritis dan sisi praktis (Kusumaatmadja, 1990:68). Secara teoritis terdapat dua pendapat
yang berbeda dalam memandang subjek hukum internasional. Pandangan pertama, menyatakan
subjek hukum internasional hanyalah negara. Pandangan kedua menyatakan bahwa individulah
yang merupakan subjek hukum internasional yang sesungguhnya.
Jika dikaji dari segi praktis terdapat beberapa jenis subjek hukum. Dalam arti yang
sesungguhnya, subjek hukum internasional adalah pemegang segala hak dan kewajiban menurut
hukum internasional. Negara adalah merupakan subjek hukum internasional dalam artian ini.
Namun dalam pengertian yang lebih luas, pengertian subjek hukum internasional mencakup pula
keadaan di mana yang dimiliki itu hanya hak dan kewajiban yang terbatas, seperti kewenangan
mengadakan penuntutan hak yang diberikan oleh hukum internasional di muka pengadilan
berdasarkan suatu konvensi. Ke dalam pengertian yang luas ini, individu merupakan contoh
subjek hukum yang terbatas (Kusumaatmadja, 1990: 70).
Negara telah dikenal sebagai subjek hukum internasional sejak kelahiran hukum
internasional. Dalam bentuk negara federal, yang mengemban hak dan kewajiban subjek hukum
internasional adalah pemerintah federal, meskipun bisa saja konstitusi federal menempatkan
pemerintahan negara bagian sebagai pemegang hak dan kewajiban terbatas.
Kata kedaulatan berasal dari kata Inggris sovereignty, atau souverainete dalam bahasa
Prancis atau sovranus dalam bahasa Italia. Secara etimologi, kedaulatan berasal dari bahasa Latin
superanus yang mengandung arti yang tertinggi (suppreme).
Dalam maknanya sebagai kekuasaan yang tertinggi, makna kedaulatan telah diakui sejak
Aristoteles dan sarjana hukum Romawi. Pengertian ini sampai batas-batas tertentu masih dianut
hingga abad pertengahan, dengan memahami kedaulatan sebagai wewenang tertinggi dari suatu
kesatuan politik.
Makna kedaulatan dalam konteks hubungan antarnegara menjadi semakin penting setelah
ditandatangani Konferensi Montevideo tahun 1933 Menurut konferensi ini, sebagai subjek
hukum internasional, negara harus memiliki kualifikasi berikut: (1) penduduk yang tetap. (2)
wilayah tertentu. (3) pemerintah, dan (4) kemampuan mengadakan hubungan dengan negara.
Dikaji dari sudut pandang hukum internasional, kedaulatan mewakili totalitas hak-hak
negara dalam menjalankan hubungan luar negeri dan menata urusan-urusan dalam negerinya
(Davidson, 1994). Menurut sudu pandang , ciri utama negara yang berdaulat adalah bahwa
kemampuanya untuk melakukan sendiri pengawasan terhadap wilayahnya dan orang-orang yang
berada di dalam wilayah itu, kecuali bila hal itu bertentangan dengan aturan-aturan hukum
internasional.
Satu konsekuensi khusus dari kedaulatan negara adalah, bahwa semua negara sama-sama
berdaulat, maka masing-masing negara tidak diwajibkan untuk tunduk pada keputusan
Mahkamah Internasional, kecuali jika negara itu memberitahukan terlebih dahulu persetujuannya
untuk mematuhi keputusan itu (Davidson, 1994).
Dikaji dari sudut perlindungan hak asasi manusia, kedaulatan nasional memiliki sisi positif
dan negatif. Dalam konteks perlindungan hak asasi manusia internasional, kedaulatan negara
berkaitan dengan empat pandangan sebagaimana telah diulas terdahulu, yakni pandangan
universal absolut, universal relatif, partikularistik absolut, dan pandangan partikularistik relatif.
KEGIATAN BELAJAR 3
Kebiasaan Internasional, Prinsip Hukum Umum, dan Resolusi Majelis Umum PBB dalam
rangka Perlindungan Hak Asasi Manusia Internasional
A. KEBIASAAN INTERNASIONAL
Kebiasaan internasional adalah kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum. Dengan
demikian tidak semua kebiasaan internasional menjadi sumber hukum. Untuk menjadi sumber
hukum, kebiasaan internasional harus memenuhi dua unsur berikut: (1) terdapat kebiasaan yang
bersifat umum dan (2) kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum.
Dilihat secara praktis, suatu kebiasaan, internasional dapat dikatakan diterima secara
hukum apabila negara-negara menerimanya, dan apabila keberatan, mereka akan
mengungkapkan keberatannya dengan cara diplomatik (protes) atau dengan cara mengajukan
keberatan kepada Mahkamah Internasional.
Ke dalam prinsip hukum umum dapat dimasukkan misalnya asas "pacta sunt servanda",
asas bonafide, asas penyalahgunaan hak atau "asas adimplenti non est adiplendum" dalam hukum
perjanjian. Ke dalamnya termasuk pula asas-asas dalam hukum internasional, seperti asas
kelangsungan negara, penghormatan kemerdekaan negara, asas nonintervensi dan sebagainya
(Kusumaatmadja, 1990: 106).
Keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana sebagai sumber hukum tambahan bersifat
tidak mengikat, artinya tidak dapat menimbulkan suatu kaidah hukum. Meskipun tidak memiliki
kekuatan mengikat, keputusan pengadilan internasional, terutama Mahkamah Internasional,
memiliki pengaruh kuat terhadap perkembangan hukum internasional. Sedangkan pendapat ahli
hukum terkemuka akan menjadi pedoman.
Meskipun belum disepakati sebagai sumber hukum internasional, namun keputusan badan
perlengkapan organisasi internasional mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam melahirkan
kaidah-kaidah yang mengatur pergaulan antaranggota masyarakat internasional. Keputusan
badan tersebut sekurang kurangnya akan berlaku di lingkungan negara-negara yang menjadi
anggota badan tersebut. Namun adakalanya keputusan suatu organisasi internasional memiliki
pengaruh yang cukup besar, hampir meliputi seluruh negara di dunia.