MAKALAH

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 5

MAKALAH

Ciguatoxin
Untuk Memenuhi Tugas Proyek Mata Kuliah Bioanorganik

Dosen Pengampu :
Yuniar Ponco Prananto,S.Si., M.Sc., Ph.D.

Disusun Oleh:

Elsa Rosita 215090201111013


Nurlaila Mubarokha 215090201111053
Siti Ainur Rahman Moradi 225090209111001

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2024

I. Pengenalan
Ciguatoksin (CTX) merupakan suatu racun yang berasal dari tumbuhan
laut dinoflagellata dari genus Gambierdiscus yang tumbuh dan berasosiasi dengan
makroalga di terumbu karang pada iklim tropis dan subtropis. Racun tersebut
berpindah melalui jaring makanan pada saat dinoflagellata tersebut dikonsumsi oleh
ikan herbivora yang kemudian dikonsumsi oleh ikan karnivora dan selanjutnya
dikonsumsi oleh manusia. (Friedman et al., 2008)
Ciguatoxins termasuk keluarga polieter siklik yang stabil terhadap panas,
sangat teroksigenasi, dan larut dalam lemak dengan berat molekul ~1000–1150 Da,
dengan struktur panjang semi kaku yang terdiri dari cincin eter trans/syn-fused
dengan berbagai ukuran yang mirip dengan brevetoxins (PbTx) keluarga lain dari
racun polieter yang larut dalam lemak. Racun awalnya berasal dari prekursor yang
ditemukan pada dinoflagellata jenis Gambierdiskus spp yang menghasilkan
ciguatoksin yang bersifat kurang polar dan kurang kuat (sebelumnya dikenal sebagai
gambiertoksin) dan diubah menjadi ciguatoksin yang lebih polar di hati ikan melalui
metabolisme oksidatif dan spiroisomerisasi. (Nicholson &
Lewis, 2006)

Gambar 1. Struktur dan sumber ciguatoksin dari Samudera Pasifik dan Karbia
Ciguatera adalah salah satu bentuk keracunan pada manusia yang disebabkan
oleh konsumsi makanan laut yang mengandung ciguatoksin. Dimana racun dan
metabolitnya terkonsentrasi pada rantai makanan ketika ikan karnivora memangsa
ikan herbivora yang lebih kecil dan manusia terpapar pada ujung rantai makanan.
Lebih dari
400 spesies ikan dapat menjadi vektor ciguatoksin, namun secara umum hanya
sejumlah kecil spesies yang sering menjadi sasaran ciguatera dimana ikan yang
tersebut terlihat, berasa dan berbau normal. (Lehane & Lewis, 2000)
Biasanya, gejala klinis keracunan terbagi dalam empat kategori:
gastrointestinal, neurologis, dan pada tingkat lebih rendah, gangguan kardiovaskular,
dan sindrom nyeri difus dengan durasi, tingkat keparahan dan jumlah gejala ciguatera
tergantung pada jumlah ciguatoxin yang dikonsumsi, jenis ikan (herbivora atau
.karnivora) dan lautan tempat ikan ditangkap. Sindrom lebih lanjut ditandai dengan
inkoordinasi, depresi, halusinasi dan mimpi buruk. Gejala gastrointestinal ditandai
dengan muntah sedang hingga berat, diare, mual, dan sakit perut yang cenderung
terjadi dalam waktu 24 jam setelah konsumsi ikan beracun, dan biasanya
berlangsung 1-3 hari. Namun, ciri
keracunan ciguatera yang paling khas dan bertahan lama adalah gejala neurologis
dapat berkisar kurang dari 1 hingga 48 jam dan dapat berlangsung selama berminggu-
minggu hingga berbulan-bulan. Penyakit ini juga melibatkan sistem saraf tepi yang
menyebabkan kelemahan dan diaphoresis namun sebagian besar mengakibatkan
neuropati sensorik termasuk parestesia pada ekstremitas (sirkumoral, tangan dan
kaki), pruritus umum, mialgia, arthralgia, peningkatan nosisepsi, dysgeusiae
(perubahan rasa), kelelahan dan respons berlebihan atau pembalikan khas terhadap
sensasi panas dan dingin yang mungkin berasal dari saraf perifer dan/atau pusat.
(Nicholson & Lewis, 2006)
Mekanisme toksikodinamik terdiri dari induksi pembukaan saluran Nav yang
bergantung pada ciguatoksin pada tingkat otot rangka, sel jantung, dan terutama saraf
tepi. Setelah saluran natrium terbuka, aliran natrium intraseluler dihasilkan yang
menyebabkan air masuk ke dalam sel dan menghasilkan edema yang dihasilkan pada
tingkat jaringan putih oleh racun tersebut. Untuk homeostasis intraseluler, mekanisme
kompensasi memulai pengeluaran kelebihan natrium yang terinternalisasi di dalam sel
kemudian menukarnya dengan kalsium ekstraseluler.(Navarro Quiroz et al., 2020)

Gambar 2. Mekanisme Toksikodinamik Ciguatoksin


Pada gambar di atas dapat dijelaskan :
A. Pada neuron motor dan sensoris, ciguatoxin menyebabkan aktivasi persisten
saluran Nav (1) dan pemblokiran saluran Kv (2). Ini menyebabkan depolarisasi
membran (3) dan menghasilkan pelepasan potensial aksi spontan dan berulang
(4). Pemuatan Na+ yang dihasilkan menyebabkan pembengkakan aksion, ujung
saraf, dan sel Schwann perisinaptik (5)
B. Pada sinapsis, ciguatoxin meningkatkan konsentrasi Ca2+ intraseluler melalui
pelepasan Ca2+ yang dimediasi oleh InsP3 dari penyimpanan internal (6) atau
melalui aktivasi saluran Cav karena depolarisasi terminal (8). Juga, konsentrasi
intraseluler Ca2+ meningkat karena perubahan dalam gradien Na+ yang
menggerakkan pertukaran Na+-Ca2+ (7), efek yang juga terjadi pada miosit
jantung. Pelepasan potensial aksi tonik yang diinisiasi pada aksion menyebabkan
pelepasan neurotransmiter repetitif, sinkron dan asinkron di sinapsis dan
hubungan
neuromuskular (9), untuk menghasilkan peningkatan dan penurunan kuantal
konten respons sinaptik. Ini menghasilkan kontraksi otot spontan dan tetanik
(10). Selain itu, ciguatoxin juga mengganggu daur ulang vesikel sinaptik yang
menguras pool vesikel neurotransmiter yang tersedia untuk pelepasan (11).
(Nicholson & Lewis, 2006)
II. Metode Ekstraksi
Metode ekstraksi yang digunakan pada Ciguatoksin (CTX) menggunakan
metode ekstraksi cepat, dimana ekstrak fraksionasi dari isolat pasifik dan karibia yang
teridentifikasi akan dianalisis menggunakan bioassay fungsional yang berfungsi
sebagai pencatat perubahan kalsium intraseluler yaitu Ca sebagai respons terhadap
2+

penambahan sampel dalam sel. kadar racun dari ciguatoxin rendah akan dideteksi
menggunakan veratridine yang berfungsi untuk meningkatkan respons (Lewis et al.,
2016).
Ekstraksi Ciguatoksin juga dapat dilakukan pada jaringan ikan, dimana
melibatkan banyak langkah utama diantara adalah ekstraksi jaringan otot (mentah,
kering, beku atau dipanaskan dengan pelarut organik polar baik aseton ataupun
metanol, pemurnian ekstrak dengan partisi cair-cair (dietil eter,kloroform,atau
diklorometana), partisi cair-cair menggunakan heksana atau sikloheksana dan
pemurnian ekstrak dasar dengan ekstraksi fase padat (SPE) (Pasinszki et al., 2020).

III. Antitoxin
Antitoksin adalah zat yang diproduksi oleh organisme hidup (seperti manusia,
hewan, atau mikroorganisme) sebagai respons terhadap toksin atau racun tertentu.
Antitoksin bekerja dengan cara menetralkan racun tersebut, sehingga mencegah atau
mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh racun di dalam tubuh. Antitoksin dapat
dihasilkan secara alami oleh sistem kekebalan tubuh sebagai respons terhadap paparan
racun.Mereka juga dapat diproduksi secara eksternal dan diberikan sebagai
pengobatan (Plotkin et al., 2018)
Sampai saat ini, belum ada antidot spesifik (antitoksin) yang tersedia untuk
mengobati keracunan ciguatera. Namun, ada beberapa pendekatan pengobatan yang
digunakan untuk meredakan gejala salah satunya manitol yaitu pengobatan diuretik
osmotik dan dianggap dapat mengurangi gejala neurologis jika diberikan dalam waktu
24-48 jam setelah onset gejala. Kemudian ada Pengobatan Simptomatik seperti
antihistamin dan antiemetik. Obat-obatan ini digunakan untuk mengatasi gejala mual,
muntah, dan reaksi alergi. Contoh antihistamin termasuk difenhidramin, sementara
contoh antiemetik adalah ondansetron (Levine, 2018)

IV. Kesimpulan
Saat ini, belum ada antitoksin spesifik untuk ciguatoksin, sehingga pengobatan
fokus pada mengelola gejala dan mendukung pemulihan pasien. Penggunaan manitol,
pengobatan simptomatik dan beberapa obat lainnya adalah metode yang digunakan
untuk mengurangi dampak keracunan ciguatera. Pencegahan melalui edukasi dan
pemilihan sumber ikan yang aman tetap menjadi strategi paling efektif.

DAFTAR PUSTAKA
Friedman, M., Fleming, L., Fernandez, M., Bienfang, P., Schrank, K., Dickey, R., Bottein, M.-Y.,
Backer, L., Ayyar, R., Weisman, R., Watkins, S., Granade, R., & Reich, A. (2008). Ciguatera
Fish Poisoning: Treatment, Prevention and Management. Marine Drugs, 6(3), 456–479.
https://doi.org/10.3390/md6030456
Lehane, L., & Lewis, R. J. (2000). Ciguatera: Recent advances but the risk remains. International
Journal of Food Microbiology, 61(2–3), 91–125. https://doi.org/10.1016/S0168-
1605(00)00382-2
Levine, D. Y. (2018). Manitol in the Treatment of Ciguatera Poisoning : A Systematic
Review, Clinical Toxicology.
Lewis, R. J., Inserra, M., Vetter, I., Holland, W. C., Hardison, D. R., Tester, P. A., & Litaker, R.W.
(2016). Research Article. Rapid Extraction and Identification of Maitotoxinand Ciguatoxin-
LikeToxinsfrom CaribbeanandPacificGambierdiscusUsinga New Functional Bioassay,
10(1371), 1-15.
Navarro Quiroz, R., Herrera-Usuga, J. C., Osorio-Ospina, L. M., Garcia-Pertuz, K. M., & Navarro
Quiroz, E. (2020). Epidemiology and Toxicology of Ciguatera Poisoning in the Colombian
Caribbean. Marine Drugs, 18(10), 504. https://doi.org/10.3390/md18100504
Nicholson, G., & Lewis, R. (2006). Ciguatoxins: Cyclic Polyether Modulators of Voltage-gated Iion
Channel Function. Marine Drugs, 4(3), 82–118. https://doi.org/10.3390/md403082
Pasinszki, T., Lako, J., & Dennis, T. E. (2020). Toxins. Advances in Detecting Ciguatoxins in Fish,
12(8), 494.
Plotkin, S. A., Orenstein, W. A., Offit, P. A., & Edwards, K. M. (Eds.). (2018).Vaccines. Elsevier
Health Sciences.

Anda mungkin juga menyukai