Proposal Putu

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 31

PROPOSAL PENELITIAN

“HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEPATUHAN


MINUM OBAT PADA ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA (ODGJ) DI
WILAYAH PUSKESMAS REWARANGGA KABUPATEN ENDE”

OLEH

NILUH GEDE ANGELICA DEWI

NIM : 2207010068

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2024

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan jiwa merupakan kondisi kesehatan dimana individu
tersebut mengalami perubahan dalam pola pikir, emosi, atau perilaku
maupun gabungan dari ketiga perubahan tersebut (American
Phsychiatric Association. 2015). Gangguan jiwa berhubungan dengan
distres atau masalah dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau masalah
keluarga. Gangguan jiwa meliputi berbagai masalah dengan tanda
gejala yang berbeda. Secara umum, gangguan jiwa ditandai dengan
beberapa kombinasi dari pola pikir abnormal, emosi, perilaku, dan
hubungan dengan yang lain (WHO). Gangguan jiwa menurut Depkes
RI adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya
gangguan pada fungsi jiwa, sehingga dapat menimbulkan penderitaan
pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial
(Departemen Kesehatan RI, 2000).
Berdasarkan Sistem Informasi Kesehatan Daerah (SIKDA)
Puskesmas Rewarangga pada tahun 2022 menunjukan prevalensi
gangguan psikotik akut sebanyak 7 orang, dan gangguan psikotik
kronik untuk usia 20-44 tahun sebanyak 13 orang, usia 45-59 tahun
sebanyak 26 orang dan usia di atas 60 tahun sebanyak 1 orang. Pada
tahun 2023 jumlah penderita gangguan psikotik akut sebanyak 9 orang,
gangguan psikotik kronik pada usia 20-44 tahun sebanyak 16 orang,
usia 45-59 tahun sebanyak 29 orang dan pada usia lebih dari 50 tahun
sebanyak 2 orang dengan total keseluruhan 90 orang penderita
gangguan psikotik.
Berdasarkan Riskesdas 2018, Prevalensi depresi pada penduduk
umur ≥15 tahun adalah 6,1% yaitu sekitar 12 juta penduduk umur >15
tahun. Gangguan Mental Emosional (GME) pada penduduk usia ≥15
tahun, dialami oleh 9,8% penduduk atau lebih dari 19 juta jiwa.
Gangguan mental emosional adalah istilah yang digunakan dalam
Riskesdas yaitu adanya gejala depresi dan cemas. Hasil Riset
Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan prevalensi gangguan jiwa berat
(skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya) sebesar 1,7 per seribu.
Peningkatan proporsi gangguan jiwa berat (skizofrenia) di Indonesia
Pada tahun 2018 cukup signifikan, yaitu 7 per 1000 penduduk Atau
sebanyak 1,6 juta jiwa (Riskesdas 2018).
Sebanyak 31,5% dari jumlah penduduk Indonesia yang mengalami
gangguan mental dipasung dalam 3 bulan terakhir, dan serta sekitar
91% penderita depresi tidak berobat atau menjalankan pengobatan
medis sedangkan cakupan penderita gangguan jiwa
skizofernia/psikosis yang tidak rutin minum obat Sejumlah 52,1%.
Jumlah sasaran tahun 2022 yaitu penyandang gangguan jiwa dari
Jumlah penduduk berdasarkan proyeksi jumlah penduduk sasaran
program pembangunan kesehatan tahun 2022 (KMK No
HK.01.07/Menkes/5675/2021 tentang Data Penduduk Sasaran
Program Kesehatan), jumlah penduduk tahun 2022 sejumlah 3.482.891
jiwa, dengan prevalensi penyandang gangguan jiwa sebesar 0.55%,
maka jumlah penyandang gangguan jiwa sebanyak 19.156 jiwa, target
sasaran tahun 2022 sebanyak 30% yaitu 5.747 jiwa.
Gangguan jiwa merupakan permasalahan internasional yang
apabila tidak dapat ditangani akan cenderung meningkat setiap
tahunnya. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa yang
termasuk dalam gangguan jiwa antara lain depresi, gangguan bipolar,
skizofrenia dan psikosis, demensia, dan gangguan perkembangan. Data
statistik yang disebutkan oleh (WHO, 2020) secara global diperkirakan
379 juta orang terkena gangguan jiwa, 20 juta diantaranya menderita
skizofrenia. Menurut data WHO pada Tahun 2021 prevalensi
skizofrenia sebesar 24 juta orang. Menurut data World Health
Organization (WHO) prevalensi data skizofrenia yang mengalami
kekambuhan diperoleh Bahwa tingkat kekambuhan skizofrenia dari
tahun 2019 sampai tahun 2021 mengalami Peningkatan yaitu dari 28%,
43%, dan 54%. Menurut data dari National Institute of Mental Health
(NIMH, 2018), ada lebih dari 51 juta orang dengan skizofrenia secara
global, atau 1,1% dari populasi di atas usia 8 tahun.
Menurut Acosta et al. (2017) terdapat berbagai bentuk
ketidakpatuhan minum obat pada pasien skizofrenia, diantaranya tidak
minum obat pada waktu yang tepat, tidak minum obat sesuai dosis, dan
menghentikan pengobatan secara total. Untuk mencapai kesembuhan
diperlukan keteraturan atau kepatuhan berobat bagi setiap
penderita.Diperlukan bantuan pengawasan minum obat dari care giver
untuk mengingatkan dan menyediakan obat secara langsung kepada
penderita, disebutkan tingginya keberhasilan untuk sembuh di kaitkan
dengan perhatian dan dukungan dari care giver. ODGJ yang patuh
terhadap pengobatan memiliki prognosis yang jauh lebih baik dari
pada ODGJ yang tidak patuh terhadap pengobatan (Kemenkes, 2023)
Dalam kamus Bahasa Indonesia (2007), kepatuhan berasal dari
kata patuh yang berarti taat atau mengikuti perintah atau arahan.
Kepatuhan adalah suatu sikap yang akan muncul pada seseorang yang
merupakan reaksi orang tersebut dalam sebuat peraturan yang ada
untuk di jalankan. Menurut World Health Organization (WHO),
kepatuhan minum obat adalah perluasan dari perilaku minum obat,
mengikuti diet tertentu dan atau mengubah gaya hidup sesuai dengan
rekomendasi yang telah disepakati dengan ahli kesehatan. Kepatuhan
dalam mengonsumsi obat secara benar adalah suatu kuwajiban mutlak
bagi para penyandang masalah kejiwaan supaya penyakitnya
terkontrol, mampu hidup normal, menjalankan fungsi sosial, dan tetap
produktif. Obat dibutuhkan untuk menyeimbangkan neuro transmitter,
hormon dopamine, hormon serotonine yang ada di dalam otak yang
tidak stabil. Ketidak stabilan inilah yang memunculkan gejala-gejala
gangguan jiwa, misalnya halusinasi, waham/delusi, dan lainnya.
Dukungan keluarga adalah dukungan yang diberikan oleh pihak
keluarga (suami/istri, anak/menantu, cucu, saudara) meliputi dukungan
instrumental, informasional, emosional dan penilaian. Dukungan
keluarga dapat berupa sikap, tindakan, dan penerimaan keluarga
terhadap anggota keluarga yang suportif selalu siap memberikan
bantuan dan dukungan saat dibutuhkan. Dukungan keluarga dapat
berupa dukungan keluarga internal, seperti dukungan dari suami, istri,
atau saudara kandung, dan dukungan keluarga eksternal diluar
keluarga inti (suami/istri, anak dan saudara kandung). Dukungan
keluarga meningkatkan harapan dan kualitas hidup, karena keluarga
adalah sistem pendukung utama bagi mereka untuk mengembangkan
respons koping yang efektif untuk beradaptasi dengan baik terhadap
stresor fisik, psikologis, dan sosial yang terkait dengan penyakit
mereka. (Wahyudi, Setiya, Makhfudi, Hasnah, & Mar’atul, 2018
Menurut Purnawan (2008) dalam Firmansyah, Lukman, dan
Mambangsari (2017) faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan
keluarga, yaitu : 1) Tahap Perkembangan /Usia, 2) Pendidikan atau
Tingkat Pengetahuan, 3) Faktor Emosional Keluarga, 4) Spiritual atau
Agama, 5) Praktik di Keluarga, 6) Faktor Sosio-ekonomi atau
Pekerjaan.
Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang mempunyai
hubungan darah, ikatan perkawinan, pengangkatan atau adopsi dan
setiap anggota keluarga selalu berinteraksi satu sama lain dalam
perannya masing-masing untuk menciptakan dan memelihara budaya
bersama, seperti peningkatan fisik, mental, emosional, dan sosial dari
setiap anggota keluarga. (Andarmoyo dalam Clara, 2020)
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, dirumuskan masalah
sebagai berikut: Bagaimana hubungan dukungan keluarga dengan
kepatuhan minum obat orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di
wilayah puskesmas Rewarangga, Kabupaten Ende?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengidentifikasi hubungan dukungan keluarga terhadap
kepatuhan minum obat orang dengan gangguan jiwa
(ODGJ) di wilayah puskesmas Rewarangga kabupaten
Ende
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan Khusus Penelitian ini adalah untuk:
1.3.2.1 Mengidentifikasi dukungan keluarga terhadap orang
dengan gangguan jiwa (ODGJ)
1.3.2.2 Mengidentifikasi kepatuhan minum obat pada orang
dengan gangguan jiwa (ODGJ)

1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Masyarakat
Masyarakat dapat mengetahui pentingnya evaluasi
dukungan keluarga untuk meningkatkan kepatuhan minum
obat pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
1.4.2 Bagi Peneliti
Dapat menambah pengetahuan, keterampilan, dan
pengalaman dalam melakukan penelitian lapangan yang
berkaitan dengan perilaku hubungan peran keluarga
terhadap kepatuhan minum obat pada orang dalam
gangguan jiwa (ODGJ)
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KONSEP KELUARGA


2.1.1 Pengertian
Keluarga adalah perkumpulan dua atau lebih individu yang diikat
Oleh hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan tiap-tiap anggota
Keluarga selalu berinteraksi satu sama lain (Harmoko, 2012). Depkes
RI (1998) dalam Padila (2012) mendefinisikan keluarga Sebagai unit
terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga Dan beberapa
orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di Bawah suatu atap
dalam keadaan saling ketergantungan, Menurut Sayekti (1994) dalam
Setiadi (2008), keluarga adalah Suatu ikatan atau persekutuan hidup
atas dasar perkawinan antara Orang dewasa yang berlainan jenis yang
hidup bersama atau seorang Laki-laki atau seorang perempuan yang
sudah sendirian dengan atau Tanpa anak, baik anaknya sendiri atau
adopsi dan tinggal dalam Sebuah rumah tangga.
2.1.2 Ciri-Ciri Keluarga
1. Menurut Robert Mac Iver dan Charles Horton (Setiadi,2008)
a. Keluarga merupakan hubungan perkawinan.
b. Keluarga berbentuk suatu kelembagaan yang berkaitan dengan
Hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk atau dipelihara.
c. Keluarga mempunyai suatu sistem tata nama (Nomen Clatur)
Termasuk perhitungan garis keturunan.
d. Keluarga mempunyai fungsi ekonomi yang dibentuk oleh anggota-
anggotanya berkaitan dengan kemampuan untuk mempunyai
keturunan dan membesarkan anak.
e. Keluarga merupakan tempat tinggal bersama, rumah atau rumah
tangga.
2. Ciri Keluarga Indonesia (setiadi, 2008)
a. Mempunyai ikatan yang sangat erat dengan dilandasi semangat
gotong royong.
b. Dijiwai oleh kebudayaan ketimuran.
c. Umumnya dipimpin oleh suami meskipun proses pemutusan
dilakukan secara musyawarah.
2.1.3 Struktur Keluarga
Menurut Dion (2013), struktur keluarga yang terdapat di NTT atau
Indonesia secara umum yaitu :
1. Berdasarkan Jalur Hubungan Darah
a. Patrilineal
Yang dimaksudkan dengan struktur patrilineal adalah keluarga
sedarah yang terdiri dari sanak saudara dalam beberapa
generasi, dimana hubungan itu disusun berdasarkan garis
keturunan ayah.
b. Matrinlineal
Yang dimaksudkan dengan struktur matrilineal adalah keluarga
sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam beberapa
generasi di mana hubungan itu disusun melalui garis keturunan
ibu.
2. Berdasarkan Keberadaan Tempat Tinggal
a. Matrilokal
Merupakan sepasang suami istri yang mana setelah menikah
dan tinggal bersama keluarga sedarah istri.
b. Patrilokal
Merupakan sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga
sedarah suami.
3. Berdasarkan Pribadi Pengambilan Keputusan
Keputusan merupakan peran yang harus dilakukan oleh suami dan atau
istri sebagai dasar bagi Pembina keluarga, namun tidak selamanya
pengambilan keputusan dilaksanakan bersama-sama. Berikut adalah
pembagian struktur berdasarkan siapa yang mengambil keputusan :
a. Patriakal : Dominasi pengambilan keputusan ada pada pihak
suami. Pengambilan keputusan bagi keluarga yang menganut
struktur patriakal memang didarkan pada peran ayah yang
mengetuk, namun menentukan keputusan tersebut seharusnya
melibatkan ibu sebagai orang yang mempertimbangkan.
b. Matriakal: Dominasi pengambilan keputusan ada pada pihak istri.
Dalam struktur matriakal, peran istri adalah sebagai pengambil
keputusan. Namun seharusnya perlu melibatkan suami dalam
mempertimbangkan keputusan tersebut.
2.1.4 Fungsi Keluarga
Fungsi keluarga biasanya didefinisikan sebagai hasil atau Konsekuensi
dari struktur keluarga. Menurut Friedman (2003), Keluarga memiliki lima
fungsi dasar yaitu:
1. Fungsi afektif (fungsi pemeliharaan kepribadian): untuk
pemenuhan Kebutuhan psikososial, saling mengasuh dan
memberikan cinta Kasih, serta saling menerima dan
mendukung.
2. Fungsi sosialisasi dan fungsi penempatan sosial: proses
Perkembangan dan perubahan individu keluarga, tempat
anggota Keluarga berinteraksi sosial dan belajar berperan di
lingkungan.
3. Fungsi reproduktif: untuk meneruskan kelangsungan
keturunan Dan menambah sumber daya manusia.
4. Fungsi ekonomis: untuk memenuhi kebutuhan keluarga,
seperti Sandang, pangan, dan papan.
5. Fungsi perawatan kesehatan: untuk merawat anggota
keluarga Yang mengalami masalah kesehatan.

Menurut Effendy (1998) dalam Dion (2013) terdapat tiga


fungsi Pokok keluarga terhadap anggota keluarganya, adalah:

1. Asih
Yaitu memberikan kasih sayang, perhatian, rasa aman,
kehangatan Kepada anggota keluarga sehingga
memungkinkan mereka tumbuh Dan berkembang sesuai
dengan usia dan kebutuhannya.
2. Asuh
Yaitu menuju kebutuhan pemeliharaan dan keperawatan
anak agar Kesehatannya selalu terpelihara, sehingga
diharapkan menjadikan Mereka anak-anak baik fisik,
mental, sosial dan spiritual.
3. Asah
Yaitu memenuhi kebutuhan pendidikan anak, sehingga siap
Menjadi manusia dewasa yang mandiri dalam
mempersiapkan Masa depan.

Menurut Suliswati, dkk (2005) mengatakan bahwa fungsi


keluarga Dalam pencegahan gangguan jiwa yaitu:

1) Menciptakan lingkungan yang sehat jiwa bagi anggota


keluarga.
2) Saling mencintai dan menghargai antar anggota keluarga.
3) Saling membantu dan member antar anggota keluarga.
4) Saling terbuka dan tidak ada diskriminasi.
5) Memberi pujian kepada anggota keluarga untuk segala
Perbuatannya yang baik dari pada menghukumnya pada
waktu Membuat kesalahan.
6) Menghadapi ketegangan dengan tenang serta
menyelesaikan Masalah kritis atau darurat secara tuntas dan
wajar.
7) Menunjukan empati serta member bantuan kepada anggota
Keluarga yang mengalami perubahan perilaku, gangguan
Pertumbuhan dan perkembangan terlambat serta lansia.
8) Saling menghargai dan mempercayai.
9) Membina hubungan denga anggota masyarakat lainnya
10) Berekreasi bersama anggota keluarga untuk menghilangkan
ketegangan dalam keluarga.
11) Menyediakan waktu untuk kebersamaan antar anggota
keluarga.

2.1.5 Peranan Keluarga


Menurut Setiadi (2008), keluarga mempunyai peran masingmasing, antara
lain adalah:
1. Ayah
Ayah sebagai pimpinan keluarga mempunyai peran sebagai pencari
nafkah, pendidik, pelindung, pemberi rasa aman bagi setiap anggota
keluarga dan juga sebagai anggota masyarakat kelompok sosial tertentu.
2. Ibu
Ibu sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh dan pendidik anak,
pelindung keluarga dan juga sebagai pencari nafkah tambahan keluarga
dan juga sebagai anggota masyarakat kelompok sosial tertentu.
3. Anak
Anak berperan sebagai pelaku psikososial sesuai dengan perkembangan
fisik, mental, sosial dan spiritual.
2.3.6 Tugas Kesehatan Keluarga
Harmoko (2010) menuliskan lima tugas kesehatan keluarga yaitu sebagai
berikut:
1) Mengenal Masalah Kesehatan Keluarg
Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh Diabaikan,
karena tanpa kesehatan segala sesuatu tidak akan Berarti. Orang tua
perlu mengenal keadaan kesehatan dan Perubahan-perubahan yang
dialami oleh anggota keluarganya. Perubahan sekecil apapun yang
dialami anggota keluarga, secara Tidak langsung akan menjadi
perhatian keluarga atau orang tua. Apabila menyadari adanya
perubahan, keluarga perlu mencatat Kapan terjadinya, perubahan apa
yang terjadi, dan seberapa besar Perubahannya.
2) Membuat Keputusan Tindakan Kesehatan Yang Tepat
Tugas ini merupakan upaya utama keluarga untuk mencari Pertolongan
yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan Pertimbangan
siapa di antara anggota keluarga yang mempunyai Kemampuan
memutuskan sebuah tindakan. Tindakan kesehatan Yang dilakukan
oleh keluarga diharapkan tepat agar masalah Kesehatan yang sedang
terjadi dapat dikurangi atau teratasi. Jika Keluarga mempunyai
keterbatasan dalam mengambil keputusan, Maka keluarga dapat
meminta bantuan kepada orang lain di Lingkungan tempat tinggalnya.
3) Memberi Perawatan Pada Anggota Keluarga yang Sakit.
Sering mengalami keterbatasan, maka anggota keluarga yang
Mengalami gangguan kesehatan perlu memperoleh tindakan Lanjutan
atau perawatan agar masalah yang lebih parah tidak Terjadi. Perawatan
dapat dilakukan di institusi pelayanan kesehatan Atau di rumah apabila
keluarga telah memiliki kemampuan Melakukan tindakan untuk
pertolongan pertama.
4) Mempertahankan Suasana Rumah yang Sehat.
Rumah merupakan tempat berteduh, berlindung dan bersosialisasi Bagi
anggota keluarga. Sehingga anggota keluarga akan memiliki Waktu
lebih banyak berhubungan dengan lingkungan tempat Tinggal. Oleh
karena itu, kondisi rumah haruslah dapat menjadikan Lambang
ketenangan, keindahan dan dapat menunjang derajat Kesehatan bagi
anggota keluarga.
5) Menggunakan Fasilitas Kesehatan yang Ada di Masyarakat.
Apabila mengalami gangguan kesehatan atau masalah yang Berkaitan
dengan kesehatan keluarga atau anggota keluarga harus Dapat
memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada di sekitarnya.Keluarga
dapat berkonsultasi atatu meminta bantuan tenaga Keperawatan untuk
memecahkan masalah yang dialami anggota Keluarganya, sehingga
dapat bebas dari segala penyakit.Dukungan Keluarga
2.2 DUKUNGAN KELUARGA
2.2.1 Pengertian Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga adalah dukungan yang diberikan oleh Pihak
keluarga (suami/istri, anak/menantu, cucu, saudara) Meliputi dukungan
instrumental, informasional, emosional dan Penilaian. Dukungan keluarga
berupa sikap, tindakan, dan Penerimaan keluarga terhadap anggota
keluarga yang suportif Selalu siap memberikan bantuan dan dukungan
saat dibutuhkan. Dalam hal ini, penerima dukungan keluarga mengetahui
bahwa Ada orang lain yang merawat, menghargai, dan menyayanginya.
Dukungan keluarga dapat berupa dukungan keluarga internal, Seperti
dukungan dari suami, istri, atau saudara kandung, tetapi Juga dalam
bentuk dukungan keluarga eksternal terhadap Keluarga inti. Dukungan
keluarga memungkinkan keluarga Berfungsi dengan kecerdasan dan indera
yang berbeda. Ini Meningkatkan kesehatan keluarga (Friedman, 2014).
Dukungan keluarga adalah proses seumur hidup, sifat dan Jenis
dukungan berbeda pada berbagai tahap siklus hidup. Dukungan keluarga
dapat berupa dukungan keluarga internal, seperti dukungan dari suami,
istri, atau saudara kandung, tetapi Juga dalam bentuk dukungan keluarga
eksternal terhadap Keluarga inti. Secara khusus, jika ada dukungan
keluarga yang Cukup, angka kematian pada pasien dengan tekanan darah
Tinggi dapat menurun (Fajriah & Abdullah, 2017).
Dukungan keluarga meningkatkan harapan dan kualitas Hidup,
karena keluarga adalah sistem pendukung utama bagi Mereka untuk
mengembangkan respons koping yang efektif Untuk beradaptasi dengan
baik terhadap stresor fisik, Psikologis, dan sosial yang terkait dengan
penyakit mereka. (Wahyudi, Setiya, Makhfudi, Hasnah, & Mar’atul, 2018)
2.2.2 Jenis Dukungan Keluarga
Menurut Friedman (2014) menerangkan bahwa terdapat 4 Jenis dukungan
keluarga, yaitu:
a) Dukungan Instrumental
Keluarga merupakan sumber pertolongan yang Praktis dan konkrit
berupa barang dan tenaga. Bantuan ini Dimaksudkan untuk
memudahkan seseorang dalam Melakukan aktivitasnya sehubungan
dengan masalah yang Dihadapinya atau untuk membantu secara
langsung Kesulitan yang dihadapinya, misalnya dengan memberikan
Uang, peralatan, waktu, perubahan lingkungan, makanan Dan
minuman. Kebutuhan dan waktu istirahat. Asyura, Andala, dan
Fadhila (2021) menyatakanBahwa melalui bentuk dukungan
instrumental yang Diberikan kepada setiap anggota keluarga sesuai
dengan Kebutuhan masing-masing, dukungan keluarga instrumental
Seperti fasilitas-fasilitas, material atau finansial responden Dapat
merencanakan intervensi yang tepat untuk Menurunkan hipertensi.
b) Dukungan Informasional
Keluarga berperan sebagai media untuk Mengumpulkan dan
memberikan informasi. Bantuan Informasi digunakan oleh seseorang
untuk mengatasi Masalah yang dihadapinya, yang meliputi pemberian
Nasihat, petunjuk (bimbingan), gagasan, saran, saran atau Informasi
lain yang diperlukan, dan informasi ini dapat Dibagikan kepada orang
lain yang mungkin atau tidak Sedang sama menghadapi masalah yang
sama. Dukungan informasional Pendukung informasi Merupakan salah
satu wadah informasi yang berguna untuk Kelangsungan hidup sehari-
hari keluarga yang berisi Nasehat, kiat, nasehat, indikasi, pengingat,
dll. Kemudian, Dengan informasi yang bermanfaat ini, bimbing setiap
Anggota keluarga dalam bersikap dan berperilaku. (Asyura, Andala,
dan Fadhila, 2021).
c) Dukungan emosional
Keluarga sebagai tempat yang aman dan tenang Untuk istirahat dan
pemulihan serta membantu Mengendalikan emosi. Dukungan ini
meliputi ungkapan Empati, simpati, kepedulian, kepercayaan, dan
kepedulian Terhadap anggota keluarga yang sedang menderita suatu
Penyakit atau menghadapi suatu masalah. Dukungan emosional
diibaratkan sebagai tempat Berlindung yang tenang dan rileks serta
membantu Pengendalian emosi agar pasien tidak merasa tertekan
Dengan tekanan darahnya yang tinggi, karena sugesti positif Dari
keluarga responden membuat mereka merasa nyaman Selama berada
bersama keluarganya (Asyura, Andala, dan Fadhila, 2021).
d) Dukungan penilaian /penghargaan
Keluarga bertindak sebagai umpan balik, pemandu, Mediator untuk
pemecahan masalah dan sebagai sumber Dan validasi identitas
keluarga. Dukungan ini dapat dicapai Melalui rasa hormat dan
penghargaan yang dicapai melalui Ekspresi positif dan negatif dari
rasa hormat yang Berdampak sangat signifikan pada seseorang. Bentuk
rasa Syukur yang diberikan kepada seseorang berdasarkan Kondisi
pasien. Asyura, Andala, dan Fadhila (2021) menyatakan Melalui
bentuk dukungan penghargaan atau penilaian yang Diberikan di
lingkungan keluarga, memberikan bimbingan Dan semangat dalam
menyelesaikan setiap masalah, baik Masalah kesehatan maupun
masalah sosial lainnya. Dukungan penghargaan positif yang diterima
anggota Keluarga dapat membimbing perilaku dan sikap yang tepat
Untuk setiap masalah yang mereka hadapi sehari-hari untuk
Mengurangi gejala hipertensi mereka.
2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dukungan keluarga
Menurut Purnawan (2008) dalam Firmansyah, Lukman, dan Mambangsari
(2017) faktor-faktor yang mempengaruhi Dukungan keluarga, yaitu :
1. Tahap Perkembangan /Usia
Artinya dukungan dapat ditentukan oleh faktor usia, Dalam hal ini
pertumbuhan dan perkembangan, Sehingga setiap kelompok umur
(bayi-lansia) memiliki Pemahaman dan respon yang berbeda terhadap
Perubahan kesehatan
2. Pendidikan atau Tingkat Pengetahuan
Keyakinan seseorang akan adanya dukungan terbentuk oleh variabel
intelektual yang terdiri dari pengetahuan, latar belakang pendidikan
dan pengalaman masa lalu. Menurut Amelia (2020) semakin tinggi
pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima
informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang
dimilikinya dan berkaitan dengan kesadaran akan kesehatan
3. Faktor Emosional Keluarga
Faktor emosional juga mempengaruhi keyakinan akan adanya
dukungan dan cara memberikannya. Seseorang yang mengalami reaksi
stres terhadap setiap perubahan dalam hidup mereka cenderung
bereaksi terhadap berbagai tanda penyakit, mungkin dengan
kekhawatiran bahwa penyakit tersebut dapat mengancam jiwa.
Seseorang yang tampak sangat tenang secara umum mungkin
mengalami kesulitan untuk menunjukkan reaksi emosional selama
sakit. Seseorang yang secara emosional tidak mampu mengatasi
ancaman penyakit yang mungkin terjadi. Faktor emosional juga dapat
ditunjukkan oleh adanya hubungan keluarga dengan pasien.
4. Spiritual atau Agama
Aspek spiritual menunjukkan bagaimana seseorang Menjalani
hidupnya, termasuk nilai-nilai dan keyakinan Yang dihayati, hubungan
dengan keluarga atau teman, Dan kemampuan untuk menemukan
harapan dan makna Dalam hidup.
5. Praktik di Keluarga
Cara keluarga memberikan dukungan umumnya Berdampak pada
perilaku kesehatan individu. Misalnya, Klien lebih mungkin membuat
pengaturan jika keluarga Melakukan hal yang sama.
6. Faktor Sosio-ekonomi atau Pekerjaan
Faktor sosial dan psikososial dapat meningkatkan Risiko penyakit dan
mempengaruhi cara seseorang Mendefinisikan dan merespons
penyakitnya. Variabel Psikososial meliputi: stabilitas perkawinan, gaya
hidup, Dan lingkungan kerja. Seseorang umumnya akan Mencari
dukungan dan persetujuan dari kelompok sosial Mereka, karena hal ini
mempengaruhi keyakinan Tentang kesehatan dan bagaimana mereka
Diimplementasikan. Umumnya, semakin tinggi status Keuangan
seseorang, maka akan semakin baik pula Mereka merespon gejala
penyakit yang dialaminya. Oleh karena itu, seseorang akan segera
mencari Pertolongan jika mengalami gangguan kesehatan.
2.3 KEPATUHAN MINUM OBAT
2.3.1 Pengertian
Kepatuhan adalah suatu sikap yang akan muncul pada seseorang
Yang merupakan suatu reaksi terhadap sesuatu yang ada dalam peraturan
yang harus dijalankan. Sikap tersebut muncul apabila individu tersebut
Dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya reaksi
individu (Azwar, 2002).
Kepatuhan diartikan sebagai riwayat pengobatan pasien, pemberian
Pelayanan yang berhubungan dengan waktu, dosis dan frekuensi
pengobatan Yang selama jangka waktu pengobatan yang dianjurkan.
Sebaliknya, “ketekunan” mengacu pada tindakan untuk melanjutkan
pengobatan selama Jangka waktu pengobatan untuk jangka waktu yang
ditentukan sehingga Dapat didefinisikan sebagai total jangka waktu pasien
menjalani pengobatan Dibatasi oleh waktu antara dosis pertama dan
terakhir (Pertoson dalam Agency for healthcare research and quality,
2012).
2.3.2 Jenis-Jenis Kepatuhan
Menurut Cramer (1991) kepatuhan dibagi menjadi :
a. Kepatuhan penuh (Total Compliance)
Pada keadaan ini penderita tidak hanya berobat secara teratur
sesuai Batas waktu yang ditetapkan melainkan juga patuh
minum obat Secara teratur sesuai petunjuk.
b. Pasien yang sama sekali tidak patuh (Non Compliance)
Pada keadaan ini pasien putus obat atau tidak mengkonsumsi
obat sama sekali.
2.3.3 Cara Mengukur Kepatuhan
Terdapat 2 metode yang bisa di gunakan untuk mengukur kepatuhan
Menurut Osterberg dan Blanschke, (2005):
1. Metode langsung Pengukuran kepatuhan dengan metode
observasi pengobatan secara Langsung, mengukur konsentrasi
obat dan metaboliknya dalam darah Atau urin serta mengukur
biologic maker yang di tambahkan pada Formulasi obat.
Kelemahan metode ini adalah biaya yang Mahal, memberatkan
tenaga kesehatan dan rentan terhadap penolakan Pasien.
2. Metode tidak langsung
Pengukuran kepatuhan dengan menanyakan pasien tentang cara
Pasien menggunakan obat, menilai respon klien, melakukan
Perhitungan obat, menilai angka refilling prescribsion,
Mengumpulkan kuisioner pasien, menggunakan electronic
Medication monitor, menilai kepatuhan pasien anak dengan
Menanyakan kepada orang tua. Osterberg (2005: 01) dan
Morisky (2008: 348) Untuk mengetaui tingkat kepatuhan
minum obat di Gunakan kuisioner penilaian kepatuhan
mengenai obat yaitu MMAS-8 (Morisky Medication
Adherence Scale) yang terdiri dari 8 item Soal dengan jawaban
ya dan tidak. Penilaian kepatuhan minum obat Di nilai
berdasarkan kedisiplinan pasien minum obat, kemandirian
Pasien dalam minum obat dan kesadaran pasien minum obat.
Dengan Klasifikasi kepatuhan sebagai berikut:
a. Kepatuhan tinggi (high adherence) adalah klien yang
mengkonsumsi obat secara teratur sesuai petunjuk yakni
tidak kehilangan satu ataau lebih dari dosis pengobatan
yang Di tentukan serta minum obat sesuai jangka waktu
antar Tablet.
b. Kepatuhan sedang (mediun adherence) klien yang
memiliki Putus obat. Maupun berhenti terapi pengobatan
untuk Sementara (Anonim,2014:01).
c. Kepatuhan rendah (low adherence) adalah klien yang
tidak Minum obat sama sekali.
2.3.4 Aspek-aspek Kepatuhan
Wardhani, (2009) adapun aspek-aspek mengenai kepatuhan minum Obat
adalah:
1. Kedisiplinan individu untuk minum obat sesuai jadwal
Merupakan perasaan taat dan patuh terhadap nilai-nilai atau Suatu
tindakan yang telah di tetapkan.
2. Kemandirian minum obat
Suatu sikap atau perilaku seseorang untuk bertindak bebas, Benar, dan
bermanfaat, berusaha melakukan segala sesuatu Dengan benar atas
dorongan diri sendiri
3. Kesadaran minum obat
Sebuah perasaan atau perilaku seseorang yang di lakukan untuk
Mentaati sesuatu yang harus di lakukan atau di kerjakan. Ada beberapa
indikator kepatuhan menurut Sarwono dan Meinarno (2011) terdiri
dari :
1) Konformitas (conformity) : individu mengubah sikap dan tingkah
lakunya agar sesuai dengan cara melakukan tindakan yang sesuai
dan diterima dengan tuntutan sosial.
2) Penerimaan (compliance) : individu melakukan sesuatau atas
Permintaan orang lain.
3) Ketaatan (obedience) :individu melakukan sesuatu atas perintah
Orang lain. Seseorang mentaati dan mematuhi permintaan orang
Lain untuk melakukan tingkah laku tertentu karena ada unsur.
2.3.5 Karakteristik Kepatuhan
Brunner & Suddart, 2002 Kepatuhan program terapeutik adalah Perilaku
pasien dalam mencapai perawatan kesehatan seperti: upaya aktif, Upaya
kolaboratif sukarela antara pasien dan provider. Termasuk di Dalamnya
mengharuskan pasien membuat perubahan gaya hidup untuk Menjalani
kegiatan spesifik seperti minum obat, mempertahankan diet, Membatasi
aktifitas, memantau mandiri terhadap gejala penyakit, tindakan Hygine
spesifik, evaluasi kesehatan secara periodik, pelaksanaan tindakan
Terapeutik dan pencegahan lain. Sedangkan hasil penelitian Wardani
(2009) menunjukkan tolak ukur perilaku kepatuhan minum obat,
Kesadaran diri terhadap kebutuhan obat, kemandirian minum obat dan
Kedisiplinan minum obat.Selain itu perilaku patuh minum obat di ikuti
Dengan kontrol rutin setelah di rawat di rumah sakit. Menurut Samalin
(2010) karakteristik kepatuan partial meliputi: pasien mengurangi dosis
yang di tentukan oleh pasien sendiri atau hanya mengambil pengobatan
Mereka dari waktu ke waktu.
2.3.6 Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan
Dalam hal ini kepatuhan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
Kepatuhan adalah segala sesuatu yang dapat berpengaruh positif sehingga
Pasien tidak mampu lagi mempertahankan kepatuhannya, sampai menjadi
Kurang patuh dan tidak patuh. Nieven (2002),berpendapat bahwa
faktorfaktor yang mempengaruhi kepatuhan diantaranya:
1. Faktor pasien atau individu
2. Dukungan Keluarga
3. Dukungan Sosial
4. Dukungan Petugas Kesehatan
2.3.7 Cara Meningkatkan Kepatuhan
Menurut Niven (2002) mengusulkan lima titik rencana untuk Mengatasi
ketidakpatuhan pasien :
1. Pasien harus mengembangkan tujuan kepatuhan serta memiliki
Keyakinan dan sikap yang positif terhadap suatu penatalaksanaan,
Dan keluarga serta teman juga harus mendukung keyakinan tersebut.
2. Perilaku sehat sangat dipengaruhi oleh kebiasaan, maka dari itu perlu
Dikembangkan suatu strategi yang bukan hanya untuk mengubah
Perilaku, tetapi juga untuk mempertahankan perubahan tersebut.
Perilaku disini membutuhkan pemantau terhadap diri sendiri, Evaluasi
diri dan penghargaan terhadap perilaku yang baru tersebut.
Pengontrolan terhadap perilaku sering tidak cukup untuk mengubah
Perilaku itu sendiri.
3. Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota
Keluarga yang lain, teman dapat membantu mengurangi ansietas,
Mereka dapat menghilangkan godaan pada ketidakpatuhan, dan
Mereka sering menjadi kelompok pendukung untuk mencapai
Kepatuhan.
4. Dukungan dari professional kesehatan, terutama berguna saat pasien
Menghadapi perilaku sehat yang penting untuk dirinya sendiri. Selain
Itu tenaga kesehatan juga dapat meningkatkan antusias terhadap
Tindakan tertentu dan memberikan penghargaan yang positif bagi
Pasien yang telah mampu beradaptasi dengan program
Pengobatannya.
2.4 Konsep Dasar Gangguan Jiwa
2.4.1 Defenisi Gangguan Jiwa
Menurut (Freud, Erickson) gangguan jiwa dapat terjadi pada
Seseorang apabila ego (akal) tidak berfungsi dalam mengontrol diri
(kehendak nafsu atau insting). Ketidakmampuan seseorang dalam
Menggunakan akalnya (ego) untuk mematuhi tata tertib, peraturan,
Norma, agama (super ego/das uber ich), akan mendorong terjadinya
Penyimpangan perilaku (deviation of behavioral).
Menurut (Sullivan, Peplau) kelainan jiwa sesesorang bisa muncul
Akibat adanya ancaman. Ancaman tersebut menimbulkan kecemasan
(anxiety), Ansietas timbul dan dialami seseorang akibat adanya konflik
Saat berhubungan dengan orang lain (interpersonal). Menurut (Caplan,
Szasz) seseorang akan mengalami gangguan Jiwa atau penyimpangan
perilaku apabila banyaknya faktor sosial dan Faktor lingkungan yang akan
memicu munculnya stress pada Seseorang (sosial and environmental
factors create stress, wich cause Anxiety and symptoms). Akumulasi
stresor yang ada pada lingkungan Seperti : bising, macet, tuntunan
persaingan pekerjaan, harga barang Yang mahal, persaingan kemewahan,
iklim yang sangat panas atau Dingin, ancaman penyakit, polusi, sampah,
akan mencetuskan stres Pada individu.Menurut (Elis, Rogers) gangguan
perilaku atau gangguan Jiwaterjadi bila individu gagal menemukan jati
dirinya dan tujuan Hidupnya. Individu tidak memiliki kebanggaan akan
dirinya. Membenci Diri sendiri dan mengalami gangguan dalam Body-
image-nya.
Menurut (Wermon, Rockland) penyebab gangguan jiwa adalah
Faktor biopsikososial dan respon maladaptif saat ini. Aspek biologisnya
Menjadi masalah seperti ; sakit maag, migrain, batuk-batuk. Aspek
Psikologisnya juga mengalami banyak keluhan seperti; mudah cemas,
Kurang percaya diri, perasaan bersalah ragu-ragu, pemarah,Bermusuhan,
tidak mampu mendapatkan pekerjaan dan sebagainya (Nazir & Muhith,
2011)
2.4.2 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Gangguan Jiwa
Gangguan jiwa/mental disebut juga penyakit jiwa, kekacauan jiwa,
Kekalutan mental atau gangguan mental. Yang disebut gangguan Mental
adalah bentuk gangguan dan kekacauan fungsi mental atau Kesehatan
mental yang disebabkan oleh kegagalan mereaksinya Mekanisme adaptasi
dari fungsi-fungsi kejiwaan terhadap stimulus Ekstern dan ketegangan-
ketegangan sehingga muncul gangguan Fungsi atau gangguan struktur dari
suatu bagian, suatu organ, atau Sistim kejiwaan/mental. Manusia bereaksi
secara keseluruhan, secara Holistik, atau dapat di katakan juga secara
somato – psiko – sosial. Dalam mencari penyebab gangguan jiwa, maka
ketiga unsur ini harus Di perhatikan. Gangguan jiwa ialah gejala gejala
patologik yang Dominan berasal dari unsur psike. Hal ini tidak berarti
bahwa unsur Yang tidak terganggu, sekali lagi yang sakit dan menderita
adalah Manusia yang seutuhnya dan bukan hanya badannya, jiwanya atau
Lingkunganya.Biarpun gejala umum dan gejala yang menonjol itu terdapat
pada Unsur kejiwaan, tetapi penyebab utamanya mungkin di badan
(somatogenik), di lingkungan sosial (sosiogenik) ataupun dipsike
(psikogenik) biasanya itu tidak terdapat penyebab tunggal, akan tetapi
Beberapa penyebab sekaligus dari berbagai unsur itu yang saling
Mempengaruhi atau kebetulan terjadi bersamaan, lalu timbulah Gangguan
badan ataupun jiwa (Yosep, 2007).
2.4.3 Sumber penyebab dipengaruhi oleh faktor-faktor yang Terus menerus
saling mempengaruhi, yaitu :
1. Faktor – faktor somatik (somatogenik) atau organobiologis
1) Genetika / keturunan
Menurut Cloninger dalam Yosep (2007) gangguan jiwa,
terutama gangguan persepsi sensori dan gangguan psikotik
lainnya erat sekali penyebabnya dengan faktor genetik
termasuk di dalamnya saudara kembar, individu yang memiliki
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa memiliki
kecenderungan lebih tinggi di banding dengan orang yang tidak
memiliki faktor herediter. Individu yang memiliki hubungan
sebagai ayah, ibu, saudara atau anak dari klien yang mengalami
gangguan jiwa memiliki kecenderungan 10% Sedangkan
keponakan atau cucu kejadian 2-4%. Individu yang memiliki
hubungan sebagai kembar identik dengan klien yang
mengalami gangguan jiwa memiliki kecenderungan 46-48%,
Sedangkan kembar dizygot memiliki kecenderungan 14-17%.
Faktor genetik tersebut sangat ditunjang dengan pola asuh yang
diwariskan sesuai dengan pengalaman yang dimiliki oleh
anggota keluarga klien yang mengalami gangguan jiwa.
2) Cacat kongenital
Cacat kongenetal atau sejak lahir dapat mempengaruhi
perkembangan jiwa anak, terlebih yang berat, seperti retardasi
mental yang berat. Akan tetapi umumnya pengaruh cacat ini
timbulnya gangguan jiwa terutama tergantung pada individu
itu, bagaimana ia menilai dan menyesuaikan diri terhadap
keadaan hidupnya yang cacat. Orang tua dapat mempersulit
penyesuaian ini dengan perlindungan yang berlebihan (proteksi
Berlebihan). Penolakan atau tuntutan yang sudah diluar
kemampuan anak.
3) Faktor jasmaniah
Beberapa penyelidik berpendapat bentuk tubuh seseorang
berhubungan dengan gangguan jiwa tertentu. Misalnya yang
bertubuh gemuk/endoform cenderung mengalami gangguan
jiwa, begitu juga dengan yang bertubuh kurus/ectoform, tinggi
badan yang terlalu tinggi atau yang terlalu pendek dan
sebagainya.
4) Deprivasi
Deprivasi atau kehilangan fisik, baik yang dibawa sejak lahir
ataupun yang di dapat, misalnya karena kecelakaan hingga
Anggota gerak (kaki dan tangan) ada yang harus diamputasi
(Baihaqi, 2005).
5) Temperamen / Proses-proses emosi yang berlebihan
Orang yang terlalu peka/sensitif biasanya mempunyai masalah
kejiwaan dan ketegangan yang memiliki kecenderungan
mengalami gangguan jiwa. Dan proses emosi yang terjadi
secara terus-menerus dengan koping yang tidak efektif akan
mendukung timbulnya gejala psikotik (Yosep, 2007).
6) Penyalahgunaan obat-obatan
Koping yang maladaftif yang digunakan individu untuk
menghadapi stressor melalui obat-obatan yang memiliki sifat
adiksi (efek ketergantungan) seperti cocaine, amphetamine
menyebabkan gangguan persefsi, gangguan proses berpikir,
gangguan motorik dan sebagainya.
7) Patologi otak
Termasuk disini adalah, trauma, lesi, infeksi, perdarahan,
tumor, toksin, gangguan metabolisme dan atrofi otak.
8) Penyakit dan cedera tubuh
Penyakit – penyakit tertentu misalnya penyakit jantung, kanker,
dan sebagaimana, mungkin menyebabkan merasa murung dan
sedih. Demikian pula cedera / cacat tubuh tertentu dapat
menyebabkan rasa rendah diri (Yosep, 2007).
2. Faktor – Faktor Psikologik (Psikogenik) atau Psikoedukatif
1) Trauma di masa kanak-kanak
Deprivasi dini biologi maupun psikologik yang terjadi pada
masa bayi, anak-anak. Misalnya anak yang ditolak (rejected
child) akan menimbulkan rasa tidak nyaman dan ia akan
mengembangkan cara penyesuaian yang salah (Baihaqi, 2005).
2) Deprivasi parental
Deprivasi parental atau kehilangan asuhan ibu dirumah sendiri,
terpisah dengan ibu atau ayah kandung, tinggal di asrama,
dapat menimbulkan perkembangan yang abnormal.
3) Hubungan keluarga yang patogenik
Dalam masa kanak-kanak keluarga memegang peranan yang
Penting dalam pembentukan kepribadian. Hubungan orang
tuaanak yang salah atau interaksi yang patogenik dalam
keluarga Merupakan sumber gangguan penyesuaian diri.
Kadang orang tua Terlalu banyak berbuat untuk anak dan tidak
member kesempatan Anak itu berkembang sendiri, adakalanya
orang tua berbuat terlalu Sedikit dan tidak merangsang anak,
atau tidak memberi bimbingan Dan anjuran yang
dibutuhkan.Beberapa jenis hubungan keluarga Yang sering
melatarbelakangi adanya gangguan jiwa, umpamanya
Penolakan, perlindungan berlebihan, manja berlebihan,
tuntutan Perfeksionistik, disiplin yang salah, dan persaingan
antara saudara Yang tidak sehat. (Yosep, 2007).
4) Struktur keluarga yang patogenik
Struktur keluarga inti kecil atau besar mempengaruhi terhadap
Perkembangan jiwa anak, apalagi bila terjadi ketidak sesuaian
Perkawinan dan problem rumah tangga yang berantakan
(Baihaqi, 2005). Anak tidak mendapat kasih sayang, tidak
dapat mengahayati Displin, tidak ada panutan, pertengkaran
dan keributan yang Membingungkan dan menimbulkan rasa
cemas serta rasa tidak Aman. Hal tersebut merupakan dasar
yang kuat untuk timbulnya Tuntunan tingkah laku dan
gangguan kepribadian pada anak Dikemudian hari (Yosep,
2007).Kejadian kekerasan dalam rumah Tangga
memungkinkan anak anak untuk menyaksikan pertengkaran
orang tuanya (kekerasan terhadap ibunya) Mengalami
kekerasan seperti yang di alami ibunya, bahkan menjadi
Sasaran kekerasan (pelampiasan emosi) oleh ibunya.
5) Kekecewaan dan pengalaman yang menyakitkan
Kematian, kecelakaan, sakit berat, perceraian, perpindahan
yang Mendadak, kekecewaan yang berlarut-larut, dan
sebagainya, akan Mempengaruhi perkembangan kepribadian,
tapi juga tergantung Pada keadaan sekitarnya (orang,
lingkungan atau suasana saat itu) Apakah mendukung atau
mendorong dan juga tergantung pada Pengalamannya dalam
menghadapi masalah tersebut (Yosep, 2007).
6) Stress berat
Tekanan stress yang timbul bersamaan dan atau berturut-turut,
Bisa menyebabkan berkurangnya/hilangnya daya tahan
terhadap Stress. Contohnya kasus seseorang yang baru saja
mengalami Perceraian kemudian harus juga kehilangan anak,
baik karena Anaknya meninggal atau diputus secara paksa,
mengakibatkan Daya tahan dirinya dalam menghadapi masalah
menjadi lebih Rentan (Yosep, 2007).
2.4.4 Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa
1. Gangguan kognitif
Adalah suatu proses mental dimana seseorang individu menyadari dan
mempertahankan hubungan dengan lingkungannya, baik lingkungan
dalam maupun lingkungan luar (fungsi mengenal)
2. Gangguan perhatian
Perhatian adalah pemusatan dan konsentrasi energi, menilai dalam
suatu proses kognitif yang timbul dari luar akibat suatu rangsangan.
3. Gangguan ingatan
Ingatan (kenagan, memori) adalah kesanggupan untuk mencatat,
menyimpan, memproduksi isi, dan tanda-tanda kesadaran.
4. Gangguan asosiasi
Asosiasi adalah proses mental yang dengannya suatu perasaan, kesan,
atau gambaran ingatan cenderung untuk menimbulkan Kesan atau
gambaran ingatan respons/konsep lain, yang Sebelumnya berkaitan
dengannya.
5. Gangguan pertimbangan
Pertimbangan (penilaian) adalah suatu proses mental untuk
membandingkan/menilai beberapa pilihan dalam suatu kerangka kerja
dengan memberikan nilai-nilai untuk memutuskan maksud dan tujuan
dari suatu aktivitas.
6. Gangguan pikiran
Pikiran umum adalah meletakkan hubungan antara berbagai bagian
dan pengetahuan seseorang.
7. Gangguan kesadaran
Kesadaran adalah kemampuan seseorang untuk mengadakan hubungan
dengan lingkungan, serta dirinya melalui panca indera dan
mengadakan pembatasan terhadap lingkungan serta dirinya Sendiri.
8. Gangguan kemauan
Kemauan adalah suatu proses dimana keinginan-keinginan
dipertimbangkan yang kemudian diputuskan untuk diputuskan Untuk
dilaksanakan sampai mencapai tujuan.
9. Gangguan emosi dan afek
Emosi adalah suatu pengalaman yang sadar dan memberikan pengaruh
pada aktivitas tubuh serta menghasilkan sensasi organik dan kinetis.
Afek adalah kehidupan perasaan atau nada perasaan emosional
seseorang, menyenangkan atau tidak, yang menyertai suatu pikiran,
bisa berlangsung lama dan jarang disertai kompones fisiologis.
10. Gangguan psikomotor
Psikomotor adalah gerakan tubuh yang dipengaruhi oleh keadaan Jiwa.
2.4.5 Jenis Gangguan jiwa
1. Skizofrenia
Kelainan jiwa ini terutama menunjukan gangguan dalam fungsi kognitif
(pikiran) berupa disorganisasi. Jadi, gangguannya ialah mengenai
pembentukan arus serta isi pikiran. Disamping itu, juga ditemukan gejala
gangguan persepsi, wawasan diri, prasaan dan keinginan.
2. Depresi
Depresi adalah salah satu bentuk gangguan niwa pada alam perasaan
(afektif atau mood), yang ditandai dengan kemurungan, kelesuan, tidak
bergairah, perasaan tidak berguna, putus asa dan sebagainya.
3. Cemas
Gejala kecemasan, baik akut maupun kronis, merupakan kompones utama
bagi semua gangguan psikiatri. Sebagian dari komponen kecemasan itu
menjelma dalam bentuk panik, fobia, obsesi kompulsi, dan sebagainya.
4. Bunuh diri
Keadaan ini merupakan indikator kegagalan orang tua dirumah, orang tua
disekolah, dan orang tua di masyarakat dalam membekali Anak-anak
untuk mengatasi kesulitan hidupnya. Angka bunuh diri Disuatu
masyarakat akan meningkat berkaitan dengan Pertambahan penduduk
yang cepat, krisis multidimensi termasuk Kesulitan ekonomi, dan
pelayanan kesehatan.
2.4.6 Penatalaksanaan Gangguan Jiwa
1. Terapi Farmakologi
Golongan obat yang biasa dipakai dalam penyembuhan pasien gangguan
jiwa yaitu chlorpromazine, dengan nama dagang thorazine, merupakan
obat pertama yang berhasil menghilangkan gejala-gejala para pasien
gangguan jiwa yang dirawat di rumah Sakit. Obat-obatan antipsikotik
laininya yang mengikuti thorazine Pada masanya disebut obat-obatan
antipsikotik generasi pertama atau major tranquilizers. Mereka termasuk
dalam kategori obatobatan yang disebut neuroleptics (neuroleptik).
Neuroleptik adalah obat yang melakukan pekerjaannya dalam otak.
Beberapa obat generasi pertama antipsikotik yaitu chlorpromazine,
haloperidol, thioridazine, thrifluoperazine, perphenazine, fluphenazine.
Efek yang ditimbulkan dari obat-obatan ini adalah obat-obat tersebut tidak
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap orang-orang yang tidak
memiliki penyakit mental; sebuah fakta membuktikan bahwa otak orang
sakit berbeda dengan orang sehat. Obat-obatan yang diberikan secara dini
akan membantu pasien untuk menghilangkan sebagian dari gejala-
gejalanya yang terburuk, seperti delusi dan halusinasi. Namun, ada gejala
lain yang tidak dapat diatasi oleh obat-obatan ini. Mereka tidak
mengembalikan kepribadian pasien, juga tidak menghilangkan gejala-
gejala negative. Gejala negative seperti kekurangan energy, penarikan diri
dari pergaulan dan kekurangan emosi.Obat-obatan yang mengatur tingkat
neurotransmitter dalam otak yaitu dopamine dan serotonin yang berarti
mereka merupakan pembawa pesan dalam otak anda. Obat-obatan lama
bekerja dengan cara mengganggu dopamine. Obat-obatan baru bekerja
pada serotonin maupun dopamine (Temes, 2004)
2. Rehabilitasi
Rehabilitasi mampu menstabilkan lingkungan. Rehabilitasi terjadi ketika
anada dapat mengidentifikasim dan menggunkan sumber daya dalam
komunitas. Dukungan yang baik akan mengurangi tingkat stress, juga
mengurangi kemungkinan kekambuhan atau menjadi sakit kembali
(Temes 2004). Rehabilitasi sebaiknya dimulai saat diagnosis ditegakkan
dan terapi dimulai. Pada saat setelah selesai pengobatan, karena pasien
diperkirakan akan dikembalikan ke masyarakat. Agae pengendalian dapat
berjalan lancer, sebaiknya persiapan pengembalian pasien diusahakan
sedini mungkin, jangn menunggu sampai pasien selesai terapi.Prasangka
terhadap bekas pasien merupakan suatu penghalang utama untuk
merehabilitasinya. Karena itu baik keluarga maupun lingkungan dekat
pasien sebaiknya dilibatkan dalam persiapan ini.Hal ini berlaku juga dalam
lingkungan kerja pasien. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam
rehabilitasi yaitu:
a. Penciptaan lingkungan terapreutik dilingkungan rumah sakit
jiwa.
b. Perlu diciptakan tempat peralihan dalam masyarakat.
c. Penciptaan usaha rehabilitasi kejujuran atau vokasional.
d. Tempat penampungan khusus.
e. Rumah sakit sebaiknya berdekatan dengan rumah pasien.
f. Tanggung jawab dokter ahli jiwa besrta stafnya tidak terbatas
pada fasilitas rumah sakit saja.
g. Perlu dijalin hubungan akrab dengan badan social dalam
masyarakat.
h. Penyelenggaraan program pendidikan kesehatan jiwa dan
konsultasi kesehatan jiwa bagi tenaga badan social (Suliswati
dkk, 2005)
BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 KERANGKA KONSEP


Adapun kerangka konsep berjudul Hubungan Dukungan Keluarga dengan
Kepatuhan Minum Obat Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) Di
Wilayah Puskesmas Rewarangga Kabupaten Ende adalah sebagai berikut:

3.2 HIPOTESA
Ha: ada hubungan dukungan keluarga gengan kepatuhan minum obat pada
orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di wilayah Puskesmas Rewarangga
Kabupaten Ende
Ho: tidak ada hubungan dukungan keluarga gengan kepatuhan minum obat
pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di wilayah Puskesmas
Rewarangga Kabupaten Ende

Anda mungkin juga menyukai