Makalh Materi Kommas

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 8

1.

1 TEORI SPIRAL KEHENINGAN


Spiral Keheningan merupakan salah satu teori komunikasi massa. Teori spiral keheningan ini biasa disebut
sebagai ‘Spiral of Silence Theory’ atau ‘Teori Spiral Kesunyian. Secara bahasa, teori spiral keheningan
diambil dari kata ‘Spiral’ yang berarti suatu perputaran lingkaran dan ‘Keheningan’ yang berarti sunyi.
Sebenarnya, teori ini merupakan salah satu dari teori komunikasi politik.
Dalam ilmu komunikasi, teori keheningan adalah salah satu dari teori komunikasi massa di mana seseorang
memiliki opini dari berbagai isu namun terdapat keraguan dan ketakutan untuk memberikan opininya
karena merasa terisolasi, sehingga opini tidak bersifat terbuka alias tertutup.
Dengan adanya isolasi akan opini setiap individu, maka orang tersebut mencoba mencari dukungan yang
memihak pada opininya tersebut. Hal ini menyebabkan orang tersebut menjadi mayoritas yang awalnya
hanya minoritas atau terkucilkan akan opininya. Kebanyakan orang mencari dukungan akan opininya
tersebut melalui media massa atau mendekati orang yang sekiranya berpengaruh dalam kemasyarakatannya
seperti seorang tokoh masyarakat atau public figure.
Akan tetapi, jika opini belum mendapatkan dukungan, maka orang tersebut akan berkomunikasi dengan
menggunakan Spiral keheningan yang mana ia menyembunyikan opininya dan mau tidak mau menerima
opini yang mayoritas.
Sejarah Teori Keheningan
Teori spiral keheingan ini telah dikembangkan oleh Elisabeth Noelle Neumann (1973, 1980) yang
merupakan seorang sosiolog, pakar politik, dan jurnalis Nazi Jerman yang membenci Yahudi dan
mendukung Hitler. Dalam pendapatnya, Neumman menjelaskan bahwa teori spiral keheningan merupakan
upaya untuk menjelaskan opini public dibentuk dan teori ini hanya befokus pada opini publik semata.
Bahwa banyak dari populasi menyesuaikan prilakunya pada arah media teori ini telah dinyatakan sebagai
dasar yang penting dalam memelajari kondisi manusia (Neumman, 1993).
Teori ini didapatkan dan terinspirasi ketika ia berada di lingkungan Nazi pada masa itu, yang mana banyak
orang yang merasa terisolasi opini-opininya ketika ia mereka ingin mengemukakan pendapat mereka.
Sehingga tidak salah jika banyak orang yang mengalami Spiral Keheningan ini mencari dukungan melalui
media massa. Hal itu terjadi karena media massa merupakan penyambung lidah masyarakat secara luas dan
umum. Ditambah lagi bahwa media merupakan suatu sarana komunikasi yang kebanyakan berpihak pada
kiri.
Dua Asumsi Mengenai Opini
Dalam teori spiral keheningan, tidak selalu mengalami keminoritasan, teori tersebut bisa saja terjadi
mayoritas ketika ia mendapat dukungan dari media yang mana media menonjolkan sudut pandang tertentu
dengan kesesuaian opini pada suatu topik. Namun, media pun tidak sembarangan mendukung suatu opini,
mereka melihat opini tersebut layak untuk didukung atau tidak.
Teori ini pun sebenarnya masih merujuk pada disiplin ilmu sosiopsikologi karena tentang situasi
kemasyarakatan dan faktor kejiwaan manusia. Hal ini sangat menarik bagi masyarakat karena terdapat
penyetaraan sosial. Karena pada dasarnya seseorang pada umumnya selalu menghindari dari keterpurukan
dan keterasingan dalam bermasyarakat.
Teori spiral keheningan ini pada hakikatnya tergantung pada opini yang dipikirkan dan diharapkan dari
seseorang. Teori ini pun hanya terdapat dua asumsi yaitu opini yang diterima atau opini yang tidak diterima
oleh masyarakat. Dan asumsi yang kedua yaitu menyesuaikan diri dengan persepsi yang ada pada suatu
opini.
Saverin dan Tankard (2001) pernah berpendapat bahwa manusia dianggap memiliki indera semi statistik
(quasi-statistical sense) yang digunakan untuk menentukan opini dan cara perilaku mana yang disetujui
atau tidak disetujui oleh lingkungan mereka, serta opini dan bentuk perilaku mana yang memperoleh atau
kehilangan kekuatan. Opini pun tidak harus disampaikan secara lisan, bisa melalui tanda dengan cara
menempel stiker di berbagai tempat atau memasang pamphlet tentang opini kita melalui suatu karya.
Karena dalam penyampaian opini terdapat berbagai cara.
Seperti apa yang dikatakan oleh Littlejohn (1996), “Kita berani melakukan itu karena kita yakin bahwa
orang lain pun dapat menerima pendapat kita
Opini dan Masyarakat
Dalam menghadapi berbagai isu yang dianggap sebagai controversial atau pemecah kerukunan, maka akan
terbentuk kesan tentang opini tersebut. Masyarakat mencoba menentukan opini tersebut bersifat mayoritas
atau tidak, dan sejalan dengan mereka atau tidak.
Jika opini mayoritas itu tidak berjalan sesuai dengan masyarakat, maka masyarakat lebih memilih diam dan
berada di kalangan minoritas. Padahal, semakin lama masyarakat diam, maka semakin banyak sudut
pandang yang terpendang, dan mereka akan semakin lama diam juga.
Pada hakikatnya spiral keheningan ini muncul karfena adanya pengucilan terhadap kaum minoritas.
Littlejohn (1996) menyampaikan bahwa Neumann mengatakan “mengikuti arus memang relatif
menyenangkan, tapi itupun bila mungkin, karena anda tidak bersedia menerima apa yang tampak sebagai
pendapat yang diterima umum, paling tidak anda dapat berdiam diri, supaya orang lain dapat menerima
anda.”
Neumman telah berusaha merumuskan hubungan antara media massa dengan pembentukan opini publik
yang terjadi. Bahkan hingga kini banyak mahasiswa menggunakan teori ini dalam meneliti tentang
pengantar ilmu komunikasi massa. Dan banyak yang menyimpulkan bahwa kelompok minoritas ini perlu
menyembunyikan opininya dari kelompok mayoritas.
Masyarakat tentunya tidak ingin merasa dikucilkan atau diasingkan dalam suatu kelompok, mereka ingin
bergaul besama yang lainnya. Mereka tidak ingin sendiri walaupun mereka tetap berkeyakinan tinggi.
Dengan demikian, maka masyarakat akan mempelajari berbagai pandangan masyarakat di lingkungannya,
mencari mana opini mana yang popular dalam lingkungan tersebut.
Namun, karena adanya keterbatasan waktu, maka kebanyakan masyarakat lebih menerima opini yang tidak
didukung oleh media massa hingga mereka merasa terisolasi ketika ingin eksplore opininya ke depan
umum. Padahal opini minoritas pun lama kelamaan juga akan menjadi opini yang mayoritas.
Hubungan Media dan Opini
Sebagian besar masayakarat sulit membedakan dan menyangkal pengaruh media terhadap pandangan
seseorang, walaupun opini publik sebenarnya merupakan pandangan pribadi. Hal ini disebabkan karena
adanya individu yang ‘tidak berdaya’ di hadapan media yang dikarenakan dua alasan, di antaranya:
• Sulitnya mendapatkan publisitas suatu sudut pandang, dan
• Fitnah dari media yang disebut sebagai pillory function 9fungsi pasungan)
Media yang pada umumnya menonjolkan suatu opini membuat masyarakat sulit untuk membedakan antara
pandangan yang diperoleh dari media dengan pandangan yang diperoleh dari sumber lain selain media.
Neolle-Neumann (1973) mengemukakan bahwa spiral keheningan mengajak kita kembali kepada teori
media massa yang perkasa, yang mempengaruhi hampir setiap orang dengan cara yang sama.
Saverin dan Tankard (2001) menyampaikan tiga cara media massa dalam mendistribusikan opini publik, di
antaranya:
1) Media massa membentuk kesan tentang opini yang dominan.
2) Media masa membentuk kesan tentang opini mana yang sedang meningkat.
3) Media masa membentuk kesan tentang opini mana yang dapat disampaikan di muka umum tanpa
menjadi tersisih.

1.2 TEORI KEGUNAAN DAN KEPUASAN


Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kebutuhan menggunakan pendekatan ini berfokus terhadap audiens
member. Dimana teori ini mencoba menjelaskan tentang bagaimana audiens memilih media yang mereka
inginkan. Dimana mereka merupakan audiens / khalayak yang secara aktif memilih dan memiliki kebutuhan
dan keinginan yang berbeda – beda di dalam mengkonsumsi media.
Menurut para pendirinya, Elihu Katz, Jay G. Blumlerm, dan Michael Gurevitch, Teori Penggunaan dan
Pemenuhan Kebutuhan meneliti asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial, yang menimbulkan
harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain, yang membawa pada pola terpaan media yang
berlainan, dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain.
Pendekatan ini secara kontras membandingkan efek dari media dan bukan ‘apa yang media lakukan pada
pemirsanya’ (kritik akan teori jarum hipodermik, dimana pemirsa merupakan objek pasif yang hanya
menerima apa yang diberi media).
Sebagaimana yang diketahui, bahwa kebutuhan manusia yang memiliki motif yang berbeda – beda. Dengan
kata lain, setiap orang memiliki latar belakang, pengalaman, dan lingkungan yang berbeda. Perbedaan ini,
tentunya berpengaruh pula kepada pemilihan konsumsi akan sebuah media. Katz, Blumler, Gurevitch
mencoba merumuskan asumsi dasar dari teori ini, yaitu: Khalayak dianggap aktif, dimana penggunaan
media massa diasumsikan memiliki tujuan. Point kedua ialah, dalam proses komunikasi massa banyak
inisiatif yang mengaitkan pemuasan kebutuhan dengan pemilihan media terletak pada anggota khalayak.
Point ketiga, media massa harus bersaing dengan sumber – sumber lain untuk memuaskan kebutuhannya.
Dimana kebutuhannya ialah untuk memuaskan kebutuhan manusia, hal ini bergantung kepada khalayak
yang bersangkutan. Point keempat, banyak tujuan pemilih media massa disimpulkan dari data yang
diberikan anggota khalayak. Point kelima, Nilai pertimbangan seputar keperluan audiens tentang media
secara spesifik.
Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kepuasan dapat dilihat sebagai kecenderungan yang lebih luas oleh
peneliti media yang membuka ruang untuk umpan balik dan penerjemahan prilaku yang lebih beragam.[1]
Namun, beberapa komentar berargumentasi bahwa pemenuhan kepuasan seharusnya dapat dilihat sebagai
efek, contohnya film horror secara umum menghasilkan respon yang sama pada pemirsanya, lagipula
banyak orang sebenarnya telah menghabiskan waktu di depan TV lebih banyak daripada yang mereka
rencanakan. Menonton TV telah membentuk opini apa yang dibutuhkan pemirsa dan membentuk harapan-
harapan.
Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kepuasan pada awalnya muncul pada tahun 1940-an dan mengalami
kemunculan kembali dan penguatan pada tahun 1970-an dan 1980-an. Para teoretis pendukung Teori
Penggunaan dan Pemenuhan Kepuasan berargumentasi bahwa kebutuhan manusialah yang memengaruhi
bagaimana mereka menggunakan dan merespon saluran media. Dikutip McQuail, Zilman menunjukkan
pengaruh mood seseorang saat memilih media yang akan ia gunakan, pada saat seseorang merasa bosan
maka ia akan memilih isi yang lebih menarik dan menegangkan dan pada saat seseorang merasa tertekan ia
akan memilih isi yang lebih menenangkan dan ringan. Program TV yang sama bisa jadi berbeda saat harus
kepuasan pada kebutuhan yang berbeda untuk individu yang berbeda. Kebutuhan yang berbeda
diasosiasikan dengan kepribadian seseorang, tahap-tahap kedewasaannya, latar belakang, dan peranan
sosialnya. Sebagai contoh, menurut Judith Van Evra. anak-anak secara khusus lebih menyukai untuk
menonton TV untuk mencari informasi dan disaat yang sama lebih mudah dipengaruhi.
Konsep Teori Used and Gratification
Teori used and gratification (teori penggunaan dan kepuasan) menjadi penting dalam studi komunikasi
massa. Teori ini menggagas pemikiran bahwa individu menyebabkan audiensi mencari, menggunakan dan
memberikan tanggapan terhadap isi media secara berbeda-beda yang disebabkan berbagai faktor sosial dan
psikologis yang berbeda di antara individu audiensi.
Teori used and gratification memiliki fokus perhatian pada audiensi sebagai konsumen media massa dan
bukan pada pesan yang disampaikan. Teori ini menilai bahwa audiensi dalam menggunakan media
berorientasi pada tujuan, bersifat aktif sekaligus diskriminatif.
Audiensi dinilai paham mengenai kebutuhan mereka serta bertanggung jawab terhadap pilihan media yang
dapat memenuhi kebutuhan mereka.
Teori ini menjelaskan mengenai waktu dan bagimana audiensi sebagai konsumen media menjadi lebih aktif
atau kurang aktif dalam menggunakan media. Serta akibat atau konsekuensi dari penggunaan media
tersebut.
Teori used and gratification dinilai sebagai partisipan yang aktif dalam proses komunikasi, tetapi tingkat
keaktifan setiap individu tidaklah sama. Penggunaan media didorong oleh adanya kebutuhan dan tujuan
yang ditentukan oleh penggunanya.
Teori ini juga menjelaskan mengenai kapan dan bagaimana pengguna sebagai konsumen media menjadi
lebih aktif atau kurang aktif dalam menggunakan media tersebut. serta akibat atau konsekuensi jika
menggunakan media yang dipilih.
Relevansi Teori Kegunaan dan Pemenuhan Kepuasan
Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kepuasan memiliki relevansi tinggi saat digunakan untuk menentukan
hal-hal sebagai berikut:
a) Pemilihan musik sesuai selera. Saat memilih musik kita tidak hanya mengandalkan mood tertentu,
tetapi juga berusaha untuk menunjukkan jati diri dan kesadaran sosial lainnya. Banyak jenis musik
yang dapat dipilih dan pilihan kita menunjukkan kebutuhan tertentu yang spesifik.
b) Penerimaan akan media-media baru (seperti internet) dan penggunaan media-media lama, bahkan
dengan adanya media baru pengganti. Inovasi diadopsi saat media baru pengganti memiliki dan
dapat menggantikan fungsi-fungsi media lama tradisional. Contohnya, alat komunikasi pager yang
tergantikan dengan telepon seluler. Atau media TV yang tetap tidak tergantikan oleh telepon seluler
walaupun telepon seluler kini dapat berfungsi seperti TV. Di lain pihak pengguna lama mulai
menggunakan internet dan terpaksa mempelajarinya saat ada informasi-informasi yang disalurkan
hanya dapat dilihat melalui internet. Contohnya. seperti media berita detik.com yang memberitakan
saat kerusuhan Tahun 1998. Koran lebih lambat dalam penyampaian beritanya dan TV terlalu
seragam penayangannya, sementara media berita detik.com menawarkan berita yang lebih spesifik,
dituangkan tertulis, dan dapat diulang.
Teori penggunaan dan kepuasan” atau uses and gratification theory disebut-sebut sebagai salah satu teori
paling populer dalam studi komunikasi massa. Teori ini mengajukan gagasan bahwa perbedaan individu
menyebabkan audiensi mencari, menggunakan dan memberikan tanggapan terhadap isi media secara
berbeda-beda yang disebabkan berbagai faktor sosial dan psikologis yang berbeda di antara individu
audiensi. Teori penggunaan dan kepuasan memfokuskan perhatian pada audiensi sebagai konsumen media
massa, dan bukan pada pesan yang disampaikan. Teori ini menilai bahwa audiensi dalam menggunakan
media berorientasi pada tujuan, bersifat aktif sekaligus diskriminatif. Audiensi dinilai mengetahui
kebutuhan mereka dan mengetahui serta bertanggung jawab terhadap pilihan media yang dapat memenuhi
kebutuhan mereka tersebut. (Morissan, 2013, p.508)
Teori penggunaan dan kepuasan menjelaskan mengenai kapan dan bagaimana audiensi sebagai konsumen
media menjadi lebih aktif atau kurang aktif dalam menggunakan media dan akibat atau konsekuensi dari
penggunaan media itu. Dalam perspektif teori penggunaan dan kepuasan audiensi dipandang sebagai
partisipan yang aktif dalam proses komunikasi, namun tingkat keaktifan setiap individu tidaklah sama.
Penggunaan media didorong oleh adanya kebutuhan dan tujuan yang ditentukan oleh audiensi sendiri, teori
penggunaan dan kepuasan menjelaskan mengenai kapan dan bagaimana audiensi sebagai konsumen media
menjadi lebih aktif atau kurang aktif menggunakan media dan akibat atau konsekuensi dari penggunaan
media itu. (Morissan, 2013, p.509)
Menurut para pendirinya, Elihu Katz, Jay G Blumer, dan Michael Gurevittch, uses and gratification meneliti
asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial, yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa
atau sumber- sumber lain, yang membawa pada pola terpaan media yang berlainan (atau keterlibatan pada
kegiatan lain), dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain, barangkali termasuk juga
yang tidak diinginkan. Mereka juga merumuskan asumsi-asumsi dasar dari teori ini (Blumler dan Katz,
1974, p.22) :

 Khalayak dianggap aktif; artinya, sebagian penting dari penggunaan media massa diasumsikan
mempunyai tujuan;
 Dalam proses komunikasi massa banyak inisiatif, untuk mengaitkan pemuasan kebutuhan dengan
pemilihan media terletak pada anggota khalayak;
 Media massa harus bersaing dengan sumber-sumber lain untuk memuaskan kebutuhannya.
Kebutuhan yang dipenuhi hanyalah bagian dari rentangan kebutuhan manusia yang lebih luas;
bagaimana kebutuhan ini terpenuhi melalui konsumsi media amat bergantung kepada perilaku
khalayak yang bersangkutan.
 Banyak tujuan pemilih media massa disimpulkan dari data yang diberikan anggota khalayak;
artinya, orang dianggap cukup mengerti untuk melaporkan kepentingan dan motif pada situasi-
situasi tertentu.
 Penilaian tentang arti kultural dari media massa harus ditangguhkan sebelum diteliti lebih dahulu
orientasi khalahyaknya (Rakhmat, 2011, p.203)
Model uses and gratification memandang individu sebagai makhluk suprarasional dan sangat selektif. Ini
memang mengundang kritik. Akan tetapi, yang jelas, dalam model ini perhatian bergeser dari proses
pengirim pesan ke proses penerimaan pesan.
Teori Uses and Gratifications adalah khalayak yang pada dasarnya menggunakan media massa berdasarkan
motif-motif tertentu. Media dianggap berusaha memenuhi motif khalayak. Jika motif terpenuhi maka
kebutuhan khalayak akan terpenuhi. Pada akhirnya, media memeuhi kebutuhan khalayak disebut media
efektif. (Kriyantono, 2009, p. 207-208)

1.3 AGENDA SETTING


Secara etimologis, konsep agenda setting dapat dipahami sebagai penetapan atau penyusunan
agenda/peristiwa/kegiatan. Hal ini sejalan dengan agenda atau pengaturan kondisi yang disampaikan oleh
beberapa pakar komunikasi Indonesia.
Agenda Setting Menurut McCombs dan Shaw, “media massa memiliki kemampuan untuk menggeser
agenda berita mereka ke dalam agenda publik” (Griffin, 2010). Pemahaman ini menjelaskan bahwa media
massa memiliki kekuatan untuk mempengaruhi bahkan membentuk cara berpikir masyarakat yang terpapar
informasi. McCombs dan Shaw lebih lanjut menjelaskan bahwa media memiliki kemampuan untuk
membuat orang menilai sesuatu yang penting berdasarkan apa yang dikatakan media, dengan kata lain, kita
menghargai apa yang dianggap penting oleh media.
Kedua peneliti itu juga menekankan bahwa ini tidak berarti bahwa mereka menyalahkan. Sehingga media
selalu secara sadar mempengaruhi publik dengan informasi dan berita yang disampaikan melalui media dan
memiliki tujuan tertentu.
Teori Agenda Setting adalah teori bahwa media adalah pusat penegakan kebenaran, yang mampu
mengangkat dua elemen, yaitu kesadaran dan pengetahuan, ke dalam agenda publik. Hal ini dilakukan
dengan meningkatkan kesadaran publik dan mengarahkan perhatian pada isu-isu yang dianggap penting
oleh media.
Apa yang disampaikan oleh media massa tentunya berpedoman pada kaidah jurnalistik yang berlaku,
apalagi ada jurnalis di media massa yang mengolah dan menyampaikan informasi sesuai dengan prinsip
jurnalistiknya. Namun dalam hal ini McCombs dan Shaw menjelaskan bahwa apa yang diberitakan di media
dianggap penting dan harus diperhatikan oleh masyarakat luas.
Media tidak mempengaruhi pikiran orang dengan memberi tahu mereka apa yang harus dipikirkan dan ide
atau nilai apa yang mereka miliki, tetapi dengan memberi tahu mereka masalah dan isu apa yang harus
dipikirkan. Masyarakat umum cenderung memutuskan bahwa apa yang disiarkan melalui media massa
benar-benar layak untuk diketahui masyarakat luas dan dipublikasikan.
Menurut Bernard C. Cohen, teori agenda setting adalah teori bahwa media adalah pusat penentuan fakta
di mana media dapat mengangkat dua elemen kesadaran dan pengetahuan dalam agenda publik
mengarahkan kesadaran dan perhatian publik terhadap isu-isu apa yang dianggap penting oleh publik. Dia
berpendapat bahwa “sebagian besar dari waktu yang telah lewat, jurnalisme mungkin tidak berhasil
berbicara kepada orang-orang yang berpikir, tetapi berhasil membuat pemirsa masuk ke dalam pemikiran
mereka.” (Baran dan Dennis, 2007:13), Stephan W. Littlejohn dan Karen A. Foss berpendapat bahwa teori
agenda setting adalah teori bahwa media menciptakan citra atau tema penting dalam pikiran. Sebab, media
harus selektif dalam pemberitaannya. Saluran berita sebagai penjaga gerbang informasi membuat pilihan
tentang apa yang harus dilaporkan dan bagaimana caranya.
Apa yang diketahui publik pada waktu tertentu adalah hasil dari media gating (Littlejohn dan Foss,
2009:16).d) Syukur Kholil mengutip pendapat Samsudin A. Rahim berpendapat bahwa agenda setting
adalah peran media, yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi opini dan perilaku publik dengan
menetapkan agenda untuk apa yang dianggap penting (Kholil, 2007:36).
Berdasarkan definisi di atas, dapat dikemukakan bahwa teori agenda setting ingin menjelaskan tentang
peran besar media massa dalam menentukan agenda orang-orang yang terpapar informasi.
Publik terbiasa dengan berita yang disampaikan oleh media massa, sehingga menjadi topik pembicaraan
dalam komunikasi sehari-hari. Berita atau informasi yang disampaikan oleh media massa bukan hanya
ilmu atau informasi bagi masyarakat, tetapi bahkan dapat mengubah gaya hidup, perilaku atau sikap
masyarakat.
Prinsip Dasar Teori Agenda Setting
Prinsip dasar dari teori Agenda-setting adalah bahwa ketika media menekan suatu peristiwa, media
mempengaruhi publik untuk melihat peristiwa itu sebagai penting. Sederhananya, apa yang dianggap
penting oleh media, juga dianggap penting oleh publik. Wasis Sarjono menulis dalam bukunya Komunikasi
Penyuluhan Pembangunan (2017) bahwa teori agenda setting mengasumsikan bahwa media memiliki
pengaruh yang sangat kuat, terutama karena asumsi tersebut terkait dengan pembelajaran dan bukan untuk
mengubah sikap dan pendapat. Ada dua asumsi dasar dalam teori agenda, yaitu:

 Jurnalisme dan media massa tidak mencerminkan realitas, tetapi menyaring dan membentuk isu.
 Media massa menawarkan banyak topik dan lebih menekankan pada topik tertentu, yang pada
gilirannya memungkinkan audiens untuk menentukan topik mana yang lebih penting daripada yang
lain.
Setiap media memiliki potensinya sendiri untuk membentuk dan mengembangkan agendanya sendiri. Pada
dasarnya, kunci dari teori agenda adalah menentukan peran suatu isu atau peristiwa dalam proses gating.
Media cenderung membentuk persepsi publik dengan memberikan bagian pada setiap isu. Misalnya,
menyoroti masalah. Penonjolan tersebut menunjukkan adanya perbedaan perhatian yang kemudian
mempengaruhi persepsi (pengetahuan dan citra) terhadap peristiwa atau subjek di mata publik.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa teori agenda-setting bersifat unik karena mendukung dua asumsi
dasar yang menarik. Pertama, teori ini dengan jelas menyatakan bahwa media massa memiliki kekuatan
untuk mempengaruhi dan membentuk persepsi masyarakat. Di sisi lain, teori ini juga mendukung hipotesis
bahwa pada akhirnya segala sesuatu kembali kepada individu, di mana ia bebas memilih apa yang ingin
diterimanya.
Jenis-Jenis Agenda Setting
Mengutip Alvernia University, ada tiga jenis, yakni:

 Agenda setting publik: ketika masyarakat menentukan agenda cerita mana yang dianggap penting.
 Agenda setting media: ketika media menentukan agenda cerita mana yang dianggap penting.
 Agenda setting kebijakan: ketika agenda publik dan media memengaruhi keputusan pembuat
kebijakan publik.
Faktor Penentu Agenda Setting
Sebelum media mempublikasikan sebuah berita, biasanya akan gatekeeping yang dipakai demi menyaring
kumpulan informasi.
a) Gatekeeping
Menurut Lumen, gatekeeping adalah serangkaian checkpoint yang harus dilalui berita sebelum muncul di
masyarakat. Melalui proses ini, ada pihak yang memutuskan apakah sebuah kisah harus dilihat dan
didengarkan masyarakat. Gatekeeping juga bertujuan untuk menjaga kedamaian dan stabilitas publik.
Gatekeeper bertugas dan memiliki kendali atas pilihan konten yang didiskusikan di media. Gatekeeper
biasanya adalah reporter, penulis, dan editor.
Lebih lanjut, melansir Communication Theory, beberapa faktor lain yang turut menentukan agenda setting
adalah:

 Manajer dan pengaruh eksternal lain


 Sumber nonmedia seperti pemerintah, pakar, dan orang berpengaruh
Penerapan Teori Agenda Setting
Penerapan pertama teori agenda setting untuk mempelajari perubahan sikap pemilih selama kampanye
presiden Amerika pada tahun 1968 menghasilkan hasil penelitian yang berbeda dari teori sebelumnya
tentang pengaruh media terbatas. Dengan kata lain, menurut teori agenda, media memiliki kekuatan untuk
menarik perhatian dan mempengaruhi publik terhadap suatu isu. Beroperasinya teori ini didasarkan pada
kenyataan bahwa media sangat selektif dalam meliput berita yang menarik khalayak baik dari segi nilai
berita maupun nilai jualnya. Jadi model agenda ini mengasumsikan adanya hubungan positif antara
penilaian media terhadap isu tersebut dan perhatian publik terhadap isu yang sama (Rakhmat, 1993:68).
Berdasarkan teori agenda, liputan media positif dan negatif tentang kandidat selama kampanye massa
sangat menentukan nasib seorang kandidat dalam sebuah pemilihan. Dengan demikian, timbul anggapan
bahwa “mengendalikan media berarti menguasai publik” atau “mengendalikan media berarti menguasai
massa (politik)”. Jauh sebelum McCombs dan Shaw memperkenalkan teori agenda, Bernard Cohen
berpendapat bahwa “pers lebih dari sekadar penyedia informasi dan opini, mereka (media) mungkin tidak
dapat memberi tahu orang apa yang harus dipikirkan, tetapi memang demikian. Dunia tampaknya berbeda
untuk orang yang berbeda tidak hanya menurut visi pribadi mereka tetapi juga menurut peta yang diberikan
kepada mereka oleh media (Stanley dan Dennis, 2007: 37).

Anda mungkin juga menyukai