Proposal Penelitian Rusa
Proposal Penelitian Rusa
Proposal Penelitian Rusa
Oleh:
KELOMPOK 6
Farah Fadlilah (20/461992/KT/09375)
Irfani Inas Andyna Putri P. (20/462004/KT/09387)
Muhammad Daffa Rizka Ramadhan (20/462021/KT/09404)
Tegar Pradita Putra (20/462062/KT/09445)
Wahyu Dwi Arifiyani (20/462068/KT/09451)
FAKULTAS KEHUTANAN
YOGYAKARTA
2022
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….i
BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………………………….1
2.1.1 Klasifikasi…………………………………………………………………………….
2.1.2 Morfologi…………………………………………………………………………….
2.1.3 Perilaku………………………………………………………………………………..
2.2 Persebaran……………………………………………………………………………….
2.3 Habitat………………………………………………………………………………….
2.3.1 Pakan…………………………………………………………………………………..
2.3.2 Air……………………………………………………………………………………..
2.3.3 Pelindung………………………………………………………………………………..
2.3.4 Ruang………………………………………………………………………………..
i
2.3.4.2 Ketinggian………………………………………………………………………………..
2.3.4.3 Kelerengan………………………………………………………………………………..
2.4 Restorasi………………………………………………………………………………..
3.2. Hipotesis
4.2.1 Alat………………………………………………………………………………..
4.2.2 Bahan………………………………………………………………………………..
4.3.2 Habitat
4.3.2.1 Pakan
b. Produktivitas Pakan
4.3.2.2 Pelindung
ii
c. Kepadatan Semak
d. Volume daun
4.3.2.3 Ruang
b. Ketinggian Lokasi
c. Kelerengan
d. Tutupan Substrat
4.3.2.4 Air
4.4.2 Habitat
4.4.2.1 Pakan
b. Produktivitas Pakan
4.4.2.2 Pelindung
c. Kepadatan Semak
d. Volume Daun
4.4.2.3 Ruang
iii
b. Ketinggian Lokasi
c. Kelerengan
d. Tutupan Substrat
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………..29
iii
BAB I
PENDAHULUAN
iv
Menurut Subeno (2008), sejak tahun 1999, telah direncanakan adanya introduksi
rusa jawa di Hutan Wanagama I, meskipun baru bisa direalisasikan pada tahun 2000.
Pada tahun 2000, upaya restorasi dilakukan dengan pelepasliaran 10 ekor rusa jawa di
Hutan Pendidikan Wanagama I (Setiawan, 2004). Pada tahun 2005, BKSDA DIY dan
Fakultas Kehutanan UGM melakukan pelepasliaran sebanyak 20 ekor Rusa Jawa
(Purnomo, 2009). Menurut Supraptomo (2006), rusa jawa di Hutan Pendidikan
Wanagama I mengalami perkembangbiakan secara alami sehingga sempat berjumlah
sekitar 37 ekor. Pada tahun 2019, jumlah rusa jawa tercatat sekitar 20 ekor (Na’iem
dkk., 2020). Hal ini menandakan bahwa populasi rusa jawa di Hutan Pendidikan
Wanagama I diduga mengalami penurunan.
Daya dukung habitat diperlukan agar keberlangsungan habitat rusa di suatu
kawasan tetap terjaga. Menurut Shawn (1985), ada 4 komponen habitat yang dapat
mengendalikan kehidupan satwa liar, komponen tersebut terdiri dari pakan, pelindung,
air, dan ruang. Restorasi rusa jawa dilakukan di Hutan Pendidikan Wanagama I yang
berupa hutan alam sekunder dari hasil suksesi dalam bentuk pelepasliaran satwa.
Menurut Purnomo dkk (2010), petak-petak di Hutan Wanagama I memiliki tipe vegetasi
yang dapat menggambarkan habitat dari rusa jawa. Vegetasi yang ada memiliki struktur
serta komposisi yang cocok sebagai tempat hidup sekaligus sumber makanan bagi rusa
tersebut. Berdasarkan hasil penelitian dari Purnomo dkk (2010), Hutan Pendidikan
Wanagama I memiliki kelimpahan vegetasi rumput sebagai pakan rusa, seperti
alang-alang dan bandotan. Terkait komponen air, Hutan Pendidikan Wanagama I
dilintasi oleh Sungai Oyo yang dapat dimanfaatkan oleh rusa jawa untuk dikonsumsi
(Ernawati, 2016). Pendidikan Wanagama I menjadi salah satu areal yang memiliki
peluang terbesar untuk dipilih rusa jawa sebagai habitat karena mampu menyediakan
makanan dan air yang cukup serta tempat berlindung. Hutan Pendidikan Wanagama I
memiliki luas sebesar 600 ha dengan kelerengan dan ditumbuhi lebih dari 65 jenis kayu
hutan dan ratusan herba (Grehenson, 2012). Kawasan Hutan Pendidikan Wanagama I
memiliki berbagai jenis tumbuhan dengan kerapatan tajuk yang berbeda-beda yang
mendukung rusa jawa dalam mencari pakan dan mencari naungan.
Penurunan jumlah populasi rusa Jawa di Hutan Pendidikan Wanagama I
disebabkan salah satunya karena adanya tekanan aktivitas manusia sehingga dapat
1
menyebabkan perubahan kualitas habitat rusa dalam kawasan. Perubahan kualitas
habitat ini dipengaruhi oleh perubahan pola tanam dan alih fungsi lahan. Perubahan pola
tanam disini dimaksudkan adanya kegiatan penanaman oleh salah satu korporasi dengan
intensitas tinggi yaitu total 110.000 pohon pada petak 6 dan 7. Tanaman yang ditanam
yaitu jati dan multipurpose spesies, seperti nangka, kemiri. Perubahan pola tanam yang
terjadi dapat berpotensi menggeser home range dari rusa jawa. Hal ini disebabkan
karena dengan pola tanam tersebut maka berpotensi menjadikan petak 6 dan 7 menjadi
kawasan dengan vegetasi yang rapat yang mana bagi rusa sendiri susah dalam
mendapatkan pakan. Meski begitu, dengan vegetasi yang rapat membuat petak 6 dan 7
dapat dimanfaatkan rusa sebagai tempat untuk bernaung. Adanya pembangunan secara
intensif yang terjadi Hutan Pendidikan Wanagama I, semakin berakibat pada
ketersediaan ruang bagi rusa jawa. Pembangunan ini seperti pembangunan asrama di
petak 5 lalu pembangun jalan beraspal dan jalan cor.
Selain itu, tekanan dari aktivitas masyarakat sekitar Wanagama berupa alih
fungsi lahan di dalam kawasan Hutan Pendidikan Wanagama I menjadi lahan pertanian
dapat mengancam ketersediaan ruang bagi rusa. Aktivitas masyarakat tersebut berakibat
adanya perbedaan pada petak-petak di Hutan Pendidikan Wanagama I dalam hal kondisi
vegetasi penyusunnya mulai dari area terbuka, hutan area agroforestri, hingga hutan
dengan permudaan alami (Kusumandari dkk., 2015). Ada beberapa komoditas tanaman
pertanian yang biasa ditanam oleh warga sekitar Hutan Pendidikan Wanagama I yaitu
padi, jagung, kacang tanah, ubi kayu, dan rumput kolonjono di sela tanaman pokok
(Atqiya, 2017). Menurut Dewi (2006) dalam Purnomo (2010), beberapa rusa jawa di
Hutan Pendidikan Wanagama I dianggap sebagai hewan yang merugikan lahan
pertanian mereka. Hal ini dikarenakan menurut penelitian yang dilakukan Dewi (2006),
rusa jawa juga memakan tanaman yang ditanam masyarakat seperti kacang tanah yang
mana bukan makanan alami bagi rusa jawa. Pemanfaatan lahan untuk pertanian oleh
masyarakat akan mengurangi jumlah jenis pakan yang tersedia, serta jumlah tutupan
tajuk sehingga berdampak terhadap komponen habitat lainnya yaitu pelindung bagi rusa
Jawa dari cuaca, predator, atau kondisi lain yang lebih baik dan menguntungkan
(Kusumandari dkk., 2015; Bismark, dkk 2011)
2
Pada aspek sosial ditinjau dari aktivitas masyarakat di dalam hutan
(McNaughton dan Wolf, 1992). Perlu adanya koordinasi yang baik antara pengelola
Wanagama dengan masyarakat sekitar terkait adanya restorasi rusa jawa. Koordinasi
tersebut dapat berupa Adanya aktivitas masyarakat di Hutan Pendidikan Wanagama I
membuat perlunya sosialisasi restorasi rusa jawa agar semua berlangsung dengan baik.
Menurut Rizal (2003), pelibatan masyarakat dalam upaya restorasi Rusa Jawa di Hutan
Pendidikan Wanagama I agar timbulnya perasaan memiliki dan tanggung jawab dalam
upaya konservasi (Rizal, 2003). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai
studi kelayakan restorasi rusa Jawa di Hutan Wanagama I dengan mempertimbangkan
aspek populasi, habitat, dan sosial.
3
4. Apakah Hutan Pendidikan Wanagama I masih layak untuk dijadikan kawasan
restorasi rusa jawa jika ditinjau dari aspek habitat?
5. Apakah Hutan Pendidikan Wanagama I masih layak untuk dijadikan kawasan
restorasi rusa jawa?
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
Gambar 1. Rusa Jawa Jantan (Maha dkk., 2021)
6
Hal ini sesuai dengan pernyataan Jacoeb dan Wiryosuhanto (1994) bahwa rusa
jawa jantan dewasa lebih aktif bergerak dibandingkan rusa jawa betina.
Rusa jawa melakukan perilaku istirahat di bawah pohon untuk
menghindari panas dari sinar matahari pada siang hari dan juga untuk menjaga
kestabilan tubuh (Subeno, 2007; Masy’ud dkk., 2007). Pada habitat aslinya, rusa
jawa termasuk satwa yang aktif pada malam hari, berbeda dengan rusa jawa
yang berada di penangkaran yang cenderung lebih aktif pada siang hari
(Hoogerwerf, 1970). Rusa juga kerap menggoreskan tanduk di pohon untuk
menandai daerah teritorinya (Sofyan dan Setiawan, 2018)
2.2. Persebaran
Rusa jawa merupakan spesies rusa yang tersebar di beberapa pulau di Indonesia
seperti jawa, Maluku, Sulawesi, Lombok, dan Bali (Afzalani dkk., 2008). Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Purnomo (2010), rusa jawa di Hutan Pendidikan
Wanagama memiliki pola pergerakan yang terbagi menjadi beberapa kelompok.
Kelompok pertama banyak beraktivitas di sekitar petak 5, kelompok kedua di daerah
sekitar Wonolagi dan Kemuning, serta kelompok ketiga di sekitar petak 14 dan 17.
2.3. Habitat
Habitat adalah suatu lingkungan dengan kondisi tertentu yang dapat mendukung
kehidupan suatu spesies secara normal (Mustafari dkk, 2013). Habitat berkualitas tinggi
dicirikan dengan kepadatan populasi mencapai puncak tertinggi, memiliki laju
rekrutmen individu usia muda lebih tinggi dan peluang hidup yang 1ebih tinggi
(Ostfield dkk.,1985). Setiap habitat satwa liar akan didukung oleh komponen biotik dan
abiotik yang disesuaikan dengan kebutuhan satwa liar tersebut. Menurut Shawn (1985),
komponen-komponen tersebut adalah kemampuan habitat dalam menyediakan pakan,
pelindung, air, dan ruang bagi satwa.
Rusa jawa memiliki insting alami untuk memilih habitat yang mampu untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun komponen habitat untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidup dari rusa adalah adanya pakan, air, pelindung, serta naungan
(Garsetiasih dan Mariana, 2007 dalam Saputra, 2021). Rusa umumnya hidup di tipe
7
vegetasi savana dan vegetasi hutan yang tidak terlalu rapat (Garsetiasih dan
Takandjandji, 2006). Menurut Alikodra (1990) rusa menyukai lokasi dengan tutupan
tajuk di atas 50% untuk tempat berlindung. Rusa jawa juga menjadikan struktur dan
komposisi vegetasi yang tinggi untuk tempat berlindung (Garsetiasih dan Mariana,
2007). Rusa jawa (Rusa timorensis) juga gemar hidup pada semak yang lebat. Semak
yang lebat ini digunakan rusa untuk bersembunyi dari intervensi (Drajat, 2002). Selain
itu, kawasan dengan banyak pohon rindang juga sangat disukai oleh rusa (Hoogerwerf,
1970). Rusa menggunakan pohon berdaun rindang ini untuk melindungi dirinya dari
sengatan sinar matahari.
Di dalam suatu habitat, satwa juga membutuhkan ruang yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan akan pakan, pelindung, air dan tempat untuk berkembangbiak.
Menurut Alikodra (1990), setiap individu rusa menggunakan 5-6 hektar lahan sebagai
wilayah jelajahnya. Rusa jawa (Rusa timorensis) dapat hidup pada berbagai ekosistem
dengan ekosistem mulai dari dataran rendah hingga kawasan dengan ketinggian 2600
meter di atas permukaan laut. Rusa ini juga menyukai wilayah dengan kelerengan yang
tidak terlalu tajam (Kayat, dkk., 2017). Selain itu, Jacoeb dan Wiryosuhanto (1994)
menyatakan bahwa suhu udara maksimum untuk rusa di Indonesia adalah 30°C dan
minimum 17,4°C.
Ketersediaan pakan pada suatu habitat merupakan salah satu aspek penting bagi
kehidupan rusa. 1 ekor rusa dapat menghabiskan 5,7 kg pakan (Sutrisno, 1993 dalam
Riyadi dkk., 2021). Menurut Asraf (1980) dalam Saputra (2021), rusa jawa merupakan
satwa pemakan rumput dan pucuk tumbuhan. Rusa ini menyukai alang-alang, rumput
waderan, kolonjono, daun jagung, lamtoro, dan daun gamal sebagai pakan. (Purnomo
dkk., 2010; Setiawan dkk., 2004). Selain makanan, rusa juga memerlukan air untuk
membantu proses metabolisme dalam dirinya. Dalam sehari, rusa dapat menghabiskan
4-7 liter air (Kii dan Dryden, 2005). Rusa juga memanfaatkan air untuk berkubang
(Rumakar dkk., 2019).
Jika dilihat dari aspek habitat tersebut, terdapat beberapa komponen dalam
habitat yang berpengaruh terhadap keberadaan dan kelangsungan hidup dari rusa jawa
pada suatu kawasan, yaitu pakan, air, pelindung, dan ruang.
8
2.3.1. Pakan
Pakan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap makhluk hidup sebagai
sumber energi utama bagi tubuh dalam melakukan setiap aktivitas, baik untuk
bergerak, berkembang biak, metabolisme, dan reproduksi. Kekurangan pakan
dapat membuat satwa menjadi lemah, pertumbuhan terganggu, dan rentan
terhadap penyakit maupun gangguan di sekitarnya yang dapat mengancam
keberadaan satwa tersebut. Rusa jawa bersifat grazer (pemakan rumput) dan
juga browser (pemakan pucuk tumbuhan) (Asraf, 1980 dalam Saputra, 2021).
Menurut Sutrisno (1993) dalam Riyadi dkk (2021), pakan yang dibutuhkan satu
individu rusa jawa rata-rata mencapai 5,7 kg per hari.
Adapun jenis-jenis pakan kesukaan rusa jawa menurut Purnomo dkk
(2010) ini seperti alang-alang (Imperata cylindrica) dan rumput waderan
(Ageratum conyzoides), kemudian menurut penelitian Setiawan H., dkk. (2004),
kolonjono (Brachiaria mutica), daun jagung (Zea mays), lamtoro (Leucaena
leucocephala), dan daun gamal (Gliricidea sepium) pun berpotensi tinggi
menjadi pakan rusa. Ditambahkan oleh Mutmainnah, dkk. (2021) bahwa rusa
jantan lebih menyukai kalamenta (Leersia hexandra) dan rusa betina adalah
suluran (Merremia peltata). Hutan Wanagama I memiliki kelimpahan vegetasi
rumput sebagai pakan rusa seperti alang-alang dan bandotan (Purnomo dkk.,
2010). Kebutuhan makan rusa kembali lagi kepada berat badan, jenis kelamin,
umur, dan aktivitasnya. Menurut Garsetiasih (2007), rusa membutuhkan 10%
dari berat badannya. Ketersediaan pakan rusa dipengaruhi faktor kepadatan
populasi, cuaca, kerusakan habitat, dan suksesi tumbuhan (Owen 1980;
Davidson & Doster 1997).
9
Gambar 3. Imperata cylindrica
10
Gambar 6. Zea mays
2.3.2. Air
Menurut Dradjat (2002), rusa merupakan satwa yang relatif tahan
terhadap kekeringan. Rusa jawa (Rusa timorensis) adalah salah satu jenis rusa
11
tropis yang mampu mengkonsumsi air dalam jumlah yang lebih sedikit daripada
jenis rusa yang lain (Geist, 1998). Rusa ini umumnya membutuhkan 4-7 liter air
setiap harinya (Kii dan Dryden, 2005). Selain untuk minum, rusa juga kerap
memanfaatkan air untuk berkubang (Rumakar dkk., 2019). Satwa termasuk rusa
jawa di Wanagama memanfaatkan Sungai Oyo sebagai sumber air (Ernawati,
2016). Sungai Oyo merupakan sungai yang melintasi Hutan Pendidikan
Wanagama I (Ernawati, 2016).
2.3.3. Pelindung
Pelindung (cover) merupakan segala tempat dalam habitat yang mampu
memberikan perlindungan bagi satwa dari cuaca dan predator, ataupun
menyediakan kondisi yang lebih baik dan menguntungkan bagi kelangsungan
kehidupan satwa (Bailey, 1984). Rusa jawa menjadikan struktur dan komposisi
vegetasi yang tinggi, kawasan dengan tutupan tajuk lebih dari 50%, semak yang
lebat, dan pohon yang rindang sebagai tempat berlindung (Garsetiasih dan
Mariana, 2007 ; Alikodra, 1990; Dradjat, 2002; Hoogerwerf, 1970). Jika dilihat
dari komponen pelindung ini, pelindung bagi rusa berkaitan dengan struktur dan
kerapatan vegetasi, penutupan tajuk dan tumbuhan bawah, kepadatan semak, dan
volume daun.
2.3.3.1. Kerapatan Pohon
Struktur vegetasi adalah hasil penataan ruang dari komponen
penyusun tegakan dan bentuk hidup, stratifikasi, dan penutupan vegetasi
yang digambarkan melalui keadaan diameter, tinggi, penyebaran dalam
ruang, keanekaragaman tajuk, serta kesinambungan jenis (Fachrul
2007). Struktur vegetasi dapat dibagi menjadi 2 komponen, yaitu
struktur vertikal dan horizontal. Struktur vertikal dapat diketahui
melalui, pengelompokkan setiap individu pohon dalam petak ukur
berdasarkan kelas tinggi atau lapisan stratum, sedangkan untuk struktur
horizontal dapat diketahui dengan mengelompokkan setiap individu
berdasarkan kelas diameternya (Onrizal dkk., 2005) dengan
kerapatannya dan berdasarkan pola penyebaran individu jenis yang ada
di suatu wilayah. Pola penyebaran individu jenis yang dimaksud adalah
12
tingkat pertumbuhan pohon, yaitu semai, pancang, tiang, dan pohon.
Sementara itu, struktur horizontal merupakan penggambaran distribusi
atau penyebaran setiap individu di dalam suatu habitat (Martuti dkk.,
2020).
Menurut Garsetiasih dan Heriyanto (2017), kerapatan vegetasi
bagi satwa herbivora berguna sebagai naungan (cover) untuk
beristirahat, berlindung dari predator, kawin, dan beranak. Petak-petak
di Hutan Pendidikan Wanagama I memiliki struktur dan kerapatan
vegetasi yang beragam. Kawasan hutan dengan kerapatan 400 pohon/ha
membuat rusa dapat bereproduksi dengan baik. (Garsetiasih, 2007).
Rusa memanfaatkan tegakan pada tingkat pohon dan tiang untuk tempat
beristirahat (Taralalu, 2006). Struktur dan komposisi vegetasi juga
berpengaruh terhadap ketersediaan pakan dan preferensi satwa tersebut
untuk beraktivitas pada suatu kawasan. Satwa liar mungkin hanya
membutuhkan aspek struktural dari cover lingkungannya, seperti
mereka tergantung pada jenis makanan tertentu (Bailey, 1984).
Petak-petak di Hutan Pendidikan Wanagama memiliki struktur
dan kerapatan vegetasi yang beragam sebagai habitat bagi rusa. Menurut
Putra (2011), petak 5 terdiri dari beberapa hutan tanaman, petak 6
didominasi gamal dan akasia dengan banyak tumbuhan bawah, petak 7
memiliki banyak secang dan perimbun, petak 13 memiliki banyak
tumbuhan bawah dan pohon dengan tajuk yang rapat, petak 14 terdiri
dari beberapa tanaman pertanian dengan beberapa jenis pohon dan
rerumputan, petak 16 didominasi secang dan rumput, serta petak 18
didominasi tanaman pertanian dan beberapa pohon dengan dengan
kerapatan jarang.
2.3.3.2. Penutupan Tajuk dan Tumbuhan Bawah
Menurut Jennings (1997) tutupan tajuk merupakan proporsi
lantai hutan yang ditutupi oleh proyeksi vertikal dari tajuk pohon.
Menurut Alikodra (1990) tutupan tajuk dianggap cukup sebagai tempat
rusa berlindung dari panas apabila telah tutupan di atas 50 persen. Di
13
Hutan Pendidikan Wanagama I, penutupan tajuk hutan ini didominasi
oleh pohon kayu putih, akasia, mahoni, jati, dan gliriside (Supraptomo,
2006 dalam Purnomo dkk., 2010). Sementara itu, tumbuhan bawah
sendiri merupakan vegetasi dasar yang terdapat di bawah tegakan hutan.
Kelimpahan sumber pakan bagi rusa dapat dilihat dari kerapatan semak
dan tumbuhan bawah (Noon, 1981; Zein dan Achmad, 2001). Menurut
Supraptomo (2006) dalam Purnomo dkk (2010), tutupan tumbuhan
bawah di Hutan Pendidikan Wanagama I secara berturut-turut
didominasi oleh rumput waderan, kerinyu, dan alang-alang. .
2.3.3.3. Kepadatan Semak
Kepadatan merupakan jumlah individu per unit area atau unit
volume. Rusa jawa (Rusa timorensis) menggunakan semak yang lebat
untuk bersembunyi dari intervensi, vegetasi pohon untuk berlindung,
dan sumber air untuk minum (Drajat, 2002). Rusa juga memanfaatkan
semak sebagai sumber pakan. Menurut Purnomo dan Usmadi (2012),
Hutan Pendidikan Wanagama I memiliki beberapa tipe vegetasi, salah
satunya semak belukar. Semak ini tumbuh karena tidak ada vegetasi
yang secara spesifik ditanam pada lahan yang ada.
2.3.3.4. Penutupan Volume Daun
Menurut Indriyanto (2006), volume daun adalah susunan
vertikal dalam suatu komunitas tumbuhan atau ekosistem hutan.
Semakin banyak daun artinya lingkungan semakin baik untuk dijadikan
pelindung bagi rusa. Kawasan dengan banyak pohon rindang sangat
disukai oleh rusa (Hoogerwerf, 1970). Menurut Purnomo (2010), unit
pengelolaan Hutan Wanagama I yang berupa petak-petak secara
signifikan menghasilkan keragaman tipe vegetasi yang berbeda-beda.
Kondisi vegetasi di Hutan Wanagama I yang heterogen itulah yang
mendorong rusa jawa tinggal menetap untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya (Purnomo, 2010).
2.3.4. Ruang
14
Ruang dibutuhkan oleh individu-individu satwa untuk mendapatkan
cukup pakan, pelindung, air dan tempat untuk kawin. Salah satu penggunaan
ruang yaitu wilayah jelajah (home range). Menurut Alikodra (1990), wilayah
jelajah rusa untuk tiap individu adalah sekitar 5-6 ha. Ruang bagi rusa ini
dibatasi oleh adanya hambatan alami maupun buatan. Hambatan alaminya dapat
berupa sungai, jurang, dan kelerengan yang tinggi. Sedangkan hambatan
buatannya dapat berupa adanya bangunan dan alih fungsi lahan yang menjadi
habitat bagi rusa. Rusa jawa dapat hidup pada suatu kawasan dengan suhu udara
maksimum 30°C dan minimum 17,4°C (Jacoeb dan Wiryosuhanto (1994). Rusa
ini hidup pada kawasan dengan ketinggian mencapai 2600 mdpl dengan kondisi
yang cenderung landai dan lereng yang tidak terlalu curam (Wemmer dkk.,
1996; Kayat, dkk., 2017). Jika dilihat dari komponen ruang ini, ruang bagi rusa
berkaitan dengan suhu, kelembaban, ketinggian lokasi, dan kelerengan.
2.3.4.1. Suhu dan Kelembaban
Suhu merupakan salah satu faktor yang mengatur proses
kehidupan organisme (Krebs 1978 dalam Suwarti dkk., 2018).
Kelembaban udara merupakan salah satu unsur yang mempengaruhi
kondisi atau keadaan cuaca dan iklim di suatu wilayah tertentu. Jacoeb
dan Wiryosuhanto (1994) menyatakan bahwa suhu udara maksimum
untuk rusa di Indonesia adalah 30°C dan minimum 17,4°C. Suhu yang
terlalu rendah dapat menjadi kendala bagi rusa jawa untuk merumput
(Ismail, 2011). Suhu udara di Hutan Wanagama I berkisar antara 25 – 29̊
C dengan curah hujan tahunan rata-rata 1500-2000 mm (Sancayaningsih
dan Margawati, 2007) .
2.3.4.2. Ketinggian
Ketinggian tempat mempengaruhi perubahan suhu udara.
Semakin tinggi kedudukan suatu tempat, temperatur udara di tempat
tersebut akan semakin rendah, begitu juga sebaliknya semakin rendah
kedudukan suatu tempat, temperatur udara akan semakin tinggi.
Menurut Wemmer dkk. (1996), rusa jawa (Rusa timorensis) dapat hidup
pada berbagai ekosistem dengan ekosistem mulai dari dataran rendah
15
hingga kawasan dengan ketinggian 2600 meter di atas permukaan laut.
Hutan Wanagama I memiliki ketinggian berkisar antara 115-205 mdpl
dengan topografi yang beragam, mulai dari datar, berbukit-bukit, hingga
berlereng (Nurjanto, dkk., 2016).
2.3.4.3. Kelerengan
Kelerengan menunjukkan besarnya sudut lereng dalam persen
atau derajat. Rusa jawa (Rusa timorensis) merupakan salah satu satwa
yang menyukai wilayah dengan kelerengan yang tidak terlalu tajam
(Kayat, dkk., 2017). Lereng berkaitan dengan intensitas cahaya yang
dapat diterima oleh suatu daerah. Lereng yang mengarah ke kutub jauh
lebih lembab dan lebih sejuk daripada yang mengarah ke khatulistiwa
atau equator. Lereng yang menghadap ke timur terkena pengaruh
matahari pagi, dan lebih terlindung dari pengaruh angin barat daya dan
angin barat selama bagian siang hari yang terpanas. Intensitas cahaya
matahari memberikan pengaruh baik terhadap rata-rata tingkat
pertumbuhan jenis-jenis tumbuhan pakan rusa yang tergolong sebagai
tumbuhan bawah, khususnya rumput-rumputan, sehingga memerlukan
intensitas cahaya yang besar untuk menstimulasi pertumbuhannya
(Masy’ud, dkk., 2008). Di Hutan Pendidikan Wanagama I, rusa jawa
(Rusa timorensis) dapat ditemukan pada kawasan dengan kemiringan
lereng 25-45% (Purnomo, 2010).
2.3.4.4. Tutupan Substrat
Menurut Brundrett dkk. (1996), penutupan substrat terdiri atas
serasah, batu, kayu rebah, tanah, tumbuhan bawah/herba, dan tanah
kosong. Penutupan substrat berpengaruh pada kelembaban dan suhu
yang terbentuk pada habitat tersebut. Keberadaan seresah berpengaruh
terhadap keberadaan tanaman bawah sebagai sumber pakan rusa jawa.
Pohon mati rebah dapat menjadi tempat berlindung bagi rusa jawa.
Menurut Kayat dkk. (2017), rusa jawa (Rusa timorensis) sering
dijumpai pada kawasan lembah yaitu berupa hutan musim yang
bervegetasi semak sampai pohon yang rapat.
16
2.4. Restorasi
Menurut Clewell dkk., (2005), restorasi merupakan usaha intensif untuk memicu dan
mempercepat pemulihan kesehatan (proses fungsi), integritas (struktur dan komposisi), dan
kelestarian (ketahanan terhadap gangguan dan resiliensi) ekosistem. Hutan Pendidikan
Wanagama I menjadi lokasi yang dijadikan kawasan restorasi rusa jawa (Rusa timorensis).
Menurut Setiawan (2015), restorasi rusa Jawa perlu dilakukan karena populasi rusa yang
semakin menurun tiap tahunnya. Berdasarkan aspek populasi, penurunan dan peningkatan
pada jumlah individu menjadi aspek penting dalam kelayakan kawasan restorasi rusa jawa
(Rusa timorensis). Informasi mengenai perkembangan populasi dan kelayakan Hutan
Pendidikan Wanagama I sebagai lokasi restorasi tentu sangat dibutuhkan untuk dijadikan
tolak ukur keberhasilan program (Sukmawati, 2012).
17
BAB III
LANDASAN TEORI
18
mengenai restorasi rusa jawa antara pengelola Wanagama dengan masyarakat sekitar
penting untuk dilakukan agar tujuan dapat tercapai. Oleh karena itu, perlu dilakukan
studi kelayakan Hutan Pendidikan Wanagama I sebagai kawasan restorasi rusa jawa dari
aspek populasi, habitat, dan sosial.
3.2 Hipotesis
Pada penelitian ini didapat hipotesis sebagai berikut:
1. Ho: Hutan Pendidikan Wanagama I sudah tidak layak dijadikan sebagai kawasan
restorasi rusa jawa (Rusa timorensis) ditinjau dari aspek populasi.
Ha: Hutan Pendidikan Wanagama I masih layak dijadikan sebagai kawasan restorasi
rusa jawa (Rusa timorensis) ditinjau dari aspek populasi.
2. Ho: Hutan Pendidikan Wanagama I sudah tidak layak dijadikan sebagai kawasan
restorasi rusa jawa (Rusa timorensis) ditinjau dari aspek habitat.
Ha: Hutan Pendidikan Wanagama I masih layak dijadikan sebagai kawasan restorasi
rusa jawa (Rusa timorensis) ditinjau dari aspek habitat.
19
BAB IV
METODE PENELITIAN
20
b. Tally Sheet, sebagai tempat mencatat data yang diperoleh di lapangan.
c. Roll Meter, untuk membuat petak ukur di lapangan.
d. Pita meter, untuk mengukur diameter pohon.
e. Klinometer, untuk mengukur kelerengan lokasi.
f. Sling-psychrometer, untuk mengukur suhu dan kelembaban.
g. GPS, untuk keperluan navigasi di lapangan.
h. Kompas, untuk menentukan arah mata angin.
i. Density board, untuk mengambil data volume daun
j. Tabung okuler, untuk mengambil data tutupan tajuk dan tumbuhan bawah.
k. Tongkat sepanjang 1 meter, untuk mengambil data kepadatan semak.
l. Kamera, untuk membantu proses dokumentasi di lapangan.
m. Parang, untuk mengambil sampel pakan rusa.
n. Kantong, untuk tempat sampel kotoran rusa .
o. Label, untuk menandai sampel kotoran rusa
p. Timbangan, untuk menimbang sampel kotoran rusa.
q. Penumbuk, untuk menghancurkan sampel kotoran rusa.
r. Oven, untuk mengeringkan sampel kotoran rusa.
s. Tabung reaksi, untuk tempat mencampurkan bahan-bahan.
t. Pipet tetes, untuk mengambil larutan.
u. Petri-dish, untuk meletakkan sampel yang dicampur dengan larutan.
v. Kompor, untuk memanaskan tabung reaksi.
w. Kaca preparat, untuk meletakkan sampel yang akan diamati pada mikroskop.
x. Coverglass, untuk menutup sampel pada kaca preparat.
y. Mikroskop, untuk mengamati epidermis dari sampel kotoran rusa.
4.2.2. Bahan
a. Rusa jawa (Rusa timorensis) di Hutan Pendidikan Wanagama I.
b. Peta Hutan Pendidikan Wanagama I.
c. Sampel kotoran rusa jawa (Rusa timorensis) di Hutan Pendidikan Wanagama
I.
d. Sampel pakan rusa berupa tumbuhan bawah dan rumput.
e. Buku identifikasi jenis vegetasi yang dimakan rusa.
21
4.3. Metode Pengambilan Data
4.3.1 Estimasi Populasi Rusa jawa (Rusa timorensis)
Pengambilan data mengestimasi populasi rusa jawa (Rusa timorensis) di
Hutan Pendidikan Wanagama I dilakukan dengan dua metode, yaitu metode
perjumpaan secara langsung dan metode perjumpaan secara tidak langsung.
Metode perjumpaan secara langsung dilakukan dengan metode line transect
sedangkan metode perjumpaan secara tidak langsung dilakukan dengan metode
pellet count.
4.3.1.1. Metode Perjumpaan Secara Langsung.
Pengambilan data untuk mengestimasi populasi rusa dengan
perjumpaan secara langsung dilakukan dengan metode line transect.
Menurut Bismark (2011), metode line transect merupakan salah satu cara
yang sering digunakan dalam pengumpulan data jenis dan jumlah
individu satwa liar dengan pengamatan pada transek atau jalur yang
dibuat. Transek ditempatkan dengan pola uniform systematic sampling
with random start. Sampling sistematis atau systematic sampling adalah
pengambilan sampel yang unsur pertamanya dilakukan secara acak dan
unsur-unsur berikutnya dipilih secara sistematis (Simon, 1996). Panjang
transek adalah 2400-2800 meter dan berupa jalur yang dimulai dari titik
tengah plot pertama hingga plot terakhir.
Metode line transect dilakukan dengan berjalan perlahan di
sepanjang transek yang telah ditentukan sambil mengumpulkan data yang
dibutuhkan. Data dikumpulkan melalui perjumpaan secara langsung dan
secara tidak langsung dengan rusa. Pada setiap perjumpaan, dilakukan
pengukuran jarak antara tanda dengan pusat jalur pengamatan, serta
dicatat dan diidentifikasi dengan bantuan buku panduan dan bantuan
tenaga lokal yang memahami lokasi dan kehidupan di hutan (Kurniawan,
2009). Data yang dikumpulkan berupa jumlah individu rusa yang
ditemui, data perjumpaan secara tidak langsung berupa kotoran, jejak
kaki, bulu, suara, maupun bekas gesekan tanduk rusa pada vegetasi, jarak
22
rusa dengan pengamat (jarak lurus), jarak rusa dengan transek, dan lokasi
perjumpaan dengan rusa.
23
Kemudian, kotoran yang ada dalam petak ukur tersebut dibersihkan.
Selanjutnya, dilakukan peninjauan kembali setelah 2 minggu untuk
mengamati ada atau tidaknya kotoran baru.
4.3.2 Habitat
4.3.2.1 Pakan
a. Komposisi Jenis Pakan
Komposisi jenis pakan dapat dicari dengan membuat petak
ukur permanen (PUP). Petak ukur permanen merupakan suatu
petak ukur tetap yang digunakan untuk mengamati dan
mengumpulkan data pertumbuhan atau hasil tegakan yang diukur
secara periodik hingga jangka waktu tertentu (Herbagung dan
Imanuddin, 2009). Petak ukur permanen (PUP) dibuat dengan
ukuran 2x2 meter untuk pengukuran tumbuhan bawah dan 1x1
meter untuk rumput. Selanjutnya, dilakukan identifikasi jenis
rumput dan tumbuhan bawah yang menjadi pakan bagi rusa. Petak
ukur ini diletakan secara purposive sampling pada lokasi dengan
rumput dan tumbuhan bawah tersebut. Setelah itu, dilakukan
pengamatan jenis dan jumlah dari rumput dan tumbuhan pada petak
ukur yang dibuat tersebut. Pada lokasi pengamatan, yaitu Petak 5
Hutan Pendidikan Wanagama I, akan ditempatkan petak ukur
permanen sebanyak 13 plot.
Untuk memastikan jenis pakan yang dimakan oleh rusa,
dilakukan pengumpulan kotoran rusa yang ada di lapangan.
24
Kotoran tersebut kemudian dianalisis menggunakan metode faecal
analysis. Faecal analysis merupakan suatu metode yang digunakan
untuk menguji epidermis tanaman dari pakan yang ada pada
kotoran rusa (Djuwantoko dan Purnomo, 2008). Kotoran tersebut
kemudian dibawa ke laboratorium untuk diuji komposisinya.
Menurut Kayat dkk. (2017) pembuatan preparat untuk pengujian
kotoran dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu:
1. Kotoran dipanaskan dalam oven bersuhu 70°C selama 2 x 24 jam.
2. Kotoran yang telah dipanaskan dihancurkan dengan cara ditumbuk
dan ditimbang sebanyak 1,5 gram
3. kotoran yang telah halus dimasukkan dalam tabung reaksi berisi 5
ml asam nitrat 10% dan 5 ml potassium kromat 10%.
4. Tabung reaksi dipanaskan selama 10-15 menit hingga lapisan
kutikula dari epidermis pada kotoran terkelupas.
5. Tabung reaksi didinginkan, kemudian diberi aquades untuk
menetralkan.
6. Larutan dituangkan pada petridish, kemudian ditetesi zat safranin.
Sementara itu, pembuatan preparat untuk uji epidermis dilakukan
dengan langkah-langkah berikut:
1. Daun yang jaringan epidermisnya dijadikan referensi atau acuan
dipotong dengan ukuran 1 x 1 cm.
2. Potongan daun dimasukkan dalam tabung reaksi berisi 5 ml asam
nitrat 10% dan 5 ml potassium kromat 10%.
3. Epidermis daun dikelupas dan dibedakan menjadi 2 bagian yaitu
bagian atas dan bawah.
4. Hasil pengupasan dipindahkan dalam preparat, kemudian ditetesi
dengan gliserin dan ditutup dengan coverglass.
b. Produktivitas Pakan
Produktivitas pakan dapat dicari dengan membuat petak ukur
permanen (PUP) berukuran 2x2 m untuk tumbuhan bawah dan petak
ukur 1x1 m untuk rumput pakan rusa yang telah diidentifikasi dan
25
dihitung jumlahnya. Selanjutnya, dilakukan identifikasi jenis rumput
dan tumbuhan bawah yang menjadi pakan bagi rusa. Petak ukur ini
diletakan secara purposive sampling pada lokasi dengan rumput dan
tumbuhan bawah tersebut. Pengukuran produktivitas pakan rusa
dilakukan dengan memotong rumput maupun tumbuhan bawah
sepanjang 10 cm dari permukaan tanah (Masy’ud dkk., 2008).
Selanjutnya, petak ukur tersebut dibiarkan selama kurang lebih 14
hari hingga rumput dan tumbuhan bawah tumbuh kembali. Pada
lokasi pengamatan, yaitu Petak 5 Hutan Pendidikan Wanagama I,
akan ditempatkan petak ukur permanen sebanyak 13 plot.
4.3.2.2 Pelindung
a. Kerapatan Pohon (Semai, Pancang, Tiang, dan Pohon)
Pengambilan data struktur dan kerapatan vegetasi dilakukan
dengan menggunakan metode nested sampling. Nested sampling
adalah suatu petak ukur yang berukuran besar mengandung sub
petak contoh yang lebih kecil sesuai dengan tingkat
pertumbuhannya (Khairijon, 2014). Nested sampling ini
ditempatkan secara sistematik. Pada lokasi pengamatan, yaitu Petak
5 Hutan Pendidikan Wanagama I, akan ditempatkan petak ukur
nested plot secara berseling sebanyak 13 plot. Pengambilan data
dilakukan dengan petak ukur berukuran 2x2 m untuk tingkat
pertumbuhan semai (A), 5x5 m untuk tingkat pertumbuhan pancang
(B), 10x10 m tingkat pertumbuhan tiang (C), dan 20x20 tingkat
26
pertumbuhan pohon (D), serta jarak antar plot (S) sebesar 20 m
(Soerianegara dan Indrawan, 2002). Data yang diambil berupa data
jenis, jumlah individu tiap jenis, keliling, dan tinggi pohon.
27
terdapat tajuk dan tumbuhan bawah yang menutupi, maka ditulis
“-“ (Noon, 1981).
c. Kepadatan Semak
Kepadatan semak diketahui dengan menggunakan
metode shrub density yang dilakukan dalam plot metode
protocol sampling dengan menggunakan tongkat
sepanjang 1 meter. Tongkat dibawa berjalan secara
horizontal dengan jarak kurang dari 1,5 meter dari
permukaan tanah pada dua arah transek, yakni
utara-selatan dan barat-timur Semak yang terkena tongkat
kemudian dicatat jenis dan jumlahnya (Noon, 1981).
28
Gambar 17. Desain plot Shrub density.
d. Penutupan Volume daun
Pengambilan data volume daun dilakukan dengan
menggunakan density board dalam plot metode protocol sampling.
Pengukuran dilakukan dari ketinggian yang terbagi ke dalam empat
interval yaitu interval satu pada ketinggian 0-0.3 m, interval dua
pada ketinggian 0.3-1 m, interval tiga pada ketinggian 1-2 m, dan
interval empat pada ketinggian 2-3 m. Density board diletakkan
pada empat arah mata angin yang dilihat dari jarak 11,3 m atau di
titik pusat petak ukur (Noon, 1981). Dari titik pusat tersebut
dihitung jumlah kotak yang tertutup oleh vegetasi. Data yang
diambil dalam metode ini adalah jumlah kotak hitam putih pada
density board yang tertutup oleh daun.
29
Gambar 18. Density Board
4.3.2.3 Ruang
a. Suhu dan Kelembaban
Data suhu dan kelembaban didapatkan menggunakan
sling-psychrometer. Sling-psychrometer terdiri dari dua
termometer gelas (Sunandar dan Tjitro, 1999). Pengambilan data
dilakukan di titik pusat Protocol Sampling dan dilakukan
pengulangan sebanyak tiga kali. Pengambilan dilakukan dengan
cara kain di bagian sumbu basah sling-psychrometer dibasahi
untuk mengukur suhu basah, lalu sling-psychrometer diputar-putar
selama kurang lebih 1-3 menit untuk mengetahui suhu keringnya.
Satuan suhu yang diperoleh berupa (°C). Sedangkan, satuan
kelembaban yang diperoleh berupa (%) yang didapat dari skala
perpotongan antara suhu basah dan suhu kering.
30
Gambar 19. Sling-psychrometer
b. Ketinggian Lokasi
Pengambilan data ketinggian lokasi menggunakan GPS
(Global Positioning System) dengan fitur elevation point. GPS
dapat digunakan untuk mengetahui posisi horizontal maupun
vertikal dari suatu lokasi. (Rinaldy dan Anwari, 2013).
c. Kelerengan
Pengambilan data kelerengan menggunakan klinometer
(Febriani, 2013). Pengukuran dilakukan pada setiap titik plot pada
4 arah yang berbeda (Utara, Timur, Selatan, Barat). Nilai
kelerengan yang diambil adalah nilai kelerengan terbesar yang
diperoleh. Satuan dari data kelerengan dapat berupa persen (%).
d. Tutupan Substrat
Pengambilan data tutupan substrat diukur dengan
menggunakan bantuan plot ukur berukuran 1x1 meter yang di
dalamnya terdapat 25 kotak berukuran 20cm x 20cm. Data
diambil pada lokasi yang berjarak 1 m dari titik pusat dan diukur
dengan menggunakan penggaris pada empat arah mata angin..
Data tutupan substrat yang diambil pada praktikum kali ini yaitu
substrat serasah, kayu rebah, batu, herba, dan tanah kosong.
31
Gambar 14. Desain plot pengambilan data substrat
4.3.2.4 Air
Data jarak dari sumber air (JDSA) diperoleh dengan pengambilan
data jarak dari sumber air menggunakan GPS atau avenza maps dengan
menentukan jarak dari titik plot pengamatan ke lokasi sumber air. Avenza
maps adalah perangkat yang digunakan untuk memperlihatkan struktur
atau data dari suatu lokasi. (Usman dkk., 2020). Titik plot pengamatan
merupakan petak ukur yang digunakan untuk metode pellet count,
sedangkan sumber air merupakan sumber air utama di Hutan Pendidikan
Wanagama I yaitu Sungai Oyo.
32
4.4.1.2 Metode pellet count
Estimasi populasi rusa jawa dapat dihitung menggunakan metode
pellet count berdasarkan kotoran yang didapat dalam plot. Menurut Suba
dkk (2010), estimasi populasi rusa dihitung menggunakan rumus berikut:
𝐴𝑥𝑝
𝑃 = 𝑡𝑥𝑑𝑥𝑎
Keterangan :
P = estimasi populasi
A = luas areal penelitian
p = jumlah onggokan kotoran
t = interval waktu
d = rerata defekasi (zat sisa/feses) (13)
a = luas plot penelitian
4.4.2 Habitat
4.4.2.1 Pakan
a. Produktivitas Pakan
Menurut Alikodra (1990), produktivitas pakan dapat ditentukan
dengan terlebih dahulu menghitung biomassa dari rumput dan
tumbuhan bawah dengan rumus:
𝑃 𝑝
𝐿
= 𝑙
Keterangan:
P = produksi biomassa di seluruh kawasan
L = luas seluruh kawasan
p = produksi biomassa seluruh plot sampel
l = luas seluruh plot sampel
33
uji epidermis dengan cara membandingkan jaringan epidermis pakan
pada kotoran dengan epidermis tumbuhan menggunakan metode
pencernaan asam nitrat (Storr, 1960).
4.4.2.2 Pelindung
a. Kerapatan Pohon
Data struktur vegetasi dianalisis dengan diketahui
masing-masing jumlah dan jenis individu pada tingkat semai, pancang,
tiang, dan pohon pada tiap plot. Hasil dihitung dan dinyatakan dalam
bentuk tabel. Pengaruh struktur vegetasi (kerapatan vegetasi, jumlah
jenis, basal area, dan strata tajuk) pada tiap tingkatan vegetasi terhadap
jumlah individu cinenen pisang dianalisis menggunakan Regression
Analysis (Ghozali 2006). Kerapatan vegetasi dihitung pada
masing-masing tingkat pertumbuhan yaitu semai, pancang, tiang, dan
pohon. Setiap jenis vegetasi dihitung kerapatannya dengan rumus
(Alikodra, 1990):
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑠𝑒𝑚𝑎𝑖
𝑘𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑚𝑎𝑖 = 2𝑥2 𝑚
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑝𝑎𝑛𝑐𝑎𝑛𝑔
𝑘𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑛𝑐𝑎𝑛𝑔 = 5 𝑥 5𝑚
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑡𝑖𝑎𝑛𝑔
𝑘𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑡𝑖𝑎𝑛𝑔 = 10𝑥10𝑚
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑝𝑜ℎ𝑜𝑛
𝑘𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑝𝑜ℎ𝑜𝑛 = 20𝑥20 𝑚
Keterangan:
P = jumlah tanda “+” yang diperoleh pada tabung okuler
n = jumlah titik pengamatan
34
c. Kepadatan Semak
Data kepadatan semak dianalisis menggunakan rumus:
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑠𝑒𝑚𝑎𝑘
𝑘𝑒𝑝𝑎𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑚𝑎𝑘 = 2 𝑥 𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑜𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡 𝑥 𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑗𝑎𝑙𝑢𝑟
Keterangan :
Panjang tongkat = 1 meter
Panjang jalur = 22,6 meter
d. Penutupan Volume Daun
Nilai dari volume daun diolah menggunakan rumus (Noon,
1981):
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑜𝑡𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑢𝑡𝑢𝑝 𝑑𝑎𝑢𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙
% 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑑𝑎𝑢𝑛 = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑜𝑡𝑎𝑘 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖𝑎𝑛
× 100%
Keterangan :
● Interval 0-0.3 m : 15 kotak
● Interval 0.3-1 m : 35 kotak
● Interval 1-2 m : 50 kotak
● Interval 2-3 m : 50 kotak
4.4.2.3 Ruang
Kelayakan restorasi habitat rusa dari salah satu aspek habitat yaitu
ruang. Faktor yang diukur pada aspek ruang yaitu suhu, kelembaban,
kelerengan, dan ketinggian. Ruang bagi rusa diperoleh dengan rumus:
ruang = luas seluruh kawasan - ⅀ hambatan
Keterangan:
Hambatan = luas kawasan yang tidak digunakan oleh rusa
a. Suhu dan Kelembaban
Data suhu dan kelembaban disajikan dalam tabel dan
dijelaskan secara kualitatif. Penjelasan secara kualitatif dimaksudkan
agar data yang ada dapat dijelaskan secara lengkap dan menyeluruh.
(Mulyadi, 2011). Satuan setiap variabel yaitu untuk suhu
menggunakan satuan (°C) dan kelembaban (%).
35
b. Kelerengan
Data kelerengan disajikan dalam tabel dan dijelaskan secara
deskripsi kualitatif. Data dijelaskan secara kualitatif agar penjelasan
yang dilakukan lebih lengkap dan menyeluruh. (Mulyadi, 2011).
Satuan untuk variabel yaitu persen (%).
c. Ketinggian Lokasi
Data ketinggian lokasi disajikan dalam tabel dan dijelaskan
secara kualitatif menggunakan analisis deskriptif. Analisis ini
dilakukan dengan menyusun data-data yang diperoleh untuk diolah
dan dianalisis agar dapat menggambarkan masalah yang diteliti.
(Sugiyono, 2013). Satuan untuk variabel ketinggian yaitu mdpl.
d. Tutupan Substrat
Substrat yang diambil berupa tutupan serasah, batu, kayu rebah,
tanah kosong, dan herba. Setiap plot dianalisis menggunakan rumus :
𝑝
𝑆= 𝑛
× 100%
Keterangan :
S = Persen penutupan substrat
p = Jumlah terlihatnya jenis substrat dominan dalam kotak
n = Jumlah total kotak dalam 1 plot
Kemudian dirata-rata dari keempat plot menggunakan rumus :
𝑢𝑡𝑎𝑟𝑎 + 𝑡𝑖𝑚𝑢𝑟 + 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑡𝑎𝑛 + 𝑏𝑎𝑟𝑎𝑡
𝑇𝑢𝑡𝑢𝑝𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑏𝑠𝑡𝑟𝑎𝑡 (𝑖) = 4
Keterangan :
i = jenis tutupan substrat (tutupan serasah, tutupan kayu rebah, tanah
kosong, tutupan batu, dan tutupan herba)
e. Jarak ke Sumber Air
Data jarak dari sumber air dinyatakan dalam meter dan
disajikan dalam tabel serta dijelaskan secara kualitatif menggunakan
analisis deskriptif. Analisis deskriptif digunakan untuk mengolah dan
menggambarkan masalah yang diteliti dengan terlebih dahulu
menyusun data-data yang diperoleh. (Sugiyono, 2013).
36
4.4.3 Analisis Kelayakan Restorasi Rusa jawa (Rusa timorensis)
Kelayakan restorasi rusa jawa (Rusa timorensis) dapat dianalisis
menggunakan GAP analysis. GAP analysis adalah suatu metode analisis yang
digunakan untuk mengetahui kesenjangan (gap) antar variabel penelitian
(Langhammer, 2007). Metode ini dilakukan dengan terlebih dahulu mensintesis
hasil dari setiap variabel yang diukur di lapangan. Variabel ini merupakan bagian
dari dari aspek populasi dan habitat dari rusa. Proses sintesis dilakukan untuk
mengetahui variabel mana saja yang digunakan rusa sebagai preferensi dalam
memilih suatu habitat. Selanjutnya, dilakukan analisis terhadap variabel-variabel
tersebut. Selanjutnya, analisis pada tiap variabel dijabarkan dan dicari variabel
kunci yang memiliki pengaruh terbesar bagi kelayakan restorasi rusa.
Variabel-variabel ini menjadi gambaran kondisi habitat rusa. Hasil analisis
kemudian dijadikan acuan layak atau tidaknya Hutan Pendidikan Wanagama I
sebagai area untuk restorasi rusa jawa (Rusa timorensis).
DAFTAR PUSTAKA
37
Coulloudon, B., Eshelman, K., Gianola, J., Habich, N., Hughes, L., Johnson, C., Shaver,
P. 1999. Sampling Vegetation Attributes: Interagency Technical Reference.
Technical Reference.
Davidson, W. R. and G. L. Doster (1997). Health characteristics and population density
in the southeastern United States. The Science of Overabundance: Deer
Ecology and Population Management. W. J. McShea, H. B. Underwood and R.
J.H. Washington, DC: Smithsonian Institution Press.
Djuwantoko., & Purnomo, D.W. (2008). Penentuan Pakan Rusa Bawean dengan Analisis
Kotoran, di Pulau Bawean. Biota, Vol. 13(3): 175-181.
Dombois, D.M. dan Ellenberg, H. (1974). Aims and Methods of Vegetation Ecology. USA:
John Wiley & Sons Inc.
Dradjat, A. S. (2002). Satwa Harapan Budidaya Rusa. Buku Ajar. Mataram, Mataram
University Press.
Edwards, A.J.; Gomez, E.D. (2007). Reef Restoration Concepts and Guidelines: Making
Sensible Management Choices in the Face of Uncertainty; Coral Reef Targeted
Research & Capacity Building for Management Program: St. Lucia, Australia,
2007; pp. 1–37, ISBN 978-1-921317-00-2.
Ernawati, J. (2016). Jejak Hijau Wanagama. Jakarta: Deutsche Gesellschaft für
Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbHm Forests and Climate Change
Programme (FORCLIME).
Febriani, Y. 2013. Prediksi Erosi Menggunakan Metode Usle pada Daerah Rawan
Gerakan Tanah di Daerah Jalur Lintas Bengkulu-Kepahiang. Jurnal Ilmiah Edu
Research Vol.2(1): 47-52.
Garsetiasih. (2007). Daya Dukung Kawasan Hutan Baturaden sebagai Habitat
Penangkaran Rusa. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam.
Garsetiasih, R., & Heriyanto, N. M. 2017. Potensi hutan reklamasi bekas tambang batu
bara, Sangata, Kalimantan Timur untuk penangkaran Rusa Sambar (Rusa
unicolor). Plasma Nutfah. Vol 23 (2) 127-136.
Geist V. 1998. Deer of the World: Their Evolution Behavior, and Ecology. United States
of America: Stackpole Books. United States of America.
38
Handarini, R. (2006). Pola dan Siklus Pertumbuhan Ranggah Rusa Timor Jantan (Cervus
timorensis. Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol. 2(1): 28-35.
Harbagung., & Imanuddin. (2009). Penentuan Ukuran Optimal Petak Ukur Permanen
untuk Hutan Tanaman Jati (Tectona grandis Linn.f). Jurnal Penelitian Hutan
dan Konservasi Alam, Vol. 6(1): 57-68).
Hedges, S., Duckworth, J.W., Timmins, R., Semiadi, G. & Dryden, G. (2015). Rusa
timorensis. The IUCN Red List of Threatened Species
2015:e.T41789A22156866
Hoogerwerf, A. (1970). Ujung Kulon: The Land of Javan Rhinoceros. Buku. EJ
Brill-Leiden. Leiden. 512 p.
Indriyanto. (2006). Ekologi Hutan. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.
Jacoeb, T.N., Wiryosuhanto, S.D. (1994). Prospek Budidaya Ternak Rusa. Jakarta:
Kanisius.
Karuati., Adi, M.A. (2018). Jenis-Jenis Tumbuhan Bawah di Hutan Pendidikan Fakultas
Kehutanan Universitas Mulawarman. Samarinda: Mulwarman University
Press.
Kayat, Pudyatmoko, S., Maksum, M., Imron, M.A. (2017). Potensi Konflik
Penggembalaan Kuda pada Habitat Rusa Timor (Rusa timorensis Blainville
1822) di Kawasan Tanjung Torong Padang, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Ilmu
Kehutanan, Vol. 10(2): 4-18.
Kii, Y. W. & G. M. Dryden. (2005). Water Consumption by Rusa Deer (Cervus
timorensis) Stags as Influence by Different Types of Food. Animal Science, Vol.
80(1): 83-88.
Kurniawan, I. (2009). Metode Inventarisasi Satwa Mamalia. Bogor: Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor.
Langhammer, P.F., Bakarr, M.I., Bennun, L.A., Brooks, T.M., Clay, R.P., Darwall, W., De
Silva, N., Edgar, G.J., Eken, G., Fishpool, L.D.C., Fonseca, G.A.B. da, Foster,
M.N., Knox, D.H., Matiku, P., Radford, E.A., Rodrigues, A.S.L., Salaman, P.,
Sechrest, W., & Tordoff, A.W. 2007. Identification and Gap Analysis of Key
Biodiversity Areas: Targets for Comprehensive Protected Area Systems. Gland.
Switzerland: IUCN.
39
Lenaini, I. (2021). Teknik Pengambilan Sampel Purposive dan Snawball Sampling. Jurnal
Kajian, Penelitian & Pengembangan Pendidikan Sejarah, Vol. 6(1): 33-39
Lioy, S. Braghiroli, A. Dematteis, P. G. Meneguz & P. Tizzani. (2015). Faecal pellet count
method: some evaluations of dropping detectability for Capreoluscapreolus
Linnaeus, 1758 (Mammalia: Cervidae), Cervuselaphus Linnaeus, 1758
(Mammalia: Cervidae) and Lepuseuropaeus Pallas, 1778 (Mammalia:
Leporidae). Italian Journal of Zoology, Vol.82(2): 231-237.
Maha, I. T., Manafe, R. Y., Amalo, F.A., & Selan, Y.N. (2021). Karakteristik Morfologi
Rusa timor (Rusa timorensis) dengan Pemeliharaan Ex Situ di Kota Kupang.
Acta Veterinaria Indonesiana, Vol. 9(1): 1-13.
Masy’ud, B., Wijaya, R., & Santoso, I., B. (2007). Pola Distribusi, Populasi dan Aktivitas
Harian Rusa Timor (Cervus timorensis, de Blainville 1822) di Taman Nasional
Bali Barat. Media Konservasi, Vol.12(3).
Masy’ud, B., Kusuma, I. H., Rachmandani, Y. (2008). Potensi Vegetasi Pakan dan
Efektivitas Perbaikan Habitat Rusa Timor (Cervus timorensis, de Blainville
1822) di Tanjung Pasir Taman Nasional Bali Barat. Media Konservasi. Vol. 13
(2): 59-64.
Mulyadi, M. (2011). Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif serta Pemikiran Dasar
Menggabungkannya. Jurnal Studi dan Komunikasi Media, Vol. 15(1): 127-138.
Mutmainnah, S., Ichsan, A. C., Syaputra, M. (2021). Palatabilitas dan Strategi
Pengelolaan Pakan Rusa Timor (Rusa timorensis) di Penangkaran Wisma
Daerah Kabupaten Sumbawa. Jurnal Sylva Scienteae. Vol. 4(1): 10-19.
Na’iem, Mohammad., dkk. (2020). Wanagama: Kisah Terciptanya Hutan Pendidikan,
Konservasi, dan Kesejahteraan Sosial Ekonomi bagi Rakyat Sekitar.
Yogyakarta: Penerbit Samudra Biru (Anggota IKAPI).
Noon, B.R. (1981). Techniques for Sampling Avian Habitat. In: Capen, D.E. (Eds). The
Use of Multivariate Statistics in Studies of Wildlife Habitat. General Rednical
Report RM-87. US Department of Agriculture, Forest Service.
Nurjanto, H.H., Supriyo, H., Widyastuti, S.M., Kabirun, S., Johan, E., & Matsue, N.
(2016). Smectite Under Heavy Clay Soils Development at FRE Wanagama
Forest Area. Malaysian Journal of Soil Science, Vol. 20(3): 1–18.
40
Primack. 1995. A Primer of Conservation Biology. USA: Sinauer Associates.
Purnomo, D. W., Djuwantoko, Pudyatmoko, S. (2010). Tipe Habitat Kesukaan Rusa
Timor (Rusa timorensis) di Hutan Wanagama I. Jurnal Biota. Vol. 15 (2):
233-240.
Purnomo, D.W., & Usmadi, D. (2012). Pengaruh Struktur dan Komposisi Vegetasi dalam
Menentukan Nilai Konservasi Kawasan Rehabilitasi di Hutan Wanagama I dan
Sekitarnya. Jurnal Biologi Indonesia, Vol. 8(2): 255-267.
Rinaldy., & Anwari, C. (2013). Membandingkan Hasil Pengukuran Beda Tinggi dari Hasil
Survei GPS dan Sipat Datar. Jurnal Online Institut Teknologi Nasional, Vol.
1(2): 51-62.
Rozza, T., K., Takandjandji, M., & Bismark, M. (2011). Ketersediaan Tumbuhan Pakan
dan Daya Dukung Habitat Rusa timorensis de Blainville, 1822 di Kawasan
Hutan Penelitian Dramaga. Buletin Plasma Nutfah, Vol. 17(2).
Rumakar, S., Puttileihalat, M.M.S., & Tuhumury, A. (2019). Populasi dan Habitat Rusa
Timor (Cervus timorensis). Jurnal Penelitian Kehutanan, Vol. 13(1): 40-56.
Sancayaningsih, R. P., & Margawati, R. (2007). Dinamika Tumbuhan Lantai Hutan Dan
Status Mikorhiza Di Bawah Tegakan Gamal (Gliricidia Sepium (Jacq.) Steud.)
Dan Akasia (Acacia Auriculiformis A. Cunn. Ex Benth.) di Hutan Wanagama I.
Prosiding Seminar Nasional Biologi XX Kongres Perhimpunan Biologi
Indonesia XIV. Yogyakarta
Saputra, M. Y., Yoza, D., Sribudiani, E. (2021). Karakteristik dan Kesesuaian Habitat
Rusa Timor (Cervus timorensis) di Universitas Riau. Jurnal Ilmu-ilmu
Kehutanan. Vol. 5(2).
Scott, W. R. (1987). The Adolescence of Institutional Theory. Administration Science
Quarterly, Vol. 32: 493 – 511.
Semiadi, G., Nugraha, R. T. P., & Jamal, Y. (2004). Panduan Pemeliharaan Rusa
Tropis, (282). Bogor: Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
Setiawan, I., Samsudewa, D. Sutiyono .2015. Pengaruh Jumlah Pejantan Perkandang
Terhadap Tingkah Laku Reproduksi Rusa Timor (Rusa timorensis) Betina.
AGROMEDIA Vol 33 No. 2 hal 71-77
41
Shaw, J.H. (1985). Introduction to Wildlife Management. New York: McGraw-Hill Book
Co.
Simon, H. (1996). Metode Inventore Hutan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sofyan, I., dan Setiawan, A. (2018). Studi Perilaku Harian Rusa Timor (Cervus
timorensis) di Penangkaran Rusa Tahura Wan Abdul Rachman. Jurnal Biologi
Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati. Vol. 5(1): 67-76.
Stefoff , R. (2008). Deer. New York. Marshall Cavendish Benchmark.
Storr, G.M. (1960). Microscopic Analysis of Faeces, A Technique for Ascertaining The
Diet of Herbivorous Mammals. Jurnal of Biology Science, Vol 14(1): 157-165.
Suba, R. B., Boer, C., & Irman, I. (2010). Informasi dari Feses dan Jejak Kaki Rusa
Sambar (Cervus unicolor) serta Implikasinya pada Akurasi Penaksiran
Populasi. Jurnal Ilmu Kehutanan, Vol. 4(2): 70-79.
Subeno. 2007. Pola Aktivitas Harian dan Interaksi Banteng dan Rusa dalam Pemanfaatan
Kawasan Padang Rumput Sadengan di Taman Nasional Alas Purwo,
Banyuwangi, Jawa Timur. Jurnal Ilmu Kehutanan, Vol.1(2):1-9.
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sukmawati, J.G. 2012. Perbandingan Kualitas Habitat Lokasi Restorasi Rusa Jawa
(Cervus Timorensis) Di Petak 6 dan 7 Hutan Wanagama I Berdasarkan
Kepadatan Populasi. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Sunandar, H., & Tjitro, S. (1999). Pengujian, Pengaturan dan Penyeimbangan dalam
Sistem Pengkondisian Udara. JURNAL TEKNIK MESIN, Vol. 1, No : 30 – 36
Suratmo, F. G. (1979). Konservasi Alam dan Pengelolaan Margasatwa. Bagian II
(Tingkah laku Margasatwa). Institut Pertanian Bogor. Him 36.
Thohari, A.M,, Masy’ud, B., Takandjandji, M. (2011). Teknis Penangkaran Rusa timor
(Cervus timorensis) untuk Stok Perburuan. Seminar Sehari Prospek
Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis) sebagai Stok Perburuan. Bogor.
p1-15.
Usman, I. Y., Lumenta, A., & Sugiarso, B. A. (2020). Database Pemetaan Bangunan
Universitas Sam Ratulangi. E-Journal Teknik Informatika, Vol. 15(1): 1-12.
42
Utomo, M.M.B., Hasan, R.A. (2014). Kajian Partisipasi Masyarakat dan Peran
Pemerintah dalam Kegiatan Penangkaran dan Konservasi Eksitu Rusa Timor di
Provinsi Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Ekonomi dan Sosial
Kehutanan, Vol. 11(2): 165-173.
Zulkarnain., Kasim, S., & Hamid, H. (2015). Analisis Vegetasi Dan Visualisasi Struktur
Vegetasi Hutan Kota Baruga, Kota Kendari. Jurnal Hutan Tropis, Vol. 3(2):
99-109.
43