MAKALAH BTM Budidaya Lobster
MAKALAH BTM Budidaya Lobster
MAKALAH BTM Budidaya Lobster
OLEH :
KELOMPOK 1
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
A. Latar Belakang ...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................2
B. Tujuan ........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................3
A. Biologis Lobster .........................................................................................3
B. Jenis Kelamin Lobster................................................................................4
C. Karakteristik Lobster .................................................................................4
D. Kelulushidupan ........................................................................................10
E. Kualitas Air ..............................................................................................11
F. Cara Budidaya Lobster Air Laut yang Baik ............................................12
G. Teknik Pembenihan Lobster ....................................................................14
H. Penanganan Hasil Tangkapan ..................................................................20
I. Penanganan Pasca Panen .........................................................................21
J. Pengemasan dan Pengangkutan ...............................................................21
BAB III PENUTUP ..............................................................................................23
A. Kesimpulan ..............................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Budidaya lobster (Panulirus sp.) belum banyak dilakukan di Indonesia,
karena baru dimulai tahun 2000 di Nusa Tenggara Barat. Khususnya di pulau
Lombok memiliki potensi dalam pengembangan industrialisasi lobster. Hal ini
didukung oleh ketersediaan benih lobster di alam yang melimpah. Berdasarkan
data sensus dalam kurun waktu 2007-2014, Pulau Lombok menjadi sumber
benih lobster terbesar di Indonesia. Pada tahun 2009, jumlah benih lobster yang
berhasil disensus mencapai 600.000 ekor, dengan jumlah yang paling dominan
adalah lobster pasir (Panulirus homarus L.). Budidaya lobster di Indonesia juga
sudah dilakukan di Nanggroe Aceh Darussalam, Nusa Tenggara Timur, dan
Sulawesi Selatan. Namun demikian, perkembangan budidaya lobster masih
tergolong lambat. Di lain pihak, Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam
untuk pengembangan budidaya laut termasuk budidaya lobster.
Salah satu negara yang telah berkembang usaha budidaya lobsternya dan
masih memiliki kemiripan iklim dengan Indonesia adalah Vietnam. Budidaya
lobster di Vietnam dimulai sejak tahun 1992 di Kota Nha Trang Provinsi
Khanh Hoa dan telah menyebar di provinsi lainnya, terutama di Provinsi Phu
Yen dan Ninh Thuan. Di Indonesia, dukungan penelitian dan pengembangan
telah dilakukan oleh ACIAR (Australian Centre for International Agricultural
Research) melalui ACIAR Project No. SMAR/2001/021/ : “Spiny Lobster
Aquaculture Development in Indonesia Vietnam and Australia” dalam rangka
pengembangan budidaya lobster di Indonesia. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan untuk mempercepat pengembangan budidaya lobster adalah
mengetahui teknik budidaya yang telah dilakukan dan aspek lain yang terkait
dengan budidaya lobster di negara yang lebih berkembang budidaya
lobsternya.
Harga lobster mutiara biasanya lebih tinggi, dapat mencapai 2-3 kali lipat
dibandingkan dengan lobster bambu. Kondisi fisik (morfologis) lobster pun
sangat menentukan tingakat harga. Lobster yang masih hidup, sehat, dan tidak
1
cacat cenderung lebih mahal. Sementara, lobster yang cacat atau mati,
harganya jauh lebih murah untuk semua jenis.
Pemanfaatan peluang tersebut dapat dilakukan dengan optimalisasi
penangkapan di seluruh perairan Indonesia, dengan menggunakan alat tangkap
tertentu yang tetap memperhatikan kelestarian habitat alami lobster. Selain
dengan penangkapan, dapat juga dilakukan usaha budidaya lobster secara
intensif (dalam bak secara terkontrol). Selain memenuhi permintaan pasar,
usaha budidaya juga dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan produksinya.
Dikhawatirkan suatu saat populasi lobster laut Indonesia akan berkurang dan
bahkan mungkin punah sehingga perlu dilakukan upaya untuk
melestarikannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah tujuan utama budidaya lobster laut di Indonesia?
2. Bagaimana cara mengetahui klasifikasi dan karakteristik lobster laut?
3. Bagaimana teknik atau cara-cara membudidayakan, penanganan dan
pasca dipanen agar sampai ke tangan konsumen dengan baik?
C. Tujuan
1. Mengetahui tujuan utama budidaya lobster laut di Indonesia
2. Mengetahui klasifikasi dan karakteristik lobster laut,
3. Mengetahui cara-cara/teknik membudidayakan lobster laut yang
baik sampai dengan cara penanganan setelah panen agar sampai ke tangan
konsumen.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biologis Lobster
Lobster laut (Panulirus sp.) atau udang barong merupakan salah satu
komoditas perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Komoditas ini
tidak asing dikalangan masyarakat penggemar makanan laut (sea food).
Lobster terkenal dengan dagingnya yang halus serta rasanya yang gurih dan
lezat. Jika dibandingkan dengan udang jenis lainnya, lobster memang jauh
lebih enak. Tidak salah jika makanan ini merupakan makanan yang bergengsi
yang hanya disajikan di restoran-restoran besar dan hotel-hotel berbintang.
Karena harganya yang mahal, lobster biasanya hanya dikonsumsi oleh
kalangan ekonomi atas.
Jumlah lobster fase juvenil yang ditangkap dipulau Lombok tepatnya di
Teluk Awang, Teluk Gerupuk, dan Teluk Bumbang pada tahun 2011 sebanyak
610.063 ekor, terdiri atas lobster hijau pasir (Panulirus homarus) sebanyak
485.017 ekor, lobster mutiara (Panulirus ornatus) 122.958 ekor, dan jenis lain
2.088 ekor (Priyambodo, 2011).
Secara taksonomi, lobster atau cryfish diklasifikasikan sebagai berikut:
Fillum : Anthropoda
Subfilum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Subkelas : Eumalacostraca
Superordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Subordo : Reptantia
Superfamili : Scyllaridae
Famili : Palinuridae
Genus : panulirus
Beberapa genus lobster itu sendiri terdiri dari banyak spesies, seperti:
Panulirus argus, Panulirus Cygnus, Panulirus echinatus, Panulirus gracilis,
Panulirus homarus, Panulirus longipes, Panulirus guttatus, Panulirus
3
laevicauda, Panulirus pascuensis, Panulirus penicillatus, Panulirus ornatus,
dan Panulirus marginatus.
Lobster sering kali disebut dengan spiny lobster. Di Indonesia, selain
dikenal sebagai udang barong atau udang karang, lobster juga memiliki
berbagai nama daerah. Beberapa diantaranya adalah urang takka (makasar),
koloura (kendari), loppa (bone), hurangkarang (sunda), udang
puyuh (padang), dan lain-lain.
B. Jenis Kelamin Lobster
Jenis kelamin lobster bisa ditentukan dari letak alat kelaminnya. Alat
kelamin jantan terletak diantara kaki jalan kelima, berbentuk lancip, dan
menonjol keluar. Sementara, alat kelamin betina terletak diantara kaki jalan
ketiga, berbentuk dua lancipan. Lobster jantan biasanya berukuran lebih kecil
dibandingakan dengan lobster betina. Hal ini diperkuat oleh Carpenter &
Niem (1998) dalam Kadafi, et.al., jenis kelamin lobster ditentukan dengan
melihat letak gonopores. Gonopores lobster jantan terletak pada kaki jalan
kelima, sedangkan lobster betina terletak pada kaki jalan ketiga. Selain dari
letaknya, penentuan jenis kelamin lobster juga dapat dilakukan dengan
memperhatikan ukuran badannya.
C. Karakteristik Lobster
Sifat dan kelakuan lobster perlu diketahui terlebih dahulu, sebelum
memulai usaha budidaya lobster di kolam secara terkontrol. Ketidaktahuan
akan sifat dan kelakuan lobster seringkali menjadi faktor yang menyebabkan
kegagalan budidaya. Sifat dan kelakuan lobster diuraikan sebagai berikut.
1. Sifat Nokturnal
Sifat nokturnal adalah sifat lobster yang melakukan aktivitasnya pada
malam hari, terutama aktivitas mencari makan. Sementara, pada siang hari
lobster beristirahat dan tinggal di tepi laut berkarang di dekat rumput laut
yang subur, bersama golongan karang. Diharapkan, para pembudidaya
lobster memanfaatkan sifat ini, yakni melakukan pemberian pakan pada
malam hari dengan dosis yang lebih besar dibandingkan dengan pemberian
pakan pada siang hari.
4
Dengan sifat nokturnal tersebut, tampak bahwa lobster senang
bersembunyi di tempat-tempat yang gelap. Di alam, lobster bersembunyi
pada lubang-lubang yang terdapat di sisi terumbu karang. Oleh karena itu,
tempat budidaya lobster perlu dilengkapi dengan tempat perlindungan atau
tempat persembunyian.
2. Sifat Ganti Kulit (Moulting/Ecdysis)
Langkah awal pertumbuhan lobster ditandai dengan terjadinya
pergantingan kulit (moulting atau ecdysis). Peristwa moulting pada
Crustacea adalah pergantian atau penanggalan rangka luar untuk diganti
dengan yang baru. Proses ini biasanya diikuti dengan pertumbuhan dan
pertambahan berat badan.
Proses pergantian kulit pada lobster hampir sama dengan pergantian
kulit pada udang penaeid, misalnya udang windu. Sebelum moulting,
lobster mencari tempat pesembunyian terlebih dahulu tanpa melakukan
aktivitas makan dan tidur. Dua hari kemudian, bagian kepala sudah mulai
retak, kemudian dilepaskan dengan gerakan meloncat.
Setelah berganti kulit, lobster akan mengisap air sebanyak-banyaknya
sehingga tubuhnya terlihat membengkak. Untuk mengeraskan kulit
barunya, lobster membutuhkan gizi yang cukup dan jumlah pakan
yanglebih banyak. Proses pengerasan kulit biasanya berlangsung selama
1-2 minggu.
3. Sifat Kanibalisme
Di alam, pakan yang disukai lobster adalah berbagai jenis kepiting,
moluska, dan ikan. Jika persediaan pakan tidak memadai, lobster akan
memangsa sesamanya. Sifat lobster yang saling memakan sesama jenisnya
ini disebut sifat kanibalisme. Peristiwa ini terjadi terutama jika ada lobster
yang sedang dalam kondisi lemah (sedang berganti kulit) atau pakan yang
diberikan kurang tepat baik jenis, jumlah, frekuensi, maupun waktu
pemberian. Oleh karena itu, diperlukan adanya manajemen pakan yang
baik. Selain itu, pemasangan potongan pipa paralon di dasar bak akan
5
sangan akan membantu lobster yang sedang berganti kulit untuk
menghindari pemangsaan dari lobster lainnya.
4. Daya Tahan hidup
Pada umunya, jenis jenis udang mampu bertahan hidup pada perairan
dengan kondisi salinitas yang berubah-ubah (berfluktuasi). Sifat ini
disebut eurihaline. Akan tetapi, beberapa jenis udang, termasuk udang
barong atau lobster, merupakan biota laut yang sangat sensitif terhadap
perubahan salinitas dan suhu. Oleh karena itu, budidaya harus dilakukan
di tempat yang beratap sehingga air hujan tidak masuk ke dalam media
budidaya. Hal ini diperlukan untuk mencegah terjadinya fluktuasi salnitas
dan suhu yang terlalu tinggi. Jenis Panulirus sp. lebih toleran terhadap
salinitas antara 25-45%.
Lobster mencari makan pada malam hari, di sekitar karang yang
lebih dangkal. Lobster bergerak di tempat yang aman pada lubang-lubang
karang, merayap untuk mencari makan. Apabila terkena sinar lampu, lobster
akan diam sejenak, kemudian melakukan pergerakan mundur dan
menghindar.
Pada saat tertentu, biasanya lobster berpindah ke perairan yang lebih
dalam untuk melakukan pemijahan. Lobster betina yang telah matang telur
biasanya berukuran (dari ujung telson sampai ujung rostrum) sekitar 16cm,
sedangkan lobster jantan sekitar 20cm. Seekor lobster jantan dapat
membuahi banyak telur yang kemudian disimpan di bagian bawah perut
lobster betina.
5. Habitat
Lobster atau udang barong memiliki dua fase dalam siklus hidupnya,
yaitu fase pantai dan fase lautan. Lobster akan memijah di dasar perairan
laut yang berpasir dan berbatu. Telur yang dibuahi akan menetas menjadi
larva yang kemudian bersifat planktonis, melayang-layang dalam air. Larva
yang disebut phylosoma ini memerlukan waktu sekitar 7 bulan untuk
menjadi lobster kecil/muda.
6
Habitat alami lobster adalah kawasan terumbu karang di perairan-
perairan yang dangkal hingga 100 m di bawah permukaan laut. Di
Indonesia, terdapat perairan karang yang merupakan habitat lobster seluas
6700 km2 dan merupakan perairan karang terluas di dunia.
Lobster berdiam di dalam lubang-lubang karang atau menempel pada
dinding karang. Aktivitas organisme ini relatif rendah. Lobster yang masih
muda biasanya hidup di perairan karang di pantai dengan kedalaman 0,5-30
m
Habitat yang paling disukai adalah perairan dengan dasar pasir yang
ditumbuhi rumput laut (seagrass). Hal ini diperkuat oleh Chan (1998) dalam
Saputra, habitat udang karang (lobster) pada umumnya adalah di perairan
pantai yang banyak terdapat bebatuan / terumbu karang. Terumbu karang
ini disamping sebagai barrier (pelindung) dari ombak, juga tempat
bersembunyi dari predator serta berfungsi pula sebagai daerah pencari
makan. Akibatnya daerah pantai berterumbu ini juga menjadi daerah
penangkapan lobster bagi para nelayan. Hal ini dapat dilihat dari cara
nelayan mengoperasikan alat tangkap (bintur) di daerah bebatuan di
pantai. Setelah menginjak dewasa, lobster akan bergerak ke perairan yang
lebih dalam, dengan kedalaman antara 7-40 m. Perpindahan ini biasanya
berlangsung pada siang dan sore hari.
6. Morfologi lobster
Menurut Moosa dan Aswandy (1984), morfologi dari lobster yaitu
terdiri dari kepala dan thorax yang tertutup oleh karapas dan
memiliki abdomen yang terdiri dari enam segmen. Karakteristik yang
paling mudah untuk mengenali lobster adalah adanya capit (chelae) besar
yang pinggirnya bergerigi tajam yang dimiliki lobster untuk menyobek dan
juga menghancurkan makanannya. Udang karang mudah dikenal karena
bentuknya yang besar dibanding dengan udang lainnya.
Morfologi dari udang karang atau lobster yaitu mempunyai bentuk badan
memanjang, silindris, kepala besar ditutupi oleh carapace berbentuk
7
silindris, keras, tebal dan bergerigi. Mempunyai antenna besar dan panjang
menyerupai cambuk, dengan rostum kecil.
Lobster secara umum memiliki tubuh yang berkulit sangat keras dan
tebal, terutama di bagian kepala, yang ditutupi oleh duri-duri besar dan kecil.
Mata lobster agak tersembunyi di bawah cangkang ruas abdomen yang
ujungnya berduri tajam dan kuat. Lobster memiliki dua pasang antena, yang
pertama kecil dan ujungnya bercabang dua disebut juga sebagai kumis.
Antena kedua sangat keras dan panjang dengan pangkal antena besar kokoh
dan ditutupi duri-duri tajam, sedangkan ekornya melebar seperti kipas. Warna
lobster bervariasi tergantung jenisnya, pola-pola duri di kepala, dan warna
lobster biasanya dapat dijadikan tanda spesifik jenis lobster.
Menurut Subani (1984), udang karang atau lobster memiliki ciri-ciri
yaitu badan besar dan dilindungi kulit keras yang berzat kapur, mempunyai
duri-duri keras dan tajam, terutama dibagian atas kepala dan antena atau
sungut, bagian belakang badannya (abdomen) dan lembaran ekornya.
Pasangan kaki jalan tidak mempunyai chela atau capit, kecuali pasangan kaki
lima pada betina. Pertumbuhan udang karang sendiri selalu terjadi pergantian
kulit atau molting, udang karang memiliki warna yang bermacam-macam
yaitu ungu, hijau, merah, dan abu-abu serta membentuk pola yang indah.
Memiliki antena yang tumbuh dengan baik, terutama antena kedua yang
melebihi panjang tubuhnya.
Secara morfologi tubuh lobster terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian depan
atau cephalothoraxs (kepala menyatu dengan dada) dan bagian belakang
yang disebut abdomen (perut). Seluruh tubuh lobster terdiri dari ruas-ruas
yang tertutup olek kerangka luar yang keras, bagian kepala terdiri dari 13 ruas
dan bagian dada terdiri dari 6 ruas (Subani, 1984). Menurut Sudradjat
(2008), cephalothoraxs tertutup oleh cangkang yang keras (carapace) dengan
bentuk memanjang kearah depan. Pada bagian ujung cangkang tersebut
terdapat bagian runcing yang disebut cucuk kepala (rostrum). Mulut terletak
pada kepala bagian bawah, diantara rahang-rahang (mandibula). Sisi kanan
dan kiri kepala ditutup oleh kelopak kepala dan dibagian dalamnya terdapat
8
insang. Mata terletak dibagian bawah rostrum, berupa mata majemuk
bertangkai yang dapat digerakkan.
7. Sistem Reproduksi Lobster
Lobster memiliki siklus hidup yang kompleks. Siklus hidup lobster
mengalami beberapa tingkatan yang berbeda pada tiap jenis. Lobster
termasuk binatang yang mengasuh anaknya walaupun hanya sementara.
Ukuran panjang total lobster jantan dewasa kurang lebih 20 cm, dan betina
kurang lebih 16 cm, sedangkan umur pertama kali matang gonad yaitu
ditaksir antara 5 tahun – 8 tahun. Pada waktu pemijahan lobster mengeluarkan
sperma (spermatoforik) dan meletakkannya di bagian dada (sternum) betina
mulai dari belakang celah genital (muara oviduct) sampai ujung belakang
sternum.
Pembuahan terjadi setelah telur-telur dikeluarkan dan ditarik kearah
abdomen yaitu dengan cara merobek selaput pembungkus oleh betina dengan
menggunakan cakar (kuku) yang berupa capit terdapat pada ujung pasangan
kaki jalannya. Lobster yang sedang bertelur melindungi telurnya dengan cara
meletakkan atau menempelkan dibagian bawah dada (abdomen) sampai telur
tersebut dibuahi dan menetas menjadi larva atau biasa disebut burayak atau
tumpayak. Menurut Hasrun (1996), lobster betina kadang-kadang dapat
membawa telur antara 10.000 -100.000 butir, sedangkan pada jenis-jenis yang
besar bisa mencapai 500.000 hingga jutaan telur. Banyak sedikitnya jumlah
telur tergantung dari ukuran lobster air laut tersebut.
8. Jenis Lobster
Menurut Moosa dan Aswandy (1984), lobster mendiami suatu perairan
tertentu menurut jenisnya. Berikut jenis-jenis lobster laut :
➢ Panulirus homarus (lobster hijau pasir) biasanya ditemukan hidup di
perairan karang pada kedalaman belasan meter, dalam lubang-lubang
batu granit atau vulkanis. Jenis ini sering ditemukan berkelompok dalam
jumlah yang banyak dan pada saat masih muda lebih suka hidup di
perairan yang keruh. Menurut Chan (1998) dalam Saputra,
9
jenis Panullirus hommarus hidup pada perairan pantai yang jernih pada
bebatuan dan karang berpasir.
➢ Panulirus Peniculatus (lobster batu) atau pronghorn spiny/spiny lobster
mempunyai bentuk tubuh berwarna hijau tua atau hijau-kehitaman
dengan sapuan warna coklat melintang.
➢ Panulirus longipes (lobster merah/bintik seribu) mampu beradaptasi
pada berbagai habitat, namun lebih menyukai perairan yang lebih dalam,
pada lubang-lubang batt karang. Pada malam hari, sering ditemukan pada
tubir-tubir batuan dan kadang-kadang tertangkap di perairan yang
relatif dangkal (sekitar 1m) dengan air yang jernih dan berarus kuat. .
➢ Panulirus ornatus (lobster mutiara) lebih menyukai terumbu karang
yang agak dangkal dan sering tertangkap di perairan yang agak keruh,
pada karang karang yang tidak tumbuh dengan baik, di kedalaman 1-
8m. Lobster ini disebut ornate spiny, mempunyai tubuh berwarna hijau
berbelang-belang kuning. Pada bagian abdomen terdapat bintik berwarna
kuning.
➢ Panulirus versicolor (lobster hijau) senang berdiam di tempat-tempat
yang terlindung di antara batu-batu karang, pada kedalaman hingga
16m. Jenis ini jarang terlihat berkelompok dalam jumlah banyak. Lobster
ini disebutpainted spiny, yang masih muda mempunyai bentuk tubuh
berwarna kebiru-biruan atau keungu-unguan. Sedangkan lobster dewasa
berwarna hijau terang dengan sapuan warna merah, terutama pada bagian
punggung.
➢ Panulirus poliphagus (lobster bambu) banyak ditemukan hidup di
perairan karang yang keruh dan sering kali juga ditemukan di dasar
perairan yang berlumpur agak dalam. Lobster ini disebut juga mud spiny
mempunyai bentuk badan berwarna coklat. Setiap ujung ruas tubuhnya
terdapat guratan berbentuk pipa berwarna putih dan coklat gelap.
D. Kelulushidupan
Kelulushidupan merupakan suatu peluang untuk hidup pada saat tertentu.
Metode yang umum digunakan untuk menyatakan tingkat kelulushidupan
10
adalah perbandingan antara jumlah individu yang hidup pada akhir percobaan
dengan jumlah individu pada awal percobaan. Kelulushidupan dan
pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal meliputi jenis kelamin, keturunan, umur, reproduksi, ketahanan
terhadap penyakit dan kemampuan memanfaatkan pakan. Faktor eksternal
meliputi kualitas air, padat penebaran, jumlah dan komposisi kelengkapan
asam amino dalam pakan.
E. Kualitas Air
Menurut Effendi (2003), suhu dan salinitas memainkan peranan yang
penting dalam kehidupan organisme laut dan estuaria. Suhu sangat berperan
dalam mempercepat metabolisme dan kegiatan organ lainnya. Suhu yang tinggi
dapat meningkatkan konsumsi oksigen dan terjadinya pengeringan sel.
Keasaman air yang lebih dikenal dengan pH (Paissanee negatif de H) juga
sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan lobster. Keasaman dihitung
berdasarkan logaritma negatif dari ion-ion hidrogen per liter air. Keasaman
(pH) yang terlalu tinggi atau rendah akan meracuni lobster dan hewan lainnya.
Derajat keasaman suatu perairan menunjukan tinggi rendahnya konsentrasi ion
hodrogen perairan tersebut. Kisaran parameter kualitas air untuk pemeliharaan
lobster secara lengkap, disajikan pada tabel berikut :
DO (ppm) >5***
Ph 7,8-8,5**
Kedalaman (m) 11-15*
Amoniak (ppm) < 0.1***
11
F. Cara Budidaya Lobster Air Laut yang Baik
1. Pemilihan Lokasi Budidaya
a. Faktor Ekologis
Ekologis merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan
dalam pemilihan lokasi budidaya lobster. Untuk pemilihan kondisi
ekologis yang tepat, harus dikembangkan beberapa parameter yang dapat
digunaan untuk mengkaji dan menilai lokasi pengembangan lobster jenis
tertentu.
b. Faktor Teknis
Faktor teknis lebih ditekankan pada kondisi lokasi agar dapat
mendukung teknologi yang akan diterapkan . Lokasi yang cocok
digunakan dalam budidaya lobster, baik pembenihan maupun
pembeseran, adalah lokasi dengan ketersediaan pasokan air laut dan air
tawar yang cukup. Air laut digunakan dalam pemijahan , pemeliharaan
larva, dan bahkan pemeliharaan induk.
c. Faktor Sosial Ekonomi
Lokasi yang dipilih sebaiknya mudah dijangkau (accessible) agar
diperoleh kemudahan dalam pengadaan sarana dan prasarana ,
pengelolaan proses produksi, sampai pemasaran. Lokasi yang strategis
akan memberikan kemudahan dalam transportasi bahan, tenaga kerja,
dan hasil panen, serta kemudahan dalam pemantauan dan pengawasan
lobster terhadap pencurian.
d. Aspek Peraturan dan Perundang-undangan
Lokasi dan lahan yang dipilih sebagai tapak usaha budi daya lobster
sebaiknya tidak bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan
yang berlaku. Izin usaha dari pemerintah harus dipertimbangkan
sehingga tidak terjadi hambatan pada saat akan memulai usaha.
2. Sarana Pembenihan
Sarana pembenihan akan sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas
benih lobster yang dihasilkan. Beberapa sarana yang dibutuhkan dalam
usaha pembenihan lobster adalah sebagai berikut :
12
a. Calon Induk
Kualitas dan kuantitas benih yang akan dihasilkan dalam
pembenihan lobster sangat dipengaruhi oleh induk yang digunakan.
Calon induk lobster yang akan dikembangbiakkan harus memenuhi
beberapa persyaratan, yakni berumur 1,5-2,0 tahun, berat 1,0-1,5 kg/ekor
untuk induk jantan dan 1,5-2,0 kg/ekor untuk induk betina, sudah matang
gonad (ditandai dengan warnanya yang lebih cemerlang dengan panjang
kerapas minimal 65 mm), serta sehat dan tidak cacat.
b. Pakan
Pakan yang dibutuhkan dalam pembenihan lobster adalah pakan
alami yang berupa rotifer (Brachionus plicatilis). Selain rotifer,
diperlukan jenis pakan lain untuk melengkapi nutrisi yang tidak
terkandung dalam rotifer, terutama protein. Pakan yang dapat digunakan
misalnya daging ikan rucah. Disamping pakan alami, dapat juga
diberikan pakan buatan, seperti flake yang sering dipakai sebagai pakan
dalam usaha pembenihan udang windu (Penaeus monodon Fabricius). Di
perairan, makanan untuk kebutuhan ikan sebenarnya sudah tersedia yaitu
berupa makanan alami yang banyak sekali macamnya, baik dari
golongan hewan (zooplankton, invertebrate, dan vertebrate), tumbuhan
(phytoplankton maupun tumbuhan air) dan organisme mati (detritus).
Selama tiga bulan pertama masa pemeliharaan, ikan atau
kulitivan diberi pakan berupa ikan rucah, seperti tembang, selar, dan
peperek hingga kenyang. Tujuh bulan berikutnya pemberian pakan hanya
dilakukan satu hari sekali dengan dosis 4-6% bobot badan.
3. Bak Sand Filter dan Reservoir
Sand Filter (saringan pasir ) berupa bak beton (permanen) yang
berisi pasir, ijuk, kerikil, dan arang yang disusun untuk menjernihkan air.
Air yang telah tersaring ditampung dan diendapkan dalam reservoir I
selama 1-2 hari agar kualitas air yang digunakan lebih terjamin.
Selanjutnya ,air dialirkan ke dalam reservoir II dan siap untuk
digunakan.
13
4. Bak Pemeliharaan Induk
Bak pemeliharaan induk terbuat dari semen atau beton, berbentuk
empat persegi panjang berukuran (3 x 2 x 1)m3 atau bujur sangkar
berukuran (2 x 2 x 1)m3. Dinding bak bagian dalam sebaiknya berwarna
biru laut dan dasar bak diberi pasir putih setebal 10-15 cm. Di permukaan
pasir putih ditempatkan potongan paralon berdiameter 5 – 6 inci
sepanjang 30-50 cm sebagai tempat perlindungan. Bak ditemptakan di
dalam ruangan tertutup dengan intensitas cahaya matahari pada siang
hari tidak melebihi 1.000 lux. Bak pemeliharaan induk lobster dilengkapi
dengan saluran pemasukan (inlet) pengeluaran air (outlet) untuk
mempermudah sirkulasi air.
5. Bak Kultur Pakan Alami
Bak kultur pakan almi terdiri atas bak kultur Chloerella sp. dan
rotifer (Brachionus plicatillis). Jumlah dan kapasitas bak disesuaikan
dengan kebutuhan akan pakan alami tersebut.
6. Bak Pemeliharaan Larva
Bak pemeliharaan larva / benih lobster dapat terbuat dari semen
(beton) berbentuk persegi panjang, bujur sangkar, atau lingkaran dengan
ukuran dan jumlah diesuaikan dengan skala usaha yang akan diterapkan.
Selain itu, dapat juga digunakan fiberglass atau tangki polikarbonat.
G. Teknik Pembenihan Lobster
Intensitas penangkapan lobster yang tinggi telah menimbulkan tekanan
terhadap populasinya di alam. Selain itu, usaha penangkapan lobster seringkali
dilakukan dengan cara dan alat atau bahan yang tidak ramah lingkungan
sehingga menimbulkan kerusakan pada habitat lobster dan lingkungan.
Kondisi ini jika berlangsung-terus menerus maka populasi lobster di alam akan
semakin terancam kelestariannya.
1. Persiapan
Persiapan yang harus diperhatikan ketika ingin memulai
pembenihan adalah sarana dan prasarana pembenihan harus higienis, siap
14
pakai, dan bebas dari bahan cemaran yang dapat mengakibatkan kegagalan
proses pembenihan. Beberapa hal yang harus dilakukan seperti:
- Pembersihan bak yang akan digunakan dengan menggunakan deterjen
dan dikeringkan selama 2-3 hari.
- Pembersiahan bak pembenihan jua dapat dilakukan dengan cara
membasuh bagian dalam bak dengan kain yang telah dicelupkan
kedalam larutan desinfektan, misalnya klorin dengan dosis 150 ppm
atau formalin dengan dosis 50 ppm. Setelah dibasuh, didiamkan selam
1-2 jam, dan selanjutnya dinetralkan dengan larutan natrium tiosulfat
50 ppm.
- Batu dan selang aerasi pun perlu dibersihkan. Batu dan selang aerasi
yang telah bersih dipasang pada bak pembenihan dengan kepadatan
minimal dua buah batu aerasi/m2.
2. Pemeliharaan Induk
Induk dipelihara dalam bak semen atau fiberglass yang ditempatkan
dalam ruangan agar air bak pemeliharaan bebas dari pengaruh sinar
matahari langsung dan air hujan. Pada prinsipnya, pemeliharaan induk
lobster bertujuan untuk menghasilkan induk-induk lobster yang layak
untuk dipijahkan, ditandai dengan kematangan gonad induk tersebut .
induk lobster jantan yang telah matang gonad berwarna lebih terang
daripada biasanya, dengan panjang carapace mencapai 32,65-55,00 mm.
pemeliharaan induk lobster jantan sebaiknya dilakukan secara terpisah
dengan induk betina agar tidak terjadi pemijahan maling.
3. Pemijahan
Pemijahan merupakan kegiatan mempertemukan induk jantan dan
betina agar dapat kawin dan menghasilkan telur. Untuk memperlancar
proses pemijahan, sebaiknya salinitas air bak pemijahan dipertahankan 25-
45%. Pada umumnya, lobster akan memijah 3-6 jam setelah proses
moulting selesai. Lobster jantan yang sedang birahi akan menarik lobster
betina sambil mengeluarkan sejenis zat yang berfungsi untuk melindungi
betina dari serangan lobster lain. Selanjutnya, lobster jantan
15
membersihkan kotoran yang melekat pada bagian perut dan dada lobster
betina dan membantu membalikkan tubuhnya. Kemudian, lobster jantan
akan mengangkat kaki jalan dan memasukkan alat kelaminnya ke alat
kelamin lobster betina untuk meyemprotkan sperma. Proses ini biasanya
berlangsung selama 30 menit.
Setelah pemijahan, telur-telur yang berada didalam bagian perut
lobster betina akan mengalami beberapa kali pembelahan sel. Biasanya,
induk betina yang membawa telur disebut “betina berry”. Pembelahan
pertama terjadi lima jam setelah pemijahan. Pembelahan kedua, ketiga,
keempat, masing-masing terjadi 1,3, dan 4 jam setelah pembelahan
pertama. Selanjutnya, pembelahan berlangsung setiap dua jam sekali dan
selesai 30 jam kemudian.
Setelah 30 jam, lobster betina akan mengeluarkan telur-telur yang
telah dibuahi. Satu kali peneluran memerlukan waktu 30 menit. Telur akan
keluar melalui carapace setelah melalui perut dan lubang kelamin pada
saat keluar dari dalam tubuh lobster betina, telur-telur tersebut diletakkan
dibawah perut, melekat pada bulu-bulu ang terdapat pada ummbai-umbai
kaki renang. Pada saat inilah telur lobster harus segera dipindahkan kebak
penetasan untuk ditetaskan .tiga minggu kemudian, telur-telur yang tidak
dibuahi akan keuar dengan sendirinya dari alat kelamin lobster betina.
4. Penetasan
Pada hari ketiga setelah telur dikeluarkan, tali embrio menbesar
menjadi daun embrio. Pada hari keempat dari daun embrio akan tumbuh
perut embrio. Pada hari kelima mulai tumbuh kaki tambahan, kaki jalan,
ekor, dan bulu-bulu halus. Pada hari kedelapan, dasar mata berubah
menjadi sel mata (titik hitam) dan ujung kaki tambahan ditumbuhi bulu-
bulu halus. Pada hari kesembilan, dasar cangkang kepala menjadi
transparan dan oragan-oragan pernapasan, pencernaan, dan pembuangan
mulai terbentuk. Pada hari kedua belas, kaki tambahan bertambah panjang
dan oragan-organ baru mulai terbentuk. Pada hari kudua puluh , telur
menetas menjadi naupli loster yang sering disebut nauplisoma. Biasanya,
16
fase nauplisoma hanya berlangsung beberapa jam, kemudian berganti kulit
menjadi fase filosoma. Dua hari kemudian, filosoma mulai mencari pakan
alami yang berupa rotifera.
Larva yang baru berganti kulit menjadi filosoma berwarna merah,
kemudian berubah menjadi transparan. Didalam air, filosom sulit
dibedakan dengan tumbuhan air karena berbentuk mirip daun. Namun,
apabila diperhatikan secara cermat, ternyata filosoma ini sudah
mempunyai bulu-bulu halus berbentuk kupu-kupu. Selain itu, tulangnya
masih lembek dan kerangka luarnya masih belum mengandung zat kapur.
5. Pemeliharaan Larva
Pemeliharaan larva bertujuan untuk memelihara larva yang baru
menetas hingga mejadi lobster muda yang berukuran sekitar 7-10 cm.
Kegiatan pemeliharaan larva biasanya mempunyai tingkat kesulitan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan kegiatan lainnya. Pada fase larva, lobster
sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan, baik suhu dan salinitas
maupun jenis, kualitas, dan kuantitas pakan yang diberikan.
Sebaiknya larva yang berasal dari induk yang berbeda tidak dipelihara
dalam satu wadah karena kedua kelompok larva tersebut akan mengalami
proses bergati kulit (moulting) pada waktu yang berbeda. Hal ini dapat
menyebabkan tingginya tingkat kematian (mortalitas) akibat terjadinya
kanibalisme (saling memangsa) diantara larva yang dipelihara. Selain itu
agar larva dapat tumbuh dengan cepat, kualitas air harus selu dijaga dan
dipertahankan pada kondisi optimal.
a. Penebaran Nauplisoma
Telur yang telah menjadi nauplisoma dapat dipindahkan kedalam
bak pemeliharaan larva dengan menggunakan ember atau Waskom.
Disarankan agar nauplisoma dipindahkan bersama dengan air
medianya untuk mencegah tingginya tingkat kematian larva paada
saat pemindahan larva harus dilakukan dengan hati-hati dan
secepatnya untuk menghindari stress akibat kepadatan larva yang
tinggi dalam bak penetasan.
17
Pengambilan nauplisoma dari bak penetasan dilakukan dengan
cara mematikan aerasi terlebih dahulu, kemudian nauplisoma diambil
dengan hati-hati menggunakan gayung bersama-sama masa air. Larva
ditampung didalam ember atau wasskom yang dilengkapi aerasi
lemah telebih dahulu, kemudian dipindah ke bak pemeliharan larva.
Penebaran larva sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari
karena suhu masih relative rendah ataupun disesuaikan dengan waktu
penetasan telur. Padat penebaran larva lobster berkisar antara 10-30
ekor/liter air. Selama pemeliharaan; diusahakan agar air dalam bak
pemeliharaa tetap bersih dan jernih dengan salinitas 31-33 ppt.
b. Pemberian Pakan
Larva lobster membtuhkan pakan dalam jumlah tertentu untuk
menunjang aktivitas dan pertumbuhannya. Jenis pakan yang
dikonsumsi bervariasi, tergantung pada stadium dan ukuran larva.
Pada umunya, pada fase larva lobster cenderung menyukai pakan
alami yang berupa rotivera. Dengan kepadatan dipertahankan antara
10-15 ekor/ml. larva yang baru menetas masih mempunyai cadangan
makanan didalam tubuhnya, berupa kuning telur. Kuning telur
tersebut akan habis pada hari kedua setelah penetsan. Dengan
demikian, pemberian pakan pertama kali dilakukan pada hari kedua
setelah penetasan.
Sejalan dengan perkembangan larva, kebutuhan pakan semakin
meningkat. Untuk melengkapi nutrisi, terutama protein ang tidak
terdapat dalam rotifer selain itu, dapat digunakan pakan buatan breupa
flakes seperti yang biasa digunakan dalam pembenihan udang windu.
Pemberian pakan dilakukan 3 kali sehari yaitu pada pagi, siang, dan
malam hari.
6. Perkembangan Larva
Selama pemeliharaan larva akan mengalami pergantian kulit yaitu,
dari stadium nauplisoma, filosoma, perurilla, hingga mencapai stadium
lobster muda. Telur yang baru menetas. Kualitas air harus dijaga agar
18
fluktuasi suhu dan salinitas tidak terlalu tinggi. Fluktuasi suhu dan salinitas
yang terlalu tinggi dapat menyebabkan lobster sulit berganti kulit dan
dengan demikian terhambat pertumbuhannya.
Pada stadium nauplisoma, nilai pH media pemeliharaan lobster
dipertahankan 9,2 dengan cara menambahkan NaOH kedalam air. Selama
larva berumur kurang dari sebulan, diusahakan agar tidak dilakukan
pergantian air karena larva masih sangat sensitif terhadap perubahan
lingkungan media tumbuhnya.
Pergantian air dapat dilakukan setelah larva berumur sebulan, yakni
dengan mengganti 10% dari volume air keseluruhannya. Untuk mencegah
fluktuasi suhu dan salinitas yang terlalu tinggi, pergantian air dilakukan
dengan system air mengalir(sirkulasi).
Banyaknya air yang digantidapat ditngkatkan setelah larva menginjak
stadium filosoma, yakni 25% dari volume air keseluruhan, sedangkan pada
tingkat perurilla sebanyak 30%. Pergantian air diatur sedemikian rupa
sehinggakondisi air dapat dipertahankan pada kisaran suhu 28-32oC dan
salinitas 25-30 ppt.
7. Panen Lobster
Panen dilakukan setelah lobster mencapai ukuran pasar, yaitu 150 –
200 gram/ekor. Benih yang ditebar dengan ukuran rata-rata 5 gram/ekor
dapat dipanen dengan ukuran rata-rata 120 gram/ekor selama
pemeliharaan 10 (sepuluh bulan). Sedangkan benih yang ditebar dengan
ukuran 10 gram/ekor dapat dipanen dengan ukuran rata-rata 120 gram/ekor
selama 8 (delapan bulan).
Udang karang atau lobster hasil budidaya dipasarkan dalam kondisi
hidup dan tidak cacat, sehingga panen harus dilakukan secara hati-hati.
Pemanenan dilakukan dengan cara mengangkat karamba. Selanjutnya,
lobster dipindahkan satu persatu dari tempat pemeliharaannya ke dalam
boks styrofoam. Pengangkutan udang antar daerah maupun ekspor
dilakukan dalam keadaan hidup. Selain itu, suhu diusahakan rendah sekitar
20o C dengan kondisi tanpa air, tetapi lembab.
19
H. Penanganan Hasil Tangkapan
Lobster hasil penangkapan diupayakan agar teteap sampai ke tangan
konsumen, mengingat harga lobster hidup lebih tinggi dari pada lobster
yang sudah mati. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan keterampilan
tersendiri.
1. Sistem Pengadukan Air
Penanganan lobster hasil tangkapan dengan sistem ini sangat
sederhana dan biasanya dilakukan oleh nelayan – nelayan kecil dengan
fasilitas kurang memadai. Biasanya, perahu nelayan dilengkapi dengan
bak penanampung lobster. Bak tersebut diisi air laut secukupnya atau
setinggi 15 – 20 cm. permukaan air terus menerus di aduk- aduk secara
terus menerus hingga lobster sampai ke tangan konsumen.
2. Sistem Perlakuan Aerasi
Pada prinsipnya, penanganan hasil tangkapan dengan sistem
perlakuan aerasi hampir sama dengan penanganan dengan sistem
pengadukan air. Namun, untuk meningkatkan oksigen terlarut,
diupayakan difusi oksigen secara langsung dengan mencelupkan batu
dan slang aerasi ke dasar wadah penampungan. Pangkal selang aerasi
dihubungkan dengan sumber udara berupa tabung oksigen berupa tabung
oksigen .
Keuntungan sistem ini adalah kelangsungan hidup lobster lebih
terjamin karena kandungann oksigen dalam air relatif stabil. Namun,
sistem ini membutuhkan banyak biaya dan ruang. Meskipun demikian,
jika dianalisis secara ekonomi, sistem ini lebih menguntungkan karena
bisa mempertahankan kelangsungan hidup hasil tangkapan hingga 80-
90%.
3. Pembiusan dengan Suhu Rendah
Penanganan hasil tangkapan dengan sistem ini biasanya dilakukan
oleh perusahaan-perusahaan atau nelayan tertentu yang memiliki
keterampilan, sarana, dan prasarana yang memadai, dengan modal yang
cukup banyak. Pada prinsipnya, penanganan dengan sistem pembiusan
20
adalah menekan aktivitas metabolisme dan respirasi selama
pengangkutan agar kehidupan lobster dapat di perhatikan.
I. Penanganan Pasca Panen
Penanganan pasca panen produk perikanan dapat dilakukan dengan
berbagai metode, yaitu panangana produk biologis, penanganan produk
awetan, dan penanganan produk olahan. Khusus komoditas lobster,
penanganan pasca panen hanya mengunakan metode pertama dan kedua,
mengingat pada umumnya lobster dikonumsi dalam bentuk segar, bukan dalam
bentuk olahan.
Penanganan produk biologis merupakan rangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk mempertahankan mutu produk perikanan tanpa melakukan
perubahan bentuk, bahkan lobster dipertahankan dalam keadaan hidup.
Penanganan produk biologis terhadap lobster dipandang sangat perlu,
mengingat harga akan jauh lebih tinggi apabila dalam keadaaan hidup.
Penanganan produk biologis pada lobster dapat dilakukan denagn pengemasa
dan pengangkutan serta penampungan.
J. Pengemasan dan Pengangkutan
Pada dasarnya, pengemasan dan pengangkutan lobster dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu metode basah (wet method) dan metode kering (dry
method). Metode basah merupakan suatu cara pengemasan dan pengangkutan
lobster beserta air medianya dengan menggunakan fiberglass, styroform, atau
wadah lainya yang dilengkapi dengan instalasi aerasi. Sementara, metode
kering merupakan cara pengemasan dan pengangkutan lobster tanpa
menggunakan air.
Pengangkutan dengan metode kering adalah menciptakan kondisi tertentu
sehingga metabolisme, respirasi, dan aktivitas lobster rendah, dengan kondisi
tersebut lobster memiliki kemampuan hidup diluar kondisi
habitatnya. Langkah-langkah pengemasan lobster dengan metode kering
adalah sebagai berikut :
1. Persiapan dan Penanganan Lobster
21
Sebelum dilakukan pembiusan, diperlukan beberapa tahap persiapan
yang meliputi pemeriksaan kesehatan, pembugaran, dan pemberokan
lobster yang akan diangkut, serta persiapan media dan kemasan untuk
pengangkautan.
2. Proses Pembiusan
Lobster dibius dengan cara menurunkan suhu air secara bertahap
sampai suhu tertentu. Pembiusan dapat dilakukan secara langsung pada bak
pemeliharaan ataupun secara tidak langsung dengan mengunakan wadah
atau bak lainya, seperti akuarium dan baskom. Pembiusan lobster secara
langsung adalah pembiusan yang dilakukan pada bak pemeliharaan. Suhu
air diturunkan secara berlahan dengan menyemprotkan es air laut.
3. Pengemasan
Kemasan yang digunakan adalah kotak styrofoam yang memiliki daya
insulasi tinggi sehingga perubahan suhu didalam kemasan dapat
dipertahankan tetap rendah.
22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tujuan utama Budidaya lobster ait laut adalah memanfaatkan potensi alam
indonesia yang kaya akan hasil laut yang mana secara tidak langsung juga
bertujuan meningkatkan pendapatan masyarakat nelayan dan meningkatkan
ekspor produk hasil laut dalam negeri. Lobster air laut dibudidayakan dari segi
pembesaran dan pembenihan. Pembenihan lobster air laut untuk
bertujuan mendapatkan benih. Pembenihan di lakukan dengan cara
mengawinkan induk jantan dan betina. Benih yang dihasilkan bisa di
budidayakan lewat pembesaran. Pembesaran lobster air laut bertujuan untuk
mendapatkan lobster dewasa yang siap dikonsumsi.
Lobster merupakan hewan malam (nokturnal). Lobster lebih banyak
beraktivitas dan mencari makan pada malam hari atau saat gelap. Karena itu,
pemberian pakan lobster sebaiknya lebih banyak dilakukan pada malam hari.
Pada siang hari, lobster cenderung untuk diam di tempat
persembunyiannya. Mengalami Pergantian Kulit atau Molting Pertumbuhan
lobster ditandai dengan adanya pergantian kulit atau biasanya dikenal dengan
kata “molting”. Seiring dengan pertumbuhannya, pergantian kulit akan
semakin berkurang menjadi beberapa bulan sekali, atau bahkan bisa satu tahun
sekali. Lobster termasuk hewan yang memiliki sifat kanibal atau memakan
sesamanya. Umumnya, lobster yang sedang dalam tahap molting sangat lemah
dan rentan terhadap serangan sesamanya. Untuk itu makanan yang diberikan
untuk lobster yang dibudidayakan harus mencukupi, bila tidak akan terjadi
kanibalisme.
Teknik membudidayakan lobster laut yang baik terdiri dari pemilihan
lokasi budidaya, dan sarana pembenihan yang baik. Setelah lobster
dibudidayakan dengan baik, lobster ditangkap dengan menggunakan alat yang
benar. Baru setelah itu lobster mulai masuk dalam tahap pengemasan agar
dapat sampai ke tangan konsumen.
23
DAFTAR PUSTAKA
Effendie, M.I. 1997. Metoda Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama.
Yogyakarta.
lobster-air-laut.htm
Kadafi, Muammar, et.al., 2006. Aspek Biologi dan Potensi Lestari Sumberdaya
Moosa, M.K. dan I. Aswandy. 1984. Studi Mengenai Pergantian Kulit Udang
Phillips, B.F., J.S. Cobb, and R.W. George, 1980. General Biology. In Cobb, J.S.,
Subani, W., 1987. Perikanan Udang Barong (Spiny Lobster) dan Prospek Masa
Depannya.