Negeriku Di Atas Awan Novel Pemantik Ins
Negeriku Di Atas Awan Novel Pemantik Ins
Negeriku Di Atas Awan Novel Pemantik Ins
di Atas Awan
-----------------novel pemantik inspirasi-----------------
Ilham Kadir
Negeriku di Atas Awan
novel pemantik inspirasi
Penulis:
Ilham Kadir
ISBN: XXX-XXX-XXX-XX-X
Layout Isi:
Sona Purwana
Desain Sampul:
Sona Purwana
Penerbit:
CV. Media Jaya Abadi
Redaksi:
Bandung - Jawa Barat
Telp. +62 812 22205182
Email: [email protected]
ix
x - Ilham Kadir
xi
xii - Negeriku di Atas Awan
1
2 - Ilham Kadir
D
alam bilik yang gelap gulita tanpa ditemani se-
cercah cahaya, aku terbaring sambil termenung
menunggu mata terpejam. Tiba-tiba terdengar
pintu rumah terbuka, sudah kupastikan kalau yang da-
tang membuka pintu itu ayahku. Dia datang ditemani
oleh senternya yang cukup terang dengan menggunakan
dua batu baterai cap puma hitam bertuliskan evready.
Sejenak dia beranjak ke ruang tengah yang sempit.
Kupastikan juga kalau gaya busananya itu-itu saja,
sama seperti seluruh orang kampung di kampungku ini:
celana pendek, sarung digulung, badik di pinggang, dan
kaos oblong pemberian cuma-cuma dari pohon beringin
kala itu.
Ya, rumah ini memang tidak terlalu besar bahkan
tergolong kecil, tidak seperti rumah-rumah yang berje-
jer di samping rumahku, mereka memiliki rumah yang
besar dan menurutku cukup nyaman dan cantik. Adapun
rumahku yang kecil dan tua ini terbuat dari kayu mulai
dari tiang, dinding, dan juga lantainya. Sebagaimana la-
zimnya rumah panggung di daerah Sulawesi.
7
8 - Ilham Kadir
1 Lauk ikan mentah, terbuat dari ikan laut yang masih segar, biasanya baru saja
tiba dari laut. Ikan tersebut hanya dicampur dengan kelapa parut yang dipa-
naskan dengan arang, kemudian diberi limau purut dan bumbu yang khas lalu
dihidangkan.
Pintu 3
Negeriku di Atas Awan
B
akda Asar, sekitar pukul 16.00 waktu Indonesia
bagian tengah, tepat pada tanggal 5 Agustus 1989,
dengan restu dari ibu, aku dan ayah meninggal-
kan kampung halaman menuju pesantren yang terletak
di kampung Pitu-pitu.
Berat rasanya meninggalkan kampung halaman
yang banyak mengukirkan kenangan buat aku seca-
ra pribadi. Sungainya yang panjang nan berliku seakan
membelah dua gunung besar, airnya sangat jernih yang
penuh dengan bebatuan, dalam celah-celah batu itu ter-
dapat ragam jenis ikan: mulai dari ikan lele, emas, mu-
jair, gabus, masapi2, dan beragam jenis ikan air tawar.
Kampung ini juga sangat asri jika dipandang dari
kejauhan, hutan-hutannya lebat, terdiri dari pepohon-
an pinus, kemiri, jati, mahoni, dan beragam jenis pohon
yang menjadikan udara di kampung ini sangat fresh, di
2 Sidat ordo (Anguilliformes) atau yang biasa disebut belut adalah kelompok ikan
yang memiliki tubuh berbentuk menyerupai ular. Ikan ini masuk dalam Ordo
Anguilliformes, yang terdiri atas 4 subordo, 19 famili, 110 genera, dan 400 spe-
sies. Kebanyakan hidup di laut namun ada pula yang hidup di air tawar. Ikan
ini adalah antitesa dari salomon, jika salomon menetas di hulu sungai air tawar
lalu membesar di laut, maka sidat justru bertelur dan menetas di laut lalu mem-
besar di sungai air tawar.
21
22 - Ilham Kadir
K
endati manusia makhluk pelupa, sebagaimana
yang dapat dipahami dari kata asalnya. Yang
berakar dari bahasa Arab, manusia merupakan
bentukan dua kata dasar, yaitu kata ma ‘apa-apa’ dan
kata nasia atau nusia ‘lupa, dilupakan’. Dua kata dasar ini
sebagai kata sifat kemudian membentuk kata majemuk
yaitu manusia.
Karena itulah dapat dipahami jika di negara kita,
kasus demi kasus datang dan pergi. Otak dan watak da-
sar manusia pada umumnya pelupa dan khususnya ma-
nusia Indonesia, lebih khusus lagi para pemimpin kita di
eksekutif dan wakil kita di legislatif, namun lebih khusus
lagi, para penegak hukum. Mereka bukan saja pelupa se-
bagai manusia, tapi telah menjadikan lupa sebagai alat
pembenaran dan pembelaan agar lepas dari tuntutan hu-
kum.
Tapi percayalah. Kalau ada momen-momen terten-
tu yang tak munkin Anda lupakan, apalagi kejadian ter-
sebut dapat mengubah arah hidup Anda. Misalkan per-
nikahan atau seseorang yang memberi kesan mendalam
27
28 - Ilham Kadir
T
epat pada pukul 07.00, hari Senin, tanggal 7 ta-
hun 1989, di sebuah kampung bernama Pitu-
-pitu, kami bersama dengan teman-teman yang
kesemuanya berjumlah 17 orang, mulai diresmikan
menjadi santri yang baru. Aku ketahui kalau nama pon-
dok ini adalah Majelisul Huffazh, tempat para penghafal
Alqur’an.
Di pondok ini, para calon santri harus diresmikan
lebih dulu oleh Bapak Pimpinan, Kiai Said.
Prosesi peresmiannya diawali dengan menyebut
nama-nama santri yang akan diresmikan, termasuk pe-
nyebutan daerah dari mana ia berasal. Saat itu, dari 17
santri mayoritas berasal dari luar Sulawesi Selatan. Se-
lebihnya datang dari Kalimantan, Surabaya, Jakarta, dan
Sulawesi Tenggara. Setelah itu, Kiai Said meminta kepa-
da para calon santri agar berniat dengan benar.
“Sebelum kita memulai peresmian, saya persilakan
kepada anak-anakku semua agar berniat, karena setiap
orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan,” begitu
kata Kiai Said sambil memberikan jeda sekitar tiga me-
nit untuk melakukan niat.
33
34 - Ilham Kadir
9 Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Penyayang, Bacalah…3x., bacalah
dengan menyebut nama Tuhann-Mu Yang telah Menciptakan, Menciptakan ma-
nusia dari segumpal darah, bacalah dan Tuhanmu Maha Mulia. (al Alaq: 1-5).
10 Ya Allah perkayalah daku dengan ilmu, hiasilah daku dengan kelemahlembut-
an, muliakanlah daku dengan ketakwaan, dan percantiklah akan daku dengan
kesehatan.
Negeriku di Atas Awan - 35
11 Ya Allah aku berlindung dari ilmu yang tidak bermanfaat, dengan hati yang
tidak memiliki rasa takut, dari jiwa (nafsu) yang tidak pernah puas, dan dari doa
yang tidak terkabul.
12 Cara penyebutan huruf-huruf hijia’iyyah, atau abjad Arab.
36 - Ilham Kadir
P
ada acara peresmian dan penamatan santri, se-
kaligus ulang tahun pondok Majelisul Huffazh
ke-14, Kiai Said mengisahkan proses pendirian
pondok ini.
“Pondok ini berdiri atas perintah Allah kepada saya
melalui mimpi,” Kiai Said memulai ceritanya.
Mimpi Kiai Said terjadi sewaktu bertugas sebagai
kepala Mahkamah Agung pada pemerintahan Negara
Islam Indonesia (NII) di bawah pimpinan Qahhar Mud-
zakkar di Sulawesi Selatan, perpanjangan dari pemerin-
tahan Kartoswirjo yang berpusat di Jawa Barat. Pak Kiai
sendiri merupakan orang kepercayaan Qahhar Mud-
zakkar, sehingga beliau diamanahi sebagai Ketua Mah-
kamah Agung yang pada awalnya Pak Kiai tidak setuju
dengan pengangkatannya. Tapi karena perintah langsung
dari atasan, maka beliau terpaksa mengemban tugas itu.
Untuk menopang perjuangan NII, Kartoswirjo mem-
bentuk angkatan bersenjata yang diberi nama Gerakan
Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Yang men-
daulat Qahhar Mudzakkar sebagai ketuanya di daerah
37
38 - Ilham Kadir
P
enuturan orang-orang yang pernah bertemu Kiai
Said di Kalimantan Selatan, di sebuah Tanjung
bernama Salamantakan, termasuk dalam territo-
rial Kabupaten Kota Baru, konon kedatangan Kiai Said
di tempat itu menjadikan masyarakat terbelah menjadi
dua bagian. Satu bagian mendukung Kiai Said, dan bagi-
an lain menentang keberadaannya.
Pendukungnya berasal dari kalangan muda yang
progres, menghendaki perubahan, serta beberapa sese-
puh kampung tersebut.
Para penentangnya, mereka yang merasa terusik
kepentingannya semenjak Kiai Said bertapak di kam-
pung ini dan penganut aliran status quo. Selain itu, para
pemuka agama merasa tersaingi karena selama ini tidak
ada yang berani mempertanyakan tata cara beribadah-
nya, fatwa-fatwa agamanya seakan menjadi kredo, dan
beberapa kebijakannya terhadap masyarakat umum
yang dianggap menyimpang.
Sedangkan Kiai Said, memiliki pemahaman tidak
jauh dengan Persatuan Islam (Persis) atau Muhamma-
43
44 - Ilham Kadir
P
rosesi Peresmian hari itu terasa penuh sesak.
Rumah sempit, beratap daun rumbia itu menjadi
pengap, bercampur dengan asap kayu bakar oleh
para pemasak dari dari ibu-ibu sekampung dengan su-
karela di kolong rumah. Aroma daging menusuk ke lam-
bung yang sedari tadi sudah minta diisi.
Tamu tak henti-hentinya berdatangan, wajah-wajah
mereka menampakkan, kalau para hadirin berasal dari
suku, bahasa, dan warna, bahkan aroma yang berbeda.
Tapi sepertinya masih didominasi suku Bugis. Walau ber-
ada dari pulau atau propinsi yang berbeda. Tandanya, ak-
sen Bugisnya tidak ada yang selaras.
Orang Bugis, bahkan suku lain juga mungkin begitu.
Jangankan berbeda kabupaten, cukup dengan beda ke-
camatan saja, sudah memiliki gaya dan struktur bahasa
tersendiri. Ada, atau banyak di antara mereka berkela-
hi, baku tikam, hanya karena saling mengejek logat dan
gaya penyampaian. Kendati masih dalam kalimat yang
sama. Yang membedakan hanya intonasi.
49
50 - Ilham Kadir
T
ujuan pengembaraan Kiai Said selanjutnya ke
Pulau Jawa. Tepat di bagian timur pulau ini. Per-
sis di ujung dekat laut, juga pelabuhan.
Sudah umum, di nusantara. Penguasa terselubung
di area pelabuhan biasanya didominasi para orang Bugis.
Termasuk di Tanjung Perak Surabaya. Hanya bermodal-
kan nyali yang besar, badik sebelah kiri dekat tulang ru-
suk, atau dalam gulungan sarung. Walau kadang juga ada
yang punya paggaggara’20.
Di pelabuhan ini, terlihat kapal perahu phinisi hilir
mudik tak henti-hentinya di sepanjang tahun. Masuk dan
keluar, seperti angkot di terminal.
Perahu-perahu itu, datang dari beragam daerah di
Sulawesi. Membawa hasil bumi berupa beras, kacang-
-kacangan dan beragam jenis rempah-rempah, juga ti-
dak sedikit mengangkut beragam jenis kayu dari pelba-
gai hutan di Sulawesi dan Kalimantan.
55
56 - Ilham Kadir
22 Zikir yang disunnahkan untuk dibaca setiap selesai salat, terutama dalam pe-
nutup seluruh zikir-zikir.
23 Kelimat yang baik, dengan mengucapkannya orang dapat pahala.
60 - Ilham Kadir
J
arum panjang jam dinding sudah menunjuk pada
angka tiga, sementara jarum pendek tepat menun-
juk ke arah angka kesepuluh. Itu artinya sudah tiga
jam lima belas menit prosesi peresmian dan penamatan
santri sedang berjalan.
Lantai rumah yang beralas papan dan dilapisi tikar
pelastik ini, membuat tempat duduk seperti abu panas.
Makin lama terasa makin panas. Dengan mengenakan
celana panjang levis tebal berkantong empat. Dua di ba-
gian belakang kiri kanan dan dua di bagian lutut, juga
kiri dan kanan makin membuat suhu tempat duduk sea-
kan menyala-nyala.
Gerincing piring dari dapur dan ruang tengah su-
dah terdengar saling baradu. Oh… pertanda cerita Kiai
Said akan segera tutup. Aku menantikan saat-saat itu. Je-
nuh duduk di tengah orang banyak. Pikiranku juga sudah
mulai tidak fokus, malah beralih memperhatikan seekor
kucing yang hilir mudik di depanku. “Ini kucing meng-
ganggu saja!” gumamku.
61
62 - Ilham Kadir
M
alam itu, masih pada hari yang sama. Hari
ulang tahun ke-14 Pesantren Majelisul Huf-
fadz. Aku sudah memulai hafalan. Dari surah
29
al Fatihah . Surah ini tidak begitu sulit bagiku. Sudah di
luar kepala. Yang ini tidak ada masalah.
Melangkah kepada halaman berikutnya. Awal su-
rah al-Baqarah, lima ayat pertama. Sudah mulai terasa
berat. Tapi dapat kuatasi malam itu juga. Lumayan hafal.
Kendati belum terlalu lancar. Yang ini juga bukan masa-
lah besar buatku. Dengan otak yang masih fresh rasanya
tidak begitu susah.
Masih malam itu. Menjelang pukul 10.30. Waktu
tidur. Kucoba membuka halaman ketiga. Mulai terasa
berat.
Hal yang menjadikan aku susah menghafal, setelah
diagnosa oleh beberapa teman. Tidak lancarnya baca-
an Qur’anku. Inilah yang membuat aku keteteran. Lain
halnya dengan teman-teman, mereka memang sudah
29 Surah pertama dari Alqur’an, memiliki tujuh ayat, kaum muslimin wajib meng-
hafalnya, karena surah ini menjadi syarat utama sahnya salat.
67
68 - Ilham Kadir
D
i kampung ini, Pitu-pitu, tempat berpijaknya
Pondok Pesantren Majelisul Huffazh. Tidak ada
sungai. Air sumur di kolong rumah pimpinan
yang lebih tepatnya dikatakan asrama ini, hanya cukup
dipakai berwudlu untuk sembahyang. Juga tidak mung-
kin diminum airnya. Rasanya payau.
Di lain pihak, penggunaan air dalam urusan masak
memasak kian hari kian bertambah, seiring bertambah-
nya jumlah santri.
Pondok ini juga bebeda, tidak memiliki jadwal khu-
sus penerimaan santri baru. Kapan saja, sepanjang wak-
tu, siapa pun bebas masuk belajar dan mondok.
Untuk mengatasi krisis air, dibentuklah kelompok-
-kelompok selama seminggu. Setiap kelompok sedikit-
nya beranggotakan lima personil. Kelompok inilah kelak
yang bertanggungjawab dalam menyuplai air bersih di
dapur, untuk keperluan masak-memasak dan lainnya.
Sumber air bersih tersebut berasal dari sebuah su-
mur, berjarak sekitar dua kilometer dari rumah pim-
pinan. Sumur itu dinamakan Buhung diase’, sumur atas.
73
74 - Ilham Kadir
P
erlahan namun pasti, aku sudah mulai beradap-
tasi di pondok ini. bacaan Alqur’anku juga sudah
mulai membaik. Lancar.
Kontras dengan keadaanku pada awal-awal. Ini se-
mua berkat kesabaran muqri’ tempat aku menyetor ha-
falan. Ustadz Muhammad dan Ustadz Rahman, mereka
berdualah yang membimbing kami. Juga berkat bantuan
teman-temanku, yang selalu bersedia menyimak, dan
mengoreksi bacaanku. Ada Amin, Aqsa, dan Kak Sabir.
Mereka tak kalah berjasanya dalam mengajari aku tata
cara baca Qur’an dan menghafal dengan baik.
Kadang-kadang juga aku diajari oleh Bunda Hasa-
nah, jika aku mangolo padanya.
Selain itu, aku sudah dapat kepercayaan dari Kiai
Said untuk beberapa hal, seperti menangani urusan be-
lanja di dapur.
Di pondok Majelisul Huffazh, seluruhnya ditangani
langsung oleh Kiai Said, terutama yang bersangkutan
dengan urusan perut. Isi perut maksudnya. Semuanya
tanggungjawab Kiai Said, tidak ada sangkut pautnya de-
79
80 - Ilham Kadir
E
ntah kebetulan, atau sudah jalan hidupku. Tak-
dir yang baik. Sebuah kebetulan yang betul-betul
berharga. Di saat aku datang ke Majelisul Huf-
fazh rupanya, juga baru kedatangan para santri yang di-
sebut santri senior.
Senioritas mereka diukur dari keilmuan mereka.
Kalau sebelum ini sebuah senioritas lebih diukur dari
umur para santri. Tapi sekarang, tidak.
Mereka adalah lulusan PM Gontor. Yang datang ke
Majelisul Huffazh untuk menghafal Alqur’an sekaligus
mengajar. Mengabdi.
Mereka para anak muda yang progres, memiliki be-
ragam talenta, kemampuan dalam berbahasa, baik Arab
maupun Inggris. Atau juga dalam pengelolaan lembaga
pendidikan. Management.
Mereka inilah yang benar-benar berfungsi sebagai
agen perubahan di Pondok ini: agent of change.
Sebelumnya, di Pondok Majelisul Huffazh hanya
memiliki satu jenis muatan dalam belajar. Yaitu berhu-
bungan dengan Menghafal Alqur’an saja. Kalau pun ada
85
86 - Ilham Kadir
43 Salah satu jenis tulisan dalam bahasa Arab. Berasal dari Turki, yang dipakai
dalam penulisan Mushaf Alqur’an dan kitab-kitab Arab pada umumnya.
44 Huruf-huruf dasar dalam Bahasa Arab.
92 - Ilham Kadir
P
ukul 10.00 pagi, para murid-murid KMI bubar,
selanjutnya giliran Kiai Said pula yang mengha-
dapi mereka. Sebagai muqri’, untuk mengecek
hafalan. Hinggal pukul 11.30. namun sering juga Kiai
Said memberikan pelajaran tambahan kepada para guru
di atas berupa pelajaran tulis-menulis aksara lontara
plus bahasa Bugis.
Caranya, Kiai Said menulis di papan tulis, selanjut-
nya beliau menerangkan sebagaimana biasanya seorang
guru mengajar para muridnya. Kemudian memberikan
tugas, memeriksa, mengoreksi, dan memberi nilai.
“Tata cara penulisan lontara, tidak jauh beda de-
ngan bahasa Inggris, lain tulisannya lain pula bacanya…”
seloroh Kiai Said.
Aku juga termasuk salah satu pelajar Kiai Said da-
lam pelajaran baca tulis lontara. Kendati pernah belajar
sewaktu di SD namun aku tidak begitu pandai, dan tidak
pula tertarik untuk belajar aksara yang aku anggap ru-
mit dan aneh ini.
93
94 - Ilham Kadir
53 Dalam aksara Arab, terdapat dua huruf ta’ satu disebut ta’ maftuhah (terbuka)
satu lagi ta’ marbuthoh (tersimpul, bulat).
100 - Ilham Kadir
Pintu 16
A Gift
K
alau ada kompetisi mengenai siapa orang ter-
sibuk di dunia? Maka kandidat yang akan aku
ajukan adalah Bunda Hasanah, dialah yang tepat
untuk mengisi kompetisi itu. Dan dia bakal menang aku
yakin sekali itu. Yakin seyakin-yakinnya.
Bahkan wanita ini, belum pernah kusaksikan se-
dang berleha-leha, santai-santai, tertidur, atau ketidur-
an. Sama sekali tidak. Yang dapat kupastikan. Aku tidur
sebelum dia tidur untuk istirahat, dan bangun sebelum
aku dibangungkan oleh beliau sendiri. Bunda Hasanah
yang bangunkan kami semua. Kami, semua para santri
tinggal serumah dengannya.
Selain jadi muqri’, menjadi murid KMI, menyedi-
akan makanan untuk seluruh santri Majelisul Huffazh
baik senior maupun junior, menjadi guru ngaji para san-
tri yang masih SD dan warga sekitar, Bunda Hasanah
juga tidak jarang kedatangan tamu. Seluruh tamu-tamu
perempuan pastinya bertemu dengan beliau, tak kenal
waktu. Tak berjadwal.
101
102 - Ilham Kadir
R
utinitas harian Kiai Said selama 24 jam, pada
dasarnya tidak ada yang begitu istimewa. Ke-
lihatannya biasa-biasa saja. Terlihat santai. Tapi
itu bagi kami. Adapun orang luar pasti ceritanya beda,
dan akan menilai sosok Kiai yang kelihatan sarungan ini
memiliki keistimewaan.
Memiliki dua istri pada waktu yang bersamaan alias
poligami. Itulah sosok Kiai Said. Beliau dengan sekuat
tenaga membagi jatah dengan seadil-adilnya kepada ke-
dua istrinya. Nafkah lahir batin, waktu, dan sebagainya.
Dengan cara, menggilir waktu untuk kedua istrinya.
Rumahnya ada dua. Sebelah selatan yang dihuni
oleh Ibunda Munirah dan sebelah utara oleh Ibunda Ha-
sanah, tempat kami tinggal.
Sehari di utara sehari di sebelah selatan.
Jika beliau menginap di tempat kami tinggal, sebe-
lah utara tepatnya di rumah Bunda Hasanah, beliaulah
yang memimpin salat berjamaah, lima waktu.
Kiai Said juga memiliki komunitas tersendiri, me-
reka biasa juga disebut anshar ma’had, mungkin dikata-
109
110 - Ilham Kadir
yang telah dipotong oleh Puang Ali, dan juga berapa ke-
pala yang sudah dipancung, tak terkira pula berapa lela-
ki atau pun wanita yang telah beliau dera. Banar-benar
eksekutor berdarah dingin!
Postur tubuhnya jangkung, di atas 180 cm, kelihat-
an kurus, agak bungkuk karena faktor usia yang sedikit
lebih muda dua tahun dari Kiai Said. Kelopak matanya
cekung dan biji matanya merah. Suaranya lantang. Ram-
butnya kriting, warna kulitnya hitam.
Dua tahun pertama aku di Pondok Majelisul Huf-
fazh, masih tetap pusat kendali dipegang oleh Kiai Said
dan istrinya, termasuk urusan perizinan dan sebagainya.
Namun Kiai Said dan Bunda Hasanah tentunya tidak
menjadi eksekutor pada para santri yang melanggar tata
tertib. Dalam hal ini yang menjadi bagian pengasuhan
adalah Puang Ali. Yang telah kuceritakan ciri-cirinya.
Menyebutkan namanya saja, kadang membuat jan-
tung berdetak kencang seakan mau copot, apa lagi ber-
temu dengannya. Dia jugalah yang tidak jarang mem-
bangunkan para santri dari tidurnya setiap menjelang
Subuh, dan memastikan agar tidak ada santri yang terti-
dur atau ngantuk saat waktu menghafal. Terbukti ampuh
sebagai bagian pengasuhan, begitu dia bersuara, para
santri bangun dengan sigap, suaranya menggelegar bak
guruh. Dan terpaksa menahan kantuk. Jika ternyata ma-
sih saja ada yang mengantuk, maka telinganya akan dije-
wer hingga seakan hendak copot.
Dan memang tidak tanggung-tanggung dalam mem-
berikan sangsi kepada santri yang kedapatan bersalah,
112 - Ilham Kadir
S
ejak awal berdirinya Pondok Majelisul Huffazh,
semenjak itu pula pondok mengalami hambatan
dari pihak pemerintah. Bahkan sebenarnya pada
awal pendiriannya, pondok ini disepakati dengan meng-
gunakan nama ‘Pondok Pesantren Darul Ulum’, namun
karena dihalangi oleh pihak pemerintah maka Kiai Said
memilih nama Majlisul Huffazh saja, jadi kedengarannya
lebih sederhana dan familiar. Tidak jauh beda dengan
majelis taklim. Yang sering dikoordinir para ibu-ibu.
Hal yang membuat pemerintah selalu paranoid pada
Kiai Said disebabkan oleh masa lalunya sebagai pentolan
DI/TII plus cara ibadahnya yang dianggap berseberang-
an dengan masyarakat setempat pada umumya. Kiai Said
tidak berpegang pada salah satu mazhab tertentu alias
pelopor kemerdekaan dalam bermazhab di Tanah Bugis.
Kalau masalah masa lalunya yang pernah menjabat
sebagai Ketua Mahkamah Agung DI/TII tentu tidaklah
begitu masalah, karena semenjak tertembak dan ma-
ninggalnya Qahhar Muzakkar selaku panglima tertinggi
pada tahun 1965, maka seluruh anggotanya diberi am-
115
116 - Ilham Kadir
S
ore itu, sebuah papan bertuliskan, Yayasan Pendi-
dikan Islam Pondok Pesantren Majelisul Huffazh,
Pitu-pitu Kajuara Bone. Berukuran 50 x 100 cm.
dengan background warna hijau daun, tulisannya meng-
gunakan warna putih, didahului dengan lafaz “Bismilla-
hirrahmanirrahim” di bawahnya juga bertuliskan kode
dan nomor akta notaris.
Tulisannya sangat jelas dan indah, ditulis dari ta-
ngan terampil dan ahli dibidangnya. Ustadz Arif.
Papan itu digotong dan digantung ramai-ramai oleh
para santri dan guru, di antara dua tiang yang sudah
dipancang lebih dulu. Persis di depan kampus, pinggir
jalan poros Bone-Sinjai. Siapa pun menoleh kearah kam-
pus, akan menangkap mata tulisan yang terpampang itu.
Ternyata tulisan itulah yang menimbulkan masalah
besar di pondok ini. Pemerintah yang diketuai Pak Ca-
mat dan konco-konconya. Kapolsek dan Koramil, semu-
anya muntab, marah semarah-marahnya. Melebihi ma-
rahnya Fi’aun kepada Musa yang mendakwahinya.
123
124 - Ilham Kadir
dan tidak pernah ingin ikut campur.” Jawab Pak Desa de-
ngan nada terbata-bata dan kelihatan sangat ketakutan,
keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.
☘
T
idak terasa, sudah dua tahun KMI berjalan, tera-
sa waktu begitu cepat, hari-hari terus berkeja-
ran, bulan-bulan silih berganti. Pondok Majelisul
Huffazh juga sedikit-demi sedikit menemukan fomula-
sinya. Berkembang seiring berduyun-duyunnya para
alumni PM Gontor yang datang berguru pada Kiai Said,
sambil mengamalkan ilmunya.
Para santri juga kian bertambah, rumah Kiai Said
sudah tidak mampu menampung santri-santri yang terus
berdatangan tak kenal jadwal.
Jika pada awal kedatanganku. Seluruh santri ma-
sih tinggal di rumah Bunda Hasanah, dan sebagian kecil
tinggal bersama Bunda Munirah di sebelah selatan me-
reka terdiri dari sanak familinya yang datang mondok di
Majelisul Huffazh. Kontras dengan Bunda Hasanah yang
mengurus seluruh santri yang tak kenal etnis dan latar
belakang, semua dijadikannya keluarga. Karena terlalu
sesak, maka kolong rumah Bunda Hasanah disulap men-
jadi asrama santri. Bertahan beberapa bulan. Santri kian
137
138 - Ilham Kadir
K
ini Darul Hijrah sudah tidak ada lagi, hanya
tinggal kenangan. Guru-gurunya juga sudah
hijrah, entah kapan ia kembali. Kami maklumi
bahwa kedatangan mereka ke Pondok Majelisul Huf-
fazh untuk menghafal dan berguru pada Kiai Said plus
mengabdi, dan durasi dua tahun merupakan masa yang
cukup buat itu semua. Kendati di antara mereka kelak,
ada yang cepat dan ada pula yang betah hingga mencapai
satu priode pemilihan presiden, bahkan lebih.
Di lain pihak para siswa kelas Darul Hijrah juga ti-
dak sedikit yang mengikuti jejak para guru yang telah
hijrah. Mereka pun ikut-ikutan hijrah ‘alad dawam, un-
tuk selamanya. Beragam alasan. Mulai dari tidak tahan
oleh adanya disiplin, sudah tidak kuat menghafal, sudah
khatam hafalan, ingin menyambung sekolah di luar, juga
kerena ingin melanjutkan pendidikan di PM Gontor.
Teman-teman yang dekat dengan aku, seperti Amin,
Aqsa, Rasydin dan Kak Sabir juga meninggalkan pondok.
Amin dan Aqsa hijrah ke PM Gontor sedangkan Kak Sa-
bir dan Rasydin pulang kampung untuk selamanya.
145
146 - Ilham Kadir
kelas. I-a, I-b, dan I-c, sedang kelas dua terdiri dari dua
kelas. Kelas II-a, dan II-b.
☘
H
atta, teman sekelasku, anak yatim yang diasuh
oleh Bunda Hasanah semenjak kelas empat
Sekolah Dasar, dia termasuk keluarga dekat
dengan Kiai Said. Berasal dari Sumbawa. Anaknya seu-
muran denganku, bentuk fisik juga tidak jauh beda. Se-
dangkan Azis berasal dari Kecamatan Cina, masih tergo-
long Kabupaten Bone, memerlukan sedikitnya dua jam
perjalanan dengan angkutan umum jika ingin menggapai
rumahnya. Sebelum mondok di Majelisul Huffazh, Azis
sudah terlebih dulu mengenyam pendidikan di dua pon-
dok pesantren yang berbeda. Ma’had Hadits Biru di Kota
Bone yang didirikan oleh KH. Junaid Sulaiman, bahkan
sempat pula ia mampir di Ma’had As’adiyah Sengkang,
tempat belajar Kiai Said sewaktu kecil di bawah asuhan
Al-Bugisi.
Ma’had As’adiah merupakan pondok pesantren
yang tertua di Indonesia bagian Timur, dulu namanya
Madrasah Arabiyah Islamiyah atau MAI Sengkang. Pon-
dok ini merupakan pionnir dari hampir seluruh pon-
dok yang ada di Sulawesi Selatan. Merupakan pencetak
153
154 - Ilham Kadir
Disiplin Umum:
Santri tidak diperkenankan merokok selama menja-
di santri.
Santri tidak diperkenankan berkunjung ke rumah
Negeriku di Atas Awan - 159
B
unda Hasanah memang bukan sekadar orangtua
pada umumnya, di samping beliau memiliki ke-
cerdasan intelektual, spiritual, juga emosional.
Seakan kebaikan setiap sosok wanita terhimpun pada-
nya. Susah menemukan celah, di kala kami kesusahan
beliaulah yang membantu, dan mengayomi. Di kala sa-
kit, beliaulah yang paling duluan merawat kami. Tidak
ada pilih kasih di antara kami. Semua sama di mata Bun-
da Hasanah. Semua dijadikan anak.
“Kalian semua anakku, jangan sungkan-sungkan
pada saya,” begitulah pesan Bunda selalu pada kami.
Pernah ketika aku sedang sakit keras, dalam wak-
tu yang cukup lama. Lebih dari sebulan, Bunda Hasa-
nah yang merawatku, memperlakukan aku laksana anak
kandungnya sendiri. Bahkan aku ditidurkan di atas tem-
pat tidurnya.
Komunikasi antara aku dan orangtua di kampung
sangat sulit, kendati Pitu-pitu masih satu Kabupaten de-
ngan kampung halamanku, bahkan hanya berselang dua
Kecamatan. Tapi karena medan ke kampung halamanku
161
162 - Ilham Kadir
P
endidikan di Majelisul Huffazh kian satabil, jika
dulu kedatangan para santri-santri yunior atau
yang datang untuk belajar dengan full time, tidak
teratur. Biasanya mereka datang sesuai keinginan dan
kesempatan mereka. Namun setelah terformulasinya
sistem KMI dengan baik, dan sejak terbentuknya ba-
gian-bagian–seperti komisi dalam tatanan legislatif atau
kementrian dalam tatanan eksekusif—sebagai tuntutan
dari banyaknya santri. Maka waktu penerimaan santri
baru pun telah dipatenkan. Yaitu bermula dari bulan Juli
hingga Agustus setiap tahunnya.
Pada perkembangan lainnya. Pondok yang dulu
menjadi musuh bebuyutan dengan aparat pemerintah
laksana tom & jerry, kucing dan tikus. Kini sudah mulai
terjalin komunikasi. Terpaksa akur. Karena santri sudah
terlalu banyak. Atau bisa juga karena Pitu-pitu telah ter-
dengar gaungnya di mana-mana.
Santri yang datang ke sini untuk belajar betul-betul
datang dari seluruh penjuru arah mata angin. Dari Sa-
bang sampai Merauke. Mulai dari suku Aceh sampai
167
168 - Ilham Kadir
T
inggal kami bertiga. Aku, Sultan, dan Hatta yang
tersisa ketika duduk di kelas empat KMI, Basri
pulang ke kampung halamannya dan belum jua
kembali. Dapat dipahami memang, kampung halaman-
nya yang nun jauh di Sumbawa NTB itu telah ditinggal-
kannya selama tujuh tahun lamanya. Dia ke Pitu-pitu
sejak menginjak kelas empat sekolah dasar, hinggalah
liburan akhir tahun kelas 3 KMI.
Adapun Azis karena alasan sakit-sakitan, juga ter-
paksa meninggalkan pondok, cuti untuk jangka waktu
yang tidak terbatas. Beberapa lama kemudian, aku men-
dapatkan surat yang beramplop warna putih dengan
prangko gambar Pak Harto, Presiden Republik Indone-
sia.
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Syukur Alhamdulillah karena kita masih diberi ka-
runia dan nikmat yang tak terhingga dari Allah swt.
shalawat serta salam kita limpahkan kepada Bagin-
da Nabi Muhamaad saw.
175
176 - Ilham Kadir
S
emenjak kedatangan Bapak Bupati di Pondok dan
telah berubah nama menjadi Darul Qurra’, yang
dulunya bernama Majelisul Huffadz, membuat
pondok ini laksana kepompong merubah diri menjadi
kupu-kupu. Dapat terbang sesuka hati untuk menam-
pakkan diri. Tidak ada lagi halangan, rintangan, maupun
hambatan yang berarti. Bebas dan merdeka.
Gaungnya kian menggelegak seantero nusantara,
bahkan santri dari mancanegera pun datang, dari nun
jauh di benua lain, dari sebuah Negera bernama Surina-
me sampai Negeri Jiran juga ada di sini.
Tertib administrasi juga sudah berjalan, santri didata
dan dibuatkan laporan bulanan kepada pihak pemerintah.
Jumlah guru juga menggapai puncaknya, menghampiri se-
ratus personil. Santri yuniornya pun sudah ratusan.
Masalah baru timbul. Pondok sudah over capacity,
tidak dapat lagi menampung jumlah guru dan santri yang
datang berguru.
Salah satu faktornya karena silih bergantinya me-
dia datang meliput pondok yang dianggap unik bahkan
189
190 - Ilham Kadir
Pintu 27
Pasukan Nabi Sulaiman
S
emenjak terbebaskannya lokasi tempat berdiri-
nya kampus baru, pekerjaan terus berlangsung
tak mengenal waktu. Sepertinya para pekerja
yang terdiri dari para santri dan tukang, baik kayu mau
pun batu, hanya istirahat jika makan dan salat. Di waktu
malam sekalipun para santri hanya berhenti bekerja jika
jarum jam menunjuk ke angka sepuluh. Setiap santri di-
gilir, untuk terjung bekerja. Jadi aktivitas belajar meng-
ajar tetap normal sebagaimana biasanya. Adapun jumlah
personil yang diturunkan biasanya mencapai dua sampai
empat kelas.
Kecuali kami, yang telah duduk di kelas lima. Kami
bertiga, usai menjalani pelajaran di kelas, harus sege-
ra terjun bekerja di siang harinya. Mulai dari mengatur
para santri yang bertugas bekerja hingga menyediakan
logistik berupa konsumsi para tukang. Semua dimasak
oleh Bunda Hasanah, yang jumlahnya sangat tergantung
dari laporan yang aku berikan.
“Iwan… pastikan semua tukang mendapat konsumsi
dari dapur.” Ujar Kiai Said padaku.
196 - Ilham Kadir
D
uduk di kelas lima KMI, memaksa kami berti-
ga untuk pintar-pintar membagi waktu, mulai
dari penguasaan terhadap pelajaran, membantu
Ustadz Muhammad di empang, mengatur tempat kerja
tukang bangunan di kampus baru, sampai sibuk menjadi
bagian penggerak bahasa dan penerangan yang berna-
ung di bawah Organisasi Santri Darul Qurra’.
Selaku ketua bagian penerangan dan penggerak
bahasa, maka aku adalah contoh kepada segenap santri
dalam hal berbahasa dengan baik dan betul, baik itu ba-
hasa Arab, maupun bahasa Inggris. Aku mesti lebih baik
daripada teman-teman yang lain.
Adapun Hadi dan Hatta teman kelasku. Hadi men-
jabat sebagai ketua Organisasi Santri, kurasa memang
dia layak, selain orangnya tidak banyak tingkah seperti
aku, dia juga anaknya cerdas dan sangat berwibawa. Ber-
kali-kali menjadi juara umum di pondok. Artinya dialah
yang paling tinggi nilai hasil ujiannya, dia juga termasuk
santri yang memiliki reputasi sebagai santri paling taat.
Tidak pernah melanggar.
203
204 - Ilham Kadir
“Iya, cukup.”
Kami bertiga langsung menjinjing tas berisi pakaian
dan kardus mie instan yang berisi buku masing-masing,
tidak begitu banyak yang melihat kami berangkat kare-
na para santri masih sibuk membaca Alqur’an di mas-
jid. Hanya beberapa guru-guru KMI yang menyaksikan
kami. Namun mereka semua sudah tahu tujuan kebe-
rangkatan kami.
Pete’-pete’ menderu, meninggalkan Pitu-pitu, kota
santri yang mungil dan banyak menggoreskan kenang-
an buat kami bertiga, berat rasanya meninggalkan kam-
pung yang tidak ada hulu sungainya ini. Penduduknya se-
bagian ramah dan sebagian jutek, namun tidak ada yang
berani bebuat macam-macam sama santri dan pondok
karena mereka semua segan dan hormat pada pimpinan
kami. Kiai Said, selain itu, Pondok Darul Qurra’ telah
menyulap Pitu-pitu menjadi kampung yang masyhur dan
penuh berkah.
Mobil pete’-pete’ tua ini, menempuh perjalanan
satu jam tiga puluh menit untuk bisa sampai ke pasar
Palattae, di sana kami telah ditunggu oleh Pak Musa dan
H. Daud, selanjutnya kami diantar menggunakan mobil
pick up milik H. Daud ke kampus tiga yang berjarak
sekitar dua kilo meter dari pasar Palattae. Sebuah ba-
ngunan setengah jadi, memiliki dua kamar, berlantai se-
men dan dialasi dengan karpet plastik. Di sinilah kami
meletakkan barang-barang.
210 - Ilham Kadir
W
an… ada kabar gembira buat Ente, sahut
Hadi kepadaku, yang baru saja tiba dari Pitu-
-pitu. Terasa aneh memang jika kita menda-
pat informasi yang baru dan sepertinya itu penting, seba-
gaimana ekspresi pembawa beritanya. Bertahun-tahun
aku di pondok, tidak pernah sekali-sekali pun mendapat
kata-kata di atas. Berita gembira. Wah sunggu senang ra-
sanya hati ini.
“Ada berita apa ya?” tanyaku heran.
“Ini ada yang perlu Ente tandatangani.” Sambil
membuka restling tasnya yang berisi buku dan peralatan
tulis-menulis untuk kelas mustawa’, tapi yang dikeluar-
kan sepertinya sebuah kertas warna merah tua berukur-
an mini dan tebal.
“Ini tandatangani, Ente dapat wesel.”
Dalam waktu sekejap, wesel itu telah aku genggam,
dan kubaca apakah betul itu buatku, dan siapakah pengi-
213
214 - Ilham Kadir
68 Sahabat Allah.
218 - Ilham Kadir
D
ari rumah, setelah pamit dengan kedua orang-
tuaku, aku pun berangkat ke arah Barat tuk
menggapai daerah Camba dengan berjalan kaki
di atas jalan setapak, membelah hutan belantara, padang
ilalang, mendaki gunung, dan menyeberangi suangai-
-sungai. Panjang perjalanan melebihi empat puluh kilo-
meter. Aku ikut dengan rombongan orang-orang yang
bermusafir ke Pasar Camba untuk berbelanja, mereka
menggunakan kuda sebagai armada angkut utamanya, di
sana mereka bermalam minimal semalam di area pasar.
Para pedagang ini memiliki komunitas yang sangat erat
di antara mereka.
Masyarakat sekampungku, jika ingin berbelanja ba-
rang-barang dagangan, maka mereka harus ke Camba,
atau ke Makassar, bukan ke Ibu Kota Kecamatan. Di sam-
ping harganya lebih murah, juga jarak tempuh dan wak-
tu digunakan jauh lebih singkat, kendati kondisi jalanan
sama-sama mengenaskan, berlobang, berlumpur, licin
selicin belut, lobang-lobang jalanan diperparah dengan
ulah babi-babi hutan yang memanfaatkannya sebagai
223
224 - Ilham Kadir
T
ulislah apa yang kalian saksikan, rasakan, dan
alami… kita semua manusia yang menjadi pelaku
sejarah. Keadaan hari ini akan menjadi sejarah
pada masa yang akan datang, jangan hanya menjadi pem-
baca sejarah. Namun jadilah bagian dari pencetak seja-
rah! itulah kata-kata Ustadz Effendi sewaktu aku masih
duduk di Kelas Dua KMI. Saat itu Ustadz asal Sumate-
ra Selatan bersuku Palembang Ini menggantikan posi-
si Ustadz Arif yang telah berangkat ke Kuala Lumpur
Malaysia melanjutkan studinya di International Islamic
University Malaysia.
Ustadz Effendi sendiri, alumni PM Gontor angkatan
tahun 1990, berasal dari Palembang, tulisannya juga sa-
ngat bagus, layak menggantikan posisi Ustadz Arif yang
sebelumnya karena tidak ada yang sanggup mengambil
posisinya. Khat memang pelajaran yang berbasis pada
bakat, dan bakat itu pembawaan sedari rahim ibu. Tidak
ada yang dapat membeli bakat.
229
230 - Ilham Kadir
76 Salat Sunnah yang dilakukan sebelum duduk ketika masuk dalam masjid, jika
waktunya memungkinkan.
77 Penulis khat.
Negeriku di Atas Awan - 241
K
eesokan harinya, setelah pamit dengan tante-
ku. Aku pun meninggalkan rumahnya, dengan
tas ransel milikku. Aku kembali akan bertemu
Azis di tempat kemarin kami berjumpa. Di sudut utara
Lapangan Karebosi. Cukup dengan naik becak, dengan
ongkos Rp. 3000 dari Jalan Butta Teana ke Jalan Bulu
Saraung, tepat di samping gedung kantor BNI. Hanya
dengan menyeberang jalan, aku pun kembali sampai di
sudut sebelah utara Lapangan. Lapangan yang memiliki
nilai historis yang mungkin tidak pernah ada saingannya.
Jadi bukan sekadar lapangan.
Mengaitkan kisah Lapangan Karebosi dengan epos
rakyat memang memerlukan ranting berakar kuat. Ba-
buritas cerita memang akan terasa irasional jika tak
disikapi dengan bijak. Syahdan, awal Karebosi tak ter-
pisahkan dari lahirnya Kota Makassar. Pada zaman
pendudukan Belanda, Makassar bernama Jumpandang.
Nama ini merupakan pemberian kolonialisme yang di-
ambil dari harfiah ‘ujung pandangan’ atau ‘batas pengli-
245
246 - Ilham Kadir
Tertanda
Ibu Kos.
B
akda Asar, sesuai janji Azis padaku. Kami pun be-
rangkat ke Pantai Losari, pantai yang indah nan
menawan. Kami naik pete’-pete’ dari depan kam-
pus IAIN menuju ke ujung Jalan Andi Tonro Raya, ber-
henti di persimpangan lampu merah, selanjutnya naik
Pete’-pete’ jurusan Jalan Nuri yang dapat melewati jalan
utama tepi Pantai Losari.
Tinggal di daerah Manuruki, memang terasa bera-
da tidak jauh dari pusat kota, ditambah dekatnya kam-
pus-kampus utama yang ada di Ujung Pandang. Seperti
IAIN, IKIP, UNISMUH, dan beberapa kampus Lainnya.
Yang agak lumayan jauh adalah kampus Unhas dan kam-
pus baru UMI.
Aku dan Azis turun tidak jauh dari pelabuhan ber-
sejarah. Poutere, di sinilah tempat berlabuh para peda-
gang-pedagang dari berbagai penjuru, sejak zaman da-
hulu hingga saat ini, dengan menggunakan kapal layar
tradisional. Hingga sekarang, pelabuhan ini masih tetap
aktif.
253
254 - Ilham Kadir
☘
Negeriku di Atas Awan - 267
H
ari ini hari terakhir aku berlibur di Ujung Pan-
dang. Besok aku harus kembali, karena lusa
sudah masuk bulan puasa. Kendati sebenarnya
aku masih punya jatah liburan lima hari ke depan, tapi
karena aku mendapat jadwal sebagai imam dan pencera-
mah, memaksa aku untuk cepat kembali, selain itu Kiai
Said juga akan datang ke Palattae sebagaimana bulan pu-
asa tahun lalu.
“Wan, hari ini ikut aku ke kampus ya?”
“Iya, tapi apa tidak ada masalah kalau saya ikut
Ente, saya bukan mahasiswa!”
“Owh, tidak masalah, sama sekali tidak, kampus
adalah milik siapa saja, bahkan Ente bisa sekalian masuk
ruang kuliah mengikuti materi dari para dosen.”
“Hm.. begitu ya?”
“Oya, sekalian bawa aja barang-barang, di sana, de-
kat terminal.”
“Oke!”
Kami berdua melangkah meninggalkan tempat
kos, terlihat gang-gang di Jalan Manuruki sangat sibuk,
269
270 - Ilham Kadir
78 Ujung Pandang
280 - Ilham Kadir
B
ulan Puasa telah tiba, di tahun 1995, yang ja-
tuh di musim hujan. Para umat Islam seantero
jagad menyambutnya dengan suka cita, ditandai
dengan melambungnya harga-harga sembako semenjak
tiga hari lalu. Entah kenapa para peniaga negeri ini sa-
ngat doyan menaikkan harga dengan setinggi-tingginya
jika hendak memasuki masa puasa. Padahal pasokan ba-
rang juga tidak berkurang. Sepertinya pedagang mem-
permainkan konsumen, karena Bulan Ramadan, berapa
pun harga barang tersebut, pasti akan terbeli. Sebuah
pemerasan secara sistematis.
Hingga saat ini, pemerintah sepertinya tak kuasa
mengantisipasi lonjakan harga setiap menjelang puasa,
tidak pernah dan tidak mau serta mungkin juga tidak
bisa. Atau pembiaran? Entahlah…
Aku, Hatta, Hadi, dan Asdar menyambut Bulan Pu-
asa di sebuah kampung di Palattae, bergiliran mengisi
ceramah, memimpin salat taraweh, mengajar para santri
TPA, serta beragam aktivitas sosial keagamaan lainnya.
281
282 - Ilham Kadir
pi. “Diri kita yang kita saksikan dalam mimpi pada ha-
kikatnya adalah ale, atau jiwa kita yang sesungguhnya.”
Memang Kiai Said tidak jarang membahas masalah
mimpi dalam setiap ceramahnya, karena menurutnya
mimpi dapat membawa makna, dan selalu menarik un-
tuk diterjemahkan. Mimpi para rasul merupakan sebuah
wahyu, seperti perintah Allah kepada Nabi Ibrahim un-
tuk menyembelih putranya Ismail as, atau mimpi raja di
Mesir yang ditakwilkan oleh Nabi Yusuf as, dan juga be-
berapa mimpi Nabi Muhammad yang bersifat wahyu.
Namun yang paling dominan dalam isi ceramah
Kiai Said berhubungan dengan sejarah para nabi dan ra-
sul. Dan yang terbanyak porsinya adalah nabiullah Musa
as, serta ulah para kaumnya Bani Israil yang keras ke-
pala, membangkang, aneh, dan kadang juga mengocok
perut. Untuk itulah, bagi para guru maupun santri yang
tidak paham bahasa Bugis ketika usai mendengakan ce-
ramah Kiai Said, di antara mereka sering ada yang ber-
komentar, “yang saya pahami dalam ceramah Pak Kiai
hanyalah kata Nabi Musa dan Nabi Daud.” Sebagaimana
diketahui kalau simpatisan utama kampus tiga Palattae
adalah Pak Musa dan H. Daud.
Negeriku di Atas Awan - 291
Pintu 36
Salomekko
E
nam bulan lamanya, aku, Hadi, dan Hatta, serta
Asdar berada di Palattae, belajar sambil menga-
jar, kecuali Asdar dia memang betul-betul meng-
ajar saja, maksudku mengabdi. Sambil menunggu jeda
untuk kembali ke Pesantren Darul Istiqamah, Maros.
Dalam tempo enam bulan tersebut banyak peng-
alaman dalam proses belajar mengajar di tempat ini.
Maklumlah kami baru tahap belajar dalam mentransfer
ilmu kepada orang lain, yang tidak lain adalah para san-
tri TPA. Santrinya beragam, mulai dari kelas satu Se-
kolah Dasar hingga kelas tiga Sekolah Menengah Atas.
Di saat yang sama, Ustadz Abrar pulang dari Sudan
setelah menyelesaikan pendidikannya pada level Magis-
ter konsentrasi pada bidang ‘Ulumul Qur’an79 di salah
satu Universitas Islam Omdurman. Beliau lulus dengan
predikat mumtaz, istimewa.
Sesampainya di Pitu-pitu, beliau langsung dibe-
ri tugas oleh ayahnya untuk menangani kelangsung-
an pendidikan yang ada di Pondok Darul Qurra’. Dan
80 Peradaban Islam.
Negeriku di Atas Awan - 297
P
elajaran KMI yang ada di Darul Qurra’ Pitu-pitu
hampir semuanya berbasis hafalan dan pema-
haman, terutama di kelas enam KMI, kecuali
ilmu fara’id, ilmu yang mempelajari tentang pembagian
harta warisan, dan sedikit pelajaran lain, seperti Bahasa
Inggris dan Grammer.
Di pondok ini, untuk sampai kelas enam haruslah
mengkhatamkan hafalan Alqur’an sebanyak tiga puluh
juz, minimal sekali khatam, serta lulus dalam tes hafalan
dari juz pertama hingga juz ke tujuh, mulai dari surah
al-Fatihah hingga pertengahan surah al-Maidah. Ujian
ini satu paket dengan ujian KMI.
Ada korelasi antara menghafal Alqur’an dan belajar
KMI, terdapat semacam arus yang bermuara pada sungai
yang sama.
Ternyata menghafal Alqur’an, sebagaimana ulama-
-ulama terdahulu umat ini, merupakan dasar utama bagi
terbukanya pintu ilmu dan cakrawala pemikiran seseo-
rang. Menghafal Alqur’an semacam sebuah kunci untuk
masuk pada gudang ilmu pengetahuan.
299
300 - Ilham Kadir
D
i negeri ini, ada beberapa suku yang menja-
dikan poligami sebagai sebuah amalan, ‘kebi-
asaan umum’ atau juga menjadikan poligami
sebagai status sosial, artinya makin banyak istri makin
tinggi pula status sosialnya. Salah satu suku di daratan
Papua mengamalkan paradigma ini, kendati tidak sedikit
pula yang mengamalkan poligami karena memang me-
rupakan tuntutan–untuk tidak mengatakan perintah—
agama. Selain itu ada juga beberapa golongan maupun
oknum yang selayaknya diharuskan berpoligami, dan
untuk yang satu ini bisa dikonsultasikan kepada dr Boy-
ke, seksologi negeri ini.
Suku Betawi dan Bugis misalnya, terkenal lelaki-
nya doyan kawin. Kendati sebagian saja, tidak semuanya
demikian, yang pastinya sudah menjadi rahasia umum.
Kedua suku ini, jika memiliki kelebihan harta, baik hasil
jerih payah atau pun warisan berupa hamparan tanah
pusaka. Maka prioritas utamanya menambah istri. Kon-
tras dengan suku Minang atau Padang yang hobinya me-
lebarkan usahanya.
315
316 - Ilham Kadir
L
angit Pitu-pitu diliputi awan kelabu, sedikit demi
sedikit mulai menghitam, pekat, lalu menggum-
pal, seakan ingin menumpahkan segala isinya na-
mun ia tak kuasa. Di lain pihak, suasana terasa panas
membakar di siang hari, dan dingin menusuk di malam
hari. Suasana pondok terasa mencekam, bulir-bulir be-
rita kian jatuh, membulat, menggeliding bak bola salju.
Tukang gosip makin meraja lela ia seakan mendapat be-
rita yang menarik, girangnya melebihi seorang warta-
wan yang mendapat berita paling awal kalau sang pre-
siden rupanya punya istri simpanan. Para tukang gosip
selalu saja bercerita dengan hot news yang menyembul
dari bibirnya laksana peluru-peluru yang beterbangan
dari moncong meriam. Dan kini di Pitu-pitu, seakan se-
mua menyandang profesi baru, menjadi tukang gosip.
Head line news-nya adalah rumah tangga sang Kiai.
Tiada lagi berita yang layak dipercaya, semua yang
berbicara membawa interpretasi dan asumsinya ma-
sing-masing. Kenapa? Mengapa? Untuk apa? Kiai Said
menceraikan serta mengusir istri dan juga putranya.
331
332 - Ilham Kadir
A
hmad Albar dalam syair lagunya berbunyi,
‘dunia ini adalah panggung sandiwara’, Gayus
Halomoan Tambunan berpendapat kalau du-
nia ini, surga bagi para koruptor. Para jaksa, dari kelas
teri hingga yang agung juga punya asumsi lain, dunia ini
tempat mempermainkan hukum. Dan aparat keamanan
akan berkata, “Ada duait Anda nyaman tak berduit tidak
nyaman!” Adian Husaini dan jama’ah Insist84-nya ber-
fatwa bahwa tidak ada ruang untuk bertapak bagi kaum
liberal di Indonesia, atau Indonesia tanpa Jaringan Islam
Liberal. Para Ustadz, Kiai, Muballigh sering berkoar-
-koar kalau kehidupan di dunia ini bersifat fana alias
tidak kekal, satu persatu berguguran, maka hiduplah de-
ngan tujuan utama mengumpulkan bekal untuk kehidup-
an akhirat, kehidupan kekal tak berujung. Saat itu, orang
yang sengsara akan sengsara tak terkira, dan orang yang
bahagia akan bahagia kekal abadi.
Tapi aku juga bisa berpendapat kalau dunia ini ada-
lah ruang dan waktu yang diliputi misteri, semua yang
339
340 - Ilham Kadir
ada pada diri kita adalah misteri. Dan yang paling dah-
syat misterinya, ketidaktahuan kita akan apa yang terja-
di pada masa yang akan datang. Contohnya? Perceraian
Kiai Said dan Bunda Hasanah salah satu bukti kongkrit
akan misteriusnya kehidupan setiap insan yang hidup.
Semua yang menyaksikan atau pun mengetahui kalau
pasangan suami istri ini, pasangan yang sangat ideal. Pa-
sangan yang mendedikasikan segenap hidupnya untuk
menolong agama Allah. Seakan tidak ada ruang privat
baginya, kolaborasi yang padu.
Tapi itu dulu, kini ceritanya berbeda. Mereka telah
berpisah dan mengambil jalan masing-masing.
Perceraian, dalam bahtera rumah tangga pada da-
sarnya bukanlah hal yang asing, tapi mungkin ‘asin’ dan
sudah lumrah adanya. Satu-satunya agama yang pernah
ada di muka bumi ini dan mengupas tuntas masalah per-
ceraian hanya Islam. Kepercayaan agama Samawi yang
terakhir ini seakan paham dengan jelas bahwa kelak
umat akhir zaman akan banyak kasus perceraian, oleh
itulah diberi porsi yang sangat istimewa dari sekian per-
masalahan yang di bahas di dalam kitab suci Alqur’an.
Kendati menurut sejarah, Nabi Ismail–moyang dari
Nabi Muhammad—juga pernah menceraikan istrinya
atas dorongan ayahnya, Nabi Ibrahim, karena sang me-
nantu tidak menghormatinya bahkan terkesan kurang
ajar. Bahkan dalam Alqur’an salah satu surah dinamai
surah at-Talaq yang berarti talak alias cerai. Nabi juga
pernah bersabda, “Halal yang paling dibenci oleh Allah
Negeriku di Atas Awan - 341
85 Makan.
86 Minum.
87 Tidur.
88 Mandi.
89 Wanita.
346 - Ilham Kadir
Pintu 41
Tempat Curhat
K
iai Said tipe orang yang sangat tahan diajak
berbicara, sambil ditemani secangkir teh dan
rokok yang tak henti-hentinya menyembulkan
asapnya. Pembicaraannya selalu saja menarik, ditunjang
dengan suaranya yang serak-serak basah. Apa yang be-
liau utarakan merupakan sebuah fakta yang benar ada-
nya, baik yang telah berlalu maupun yang akan datang.
Setiap terlontar satu kata dari mulutnya, selalu saja kita
ingin ketahui kelanjutannya dan terus penasaran untuk
mendengarkan ceritanya. Walau kadang-kadang cerita-
nya sudah diulang beberapa kali, namun tetap saja me-
narik untuk disimak.
Kiai Said adalah sosok yang seakan tau kalau mung-
kin suatu saat aku akan menulis segala apa yang pernah
kudengar darinya, begitu pula tingkah lakunya, sehingga
segala pembicaraannya selalu saja bermutu, dan sangat
penting untuk kucatat.
Aku satu-satunya santri yang kini telah menjadi staf
pengajar, sangat suka diajak berbincang olehnya, di sam-
ping aku kritis, aku juga sangat suka bertanya tentang
347
348 - Ilham Kadir
T
inggal di Gedung BKS, menjadi kenangan ter-
sendiri buat para guru yang masih tetap setia
menemani Kiai Said dalam mengelola pondok.
Aku tinggal di tingkat dua, berada dalam sebuah kamar
berukuran delapan meter persegi. Sejatinya kamar yang
kami tempati bertiga itu, untuk ruang rawat inap para
pasien.
Kedua teman sekamarku. Ustadz Jurman dengan
Ustadz Afif, yang pertama berasal dari Medan Sumate-
ra Utara dan berdarah Batak asli dengan marga daulay,
dan yang kedua dari Jakarta, asli putera Betawi. Jurman,
lulusan PM Gontor, ia datang ke Pitu-pitu untuk meng-
hafal Alqur’an setelah menyelesaikan pengabdiannya di
sebuah pondok alumni Gontor di Lombok NTB. Adapun
Afif, dia bukanlah alumni PM Gontor melainkan dari sa-
lah satu pondok pesantren yang juga mengadopsi sistem
KMI Gontor yang bertapak di Baleendah Bandung. Pon-
dok Pesantren Modern Al-Ihsan.
Kedua teman baruku di atas menjadi pengobat atas
ketiadaan Hadi dan Hatta. Kami bertiga menjadi akrab
357
358 - Ilham Kadir
A
da banyak momen yang sangat bermakna dan
bersejarah selama aku dekat dengan Kiai Said,
di antaranya pada saat musyawarah yang diada-
kan seminggu sekali, tepat pada hari Kamis, musyawa-
rah ini disebut ‘Kamisan’ demikian sebutannya karena
diadakan pada hari Kamis.
Isi pembahasan beragam, bermula dari pemaparan
kegiatan bagian pengasuhan santri, disusul bagian pen-
didikan, kemudian bagian penggerak bahasa, serta ba-
gian-bagian lainnya. Musyawarah ini mirip dengan rapat
kabinet pada tatanan pemerintahan pusat. Kiai Said se-
bagai presidennya.
Usai memaparkan seluruh kegiatan serta ragam
problematika pondok, maka tibalah saatnya Kiai Said
memberikan wejangan. Dan inilah yang ditunggu-tunggu
segenap guru. Isi wejangan banyak berisi petuah-petuah
yang porsi utamanya berhubungan dengan kaum Hawa.
Kiai Said memang terkenal vulgar dalam memba-
has ‘bab nikah’ bagian yang sangat dinanti-nanti oleh
para guru,
365
366 - Ilham Kadir
91 Sepadan.
Negeriku di Atas Awan - 367
M
enjadi public relation di pondok, membuat
aku sebagai manusia super sibuk. Melayani
tamu yang tak henti-hentinya hilir mudik
dari beragam penjuru.
Namun di balik itu semua, tidak sedikit manfa-
at yang aku dapat. Mulai dari berkenalan dengan para
orangtua santri hingga para pejabat maupun pengusaha
yang datang ke pondok. Semuanya harus melewati aku
jika ingin bertemu Pak Kiai.
Maksud dan tujuan para tamu tersebut juga sangat
beragam, namun pada umumnya mereka datang untuk
berjumpa Kiai Said untuk didoakan, atau kemungkinan
juga minta berkah di samping menyalurkan bantuan
tentunya. Namun ada juga yang sangat penasaran de-
ngan sosok Kiai yang memiliki ragam kelebihan ini, un-
tuk itulah ia datang dari kejauhan hanya untuk sekadar
berjumpa dengannya, bahkan ada yang dari Negeri Jiran.
“Saya ingin bertemua dengan Pak Kiai!” pinta sang
tamu.
“Bapak dari mana ya?” tanyaku.
375
376 - Ilham Kadir
S
eperti informasi yang telah kuperoleh sebelum-
nya, tentang materi dan tingkat kesulitan ujian
kemasukan STAIN, untuk alumni KMI seperti aku
pastinya tidak akan kesulitaan. Dan itu tepat. Ujian yang
materinya hanya Bahasa Arab dan Bahasa Inggris dasar
membuat tangan ini lancar menjawab seluruh soal-soal,
yang menurutku ujian KMI jauh lebih susah.
Ujian berlangsung tidak lebih dari setengah hari
dari dua materi di atas. Selanjutnya pengumuman kelu-
lusan akan diumumkan seminggu mendatang, seminggu
selanjutnya pendaftaran ulang dan orientasi kampus.
Siang itu, aku tidak kembali lagi ke rumah Ham-
sah, usai melewati ujian, perasaan begitu lega dan tanpa
beban. Keinginanku tadi malam untuk menemui Indah
di sekolahnya tetap terjaga dengan tekad bulat. Aku di-
untungkan dengan posisi sekolah tempat Indah belajar,
berada tidak jauh dari terminal Kota Bone, dan merupa-
kan jalan utama rute Bone Sinjai. Jadi aku bisa sekalian
berangkat dari depan sekolah MAN I tempat Indah bel-
ajar usai jumpa denganya. Pikirku.
385
386 - Ilham Kadir
rasa itu tak pernah pula melukai, itu juga bukan cinta.
Cinta membuka yang selama ini tertutup, menyadarkan
yang belum pernah disadari, mencemerlangkan yang tak
terlihat, memuliakan yang tak terhargai. Cinta melam-
bungkan harapan ke langit. Tapi jika ia dikecewakan ia
akan menyayat hati sampai ke dasarnya. Camkan itu!”
Nasihat Jurman padaku, kali ini ia berlagak sebagai mo-
tivator.
“Terima kasih banyak atas saran Ente yang sangat
berharga ini, akan aku sematkan dalam dadaku, dan ku-
amalkan dengan segenap kemampuanku.” Jawabku pa-
danya.
“Oh ya, sekalian saya ingin beritahu ke Ente, kalau
saya dengan Jurman akan minta izin ke Pak Kiai, kami
berdua juga ingin melanjutkan kuliah di Makassar, tepat-
nya di IAIN Alauddin.” Sahut Afif.
“Kok mendadak begitu?” tanyaku heran.
“Iya, saya juga baru dapat telepon dari orangtua,
agar lekas mendaftar mumpung masih ada waktu, ka-
tanya minggu ini pendaftaran masih terbuka, jadi besok
kami akan menghadap Pak Kiai.”
“Mudah-mudahan semuanya berjalan lancar, yang
penting kita terus berhubungan, nanti saya kasih nomor
telepon rumah tempat tinggalku di Bone.” Ujarku.
Ternyata benar, keesokan harinya Afif dan Jurman
pergi bersama menghadap Kiai Said, tepat bakda Subuh
setelah mangolo.
Negeriku di Atas Awan - 391
K
endati sudah mendaftar masuk kuliah di STAIN
Bone, aku tetap saja melaksanakan tugas seba-
gai guru dan wali kelas lima KMI plus meng-
amban tugas Humas. Juga sebagaimana biasanya, tetap
rutin ke rumah Kiai Said, namun saja sudah aku kurangi
volume pertemuanku dengannya. Di samping karena aku
sibuk mengawasi santri juga memberi kesempatan kepa-
da guru-guru lain agar dekat dengan Pak Kiai.
Malam itu, aku turun ke bawah, berbincang-bin-
cang dengan Kiai yang rupanya telah tau tentang aku
yang telah mendaftar ke STAIN Bone, entah beliau dapat
informasi dari mana. Sebelum aku utarakan keinginanku
untuk melanjutkan pendidikan di level perguruan tinggi
beliau terlebih dahulu seakan tau akan apa yang ada da-
lam benakku.
“Kalau hendak kuliah dan berniat untuk belajar,
tak masalah. Tetapi jangan terlalu banyak berharap
akan mendapatkan ilmu yang cukup dari bangku kuliah.
Apalagi untuk mencapai derajat mujtahid. Ingat, kalau
seluruh ulama yang pernah hadir dalam sejarah, bahkan
399
400 - Ilham Kadir
mister. Ini juga sesuai saran Ustadz Arif, jadi saya ikuti
saja, mudah-mudahan bisa berjalan sesuai harapan…”
“Kalau memang begitu, Insya Allah biar saya yang
menduduki posisi Antum sebagai Humas, dan saya doa-
kan agar keinginan Antum untuk kuliah di Malaysia bisa
terwujud. Oh ya, kapan berangkat ke Kota Bone?”
“Minggu depan, kalau tidak ada halangan.”
“Sudah ada pengumuman kelulusan?”
“Sudah, katanya nama saya di urutan kedua ter-
tinggi. Bahkan pendaftaran ulang juga sudah selesai. Tapi
saya tidak ke kampus karena diwakili oleh teman. Se-
benarnya minggu ini sudah harus masuk kampus untuk
ikut ospek tapi saya tidak mau ikut.”
“Sudah izin ke Pak Kiai?”
“Sudah!”
“Apa katanya?”
“Beliau diam saja.”
“Okelah kalau begitu, semoga sukses...”
“Terima kasih Ustadz.”
Pintu 47
Oh Indahku…
S
ekitar satu windu aku mengenyam pendidikan di
pondok yang dinakhodai oleh Kiai pemilik ra-
gam kemampuan yang sulit ditembus batas nalar
dan logika ini. Jika Anda hanya mendengar kabar ten-
tang dirinya, kupastikan kalau Anda tak kan percaya.
Mana mungkin ada orang yang kerjanya hanya duduk di
kursi sepanjang hari sambil ngeteh dan merokok dapat
memberi makan manusia yang jumlahnya tidak kurang
dari tujuh ratus orang? Mana ada orangtua yang hanya
mengenakan baju koko dan sarung setiap hari namun
dijambangi tamu yang datang hilir mudik dari belahan
bumi lain? Bagaimana bisa seorang pimpinan tinggal di
rumah panggung reot dan beratap daun rumbia yang
bocor sana-sini, sedang santrinya tinggal di gedung ber-
tingkat yang berlantai kramik? Mana mungkin… mana
mungkin… dan mana mungkin… pertanyaan-pertanyaan
ini akan terlintas di benak setiap keturunan Adam jika
dideskripsikan tentang sosok Kiai Said.
Namun pertanyaan demi pertanyaan yang terdapat
di benak Anda, jika berkunjung ke pondok seraya ber-
405
406 - Ilham Kadir
baik buta huruf daripada buta hati, lebih baik buta hati
daripada buta agama.
Kampus yang memiliki iklim ilmu yang mumpuni,
tempat meningkatkan kecerdasan spritual, emosi, dan
intelektual. Di sinilah tempatnya. Aku sangat beruntung.
Aku merasa seperti itu. Pondok ini ibarat bengkel Pak
Pandai. Yang menempah lempengan-lempengan besi
karat yang tak berguna menjadi keris yang indah me-
liuk-liuk, eksotis. Ia dapat digunakan sebagai senjata me-
lawan musuh, sebagaimana Sultan Hasanuddin dengan
gagahnya mengacungkan keris di hadapan musuh Kom-
peni yang bersenjatakan bedil dan meriam. Dan ia juga
bisa berfungsi sebagai benda pusaka yang tak terkira
harganya oleh kolektor. Itulah pondok. Menyulap ampas
menjadi santan.
Aku. Delapan tahun lalu lebih tak berarti dari am-
pas. Tak punya apa-apa, berangkat dari rumah hanya
bermodalkan dengkul. Tak ada keahlian dalam bentuk
apa pun. Membaca huruf-huruf arab menjadi musuh uta-
maku di kampung. Lembaran mushaf hanya aku pelajari
dengan seksama setelah menginap untuk pertama kali-
nya di rumah Kiai Said. Bunda Hasanah guru sekaligus
ibu yang turut menuntun aku selain Utadz Muhammad
dan Ustadz Rahman untuk dapat membaca dan mengah-
afal Alqur’an hingga khatam. Tak dapat kubayangkan
kalau aku memilih jalan lain.
Ini semua akan menjadi kenangan yang terindah
dalam lembaran-lembaran hidupku. Kini, saat ini, lang-
408 - Ilham Kadir
M
alam itu, aku dan Hamsah tidak pernah bo-
san untuk mengenang kembali masa-masa
kami di pondok tiga tahun lalu. Terutama ke-
lakuan-kelakuan kami yang dicap oleh Ustadz Yazid se-
bagai ashabus syimal, golongan kiri. Penamaan tersebut
berawal dari kebiasaan kami berkumpul, duduk, menga-
ji, dan makan di bagian sebelah kiri rumah Bunda Ha-
sanah. Ashabus syimal memiliki anggota resmi sedikitnya
empat orang santri sebagai penggerak yaitu, aku, Azis,
Hamsah, dan Hatta, dan yang tidak resmi, jika semuanya
digabung bisa mencapai lima belas santri. Golongan ini
bahu-membahu dalam beragam hal, termasuk melang-
gar disiplin pondok, mulai dari garis-garis besar haluan
pondok maupun garis-garis kecilnya. Pelanggaran utama
kami, keluar malam untuk berkunjung ke rumah orang
kampung. Menonton, makan, bahkan tidur di sana. Ka-
rena pelanggaran ini terorganisir serta tertata dengan
rapi, jadi sangat susah dicium oleh para jasus apalagi
oleh guru-guru KMI.
413
414 - Ilham Kadir
P
agi itu, aku bergegas mandi dan untuk pertama
kalinya menggunakan parfum atas saran Ham-
sah, aku tak keberatan, toh di kamar ini semua
milik bersama. Selanjutnya meraih tas dan langsung ber-
gegas ke kampus. Adapun Indah, aku perhatikan ia dian-
tar oleh ayahnya, kendati kami satu rumah, tetapi jangan
harap dapat ketemu dan berbincang bersamanya. Jeli-
taku seakan berada di belahan dunia lain. Tidak bisa li-
rik-melirik apalagi melebihi itu. Rumah ini benar-benar
syar’i seratus persen.
Inilah hari pertamaku masuk kampus. Aku luma-
yan diuntungkan antara kampus STAIN dan rumah te-
manku Hamsah, cukup sekali menggunakan pete’-pete’
untuk perjalanan ke kampus, hanya berjalan ke arah
Pasar Sentral. Dari sanalah aku naik kendaraan umum.
Jaraknya pun juga tidak begitu jauh.
Kampusku, tepat bersebelahan dengan Masjid
Agung Assalam Watampone. Begitu memasuki area kam-
pus, aku langsung mencari ruang tempat belajar untuk
Fakultas Tarbiyah, Jurusan Pendidikan Agama Islam PAI.
421
422 - Ilham Kadir
S
eakan terjadi banjir Nabi Nuh jilid dua, awan hitam
pekat menggumpal, laksana tong air yang meng-
angkang lalu memuntahkan segala isi perutnya,
bumi diguyur hujan mahaderas, sedikit demi sedikit di-
genangi air, meninggi, kian meninggi, hingga sawah, per-
kampungan, kota, kebun, hutan, gunung-gunung tinggi,
mulai terlihat rata seperti lautan. Penduduk bumi yang
mampu bertahan adalah mereka yang terangkut naik
ke dalam bahtera. Hanya ada dua perahu besar yang te-
lah tersedia. Satu untuk Kaum Adam satunya lagi untuk
Kaum Hawa. Aku berada dalam bahtera Kaum Adam dan
Indah berada dalam golongan Kaum Hawa. Itulah ibarat
keberadaan kami berdua. Kendati tinggal di bawah satu
atap namun tak pernah sekali pun ada kesempatan untuk
bertemu, walau hanya sekadar pelepas rindu.
Waktu yang tepat untuk menatap wajah ayunya se-
sungguhnya bisa terlaksana di kala makan malam, yang
lazimnya setiap bakda Magrib. Masa itu merupakan
masa-masa jeda, di mana ayah dan ibunya tiada. Mere-
ka berdua pergi ke masjid yang jauhnya tidak kurang
435
436 - Ilham Kadir
tidak tau sudah berapa surat cinta yang telah adik buang
di sungai depan rumah.”
“Surat Kakak dibuang juga?”
“Rahasia donk..!” jawabnya sambil tersenyum, yang
makin menambah aura kecantikannya.
“Kakak tidak keberatan kalau Adik buang, yang
penting bagi Kakak, Adik sudah tau kalau ada yang nak-
sir di sini.”
“Iya, Kak, terima kasih atas semuanya, suatu saat
adik akan beritahu Kakak jawaban adik yang sesungguh-
nya, tapi yang jelas adik sangat merasa nyaman bersama
Kakak.” Begitu jawaban penutup Indah.
Tiga puluh menit bersamanya, terasa tiga menit
saja. Kami pun berpisah, aku persilahkan ia lebih dulu
pulang agar lekas sampai di rumah, karena datang ber-
samaan, apalagi berdua dengannya akan mendatangkan
malapetaka bagi kami. Tiga puluh menit kemudian aku
pun tiba.
“Nak Iwan… makan duluan saja, Hamsah belum da-
tang!” terdengar suara dari Bunda Nikmah.
“Nanti saja Bunda, biar saya tunggu Hamsah dulu,
tidak enak rasanya makan sendirian.” Jawabku pura-
-pura, padahal baru beberapa saat yang lalu aku makan
bersama dengan anak gadisnya. Dalam hatiku berdoa,
“Ya Allah jangan sampai ada yang tau tentang hubungan
kami berdua!”
Inilah kencan pertamaku, my firts date seumur hi-
dupku, dengan wanita yang hanya kubayangakan selama
Negeriku di Atas Awan - 441
K
erja sama yang padu antara aku dengan Muhai-
min menjadikan kami sebagai mahasiswa yang
memiliki kemampuan dalam berprestasi di atas
rata-rata. Hal ini menjadikan kami berdua kian akrab
saja. Sebagaimana mahasiwa pada umumnya, dalam seti-
ap pertemuan pembahasan bukan saja terpaku pada satu
topik, yaitu materi kuliah, ekonomi, politik–suksesi ke-
pemimpinan—budaya, hiburan, atau target-target jang-
ka pendek maupun jangka panjang. Namun pembicaraan
sudah merambah ke mana-mana termasuk soal asma-
ra. Dengannya, aku terus terang mengutarakan tentang
kedekatan hubunganku dengan adik temanku sendiri di
mana aku menumpang tinggal di rumahnya.
“Kok bisa, tidak ada yang tau hubungan kamu ber-
dua?” tanya Muhaimin heran tentang asmaraku dengan
Indah.
“Bukan tidak ada, belum ada, tapi kami harap se-
moga tidak ada yang tau untuk saat ini karena kami be-
lum siap!” jawabku.
445
446 - Ilham Kadir
M
ahluk yang hidup di bumi saat ini adalah
mereka yang diyakini telah berjuang mati-
-matian mempertahankan hidup dari ra-
gam bentuk ancaman. Bagi mereka yang terkalahkan
menyingkir, terisolasi, bahkan punah. Hidup memang
penuh perjuangan untuk bisa terus eksis. Sejak zaman
manusia yang pertama bernama Adam hingga saat ini.
Untuk itu manusia terus menerus mempertahankan di-
rinya agar tetap eksis survive for life. Jika dahulu kala,
para musuh utama manusia berasal dari spesies lain, se-
perti hewan-hewan prediator. Maka saat ini, musuh uta-
ma manusia adalah dari manusia sendiri. Mereka saling
berebut tempat, jabatan, pangkat, dan apa saja yang bisa
menggaungkan namanya, paling tidak mengamankan
dirinya. Agar dikenal, dipuja, dielu-elukan, ditokohkan,
hingga pada tahap tertentu dikultuskan.
Di daerah Bone. Mereka yang dikenal memiliki re-
putasi tinggi dan memegang tampuk kekuasaan turun-
temurun sejak zaman pra dan pasca kolonial bahkan
hingga saat ini berasal dari kaum bangsawan anakar-
459
460 - Ilham Kadir
S
eumpama gasing, dunia terus berputar, dari de-
tik terakumulasi menjadi menit, berubah ke jam,
hari, minggu, dan bulan. Tidak terasa ujian semes-
ter pertama di perguruan tinggi STAIN Watampone te-
lah dihelat. Para Mahasiswa diliburkan sambil menung-
gu hasil ujian. Kesempatan ini aku pergunakan untuk
kembali ke Pitu-pitu bertemu teman-teman. Pada saat
bersamaan aku mendapatkan sebuah amplop berukuran
10 x 30 cm. ditujukan kepadaku dari Ustdaz Arif di Ma-
laysia. Amplop itu berisi sebuah surat dan dua rangkap
formulir untuk program transfer srudent ke Internatio-
nal Islamic University Malaysia.
Setelah kupelajari dengan teliti, formulir aku isi
dengan sebaik-baiknya, termasuk memenuhi perminta-
an untuk mengambil rekomendasi dari perguruan tinggi
asal. Semua telah kulengkapi dan langsung aku kirim ke
sekretariat penerimaan mahasiswa baru di Jalan Bukit
Damansara Petaling Jaya Selangor. Tinggal satu masa-
lah. Yaitu agar segera memiliki paspor, karena begitu
ada panggilan maka harus berangkat sesegera mungkin.
481
482 - Ilham Kadir
D
alam perjalanan menuju Watampone, terasa
bus yang kutumpangi bernama “Cahaya Bone”
ini terus melaju membela bukit bebatuan dan
trowongan batu cadas serta onggokan karst. Kali ini aku
berusaha menikmati pemandangan yang terdiri dari pe-
pohonan, dahan dan rantingnya saling menjuntai antara
satu dengan lainnya, kebun-kebun para petani jagung,
barisan penjual buahan yang berjejer, rumah-rumah
petani yang berbentuk triangle dari kejauhan, tanaman
padi yang terlihat menguning bak bentangan permadani
kuning keemasan. Pemandangan ini seakan memaksaku
untuk bertafakur akan kebesaran Allah sebagai Maha
Pencipta, tapi aku tetap saja tidak bisa tenang, kendati
sudah berusaha untuk itu. Masih tetap bertempur dan
terus konsisten menghalau kegundahan. Cinta benar-
-benar telah membangkitkan energiku hingga melam-
bung membentur petala langit ke tujuh. Namun dalam
waktu yang singkat ia menghempaskan aku kedalam lu-
bang perut bumi yang menganga.
497
498 - Ilham Kadir
duit. Semua serba duit apa pun itu. Bahkan yang berhu-
bungan dengan asmara sekali pun sangat membutuhkan
uang. Berapa banyak cinta tergadai gara-gara tak ada bi-
aya. Terlebih lagi berhubungan dengan paspor.
“Ya sudah sana, Kamu mandi dulu terus makan.
Tadi saya masak nasi, kebetulan hari ini tetangga kita
berbaik hati, ia mengantarkan lauk.”
“Wah, lama-kelamaan bisa jadi ‘tetanggaku ido-
laku’.”
Muhaimin hanya membalas kata-kataku dengan se-
buah senyuman yang hambar.
Aku letakkan tasku di atas kasur, menyambar
handuk dan langsung masuk kamar mandi. Selesai itu,
badan terasa lebih segar, otot-otot terasa kembali nor-
mal, serta saraf kembali berfungsi dengan baik. Kendati
udara cukup panas. Mandi memang dapat kembali me-
nyegarkan otak dan badan serta mengencangakan otot
yang kendur. Pikiran pun terasa segar. Perjalanan dari
Ujuang Pandang ke Watampone memang cukup melelah-
kan, setidaknya menghabiskan waktu paling tidak empat
sampai lima jam. Terlihat jam sudah menunjukkan pukul
satu lewat tiga puluh menit. Selesai makan siang, aku
pun meraih sajadah dan menunaikan salat Zuhur di ru-
ang tengah. Saya tidak sempat salat berjamaah karena
pak sopir tidak mungkin singgah untuk itu.
Bakda salat aku pun menuju kasur dan terlelap.
☘
Negeriku di Atas Awan - 501
pur, serta terdiri dari tiga kamar. Dapur rumah ini seka-
ligus dipakai sebagai dapur umum santri, ruang tengah
juga difungsikan sebagai tempat makan para guru KMI.
Ketika berada di teras, aku dihampiri oleh salah
seorang keponakan Bunda Hasanah yang telah menge-
nalku dengan baik. Kak Wardah. Ia anak dari saudara
kandung Bunda Hasanah di Bontocani, mukanya putih
bersih berbentuk oval, tingginya melebihi tinggi badan-
ku, sewaktu masih di Pitu-pitu tidak sedikit guru yang
menghampirinya, tapi semuanya ditepis dengan halus.
Orangnya rada-rada jutek namun ia tipe wanita ulet yang
rela bekerja dengan imbalan hanya dari Allah. Bukti
nyatanya semenjak masih di Pitu-pitu ia kerap datang
membantu untuk meringankan beban Bunda Hasanah
dalam masak-memasak. Tidak hanya itu ia juga sekali-
gus menghafal Alqur’an. Kak Wardah pasti tau akan tu-
juan kedatanganku ke sini. Apalagi kalau bukan bertemu
Bunda Hasanah dengan puteranya, Ustadz Abrar.
“Hendak ketemu Bunda?” tanya Kak Wardah.
“Iya, betul. Bunda ada tidak, Kak?”
“Ada, tunggu sebentar ya?”
Kak Wardah melangkah masuk, membelah tirai hi-
tam, lalu lenyap. Dalam hitungan menit. Bunda Hasanah
pun keluar. Tak ada perubahan yang berarti pada sosok
wanita mulia di hadapanku ini, raut mukanya tetap me-
mancarkan kesejukan kendati cuaca panas membara, su-
aranya masih tetap seperti sedia kala, lembut dan jernih.
Kata-katanya juga demikian selalu sarat dengan makna
512 - Ilham Kadir
E
ntah mengapa, begitu aku sampai di kampung
halaman. Sangat berbeda dengan sepuluh tahun
silam. Aku merasa berpijak di daerah yang teri-
solasi. Terputus dari dunia luar, tidak ada transportasi
kecuali derap langkah kaki kuda, beberapa motor, dan
sekali sebulan sebuah mobil pick up datang, itu pun ka-
lau masuk musim kemarau. Informasi masih saja ber-
sandar pada radio transistor dan sebuah televisi hitam
putih milik sang kepala sekolah yang dua kali seminggu
dengan acara favorit dunia dalam berita berbintik hitam.
Yang ini ada kemajuan, setidaknya ada peningkatan jam
tayang dari sekali seminggu maju menjadi dua kali. Tapi
secara umum tidak ada kemajuan yang berarti. Kekal
tertinggal jauh di landasan.
Aku benar-benar berada dalam keterasingan. Ma-
syarakatnya terisolasi dan aku yang diisolasi oleh mere-
ka. Teman-teman seusiaku yang pernah belajar bersama
di SD 288 sudah banyak berkeluarga dan terus-mene-
rus menetaskan benih yang akan menjadi beban peme-
515
516 - Ilham Kadir
TENTANG PENULIS