Senopati Pamungkas Seri 3
Senopati Pamungkas Seri 3
Senopati Pamungkas Seri 3
wtÄtÅ
fxÇÉÑtà| ctÅâÇz~tá
fxÜ| F
fxÇÉÑtà| ctÅâÇz~tá
ctÅâÇz~tá \ „ fxÜ| F
Senopati Pamungkas I - 3
“Nah, inilah yang kumaksudkan dengan ilmu katak itu. Kalau Baginda
Raja melihat dari pandangannya saja, mengukur dari pribadi Baginda Raja,
memang tidak mungkin. Akan tetapi akan berbeda hasil akhirnya, jika saja
Baginda Raja menempatkan dirinya sebagai Raja Muda Gelang-Gelang.
“Tak ada yang luar biasa. Aku bukan nujum, bukan ahli ramal. Dengan
perasaan pun bisa. Semua manusia menerima kodrat bisa memainkan Weruh
Sadurunging Winarah asal mau melatihnya,
“Dasarnya cuma satu. Kekosongan pikiran diri sendiri, dan menjadi apa
yang dipikirkan. Kalau kau ingin tahu apa yang dilakukan Raja Muda Gelang-
Gelang, kau harus membebaskan dirimu sendiri. Kau harus mengosongkan
dirimu, sehingga bisa menyelimuti Raja Muda Gelang-Gelang. Menguasai Raja
Muda Gelang-Gelang dan tahu apa yang akan dilakukan. Pada saat yang
bersamaan kau menjadi dirimu dan mengalahkannya.
“Di seluruh dunia ini hanya Eyang Sepuh yang sama sekali tak berani
kulawan. Membayangkan bertanding pun tak pernah terpikirkan. Karena aku
tak berani. Aku kalah dalam mengosongkan pikiran lawan Eyang Sepuh.
Tapi justru karena rasa gusarnya dulu, ia jadi terus teringat. Beberapa
kali Ngabehi Pandu membicarakan apa yang dibicarakan dan kadang berusaha
memecahkan bersama.
Lalu memulai lagi mengangkat biji asam di lubang delapan belas. Yang
sekarang berisi sepuluh biji. Yang pertama masuk lumbung, lalu masuk lubang
satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, dan berakhir di lubang
sembilan—yang kini isinya menjadi sepuluh. Diangkat lagi, dimasukkan lubang
sepuluh, sebelas, dua belas, tiga belas, empat belas, lima belas, enam belas,
tujuh belas, delapan belas, satu demi satu, dan kembali berakhir di lumbung.
Langkah ketiga tak terlalu sulit. Dari lubang delapan belas, tinggal
memasukkan ke lumbung.
Nyai Demang dikenal sangat cerdas dalam menganalisa dan belajar soal
seperti ini. Dan ia membanggakan dirinya, karena ia bisa berbicara dengan Kiai
Sangga Langit. Banyak kesalahan dalam menangkap arti bisa terjadi, akan
tetapi secara keseluruhan ia bisa mengetahui artinya!
Tapi untuk memulai langkah kesembilan dari lubang mana, bukan hal
mudah.
Kalau Upasara mulai dari lubang sebelas, dalam tiga langkah berikutnya ia
akan mati.
Tapi untuk angka yang ditentukan Kiai Sangga Langit, itu masih
separuh.
Sampai di sini Kiai Sangga Langit berjalan mendekat. Siapa pun tahu
bahwa kini langkah yang paling menentukan.
“Di depan lubang kesatu berisi tiga, lubang kedua berisi delapan, lubang
ketiga berisi sembilan, lubang keempat berisi satu, lubang kelima berisi tiga,
lubang keenam berisi 25, lubang ketujuh berisi sepuluh, lubang kedelapan
berisi dua, lubang kesembilan tidak ada isinya alias kosong.
“Susah sekali.”
“Ini kesempatan saya mengambil yang terakhir. Entah bisa panjang atau
tidak. Tak mungkin bisa berakhir di lumbung lagi. Tak apa.
banyak, yaitu 28 biji. Dengan lumbungnya yang sudah berisi 26, semuanya
berjumlah 54 biji!
“Anak muda, sungguh luar biasa. Imam Tat Mo akan sangat bahagia di
nirwana sana. Tak sangka, hari ini ada yang bisa memecahkan permainan yang
usianya ratusan tahun dengan sekali gebrak. Luar biasa, luar biasa. Selamat,
selamat…,” Nyai Demang menerjemahkan per kata. “Kini kau sudah menang
mutlak. Nah, katakan apa permintaanmu.”
Upasara menggeleng.
“Jangan terlalu memuji. Sebenarnya saya yang rendah ini kebetulan bisa
menghitung di luar kepala. Itu saja.
“Karena anak muda tak meminta apa-apa, apakah Kiai Sangga Langit
boleh meminta sesuatu?”
“Istri, saudara…”
“Terima kasih, Nyai Demang, apa gunanya kitab itu kalau saya tidak bisa
membaca?”
“Kau masih muda, gagah, dan sedikit congkak. Aku, Galih Kaliki, suka
padamu. Selamat, anak muda.”
“Apakah kamu juga akan berlalu kalau saya mengharap tinggal barang
sebentar?”
“Buku silat yang dihadiahkan Kiai Sangga Langit adalah buku pilihan.
Juga di negerinya sendiri. Sungguh kurang enak kalau kamu menolak begitu
saja.”
Upasara mengangguk.
“Kita mengadakan makan malam bersama, dan setelah itu kamu bisa
pergi ke mana saja. Menjumpai kekasihmu….”
“Di dunia ini semua lelaki pasti tertarik kepada Nyai Demang. Baik
diam-diam atau terang-terangan. Akulah yang paling tergila-gila. Aku
menyadari ini ketololan yang luar biasa. Tapi aku suka terseret arus perasaan
seperti ini. Indah sekali. Anak muda, kamu beruntung malam ini.”
Dalam suatu tenda, malam itu Kiai Sangga Langit menjelaskan beberapa
bagian yang diterjemahkan oleh Nyai Demang. Upasara berusaha
mendengarkan dengan segenap perhatian. Hanya saja beberapa kali perhatian
tertuju pada gerak bibir Nyai Demang. Benar juga kalau semua lelaki tertarik
kepada Nyai Demang. Cukup beralasan kalau Galih Kaliki, meskipun sudah
menyadari ketololannya, masih tetap tergoda. Nyai Demang memang
mempunyai daya tarik, dan bisa memanfaatkan kelebihan ini.
Setelah larut, Upasara meminta diri. Sekaligus pamitan besok pagi akan
menemui ayahnya, Pak Toikromo. Ia kembali ke tenda. Bagi Upasara yang
penting bisa istirahat dan besok pagi melanjutkan perjalanan.
Suara yang satunya seperti dikenal oleh Upasara. Hanya saja tidak begitu jelas,
karena memakai kain yang dikerudungkan menutup seluruh tubuh.
“Aku juga laki-laki yang bisa menaklukkanmu. Malam ini. Dan aku ingin
menjadi orang senewen seperti Galih Kaliki. Ayo, Nyai Demang, kita bermain-
main sebentar.”
“Apa lagi?”
Upasara melengak.
“Haha… di dunia ini masih ada lelaki sejujur kamu. Betul-betul luar
biasa….”
Tak bisa masuk di benak Upasara. Hanya saja sejak melihat kejadian itu,
Upasara tidak begitu tertarik lagi dengan Nyai Demang. Hanya saja Upasara
juga tidak mengerti bagaimana sikap Bagus Respati sebenarnya. Setelah
memperoleh putri Cina dalam sayembara, kenapa masih mengejar Nyai
Demang?
Maka ketika ia mengatakan akan sowan kepada Baginda Raja, prajurit penjaga
hanya melengak saja.
Upasara mendongak.
“Kalau kalian memaksa terus, akan terjadi sesuatu yang tidak kalian
inginkan.” Upasara bertindak maju. Dengan membawa cincin Keraton,
Upasara bisa terus melangkah maju ke dalam.
Para prajurit tak ada yang berani menyerang. Hanya sekadar berjaga.
“Saya mohon izin Mahapatih yang mulia untuk sowan kepada Baginda
Raja. Hanya dengan perkenan Mahapatih yang mulia, saya yang rendah bisa
sowan di hadapan Baginda Raja, penguasa tunggal Keraton.”
“Sudah lama kudengar makin banyak pemuda yang berbuat kurang ajar
dan ugal-ugalan. Hari ini aku menemukan sendiri. Upasara, apakah karena kau
merasa bekas Ksatria Pingitan, sehingga bisa begitu mudah meminta izin
untuk sowan Baginda Raja?
“Apakah ada sesuatu yang luar biasa sehingga merasa perlu sowan
Baginda Raja?”
“Katakan.”
Upasara menunduk.
“Akan kulihat apakah kau masih berusaha duduk di situ, atau menunggu
aku memerintahkan untuk menendangmu.”
“Ampun, Mahapatih yang mulia. Sama sekali tak terpikir oleh hamba
yang rendah ini untuk tak menghormati Paduka. Mahapatih yang mulia adalah
sesembahan kawula, Mahapatih yang mulia adalah bahu kanan Baginda Raja
yang terpercaya, akan tetapi saya ingin menyampaikan secara pribadi.”
“Aku tak punya waktu banyak, Upasara. Kalau kau mau mengatakan,
sekarang saatnya. Para pengawal ini adalah pengawal Keraton yang tak perlu
diragukan lagi kesetiaannya.”
“Hmmmmm.”
“Anak lancang. Ajaib sekali. Apa yang diajarkan Ngabehi lancang itu
sehingga Ksatria Pingitan begitu kurang ajar dan ngawur?
“Cukup! Aku tak pernah bicara ngawur. Semua prajurit di Keraton bisa
menilai. Bisa mengatakan apakah aku berdusta. Selama ini Senamata Karmuka
berada di Keraton. Ia tak ikut ke Perguruan Awan. Aku tidak memerintahkan
ke sana. Juga ia hadir dalam pasowanan agung di Keraton. Seluruh pejabat di
Keraton melihatnya. Bagaimana mungkin kau edan-edanan seperti itu?
“Bocah kecil, aku tak menyangka kalau kau berani berdusta di depanku.
Ketika dalam Sayembara Mantu aku mendengar namamu disebut putraku, aku
menyangka kau adalah ksatria yang hebat. Mewarisi keberanian Keraton. Tak
tahunya cuma tukang dusta.
Upasara mendongak.
“Saya hanya menyampaikan pesan ini. Kalau saya sengaja berdusta, saya
pastilah melakukan suatu kebodohan yang tiada taranya. Saya hanya memberi
laporan seperti yang saya lihat.
“Di dalam lipatan kain, ada dua buah gigi emas. Bukan senjata rahasia,
bukan barang penuh bisa atau ilmu gaib. Saya mohon Mahapatih yang mulia
berkenan menghaturkan kepada Baginda Raja.”
Upasara diseret.
“Satu hal lagi, Mahapatih… yang mulia, Raja Muda Gelang-Gelang tidak
memadamkan pemberontakan, malah sebaliknya. Maharesi Ugrawe
mempunyai dua rencana lain untuk merebut takhta….”
Untuk itu semua hanya diperlukan waktu lima hari. Jika dalam waktu
lima hari Mahapatih tidak berkenan membicarakan masalahnya, dengan
sendirinya ia harus menjadi makanan seekor harimau! Dalam keadaan biasa,
Upasara bisa melawan dan mempertahankan diri. Akan tetapi dalam keadaan
terikat erat, seekor nyamuk yang hinggap di pipi pun tak bisa diusir. Apalagi
selama lima hari itu, ia tak dibiarkan meneguk setetes air atau sesuap nasi,
atau juga satu kalimat.
Upasara Wulung mengetahui hal ini. Siapa sangka sekarang ini dirinya
yang menjadi penghuni penjara? Siapa sangka ia begitu susah melarikan diri
akan tetapi malah ditertawakan? Siapa sangka kalau pengorbanan Jagaddhita
tak berarti apa-apa?
Ini aneh.
Lalu siapa yang diketahui? Jelas bukan orang lain. Tapi kalau begitu
siapa yang di Keraton? Jelas juga bukan orang lain. Kalau iya, pasti Mahapatih
mengenali. Jadi siapa sebenarnya Senamata Karmuka? Ataukah Senamata
Karmuka mempunyai ilmu yang bisa hadir di dua tempat yang berbeda secara
serentak? Upasara pernah mendengar ilmu semacam itu, namun belum pernah
melihat secara langsung.
Hanya saja masih ada yang tidak diduga oleh Ugrawe. Ngabehi Pandu
serta Senamata Karmuka ikut hadir. Entah intrik apa yang sedang berkecamuk
dalam Keraton, sehingga kedua saudara itu muncul di gelanggang, tanpa restu
dari Keraton. Kalau kedua tokoh itu sempat meloloskan diri, pastilah akan lain
hasil dari rencana busuk Ugrawe.
Ini berarti, masih ada tiga orang yang bisa lolos. Yaitu dirinya sendiri,
Ngabehi Pandu, serta Senamata Karmuka. Ngabehi Pandu tidak ketahuan
hutan rimbanya. Entah berhasil lolos atau tidak. Sementara Senamata
Karmuka, bagi Upasara masih merupakan teka-teki. Tapi kini ia tak bisa
berbuat banyak. Malah bisa jadi mati secara menyedihkan. Dibakar hidup-
hidup atau jadi santapan harimau!
membiarkan Kiai Sangga Langit unjuk gigi. Malah secara resmi melibatkan
para pembesar Keraton.
Soal diikat berdiri dan tak bisa bergerak, bagi Upasara tidak menjadi
soal benar. Jangan kata cuma lima hari. Empat puluh hari empat puluh malam
secara terus-menerus Upasara sanggup. Berada dalam ruang gelap tanpa
melihat seberkas sinar pun, tanpa menyentuh air dan atau makanan tak jadi
soal benar. Akan tetapi jika berakhir lain—di perut seekor macan, sungguh
tidak enak. Sungguh bukan cara mati seorang ksatria.
“Malam ini kau kupanggil kemari karena aku kangen padamu. Itu yang
pertama. Yang kedua, rasanya kita sudah lama tidak berduaan sambil minum
teh. Sedangkan hal yang ketiga, tidak penting benar. Aku ingin tahu, apa yang
kau ketahui tentang Upasara Wulung.”
“Mahapatih, semua itu karena kesalahan saya yang tidak becus apa-apa.”
“Itu susahnya, Karmuka. Baginda Raja berharap akan lahir ksatria yang
bisa meneruskan kejayaan Keraton. Tapi nyatanya susah. Putraku sendiri,
akhirnya kutarik dan kuserahkan kepada para empu yang lain.
“Saya tak berani memastikan. Mahapatih yang bijak lebih tahu hal ini.”
“Kalau kau tidak tahu, berarti ia tidak menerima langsung dari Baginda
Raja. Kamu—dan adikmu—yang secara langsung mengawasi.
“Karena aku tidak tahu asal-usulnya secara pasti, dan kau juga tidak,
kita tak perlu menyayangkan. Lebih baik kehilangan daripada tidak yakin ia
bakal setia kepada Keraton. Bagaimana pendapatmu?”
“Karmuka?”
“Pada saat itu aku akan menjebaknya. Apakah aku terlalu mengada-
ada?”
Mahapatih berdecak.
kejadian yang akan datang. Dengan mengatakan apa yang akan kita lakukan,
apakah Karmuka tidak berniat menolong Upasara?”
Mahapatih berdecak.
Akan tetapi siapa berani mengimpikan jabatan itu? Saat itu Mpu
Raganata adalah tokoh besar yang tak diragukan lagi. Baik soal kanuragan atau
ilmu silat, soal tata pemerintahan, maupun cara mengatur strategi. Bertahun-
tahun Mpu Raganata membuktikan cara mengendalikan pemerintahan.
Hubungan Mpu Raganata dengan Baginda Raja sangat dekat sekali. Tak
pernah beranjak dari sisi Baginda Raja.
Waisesa Sagara telah meramalkan hari baiknya. Hari yang kelewat baik!
“Seekor anjing yang sejak kecil hanya mengenal satu tuan, kelak di
kemudian hari bakal menyerang siapa saja atas perintahnya. Bubarkan saja.”
“Cari guru yang lain. Dengan demikian apa yang diperoleh tidak sama
dengan yang diperoleh yang lainnya. Bagus Respati akan memiliki kelebihan.”
“Tak perlu disingkirkan. Beliau akan tersingkir sendiri. Kalau itu terjadi
secara mutlak dan resmi, kaulah yang memegang kendali pemerintahan, atas
tanganmu sendiri.”
Lembu peteng adalah istilah untuk menyebut anak tidak resmi, atau
anak gelap. Memang lembu peteng sangat banyak jumlahnya. Di antara mereka
ini, banyak yang tidak diakui secara resmi, akan tetapi mendapatkan
kehormatan dan jabatan, tetapi lebih banyak lagi yang kemudian dilupakan.
“Sangat tidak mungkin. Kalau benar, mana mungkin selama ini Baginda
Raja tidak menanyakan? Selama ini nyatanya tak pernah terucapkan atau
tertanyakan oleh Baginda Raja. Itulah tadi sebabnya aku menduga Upasara
adalah anak gelap Karmuka. Hanya karena caranya bernapas tetap teratur
ketika hal itu disinggung aku jadi ragu.”
“Ia menyebutkan dari Bibi Jagaddhita. Kamu sendiri tahu bahwa dulu
banyak sekali selir Baginda Raja. Puluhan atau bahkan ratusan jumlahnya.
Salah satu bernama Jagaddhita. Dan kamu mendengar sendiri ceritanya.
“Itu tak menjadi soal, Paman Waisesa. Kalau saya mengatakan bahwa
Upasara Wulung berbuat kurang ajar, menghina Baginda Raja, siapa yang
berani mempersoalkan? Malaikat pun tak akan berani turun dari langit untuk
menanyakan hal itu.”
“Satu-dua nyawa, apa artinya? Sekarang ini kau harus yakin bahwa siapa
pun yang berdiri di dekatmu bakal membantumu. Kalau ia meragukan sedikit
saja, perlu disingkirkan. Ingatlah, jabatan mahapatih bukanlah jabatan
sederhana. Dan di Keraton ini terlalu banyak pendapat. Sejak Baginda Raja
mengadakan pergeseran, sejak kamu memegang kekuasaan, banyak yang
berusaha menggugatmu. Setiap kesempatan akan mereka pergunakan, kamu
lebih dulu bertindak. Jangan menunggu sampai mereka siap.
Keduanya berpandangan.
“Kakang Bangkong…”
“Silakan, Kakang.”
“Silakan, Adik.”
“Anak muda, siapa pun namamu, apa pun pangkatmu, atas perintah
Mahapatih kau akan dipersembahkan ke Sardula. Kalau masih ada kalimat
terakhir, katakanlah.”
Dua prajurit memukul pagar besi dengan keras. Bau boreh yang
ditebarkan serta bunyi besi, membuat bayangan bergerak dari kegelapan.
Arya Genggong mengawasi dengan obor di tangan. Tapi tak melihat apa-
apa lagi. Hanya mendengar auman harimau yang menggerung.
“Kecuali badannya terbuat dari besi, bocah itu tak akan bisa melihat
matahari esok pagi. Sudah agak lama Sardula tidak dapat makanan manusia.
Sekarang ini saatnya.
“Ini tugas yang berat,” kata Arya Genggong perlahan setelah suasana
sepi. “Bagaimana aku harus menyampaikannya. Raden Mas Bagus Respati
sama kerasnya dengan ayahandanya.”
“Kakang Bangkong, kenapa kita juga yang harus melakukan ini? Sebagai
prajurit, dalam bayangan saya adalah berperang. Mengabdi kepada Keraton
dengan darah. Memberikan nyawa dan kehidupan untuk kemuliaan Keraton.
Bukan menjadi pesuruh urusan yang sama sekali tidak bersifat ksatria
semacam ini.”
“Saya selalu mengulang pengertian itu. Karena saya pun merasa kurang
enak harus memata-matai Senamata Karmuka. Sesuatu yang menyakitkan hati
saya sendiri. Tapi saya akan menjalankan perintah itu. Apa pun juga perintah
Mahapatih. Hanya Baginda Raja yang berhak mengubah. Selama Baginda Raja
tidak memerintahkan yang lain, tak menjadi soal.
“Adik, kita masih ingin menikmati kebahagiaan, pangkat, dan harta yang
kita peroleh dari pekerjaan kita. Selama kita belum bosan hidup, kita masih
akan terus menjalankan perintah.”
“Silakan, Adik.”
“Silakan, Kakang.”
Respati menggebrak meja, hingga meja berukir dari kayu jati yang utuh
itu somplak bagian pinggirnya.
“Aku tak tahu apa maksud Ayah. Dilarang atau tidak, direstui atau
dikutuk, aku tetap akan mempersunting Miming Maduwani. Sampaikan ini
kepada Ayah.”
“Anakmas…”
“Paman Genggong, aku sudah dewasa. Aku bisa menentukan sendiri apa
yang seharusnya kulakukan. Dalam Sayembara Mantu, aku sama sekali tidak
meminta bantuan Ayah. Bahkan kepada Paman Genggong dan Paman
Bangkong, aku tidak minta bantuan. Dyah Muning Maduwani kurebut dengan
tanganku sendiri.
“Sejak kecil aku tak pernah merepotkan Ayah. Aku hidup di sini dari
hasil karyaku sendiri. Tidak mengemis pada Ayah.”
“Omong kosong. Kalau yang ini hanya sebagai selir, kepada siapa lagi
aku mencari yang lebih? Paman Genggong tahu sendiri bahwa ketika diadakan
Sayembara Mantu, seluruh ksatria Keraton, para raden mas, para gusti
mengadu nyawa. Dan aku, biar bagaimana juga, keluar sebagai pemenangnya.
Katakan, Paman, apakah itu tidak pantas untuk dirayakan?
“Dengan kemampuan ini saja, di seluruh Keraton ini siapa yang bisa
menandingiku?
“Aku tidak sembarangan, Paman. Aku cukup bisa berpikir dewasa dan
jauh ke depan, walau aku tidak memiliki penasihat Kakek Tua Waisesa Sagara.
Aku tak perlu dukun semacam itu.
“Anakmas…”
“Aku kan bukan anak kecil yang bisa diusir dan diperintahkan begitu
saja. Tidak, Paman. Sebagai seorang ksatria, sebagai seorang lelaki, aku tak
mau dipermalukan. Apa pun hukuman Ayah, aku akan menerima sebagai
ksatria.”
Tak urung berita mengenai pertentangan ayah dan anak ini menjalar.
Dari sekitar dalem kepatihan, berita ini menjalar ke luar. Nyai Demang
melepaskan burung merpati yang membawa rahasia ke markas Rawikara di
Banyu Urip. Dari sana laporan yang sama diteruskan ke Gelang-Gelang.
Berita ini disampaikan kepada Maharesi Ugrawe, yang hari itu juga
menghadap Raja Muda Gelang-Gelang.
Akan tetapi walau tidak bisa membaca, Kawung Sen bukannya tidak
mengerti bahwa burung merpati itu pasti kiriman dari Maharesi Ugrawe. Dan
ia teringat akan Upasara—kakangnya! Budi baiknya dan keinginannya
mengetahui rahasia tiga gerakan yang dilancarkan Ugrawe. Kawung Sen
menyalin sekenanya, sebisanya. Lalu melepaskan burung itu kembali. Ia
sendiri, dengan salinan tulisan itu langsung berangkat ke Keraton Singasari,
melewati hutan buatan.
Bagi Kawung Sen menuju ke Keraton tidak masalah. Perjalanan itu bisa
ditempuh dengan nyaman dan lancar. Akan tetapi dari segi persoalan pribadi
termasuk berat juga. Ia dikenal sebagai pemberontak Keraton. Pemberontak
yang pernah menyelusup masuk Keraton. Pernah menyerbu Keraton hingga
berada dalam dinding. Namanya sangat buruk di Keraton. Kini ia harus masuk
ke sana kembali dengan risiko dikenali. Bisa-bisa sebelum masuk sudah harus
ditelikung.
“Kalau aku harus mati karena menyampaikan hal ini, tak menjadi soal.
Toh sebelum ini pun aku sudah mati kalau tidak ditolong Kakang Upasara.
Kalau sebagai adik aku tak berbakti kepada kakaknya, bagaimana aku bisa
merasa diriku lelaki?”
Tentu saja para prajurit yang menjaga gerbang jadi kaget. Mengira
bahwa yang ditemui orang gila.
Ganti Kawung Sen yang melengak. Kalau tidak mengingat bahwa ia tak
ingin membuat gara-gara, pasti prajurit itu sudah dijerat dan dikencingi.
“Kau boleh menggertak. Aku sudah bertugas di sini puluhan tahun. Tak pernah
kudengar nama Upasara Wulung sebagai demang, lurah, akuwu, mantri praja,
bupati, atau prajurit.”
Belum ada jawaban, Kawung Sen menggertak dan dua prajurit itu
berteriak kesakitan. Masing-masing menjerit dan tangannya terkulai. Ini malah
mengundang prajurit-prajurit yang lain serentak mengepung Kawung Sen.
Dikepung belasan prajurit, Kawung Sen malah tertawa lebar.
“Kalian ini cicak-cicak yang tahu kucing. Aku tanya baik-baik malah
kalian paksa menggunakan tenaga. Ayo, siapa yang ingin patah tulangnya,
silakan maju. Ayo, maju, jangan menunggu.”
Sebat Kawung Sen menggebrak maju. Sekali loncat dua tangan bisa
disentakkan. Sekejap saja prajurit yang mengepung menjerit kesakitan.
Sebagian berlari melaporkan ke dalam.
“Keraton atau kuburan apa bedanya? Siapa yang berlaku kasar? Yang
mulai atau yang mengikuti? Kalian para prajurit yang hidup untuk sesuap nasi
mengerti apa tentang negara?
“Kalau memang tak mau diatur jangan salahkan aku.” Tapi belum
sempat Arya Genggong bisa menyerang barang dua-tiga jurus, tubuhnya telah
terdorong mundur. Bagai diempos angin dahsyat. Bagai disapu ombak.
Apakah Kawung Sen dalam waktu sekejap saja telah menjadi sangat
lihai? Apakah Arya Genggong bisa disapu dengan sekali gebrak?
“Bisa… bisa… ilmu… ilmu ini bisa dipakai. Ayo maju lagi. Biar aku bisa
latihan sepuasnya.”
mengganas. Kalau dalam praktek dulu Kawung Sen tak merasa puas, bisa
dimaklumi. Karena tak ada tenaga yang menyerang ke arahnya. Dan kini, Arya
Genggong menyerang ke arahnya. Ada tenaga yang bisa dibalikkan. Tenaga
Arya Genggong menghantam dirinya sendiri. Akibatnya memang telak, karena
ditambah tenaga Kawung Sen!
“Pangkat itu anugerah. Gede itu hanya perasaan. Siapa pun namamu,
apa pangkatmu, untuk apa kamu mengacau kemari?”
“Upasara Wulung sudah tak ada di tempat ini. Tak ada gunanya kamu
cari. Kalau ada persoalan, katakan segera. Kalau mau mengacau, aku akan
menghadapimu.”
“Bagaimana kamu yakin Upasara tak ada di tempat ini? Kakangku itu
tak pernah bohong dalam hidupnya. Ia bilang ke Keraton. Dan di Jawa ini ada
berapa Keraton?”
Jala Kawung Sen yang tertebar menyampok sekian banyak senjata yang
tertuju ke arahnya. Tak bisa disendal dengan sekali betot. Jadinya malah
terjadi tarik-menarik. Ketika itulah angin pukulan Patih Angragani menjotos
ulu hatinya. Sebat Kawung Sen menyentak jalanya, tapi tetap tertahan. Tak ada
jalan lain, jala dilepaskan dan dengan tangan kosong memapaki serangan. Satu
lagi dari jurus Bantala Parwa muncul. Dua benturan tenaga keras. Patih
Angragani tergusur mundur, tapi dengan cepat maju kembali. Kali ini gerakan
tangannya lebih cepat, dan yang bergerak lebih dulu adalah prajurit pilihan.
Langsung menghadang di depan Kawung Sen. Benturan tenaga begitu dahsyat
tak terhindarkan. Dua prajurit pilihan langsung terjungkal. Sebelum
menyentuh lantai pendopo, nyawa mereka sudah berpulang.
Kalau saja Kawung Sen sudah menguasai cara mengatur tenaga, dengan
sekali gebrak lebih banyak lagi korban berjatuhan.
Luar biasa. Tokoh nomor dua di Keraton Singasari dipencet oleh seorang
seperti Kawung Sen!
“Panggil Kakang Upasara atau kupatahkan tangan ini jadi tangkai daun
singkong.”
“Aku sudah bilang bahwa Upasara Wulung telah mati. Atas perintahku.
Mau patahkan tangan silakan, mau bunuh lakukan saja.”
“Kakang Upasara, aku tak bisa membalas budi baikmu. Di surga sana,
biarlah orang ini menjadi pelayanmu, menjadi kuda tungganganmu.”
“Tahan, Dimas.”
Semua yang hadir terperanjat. Juga Patih Angragani. Karena sama sekali
tak menyangka bahwa yang muncul adalah Upasara Wulung!
“Kakang!”
“Kau…”
Kawung Sen memegangi perutnya. Dua tusukan dari arah belakang kena
sangat tepat. Dan sementara itu para prajurit pilihan sudah langsung
menyerbu. Upasara mengembangkan tangannya untuk menangkis serangan
yang datang sambil melindungi Kawung Sen.
Upasara merangkul.
“…Dimas…”
“Dewa Yang Menguasai Jagat… hari ini adikku Kawung Sen sowan
kepadamu…. Dewa memanggil dengan cara yang mulia….” Upasara Wulung
menoleh ke Patih Angragani. “Dimas Kawung Sen menyampaikan berita.
Berita dari Mpu Ugrawe kepada Raja Muda Gelang-Gelang dan para
senopatinya. Perencanaan penyerangan ke Keraton.
“Mahapatih yang mulia… percuma semua gelar itu kalau tak bisa melihat
kenyataan. Dalam Keraton ini bukankah Baginda Raja yang paling berkuasa?
Siapa lagi yang bisa menolong hamba kalau bukan Baginda Raja sendiri?”
“Anak kecil bisa kamu dustai, tapi pasti bukan aku. Kamu datang dan
kulemparkan ke kandang harimau, Baginda Raja saja tak tahu. Bagaimana bisa
menolongmu?
“Kejar!”
Sampai bulan purnama muncul. Baru Upasara Wulung sadar sejak tadi
ada bayangan yang mengawasi.
Upasara menunduk.
“Aku bukan siapa-siapa. Bukan apa-apa. Saat ini pun kalau Baginda Raja
mempercayaiku, sudah terlambat. Di dalam Keraton sendiri terpecah belah tak
menentu. Aku sudah bisa memperhitungkan. Bahwa Ugrawe akan
mempercepat serbuannya, begitu melihat ada sesuatu yang tak beres. Begitu
ada yang bocor—seperti dibawa Kawung Sen, Ugrawe akan mengerahkan
pasukannya.
“Tetapi aku adalah bagian dari Keraton. Apa pun yang terjadi aku akan
kembali ke Keraton. Angragani bisa menangkap aku. Bisa apa saja. Tetapi
itulah bagianku.
“Kalau masih mempunyai rasa hormat sedikit kepada orang tua ini,
pergilah. Berangkatlah sekarang juga. Makin jauh makin baik.”
“Eyang yang dihormati secara tulus oleh para kawula… apakah ada
perbedaan antara seorang yang tak berkepandaian apa-apa dengan seorang
empu dalam membela Keraton?
“Kamu itu masih ingusan, Wulung. Kamu tahu apa tentang kewajiban?
Ngabehi Pandu itu sama tololnya dengan kerbau dungu. Nasihatnya tak usah
kamu hiraukan.
“Jangan merasa bisa menolong Keraton. Negara ini terlalu besar. Dan
kamu ini bukan siapa-siapa. Lebih buruk dari apa-apa. Jangan ngomong
ngawur. Negara tak tertolong olehmu. Segera minggat. Tolong jiwamu sendiri.”
“Seumur hidupku ini, baru sekarang aku menjumpai orang yang isi
kepalanya lumpur. Lumpur keras. Tak bisa berpikir sedikit pun.
“Kalau aku bisa bertemu Ngabehi Pandu, ia akan kukuliti. Karena dialah
yang berdosa membuat kamu seperti ini.
“Jangan salahkan aku yang tua ini tak memberi nasihat padamu.”
Bukan soal meloloskan diri. Kalau itu yang ingin dilakukan, ia sejak
lama bisa meloloskan diri. Tak perlu bersusah payah ke Keraton!
Sedikit atau banyak, apa-apa atau bukan apa-apa, masih ada yang bisa
didarmabaktikan kepada Keraton.
Ia beristirahat sejenak.
Sampai fajar.
Benar dugaan Mpu Raganata! Ugrawe akan menyerang lebih cepat dari
dugaan siapa pun.
“Kamu keliru. Jayakatwang, kamu anak bawang. Anak ayam tak bisa
melawan garuda. Anjing kecil yang dipelihara tak akan kuat melawan harimau.
Jayakatwang mengangguk.
Pintu terbuka.
“Aku raja yang tahu di mana harus beristirahat. Aku tahu bahwa
pengkhianat yang paling busuk, manusia yang paling hina di dunia, adalah
seorang yang membalas budi kebaikan dengan pengkhianatan.
Mpu Raganata bertarung dengan gagah berani. Sendirian, tokoh tua ini
melindas siapa pun yang berusaha mendekat. Namun serbuan makin lama
makin kuat. Kiai Sangga Langit sendiri langsung terjun ke medan
pertempuran. Ugrawe juga menggunting dari sisi lain.
Satu demi satu prajurit Keraton jatuh berguguran. Hujan anak panah
makin mengganas. Ugrawe sendiri kemudian melontarkan bubuk racun
sehingga tanpa peduli prajuritnya sendiri atau prajurit lawan bisa disapu
bersih. Ia sendiri dengan Kiai Sangga Langit dan Rawikara telah membekali
diri dengan obat pemunah. Sehingga terbebas dari pengaruh racun!
Dalam keadaan biasa pun, Upasara bukan tandingan Ugrawe. Maka kali
ini hanya bisa memasrahkan diri. Tapi sedetik itu, Mpu Raganata meloncat
tinggi dan menahan gempuran. Akibatnya, tubuh Mpu Raganata terpental
jauh. Ugrawe sendiri terlempar tiga tombak. Hingga punggungnya
menghantam dinding yang langsung jebol!
“Empu…”
“Eyang…”
“Sudah saya bilang, kamu lebih baik lari. Di belakang hari masih bisa
melawan.”
“Kami tak peduli keroyokan atau tidak. Kalau bisa merebut takhta
Keraton, orang lain yang puas. Tapi membunuhmu, aku yang paling puas.
Akulah orang paling sakti di jagat raya….”
Bocah yang masih memakai kemben dengan rambut terurai itu berjalan
masuk. Dalam kepungan dua pendekar besar dan seorang seperti Rawikara,
Gendhuk Tri ternyata tak gentar. Berjalan di antara mayat-mayat yang
berserakan, di antara simbahan darah, ternyata tak membuat kalimatnya
berubah.
“Memang aku sengaja kemari. Cuma susah masuk tadi. Di luar terlalu
banyak orang.” Suara kenesnya tetap menggema.
Melihat ke Upasara.
Baru sekarang Upasara sadar bahwa Rama Guru yang disebut-sebut itu
adalah Mpu Raganata! Jadi Jagaddhita dan Gendhuk Tri termasuk murid
langsung Mpu Raganata! Pantas saja Mpu Raganata tahu banyak hal! Pantas
saja Rama Guru begitu membenci raja tetapi sekaligus juga memuja!
Rawikara merasa paling panas. Resi Ugrawe adalah guru yang sangat
dikagumi. Mana mungkin dihina begitu saja? Mana mungkin seorang bocah
awut-awutan mengatakan telah memotong telinga mahagurunya? Ini
kesempatan buat membalas dendam!
Meninggal seketika.
Ilmu hitam apa pula ini? Sekali sentuh langsung menyebarkan racun?
Bahkan Rama Guru pun takkan bisa menerangkan dengan cepat. Hanya
Upasara yang tahu. Karena ia bersama Gendhuk Tri di dalam gua. Ia
mendengar cerita bahwa mayat Padmamuka dan Pu’un dimasukkan ke dalam
gua! Dua tubuh yang sangat beracun! Dan racun itulah yang berpindah ke
tubuh Gendhuk Tri. Gendhuk Tri sendiri tak mungkin keracunan karena
sebelumnya telah kena ilmu sirep Pu’un!
Boleh dikatakan semua kejadian luar biasa ini terjadi secara kebetulan.
Semua memang ulah Gendhuk Tri sendiri. Sejak ia muncul dan memamerkan
diri dengan omongan Tamu dari Seberang, ia diincar. Salah satu yang
mengincarnya adalah Pu’un yang menggunakan ilmu sirep. Bahkan Jagaddhita
sendiri tak berhasil membebaskan ilmu yang aneh ini.
Hal ini didengar oleh Upasara. Bisa diduga ini semua memang rencana
Ugrawe. Agar mereka yang masih tersisa, bisa bertahan dalam gua yang
ditimbun kalaupun bisa bertahan, akan mati terkena racun dahsyat
Padmamuka.
Gumpalan asap dari tubuh kedua tokoh beracun inilah yang diisap oleh
Gendhuk Tri dan Jagaddhita. Gendhuk Tri bisa bertahan karena telah
mempunyai dasar yang diberikan oleh Pu’un. Sedangkan Jagaddhita tak bisa
bertahan. Begitu asap racun terisap ia merasa kesadarannya hilang dalam
Dan Gendhuk Tri masuk ke dalam Keraton di saat yang genting. Bahwa
ia bisa leluasa masuk, itu karena memang kepandaiannya cukup tinggi. Bahwa
racun dalam ruangan tak mempengaruhi dirinya, karena dalam tubuhnya
sendiri sudah mengalir berbagai racun.
“Selama Kakang tidak ada luka, racun saya tidak akan masuk ke tubuh
Kakang.”
“Gendhuk… entah kapan kita bisa selalu bersama-sama. Makin lama kita
makin tersudut. Satu-satunya harapan adalah mencari Bagus Respati. Putra
Patih Angragani ini bisa diharapkan tampil.
Siapa?
“Hanya ada satu perintah dari Ugrawe yang belum terselesaikan. Yaitu
membunuh atau menangkapmu hidup-hidup. Terserah kamu mau
menyerahkan diri atau aku memaksamu.”
Bergandengan.
di lautan asmara
di pantai kemesraan
membadai kenangan
meniti buih
saat purnama
kau tiba
karena begitulah
Yang luar biasa adalah pahatan itu pada bagian dinding yang paling
tinggi. Dan cara menuliskannya terbalik. Jadi saat penulis memahatkan
dengan tubuh menghadap ke tanah!
Ini sungguh luar biasa. Dinding Keraton yang didiami Raja Jayakatwang
berada dalam pengawalan yang ketat. Tak sembarang hewan terbang bisa
melintas di sekitarnya. Dinding benteng Keraton itu sendiri tegak berdiri
sekitar empat meter dari tanah. Susunan batu bata direkat erat dengan tanah
liat yang telah mengeras, karena untuk menyatukan diperlukan perasan buah
aren. Pengorbanan yang besar karena biasanya dipakai untuk gula, sebagai
pemanis. Makanya bukan hanya lengket, tapi juga mengilat.
Mula pertama diketahui oleh penjaga pintu gerbang yang melihat ada
sesuatu yang salah dalam pandangannya. Ada sesuatu yang rusak di bagian
atas dinding benteng Keraton. Barulah-kemudian diketahui bahwa itu suatu
coretan. Lebih mengejutkan lagi bahwa ternyata tulisan yang bisa dibaca.
“Sungguh hebat. Di saat seperti ini masih ada yang berani mati berbuat
onar. Nyawa siapa yang telah begitu gerah?
“Selama ini semua jago, semua pendekar, semua ksatria telah berhasil
kukalahkan. Meskipun apa yang dicoretkan di dinding lebih merupakan
demonstrasi kepandaian yang sesungguhnya, akan tetapi jelas bukan orang
sembarangan.
“Di saat lalu, hanya tokoh sejajar dengan Mpu Raganata yang bisa
melakukan itu dengan enteng tanpa mungkin diketahui orang lain. Akan tetapi
dalam penyerbuan ke Keraton, empu tua itu telah terbunuh.
“Kalau tak salah, dulu di Keraton Singasari ada seorang prajurit yang
paling tinggi ilmu meringankan tubuhnya. Ia digelari sebagai capung dan
bernama Wilanda. Ia satu-satunya orang yang bisa melayang di angkasa. Akan
tetapi bahkan sejak pertempuran di Perguruan Awan, ia sudah terluka parah.
Hanya malaikat penyembuh yang mampu mengembalikan kekuatannya. Dan
malaikat itu tak pernah ada.
Tadinya Ugrawe menduga bahwa tulisan di dinding Keraton ini ulah Kiai
Sangga Langit, kalau mengingat ilmunya yang tinggi. Akan tetapi agak
mustahil, karena Kiai Sangga Langit tidak begitu paham huruf serta bahasa
setempat. Yang lebih mungkin adalah Mo Ing. Anak muda ini dengan cepat dan
fasih menguasai bahasa sehari-hari, dan bisa lebih cepat lagi mempelajari dari
berbagai kitab. Sangat mungkin sekali adalah Mo Ing, mengingat ia bisa leluasa
berada dalam Keraton, atau keluyuran di sekitarnya. Dan kehadirannya tak
mencurigakan jika pun suatu ketika berada di dinding Keraton atau bahkan
berada di dalam Keraton sekalipun.
“Hamba tak cukup pengetahuan, Bapa Guru. Tetapi kalau dilihat dari
kemampuan yang diperlihatkan, jelas bukan sembarangan. Pemahatnya
mempunyai pengetahuan sastra yang tinggi, kemampuan mengentengkan
tubuh yang luar biasa, dan mengenal seluk-beluk Keraton dengan baik.
“Hamba ingin menebak Mo Ing, akan tetapi ini hanya dugaan bodoh
yang bisa keliru.”
“Pangeran Anom mempunyai wawasan yang luas dan tajam. Itu sangat
diperlukan sebagai calon pemegang kekuasaan tinggi di belakang hari.
“Saya mempunyai dugaan yang sama. Akan tetapi agak sulit untuk
menjebaknya. Raja tidak berkenan untuk melakukan tindakan ke dalam.”
Keempat-empatnya.
“Seekor nyamuk pun bisa membuat gusar sapi klangenan Raja. Apalagi
seluruh tubuhnya dicacah seperti ini.”
“Saya sendiri bisa menghukum pancung kalian semua. Mulai saat ini,
tak ada lagi kejadian seperti ini.”
“Telah seratus hari aku mencari Nyai Demang. Katakan sekarang juga,
Galih Kaliki menunggu di sini. Tidak menunggu bulan purnama, tidak
menunggu buih melambung.”
“Nyai Demang, di mana kamu? Jangan sembunyi. Aku tak sabar lagi,
Nyai….”
Dari sisi kiri-kanan, dua ujung tombak menyerang ke arah lambungnya. Galih
Kaliki memindahkan tongkat ke tangan kiri langsung mengemplang kepala.
Tanpa memedulikan sodokan dari kanan. Cepat dan keras. Terdengar bunyi
keras. Pergelangan tangan dua prajurit patah, luluh terkulai. Galih Kaliki
menghindar tusukan dari kanan, dengan memutar tubuhnya. Kedua kakinya
menendang senjata lawan. Bertumpu pada sabetan tangan kiri, tubuhnya
meloncat ke depan.
“Ah, yang di dinding itu bukan urusanku. Soal sapi juga bukan urusanku. Aku
ini manusia kasar. Bisaku cuma main kotoran. Serahkan Nyai Demang, atau
kubikin rata batok kepalamu.”
“Ke mana lagi kalau bukan kemari. Putri sundal yang mengaku jadi
lelaki… aduh, sampai terbalik… Lelaki sundal yang mengaku sebagai putri
itulah yang bikin gara-gara. Kalau ia ada di sini, masa Nyai Demang ada di
tempat lain. Nah, kita sudah bicara banyak. Mau bertempur atau tidak?”
“Nah, Pangeran… aku tak ada urusan sama kamu. Kecoak putih ini
urusanku.”
“Awas.”
Mo Ing tak memberikan tubuhnya disodok dari bawah begitu saja. Berat
badannya jatuh ke satu sisi. Cepat sekali. Untuk menjaga kalau Galih Kaliki
mengubah serangan, tangan kanannya menyampok keras. Mengembuskan
tenaga panas.
paling berbahaya ternyata kemplangan dari atas. Karena pada saat ujung
tongkat mengarah ke batok kepala, rasanya seperti takkan berubah arah. Tak
peduli dengan tusukan pedang lawan. Seakan percaya bahwa tongkatnya akan
lebih dulu menghantam batok kepala, sebelum pedang lawan bisa menggores
kulitnya.
“Mo Ing, mundur saja. Kalau tak bisa menangkap seorang penggali
kotoran, lebih bagus pulang saja. Di rumah bisa kau bersihkan tanganmu.”
Menghadapi tokoh yang rada aneh satu ini, tak bisa memecah
konsentrasi seenaknya. Galih Kaliki tak bisa dipandang dengan sebelah mata.
Ayunan tongkatnya makin berat, makin memberat dengan kesiuran angin yang
mantap. Tongkat di tangannya berubah menjadi senjata pemukul yang
dahsyat. Gerakan maju Mo Ing jadi tertahan. Dua pedang yang berkelebat dari
arah kanan dan kiri seperti mau menggunting, dipatahkan dengan keras. Galih
Kaliki maju terus. Tongkatnya menyambar dari atas ke bawah.
Lagi-lagi Mo Ing berusaha menghadang. Kali ini Mo Ing lebih taktis. Satu
pedang kanan diangkat sedikit ke atas. Untuk menangkis. Sedang pedang di
tangan kiri digerakkan cepat untuk mencuri tusukan.
Kalau ini terjadi, Galih Kaliki boleh memegang dadanya yang tertusuk
dalam.
Agar bisa membuktikan bahwa ia bisa menguasai lawan lebih cepat dari
perkiraan Rawikara. Agar membungkam komentar Rawikara.
Perhitungan ini banyak benarnya. Tapi satu hal yang tak pernah
diperkirakan oleh Mo Ing ialah bahwa tipe permainan silat Galih Kaliki lain
daripada yang lain. Selama main gebrakan mencapai lima belas jurus, Mo Ing
unggul dengan kuda-kuda yang mantap. Geseran kaki secara teratur bisa
mengukuhkan posisinya. Hampir semua lawan Galih Kaliki selalu menemukan
peluang terbaik untuk menyerang dari bagian bawah. Dulu Bagus Respati,
putra Patih Mahisa Anengah Panji Angragani pun melihat lubang pertahanan
yang lemah di bagian bawah. Padahal justru inilah yang agaknya dirasa
menjadi soal bagi Galih Kaliki.
Justru pada saat lawan merasa sangat aman dan kuat di bagian bawah,
kaki Galih Kaliki menggempur mantap kuat. Kaki kanan mengentak lurus
dengan gerakan menyelentak, gerakan merupakan sepakan kaki kuda.
Tenaganya sangat besar. Yang diarah adalah tempurung kaki. Mo Ing tak akan
bisa sekadar menggeser, karena justru slentakan jaran, tendangan kuda, ini
jauh dari jangkauannya. Satu-satunya jalan adalah membuang diri jauh ke
belakang. Atau memilih kemungkinan lain. Tetap menangkis tongkat di atas,
menusuk dengan pedang yang lain, dan menggeser kaki sebisanya.
Ia tak menganggap Galih Kaliki terlalu rendah. Akan tetapi juga sama
sekali tak menduga bisa menyelesaikan pertempuran dengan begitu singkat
dan mendadak!
Ini semua terjadi dalam gerakan turun tubuh Galih Kaliki yang tepat!
Menyampok pedang, menginjak pergelangan, dan menguasai keadaan secara
penuh.
“Kamu boleh bunuh aku. Aku sudah kalah. Untuk apa memaksa
mengatakan yang sudah kau ketahui?”
menahan tusukan pedang. Pun andai tusukan itu ditujukan ke arah Galih
Kaliki. Akan tetapi Rawikara sengaja membiarkan saja. Tidak peduli siapa yang
akan kena tusuk. Bagi Rawikara tidak penting benar siapa yang bakal tertusuk!
Kiai Sangga Langit melihat, dalam sekelebatan saja, bahwa gerakan yang
didemonstrasikan untuk menjebak tadi adalah gerakan yang sering
diperagakan oleh Ugrawe. Bagian dari ilmu andalannya!
“Bagus sekali. Satu gerakan yang luar biasa. Boleh saya mengetahui
nama gerakan tadi dan dari perguruan mana?
“Aku tidak butuh urusan seperti itu, Pangeran. Kalau kamu berikan Nyai
Demang, baru itu namanya menjawab keperluanku kemari.”
“Ada apa lagi? Katanya mau ketemu Nyai Demang, tetapi sekarang pakai
alot-alotan segala.”
“Siapa suruh kamu bilang hanya itu. Soal Nyai Demang bukan soal
hanya itu. Soal yang besar. Cabut kembali kata-kata itu!”
Rawikara mengangguk.
Ini adalah salah satu strategi Rawikara. Baginya Galih Kaliki seperti
sengaja diciptakan untuk menjelaskan masalah yang ingin diketahui. Pertama
kali tentang tulisan asmara di dinding. Kedua tentang asal-usul perguruan
Galih Kaliki. Ketiga bisa menjadi kunci untuk membuka rahasia yang ada di
dalam kediaman Kiai Sangga Langit. Maka Rawikara membalik
penampilannya. Kalau tadi merasa perlu menghadapi keras sama keras, kini
harus menghadapi dengan kelembutan.
Maka jalan yang diambil adalah berdamai dengan Galih Kaliki. Untuk
mengorek keterangan lebih banyak. Rawikara tahu bahwa Galih Kaliki
memang ugal-ugalan dan kasar penampilannya. Akan tetapi sifatnya jujur dan
tak mempunyai prasangka yang aneh-aneh. Dari keinginannya yang
mengabaikan kepentingan lain, hanya sekadar mencari tahu Nyai Demang, hal
ini sudah memberikan bukti kuat.
“Nyai Demang, kalau Nyai tak mau keluar, biarlah aku yang masuk ke
dalam. Maaf kalau kurang menghormati Kiai Sangga Langit, si pemilik rumah.
Aku sudah minta izin baik-baik.”
Pintu terbuka.
Kukuh, bergeming.
Terdengar suara nyaring dari dalam. “Hari ini Kiai Sangga Langit tak
mau menerima tamu. Ia akan mengobati Mo Ing. Harap datang lain waktu.”
“Nyai Demang… itu suaramu. Akulah garam yang tak bisa dipisahkan
dari laut birumu.”
Satu gebrakan yang luar biasa. Galih Kaliki tidak kehilangan muka dalam
serangan ini. Meskipun ia harus jungkir-balik tidak kepalang tanggung.
Kedudukan masih sama, akan tetapi jelas bahwa Galih Kaliki setidaknya
berada tiga tingkat di bawah Kiai Sangga Langit.
Saat itu mendadak terdengar gong kecil dipukul ringan. Semua kegiatan
terhenti mendadak. Seorang prajurit menghaturkan sembah sambil
berjongkok.
“Saya merasa bahagia kalau setelah menerima dawuh Raja kita masih
bertemu lagi. Soal Nyai Demang…” Suara Rawikara berubah agak tinggi. “Nyai,
saya meminta Nyai menemui… saya meminta dengan segala kerendahan hati.
Di belakang hari utang budi ini akan selalu saya ingat.”
“Kalau hantu sawah itu mau bikin gara-gara, aku masih bisa
menghadapi.”
“Hari ini aku memanggil Paman Ugrawe dan putraku, karena kalian
berdualah yang menjalankan roda pemerintahan sehari-hari.
Dari cara berbicara, Ugrawe merasa bahwa Raja Jayakatwang seperti benar-
benar kehabisan semangat.
“…Sebentar lagi aku berada di singgasana ini selama seratus hari. Masih
saja belum hilang bayangan yang mengerikan. Mayat-mayat berjatuhan, banjir
darah, erangan orang-orang yang kuhormati secara lahir-batin.
“Sama sekali tidak, Sinuwun. Segalanya benar adanya, seperti yang di-
wangsit-kan Dewa Yang Mahatinggi,” sembah Ugrawe.
“Katakan, Paman.”
“Bulan depan atau sekarang apa bedanya? Makin cepat kita membangun
kembali, rasanya makin baik. Kalau tidak, kita hanya berkubang sekitar
masalah balas dendam. Seakan urusan kita hanyalah membunuh orang lain
yang kebetulan berbeda pendapat dengan kita.
“Rawikara putraku… lebih baik pada kesempatan ini kamu berdiam diri
saja. Aku memanggilmu agar kamu mendengar lebih banyak.
“Kamu sendiri tak ingat. Tak tahu. Bahwa aku menangis di sampingmu.
Pada saat itu Mpu Raganata yang telah terbaring karena luka parah, karena
seluruh tubuhnya penuh dengan luka, merangkak mendekatimu. Memeriksa
nadimu, memeriksa pernapasanmu. Dan mengatakan bahwa untuk suatu
ketika, nyawamu masih bisa diselamatkan. Tak ada yang percaya. Bahkan
Paman Ugrawe yang sangat kukagumi juga menggelengkan kepalanya. Tetapi
Mpu Raganata mengatakan, ‘Kematian ialah sesuatu yang tak bisa diubah. Tapi
sebelum mati, masih banyak kejadian yang bisa ditangani oleh manusia. Dalam
diri anak muda ini, bertempur darah yang racunnya tak bisa dikuasai. Ia kalah.
“‘Beberapa bagian tubuhnya yang dalam, sudah terluka, akan tetapi bisa
disembuhkan dengan pengobatan biasa.’
“Tetapi ternyata tidak. Mpu Raganata tak tahu siapa yang dilukai, siapa
yang melukai. Beliau yang sudah sangat sepuh, yang memerlukan tenaga untuk
hidupnya sendiri, lebih suka menolong orang lain.
tersenyum, ‘Kalau kamu bisa berbuat baik bagi orang lain, apakah harus
kautanyakan sesuatu? Kalau kamu bisa berbuat baik, lakukanlah. Itu wajar.’”
“Karena aku bersyukur bahwa putraku lolos dari kematian. Namun lebih
luhur dari semua itu, tindakan nyata Mpu Raganata. Kalimatnya begitu indah,
begitu luhur, begitu suci: Kalau kamu bisa berbuat baik pada orang lain,
lakukanlah. Itu wajar.
“Aku bukan seorang resi. Aku bukan orang bijak. Aku tak tahu, apakah
memberi ampunan ini suatu perbuatan baik atau sesuatu yang wajar, tetapi
aku ingin melakukan. Paman Waisesa Sagara, bagaimana?”
“Aku telah mendengar laporan dari Patih Mandarang malam tadi,” suara
Ugrawe terpatah-patah. “Bahwa ada utusan dari tanah Madura diterima
menghadap langsung. Patih Wiraraja mengajukan usul-usul mengenai
kebijaksanaan yang baru.
“Bapa Guru, tak ada alasan lain, kita melaksanakan titah Raja.”
Rawikara termenung.
“Galih Kaliki? Aku tak pernah mendengar nama itu. Dan aku tak yakin
ada yang bisa mempelajari. Aku akan berangkat sekarang juga.”
“Ya. Aku akan membebaskan, sesuai dawuh, sesuai perintah Raja. Yang
tidak kujanjikan, yang tidak ada dalam perintah Raja, ialah aku membebaskan
semua dalam keadaan sebagaimana adanya. Aku akan menjajal ilmuku untuk
menghabiskan semua ilmu silat mereka. Jika pukulan Banjir Bandang Segara
Asat berhasil, Kiai Sangga Langit akan menggigit jari. Pangeran Anom boleh
mengikuti jika ingin menjajal juga.”
Selama ini sangat susah melatih pukulan Banjir Bandang Segara Asat,
Banjir Bah Laut Kering. Ini merupakan jurus yang amat sulit untuk dilatih.
Terutama sekali bukan karena sulit mempraktekkan gerak, akan tetapi sulit
memilih siapa yang menjadi sasaran.
Yang khas dari jurus Banjir Bandang Segara Asat ialah jurus ini
merupakan jurus yang paling keras dari sifat menolak dan mengisap. Dalam
jurus ini, pesilat akan mengirimkan pukulan ke arah lawan dengan tenaga
penuh, dan sekaligus mengisap habis! Sehingga lawan yang terkena pukulan ini
kehilangan kekuatan tenaga dalamnya. Seumpama laut, ia dikeringkan, dan
tenaganya diisap menjadi banjir di daratan!
Pukulan Banjir Bandang Segara Asat tak menjadi masalah besar jika bisa
dilatih sekenanya. Akan tetapi, pukulan ini tak bisa dipakai sembarangan.
Kalau menghadapi lawan yang lebih kecil tenaga dalamnya, atau lebih lemah,
bisa-bisa malah membahayakan diri. Soalnya tenaga gempuran begitu besar,
sehingga hampir sepenuhnya tenaga dalam dikerahkan. Kalau yang ditarik
hanya kecil sekali, tenaga sendiri bisa membalik dan melukai.
Itulah sebabnya, untuk melatih pukulan ini diperlukan lawan yang kira-
kira setanding. Makin setakar kekuatan tenaganya, makin menguntungkan.
Karena dalam sesaat tenaga dalam yang dimiliki bisa berlipat.
Selama ini Ugrawe dan Rawikara telah mempelajari secara teori. Dan
memainkan tanpa tenaga dalam. Namun selalu masih ada dorongan untuk
mengujinya. Dalam pertempuran yang sesungguhnya, Ugrawe sendiri belum
pernah mempraktekkan. Karena masih merasa gamang.
simpanan yang ada. Tanpa disadari kedua pihak mengeluarkan ilmu yang
sesungguhnya. Dan justru itulah yang diharapkan dari latihan semacam ini!
“Benar kata Waisesa Sagara… Hari ini hari terbaik. Kita tak harus
menunda waktu. Pangeran Anom, hamba menunggu pertimbangan Pangeran.”
Perjalanan yang aneh. Kalau dulu Ugrawe dan rombongan datang untuk
sekadar menghancurkan. Kini bukan hanya itu, akan tetapi untuk
memindahkan tenaga dalam mereka. Kalau ini berhasil, Ugrawe benar-benar
tiada tandingannya. Bahkan Eyang Sepuh pun takkan mampu mengimbangi.
Barangkali hanya tokoh legendaris seperti Tamu dari Seberang yang bisa
menandingi. Akan tetapi tokoh misterius itu saat ini belum pernah muncul.
Belum ada yang mengaku pernah bertemu dengannya!
“Aku merasa ada sesuatu yang sangat penting dan mendadak. Sepertinya
Ugrawe sendiri yang pergi.
Sebelum kalimat terakhir lenyap, tubuh Kiai Sangga Langit yang tinggi
besar telah meninggalkan tempat. Dalam tarikan satu napas saja, tubuh yang
tinggi besar dan kelihatan berat bisa pindah tanpa menimbulkan kesiuran
angin keras.
Berada di dalam gua, dalam keadaan nyaris tanpa sinar matahari, para
ksatria mencoba bertahan. Yang paling menderita adalah Dewa Maut. Bukan
karena luka dalam tubuhnya masih menggerogoti. Hal ini bisa dengan mudah
diatasi karena cukup waktu untuk melatih tenaga dalam. Tapi jelas sekali
manusia yang biasa hidup di atas air sepanjang sisa usianya, sejak
mengasingkan diri, paling menderita. Karena Dewa Maut juga tak bisa melatih
ilmu racunnya yang ganas. Di mana bisa mencari ikan yang beracun kalau
berada dalam gua bawah tanah?
“Gua bawah tanah ini disebut Lawang Sewu, Pintu Seribu. Sudah
direncanakan sedemikian rupa sehingga tanah yang lembek tidak dibuatkan
terowongan. Sehingga kalau kita mencoba menerobos mencari jalan keluar
selalu akan sia-sia. Kalau melalui jalan biasa, di depan sudah ditunggu
kawanan musuh.
“Tetapi kita tak berhenti dengan berdiam diri. Inilah yang saya harus
lakukan. Maafkan kebodohan ini, akan tetapi biarkanlah saya selalu mencoba.”
“Dalam keadaan sakit dan terluka, Adimas telah banyak menolong orang
lain. Itulah tanda bahwa keinginan Eyang Sepuh masih tersimpan dalam diri
Adimas. Jangan terlalu sungkan.”
Tak bisa dihitung berapa lama waktu sudah berlalu. Mereka tak pernah
melihat sinar matahari dan bulan purnama. Tak tahu ada hujan atau banjir,
atau musim kering yang panjang.
Sampai suatu ketika, entah pagi entah malam, sesosok bayangan masuk
sambil menggendong karung.
“Makan yang banyak. Di situ ada daging, ada sayur yang segar. Ada
jagung, ada tembakau. Ada bacaan yang bagus.”
“Terima kasih. Akan tetapi sebelum kami bisa menerima kenikmatan ini,
berilah kami kesempatan untuk mengenal Paduka yang baik hati.”
“O, Pembarep,” terdengar suara yang nyaring tinggi. “Aku sudah tahu
cacing dalam perutmu memberontak keras sekali. Mana ada makanan seperti
yang kubawa ini? Tetapi kamu masih basa-basi. Takut kuberi racun? Hehe, itu
masih lebih baik. Bukankah lebih enak merasakan sesuatu yang nikmat
sebelum mati, daripada tak pernah merasakan sekali juga?”
“Siapa kamu yang berani omong besar?” Dewa Maut berdiri gagah.
“Ugrawe sendiri tak berani turun kemari. Menyuruh anak ingusan seperti ini.”
“Dewa Maut, adatmu masih seperti anak kecil saja. Pantas saja
Padmamuka suka padamu. Kamu memang masih tetap kekanak-kanakan.”
“Tole apa?”
“Enak saja kamu ngomong. Tole-mu itu pendek, cebol, biarpun manis.
Lihat, aku cukup tinggi.”
“Sangat tidak mungkin kamu bukan Tole. Bau tubuhmu, bau mulutmu
sama persis.”
“Kamu juga muridku. Masa lupa. Hayo menyembah. Kalau tidak, aku
tidak akan memberimu ikan sungai.”
Bahkan ketika bayangan itu mengikik geli, Dewa Maut belum sadar
sepenuhnya bahwa dirinyalah yang ditertawakan.
“Nah, sekarang aku tak bisa lama-lama di sini. Aku sengaja masuk
kemari untuk mengirimkan makanan, dan mungkin sedikit bacaan. Sekaligus
memberitahukan bahwa ada kejadian penting. Dalam satu-dua hari ini Raja
Jayakatwang akan membebaskan kalian semua.
Pembarep memandang lebih jelas. Tak salah lagi, itulah Gendhuk Tri.
Jelas sekali sekarang ini. Meskipun pakaiannya awut-awutan dan rambutnya
beberapa dibiarkan tergerai.
“Anak yang manis, anak yang baik budi, yang bersedia memberikan
nyawanya untuk memberitahukan bahaya kepada orang lain, apakah bisa
dilupakan?”
Dasar Gendhuk Tri, ia bukannya senang ketika dipuji secara tulus oleh
tokoh seperti Jaghana, malah berteriak,
“Kini kamu bisa masuk kembali. Bukankah itu pun berarti tanah yang
kamu lewati longsor dan menutup jalan keluar? Bukankah itu berarti kamu
mengorbankan nyawamu sendiri untuk kami?
“Hei, jangan tolol. Kalian sudah tua bangka begini melakukan apa?”
Gendhuk Tri membuang penutup wajahnya dengan kesal. “Kalian kira kalau
menghormat seperti itu, aku mau ganti menghormat. Jangan berharap tinggi.
Ayo kalian makan semua makanan itu.”
“Siapa bilang aku anak manis. Kamu yang gundul itu juga tak akan
manis biarpun seluruhnya diberi manisan.”
“Adik manis…”
“Gendhuk Tri…”
“Dari dulu aku nggak suka dipanggil itu. Hanya Kakang Upasara yang
boleh memanggil itu. Kalian hanya boleh menyebut Jagattri. Dari dulu sudah
kuumumkan begitu. Dasar kalian bandel semua. Pantas saja Ugrawe yang
sudah rongsokan bisa menjebak kalian.
“Begini masih mau bilang sebagai ksatria atau pendekar. Kucing pun tak
mau menyebut kalian ini ksatria, meskipun dibayar dengan daging burung
perkutut.”
“Pergi?”
“Siapa suruh kamu yang tua bangka itu menguliti? Sebelum kamu
menyenggol tubuhnya, aku sudah akan menguliti bulu-bulu tubuhmu.”
“Betul, Tole, jangan sembunyi. Aku yang tua ini masih bisa
membereskan siapa pun yang mengganggumu.”
“Aku datang kemari dengan tekad mantap. Lebih baik aku mati daripada
melihat Kakang Upasara kawin. Kenapa kalian menghalangi?
“Ugrawe, pujangga busuk, ayo masuk kemari. Ini aku sudah siap untuk
mencopot telingamu yang sebelah.”
“Silakan keluar dari gua, dan berterimakasihlah kepada raja kita yang
welas asih.”
“Kami telah bersama-sama di dalam gua, dalam gelap dan dingin. Kalau
diberikan kesempatan menghirup udara bebas, biarlah semua keluar. Atau
semuanya tidak keluar.”
“Bagus, aku suka ketotolan semacam ini. Kalian pikir itu sikap patriot
sejati. Mendasari jiwa setia kawan. Itulah ajaran terburuk dari ksatria yang
tersesat. Dalam hidup ini, majulah kalau bisa maju. Jangan menunggu yang
lain. Karena kalian sudah memutuskan untuk menolak perintah Raja, aku tak
perlu sungkan lagi.”
Bahwa Ugrawe diakui sebagai jago nomor satu, Jaghana juga menyadari.
Bahwa Ugrawe setingkat di atas Jaghana, bukan alasan untuk main keroyok.
dan Wuragil punya alasan kuat buat bergabung. Dalam ruang yang sumpek,
gerakan-gerakan pendek lebih tepat. Ini agak mengurangi kelebihan Tiga
Pengelana, yang biasa bermain di udara terbuka. Apalagi ilmu silat mereka
merupakan ciri khas ilmu pegunungan, yang lebih mengandalkan loncatan
daripada serangan kaki. Meskipun demikian, Tiga Pengelana Gunung Semeru
dengan mudah menekan Rawikara. Karena ilmu mereka bertiga merupakan
gabungan yang mutlak diperlukan. Bukan sekadar tambahan tenaga seperti
Rawikara dan prajuritnya.
“Tenang saja,” jawab Gendhuk Tri tak peduli. “Aku masih ingin melihat
pertempuran kampungan ini. Kalau aku turun tangan, sekali kena tanganku,
mana ada yang bisa bernapas kembali?”
Satu-satunya jalan ialah melukai dari jarak jauh. Tapi juga tak bisa
sembarangan. Gendhuk Tri, meskipun dalam usia yang masih belasan dan
nampak ingusan, adalah murid langsung Rama Guru alias Mpu Raganata.
Ditambah adatnya yang liar, ia menjadi monster yang menakutkan.
Wilanda tetap duduk dengan sinar mata menyala. Ingin terjun dan
melibatkan diri, apa daya tak mempunyai kemampuan.
“Aku masuk kemari dengan mudah, dan bisa keluar dengan mudah,
karena akulah yang membuat Lawang Sewu ini. Masakan kamu tidak tahu.”
Ugrawe memang tak mau berisiko sedikit pun. Ia lebih suka mengambil
jalan yang menguntungkan. Menerobos ke belakang. Sambil menarik tubuh
Rawikara ke arah luar gua.
Gendhuk Tri tertawa mengikik, dan meloncat ke atas dengan cara yang
sama. Begitu tubuhnya keluar dari bawah tanah, dua tombak beruntun
menyambar ke arahnya. Tanpa mengalami banyak kerepotan, Gendhuk Tri
menangkap dua ujung tombak yang diarahkan kepadanya dan menyentakkan
keras, sekaligus membalikkan arah tombak. Terdengar dua jeritan bersamaan.
Gendhuk Tri turun dan berdiri di pinggir mulut lubang ke bawah tanah.
Jaghana sudah dua kali membawa tubuh jatuh dari atas. Dan dua-
duanya membuatnya terkejut. Karena orang yang dibopong seperti tak
mempunyai tenaga lagi. Bagai sebongkah daging saja.
Dalam waktu sekejap saja, Dewa Maut, Wuragil, dan Jaghana telah
dibuat tak berdaya.
Bukan karena racun yang menakutkan. Tetapi setiap kali Rawikara atau
Ugrawe menggebrak, dengan satu pukulan saja lawan langsung kehilangan
segala tenaga. Bahkan untuk bergerak menghindari serangan berikutnya sudah
tak mungkin.
Semuanya serba sia-sia. Setelah bertahan dalam gua bawah tanah sekian
lama, setelah Gendhuk Tri menerobos masuk untuk memberitahukan bahaya,
ternyata tetap terlambat. Ternyata Ugrawe tetap bisa melaksanakan niatnya.
Melumpuhkan semuanya.
“Siap, Kakang.”
“Gendhuk Tri, hari ini tugas kita bertiga untuk memberantas segala
keganasan dan kelaliman.”
Bertarung dalam penjagaan jarak, Gendhuk Tri tak bisa berbuat banyak.
Malah menjadi keteter karenanya. Ugrawe mempunyai peluang untuk
melancarkan serangan satu-dua ke arah Panengah. Pukulan kosong jarak jauh
membuat Panengah meloncat menghindar, dan pada saat yang bersamaan
Rawikara meloncat ke atas. Masuk ke dalam pertempuran.
Akibatnya berat!
Dikeroyok dua jago utama, guru dan murid, Gendhuk Tri terdesak
dalam waktu singkat. Jelas bahwa ilmu silat Gendhuk Tri bukan tandingan
Ugrawe. Belum ada takaran untuk bisa diperbandingkan. Meskipun gaya dan
jurus Gendhuk Tri aneh dan tidak wajar, akan tetapi variasi demi variasi bisa
dibaca oleh Ugrawe dengan tepat. Keunggulannya hanyalah karena Ugrawe tak
bisa melukai secara langsung.
Dilihat selintasan justru Gendhuk Tri seperti bola mainan yang begitu
lemah.
Suara yang dikeluarkan oleh sosok tubuh yang tinggi, kurus, seperti
melengkung.
“Tenang saja, Pakde. Saya bisa mengencingi mereka. Ini malah bagus,”
jawab Gendhuk Tri dengan suara keras.
pundak, yang bagi seorang jago silat merupakan segala pusat gerakan di
tangan.
Teriakan Ugrawe, membuat Pakde yang kurus tinggi itu tak bereaksi.
“Sebelum kamu bisa membunuhku, apakah aku mau mati lebih awal?”
“Sungguh bahagia hari ini aku bisa bertemu denganmu, Ngabehi Pandu.
Tak kunyana, bahwa kini kamu bisa banyak bicara. Kiranya kamu pula yang
selama ini menyaru sebagai Senamata Karmuka. Pantas kamu bisa mengelabui
semuanya.
“Perguruan Awan ini menjadi saksi, siapa di antara kita berdua yang
lebih terang dari matahari. Di jagat ini hanya ada satu matahari, tak pernah
ada matahari kembar. Bersiaplah, Pandu.”
Suasana sunyi.
berita di situ akan datang Tamu dari Seberang, seorang tokoh misterius yang
konon membawa wangsit siapa yang bakal menjadi raja di tanah Jawa.
Saat itu kemudian berhasil disergap oleh Ugrawe dan pasukan dari
Gelang-Gelang yang dipimpin langsung oleh Raja Muda, saat itu, Jayakatwang.
Upasara tentu saja tidak mengerti. Bahwa saat itu Ngabehi Pandu, yang
adalah saudara kandung Senamata Karmuka, menyamar sebagai Senamata
Karmuka. Sebaliknya, Ugrawe bisa mengetahui cepat. Kalau saat itu Ugrawe
bisa mengetahui cepat. Kalau saat itu Ugrawe bertempur dengan Senamata
Karmuka, dan merasa bahwa ilmu andalan Senamata Karmuka yaitu dalam
membidik dengan anak panah tak terlalu hebat.
Sekarang baru jelas bahwa itu semua dilakukan oleh Ngabehi Pandu!
Congkak dan tinggi nadanya, akan tetapi di balik itu Ugrawe juga
memperlihatkan bahwa ia seorang ksatria. Setidaknya masih merasa sebagai
pendekar yang menepati janji.
“Lebih baik kamu sendiri yang berpesan. Apakah kamu ingin dikubur
telanjang atau dikubur dengan tambahan satu telinga dari seekor anjing.”
“Di jagat ini ternyata ada lidah yang begitu tajam dan ganas, sehingga
semua senjata di dunia ingin memotongnya.
“Kapan saja bisa. Tetapi kenapa kamu selalu main curang? Kenapa
teman dekatmu kamu sembunyikan?
“Aha, aku memang dikenal sebagai ular busuk. Tapi dalam soal
keroyokan, aku masih percaya kekuatanku sendiri. Justru tadinya kukira