Tugas Bank Indonesia Dalam Sistem Pembayaran

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 17

PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA DAN KEKUASAAN

KEHAKIMAN

1. Pengertian Keuangan Negara

Definisi keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan
uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan
milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dalam penjelasan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dinyatakan bahwa
pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi objek,
subjek, proses, dan tujuan. Dari sisi objek, yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi
semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan
kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan,
serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi subjek, yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh subjek yang
memiliki/menguasai objek sebagaimana tersebut di atas, yaitu: pemerintah pusat, pemerintah
daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan
negara. 

Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan
dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan
pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban. 

Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum
yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.

Berdasarkan pengertian keuangan negara dengan pendekatan objek, terlihat bahwa hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang diperluas cakupannya, yaitu termasuk
kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang
dipisahkan. 
Dengan demikian, bidang pengelolaan keuangan negara dapat dikelompokkan dalam:
a. subbidang pengelolaan fiskal,
b. subbidang pengelolaan moneter, dan
c. subbidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.

Pengelolaan keuangan negara subbidang pengelolaan fiskal meliputi kebijakan dan kegiatan
yang berkaitan dengan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mulai
dari penetapan Arah dan Kebijakan Umum (AKU), penetapan strategi dan prioritas
pengelolaan APBN, penyusunan anggaran oleh pemerintah, pengesahan anggaran oleh DPR,
pelaksanaan anggaran, pengawasan anggaran, penyusunan perhitungan anggaran negara
(PAN) sampai dengan pengesahan PAN menjadi undang-undang. 

Pengelolaan keuangan negara subbidang pengelolaan moneter berkaitan dengan kebijakan


dan pelaksanaan kegiatan sector perbankan dan lalu lintas moneter baik dalam maupun luar
negeri.
Pengelolaan keuangan negara subbidang kekayaan Negara yang dipisahkan berkaitan dengan
kebijakan dan pelaksanaan kegiatan di sektor Badan Usaha Milik Negara/Daerah
(BUMN/BUMD) yang orientasinya mencari keuntungan (profit motive). 

Berdasarkan uraian di atas, pengertian keuangan negara dapat dibedakan antara: pengertian
keuangan negara dalam arti luas, dan pengertian keuangan negara dalam arti sempit.
Pengertian keuangan negara dalam arti luas pendekatannya adalah dari sisi objek yang
cakupannya sangat luas, dimana keuangan negara mencakup kebijakan dan kegiatan dalam
bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Sedangkan
pengertian keuangan negara dalam arti sempit hanya mencakup pengelolaan keuangan negara
subbidang pengelolaan fiskal saja. 

2. Asas-asas Umum Pengelolaan Keuangan Negara


Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara,
pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan
bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang
Dasar 1945. Aturan pokok Keuangan Negara telah dijabarkan ke dalamasas-asas umum, yang
meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti
asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru
sebagai pencerminan penerapan kaidah-kaidah yang baik (best practices) dalam pengelolaan
keuangan negara. Penjelasan dari masing-masing asas tersebut adalah sebagaiberikut.

a. Asas Tahunan, memberikan persyaratan bahwa anggaran Negara dibuat secara tahunan yang
harus mendapat persetujuan dari badan legislatif (DPR).
b. Asas Universalitas (kelengkapan), memberikan batasan bahwa tidak diperkenankan
terjadinya percampuran antara penerimaan negara dengan pengeluaran negara.
c. Asas Kesatuan, mempertahankan hak budget dari dewan secara lengkap, berarti semua
pengeluaran harus tercantum dalam anggaran. Oleh karena itu, anggaran merupakan
anggaran bruto, dimana yang dibukukan dalam anggaran adalah jumlah brutonya.
d. Asas Spesialitas mensyaratkan bahwa jenis pengeluaran dimuat dalam mata anggaran
tertentu/tersendiri dan diselenggarakan secara konsisten baik secara kualitatif maupun
kuantitatif. Secara kuantitatif artinya jumlah yang telah ditetapkan dalam mata anggaran
tertentu merupakan batas tertinggi dan tidak boleh dilampaui. Secara kualitatif berarti
penggunaan anggaran hanya dibenarkan untuk mata anggaran yang telah ditentukan.
e. Asas Akuntabilitas berorientasi pada hasil, mengandung makna bahwa setiap pengguna
anggaran wajib menjawab dan menerangkan kinerja organisasi atas keberhasilan atau
kegagalan suatu program yang menjadi tanggung jawabnya.
f. Asas Profesionalitas mengharuskan pengelolaan keuangan negara ditangani oleh tenaga yang
profesional.
g. Asas Proporsionalitas; pengalokasian anggaran dilaksanakan secara proporsional pada fungsi-
fungsi kementerian/lembaga sesuai dengan tingkat prioritas dan tujuan yang ingin dicapai.
h. Asas Keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, mewajibkan adanya keterbukaan
dalam pembahasan, penetapan, dan perhitungan anggaran serta atas hasil pengawasan oleh
lembaga audit yang independen.
i. Asas Pemeriksaan Keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri, memberi
kewenangan lebih besar pada Badan Pemeriksa Keuangan untuk melaksanakan pemeriksaan
atas pengelolaan keuangan negara secara objektif dan independen. 

Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip


pemerintahan daerah. Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut di dalam undang-undang
tentang Keuangan Negara, pelaksanaan undang-undang ini selain menjadi acuan dalam
reformasi manajemen keuangan negara, sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh
landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik
Indonesia. 

3. Ruang Lingkup Keuangan Negara


Ruang lingkup keuangan negara meliputi:
a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan
melakukan pinjaman;
b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara
dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. penerimaan negara;
d. pengeluaran negara;
e. penerimaan daerah;
f. pengeluaran daerah;
g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa
uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan
uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan
daerah;
h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan
tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan
pemerintah; dan
j. kekayaan pihak lain sebagaimana dimaksud meliputi kekayaan yang dikelola oleh
orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di
lingkungan kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara/daerah.
 
Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas secara ringkas dapat
dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan
sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
 
Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi enam fungsi, yaitu:
a. Fungsi pengelolaan kebijakan ekonomi makro dan fiskal. Fungsi pengelolaan
kebijakan ekonomi makro dan fiskal ini meliputi penyusunan Nota Keuangan dan
RAPBN, serta perkembangan dan perubahannya, analisis kebijakan, evaluasi dan
perkiraan perkembangan ekonomi makro, pendapatan negara, belanja negara,
pembiayaan, analisis kebijakan, evaluasi dan perkiraan perkembangan fiskal dalam
rangka kerjasama internasional dan regional, penyusunan rencana pendapatan negara,
hibah, belanja negara dan pembiayaan jangka menengah, penyusunan statistik,
penelitian dan rekomendasi kebijakan di bidang fiskal, keuangan, dan ekonomi.
b. Fungsi penganggaran. Fungsi ini meliputi penyiapan, perumusan, dan pelaksanaan
kebijakan, serta perumusan standar, norma, pedoman, kriteria, prosedur dan
pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang APBN.
c. Fungsi administrasi perpajakan.
d. Fungsi administrasi kepabeanan.
e. Fungsi perbendaharaan.
Fungsi perbendaharaan meliputi perumusan kebijakan, standard, sistem dan prosedur di
bidang pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara, pengadaan barang dan jasa instansi
pemerintah serta akuntansi pemerintah pusat dan daerah, pelaksanaan penerimaan dan
pengeluaran negara, pengelolaan kas negara dan perencanaan penerimaan dan pengeluaran,
pengelolaan utang dalam negeri dan luar negeri, pengelolaan piutang, pengelolaan barang
milik/kekayaan negara (BM/KN), penyelenggaraan akuntansi, pelaporan keuangan dan
sistem informasi manajemen keuangan pemerintah.
f. Fungsi pengawasan keuangan.
 
Sementara itu, bidang moneter meliputi sistem pembayaran, sistem lalu lintas devisa, dan
sistem nilai tukar. Adapun bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan meliputi
pengelolaan perusahaan negara/daerah.

4. DASAR Hukum Keuangan Negara

1. UU 17/2003 tentang Keuangan Negara;


2. UU I/2004 tentang Perbendaharaan Negara;
3. UU 10/2004 ; Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
4. UU 15/2004 ; Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
5. 5.     UU 25/2004 ; Sistem Perencanaaan   Pembangunan Nasional (SPPM)
6. UU 32/ 2004 tentang Pemerintah Daerah
7. UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
8. PP 24/ 2005 tentang standar Akuntansi Pemerintah;
9. PP 56/2005; Sistem Informasi Keuangan Daerah
10.PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah;
11.PP 38/2007; tentang Pembagian urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan   
Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
12.PP 41/2007; Tentang organisasi perangkat daerah;
13.Permendagri No. 13/2006; tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;
14.Permendagri No. 59/2007; tantang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri;
15.Permendagri No. 32/2008; pedoman penyusunan APBD tahun anggaran 2009

5. Sumber-sumber Penerimaan Negara

Marilah sekarang kita lihat darimana sumber pembiayaan bagi kegiatan pemerintah.
Dengan kata lain kita hendak meneliti sumber-sumber penerimaan pokok pemerintah
(negara).
Penerimaan kita artikan sebagai penerimaan pemerintah dalam arti yang seluas-luasnya
yaitu meliputi penerimaan pajak, penerimaan yang diperoleh dari hasil penjualan barang dan
jasa yang dimiliki dan dihasilkan oleh pemerintah, pinjaman pemerintah, mencetak uang dan
sebagainya. Di dalam kenyataannya kita tidak dapat menarik suatu batas yang tegas dari
macam-macam sumber penerimaan pemerintah itu, tetapi walaupun demikian sumber-sumber
penerimaan pemerintah ataupun cara-cara yang dapat ditempuh pemerintah untuk
mendapatkan uangpada intinya dapat digolongkan sebgaia berikut:

a. Pajak. Yang dimaksud dengan pajak ialah pembayaran iuran oleh rakyat kepada pemerintah
yang dpaat dipaksakan dengan tanpa balas jasa yang secara langsung dapat ditunjuk.
Misalnya: pajak kendaraan bermotor, pajak penjualan dan lain sebagainya.

b. Retribusi. Yang dimaksud dengan retribusi ialah suatu pembayaran dari rakyat kepada
pemerintah dimana kita dapat melihat adanya hubungan antara balas jasa yang langsung
diterima dengan adanya pembayaran retribusi tersebut. Misalnya: uang kuliah, uang
langganan air minum, uang langganan air listrik.

c. Keuntungan dari Perusahaan-perusahaan Negara. Penerimaan yang berasal dari sumber ini
merupakan penerimaan-penerimaan pemerintah dari hasil penjualan (harga) barang-barang
yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan negara.

d. Denda-denda dan perampasan yang dilakukan oleh pemerintah


e. Sumbangan masyarakat untuk jasa-jasa yang diberikan oleh pemerintah seperti pembayaran
biaya-biaya perizinan (lisensi), toll atau pungutan sumbangan pada jalan raya tertentu seperti
di Jagorawi.

f. Pencetakan uang kertas. Karena sifat dan fungsinya, maka pemerintah memiliki kekuasaan
yang tidak dimiliki oleh para individu dalam masyarakat. Pemerintah mempunyai kekuasaan
untuk mencetak uang kertas sendiri atau meminta kepada Bank Sentral guna memberikan
pinjaman kepada pemerintah walaupun tanpa suatu deking. Apabila pencetakan uang itu
dijalankan dengan kurang hati-hati, maka akibatnya akan kurang baik yaitu cenderung untuk
menimbulkan inflasi. Inflasi mempunyai pengaruh seperti halnya dengan pajak. Oleh karena
itu seringkali inflasi disebut sebagai pajak yang tidak kentara, karena konsumen dengan
jumlah uang yang sama akan dapat memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang semakin
sedikit jumlahnya berhubungan dengan turunnya nilai uang.

g. Hasil dari Undian Negara. Dengan undian negara, pemerintah akan mendapatkan dana yaitu
perbedaan antara jumlah penerimaan dari lembaran surat undian yang dapat dijual dengan
semua pengeluaran-pengeluarannya termasuk hadiah yang diberikan kepada pemenang dan
undian negara tersebut. Undian negara ini adalah baik sifatnya karena harga surat undiannya
adalah sangat murah, sehingga mereka yang membelinya tidak begitumerasakan rugi kalau
tidak memperoleh kemenangan, tetapi sekedar menyumbang kepada pemerintah, sedangkan
yang menang akan sungguh-sungguh merasa senang, tetapi seringkali usaha-usaha
mengumpulkan dana melalui sistem undian ini membawa pengaruh-pengaruh yang kurang
baik terhadap kehidupan rakyat kecil karena mereka ini kemudian berlomba-lomba dalam
mencari kemenangan, tanpa melihat kemampuannya dan kurang mengadakan perhitungan.
Hal ini memang masuk akal karena bila mereka menang, status sosialnya akan meningkat
dengan cepat sekali. Contoh: Sumbangan Yayasan Dana Bantuan.

h. Pinjaman. Pinjaman ini dapat berasal dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Pada
umumnya negara-negara sedang berkembang mengandalkan pembiayaan pembangunannya
sebagian besar pada pinjaman ini.

i. Hadiah. Sumber dana jenis dapat terjadi seperti pemerintah pusat memberikan hadiah kepada
pemerintah daerah, atau dari swasta kepada pemerintah dan dapat pula terjadi dari
pemerintah suatu negara kepada pemerintah negara lain. Penerimaan negara dari sumber ini
sifatnya adalah volunteer tanpa balas jasa baik langsung maupun tidak langsung.

TUGAS BANK INDONESIA DALAM SISTEM PEMBAYARAN

Menjaga stabilitas nilai tukar rupiah adalah tujuan Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan
Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Untuk menjaga stabilitas rupiah
itu perlu disokong pengaturan dan pengelolaan akan kelancaran Sistem Pembayaran Nasional
(SPN). Kelancaran SPN ini juga perlu didukung oleh infrastruktur yang handal (robust). Jadi,
semakin lancar dan hadal SPN, maka akan semakin lancar pula transmisi kebijakan moneter
yang bersifat time critical. Bila kebijakan moneter berjalan lancar maka muaranya adalah
stabilitas nilai tukar.

BI adalah lembaga yang mengatur dan menjaga kelancaran SPN. Sebagai otoritas moneter,
bank sentral berhak menetapkan dan memberlakukan kebijakan SPN. Selain itu, BI juga
memiliki kewenangan memeberikan persetujuan dan perizinan serta melakukan pengawasan
(oversight) atas SPN. Menyadari kelancaran SPN yang bersifat penting secara sistem
(systemically important), bank sentral memandang perlu menyelenggarakan sistem settlement
antar bank melalui infrastruktur BI-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS).

Selain itu masih ada tugas BI dalam SPN, misalnya, peran sebagai penyelenggara sistem
kliring antarbank untuk jenis alat-alat pembayaran tertentu. Bank sentral juga adalah satu-
satunya lembaga yang berhak mengeluarkan dan mengedarkan alat pembayaran tunai seperti
uang rupiah. BI juga berhak mencabut, menarik hingga memusnahkan uang rupiah yang
sudah tak berlaku dari peredaran.

Berbekal kewenangan itu, BI pun menetapkan sejumlah kebijakan dari komponen SPN ini.
Misalnya, alat pembayaran apa yang boleh dipergunakan di Indonesia. BI juga menentukan
standar alat-alat pembayaran tadi serta pihak-pihak yang dapat menerbitkan dan/atau
memproses alat-alat pembayaran tersebut. BI juga berhak menetapkan lembaga-lembaga
yang dapat menyelenggarakan sistem pembayaran. Ambil contoh, sistem kliring atau transfer
dana, baik suatu sistem utuh atau hanya bagian dari sistem saja. Bank sentral juga memiliki
kewenangan menunjuk lembaga yang bisa menyelenggarakan sistem settlement. Pada
akhirnya BI juga mesti menetapkan kebijakan terkait pengendalian resiko, efisiensi serta tata
kelola (governance) SPN.

Di sisi alat pembayaran tunai, Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang
berwenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang Rupiah serta mencabut, menarik dan
memusnahkan uang dari peredaran. Terkait dengan peran BI dalam mengeluarkan dan
mengedarkan uang, Bank Indonesia senantiasa berupaya untuk dapat memenuhi kebutuhan
uang kartal di masyarakat baik dalam nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat
waktu, dan dalam kondisi yang layak edar (clean money policy). Untuk mewujudkan clean
money policy tersebut, pengelolaan pengedaran uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia
dilakukan mulai dari pengeluaran uang, pengedaran uang, pencabutan dan penarikan uang
sampai dengan pemusnahan uang.

Sebelum melakukan pengeluaran uang Rupiah, terlebih dahulu dilakukan perencanaan agar
uang yang dikeluarkan memiliki kualitas yang baik sehingga kepercayaan masyarakat tetap
terjaga. Perencanaan yang dilakukan Bank Indonesia meliputi perencanaan pengeluaran emisi
baru dengan mempertimbangkan tingkat pemalsuan, nilai intrinsik serta masa edar uang.
Selain itu dilakukan pula perencanaan terhadap jumlah serta komposisi pecahan uang yang
akan dicetak selama satu tahun kedepan. Berdasarkan perencanaan tersebut kemudian
dilakukan pengadaan uang baik untuk pengeluaran uang emisi baru maupun pencetakan rutin
terhadap uang emisi lama yang telah dikeluarkan.

Uang Rupiah yang telah dikeluarkan tadi kemudian didistribusikan atau diedarkan di seluruh
wilayah melalui Kantor Bank Indonesia. Kebutuhan uang Rupiah di setiap kantor Bank
Indonesia didasarkan pada jumlah persediaan, keperluan pembayaran, penukaran dan
penggantian uang selama jangka waktu tertentu. Kegitan distribusi dilakukan melalui sarana
angkutan darat, laut dan udara. Untuk menjamin keamanan jalur distribusi senantiasa
dilakukan baik melalui pengawalan yang memadai maupun dengan peningkatan sarana
sistem monitoring.

Kegiatan pengedaran uang juga dilakukan melalui pelayanan kas kepada bank umum maupun
masyarakat umum. Layanan kas kepada bank umum dilakukan melalui penerimaan setoran
dan pembayaran uang Rupiah. Sedangkan kepada masyarakat dilakukan melalui penukaran
secara langsung melalui loket-loket penukaran di seluruh kantor Bank Indonesia atau melalui
kerjasama dengan perusahaan yang menyediakan jasa penukaran uang kecil.

Lebih lanjut, kegiatan pengelolaan uang Rupiah yang dilakukan Bank Indonesia adalah
pencabutan uang terhadap suatu pecahan dengan tahun emisi tertentu yang tidak lagi berlaku
sebagai alat pembayaran yang sah. Pencabutan uang dari peredaran dimaksudkan untuk
mencegah dan meminimalisasi peredaran uang palsu serta menyederhanakan komposisi dan
emisi pecahan. Uang Rupiah yang dicabut tersebut dapat ditarik dengan cara menukarkan ke
Bank Indonesia atau pihak lain yang telah ditunjuk oleh Bank Indonesia.

Sementara itu untuk menjaga menjaga kualitas uang Rupiah dalam kondisi yang layak edar di
masyarakat, Bank Indonesia melakukan kegiatan pemusnahan uang. Uang yang dimusnahkan
tersebut adalah uang yang sudah dicabut dan ditarik dari peredaran, uang hasil cetak kurang
sempurna dan uang yang sudah tidak layak edar. Kegiatan pemusnahan uang diatur melalui
prosedur dan dilaksanakan oleh jasa pihak ketiga yang dengan pengawasan oleh tim Bank
Indonesia (BI).

Berbagai tugas Bank Indonesia di bidang Sistem Pembayaran dilaksanakan dalam satu
struktur organisasi sistem pembayaran yang menangani sistem pembayaran dan pengedaran
uang sebagai berikut :

 
BPK

Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK ) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang memiliki wewenang memeriksa pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan Negara. Hal ini sesuai dengan yang terkandung dalam UUD 1945 BAB
VIIIA tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Pasal 23 ayat  (1) : “Untuk memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan Negara diadakan satu Badan Pemeriksa
Keuangan yang bebas dan mandiri “

Hasil pemeriksaan BPK dilaporkan dan ditindaklanjuti oleh Lembaga Perwakilan dan/atau
badan sesuai Undang-Undang. Hal ini sesuai dengan yang terkandung dalam UUD 1945
BAB VIIIA tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Pasal 23E ayat  (2) : “ Hasil
pemeriksaan keuangan Negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya “,
dan Pasal 23E ayat (3) : “ Hasil Pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga
perwakilan dan/atau badan sesuai dengan Undang-Undang. “

Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK ) memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut :

1. Memeriksa tanggung jawab tentang keuangan Negara. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan
kepada DPR

2. Badan Pemeriksa Keuangan memeriksa semua pelaksanaan APBN

a.Memeriksa tanggung jawab pemerintah tentang keuangan Negara

b.Memeriksa  semua pelaksanaan APBN

c.Pelaksanaan pemerintah dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan     UU

d.Hasil pemeriksaan BPK diberitahuan kepada DPR

Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK ) berkedudukan di Jakarta, sebagai ibu kota negara.
Tepatnya di Jalan Gatot Subroto Kav. 31 Jakarta Pusat 10210, di depan Gedung DPR RI.
Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK ) memiliki perwakilan di setiap Provinsi di Indonesia. Hal
ini sesuai dengan yang terkandung dalam UUD 1945 BAB VIIIA tentang Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) Pasal 23G ayat  (1) : “ Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibu
kota negara, dan memiliki perwakilan di setiap Provinsi.

Kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yaitu :

a) Badan Pemeriksa Keuangan adalah badan yang memeriksa tanggung jawab tentang
keuangan Negara, yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah, akan tetapi tidak berdiri di atas pemerintah.
b) Badan Pemeriksa Keuangan adalah lembaga tertinggi Negara yang dalam pelaksanaan
tugasnya terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah, akan tetapi tidak berdiri di
atas pemerintah.
PRINSIP DASAR KEKUASAAN KEHAKIMAN

PRINSIP DASAR KEKUASAAN KEHAKIMAN


Kusnu Goesniadhie S.*

 
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa
Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip
penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang
merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Menurut sistem UUD 1945, kekuasaan kehakiman sebagai
penyelenggara negara merupakan salah satu badan penyelenggara negara, di samping MPR,
DPR, Presiden dan BPK.[1] Sebagai badan penyelenggara negara, susunan kekuasaan
kehakiman berbeda dengan susunan badan penyelenggara negara yang lain. Kekuasaan
kehakiman terdiri atas kekuasaan kehakiman tertinggi dan kekuasaan kehakiman tingkatan
lebih rendah. Sedangkan badan penyelenggara negara yang lain hanya terdiri atas satu
susunan. Tidak ada susunan badan MPR, DPR, Presiden dan BPK, tingkatan yang lebih
rendah.
 
Kekuasaan kehakiman tertinggi dijalankan oleh Mahkamah Agung bersama-sama
badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
[2]
Menurut sistem UUD 1945, fungsi kekuasaan Mahkamah Agung, ialah:
a) Melakukan kekuasaan kehakiman, yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan. Akan tetapi DPR berperan untuk mengontrol
kekuasaan Mahkamah Agung melalui penentuan pengangkatan dan pemberhentian
hakim agung, yang diusulkan oleh Komisi Yudisial.
b) Dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, Presiden diberi hak untuk
memberikan grasi dan rehabilitasi.

 
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengintroduksi
suatu lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu
Komisi Yudisial. Komisi Judisial ditentukan dalam Pasal 24B UUD 1945, sebagai berikut:
1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di
bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-
undang.

 
Implementasi Pasal 24B UUD 1945, yaitu diundangkannya Undang-undang Nomor 22
Tahun 2004, tentang Komisi Yudisial. Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam
usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung,
serta pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim. Komisi Yudisial
merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya
bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya. [3] Komisi Yudisial mempunyai
wewenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR, dan menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim.[4] Dari rincian fungsi
masing-masing lembaga tersebut di atas dapat terlihat bahwa hubungan di antara Presiden,
DPR dan Mahkamah Agung, dikembangkan secara seimbang melalui mekanisme ‘checks
and balances’. Melalui mekanisme ‘checks and balances’ tersebut, ketiga cabang kekuasaan
legislatif, eksekutif dan judisial yang tercermin dalam tiga lembaga tersebut dapat saling
mengendalikan dan saling mengimbangi, sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan di
antara satu sama lain.
 
Kekuasaan kehakiman yang dijalankan oleh Mahkamah Agung bersama-sama badan-
badan peradilan yang berada di bawahnya, adalah kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili
serta memberikan putusan atas perkara-perkara yang diserahkan kepadanya untuk
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan perundang-undangan. Badan yang memegang
kekuasaan kehakiman dan peradilan ini harus dapat bekerja dengan baik dalam tugas-
tugasnya, sehingga dihasilkan putusan-putusan yang objektif dan tidak memihak dengan
senantiasa menjunjung tinggi hukum dan keadilan. Karenanya badan ini harus bebas dari
pengaruh kekuasaan lain atau pengaruh kekuasaan pemerintahan.
 
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah, seperti dikehendaki Pasal 24 UUD 1945.[5] Hal ini berarti kekuasaan kehakiman
yang merdeka atau independensi kekuasaan kehakiman, telah diatur secara konstitusional
dalam UUD 1945. Dari konsep negara hukum seperti yang digariskan oleh konstitusi, [6] maka
dalam rangka melaksanakan Pasal 24 UUD 1945, harus secara tegas melarang kekuasaan
pemerintahan negara (eksekutif) untuk membatasi atau mengurangi wewenang kekuasaan
kehakiman yang merdeka yang telah dijamin oleh konstitusi tersebut. Dengan demikian
kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sebagai
upaya untuk menjamin dan melindungi kebebasan rakyat dari kemungkinan tindakan
sewenang-wenang dari pemerintah.
 
Asas kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagai salah satu sendi penyelenggaraan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari asas bahwa negara
Indonesia adalah negara berdasarkan konstitusi dan negara hukum. UUD 1945 menegaskan
bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu
prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya, untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan.
 
Untuk memahami asas kekuasaan kehakiman yang merdeka, tidak terlepas dari doktrin
Montesquieu mengenai tujuan dan perlunya ‘pemisahan’ kekuasaan, yaitu untuk menjamin
adanya dan terlaksananya kebebasan politik anggota masyarakat negara. Montesquieu
memberikan arti kebebasan politik sebagai “a tranquility of mind arising from the opinion
each person has of his safety. In order to have this liberty, it is requisite the government be so
constituted as one man need not be afraid of another”.[7]Kebebasan politik ditandai adanya
rasa tenteram, karena setiap orang merasa dijamin keamanannya atau keselamatannya. Untuk
mewujudkan kebebasan politik tersebut maka badan pemerintahan harus ditata sedemikian
rupa agar orang tidak merasa takut padanya, seperti halnya setiap orang tidak merasa takut
terhadap orang lain di sekitarnya.
 
Penataan badan negara atau pemerintahan yang akan menjamin kebebasan tersebut,
menurut Montesquieu dilakukan dengan cara pemisahan badan pemerintahan ke dalam tiga
cabang kekuasaan. Tanpa pemisahan itu, maka tidak akan ada kebebasan. Dikemukakan oleh
Montesquieu dalam ‘The Spirit of The Laws’ dalam pembenaran doktrin pemisahan
kekuasaan (separation of power), bahwa: “When the legislative and executive powers are
united in the same person, or in the same body of magistrates, there can be no liberty;
because apprehensions may arise; lest the same monarch or senate should enact tyranical
laws, to execute than in a tyranical manner. Again, there is no liberty, if the judiciary power
be not separated from the legislative and executive. Were it joined with the legislative, the
live and liberty of the subject would be exposed to arbitrary control; for the judge would be
then the legislator. Were it joined to executive power, the judge might behave with violence
and oppression. There would be an end of everything, were to some man, or the somebody,
weather of the nobbles or of the people, to the exercise those three powers, that of enacting
laws, that of executing the public resolution and of trying the causes of individuals.”
 
Apabila kekuasaan kehakiman digabungkan dengan kekuasaan legislatif, maka
kehidupan dan kebebasan seseorang akan berada dalam suatu kendali yang dilakukan secara
sewenang-wenang. Di lain pihak, kalau kekuasaan kehakiman bersatu dengan kekuasaan
eksekutif, maka hakim mungkin akan selalu bertindak semena-mena dan menindas. Dengan
demikian, ditinjau dari ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power), kekuasaan
kehakiman yang merdeka merupakan bagian dari upaya untuk menjamin kebebasan dan
mencegah kesewenang-wenangan.
 
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia tidak dianut ajaran pemisahan kekuasaan
(separation of power) ‘Trias Politica’ seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu. Tetapi
dengan Perubahan UUD 1945 dapat dikatakan bahwa Indonesia sedang membangun doktrin
hukum mengenai pemisahan kekuasaan (separation of powers) dan kewenangan masing-
masing kekuasaan dimungkinkan adanya pengawasan (check) terhadap kewenangan
kekuasaan lainnya sehingga dapat saling mengimbangi dalam kesetaraan dan kesederajatan,
agar tercipta harmonisasi kekuasaan (harmonization of powers) berada dalam keseimbangan
(balances), atau ‘check and balances among of powers’, untuk mencegah timbulnya
kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan kekuasaan.[9]
 
Dalam membangun doktrin-doktrin hukum sedemikian ini, dapat dikatakan sebagai inti
dari keseluruhan reformasi berbagai bidang di Indonesia.[10]Dengan konsep check and
balances dimungkinkan adanya pengawasan dari satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya
di antara cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudisial, sehingga dapat saling
mengimbangi dalam kesetaraan dan kesederajatan demi tercapainya harmonisasi kekuasaan
berada dalam keseimbangan untuk mencegah kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan
kekuasaan. Doktrin-doktrin hukum dalam keseluruhan reformasi tersebut, kemudian
memunculkan pemikiran penggunaan konsep check and balances,[11] berkenaan dengan
kewenangan pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman.
 
Meskipun UUD 1945 tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan (separation of
power) ‘Trias Politica’ seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu tersebut, kekuasaan
kehakiman yang merdeka harus tetap ditegakkan baik sebagai asas dalam negara hukum,
maupun untuk memungkinkan kekuasaan kehakiman menjamin agar pemerintahan tidak
terlaksana secara sewenang-wenang.[12] Ditinjau dari doktrin pemisahan kekuasaan
(separation of powers), kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan bagian dari upaya
untuk menjamin kebebasan dan mencegah kesewenang-wenangan. Dengan kata lain,
kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sebagai
upaya untuk menjamin dan melindungi kebebasan rakyat dari kemungkinan tindakan
sewenang-wenang dari pemerintah. Dengan demikian, kehadiran kekuasaan kehakiman yang
merdeka tidak lagi ditentukan oleh stelsel pemisahan kekuasaan (separation of power) atau
stelsel pembagian kekuasaan (distribution of power), tetapi sebagai suatu ‘conditio sine
quanon’ bagi terwujudnya negara hukum, terjaminnya kebebasan serta pengendalian atas
jalannya pemerintahan negara.[13]      
 
Kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat dikatakan sebagai suatu refleksi dari
‘Universal Declaration of Human Rights’, dan ‘International Covenant on Civil and Political
Rights’,[14] yang di dalamnya diatur mengenai “independent and impartial judiciary“. Di
dalam Universal Declaration of Human Rights, dinyatakan dalam Article 10, “Every one is
entitled in full equality to a fair and public hearing by in independent and impartial tribunal
in the determination of his rights and obligations and of any criminal charge against him”.
Setiap orang berhak dalam persamaan sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan
secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-
hak dan kewajibannya dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya. [15] Di
dalam International Covenant on Civil and Political Rights, dalam Article 14 dinyatakan, “…
in the determination of any criminal charge against him, or of his rights and obligations in a
suit at law, everyone shall be entitled to a fair and public hearing by a competent,
independent and impartial tribunal established by law”.
 
Unsur-unsur yang dapat ditarik dari rumusan di atas yakni menghendaki: (i) adanya
suatu peradilan (tribunal) yang ditetapkan oleh suatu perundang-undangan; (ii) peradilan itu
harus independent, tidak memihak (impartial) dan competent; dan (iii) peradilan
diselenggarakan secara jujur (fair trial) dan pemeriksaan secara terbuka (public hearing).
Semua unsur-unsur tersebut tercantum dalam penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 sebelum
perubahan dan diimplementasikan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-
undang Nomor 35 Tahun 1999, seperti telah dicabut dan digantikan dengan Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman.

 
Dari konsep negara hukum seperti digariskan dalam konstitusi Pasal 1 ayat (3) UUD
1945, maka dalam rangka melaksanakan Pasal 24 UUD 1945, harus secara tegas melarang
kekuasaan pemerintahan negara atau eksekutif untuk membatasi dan mengurangi wewenang
kekuasaan kehakiman yang merdeka atau hakim yang bebas dalam proses peradilan yang
telah dijamin oleh konstitusi tersebut.
 
Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dikatakan oleh Russell dalam
‘Toward a General Theory of Judicial Independence’: “A theory of judicial independence
that is realistic and analytically useful cannot be concerned with every inside and outside
influence on judges”.[16] Dalam hal hakim yang bebas dalam proses peradilan, menurut
Kelsen: “The judges are, for instance, ordinarily ‘independent’ that is, they are subject only
to the laws and not to the orders (instructions) of superior judicial or administrative organs”.
[17]
Dalam proses peradilan hakim hanya tunduk kepada hukum dan tidak tunduk kepada
perintah atau instruksi dari organ yudisial atau administratif yang lebih tinggi. Betapa
pentingnya kekuasaan kehakiman, Harold J. Laski dalam “Elements of Politics”
mengemukakan, “Certainly no man can over estimate the importance of the mechanism of
justice”.[18] Dalam kaitannya kekuasaan kehakiman yang merdeka, Scheltema dalam ‘De
Rechtsstaat’, mengemukakan: “Beslissing van rechtsgeschillen door en
onafhankelijkerechter is de basis voor een goed functionerend rechtssystem. Wil men ook
garanderen dat de overheid zich houdt aan het geldende recht, dan zal onafhankelijke rechter
over klachten van burgers dienaangaande moeten oordelen. Aan deze eis wordt in ons
voldaan.”[19]
 
Dalam penyelesaian sengketa hukum oleh suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka
(hakim yang bebas), merupakan dasar bagi berfungsinya sistem hukum dengan baik. Dengan
kekuasaan kehakiman yang merdeka, setiap orang akan mendapat jaminan bahwa pemerintah
akan bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku, dan dengan hanya berdasarkan hukum
yang berlaku itu kekuasaan kehakiman yang merdeka bebas memutus suatu perkara.
 
Di Indonesia kekuasaan kehakiman diatur dalam berbagai undang-undang sesuai
dengan lingkungan peradilan masing-masing. Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang
merdeka, dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, tentang Kekuasaan
Kehakiman, memberikan batasan mengenai ruang lingkup ‘merdeka’, yaitu bahwa kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara
hukum Republik Indonesia. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat
tidak mutlak, karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.
 
Kekuasaan kehakiman yang merdeka bukan berarti bahwa kekuasaan kehakiman dapat
dilaksanakan sebebas-bebasnya tanpa rambu-rambu pengawasan, oleh karena dalam aspek
beracara di pengadilan dikenal adanya asas umum untuk berperkara yang baik (general
principles of proper justice),[20] dan peraturan-peraturan yang bersifat prosedural atau hukum
acara yang membuka kemungkinan diajukannya berbagai upaya hukum. Dengan demikian
dalam hal fungsi kehakiman adalah keseluruhan rangkaian kegiatan berupa mengadili suatu
perkara sengketa yang individual konkret dan dalam kaitannya dengan konsep kekuasaan
kehakiman yang merdeka, yang dalam konteks hukum meliputi wewenang, otoritas, hak dan
kewajiban, maka kekuasaan kehakiman dapat diartikan sebagai kekuasaan, hak dan
kewajiban untuk menentukan apa dan bagaimana norma hukum terhadap kasus konflik-
individual-konkret yang diajukan kepadanya, maka kekuasaan kehakiman terikat pada
peraturan-peraturan yang bersifat prosedural yang disebut Hukum Acara. Kekuasaan
kehakiman yang merdeka yaitu terwujud dalam kebebasan hakim dalam proses peradilan, dan
kebebasan hakim dalam menjalankan kewenangannya ini, ada rambu-rambu aturan hukum
formal dan hukum material, serta norma-norma tidak tertulis yang disebut asas umum
penyelenggaraan peradilan yang baik (general principles of proper justice).[21] Dengan kata
lain, kekuasaan peradilan terikat pada aturan hukum material dan peraturan-peraturan yang
bersifat prosedural yakni hukum acara. Dengan demikian aturan hukum material dan
peraturan-peraturan yang bersifat prosedural, dapat dikatakan sebagai batas normatif terhadap
kebebasan kekuasaan peradilan atau kebebasan hakim dalam proses peradilan.
 
Kekuasaan kehakiman merupakan suatu mandat kekuasaan negara yang dilimpahkan
kepada kekuasaan kehakiman. Mandat kekuasaan negara untuk sepenuhnya mewujudkan
hukum dasar yang terdapat dalam rechtsidee untuk diwujudkan dalam suatu keputusan
hukum yang individual dan konkret, untuk diterapkan pada suatu perkara hukum yang juga
individual konkret.[22] Dengan perkataan lain, kekuasaan kehakiman dapat diartikan sebagai
kewenangan dan kewajiban untuk menentukan apa dan bagaimana norma hukum terhadap
kasus konflik-individual-konkret yang diajukan kepadanya dengan memperhatikan hukum
dasar negara.[23]Dengan demikian dalam sistem hukum nasional yang berlaku, penyelesaian
hukum dalam perkara yang individual konkret hanya ada pada satu tangan yaitu pada
kekuasaan kehakiman. Hal demikian berlaku tidak saja untuk perkara-perkara konkret yang
berkaitan dengan persengketaan hukum yang terjadi di antara sesama warga negara, tetapi
juga berlaku untuk perkara-perkara yang menyangkut sengketa antara warga negara dan
pemerintah.[24]
 
Dari uraian di atas, dapat diambil simpulan pengertian bahwa dalam kekuasaan
kehakiman yang merdeka terkandung tujuan atau konsep dasar, yaitu:
a. Sebagai bagian dari sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau
pembagian  kekuasaan(distribution of power) di antara badan-badan penyelenggara
negara.
b. Sebagai bagian dari upaya untuk menjamin dan melindungi kebebasan rakyat.
c. Untuk mencegah kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah.
d. Sebagai suatu ‘conditio sine quanon’ bagi terwujudnya negara hukum dan
pengendalian atas jalannya pemerintahan negara.

Anda mungkin juga menyukai