Toksikologi produk perikanan dan laut. Beberapa toksin penting termasuk toksin skromboid dari ikan tuna yang dapat menyebabkan keracunan histamin, saksitoksin dari kerang yang menyebabkan kelumpuhan otot, dan tetrodotoksin dari ikan balon yang memblokir saraf. Penting untuk menangani dan menyimpan ikan dengan benar untuk mencegah pembentukan toksin.
0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
19 tayangan48 halaman
Toksikologi produk perikanan dan laut. Beberapa toksin penting termasuk toksin skromboid dari ikan tuna yang dapat menyebabkan keracunan histamin, saksitoksin dari kerang yang menyebabkan kelumpuhan otot, dan tetrodotoksin dari ikan balon yang memblokir saraf. Penting untuk menangani dan menyimpan ikan dengan benar untuk mencegah pembentukan toksin.
Toksikologi produk perikanan dan laut. Beberapa toksin penting termasuk toksin skromboid dari ikan tuna yang dapat menyebabkan keracunan histamin, saksitoksin dari kerang yang menyebabkan kelumpuhan otot, dan tetrodotoksin dari ikan balon yang memblokir saraf. Penting untuk menangani dan menyimpan ikan dengan benar untuk mencegah pembentukan toksin.
Toksikologi produk perikanan dan laut. Beberapa toksin penting termasuk toksin skromboid dari ikan tuna yang dapat menyebabkan keracunan histamin, saksitoksin dari kerang yang menyebabkan kelumpuhan otot, dan tetrodotoksin dari ikan balon yang memblokir saraf. Penting untuk menangani dan menyimpan ikan dengan benar untuk mencegah pembentukan toksin.
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 48
TOKSIKOLOGI
TOPIK 7. TOKSIN DARI PRODUK
PERIKANAN DAN LAUT
INDRAYANI, S.PI, M.BIOTECH.STU, PH.D
Semester Genap 2020/2021
Prodi Pendidikan Teknologi Pertanian Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar Sub-Bahasan Pendahuluan Toksin skromboid Saksitoksin (paralytic shellfish poisoning) Tetrodotoksin Siguatoksin (Ciguatoxin) Toksin alga biru Pendahuluan Istilah toksin marine khusus digunakan untuk toksin- toksin yang berasal dari organisme laut. Istilah lain yang digunakan dalam kaitannya dengan toksin yaitu racun (poison) dan bisa (venom). Istilah racun digunakan untuk substansi toksin yang menyebabkan keracunan bila masuk ke dalam tubuh melalui mulut, sedangkan bisa, bila masuk ke dalam tubuh melalui sengatan atau gigitan. Toksin Skromboid (Skombrotoksin) Skombrotoksin merupakan racun yang berasal dari famili ikan scombroidae (ikan tuna, makarel, tongkol, sarden dll), disebut juga sebagai racun histamin. Racun ini dapat menyebabkan keracunan ketika orang mengkonsumsi ikan yang telah banyak terbentuk histamin pada tubuhnya. Hal ini bisa disebabkan ikan sudah tidak segar lagi, biasanya karena tidak segera ditangani (misalnya ikan sudah terlalu lama ditangkap dan tidak segera dibekukan; ikan yang tidak segera diolah). Amina biogenik termasuk histamin dapat dibentuk dalam ikan di manapun selama panen, persiapan dan penyimpanan, jika kondisi memungkinkan. Amina biogenik mungkin mulai berkembang setelah ikan mati ketika ditangkap (melalui jaring/jala atau di pancing) dan akan meningkat jika terlalu lama diletakan dalam air atau tidak segera ditempatkan pada suhu yang cukup dingin. Pembentukan histamin berasal dari histidin yang secara alami terdapat pada semua spesies ikan famili scombroidae. Bakteri yang hadir dalam usus dan insang ikan (Morganella morganii, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus vulgaris, Hafnia alvei, Enterobacter aerogenes, Citrobactor freundii, Aerobacter spp., Serratia spp.) memiliki enzim histidine decarboxylase yang dapat merubah asam amino histidin pada ikan menjadi histamin pada kondisi hangat (maksimum produksi histamin yang tercatat pada suhu 20 – 30oC. Histidin pada jenis ikan tertentu jumlahnya lebih besar sehingga meningkatkan kemungkinan histamin yang terbentuk akan lebih cepat selama penanganan dan penyimpanan yang tidak tepat. Setelah histamin terbentuk, tidak akan hilang selama ikan dibersihkan atau dimasak. Demikian juga, pembekuan tidak akan mengurangi atau merusak histamin tersebut. Penanganan ikan yang segera setelah ditangkap adalah satu-satunya cara untuk mencegah terbentuknya histamin Kandungan histamin pada ikan segar/sehat adalah kurang dari 0,1 mg/gram ikan, sedangkan bila ikan diletakkan pada suhu kamar, histamin akan meningkat dengan cepat mencapai 1 mg/gram ikan dalam waktu 24 jam. Histamin tidak membahayakan jika dikonsumsi dalam jumlah yang rendah, yaitu 8 mg/100 g ikan. Menurut Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat, keracunan histamin akan timbul jika seseorang mengkonsumsi ikan dengan kandungan histamin 50 mg/100 g ikan. Ikan dengan kandungan histamin lebih dari 20 mg/100 g ikan sudah tidak boleh dikonsumsi. Pendinginan yang cepat adalah kunci pencegahan. Ikan yang sudah ditangkap harus cepat diambil dan dikemas dalam es, air laut dingin, air laut atau air garam dingin, didinginkan secepat mungkin dengan menggunakan prosedur penanganan yang baik. Pembentukan histamin secara drastis dikurangi dengan pendinginan ikan secepat mungkin. Untuk ikan yang lebih besar membutuhkan waktu lebih lama untuk mendinginkannya dibandingkan ikan yang lebih kecil. Pengeluaran isi ikan yang lebih besar dan memastikan bahwa rongga usus disi dengan es atau media pendinginan lainnya adalah cara yang baik untuk membantu menghilangkan bakteri yang menyebabkan pembentukan histamine dan memungkinkan lebih cepat terjadi pendinginan pada tubuh ikan. Pengeluaran isi harus dilakukan dengan hati-hati sehingga tidak mencemari daging ikan itu sendiri atau ikan lainnya. Ikan yang cepat dingin akan mencegah bakteri pembusukan lain bertambah banyak. Tindakan yang di Lakukan Bila Terjadi keracunan Ikan Famili Scombroidae Segera rangsang muntah, dilakukan bila penderita sadar dan tidak mengalami kesulitan menelan. Caranya dengan mengorek pangkal tenggorokan dengan jari telunjuk. ƒ Jangan berikan makanan atau minuman apapun bila penderita tidak sadar atau kesulitan dalam menelan. ƒ Berikan susu untuk menetralkan racun. ƒ Dapat diberikan antihistamin yang dapat diperoleh melalui resep dokter. ƒ Segera bawa ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan medis. Cara Mencegah Keracunan Ikan Famili Scombroidae: ƒ Pilihlahikan yang masih segar dengan melihat insang ikan yang masih berwarna merah segar. Jangan mengkonsumsi ikan yang sudah tidak segar lagi. ƒ Segera mengolah/memasak ikan yang sudah dibeli. Jangan biarkan terlalu lama pada suhu kamar. ƒ Jika tidak ingin segera diolah/dimasak, segera cuci dan bersihkan ikan lalu masukkan ke dalam freezer. Saxitoxin Saxitoxin atau "paralytic shellfish poison“ semula ditemukan dalam tiram (mussels) dan toksinnya disebut mylotoxin. Kemudian SCHUETT dan RAPPOPORT (dalam HASHIMOTO 1979) mengisolasi toksin serupa dari "Alaska butter clam", Saxidormus giganteus dan diberi nama Saxitoxin. Saxitoxins are produced by marine dinoflagellates from the genera Alexandrium,Pyrodinium, andGymnodinium, eukaryotes that are distributed worldwide (Anderson et al.2012a,b). Dinoflagellate species such as Alexandrium catenella, Alexandrium tamarense, and Gymnodinium catenatum generate harmful algal blooms that can reach up to 1104cells/L or higher. Blooms of these species may lead to PSP toxin accumulation in shellfish andfishes and PSPintoxication and human deaths by cardiorespiratory failure upon ingestion of contaminated tissues. The most common toxin vectors for human intoxications arefiltering bivalves, but other species such asgastropods, echinoderms, tunicates, and ascidians can accumulate toxic levels of saxitoxins (Bricelj andShumway1998; Deeds et al.2008; García et al.2015; Zamorano et al.2013) and other marine biotoxins. Aksi farmakologisnya ialah memblokir susunan syaraf pusat. Mekanisme saxitoxin sangat mirip dengan tetrodo- toxin. Saxitoxin menyebabkan kematian pada tikus dalam waktu 15 menit, sedangkan tetrodotoxin dalam waktu setengah jam. Keracunan yang ditimbulkan oleh toksin ini memberikan gejala sebagai berikut : rasa terbakar pada lidah, bibir dan mulut yang selanjutnya merambat ke leher, lengan dan kaki. Sensasi ini kemudian berlanjut menjadi matirasa sehingga gerakan menjadi sulit. Dalam kasus yang hebat diikuti oleh perasaan melayang-layang, mengeluarkan air liur, pusing dan muntah. Timbulnya gejala tersebut kurang dari satu jam setelah mengkonsumsi hasil laut yang tercemar Depending on the severity of intoxication,first symptoms can appear within 0.5 and 2 h after ingestion,followed by a variable development phase of up 12 h Patients may display oral and facial paresthesias,dysphagia, weakness of lower and upper limbs, abdominal pain, and dyspnea due to respiratory muscleparalysis. This may result in respiratory arrest, cardiovascular failure, coma, and death if untreated A survival after 12 h has agood prognosis of recovery without long-term effects. The lethal average dose (LD50) of saxitoxin isdependent on the animal species, age, and the administration route. In humans LD50ranges from 1 to 4 mgdepending upon age and physical condition of the patient (Lawrence et al.2011). Intraperitoneal (i.p.)injection of STX in rats causes a LD50 of 10–12mg STX equivalents/kg and 9–10.6mg STX equivalents/kg in mice. However, orally administered STX has an LD50of 260–263mg STX equivalents/kg. It is important to notice that there is no specific treatment for PSP intoxication and there are no antidotesapproved for human treatment. First care symptomatic treatment during the initial phase is crucial for later recovery as PSP intoxication is a life- threatening emergency characterized by several signs and symptoms(Garcia et al.2005; Hurley et al.2014). There is no substitute for rapid recognition of the specific symptoms and of the circumstances of the accident by the medical team. Early diagnosis may attribute symptoms to other causes, such as intoxication with drugs of abuse, psychiatric disorders, or cerebrovas-cular accidents. Patients may need intubation, evacuation of stomach content, and ventilator support. The use of diuretics and close monitoring of cardiovascular parameters are important, as cases of hypertension and tachycardia have been reported (Gessner et al.1997b; Hurley et al.2014) Tetrodotoksin Tetraodontidae is a family of primarily marine and estuarine fish. The family includes many familiar species that are variously called puffers, balloonfish, blowfish, bubblefish, globefish, swellfish, toadfish, and toadies. As their various names indicate, these fish have in common the ability to inflate their bodies with water when they sense predatory pressure. Puffer fish are the second most poisonous animal in the world (the first is the Golden Poison Frog). The skin, ovaries, eggs, and liver of many Tetraodontidae are highly toxic to humans, but the muscle meat is considered a delicacy that is prepared by specially trained and licensed chefs in Japan, Korea, and elsewhere. Between 1888 and 1909 there were 2090 deaths reported in the world, mostly in Japan, which is about 67% mortality in the total poisonings. From 1956 to 1958, of the 715 reported cases, 420 people died. Finally, from 1974 to 1979, there were 60 cases reported with 20 deaths. More recent statistics from Japan indicate a continued high (60%) mortality rate with an incidence rate of about 20 deaths each year. The toxic agent tetrodotoxin, however, is widely distributed in nature, in both marine and terrestrial animals in four different phyla, which include species as diverse as frogs, newts, starfish, crabs, octopus, and marine snails. It has been reported to occur in about 40 species of puffer fish, the most important food source of the toxin. The high toxicities of puffer fish have been known for thousands of years and were reported in Egypt and China as early as 2000–3000 BCE. Following consumption of toxic puffer fish, symptoms usually appear very rapidly between 5 to 20 minutes after ingestion, depending on the dose of toxin. Although each individual may experience symptoms differently, the following are the most common symptoms of puffer fish poisoning. FIGURE 5.4 Takifugu puffer fish (Takifugu rubripes) preferred in Japanese cuisine. Fugu sashimi prepared in paperthin slices for an elegant meal. Symptoms usually include: Initial numbness, tingling of the lips, tongue, and inside of the mouth Gastrointestinal disturbances, including vomiting, abdominal pain, and diarrhea Difficulty walking and extensive muscle weakness General weakness, followed by paralysis of the limbs and chest muscles (cognition is usually clear during these symptoms) Drop in blood pressure and a rapid and weak pulse Death, which can occur within 30 minutes TAHARA 1906 (dalam HASHI-MOTO 1979), pertama kali mengisolasi Tetrodotoxin dari kandung telur ikan buntal (puffer fish) dan membuktikan bahwa di Jepang toksin ini sangat aktif karena 60 — 70% kasus keracunan makanan dari laut disebabkan oleh toksin ini. Beberapa pakar melanjutkan penelitiannya dan mene- mukan bahwa tetrodotoxin merupakan senyawa amin dan gula. KISIN et al. 1972 (dalam HASHIMOTO 1979), kemudian telah dapat mengsintesa toksin ini secara utuh. Struktur dan sifat kimia tetro-dotoxin ditentukan melalui isolasi dan pemurnian. Hasil yang diperoleh berupa kristal berwarna kuning dengan rumus molekul 2— amino—6—hidroksi-metil— 8—hidroksiquinazolin, dan ru-mus bangunnya dapat dilihat pada gambar 1. Keracunan pada manusia memberikari gejala-gejala berupa rasa mual, muntah, dan mati rasa dalam rongga mulut. Tetrodotoxin memiliki efek farmakologik yaitu dapat meningkatkan permeabilitas membran syaraf terhadap ion natrium. Ciguatoxin Ciguatoxin merupakan toksin yang ditemukan pada beberapa jenis ikan yang hidup berasosiasi dengan terumbu karang di daerah tropik dan subtropik. Penyakit atau keracunan yang disebabkan oleh ciguatoxin disebut ciguatera. Pada umumnya ciguatera tidak merupakan penyakit yang fatal. Keracunan timbul karena memakan ikan-ikan tersebut (COLWELL 1986). Karena ikan-ikan tersebut dapat menyebabkan keracunan, maka hal ini dapat berpengaruh terhadap pemasokan bahan makanan dari laut yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk yang tinggal di pulau-pulau karang. Beberapa jenis ikan yang diduga menjadi sumber penyakit ciguatera yaitu, Lutjanus monostigma, Gymnothorax javanicus, Epinephekis fuscoguttatus (Gambar 2, 3, 4). Gejala penyakit yang ditimbulkan sangat beragam dan hal ini sesuai dengan terdapatnya beragam toksin dalam ikan tersebut (multiple toxin). Namun toksin utamanya adalah ciguatoxin yang diisolasi dan kemudian diberi nama oleh Scheuer dari University of Hawaii. HALSTEAD (dalam HASHIMOTO 1979) mengidentifikasi lebih dari 400 jenis ikan yang mengandung ciguatoxin. Toksisitasnya dipengaruhi oleh lingkungan dimana ikan itu hidup serta jenis ikannya. Ikan kakap, Lutjanus bohar dan ikan kerondong, Gymnothorax javanicus, sering menimbulkan keracunan massal di daerah kepulauan di Pasifik. Di Tahiti 60% keracunan ciguatoxin disebabkan karena memakan ikan Ctenochaetus striatus. Ciguatoxin 1 (CTX-1, CAS 11050-21-8, C60H86O19) and its analogues (more than 20 identified to date) are lipid-soluble polyether compounds produced by members of the dinoflagellate genus Gambierdiscus, not only including Gambierdiscus toxicus but also many other ‘cryptic’ Gambierdiscus species. Unlike open-water red tides, Gambierdiscus spp. tend to be benthic or epiphytic, often associated with the quiet waters of mangrove systems, coral reefs, and even man-made structures including petroleum platforms and artificial reefs that serve as benthic habitat within the euphotic (lighted) zone and fish aggregation areas. The most commonly reported marine toxin disease in the world is CFP or ciguatera. Ciguatoxins accumulate in benthic-feeding organisms and pass up the food chain, bioconcentrating in top-predator (apex, piscivorous) reef fishes, especially in fatty tissues, liver, viscera, and eggs. Ciguatoxins are relatively heat stable, remaining toxic after cooking and following exposure to mild acids and bases. Ciguatera presents primarily as an acute neurologic disease manifested by multiple gastrointestinal (diarrhea, abdominal cramps, and vomiting) and cardiovascular (arrhythmias and heart block) signs and symptoms within a few hours of contaminated fish ingestion, followed by neurologic manifestations (paresthesias, pain in the teeth, pain on urination, blurred vision, and temperature reversal) within hours to days. Acute fatality usually due to respiratory failure, circulatory collapse, or arrhythmias is reported. Lethality is usually seen with ingestion of the most toxic parts of fish (liver, viscera). The minimal lethal dose for a person weighing 165 lbs is less than 1 μg kg−1. Chronic ciguatera can present as a psychiatric disorder of general malaise, depression, headaches, muscular aches, and peculiar feelings in extremities for several weeks to months. This may be due to prolonged debilitating paresthesias ranging from extreme fatigue to pain in the joints and changes in temperature sensation that can last from weeks to months and possibly to years. Toksin alga hijau-biru (Cyanobakteria)
There are many types of algae; the most common
groups are diatoms, green algae and cyanobacteria(also known as blue‐green algae). Under some conditions, cyanobacteria produce compounds that are toxic to animals and humans. The most common cyanobacteria toxins include the microcystins, cylindrospermopsins, anatoxins and saxitoxins. Microcystins are hepatotoxins (affecting the liver), and anatoxins and saxitoxins are neurotoxins (affecting the nervous system Cyanobacteria do not actively excrete the toxin. Instead, most of the toxin is released from a cyanobacterial cell when it is consumed by another organism or dies and ruptures. When a large cyanobacterial bloom dies, the water may look clear, but the algal‐produced toxin may still persist until sunlight or bacteria break the toxin down to a nontoxic form. There are currently about 3,000 known species of cyanobacteria, and some estimate that the total number of species is twice that number. However, toxin formation is confined to a relatively small (less than 100) number of cyanobacteria species. Some of the more common toxin‐producing cyanobacteria include Microcystis, Anabaena, Planktothrix and Lyngbya. Very few of these toxins affect fish, and why cyanobacteria make toxins is still not well understood. A Microcystis bloom Species with the capability of toxin production do not always make toxin. Some species produce a single toxin, others produce multiple toxins. Even within a single species bloom, some cells will make toxin while others will not. The most common routes of exposure to cyanobacteria and their toxins are skin contact, swallowing water while swimming, eating contaminated fish, and, in the case of animals, licking water or algae off of fur after swimming. When animals are exposed to or ingest HAB toxins in large quantities, there can be adverse health effects. Some humans are very sensitive to the algal cell material, leading to an allergic response. Direct contact with high levels of algal cells or their toxins can cause irritation of skin, eyes, nose and throat and inflammation of the respiratory tract. Ingestion can cause nausea, vomiting and diarrhea. In humans, toxins have been linked to liver disease and neurological effects. The effects of long‐term, chronic exposure to cyanobacterial toxins are not yet understood; however, links between algal toxins and increased rates of liver cancer have been suggested (Grosse 2006). Toxic cyanobacterial blooms have caused the death of wildlife, livestock and pets. Dogs are especially susceptible, as they are not repulsed by unsightly or smelly blooms. Dogs tend to wade or drink in shallow areas of ponds and lakes where algal mats can concentrate. They may also eat algal materials washed up on shore, or lick their fur after swimming through a bloom. Treatments for illnesses from cyanobacteria toxins are limited as there are no known antidotes to the toxin. Sekian dan Terima Kasih