Makalah Ayunda

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 25

Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijtihad Sebagai Sumber Ajaran

Dosen Pengampu: Samsul Mu’arif ,M.E

Disusun Oleh:

Nama : Ayunda Rahmad Sari


NIM : 11022075
Prodi : Tarbiyah PAI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PATI

2022/2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah subhannahu wata'ala yang telah melimpah
kan rahmat serta karunia-Nya sehingga penyusunan makalah “ Al-quran, AS;-sunah dan
ijtihad sebagai sumber hukum ajaran Islam” Dapat diselesaikan dengan baik. Adapun tujuan
penyusunan dari makalah ini yakni untuk mengenal kan dan membahas sumbersumber
hukum yang dijadikan pedoman dan landasan oleh umat islam. Dengan makalah ini
diharapkan baik penulis sendiri maupun pembaca dapat memiliki pengetahuan yang lebi luas
mengenai sumber hukum Islam. Saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
saya harapkan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
umumnya dan penulis sendiri khususnya.

Rembang, 15 Oktober 2022

Ayunda rahmad sari

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................1

KATA PENGANTAR......................................................................................2

DAFTAR ISI....................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................4

1.1.....................................................................................................................Latar Belakang
Masalah.......................................................................................................4
1.2.....................................................................................................................Rumusan
Masalah.......................................................................................................5
1.3.....................................................................................................................Tujuan
Penulisan.....................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................6

2.1.....................................................................................................................Macam-macam
sumber ajaran islam....................................................................................6
2.2.....................................................................................................................Al-Qur’an
Sebagai Sumber Ajaran..............................................................................7
2.3.....................................................................................................................As-Sunnah
Sebagai Sumber Ajaran..............................................................................11
2.4.....................................................................................................................Ijtihad Sebagai
Sumber Ajaran............................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................25

3
BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah subhannahu wata’ala untuk mengatur
hidup. Umatnya Dengan dasar hukum yang jelas melalui Nabi Muhammad SAW. Inilah cara
Allah menjadikan islam sebagai pegangan manusia untuk mencapai tujuan hidup menurut
islam. Agar manusia yang ditugaskan sebagai khalifah dimuka bumi bisa menjaga dan
merawat kehidupan yang selamat dunia dan akhirat serta tercapai tujuan penciptaan manusia
menurut islam. Islam berkembang sangat pesat di seluruh penjuru dunia dengan kecepatan
yang menakjubkan banyak sumber-sumber ajaran islam yang digunakan mulai zaman muncul
pertama kalinya islam pada masa rasullullah dan samapai zaman modern saat ini.
Sumbersumber yang berasal dari agama islam meruapakan sumber ajaran yang sudah
dibuktikan kebenarannya.

Sumber-sumber ajaran islam merupakan sumber ajaran yang sangat luas dalam mengatasi
berbagai permasalahan seperti akidah, sosial, sains, Ekonomi dan sebagainya. Dengan
demikian tujuan Dari sumber ajaran tersebut adalah untuk kemaslahatan umat islam. Islam
sangat mendukung umatNya untuk mempelajari ilmu pengetahuan, terutama sumber yang
berasal dari sumber ajaran islam yaitu “ Al-quran, As-sunah dan Ijtihad “ begitu sempurna
dan lengkapnya sumber-sumber ajaran islam. Namun permasalahan nya disini adalah banyak
umat islam yang belum mengetahui berapa luas dan lengkap nya. Sumber sumber ajaran
Islam guna untuk mendukung umat islam maju di bidang pendidikan.

4
1.2. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja sumber-sumber hukum ajaran Islam?
2. Bagaimana kedudukan al-quran sebagai sumber ajaran?
3. Bagaimana kedudukan as-sunah sebagai sumber ajaran?
4. Bagaimana kedudukan ijtihad Sebagai sumber ajaran Islam?

1.3. TUJUAN

Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini antara lain

1) Untuk memenuhi tugas mata kuliah Metodologi studio islam .


2) Untuk membahas sumber hukum islam, sehingga pembaca umumnya dan penulis
khusus nya bisa memahami tentang sumber-sumber hukum islam yang dijadikan
landasan umat islam

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Macam-macam sumber ajaran islam

Sumber adalah tempat pengembalian rujukan atau acuan dalam penyelenggaraan


ajaran Islam, oleh karena itu sumber memiliki peran yang sangat penting bagi
penyelenggaraan ajaran Islam dari sumber ini lah umat islam dapat memiliki pedoman-
pedoman Untuk melaksanakan proses ajaran agama islam, tanpa adanya suatu sumber
makanan umat islam akan terombang-ambing dalam menghadapi ideologi dan bisa jadi akan
berakhir pada kesesatan atau kenistaan. Dalam pembahasandisini makan diuraikan s umber-
sumber ajaran agama islam yang diantara nya meliputi :

a. Al-quran
b. As-sunah
c. Ijtihad

6
AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER AJARAN

Al-Qur’an merupakan sumber pokok ajaran Islam sebagai petunjuk bagi manusia
(Hudan-linnasi), sebagai pedoman hidup manusia untuk menuju kehidupan sejahtera di
dunia dan selamat di akherat.
Rasulullah SAW ketika akan wafat berwasiat bahwa Ia tidak meninggalkan warisan
harta, kecuali yang iIa tinggalkan adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, barangsiapa yang
berpegang teguh pada kedua sumber tersebut diatas, pasti tidak akan sesat untuk selama-
lamanya.

1. Pengertian dan Nama-nama Al-Qur’an

Secara etimologis Al-Qur’an berarti ”bacaan” atau yang dibaca, berasal dari kata qara’a
yang berarti ”membaca” (lihat Q.S. 75: 18). Secara terminologi Qur’an berarti kalam Allah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan bahasa Arab melalui malaikat
jibril, sebagai mu’jizat dan argumentasi dalam mendakwahkan kerasulannya dan sebagai
pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Definisi lain
: ”Al-Qur’an adalah Kalam Allah SWT yang merupakan mu’jizat yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad SAW yang ditulis di mushaf dan diriwayatkan dengan mutawaf
dan membacanya ibadat”.

A. NAMA-NAMA AL-QUR’AN

Selain dari Al-Qur’an disebut juga sebagai berikut :


1. Al-Furqan yang membedakan (antara yang benar dan yang salah, antara yang baik
dengan yang buruk, haq dengan bathil).
2. Al-Haqq yang berarti kebenaran Ilahi yang mutlak sempurna.
3. Al-Hikmah yang berarti hikmah atau kebijaksanaan.
4. Al-Huda yang berarti petunjuk hidup.
5. As-Syifa yang berarti penyembuhan ruhani.

7
6. Ad-Dzikru yang berarti pengingat
7. Al-Kitab yang berarti tulisan atau yang ditulis.

B. ISI POKOK DALAM AL-QUR’AN

Pada garis besarnya Al-Qur’an memuat :


1. ’Aqidah
2. Syari’ah : ”Ibadah dan Muamalah”
3. Akhlaq
4. Kisah-kisah lampau
5. Berita-berita yang akan datang
6. Pengetahuan-pengetahuan Illahi penting lainnya.
Al-Qur’an :
- Terdiri dari 114 surah; surah terdiri atas ayat-ayat; terdiri atas 6247 ayat atau 6360
ayat (bila setiap ayat Bismillah pada awal setiap surah kita hitung.
- Terdiri atas 30 juz.
- Terbagi atas :
a. Surah-surah Makiyah, yakni surah-surah yang dinuzulkan kepada Nabi
Muhammad SAW pada periode ia di Mekah al-Mukaromah, yaitu sejak tahun
13 sebelum hijrah sampai tahun-tahun terakhir menjelang hijrah.
b. Surah-surah Madaniyah, yakni surah-surah yang diwahyukan kepada Rasulullah
SAW pada masa ia di Madinah Al-Munawarah sejak 3 tahun pertama hijrah
sampai dengan akhir hayat beliau tahun 11 Hijrah.

C. PENGKODIFIKASIAN AL-QUR’AN

Al-Qur’an diturunkan dalam jangka waktu 23 tahun, tepatnya 22 tahun, 2 bulan


22 hari, 13 tahun di Mekah, dan 10 tahun di Madinah. Ayat-ayat yang diturunkan di
Mekah, sebelum hijrah, dinamakan ayat Makiyah, dan yang diturunkan di Madinah
disebut ayat Madaniyah. Ayat Makiyah pada umumnya pendek-pendek, dan ayat
Madaniyah panjang-panjang. Yang diturunkan di Madinah, ada sebanyak 11/30 (1.456
ayat), sedangkan ayat Makiyah merupakan sebanyak 19/30 dari isi Al-Qur’an (4.780

8
ayat). Al-Qur’an dsudah ditulis sejak Nabi Muhammad SAW masih hidup, setiap
wahyu turun kepadanya Nabi langsung memerintahkan para Sahabat penulis wahyu
untuk menuliskannya dengan hati-hati. Kecuali ditulis, wahyu yang turun itupun segera
dihafal oleh kebanyakan para sahabat.

Pada masa Abu Bakar As-Shiddiq, Al-Qur’an telah dapat dikumpulkan dalam satu
mashaf tersendiri, atas inisiatif Umar bin Khatab, Abu Bakar menugaskan Zaid bin
Tsabit untuk mengumpulkan dan menyusun Al-Qur’an yang tertulis pada kepingan-
kepingan tulang, batu-batu, kulit dan lain-lain, dengan dibantu oleh beberapa sahabat
penghafal Al-Qur’an, antara lain Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin
Affan, maka tersusunlah satu mushaf pertama yang utuh.
Pada masa Pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan terjadilah penyalinan kembali
dan penggandaan, dibuat sebanyak 4 eksemplar dan dibagikan ke Kuffah, Mekah,
Basyrah dan Syam (Siria). Sedang yang asli tetap dipegang oleh Utsman sendiri dan
sekarang masih ada.

D. FUNGSI AL-QUR’AN

Al-Qur’an diturunan tidak sekedar untuk dibaca dalam arti pelafalan kata dan
kalimat-kalimatnya, tetapi yang paling penting adalah pemahaman, penghayatan dan
pengamalannya. Kemu’jizatan Al-Qur’an antara lain terletak pada bahasa ddan
kandungannya, yang akan Nampak terasa manfaat kemu’jizatan ini apabila mampu
memahami dan mengamalkannya secara utuh dan konsisten. Jadi kehebatan Al-
Qur’an, kesempurnaan, keterlurusan, keterbaikan, dan jaminannya untuk mengantarkan
manusia ke dalam kehidupan yang bahagia yang akan nyata apabila dicoba dan benar-
benar pengaktualisasinya dalam kehidupan sehari-hari.

E. KELEBIHAN AL-QUR’AN ATAS KITAB-KITAB LAINNYA

1. Dari segi bahasa dan bahasannya, Al-Qur’an mempunyai kehebatan yang tak ada
tandingannya di dunia ini, keserasian dan keindahan bahasanya, keseimbangan
kata-kata dan kalimatnya, dan keselarasan kata dan maknanya bukan saja
memberikan irama tertentu tapi juga menimbulkan keindahan dan kedalaman
makna multi dimensi. Kecuali keindahan kata yang bias digali dari kata atau

9
susunannya, pemilihan dan pengulangan kata atau kata seringkali mengandung
makna yang sangat dalam dan berarti. Bila kita perhatikan kata yaum (hari)
umpamanya, kita akan menemukannya diulang sebanyak 365 kali (satu tahun)
dalam bentuk tunggal yaum, dan 30 kali (satu bulan) dalam bentuk jamak, dan kata-
kata yang berarti bulan sebanyak 12 kali.

2. Al-Qur’an kadang-kadang berbicara tentnag peristiwa-peristiwa yang belum terjadi


atau terbukti pada waktu turunnya ayat yang bersangkutan, dan kemudian
kenyataan fenomena alam membuktikan kebenarannya, seperti kemenangan
Romawi setelah kekalahannya. Kecuali itu Al-Qur’an memberitakan masa lalu
yang penafsiran konkritnya baru ditemukan secara menakjubkan etelah ayat itu
turun. Seperti ditemukannya mumi Fir’aun yang hidup pada zaman Nabi Musa pada
abad 19. menurut penyelidikan, Fir’aun tersebut adalah Fir’aun yang tenggelm di
laut pada waktu engejar Nabi Musa. Hal ini sangat mengejutkan dan juga
mengagumkan, dimana Al-Qur’an menyatakan bahwa : “Allah menyelamatkan
tubuh Fir’aun agar menjadi tanda bukti bagi manusia setelahnya.”
3. Al-Qur’an banyak berbicara tentang alam dan fenomenanya. Informasi yang
diberikannya tidak pernah kehabisna makna, usang, apalagi bertentangan. Bahkan
Al-Qur’an tetap aktual dan secara luar biasa mampu memberikan makna dan
inspirasi yang menarik di tengahperkembangan dan kemajuan IPTEK.

4. Al-Qur’an diturunkan untuk semua ummat manusia dan bahkan di luar manusia
(Jin). Ia tetap berlaku pada sepanjang masa dan tempat.
5. Naskah yang asli sampai hari ini masih ada dan terpelihara secara suci dari
perubahan atau penyelewengan tangan-tangan manusia, tidak seperti kitab suci
yang lainnya.1
6. Kandungan Al-Qur’an mencakup pokok-pokok ajaran kitab suci yang lain terutama
Injil, Taurat dan Zabur, serta meluruskan kitab-kitab yang sebelumnya dari
penyimpangan/perubahan. Dan Al-Qur’an utuh serta menyeluruh.
7. Di dalam Al-Qur’an tidak dijumpai sesuatupun yang bertentangan dengan akal atau
tidak sesuai dengan kenyataan alamiah atau menyesatkan.

1 Dr. Makhmud Syafe’i, MA

10
AS-SUNNAH SEBAGAI SUMBER AJARAN

Definisi As-sunnah Menurut Bahasa, Istilah, dan Para Ulama


Secara bahasa (etimologi), Sunnah (‫ ) سنة‬berarti kebiasaan atau yang biasa dilakukan. Dalam
islam, mengacu pada kebiasaan-kebiasaan Rasulullah SAW dalam menjali kehidupannya.
Sedangkan menurut istilah (terminologi), As-sunnah merupakan segala hal yang bersumber
nabi Muhammad SAW, baik perbuatan (fi’il), ucapan (qaul), ilmu,aqidah, atau ketetapan
(taqrir) lainnya.

 Menurut ulama fuqaha (ahli fiqih), sunnah didefinisikan sebagai segala sesuatu perbuatan
(amalan) yang dianjurkan oleh syariat untuk diikuti umat muslim, namun hukumnya tidak
sampai derajat wajib. Dalam artian, perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala,
namun bila ditinggalkan tidak berdosa. Sunnah dalam hal ini mencakup amalan yang
dianjurkan (mustahab), terdiri dari sunnah muakadah (seperti puasa senin-kamis) dan sunnah
yang tidak muakadah (sholat 2 rakaat sebelum sholat magrib).
 Menurut ulama aqidah, sunnah berarti amal perbuatan yang tuntunannya bersumber dari
Nabi Muhammad SAW, bukan sesuatu yang dilebih-lebihkan atau diadakan sendiri menurut
keyakinan (bid’ah).
 Menurut pakar hadist (muhadditsun), sunnah adalah segala sesuatu (perbuatan, perkataan,
ataupun ketetapan) yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW, baik sebelum diutus
menjadi rasul maupun sesudahnya.
 Menurut ahli ushul, sunnah merupakan hal-hal yang bersumber dari Rasulullah SAW selain
Al-Quran, baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan yang bisa dijadikan dalil bagi hukum
syara’.

Fungsi As-sunnah dan Keterkaitannya dengan Al-Quran


َ‫اس َما نُ ِّز َل ِإلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُون‬ َ ‫… َوَأ ْن َز ْلنَا ِإلَ ْي‬..
ِ َّ‫ك ال ِّذ ْك َر لِتُبَيِّنَ لِلن‬

11
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (Q.S. al Nahl : 44)

Dari ayat diatas, terdapat makna tersirat yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW
telah diberikan tugas oleh Allah SWT untuk menerangkan ayat-ayat Al-Quran lebih
terperinci kepada umat manusia. Nah, cara rasul memberikan penjelasan-penjelasan tersebut
yaitu lewat sunnahnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa as sunnah merupakan
penjelas dari Al-Quran.

Lebih lengkapnya, berikut beberapa fungsi as-sunnah terhadap Al-Quran:

1. Memperkuat hukum dalam Al-Quran

Segala jenis hukum, syariat, dan hal-hal yang menyangkut muamalah kehidupan, semuanya
telah ditulis dalam Al-Quran secara sempurna. Seperti halnya hukum shalat, puasa, zakat,
larangan melakukan riba’, mencuri, membunuh, dan sebagainya. Nah, keberadaan As-sunnah
disini memperkuat hukum-hukum yang telah disebuatkan di Al-Quran. Misalnya saja untuk
melakukan shalat, seseorang harus berwudhu terlebih dahulu.

” Rasulullah saw bersabda: tidak di terima salat seorang yang berhadats sebelum ia
berwudhu ” (HR Bukhari )

2. Menjelaskan atau merinci isi Al-Quran

As sunnah juga berperan untuk menjelaskan atau merinci  (menspesifikan) ayat-ayat Al-
Quran yang masih bersifat umum. Misalnya saja, Al-Quran menuliskan kewajiban untuk
berhaji bagi umat yang mampu. Maka As-sunnah memperjelas tata cara manasik haji yang
benar sesuai ajaran Rasulullah SAW.

3. Menetapkan hukum baru yang tidak dimuat dalam Al-Quran

12
Adakalanya As-sunnah menetapkan hukum baru, dimana hukum tersebut tidak terdapat
dalam al-Qur’an. Contohnya perihal larangan mengenakan kain sutera dan cincin emas bagi
laki-laki.

Penetapan hukum baru di as-sunnah tentunya tidak boleh asal-asalan. Hukum itu harus benar-
benar berdasarkan tuntunan Nabi Muhammad SAW dan sesuai syariat islam. Imam asy-
Syafi’i rahimahullah berkata, “Apa-apa yang telah disunnahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang tidak terdapat pada Kitabullah, maka hal itu merupakan hukum Allah juga.

Kedudukan As-Sunnah
Seluruh ulama dan umat muslim telah menyepakati bahwa kedudukan As-sunnah dalam
islam adalah sebagai hukum kedua setelah Al-Quran. Keputusan ini juga didasarkan atas
firman Allah SWT dalam surat Al-Hasyr ayat 7:

ِ ‫َو َما َآ َتا ُك ُم الرَّ سُو ُل َف ُخ ُذو ُه َو َما َن َها ُك ْم َع ْن ُه َفا ْن َتهُوا َوا َّت ُقوا هَّللا َ ِإنَّ هَّللا َ َشدِي ُد ْالعِ َقا‬
‫ب‬
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu,
maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras
hukumannya” (Al-Hasyr 59:7)
As sunnah adalah tuntunan yang berasal dari Rasulullah SAW. Dan Allah SWT
memerintahkan kita untuk menerima apa-apa yang diberikan Rasul serta meninggalkan yang
dilarangnya. Sebab Nabi sendiri adalah utusan Allah SWT yang memiliki kepribadian
mengagumkan. Maka dari itu, Allah menjadikan Rasulullah sebagai suri tauladan bagi
seluruh umat.2

‫ُول هَّللا ِ ُأس َْوةٌ َح َسنَةٌ لِ َم ْن َكانَ يَرْ جُو هَّللا َ َو ْاليَوْ َم اآْل ِخ َر َو َذ َك َر هَّللا َ َكثِيرًا‬
ِ ‫لَقَ ْد َكانَ لَ ُك ْم فِي َرس‬
 “Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah Saw, itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia
banyak menyebut Allah” (Q.S AL-Ahzab:21)
Kesimpulannya, al-Quran dan As-sunnah merupakan sumber hukum islam yang harus diikuti
oleh umat manusia agar memperoleh petunjuk di dunia dan kebahagiaan di akhirat.

2 https://dalamislam.com/landasan-agama/fungsi-as-sunnah-terhadap-al-quran

13
IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AJARAN

A. Pengertian Ijtihad

Secara bahasa (etimologi), term ijtihad—yang disebut oleh Iqbal sebagai prinsip
gerak dalam struktur Islam8—berasal dari kata berbahasa Arab jahadayajhadu-jahd (bukan
juhd), yang berarti kemampuan, potensi, kapasitas. Sebagaimana disampaikan oleh Ahmad
bin Ahmad bin ‘Ali al-Muqri al-Fayumi, dan kemudian dirujuk, misalnya, oleh Atang Abdul
Hakim dan Jaih Mubarok, kata ijtihad, dalam seluruh variasi dan turunannya, menunjuk pada
semua pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit dilaksanakan, atau yang relatif tidak
disenangi, sehingga kata ijtihad ini memiliki makna kesanggupan (al-wus’), kekuatan (at-
thaqah) dan berat (al-masyaqqah). 3
Ibrahim Hosen memberikan makna kebahasaan kata
ijtihad sebagai “pengerahan segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit”,14
sehingga tidak tepat kalau kata ijtihad itu dipergunakan untuk menunjuk suatu hal yang cara
melakukannya tergolong mudah atau ringan. Pemaknaan kata ijtihad dengan arti jahada ini,
dalam alQur’an terdapat dalam sejumlah ayat al-Qur’an berikut ini: Qs. An-Nahl (16): 38,
Qs. An-Nur (24): 53 dan Qs. Al-Fathir (35): 42, yang semua kata itu mempunyai arti
“pengerahan segala kemampuan dan kekuatan” (badzl al-wus’i wa thaqah) atau “berlebih-
lebihan dalam sumpah” (al-mubalaghah fi al-yamin). Dan kemudian lebih jauh lagi
dikatakan, bahwa di dalam as-Sunnah, kata ijtihad, yang punya makna bahasa jahada
semacam itu, antara lain dapat ditemukan pula dalam dua buah sabda Rasulullah saw ini yang
artinya: “pada waktu sujud, bersungguhsungguhlah dalam berdoa (fajtahidu fi ad-du’a’), dan
3
Dalam kaitan ini, al-Fayumi menjelaskan makna bahasa ijtihad dengan ungkapan “badzl wus’ihi wa thaqatihi
fi thalabihi liyablugha majhuduhu wa yashilu ila nihayatihi (pengerahan kesanggupan dan kekuatan (mujtahid)
dalam melakukan pencarian sesuat supaya sampai kepada ujung yang ditujunya). Lihat, al-Fayumi, al-Mishbah
al-Munir, 112. Sejalan dengan ini, as- Syaukani merumuskan arti bahasa ijtihad sebagai “’ibarah ‘an istifragh al-
wus’ fi ayyi fi’l (pembicaraan mengenai pengerahan kemampuan dalam pekerjaan apa pun). Lihat, as-Syaukani,
Irsyad al-Fukhul ila Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushul (Jeddah: al-Haramain, t.th.), 250

14
hadis lain yang artinya: “Rasulullah saw bersungguh-sungguh (yajtahid) pada sepuluh hari
terakhir pada bulan Ramadlan”.Dalam memberikan arti kebahasaan kata ijtihad, di kalangan
ulama’ terdapat keragaman redaksi dalam penjelasannya. Sebagaimana dijelaskan oleh
Nadiyah Syarif al-Umari, Az-Zabidi, misalnya, menegaskan bahwa kata juhda dan jahda
mempunyai arti “kekuatan dan kesanggupan”, sedangkan menurut Ibn Katsir term jahda
berarti “yang sulit, berlebih-lebihan atau bahkan tujuan”, dan Sa’id at-Taftani memberikan
arti ijtihad dengan “tahmil al-juhdi” (ke arah yang membutuhkan kesungguhan); dan kendati
demikian, sesungguhnya semua makna itu mengandung arti bahwa ijtihad adalah pengerahan
segala kesanggupan dan kekuatan untuk memperoleh apa yang dituju sampai pada batas
puncaknya. Dan sementara itu, Ibrahim Husein mengidentikkan istilah al-ijtihad dengan
alistimbath, yang berasal dari kata nabath (artinya, air yang mula-mula memancar dari sumur
yang digali), sehingga secara bahasa (etimologi) istimbath sebagai padanan kata ijtihad

mempunyai pengertian: “mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya”. Meskipun


telah ada kesepakatan ulama’ mengenai arti ijtihad secara bahasa (terminologi), namun
mereka masih berbeda pendapat mengenai makna istilah atau terminologinya. Abu Zahrah,
misalnya, mendefinisikan ijtihad dengan “badzl faqih wus’ah fi istinbath al-ahkam
al-‘amaliyyah min adillatiha attafshiliyyah” (upaya seorang ahli fikih dengan kemampuannya
dalam mewujudkan hukum-hukum amaliah yang diambil dari dalil-dalil rinci). Sementara al-
Amidi, sebagai dinukil az-Zuhaili, mengatakan bahwa ijtihad adalah “istifragh al-wus’i fi
thalab az-zhann min al-ahkam asy-syar’iyyah” (pengerahan segala kemampuan untuk
menentukan sesuatu yang zhanni dari hukum-hukum syara’). Dalam pembahasan ilmu Ushul
Fiqih, sebagaimana disampaikan oleh Abdul Wahab Khalaf, ijtihad biasanya didefinisikan
“badzl al-jahd li al-wushul al-hukm as-syar’i” (upaya sungguh-sungguh untuk menemukan
hukum syar’i). Sementara itu as-Syirazi mrndefinisikan ijtihad sebagai “istifragh al-wus’i wa
badzl al-majhud fi thalab al-hukm as-syar’i” (mengeluarkan kekuatan kemampuan dan
mencurahkan daya upaya untuk memperoleh atau menemukan hukum syar’i). Ibrahim Hosen,
sama dengan Muhaimin, Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, dengan merujuk az-Zuhaili,
mengatakan bahwa mayoritas ulama’ Ushul Fiqih mendefinisikan ijtihad sebagai
“pengerahan segala kesanggupan oleh seorang ahli fikih atau mujtahid untuk memperoleh
pengertian tingkat zhann mengenai sesuatu hukum syara’ (hukum Islam)”. 4Lebih jauh
dijelaskan, dalam definisi ini terdapat ungkapan memperoleh pengertian tingkat zhann

4
Ibrahim Hosen, “Taqlid dan Ijtihad, Beberapa Pengertian Dasar”, dalam Budhy MunawarRachman,
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), 320; Muhaimin, Mujib dan
Mudzakkir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, 178.

15
mengenai “hukum syara’ ‘amali”, maksudnya adalah hukum Islam yang berhubungan dengan
tingkah laku dan perbuatan manusia yang lazim disebut dengan hukum taklifi. Dengan
demikian sesungguhnya ijtihad itu sama sekali tidak untuk mengeluarkan hukum syara’
‘amali yang dalalah (petunjuk)-nya sudah berstatus qath’i (qath’i ad-dalalah). Sangat mirip
dengan yang disampaikan oleh al-Amidi di atas, adalah definisi yang disampaikan oleh al-
Hajib (w.664), sebagaimana dikutip oleh Imam Syaukani, ijtihad adalah: “Istifragh al-wus’i li
tahshil zhann bi hukm syar’i” (Upaya keras seseorang untuk sampai pada hipotesis terhadap
hukum syari’ah). Berkaitan dengan definisi ijtihad di atas, as-Syarafi menyampaikan
butirbutir penjelasan sebagai berikut ini: Pertama, istifragh al-wus’i (upaya keras seorang ahli
fikih), maksudnya adalah mengeluarkan hukum dengan merasa bahwa dirinya lemah untuk
mendapatkan hukum yang lebih jauh. Sebenarnya istifragh adalah sebuah kategori yang
mencakup ahli fikih maupun bukan. Kemudian kata itu disempitkan cakupannya dengan al-
faqih untuk tidak menyertakan yang bukan al-faqih, sebab yang bukan al-faqih itu bila pun ia
telah berusaha dengan segenap kemampuannya tetap saja tidak bisa dikatakan sebagai ijtihad.
Dalam definisi itu tidak dikatakan istifragh al-mujtahid al-wus’i, karena ia menuntut peran
dan pengetahuan pelaku ijtihad tergantung pada ijtihad dalam pengertian ini. Kedua, kata li
tahshil zhann (untuk sampai pada hipotesis), untuk menjelaskan bahwa hal yang yang
diijtihadi adalah hal-hal yang sifatnya hipotesis, bukan yang definitif yang tidak lagi perlu
diijtihadi. Termasuk dalam kategori hipotesis adalah yang disarikan dari dalil hipotesis yang
telah diterima, yang telah tebukti, atau yang telah diterima maupun telah terbukti secara
bersamaan. Ketiga, kata bi hukm syar’i (terhadap hukum syari’ah) untuk membuang cakupan
yang bersifat sentimental dan logis, karena wilayah pembahasan di sini adalah ijtihad
terhadap yang ada kaitannya dengan syari’at saja.

Terhadap uraian as-Syarafi tersebut kemudian Imam Syaukani menetapkan adanya


tiga hal pokok yang dibahas di dalam ijtihad, yaitu:

(1) Yang berhak melakukan ijtihad adalah ahl al-fiqh;

(2) Wilayah ijtihad dilimitasi hanya pada permasalahan yang bersifat zhanni
(hipotetis), bukan yang sudah qath’i (definitif) termasuk sumber hukumnya, dan

(3) Ijtihad hanyalah menyangkut hukum syar’i, bukan masalah i’tiqadi (akidah-
keimanan), akhlaqi (akhlak atau etika Islam atau yang lainnya. 5

5
Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam di Indonesia, 39.

16
Sangat mirip dengan ini, Ibrahim Hosen menyimpulkan tiga hal pokok terkait dengan
ijtihad, yaitu:

(1) Pelaku ijtihad adalah ahli fikih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain;

(2) yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i, yakni hukum Islam yang
berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang dewasa, bukan hukum i’tiqadi atau
hokum khuluqi; dan

(3)status hukum syar’i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah zhann.

Jika diperhatikan secara seksama, sesungguhnya definisi di atas secara eksplisit


menunjukkan bahwa aktivitas ijtihad hanyalah bisa berlaku khusus dalam bidang fikih, yakni
bidang hukum yang berkenaan dengan amal perbuatan manusia, dan memang ijtihad—
menurut para ulama’ fikih (fuqaha’) sekali-kali tidak bisa menyentuh wilayah pemikiran
bidang lainnya semisal akidah Islam. Sehubungan dengan hal inilah kemudian Ibrahim
Hosein, sebagaiman disampaikan oleh Jalaluddin Rahmat, secara tegas menyatakan bahwa
wilayah cakupan pelaksanaan ijtihad hanyalah terbatas dalam bidang fikih semata. Dalam
konteks ini kemudian Ibrahim Hosen mengatakan: “Jika ada pendapat yang menyatakan
bahwa ijtihad secara istilah juga berlaku dalam lapangan akidah atau akhlak, jelas tidak dapat
dibenarkan”. Berlainan dengan pendapat tersebut, adalah pandangan Harun Nasution.
Menurut Harun Nasution, wilayah otoritas ijtihad sebenarnya sangatlah luas dan kompleks
mencakup seluruh bidang ajaran agama Islam, bukan hanya dibatasi pada bidang fikih
semata. Dikatakan oleh Harun Nasution, bahwa ijtihad haruslah dimaknai dengan pengertian
yang lebih luas dan kompleks, di mana ijtihad— selain dalam bidang fikih—juga bisa terjadi
pada bidang politik, akidah (keimanan), tasawuf (ihsan atau akhlak) dan falsafah (filsafat
Islam). Sejalan dengan pandangan Harun Nasution ini, Ibrahim Abbas adz-Dzarwi pernah
menyampaikan rumusan definisi ijtihad sebagai “pengerahan daya dan upaya untuk mencapai
maksud”. Hal senada disampaikan oleh Ibn Taimiyah, sebagaimana dinukil oleh Imam
Syaukani, bahwa pemikiran-pemikiran yang disampaikan oleh para Sufi, Fuqaha’ dan
Mutakallimun yang melahirkan perdebatan sengit, dan mengundang yang mengundang
berbagai komentar penilaian, baik yang memuji maupun yang mencela, semuanya termasuk
dalam melakukan ijtihad dalam rangka taat kepada Allah6… Selain Harun Nasution dan adz-
Dzarwi serta Ibn Taimiyah, sejumlah ulama’ lain seperti Fakhruddin ar-Razi, Muhammad
Ruwaih dan Jalaludin Rahmat pun ternyata juga tidak membatasi ijtihad hanya pada bidang
6
Lihat, Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia, 40.

17
fikih semata, melainkan juga bisa masuk ke dalam bidang ajaran Islam lainnya. Dalam
konteks ini, Jalaluddin Rahmat menegaskan bahwa ijtihad hendaknya diartikan dengan
pengerahan segenap kemampuan untuk mengeluarkan hukum syara’, baik yang amaliyyat,
i’tiqadiyyat dan khuluqiyyat dari dalil-dalil yang rinci. Dengan perkataan lain, ijtihad atau
jihad intelektual adalah upaya untuk memahami suatu teks atau preseden yang relevan di
masa lampau yang berisi suatu aturan, dan untuk mengubah aturan tersebut dengan
memperluas atau membatasi atau memodifikasinya melalui cara yang sedemikian rupa,
sehingga situasi baru dapat dicakupkan di dalamnya dengan suatu solusi baru. Dari
penjelasan ini tampaknya Jalaluddin Rahmat memang bermaksud memperluas arti ijtihad
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Harun Nasution dan Ibn Taimiyah di atas. Dari
penjelasan di atas terlihat betapa telah terdapat persamaan dan sekaligus perbedaan di
kalangan ulama’ perihal ijtihad. Apabila dilakukan identifikasi, sesungguhnya perbedaan itu
lebih terletak pada hal-hal sebagai berikut ini: Pertama, menyangkut penggunaan term bahasa
untuk menunjuk ijtihad; sebagian ulama’ menjelaskan dengan menggunakan kata istifragh
(menghabiskan keseluruhan kesanggupan), dan sebagian ulama’ lainnya menggunakan kata
badzl al-wus’i (pengerahan seluruh kesanggupan). Kedua, menyangkut wilayah atau bidang
sasaran ijtihad; sebagian ulama’ hanya menisbahkan dan membatasi wilayah ijtihad khusus
dalam bidang fikih, sedangkan ulama’ yang lainnya melihat secara lebih luas dan kompleks
lagi dengan menisbahkan ijtihad ke dalam wilayah lain termasuk keimanan atau akidah dan
bahkan akhlak (ihsan). Ketiga, menyangkut pada metode ijtihad: sebagian ulama’ ada yang
menggunakan metode manquli (dari al-Qur’an dan asSunah) dengan mengikuti metode
Rasulullah saw yang selalu menunggu wahyu dalam menyelesaikan setiap persoalan (Qs. An-
Najm (53): 3-4, dan sebagian yang lainnya lagi menggunakan metode ma’quli, yang
didasarkan kepada asumsi dasar bahwa Rasulullah saw diperbolehkan melakukan ijtihad (Qs.
Al-Hasyr (59): 2). Adapun sisi persamaannya dapat dijelaskan sebagai berikut ini: Pertama,
menyangkut produk hukum hasil ijtihad: seluruh produk yang dihasilkan ijtihad mestilah
bersifat dhanni (diduga kuat benar), mengingat karena produk ijtihad adalah merupakan hasil
kreasi akal pikiran manusia (ulama’); kedua, sasaran ijtihad berkisar pada hukum taklifi,
yakni yang berkenaan dengan amaliah ibadah; dan ketiga, seluruh ulama’ menggunakan
terminologi “kesungguhan” untuk menunjuk aktivitas ijtihad, sehingga ijtihad bukanlah
main-main, sehingga mutlak diperlukan upaya dan syarat-syarat tertentu bagi subjek pelaku
ijtihad. B. Dasar dan Kedudukan Ijtihad Perihal kebolehan melakukan ijtihad dalam Islam
didasarkan pada sejumlah ayat al-Qur’an dan as-Sunah. Diantara ayat al-Qur’an dimaksud,
adalah: Qs. An-Nisa’ (4): 59 dan 105; Qs. Ar-Rum (30): 21; Qs. Az-Zumar (39): 42; dan Qs.

18
al-Jatsiyah (45): 13. Adapun redaksi firman Allah SWT dalam Qs. an-Nisa’ (4) dimaksud
adalah: ‫يا أيها الذ ين أ منوا أ طيعوا هلال و أطيعˆوا الرسˆول وأولي األمˆر منكم فˆإن تنˆا زعتم في شˆيئ فˆرد وه إلي هلال‬
‫ ذ لˆˆك خˆˆير و أ حسˆˆن تأويˆˆال‬,‫ والرسول إن كنتم تؤ منو ن باهلل واليوم األ خˆˆر‬Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya) dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu (urusan) maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-
Qur’an) dan Rasul (sunnah-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs.
an-Nisa’/4: 59). Selain Qs. an-Nisa’ (4) ayat 59 tersebut, keberadaan ijtihad sebagai sumber
ajaran Islam, setelah al-Qur’an dan as-Sunnah, didasarkan juga pada sabda Rasulullah saw
berikut ini: ‫ أقضى بما قضى به رسو ل‬: ‫ فإ ن لم تجد فى كتا ب هلال ؟ قا ل‬: ‫ قا ل‬.‫ بما فى كتا ب هلال‬:‫بم تقضى ؟ قا ل‬
211 ‫ الحمˆد هلˆل الˆذى وفّˆق رسˆول رسˆو لˆه‬: ‫ فˆإ ن لم تجˆد فيمˆا قضˆى بˆه رسˆو ل هلال ؟ قˆال‬: ‫ قا ل‬, ‫ هلال‬Artinya:
Dengan apa kamu memutuskan perkara Mu’adz? Mu’adz menjawab: “Dengan sesuatu yang
terdapat dalam kitabullah”. Nabi bersabda, “kalau kamu tidak mendapatkannya dari
kitabullah ? Mu’adz menjawab: saya akan memutuskannya dengan sesuatu yang telah
diputuskan oleh Rasulullah. Nabi berkata, kalau kamu tidak mendapatkan sesuatu yang telah
diputuskan oleh Rasulullah ? Mu’adz menjawab, saya akan berijtihad dengan pikiran saya.
Nabi bersabda, segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan dari rasul-
Nya. Adapun as-Sunah yang menjadi dasar keberadaan ijtihad, tentu dalam kapasitasnya
sebagai sumber ajaran Islam, antara lain adalah hadis ‘Amr bin Ash yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari, Muslim dan Ahmad berikut ini : ّ ‫م إ ذا حكم ا لحا كم فاجتهد فأ صا ب فله اجرا ن وإ اخطأ ذا‬
‫ حكم فاجتهد ث فله أجر واحد‬Artinya: Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad,
kemudian dia benar maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan
hukum dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu pahala (HR. Imam Muslim). Hadis
lain yang dijadikan dasar ijtihad ialah hadis Mu’adz bin Jabal ketika dia diutus oleh Nabi
Muhammad saw ke Yaman sebagai hakim: ‫ فإ ن لم تجد فى كتا‬: ‫ قا ل‬.‫ بما فى كتا ب هلال‬:‫بم تقضى ؟ قا ل‬
‫ الحمد هلˆˆل الˆˆذى‬: ‫ فإ ن لم تجد فيما قضى به رسو ل ا هلل ؟ قال‬: ‫ قا ل‬, ‫ اقضى بما قضى به رسو ل هلال‬: ‫ب هلال ؟ قا ل‬
212 ‫ وفّˆˆق رسˆˆول رسˆˆو لˆˆه‬Artinya: Dengan apa kamu memutuskan perkara Mu’adz? Mu’adz
menjawab: “Dengan sesuatu yang terdapat dalam kitabullah”. Nabi bersabda, “kalau kamu
tidak mendapatkannya dari kitabullah ? Mu’adz menjawab: saya akan memutuskannya
dengan sesuatu yang telah diputuskan oleh rasulullah. Nabi berkata, kalau kamu tidak
mendapatkan sesuatu yang telah diputuskan oleh rasulullah ? Mu’adz menjawab, saya akan
berijtihad dengan pikiran saya. Nabi bersabda, segala puji bagi Allah yang telah memberi
taufiq kepada utusan dari rasul-Nya. Sejumlah dalil di atas selain menunjukkan kebolehan
melakukan ijtihad sekalitu juga menunjukkan bahwa ijtihad merupakan sumber ajaran Islam.

19
Pertama, ditempatkannya kalimah “… wa uli al-amr minkum, fain tanaza’tum fi sya’in
farudduhu ila Allah wa ar-rasul” pada redaksi Qs. an-Nisa’ (4): 59 menunjukkan bahwa
ijtihad merupakan sumber ketiga ajaran Islam. Pemaknaan semacam ini semakin
mendapatkan relevansinya ketika dikaitkan dengah hadis Rasulullah saw mengenai sahabat
Mu’adz bin Jabal terutama dirujukkan pada redaksi “ajtahidu bi ra’yi” (aku akan berijtihad
dengan ra’yuku), yang dalam hadis tersebut diposisikan setelah tidak ditemukan dalil dalam
al-Qur’an dan asSunnah. Lebih-lebih dalam hadis tersebut Rasulullah saw menyetujui
langkah ijtihad sahabat Mu’adz bin Jabal dengan ungkapan “Alhamdulillah al-ladzi waffaqa
rasula rasulih”. Kedua, meskipun kedudukan ijtihad sebagai sumber ketiga ajaran Islam,
namun kualifikasi perintah ketaatan terhadap ijtihad berbeda dengan al-Qur’an dan as-
Sunnah. Mengingat redaksi dalam Qs. an-Nisa’ (4): 59 ketika menyebut Allah dan Rasul
didahului oleh perintah taat (athi’ullah wa athi’urrasul) maka ketaatan terhadap al-Qur’an dan
as-Sunnah merupakan suatu kewajiban mutlak bagi setiap ummat Islam; tetapi mengingat
giliran uli al-amri dan seterusnya tidak didahului oleh perintah taat (athi’u) maka hal ini dapat
dipahami bahwa ketaatan terhadap ijtihad itu bersifat kondisional, dalam 213 pengertian
ketika ijtihad masih relevan maka mesti ditaati tetapi ketika sudah tidak relevan maka
ketaatan itu bukan merupakan keharusan dan kemudian harus dilakukan ijtihad baru. Ijtihad
memang merupakan salah satu sumber ajaran Islam, setelah alQur’an dan as-Sunnah. Hal ini
bearti bahwa ijtihad baru dapat dirujuk sebagai sumber ajaran Islam ketika dalil yang
diperlukan untuk menetapkan suatu hukum benar-benar secara eksplisit tidak ditemukan
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Dan lebih dari itu, mengingat perintah taat—sebagaimana
terdapat dalam Qs. an-Nisa’ (4): 59—hanya difokuskan pada Allah dan rasul-Nya “athi’u
Allah wa athi’u arrasul”, maka ketaatan mutlak hanyalah terhadap al-Qur’an dan as-sunnah,
sedangkan ketaatan terhadap ijtihad sifatnya kondisional: jika hasil ijtihad itu sejalan dengan
al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagai produk ulil amri, maka wajib dipatuhi, sedangkan jika
kebijakannya tidak sesuai dengan al-Qur’an dan asSunnah, maka tidak ada kewajiban untuk
mengikutinya. Di kalangan ulama’ fiqih, ijtihad dapat mengambil berbagai bentuk.
Keragaman model ijtihad itu di kalangan ulama’ telah terepresentasikan, misalnya, dalam hal
perbedaan pendapat dari empat madzhab fikih mengenai sumber-sumber ajaran Islam.
Bentuk-bentuk ijtihad itu dapat berupa ijma’ ulama’ (kesepakatan para ulama’), qiyas
(analogi), al-mashlahat al-mursalah (kemaslahatan ummat), ‘urf (tradisi yang sudah
berlangsung), istihsan (sesuatu yang dianggap baik), qaul as-shahabat (pendapat para
sahabat), syar’u man qablana (agama sebelum Islam), dan sadd ad-dzari’ah (menolak
keburukan).34 Agak sedikit berlainan, Imam Syaukani menyebutkan metode ijtihad dengan

20
memberikan rincian sebagai berikut ini: ijma’, qiyas, istishab, istihsan, istishlah, sadd ad-
dzari’ah dan ‘urf.35 Sementara itu Abdullah Ahmed an-Na’im menyebut ijma’ dan qiyas
sebagai tehnik ijtihad,36 dan tehnik lain yang merupakan tambahan adalah: istihsan, istislah
atau maslahah, istishab, darurah dan ‘urf. C. Hukum dan Lapangan Ijtihad Jika seorang
muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa, atau ditanya mengenai suatu masalah yang
berkaitan dengan hukum syara’, maka hukum melakukan ijtihad ada bermacam-macam.
Sebagaimana diuraikan oleh Wahbah az-Zuhaili, boleh jadi hukum ijtihad itu adalah wajib
‘ain, wajib kifayah, sunnah dan bahkan atau haram, tergantung pada kapasitas orang yang
berangkutan. Pertama, bagi muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai hukum
atas suatu peristiwa yang terjadi dan dia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja tanpa
kepastian hukumnya, atau ia sendiri mengalami peristiwa yang tidak jelas hukumnya dalam
nash, maka hukum ijtihad menjadi wajib ‘ain. Kedua, bagi seorang muslim yang memenuhi
kriteria mujtahid yang diminta fatwa hukum atas sautu peristiwa yang terjadi, tetapi dia
mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap dan selain dia masih ada mujtahid lainnya, maka
hukum ijtihad menjadi wajib kifayah. Ketiga, hukum ijtihad menjadi sunnah jika dilakukan
atas persoalan-persoalan yang tidak atau belum (akan) terjadi. Keempat, hukum ijtihad
menjadi haram dilakukan atas peristiwa-peristiwa yang sudah jelas hukumnya secara qath’i
(qath’i ad-dalalah), baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah; atau ijtihad atas masalah yang
hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’ (kesepakatan ulama’). Adapun lapangan ijtihad
(majal al-ijtihad), adalah masalah-masalah yang diperbolehkan penetapan hukumnya dengan
cara ijtihad, yang dalam istilah teknis ushul fiqh disebut mujtahid fih. Sebagaimana
dijelaskan oleh Imam al-Ghazali, bahwa lapangan ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang
tidak memiliki dalil yang qath’I, baik dalam pengertian qath’i ad-dalalah maupun qath’i al-
wurud. Sedangkan hukum yang dapat diketahui dari agama secara dlaruri dan badihi, sama
sekali bukan merupakan wilayah ijtihad. Dalam konteks ini secara tegas azZuhaili
mengatakan bahwa sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’i astsubut wa ad-dalalah
tidaklah termasuk lapangan ijtihad. Dengan kata lain, nash yang dianggap sudah jelas
petunjuknya (qath’i ad-dalalah) tidaklah termasuk lahan (lapangan) ijtihad karena untuk
memahaminya tidak perlu mencurahkan segala kemampuan. Oleh karena itu tidak boleh
dilakukan ijtihad mengenai, misalnya, kewajiban melakukan shalat llima waktu, kewajiban
berpuasa, zakat, haji, larangan berzina, membunuh, karena semuanya itu telah dijelaskan
secara tegas dalam teks al-Qur’an dan as-Sunnah. Lebih jauh dari itu, kemudian azZuhaili
menegaskan adanya dua lapangan ijtihad berikut ini: pertama, sesuatu yang tidak dijelaskan
sama sekali oleh Allah swt dan nabi Muhammad saw dalam al-Qur’an dan as-Sunah (ma la

21
nashshaha fi ashlain). Dan kedua, sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil zhanni as-tsubut
wa ad-dalalah atau salah satunya— zhanni as-tsubut atau zhanni ad-dalalah. Sementara itu
Abdul Wahhab Khallaf, sebagaimana dijelaskan oleh M. Zein Satria Effendi, menegaskan
bahwa hal-hal yang menjadi lapangan ijtihad adalah masalah-masalah yang tidak atau belum
pasti (zhanni) baik dari segi datang atau periwayatannya dari Rasulullah saw (zhanni al-
wurud), atau pun dari segi pengertiannya (zhanni ad-dalalah), yang kemudian dapat
dikategorikan menjadi tiga macam lahan ijtihad berikut ini. Pertama, hadis ahad, yakni hadis
yang diriwayatkan oleh orang seorang atau beberapa orang yang tidak sampai ke tingkat
hadis mutawatir. Hadis ahad dari segi kepastian riwayat atau datangnya dari Rasulullah saw
hanya sampai pada tingkat dugaan kuat (zhanni) saja, dalam pengertian tidak tertutup
kemungkinan adanya pemalsuan meskipun relatif sedikit sekali. Dalam hal ini seorang
mujtahid perlu melakukan ijtihad untuk memastikan periwayatannya dengan cara melakukan
penelitian kebenaran periwayatannya.40 Kedua, lafal-lafal atau redaksi ayat al-Qur’an atau
hadis yang menunjukkan pengertiannya secara tidak tegas (zhanni ad-dalalah) sehingga ada
kemungkinan ada pengertian lain selain yang cepat ditangkap ketika seseorang mendengar
bunyi lafal atau redaksi itu. Ayat-ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya ini menjadi
lapangan ijtihad dalam upaya memahami maksudnya. Fungsi ijtihad di sini adalah untuk
mengetahui makna sebenarnya yang dikehendaki atau dimaksud oleh teks itu. Dan hal ini
sering membawa perbedaan pendapat ulama’ dalam menetapkan hukumnya. Ketiga, masalah-
masalah yang tidaka ada teks ayat atau hadis dan tidak pula ada ijma’ (konsensus ulama’)
yang menjelasakan atau menetapkan hukumnya. Dalam hal ini ijtihad memainkan perannya
yang amat penting dalam rangka mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Fungsi ijtihad di sini adalah untuk meneliti dan menemukan
hukumnya melalui tujuan hukum, seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, ‘uruf, istishab,
dan sadd ad-dzari’ah. Di sini terbukan luas kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat
ulama’. Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, lahan ijtihad menurut asSyaukani,
sebagaimana diuraikan oleh Nasrun Rusli7, hanyalah masuk pada hukum kategori zhanni,
yakni hukum-hukum yang dipetik dari ayat-ayat dan hadis-hadis yang bersaifat zhanni
(adakalanya zhanni as-tsubut atau zhanni alwurud dan mungkin pula zhanni ad-dalalah).
Dalam konteks ini as-Syaukani membagi hukum atas dua jenis, yakni hukum qath’i (hukum
yang dipetik dari ayat-ayat dan hadis yang sifatnya qath’i as-tsubut atau wurud dan qath’i
addalalah) dan hukum zhanni (ada kalanya zhanni as-tsubut atau wurud dan adakalanya
zhanni ad-dalalah), atau dihasilkan dari metode-metode ijtihad lainnnya yang bersifat zhanni,
7
Lihat, Rusli, Konsep Ijtihad as-Syaukani, 100-101

22
seperti ijma’ sukuti, qiyas adna, istishab, istihsan, istislah dan metode-metode ijtihad yang
lain. Kemudian as-Syaukani menegaskan bahwa yang menjadi lahan ijtihad hanyalah jenis
hokum kedua (hukum zhanni), seraya dia kuatkan dengan menukil pendapat ahli fikih as-
Syafi’i, Fakr ar-Razi (w. 606 H), yang menyebutkan bahwa yang menjadi objek ijtihad ialah
segenap hukum syara’ yang bukan didasarkan atas dalil yang qath’i. Ringkasnya, lahan
ijtihad menurut as-Syaukani adalah: (1) Sesuatu yang semula tidak ditemukan hukumnya di
dalam nash secara langsung; dan (2) sesuatu yang ditemukan hukumnya secara langsung
dalam nash, tetapi bukan dalam nash yang qath’i. Tentu saja pandangan as-Syaukani yang
semacam ini tidak banyak berbeda dengan pendapat para ulama’ fikih pada umumnya.
Kemudian secara lebih detail lagi Ibrahim Hosein menyampaikan medan ijtihad sebagai
berikut. Pertama, masalah-masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh nash al-
Qur’an atau Sunnah secara tegas; kedua, masalahmasalah baru yang hukumnya belum
diijma’i oleh ulama’ atau aimmah almujtahidin; ketiga, nash-nash zhanni dan dalil-dalil
hukum yang masih diperselisihkan; dan keempat, hukum Islam yang ma’qul al-ma’na atau
ta’aqquli (kausalitas hukumnya/’illat-nya dapat diketahui oleh mujtahid). Lebih lanjut,
dikatakan oleh Hosen bahwa ijtihad tidak boleh dilakukan pada hal-hal berikut ini: pertama,
hokum Islam yang ditegaskan oleh nash al-Qur’an atau as-Sunnah yang statusnya qath’i
(ahkam manshushah, atau qath’i ad-dalalah), yang dalam istilah ushul fiqh dikenal dengan
syari’ah atau ma ‘ulima min ad-din bi addlarurah; kedua, hukum Islam yang telah diijma’i
oleh ulama’; dan ketiga, hukum Islam yang bersifat ta’abbudi/ghair ma’quli al-ma’na (yang
kausalitas hukumnya/’illat-nya tidak dapat dicerna dan diketahui oleh mujtahid. D. Ijtihad
Sebagai Sumber Dinamika Islam Dewasa ini umat Islam dihadapkan kepada sejumlah
peristiwa kekinian yang menyangkut berbagai aspek kehidupan. Peristiwa-peristiwa itu
memerlukan penyelesaian secara seksama, lebih-lebih untuk kasus yang tidak tegas
penunjukannya oleh nas. Di samping itu, kata Rager Graudi, sebagai dikutip oleh Jalaludin
Rahmat, tantangan umat Islam sekarang ada dua macam, yakni taklid kepada Barat dan
kepada masa lalu. Taklid model pertama terjadi karena ketidakmampuan melakukan
pemilahan antara modernisasi dan cara hidup Barat; sedangkan taklid model kedua muncul
karena ketidakmampuan dalam membedakan antara agama (wahyu) dengan pemikiran ulama
masa lalu. Melihat persoalan-persoalan di atas, umat Islam dituntut untuk keluar dari kemelut
itu, yaknia dengan cara melakukan ijtihad. Oleh karena itu, ijtihad menjadi sangat penting
meskipun tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Adapun kepentingannya itu disebabkan oleh
hal-hal berikut ini. 1. Jarak antara kita dengan masa tasyri’ semakin jauh. Jarak yang jauh ini

23
memungkinkan terlupakannya beberapa nas, khususnya dalam as-Sunah, yakni masuknya
hadis-hadis palsu dan perubahan pemahaman terhadap nas.

Oleh karena itu para mujtahid dituntut secara sungguh-sungguh menggali ajaran Islam
yang sebenarnya melalui kerja ijtihad. 2. Syariat disampaikan dalam al-Qur’an dan as-Sunah
secara komprehensif; memerlukan penelaahan dan pengkajian yang sungguh-sungguh. Di
dalamnya terdapat sejumlah ayat, yang bisa dikatakan masih dalam kategori memerlukan
penjelasan. Dilihat dari fungsinya, ijtihad sebagai penyalur kretivitas pribadi atau kelompok
dalam merespons peristiwa yang dihadapi sesuai dengan pengalaman mereka. Di samping itu,
ijtihad pun memberi tafsiran kembali atas perundangundangan yang sifatnya insidental sesuai
dengan syarat-syarat yang berlaku pad amasanya dengan tidak melanggar prinsip-prinsip
umum, dalail-dalil kulli dan maqahid asy-syari’ah yang merupakan aturan-aturan pengarah
dalam hidup. Ijtihad juga berperan sebagai interpreter terhadap dalil-dalil yang zhanni ad-
dalalah. Penjelasan terhadap dalil-dalil tersebut memerlukan kerja akal fikiran lewat ijtihad.
Ijtihad diperlukan untuk menumbuhkan kembali ruh Islam yang 219 dinamis menerobos
kejumudan kebekuan, memperoleh manfaat yang sebesarbesarnya dari ajaran Islam, mencari
pemecahan islami untuk masalah-masalah kehidupan kontemporer. Ijtihad juga menjadi saksi
keunggulan Islam atas agamaagama lainnya.

24
DAFTAR PUSTAKA

http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/21976/

https://minanews.net/kedudukan-al-quran-dan-sunnah-dalam-mengatasi-masalah-
masalah-kontemporer/

https://dalamislam.com/landasan-agama/fungsi-as-sunnah-terhadap-al-quran
http://repository.iainkediri.ac.id/19/8/BAB%20VI.pdf

25

Anda mungkin juga menyukai