Makalah Filsafat Ilmu Sopi

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 8

BAB 1

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Jika berbicara tentang filsafat ilmu, maka terlebih dahulu harus memahami tiga aspek
atau landasan berpikir filsafat. Ketiga aspek berfilsafat diantaranya ada ontologi,
epistemologi dan aksiologi. Jika melihat ketiga landasan tersebut, ilmu memiliki bagian-
bagian tertentu. Di dalam ilmu ada objek, pernyataan, proposisi, dan karakteristik dimana
keempat aspek tersebut yang sebenarnya disoroti oleh tiga landasan berpikir filsafat
mengenai ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Filsafat ilmu memberikan kekuatan bagi
perkembangan serta kemajuan suatu ilmu dan sekaligus nilai moral yang terkandung
dalam setiap ilmu baik itu dalam tataran ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Setiap
jenis ilmu pengetahuan pastinya memiliki ciri-ciri yang spesifik untuk menjawab apa
(ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi) suatu ilmu pengetahuan
itu disusun. Ketiga aspek dalam berpikir filsafat antara ontologi, epistemologi, dan
aksiologi saling berhubungan satu sama lain. Jika berbicara tentang epistemologi ilmu,
maka harus dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu juga. Dengan demikian,
ontologi ilmu berkaitan dengan epistemologi ilmu, dan epistemologi ilmu terkait dengan
aksiologi ilmu begitu seterusnya. Hal ini dikarenakan dalam membahas dimensi kajian
filsafat ilmu didasarkan pada model berpikir sistematik sehingga harus selalu dikaitkan.
Oleh karenanya, tidak mungkin ketiganya antara ontologi, epistemologi, dan aksiologi
terlepas satu sama lain.

Dengan demikian, dari paparan di atas bahwa ketika berbicara tentang filsafat ilmu tidak
pernah lepas dari tiga aspek berpikir filsafat yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi,
akhirnya penulis tertarik untuk membahas lebih jauh dan dituangkan dalam artikel yang
berjudul “Ilmu Dalam Tinjauan Filsafat: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi”. Tujuan
dari penelitian ini yaitu untuk memaparkan ilmu dalam tinjauan filsafat dari segi
ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Pada penelitian ini, penulis membatasi pada tiga
aspek kajian filsafat yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang berbicara tentang
ilmu pengetahuan.
BAB II

PEMBAHASAN

1. DISKURSUS WAHDATUL ULUM


Konsep kosmologi sejak Yunani pra-Sokrates, terutama dalam
pertanyaan yang mana (satu) dan banyak (banyak) menyiratkan perdebatan
epistemologis di antara para ilmuwan. Para filsuf memiliki pandangan
berbeda tentang keberadaan dunia ini. Parmenides memandang dunia
sebagai "zat statis", di sisi lain, Heraclitus mengira dunia selalu berubah
(menjadi), Empedocles memandang dunia terdiri dari empat unsur,
Democritus berpendapat bahwa dunia itu atom. Pythagoras menganggap
bahwa dunia adalah angka, Plato menganggapnya sebagai bentuk dan
Aristoteles menganggapnya sebagai kategori. Menurut Plato, pengetahuan
adalah satu, sedangkan keragaman pengetahuan adalah bagian dari yang
satu. Karena itu, Plato mengakui bahasa, seni, dan lainnya sebagai bagian
dari pengetahuan.1
Dalam sejarah sains Islam, wacana pengetahuan juga muncul. Al-Kindi, yang dikenal
sebagai bapak filsuf muslim, berpendapat bahwa pengetahuan manusia dapat diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu pengetahuan indera yang berasal dari indera dan pengetahuan ide.
Pengetahuan pertama yang terkait dengan objek empiris. Pengamatan manusia menyebabkan
konsep manusia objek dan gambar disimpan di fakultas retensi untuk dipertahankan dan
diabadikan. Sebaliknya, ide-ide pengetahuan terkait dengan objek non-material, kebenaran
berdasarkan inferensi logis dan tak terhindarkan dari prinsip intuisi. Objek pengetahuan rasional
juga dikaitkan dengan bentuk-bentuk lain yang dicapai melalui abstraksi objek-objek yang
sensoris.2 Pembagian yang dilakukan oleh al-Kindi di atas sebenarnya berdasarkan pada sumber
pengetahuan yang berbeda dan bukan pada sifat ilmu itu sendiri, karena keduanya mencoba
menggambarkan objek apa adanya.
Al-Farabi membagi pengetahuan menjadi tiga jenis; ilmu fisika, filsafat dan psikologi.
Pertama, objek ilmu fisika adalah fisik manusia; seperti panas, dingin, bau, lihat dan rasakan.
Kedua, Psikologi adalah ilmu yang berhubungan dengan kemampuan jiwa; ilmu yang dihasilkan
oleh kemampuan imajinasi manusia, seperti kekuatan imajinatif atau imajinasi untuk
menggabungkan atau memisahkan seluruh kesan di sana menghasilkan potongan-potongan, dan
hasilnya bisa benar dan bisa salah. Ketiga, filsafat ('ilm al-'aqlī) adalah ilmu yang didasarkan pada
kekuatan pemikiran yang memungkinkan manusia untuk memahami berbagai istilah, sehingga
mereka dapat membedakan antara yang mulia dan yang tidak berguna, baik dan buruk dan nilai-
1
The Metaphysics Research Lab, “The Unity of Science,” The Stanford Encyclopedia of Philosophy, Stanford:
Stanford University, 2014, 3
2
Majid Fakhry, a History of Islamic Philosophy, (New York: Columbia University, 1987), 116-117.
nilai lainnya. dan makna3 Konsep emanasi yang diusung oleh al-Farabi juga menunjukkan
kemampuan manusia untuk memperoleh pengetahuan yang berasal dari jalan malaikat (angelic)
melalui kapasitas ide-ide manusia. Ini menunjukkan bahwa realitas sains (ḥaqīqat al-‘ulūm) tidak
dapat dipisahkan dari kenyataan materi yang sebagai hasil dari proses emanasi.
Dalam sejarah intelektual Islam modern, pemisahan antara agama dan ilmu pengetahuan
terjadi. Bahkan beberapa masyarakat Islam masih berpikir bahwa kedua ilmu ini memiliki entitas
yang berbeda yang tidak dapat diselaraskan. Mereka menganggap keduanya memiliki area yang
berbeda, dan juga memiliki objek formal dan material yang berbeda, metode penelitian, kriteria
kebenaran dan status masing-masing teori. 4 Setidaknya ada berbagai pola hubungan antara agama
dan sains: Yang pertama adalah konflik (konflik); asumsi bahwa antara agama dan sains tidak
sesuai. Kedua adalah independensi, asumsinya adalah bahwa tidak ada hubungan antara ilmu
agama dengan ilmu pengetahuan. Ketiga adalah dialog, ada interaksi antara agama dan sains.
Keempat adalah gagasan bahwa pengetahuan agama dan sains adalah satu kesatuan sebagai satu
kesatuan (waḥdat al-‘ulūm).

a. ONTOLOGI
Secara bahasa, ontologi berasal dari Bahasa Yunani yang asal katanya adalah “Ontos”
dan “Logos”. Ontos adalah “yang ada” sedangkan Logos adalah “ilmu”. Sederhananya, ontologi
merupakan ilmu yang berbicara tentang yang ada. Secara istilah, ontologi adalah cabang dari
ilmu filsafat yang berhubungan dengan hakikat hidup tentang suatu keberadaan yang meliputi
keberadaan segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada. 5
Ontologi kerap kali diidentikkan dengan metafisika. Ontologi merupakan cabang ilmu
filsafat yang berhubungan dengan hakikat apa yang terjadi. Ontologi menjadi pembahasan yang
utama dalam filsafat, dimana membahas tentang realitas atau kenyataan. Pada dasarnya
ontologi berbicara asas-asas rasional dari yang ada atau disebut suatu kajian mengenai teori
tentang “ada”, karena membahas apa yang ingin diketahui dan seberapa jauh keingintahuan
tersebut. Menurut Jujun S. Suriasumantri menjelaskan bahwa pokok dari permasalahan yang
menjadi objek kajian dari filsafat awalnya meliputi logika, etika, metafisika, dan politik yang
kemudian banyak berkembang hingga menjadi cabang-cabang dari filsafat yang mempunyai
bidang kajian lebih spesifik lagi yang kemudian disebut sebagai filsafat ilmu.
Kajian ontologi dikaitkan dengan objek ilmu dalam pandangan Islam, terbagi menjadi
dua yaitu: Pertama, objek ilmu yang bersifat materi, maksudnya adalah objek ilmu yang dapat
didengar, dilihat, dan dirasakan. Contohnya ilmu sains, ilmu eksak, ilmu politik, sosial, budaya,
psikologi, dan lain sebagainya. Kedua, objek ilmu yang bersifat non-materi. Berlawanan dengan
objek materi, pada non-materi ini tidak bisa didengar, dilihat, dan dirasakan. Hasil akhir dari
objek non-materi ini lebih sebagai kepuasan spiritual. Contohnya objek yang berbicara tentang
ruh, sifat dan wujud Tuhan6

3
Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filosof Muslim: Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat dan Moderen, (Yogyakarta:
LKiS, 2004), 76-77.
4
M. Zaenuddin, “Paradigma Pendidikan Islam Holistik”, Jurnal Ulumuna, Vol. XV, No. 1, (2011), 81.
5
Mahfud, Mengenal Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dalam Pendidikan Islam, Cendekia: Jurnal Studi Keislaman,
Vol. 4, No.1, 2018, 84.
Ontologis dasarnya berbicara tentang hakikat “yang ada” ilmu pengetahuan, hakikat
objek pengetahuan, dan hakikat hubungan subjek-objek ilmu. Bagaimana ilmu pengetahuan
ditinjau secara ontologi maka pembahasannya adalah ontologi melakukan pemeriksaan,
melakukan analisis terhadap ilmu pengetahuan berdasarkan apakah ilmu pengetahuan itu
benarbenar ada atau tidak ada. Contohnya pada Manajemen Pendidikan Islam, secara ontologis
maka pembahasannya itu terfokus pada Manajemen Pendidikan Islam itu benar-benar ada
tidak, jangan hanya program studinya saja tapi sebenarnya ilmu yang diajarkan di dalamnya itu
sebetulnya tidak berbeda dengan Manajemen Pendidikan pada umumnya. Jadi ontologis
mencoba membuktikan dan menelaah bahwa sebuah ilmu pengetahuan itu benar-benar dapat
dibuktikan keberadaannya.
Adapun karakteristik dari ontologi ilmu pengetahuan antara lain sebagai berikut:
Pertama, ilmu berasal dari suatu penelitian. Kedua, adanya konsep pengetahuan empiris dan
tidak ada konsep wahyu. Ketiga, pengetahuan bersifat rasional, objektif, sistematik,
metodologis, observatif, dan netral. Keempat, menghargai asas verifikasi (pembuktian),
eksplanatif (penjelasan), keterbukaan dan dapat diulang kembali, skeptisisme yang radikal, dan
berbagai metode eksperimen. Kelima, melakukan pembuktian bentuk kausalitas (causality) dan
terapan ilmu menjadi teknologi. Ketujuh, mengakui pengetahuan dan konsep yang relatif serta
logika-logika ilmiah. Kedelapan, memiliki berbagai hipotesis dan teori-teori ilmiah. Kesembilan,
memiliki konsep tentang hukum-hukum alam yang telah dibuktikan. 7
Ontologis dasarnya berbicara tentang hakikat “yang ada” ilmu pengetahuan, hakikat
objek pengetahuan, dan hakikat hubungan subjek-objek ilmu. Bagaimana ilmu pengetahuan
ditinjau secara ontologi maka pembahasannya adalah ontologi melakukan pemeriksaan,
melakukan analisis terhadap ilmu pengetahuan berdasarkan apakah ilmu pengetahuan itu
benarbenar ada atau tidak ada. Contohnya pada Manajemen Pendidikan Islam, secara ontologis
maka pembahasannya itu terfokus pada Manajemen Pendidikan Islam itu benar-benar ada
tidak, jangan hanya program studinya saja tapi sebenarnya ilmu yang diajarkan di dalamnya itu
sebetulnya tidak berbeda dengan Manajemen Pendidikan pada umumnya. Jadi ontologis
mencoba membuktikan dan menelaah bahwa sebuah ilmu pengetahuan itu benar-benar dapat
dibuktikan keberadaannya.
Ontologi ilmu meliputi seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji melalui pancaindra
manusia. Ilmu mempelajari objek-objek empiris seperti halnya bebatuan, binatang, tumbuhan,
hewan, dan manusia. Ilmu juga mempelajari berbagai gejala maupun peristiwa yang pada
dasarnya memiliki manfaat bagi kehidupan manusia. Jika dilihat dari objek yang telah dikajinya,
ilmu dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris dimana objek-objek yang berada di luar
jangkauan manusia tidak termasuk ke dalam bidang kajian keilmuan tersebut. Awalnya,
argumen tentang ontologi dicetuskan oleh Plato dengan teorinya yang disebut teori idea.
Menurutnya, apa saja yang ada di alam semesta ini pasti memiliki idea. Yang dimaksud oleh
Plato tentang idea adalah pengertian atau konsep universal dari tiap sesuatu. Sehingga idea ini

6
Novi Khomsatun, Pendidikan Islam Dalam Tinjauan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi, EDUCREATIVE: Jurnal
Pendidikan Kreatif Anak, Vol. 4, No. 2, 2019, 229-231.
7
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011), 69-74.
yang merupakan hakikat sesuatu itu dan menjadi dasar dari wujud sesuatu itu. Ideaidea
tersebut berada di balik yang nyata dan idea itulah yang menurutnya abadi. Oleh karenanya, ini
yang menjelaskan kenapa benda-benda yang kita lihat atau yang ditangkap oleh pancaindra
senantiasa berubah. Dengan demikian, ia bukanlah hakikat, tetapi hanyalah bayangan dari idea-
ideanya. Dengan kata lain, benda yang dapat ditangkap oleh pancaindra manusia ini hanyalah
khayalan dan ilusi belaka.

b. EPISTOMOLOGI
Secara bahasa, epistemologi berasal dari Bahasa Yunani yang asal katanya Episteme
artinya “pengetahuan” dan Logos artinya “ilmu”. Secara istilah, epistemologi adalah suatu ilmu
yang mengkaji tentang sumber pengetahuan, metode, struktur, dan benar tidaknya suatu
pengetahuan tersebut.8 Epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas sifat ilmu
pengetahuan, sumbernya serta validitasnya. Epistemologi adalah pengetahuan sistematis
tentang teori.9
Epistemologi diartikan sebagai cabang filsafat yang berhubungan dengan hakikat dan
lingkup pengetahuan, dasarnya, serta penegasan bahwa seseorang memiliki pengetahuan.
Azyumardi Azra menambahkan bahwa epistemologi sebagai ilmu yang membahas tentang
keaslian, pengertian, struktur, metode, dan validitas ilmu pengetahuan. Jadi, epistemologi
adalah sebuah ilmu yang mempelajari tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan dan
dipelajari secara substantif.
Ketika ontologi berusaha mencari secara reflektif tentang yang ada, berbeda
epistemologi berupaya membahas tentang terjadinya dan kebenaran ilmu. Landasan
epistemologi memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan, karena menjadi
tempat berpijak dimana suatu pengetahuan yang baik ialah yang memiliki landasan yang kuat. 10
Epistemologi merupakan nama lain dari logika material yang membahas dari
pengetahuan. Epistemologi merupakan studi tentang pengetahuan yang mengkaji bagaimana
mengetahui benda-benda. Selain itu, epistemologi merupakan suatu doktrin filsafat yang lebih
menekankan pada peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan mengecilkan
peranan akal. Karena pada dasarnya pengetahuan yang diperoleh menggunakan indra hasil
tangkapannya secara aktif diteruskan dan ditampilkan oleh akal. Pengetahuan ini yang berusaha
menjawab dari pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana cara manusia memperoleh dan
menangkap pengetahuan dan jenisnya. Epistemologi menganggap bahwa setiap pengetahuan
manusia merupakan hasil dari pemeriksaan dan penyelidikan benda hingga akhirnya dapat
diketahui manusia. Dengan demikian, jelaslah bahwa epistemologi ini membahas tentang
sumber, proses, syarat, batas fasilitas, dan hakikat pengetahuan yang memberikan kepercayaan
dan jaminan dari kebenarannya.11

8
Agus Arwani, Epistemologi Hukum Ekonomi Islam (Muamalah), Religia, Vol. 15, No. 1, 2017, 127.
9
Imam Wahyudi, Pengantar Epistemologi, 1
10
Novi Khomsatun, Pendidikan Islam Dalam Tinjauan, 229-231.
11
Nur Afni Puji Rahayu, Tinjauan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Peningkatan Keterampilan Menulis Deskripsi
Melalui Model Kooperatif Tipe Round Table, Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 11, No. 1, 2021,
133
Epistemologi dasarnya berbicara tentang dasar, sumber, karakteristik, kebenaran, dan
cara mendapatkan suatu pengetahuan. Aspek terpenting yang dibahas dalam epistemologi yaitu
sumber pengetahuan dan metode pengetahuan. Kedua hal itu dibicarakan dalam epistemologi
dan ada juga kuantitas pengetahuan juga dibahas di epistemologi. Jadi ketika ilmu pengetahuan
disoroti melalui epistemologi maka pembahasannya terarah pada bagaimana sumber yang
dipakai oleh para ilmuwan di dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan metodenya seperti
apa karena setiap jenis ilmu itu mempunyai sumber dan metode pengetahuan yang tidak sama,
boleh jadi sama tapi tentu ada karakteristik atau nuansa yang membedakan ilmu tersebut.
Epistemologi membahas bagaimana pengetahuan itu diperoleh. Menurut Jujun S.
Suriasumantri menjelaskan bahwa berpikir merupakan aktivitas mental yang dapat
menghasilkan suatu ilmu pengetahuan. Diperlukannya metode ilmiah yaitu berupa
pengungkapan tata kerja pikiran sehingga memudahkan akal untuk menggerakkan aktivitas
berpikir tersebut.12

c. AKSIOLOGI
Salah satu cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia
menggunakan ilmunya disebut aksiologi. Aksiologi mencoba untuk mencapai hakikat dan
manfaat yang ada dalam suatu pengetahuan. Diketahui bahwa salah satu manfaat dari ilmu
pengetahuan yaitu untuk memberikan kemaslahatan dan kemudahan bagi kehidupan manusia.
hal ini yang menjadikan aksiologis memilih peran sangat penting dalam suatu proses
pengembangan ilmu pengetahuan karena ketika suatu cabang ilmu tidak memiliki nilai aksiologis
akan lebih cenderung mendatangkan kemudharatan bagi kehidupan manusia bahkan tidak
menutup kemungkinan juga ilmu yang bersangkutan dapat mengancam kehidupan sosial dan
keseimbangan alam.13
Aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu axion yang berarti nilai dan logos yang berarti
ilmu. Sederhananya aksiologi adalah ilmu tentang nilai. Aksiologis dasarnya berbicara tentang
hubungan ilmu dengan nilai, apakah ilmu bebas nilai dan apakah ilmu terikat nilai. Karena
berhubungan dengan nilai maka aksiologi berhubungan dengan baik dan buruk, berhubungan
dengan layak atau pantas, tidak layak atau tidak pantas. Ketika para ilmuwan dulu ingin
membentuk satu jenis ilmu pengetahuan maka sebenarnya dia harus atau telah melakukan uji
aksiologis. Contohnya apa gunanya ilmu Manajemen Pendidikan Islam yaitu kajian-kajian
aksiologi yang membahas itu. Jadi pada intinya kajian aksiologi itu membahas tentang layak atau
tidaknya sebuah ilmu pengetahuan, pantas atau tidaknya ilmu pengetahuan itu dikembangkan.
Kemudian aksiologi ini juga yang melakukan pengereman jika ada ilmu pengetahuan tertentu
yang memang tingkat perkembangannya begitu cepat, sehingga pada akhirnya nanti akan
mendehumanisasi atau membuang nilai-nilai yang dipegang kuat oleh umat manusia.
Aksiologi ilmu meliputi nilai-nilai (values) yang bersifat normatif dalam pemberian
makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam kehidupan manusia
yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik-
12
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), 119.
13
Juhari, Aksiologi Ilmu Pengetahuan (Telaah Tentang Manfaat Ilmu Pengetahuan dalam Konteks Ilmu Dakwah), Al-
Idarah: Juenal Manajemen dan Administrasi Islam, Vol. 3, No. 1, 2019, 101
material. Lebih dari itu nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu conditio sine
qua non yang wajib dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di
dalam menerapkan ilmu.14
Berpijak pada landasan aksiologi, suatu pernyataan ilmiah dapat dianggap benar bila
pernyataan ilmiah tersebut mengandung unsur aksiologi di dalamnya yaitu adanya nilai manfaat
bagi kehidupan manusia. Ilmu pengetahuan memiliki ruh yang menginginkan adanya nilai
manfaat dari ilmu pengetahuan tersebut, sehingga pengamalan terhadap ilmu tersebut juga
harus berlandas pada tata nilai yang ada di masyarakat. Menghilangkan unsur aksiologis dari
ilmu pengetahuan berarti telah memperlemah posisi dari ilmu tersebut dari sudut pandang
filsafat ilmu pengetahuan.
Aksiologi juga dapat dikatakan analisis terhadap nilai-nilai. Maksud dari analisis yaitu
membatasi arti, ciri, tipe, kriteria, dan status dari nilai-nilai. Sedangkan nilai yang dimaksud di
sini yaitu menyangkut segala yang bernilai. Nilai berarti harkat yaitu kualitas suatu hal yang
menjadikan hal tersebut berguna. Nilai dapat bermakna bernilai guna sebagai suatu kebaikan.
Apalagi dalam aksiologi dimana aksiologi merupakan bidang menyelidiki atau menganalisis nilai-
nilai maka dalam implikasinya aksiologi mencoba untuk menguji dan mengintegrasikan semua
nilai kehidupan dalam kehidupan manusia dan membinanya dalam kepribadian seseorang. 15
Aksiologi memberikan manfaat untuk mengantisipasi perkembangan kehidupan
manusia yang negatif sehingga ilmu pengetahuan tetap berjalan pada jalur kemanusiaan. Daya
kerja dari aksiologi diantaranya yaitu: Pertama, menjaga dan memberi arah agar proses
keilmuan dapat menemukan kebenaran yang hakiki, maka perilaku keilmuan perlu dilakukan
dengan penuh kejujuran dan tidak berorientasi pada kepentingan langsung. Kedua, dalam
pemilihan objek penelaahan dapat dilakukan secara etis yang tidak mengubah kodrat manusia,
tidak merendahkan martabat manusia, tidak mencampuri masalah kehidupan dan netral dari
nilai-nilai yang bersifat dogmatik, arogansi kekuasaan dan kepentingan politik. Ketiga,
pengembangan pengetahuan diarahkan untuk meningkatkan taraf hidup yang memperhatikan
kodrat dan martabat manusia serta keseimbangan, kelestarian alam lewat pemanfaatan ilmu
dan temuantemuan universal.16

14
Maria Sanprayogi & Moh. Toriqul Chaer, Aksiologi Filsafat Ilmu, 106-108.
15
Ida Rochmawati, Pendidikan Karakter dalam Kajian Filsafat Nilai, Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 3, No. 1, 2019, 43.
16
Muhammad Adib, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), 82.

Anda mungkin juga menyukai