Prevalensi Peritonitis Pada Pasien Apendisitis Di Rsup Haji Adam Malik Medan Periode 2017
Prevalensi Peritonitis Pada Pasien Apendisitis Di Rsup Haji Adam Malik Medan Periode 2017
Prevalensi Peritonitis Pada Pasien Apendisitis Di Rsup Haji Adam Malik Medan Periode 2017
SKRIPSI
Oleh :
150100130
FAKULTAS KEDOKTERAN
MEDAN
2018
SKRIPSI
Oleh :
150100130
FAKULTAS KEDOKTERAN
MEDAN
2018
Proposal Penelitian ini telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan pada ujian
Seminar Hasil Penelitian
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya
skripsi yang berjudul “Prevalensi Peritonitis pada Pasien Apendisitis di RSUP Haji
Adam Malik periode 2017” yang merupakan salah satu syarat memperoleh
kelulusan Sarjana Kedokteran.
Dalam penyusunan skripsi ini tentu tidak terlepas dari bantuan dan dukungan
berbagai pihak. Untuk kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. dr. Aldy S. Rambe, Sp. S (K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
2. dr. Edwin Saleh Siregar, SpB-KBD selaku Dosen Pembimbing yang
telah membimbing dalam penyelesaian skripsi ini.
3. dr. Ricke Loesnihari, M.Ked (Clin.Path), Sp.PK(K) selaku Dosen
Penguji yang telah memberikan kritik dan saran dalam penyusunan
skripsi ini.
4. dr. Cut Aria Arina, Sp.S selaku Dosen Penguji yang telah memberikan
kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.
5. dr. Batara Sihotang, dr. Siti Fathiya, dr. Gina K Perangin Angin dan dr.
Jos Arno M Silitonga yang telah membantu saya dalam penyusunan
skripsi ini.
6. Seluruh staf pengajar dan sivitas akademika Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
7. Kedua orang tua yang penulis hormati dan sayangi Gunanta Sembiring
dan Roslindawati Purba yang telah banyak memberikan dorongan
moril, doa, dan materil dalam penyusunan skripsi ini.
8. Kedua adik saya, Stephani Clarissa Sembiring dan Ariel Keriahen
Sembiring, yang telah memberikan dukungan dalam penyusunan skripsi
ini.
ii
iii
Halaman
Halaman Pengesahan……………………………………………………… i
Kata Pengantar…………………………………………………………….. ii
Daftar Isi…………………………………………………………………... iv
Daftar Tabel………………………………………………………………... vii
Daftar Gambar……………………………………………………………... viii
Daftar Lampiran…………………………………………………………… ix
Daftar Singkatan…………………………………………………………… x
Abstrak…………………………………………………………………….. xi
Abstract…………………………………………………………………….. xii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………. 1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………… 4
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………. 4
1.3.1 Tujuan Umum………………………………………... 4
1.3.2 Tujuan Khusus……………………………………….. 4
1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………. 5
2.1 Apendisitis……………………………………………………… 5
2.1.1 Definisi Apendisitis………………………………….. 5
2.1.2 Anatomi Apendiks…………………………………… 5
2.1.3 Fisiologi Apendiks…………………………………… 7
2.1.4 Patofisiologi Apendisitis..……………………………. 7
2.1.5 Etiologi Apendisitis….……………………………….. 8
2.1.6 Epidemiologi Apendisitis….…………………………. 8
2.1.7 Klasifikasi Apendisitis....…………………………….. 9
iv
vi
vii
viii
B Pernyataan Orisinalitas.................................................... 55
E Ethical Clearance............................................................. 58
ix
IgA : Immunoglobuline A
USG : Ultrasonography
Latar Belakang. Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks vermiformis yang dapat
disebabkan adanya obstruksi oleh fekalit, benda asing, tumor, hiperplasia, parasit dan lain-lain.
Dalam literatur disebutkan bahwa laki-laki lebih berisiko terkena apendisitis dibandingkan wanita
dengan rasio 1,4:1.Di Indonesia, angka kejadian apendisitis dilaporkan sebesar 95 per 1000
penduduk dengan jumlah kasus mencapai 10 juta setiap tahunnya dan merupakan kejadian tertinggi
di ASEAN. Komplikasi utama dari apendisitis yang tidak ditangani adalah terjadinya perforasi pada
apendiks. Perforasi pada apendiks menyebabkan terjadinya peritonitis. Berdasarkan beberapa
penelitian ditemukan angka kejadian peritonitis akibat apendisitis cukup tinggi. Padahal peritonitis
memiliki banyak komplikasi yang mengancam nyawa seperti trombosis vena mesenterika,
respiratory distress syndrome, kegagalan multi-organ hingga kematian.Tujuan: Untuk mengetahui
prevalensi peritonitis pada pasien apendisitis di RSUP Haji Adam Malik Medan periode 2017.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dilakukan dengan metode cross
sectional yang dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan. Pengumpulan data dilakukan pada
data rekam medis pasien apendisitis di RSUP Haji Adam Malik Medan sejak Januari 2017-
Desember 2017. Sampel diambil secara non random sampling dengan menggunakan teknik total
sampling dengan sampel sebanyak 102 sampel penelitian. Hasil: Pada penelitian ini, Prevalensi
peritonitis pada pasien apendisitis di RSUP Haji Adam Malik periode 2017 adalah
62,8%.Peritonitis generalisata (61,8%) dan peritonitis lokalisata (1%). Laki-laki (65,6%) lebih
banyak menderita peritonitis akibat apendisitis dibandingkan perempuan (34,4%). Kelompok usia
tersering menderita peritonitis akibat apendisitis adalah kelompok usia 10-19 tahun (34,4%).
Kesimpulan: Prevalensi peritonitis pada pasien apendisitis di RSUP Haji Adam Malik Medan
periode 2017 adalah 62,8%.
xi
xii
PENDAHULUAN
Apendisitis adalah suatu inflamasi akut pada apendiks vermiformis yang sering
dikaitkan dengan obstruksi dan dapat terjadi komplikasi akibat infeksi bakteri
(Sifri & Madoff, 2015). Apendisitis disebabkan adanya obstruksi daripada lumen.
Apendiks rentan mengalami fenomena ini karena diameter lumennya yang kecil
dan berkaitan dengan panjangnya. Obstruksi pada lumen proksimal dari apendiks
memicu peningkatan tekanan di bagian distal yang disebabkan oleh sekresi mukus
secara terus menerus dan produksi gas oleh bakteri yang ada dilumen. Dengan
adanya distensi yang progresif pada apendiks, terjadi gangguan pada drainase
vena, sehingga menyebabkan iskemi pada mukosa. Adanya obstruksi yang terus
menerus, dan terjadinya iskemia menyeluruh, yang akhirnya menyebabkan
perforasi pada apendiks. Lama waktu dari obstruksi menjadi perforasi bervariasi
dan berkisar antara beberapa jam hingga beberapa hari. (Richmond, 2017).
Di Amerika Serikat kasus appendisitis meliputi 11 per 10.000 populasi per
tahun, dan angka kejadian ini tidak begitu berbeda di negara berkembang. Laki-
laki lebih berisiko terkena apendisitis dibanding wanita dengan rasio 1,4 : 1. Risiko
terjadi angka kekambuhan pada laki-laki 8,6% dan perempuan 6,7% (Sarosi,
2016). Meskipun apendisitis jarang terjadi pada bayi, namun insidensi apendisitis
terus meningkat dengan pasti selama masa kanak-kanak dan mencapai puncaknya
pada usia 15-25 tahun pada pria dan wanita (Sifri & Madoff, 2015). Di Indonesia,
angka kejadian apendisitis dilaporkan sebesar 95 per 1000 penduduk dengan
jumlah kasus mencapai 10 juta setiap tahunnya dan merupakan kejadian tertinggi
di ASEAN (Padmi, Widarsa, 2017).
Komplikasi utama pada kasus apendisitis yang tidak diobati adalah perforasi
apendiks (Sarosi, 2016). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nouri dkk di
Shahid Behesti Medical Center di Iran pada tahun 2011-2015 terhadap 526 pasien
Peritonitis adalah radang peritoneum yang disebabkan oleh iritasi kimia atau
invasi bakteri (Dorland, 2002). Berdasarkan luas infeksinya peritonitis dapat dibagi
menjadi peritonitis lokalisata dan peritonitis generalisata/ difusa (Skipworth &
Fearon, 2005). Peritonitis dikelompokkan menjadi peritonitis primer, sekunder, dan
tersier. Peritonitis sekunder adalah peritonitis yang yang terjadi akibat infeksi pada
peritoneum yang berasal dari traktus gastrointestinal yang merupakan jenis
peritonitis yang paling sering terjadi. Peritonitis sekunder umum yang bersifat akut
disebabkan oleh berbagai penyebab yaitu infeksi traktus gastrointestinal, infeksi
traktus urinarius, benda asing seperti yang berasal dari perforasi apendiks, asam
lambung dari perforasi lambung, cairan empedu dari perforasi kandung empedu
serta laserasi hepar akibat trauma (Japanesa et al., 2016).
Menurut survei World Health Organization (WHO) pada tahun 2005 jumlah
kasus peritonitis didunia adalah 5,9 juta kasus. Penelitian yang dilakukan di
Rumah Sakit Hamburg-Altona Jerman, ditemukan penyebab tersering peritonitis
adalah perforasi sebesar 73% dan 23% sisanya disebabkan pasca operasi. Terdapat
897 pasien peritonitis dari 11000 pasien yang ada. Di Inggris, angka kejadian
peritonitis selama tahun 2002-2003 sebesar 0,0036% yaitu sebanyak 4562 orang
(Japanesa et al., 2016).
Penelitian di Kota Bengal Barat India, terhadap 545 kasus peritonitis sekunder
ditemukan bahwa apendisitis dengan komplikasi perforasi merupakan penyebab
kedua tersering dari peritonitis sekunder yaiitu sebesar 18,53% dari total kasus
peritonitis (Ghosh et al., 2016). Pada penelitian yang dilakukan pada 305 pasien
yang menderita peritonitis difusa di dua rumah sakit umum di Provinsi Barat Daya
negara Kamerun, ditemukan apendisitis akut dengan komplikasi peforasi
merupakan penyebab kedua tertinggi peritonitis difusa yaitu sebesar 17,4% (53
pasien) dengan kelompok usia adalah 21-30 tahun. Ditemukan jugaangka
kematian akibat apendisitis akut dengan komplikasi perforasi yaitu sebesar 8,7%
dari seluruh pasien peritonitis difusa (Mefire, Fon, Ngowe, 2016).
Di Indonesia, ditemukan prevalensi peritonitis di RSUP Dr. M. Djamil Padang
sebesar 68,4% pada laki-laki dan angka tersebut lebih tinggi dibandingkan angka
kejadian peritonitis pada perempuan yaitu sebesar 31,6%. Kelompok usia
terbanyak yang mengalami peritonitis adalah 10-19 tahun sebesar 24,5% yang
diikuti oleh usia 20-29 tahun sebesar 23,5 %. Didapati juga bahwa peritonitis
akibat perforasi apendiks merupakan jenis peritonitis yang paling sering terjadi ,
dengan prevalensi 64,3% dari seluruh kasus peritonitis (Japanesa et al., 2016).
Pada penelitian yang dilakukan di RSUP Prof. R. D. Kandou Manado pada 605
pasien apendisitis , memperlihatkan bahwa terdapat 193 pasien (30%) apendisitis
akut dengan komplikasi perforasi yang menyebabkan peritonitis (Thomas et
al.,2016).
Berdasarkan literatur prevalensi peritonitis sekunder yang disebabkan oleh
apendisitis perforata ditemukan cukup tinggi. Selain itu, dikarenakan belum
adanya data mengenai prevalensi peritonitis pada pasien apendisitis di RSUP Haji
Adam Malik Medan, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan
judul “ Prevalensi Peritonitis pada Pasien Apendisitis di RSUP Haji Adam Malik
Medan periode 2017”.
1. Rumah Sakit
Sebagai bahan informasi bagi petugas kesehatan khususnya di RSUP Haji
Adam Malik mengenai prevalensi peritonitis pada pasien apendisitis.
2. Masyarakat
Sebagai bahan untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan pembaca
tentang peritonitis dan apendisitis.
3. Peneliti lain
Sebagai bahan acuan dan pedoman bagi peneliti lain untuk meneruskan
penelitian sejenis.
4. Penulis
Sebagai pengalaman dan penambah pengetahuan bagi penulis.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 APENDISITIS
Apendiks adalah organ midgut dan pertama kali terbentuk pada minggu ke-8
kehamilan sebagai sebuah kantong yang menonjol keluar dari caecum. Seiring
bertambahnya usia kehamilan, apendiks bertambah panjang dan menyerupai tabung
bersamaan dengan caecum berotasi kearah medial dan menetap di kuadran kanan
bawah dari abdomen. Mukosa apendiks memiliki struktur yang sama dengan
mukosa kolon seperti, mukosa apendiks dilapisi oleh epitel kolumnar, terdapat sel-
sel neuroendokrin dan sel goblet yang menghasilkan mucin yang melapisi struktur
tubularis dari apendiks. Pada submukosa apendiks dapat dijumpai jaringan limfoid,
yang mengakibatkan timbulnya beberapa hipotesis mengenai apendiks mungkin
memegang peranan dalam sistem imunitas. Sebagai tambahan, hasil penelitian
menunjukkan bahwa apendiks kemungkinan berfungsi sebagai lokasi penyimpanan
bakteri “baik” saluran pencernaan dan membantu proses rekolonisasi serta
memelihara flora normal kolon. Namun, belum ada konsensus yang menetapkan
hal ini. Belum diketahui efek samping berat yang disebabkan karena pembuangan
apendiks (Richmond, 2017).
Sebagai organ midgut, suplai darah apendiks berasal dari arteri mesenterika
superior. Arteri ileocolica, yaitu salah satu cabang utama dari arteri mesenterika
superior, bercabang menjadi arteri apendikal yang berjalan melewati
Apendisitis terjadi karena obstruksi pada lumen apendiks akibat adanya feses
yang terperangkap atau adanya fekalit. Pernyataan ini sesuai dengan kejadian
apendiks yang sering terjadi pada orang dengan diet rendah serat. Pada tahap awal
apendisitis, mukosa dari apendiks mengalami inflamasi. Inflamasi kemudian
meluas ke lapisan submukosa, muskularis dan serosa hingga peritoneum. Eksudat
fibrinopurulen menyebar mengenai bagian dari peritoneum yang berdekatan seperti
usus, atau dinding abdomen, menyebabkan terjadinya peritonitis lokalisata. Pada
tahap ini, kelenjar mukosa apendiks yang mengalami nekrotik masuk kedalam
lumen yang menyebabkan lumen semakin meregang dan dipenuhi nanah. Akhirnya
ujung dari arteri yang menyuplai darah ke apendiks mengalami trombosis,
akibatnya terjadi nekrosis atau gangrene pada apendiks. Hal ini menyebabkan
terjadinya perforasi apendiks, yang kemudian isi dari apendiks akan
mengkontaminasi peritoneum. Apabila isi dari apendiks diselubungi oleh omentum
atau usus halus, maka akan terbentuk abses lokal, jika tidak terselubung maka akan
menghasilkan peritonitis generalisata (Quick et al., 2014).
Apendisitis akut dapat terjadi akibat infeksi bakteria,. Berbagai hal berperan
sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor pencetus
disamping hiperplasia jaringan limfatik, fekalit, tumor apendiks, cacing askaris
yang dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat
menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti
E.histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan
makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis.
Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa.
Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut (Pieter, Riwanto,
Hamami., 2004).
1. Apendisitis Akut
a. Apendisitis akut dengan abses peritoneal
b. Apendisitis akut dengan peritonitis generalisata
Apendisitis akut dengan peritonitis generalisata (diffusa) setelah ruptur
atau perforasi.
c. Apendisitis akut dengan peritonitis lokalisata
Apendisitis akut dengan peritonitis lokal dengan atau tanpa ruptur atau
perforasi.
d. Apendisitis akut lainnya dan tidak dapat ditentukan.
Anamnesis yang lengkap dan pemeriksaan fisik yang cermat tetap menjadi
landasan diagnosis apendisitis akut. Nyeri akut abdomen yang menjalar ke kuadran
kanan bawah abdomen yang terjadi lebih dari beberapa jam, disertai adanya nyeri
tekan pada titik Mc Burney, menjadi tanda yang paling kuat untuk memprediksi
apendisitis akut (Sifri & Madoff, 2015). Dalam tampilan klasik apendisitis akut,
pasien mengalami gejala yang samar-samar, adanya rasa tidak nyaman pada daerah
epigastrium atau periumbilikal yang sulit untuk dilokalisasi, yang biasanya tidak
parah dan sering dikaitkan dengan gangguan lambung. Diare dapat terjadi pada
awal apendisitis, tetapi hal ini jarang terjadi. Dalam waktu 4 hingga 12 jam sejak
timbulnya rasa sakit, kebanyakan pasien merasakan mual, anoreksia, muntah, atau
beberapa kombinasi dari 3 gejala ini. Mual yang terjadi biasanya ringan sampai
sedang, dan kebanyakan pasien hanya memiliki berberapa episode muntah. Apabila
muntah adalah gejala utama, maka diagnosis apendisitis harus dipertimbangkan
ulang. Demikian juga, jika muntah terjadi sebelum timbulnya nyeri maka diagnosis
lain perlu dipikirkan. Banyak pasien mengalami demam ringan atau menggigil;
demam tinggi atau kekakuan yang signifikan jarang terjadi. Nyeri abdominal pasien
biasanya meningkat dan pergeseran letak nyeri kearah kuadran kanan bawah terjadi
dalam kurun waktu 12 sampai 24 jam, dan nyeri menjadi lebih mudah terlokalisasi.
Lokalisasi nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen adalah temuan yang penting
dan terjadi pada lebih dari 80% pasien apendisitis (Sarosi, 2016).
Pada pemeriksaan fisik, sebagian besar pasien tampak merasa sakit. Takikardia
jarang terjadi pada pasien apendisitis sederhana, tetapi dapat terjadi pada apendisitis
kompleks. Sebagian besar pasien dengan apendisitis sederhana memiliki suhu
dibawah 100,5°F ; sedangkan pasien dengan apendisitis perforata atau gangrenosa
kebanyakan memiliki suhu diatas 100,5°F. Pasien dengan apendisitis , seperti
pasien lain dengan peritonitis, cenderung berbaring diam daripada bergerak. Nyeri
tekan dan kekakuan pada kuadran kanan bawah abdomen adalah tanda yang sering
terjadi. Nyeri tekan pada kuadran kanan bawah yang terlokalisasi merupakan
temuan yang penting saat ini, tetapi ketiadaannya tidak menyingkirkan diagnosis
apendisitis. Terdapat berbagai cara untuk menentukan adanya peritonitis kuadran
kanan bawah yang terlokalisasi, termasuk adanya tanda batuk (nyeri tekan yang
terjadi saat pasien batuk), nyeri tekan saat dilakukan perkusi, dan adanya nyeri lepas
(rebound tenderness). Meskipun semua tanda ini cukup sensitif, namun terdapat
satu penelitian kecil yang menunjukan nyeri tekan lepas merupakan tanda yang
paling akurat untuk memprediksi adanya peritonitis lokalisata pada pasien
apendisitis (Sarosi, 2016).
2. Tanda Obturator
Tanda obturator diperoleh dengan membaringkan pasien kemudian
dilakukan fleksi panggul dan dilakukan rotasi internal pada panggul Nyeri
timbul akibat apendiks yang mengalami inflamasi terletak berdekatan dengan
otot obturator internus yang meregang pada saat dilakukan maneuver ini
(Sarosi, 2016).
3. Tanda Rovsing
Tanda rovsing positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan pada
kuadrann kiri bawah dan timbul nyeri pada sisi kanan (Sarosi, 2016).
4. Tanda Dunphy
Tanda dunphy positif jika timbul nyeri abdominal pada saat pasien batuk
(Rentea & Peter, 2017).
5. Tanda Blumberg
Disebut juga dengan nyeri lepas. Dilakukan palpasi pada kuadran kanan
bawah kemudian dilepas (Petroianu, 2012).
Semua tanda ini penting saat ditemukan, namun ketiadaan tanda-tanda ini tidak
menyingkirkan diagnosis apendisitis (Sarosi, 2016).
Skor Alvarado juga digunakan sebagai alat untuk mediagnosis apendisitis yang
dapat dilihat pada tabel 2.1
Karakteristik Skor
Gejala Klinis
Nyeri perut yang berpindah ke kanan bawah 1
Anoreksia 1
Mual dan atau muntah 1
Tanda Klinis
Nyeri tekan pada kuadran kanan bawah abdomen 2
Nyeri lepas 1
Demam (suhu >37,3°C) 1
Pemeriksaan Laboratoris
Leukositosis (hitung jumlah leukosit > 10.000) 2
Shift to the left (neutrofil>75%) 1
Total 10
Sumber :Kaewlai, Lertlumsakulsub, Srichaeron, 2015.
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Urinalisis
Pada pasien wanita premenopause harus dijelaskan mengenai
pentingnya tes kehamilan dengan menggunakan urin (kadar hormon β-
human chorionic gonadotropin) untuk menyingkirkan kehamilan sebagai
penyebab gejala yang dialami. Pemeriksaan urin juga dapat mengarahkan
pada diagnosis alternatif lain seperti kolik renal atau infeksi saluran kemih.
Namun, karena apendiks sering terletak di dekat saluran kemih, sekitar
40% pasien dengan apendisitis akut akan didapatkan leukosit didalam
urinnya (Baird et al., 2017).
b. Pemeriksaan darah
Tidak ada pemeriksaan darah khusus untuk apendisitis. Namun, jika
didapati adanya peningkatan pada jumlah leukosit, kadar c-reactive
protein, hitung jumlah granulosit,dan proporsi dari sel polimorfonuklear,
maka kemungkinan diagnosis apendisitis lebih besar. Jika parameter ini
normal, maka kemungkinan diagnosis apendisitis lebih kecil (Baird et al.,
2017).
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polos abdomen
Sekitar 95% pasien apendisitis menunjukkan hasil foto polos abdomen
yang abnormal. Gambaran foto polos abdomen yang mengarah pada kasus
apendisitis akut meliputi faecal loading pada caecum; fekalit pada
apendiks; gas didalam apendiks; air-fluid level atau distensi ileum
terminalis, caecum, atau colon ascendens (merupakan tanda parialisis
ileum lokal); hilangnya bayangan caecum; mengaburnya bayangan otot
psoas kanan; scoliosis vertebra lumbalis ke kanan; tampak densitas atau
kekaburan di atas sendi sacroiliaca kanan; dan adanya udara atau cairan
bebas di intraperitoneal (Petroianu, 2012). Pada apendisitis perforasi dapat
b. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG mampu menampilkan tanda atau karakteristik dari
apendisitis dengan baik. Pada pemeriksaan USG, diagnosis pasti
apendisitis dapat ditegakkan jika terlihat penebalan dinding lebih dari 7
mm pada apendiks. Terdapat beberapa tanda lain yang dapat mendukung
diagnosis apendisitis yaitu terlihat adanya shadowing appendicolith,
inflamasi pada pericecal, atau adanya kumpulan cairan pericecal yang
terlokalisasi (Sarosi, 2016).
Selama dua dekade terakhir, hasil yang didapat setelah perawatan yang tepat
untuk apendisitis akut telah meningkat secara signifikan dengan tingkat morbiditas
dan mortalitas yang rendah. Namun komplikasi dan kematian meningkat secara
signifikan pada orang tua dan wanita hamil. Angka kematian janin berkisar 0%-
1,5% pada kasus apendisitis sederhana dan 20%-35% pada kasus apendisitis
perforasi, maka dibutuhkan terapi dini dan agresif untuk pasien hamil (Vasser &
Anaya, 2012). Angka kematian pada pasien apendisitis akut non-komplikata
sebesar 0,09% dan angka terjadinya komplikasi yaitu sebesar 5,5%. Pada orang tua
angka kematian akibat apendisitis akut non-komplikata adalah 0,2% dengan angka
terjadinya komplikasi sebesar 6%. Morbiditas dan mortalitas meningkat pada
pasien dengan apendisitis komplikata terutama yang dengan perforasi. Angka
kematian pasien dengan apendisitis perforasi sebesar 1% sampai 4% dengan angka
terjadinya komplikasi sebesar 12% sampai 25%. Pada pasien yang berusia lebih tua
dari 70 tahun, yang memiliki apendisitis perforasi dan penyakit komorbid lainnya,
memiliki angka kematian yang tinggi sebesar 32% (Sarosi, 2016).
Komplikasi utama pada kasus apendisitis yang tidak diobati adalah perforasi,
yang mengakibatkan terjadinya peritonitis, abses, dan pieleoflebitis. Pasien dengan
apendisitis perforasi, isi dari apendiks yang mengalami perforasi akan terbebas
masuk kedalam rongga peritoneal yang menyebabkan timbulnya peritonitis difusa.
Abses akan terbentuk setelah perforasi jika apendiks yang mengalami perforasi
dikelilingi oleh sisa rongga peritoneum karena lokasinya yang retroperitoneal atau
dikelilingi oleh lilitan usus halus atau omentum. Komplikasi yang paling parah
yang dapat terjadi pada pasien dengan apendisitis perforasi adalah tromboflebitis
sepsis dari vena porta yang juga dikenal sebagai pieloflebitis (Sarosi, 2016).
2.2 PERITONITIS
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi atau kondisi aseptic
pada selaput organ perut (peritoneum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih
yang membungkus organ perut dan dinding perut bagian dalam. Peritonitis juga
menjadi salah satu penyebab tersering dari akut abdomen (Japanesa et al., 2016).
Peritoneum adalah sebuah membran yang dilapisi oleh selapis sel mesotelial,
diperkirakan luas arenya sekitar 1,7 m2, hampir sama dengan luas total permukaan
tubuh. Umumnya rongga peritoneal mengandung beberapa milliliter cairan
peritoneal yang steril yang berperan sebagai pertahanan lokal terhadap bakteri, dan
sebagai lubrikan.
Peritoneum dapat terbagi menjadi dua komponen yaitu peritoneum parietal dan
peritoneum visceral. Peritoneum parietal melapisi bagian anterior, lateral, dan
posterior dinding abdominal; permukaan inferior diafragma; dan juga pelvis.
Sebagian besar permukaan dari organ intraperitoneal (lambung, jejunum, ileum,
kolon transversum, hati, dan limpa) dilapisi oleh peritoneum visceral, dimana
hanya bagian anterior dari organ retroperitoneal (duodenum, kolon asendens,
kolon desendens, pankreas, ginjal, dan kelenjar adrenal) yang dilapisi oleh
peritoneum visceral.
Peritoneum berasal dari bahasa Yunani “peri” yang berarti sekitar dan “tonos”
yang berarti peregangan yang apabila digabungkan keduanya memiliki arti
membentang di sekitar. Mesothelium berasal dari mesoderm. Sel-sel mesothelial
berbentuk pipih, seperti sel skuamus dan memiliki diameter kira-kira 25 µm. Sel-
sel mesothelial terletak diatas membran basal yang tipis dan stroma jaringan ikat.
Sel-sel mesothelial dilapisi oleh mikrovili dan kadang-kdang terdapat beberapa
silia tambahan di permukaan luminal dan mereka tergabung dengan baik oleh
intercellular junctional comp lexes yang terdiri atas tight junctions, adherens
junctions, gap junctions, dan desmosome yang membentuk dan mempertahankan
barrier yang semipermeable untuk cairan, zat-zat terlarut, dan partikel (Wyers &
Matthews, 2016).
adalah apendisitis. Pada awal perjalanan penyakit pasien mengalami rasa tidak
nyaman pada daerah periumbilikal yang disebabkan adanya distensi pada lumen
apendiks, dan apabila inflamasi ini sudah melewati dinding apendiks dan
melibatkan peritoneum parietal maka akan timbul nyeri terlokalisir pada kuadran
kanan bawah abdomen (Wyers & Matthews, 2016).
Pergerakan cairan dan zat-zat terlarut diatur oleh konveksi dan difusi. Partikel-
partikel diserap dari rongga peritoneal oleh dua rute anatomis yang berbeda.
Partikel yang berukuran lebih kecil dari 2 kd akan diabsorbsi melalui pori-pori
pembuluh vena peritoneum dan diarahkan ke sirkulasi porta. Partikel dengan
ukuran lebih besar dari 3 kd diserap melalui sirkulasi limfatik peritoneum, yang
memasuki duktus torako limfatikus dan dari sana menuju ke sirkulasi sistemik. Rute
terakhir penyerapan ini memainkan peranan penting dalam mengontrol infeksi
abdominal karena memiliki kapasitas absorbs yang besar. Struktur anatomis dari
saluran-saluran besar diantara rongga peritoneal dan pembuluh-pembuluh darah
diafragma dan tekanan negatif dari toraks saat inspirasi menyebabkan mekanisme
ini sangat efektif untuk menyingkirkan bakteri dan sel-sel. Permukaan yang besar
dan semipermeable dari membran peritoneum dapat dimanfaatkan dari segi terapi
pada dialisis peritoneal (Wyers & Matthews, 2016).
respon imun seluler lokal. Gangguan proses ini oleh fibrin dan debris inflamasi
dapat menyebabkan terjadinya akumulasi cairan peritoneum dan dilusi
immunoglobulin dan opsonin. Hal ini sangat relevan dengan patofisiologis
peritonitis pada anak-anak dengan asites yang sudah ada sebelumnya, dimana
dijumpai konsentrasi immunoreaktif ini lebih rendah daripada yang terlihat pada
anak yang sehat.
Peritonitis primer pada anak, kini sudah jarang ditemukan, disebabkan oleh
infeksi bakteri Escherichia coli. Peritonitis primer yang terjadi pada perempuan
diakibatkan oleh mikroorganisme yang dipercaya berasal dari saluran genital.
Peritonitis primer biasanya disebabkan oleh monomikrobial dengan Streptococcus
pneumoniae sebagai penyebab tersering dan biasanya tidak memerlukan tindakan
operatif (Cavallaro et al., 2008; Rangel et al., 2012).
Menurut survei World Health Organization (WHO) pada tahun 2005 jumlah
kasus peritonitis didunia adalah 5,9 juta kasus (Japanesa et al., 2016). Peritonitis
primer biasanya terjadi pada pasien sirosis dan asites. Diperkirakan sekitar 10%-
30% pasien sirosis dan asites mengalami peritonitis primer
(Levison,Bush,2015).Penelitian di Kota Bengal Barat India, terhadap 545 kasus
peritonitis sekunder ditemukan penyebab peritonitis sekunder terbanyak adalah
perforasi gastroduodenal sebesar 48,44% yang diikuti oleh perforasi apendiks
sebesar 18,53% dan perforasi traumatik sebesar 13,57% (Ghosh, et al.,2016). Di
Indonesia, prevalensi peritonitis di RSUP Dr. M. Djamil Padang sebesar 68,4%
pada laki-laki dan angka tersebut lebih tinggi dibandingkan angka kejadian
peritonitis pada perempuan sebesar 31,6%. Kelompok usia terbanyak yang
mengalami peritonitis adalah 10-19 tahun sebesar 24,5%. Peritonitis sekunder
umum akibat perforasi apendiks merupakan jenis peritonitis yang paling sering
terjadi yaitu sebesar 53,1% (Japanesa et al., 2016).
1. Peritonitis primer
Peritonitis primer, sering juga disebut sebagai spontaneous bacterial
peritonitis, kemungkinan tidak memiliki penyebab khusus tetapi digambarkan
sebagai kelompok penyakit yang memilikin penyebab berbeda-beda tetapi
merupakan infeksi pada rongga peritoneal tanpa ada sumber yang
jelas(Levison & Bush,2015).Peritonitis primer kebanyakan terjadi pada pasien
sirosis dan asites. (Wyers & Matthews, 2016).
2. Peritonitis sekunder
Peritonitis sekunder, yang juga disebut sebagai surgical peritonitis,
merupakan jenis peritonitis yang paling sering terjadi. Peritonitis sekunder
disebabkan oleh infeksi pada peritoneum yang berasal dari traktus
gastrointestinal (Japanesa et al., 2016). Peritonitis sekunder terjadi akibat
adanya proses inflamasi pada rongga peritoneal yang bias disebabkan oleh
inflamasi, perforasi, ataupun gangrene dari struktur intraabdominal dan
retroperitoneal. Perforasi akibat ulkus peptikum, apendisitis, diverticulitis,
kolesistitis akut, pankreatitis dan komplikasi pasca operasi merupakan
beberapa penyebab tersering dari peritonitis sekunder. Penyebab non-bakterial
lainnya termasuk bocornya darah ke dalam rongga peritoneal akibat robekan
pada kehamilan di tuba fallopi, kista ovarian, atau aneurisma (Wyers &
Matthews, 2016).
3. Peritonitis tersier
Peritonitis tersier telah dikonseptualisakan sebagai tahap lanjutan dari
peritonitis, ketika gejala klinis peritonitis dan tanda-tanda sistemik sepsis
menetap setelah mendapat pengobatan untuk peritonitis primer atau sekunder
(Levison & Bush, 2015).Peritonitis tersier disebabkan iritan langsung yang
sering terjadi pada pasien immunocompromised dan orang-orang dengan
kondisi komorbid (Japanesa et al., 2016).
meriang, menggigil, rasa haus, jarang berkemih, sulit untuk buang air besar dan
flatus sertanya adanya distensi abdomen (Pinto & Romano., 2013; Levison & Bush,
2015).
Nyeri tekan baik baik superfisial maupun nyeri tekan dalam adalah tanda yang
paling khas pada peritonitis. Nyeri ini biasanya terasa paling sakit pada daerah
organ penyebabnya.Kekakuan pada otot dinding abdomen disebabkan oleh reflex
spasme otot dan proses sadar tubuh untuk mengurangi nyeri. Suara hipersonor yang
disebabkan distensi usus akibat adanya udara sering terdengar pada pemeriksaan
perkusi.Pneumoperitoneum akibat rupturnya organ berongga bisa menyebabkan
penurunan suara beda pada hati. Bising usus melemah dan akhirnya menghilang.
Pada pemeriksaan rektal dan vaginal dapat dijumpai nyeri tekan dan adanya abses
yang mengindikasikan penyebab utamanya adalah organ-organ pada pelvis wanita
(Pinto & Romano, 2013; Levison & Bush, 2015).
1. Pemeriksaan laboratorium
Pasien mengalami peningkatan jumlah leukosit hingga lebih dari 11.000
sel/ml. Keadaan leukopenia mengindikasikan adanya sepsis generalisata dan
biasanya memiliki prognosis yang buruk. Analisis darah biasanya normal
tetapi pada kasus yang berat dapat ditemukan peningkatan kadar blood urea
nitrogen (BUN) dan hipernatremia yang mengindikasikan keadaan dehidrasi
berat. Selain itu dapat juga ditemukan asidosis metabolik. Pemeriksaan
2. Pemeriksaan Radiologis
Wyers dan Matthews (2016) memaparkan jenis-jenis pemeriksaan
radiologis untuk peritonitis, yaitu :
a. Foto polos toraks
Dapat ditemukan udara bebas pada foto toraks pada posisi tegak
maupun foto abdomen pada posisi decubitus, tetapi adanya
pneumoperitoneum pada pemeriksaan rediologis memiliki tingkat
sensitivitas yang rendah dalam mengindikasikan adanya perforasi usus.
Tidak ditemukannya udara bebas tidak seharusnya menunda dilakukannya
tindakan operasi (Wyers & Matthews, 2016).
b. Ultrasonography (USG)
Pemeriksaan USG dapat menggambarkan adanya abses, dilatasi
saluran empedu, dan adanya penumpukan cairan (Wyers & Matthews,
2016).
e. Laparoskopi
Pemeriksaan laparoskopi sangatlah akurat dalam menentukan
diagnosis peritonitis sekunder dan banyak penyakit penyebabnya yang
dapat ditangani dengan laparoskopi sehingga tidak perlu dilakukan
laparotomi (Pinto & Romano, 2013).
1. Terapi antibiotik
Terapi antibiotik perlu diberikan sebelum, sesaat dan sesudah terapi
pembedahan. Jenis bakteri yang menyebabkan peritonitis sekunder tergantung
pada flora normal dari organ mengalami perforasi atau ruptur. Berbagai jenis
antibiotik dianjurkan dapat digunakan tunggal maupun kombinasi : sefalosporin
generasi kedua, sefalosporin generasi ketiga, betalaktam dengan spektrum luas,
fluorokuinolon dengan metronidazol, serta aminoglikosida dengan klindamisin
atau metronidazol (Wyers & Matthews, 2016).
2. Bedah
Tatalaksana bedah sebaiknya dilakukan segera setelah pasien distabilisasi,
diresusitasi, dan diberikan antibiotik. Tatalaksana bedah digunakan untuk
membuang organ sumber infeksi, memperbaiki lesi perforasi, bowel resection
serta memperbaiki—jika memungkinkan—pecahnya anastomosis, peritoneal
lavage, dan lain-lain. Laparatomi menjadi gold standard untuk diagnosis pasti
dan menjadi pedoman utama dalam tatalaksana bedah (Cavallaro et al.,2008;
Wyers & Matthews, 2016)
Klasifikasi Komplikasi
Pieloflebitis
Apendisitis lainnya
Abses
Apendisitis akut
Perforasi
Apendisitis akut
dengan peritonitis
lokalisata Peritonitis
Sekunder
Apendisitis akut
dengan peritonitis
generalisata
Apendisitis akut
dengan abses
Peritonitis Peritonitis
peritoneal
Primer Tersier
Apendisitis akut
lainnya dan tidak Klasifikasi
dapat ditentukan
Peritonitis
: yang diteliti
Gejala klinis
Lama rawatan
Sepsis
Kondisi keluar
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan desain cross sectional. Data yang
akan digunakan merupakan data sekunder yang diambil dari rekam medis.Pada
penelitian ini ingin diketahui prevalensi peritonitis pada pasien apendisitis di RSUP
Haji Adam Malik periode 2015-2017.
Penelitian ini telah dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik.
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik dipilih sebagai lokasi penelitian
karena merupakan rumah sakit pusat dan rumah sakit rujukan di Provinsi Sumatra
Utara. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2018 sampai Desember 2018.
Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien apendisitis di RSUP Haji Adam
Malik Medan pada tahun 2017 dan memiliki karakteristik sesuai dengan kriteria
inklusi dan eksklusi sebagai berikut :
a. Kriteria Inklusi
Seluruh pasien yang didiagnosis apendisitis di RSUP Haji Adam Malik dari
bulan Januari 2017 sampai Desember 2017.
b. Kriteria eksklusi
Data rekam medik yang tidak lengkap.
32
Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh pasien
apendisitis di RSUP Haji Adam Malik Medan yang ada pada tahun 2017. Sampel
pada penelitian ini diambil secara non random sampling dengan menggunakan
teknik total sampling, dimana seluruh populasi penelitian diikutsertakan menjadi
sampel penelitian. Selain itu, sampel yang akan diambil harus memenuhi kriteria
inklusi serta tidak termasuk dalam kriteria eksklusi selama penelitian berlangsung.
Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
Operasional
Gejala Klinis Gejala yang diderita Observasional Rekam Nyeri perut Nominal
oleh pasien Medis kanan bawah,
apendisitis dengan Mual atau
peritonitis muntah,
Penurunan
nafsu makan,
Peningkatan
suhu, Diare,
Leukositosis
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP Haji
Adam Malik) Kota Medan Provinsi Sumatera Utara yang berlokasi di Jalan Bunga
Lau no. 17, Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan Medan Tuntungan,
Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara. RSUP Haji Adam Malik merupakan
rumah sakit pemerintah kelas A, sesuai dengan SK Menteri Kesehatan RI No.
335/Menkes/SK/VIII/1990, dan telah memiliki fasilitas kesehatan yang memenuhi
standar dan tenaga kesehatan yang kompeten. RSUP Haji Adam Malik merupakan
rumah sakit rujukan utama untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Provinsi
Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, dan Riau, sehingga dapat dijumpai pasien
dengan latar belakang yang bervariasi. Pada tanggal 6 September 1991 RSUP Haji
Adam Malik ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan berdasarkan SK Menteri
Kesehatan RI No. 502/Menkes/IX/1991. Pada tanggal 11 Januari 1993 pusat
pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara secara resmi
dipindahkan ke RSUP Haji Adam Malik.
36
Data penelitian ini merupakan data sekunder, yaitu data rekam medis pasien
apendisitis di RSUP Haji Adam Malik tahun 2017. Dari 132 pasien apendisitis di
RSUP Haji Adam Malik tahun 2017 terdapat 102 sampel yang memenuhi kriteria
inklusi. Berdasarkan data sampel, karakteristik yang diperoleh adalah sebagai
berikut:
Jumlah Persentase
N=102 (%)
Jenis Kelamin Laki-laki 62 60,8
Perempuan 40 39,2
Usia 0-9 tahun 11 10,8
10-19 tahun 31 30,4
20-29 tahun 27 26,5
30-39 tahun 12 11,7
40-49 tahun 14 13,7
50-59 tahun 7 6,9
Tingkat Pendidikan Tidak sekolah 7 6,9
SD 20 19,6
SMP 16 15,7
SMA 55 53,9
Perguruan Tinggi 4 3,9
Pekerjaan Ibu Rumah Tangga 7 6,9
Pegawai 8 7,8
Pelajar 45 44,1
Petani 8 7,8
Tidak bekerja 11 10,8
Wiraswasta 23 22,6
37
38
Berdasarkan tabel 4.1 dapat dilihat bahwa dari 102 sampel penelitian, terdapat
62 sampel penelitian (60,8%) berjenis kelamin laki-laki dan 40 sampel penelitian
(39,2%) berjenis kelamin perempuan.
Berdasarkan gejala klinis yang dialami sampel, nyeri perut kuadran kanan
bawah merupakan gejala klinis yang paling banyak dialami sampel yaitu berjumlah
102 sampel (100%) . Gejala klinis yang paling sedikit dialami sampel adalah diare
yaitu berjumlah 7 sampel (6,9%).
Berdasarkan diagnosis dapat dilihat dari 102 buah sampel penelitian, diagnosis
yang paling banyak adalah apendisitis akut dengan peritonitis generalisata yaitu
berjumlah 63 sampel (61,8%) dan diagnosis yang paling sedikit adalah apendisitis
akut dengan peritonitis lokalisata yaitu berjumlah 1 sampel (1%).
39
kemih, 1 sampel (1%) dengan maag, 1 sampel (1%) dengan HIV dan TBC, dan 1
sampel (1%) dengan HIV dan TB kelenjar.
Berdasarkan lama rawatan, sampel dengan lama rawatan 4-7 hari merupakan
kelompok yang paling banyak yaitu berjumlah 60 sampel (58,8%) dan sampel
dengan lama rawatan >14 hari merupakan kelompok yang paling sedikit yaitu
berjumlah 9 sampel (8,9%).
40
No Diagnosis N %
1 Apendisitis akut dengan peritonitis 63 61,8
generalisata
2 Apendisitis akut dengan peritonitis lokalisata 1 1
3 Apendisitis akut, tidak terspesifikasi 31 30,3
4 Apendisitis lain 7 6,9
Total 102 100
Dari tabel 4.2 dapat dilihat bahwa dari 102 buah sampel penelitian, 63 sampel
(62,8%) didiagnosis apendisitis akut dengan peritonitis generalisata. Jumlah sampel
yang didiagnosis menderita apendisitis akut dengan peritonitis lokalisata adalah 1
sampel (1%). Terdapat 31 sampel (30,3%) yang didiagnosis menderita apendisitis
akut tidak terspesifikasi, dan 7 sampel (6,9%) yang didiagnosis menderita
apendisitis lain. Pada penelitian ini ditemukan diagnosis yang terbanyak adalah
apendisitis akut dengan peritonitis yaitu sebesar 64 sampel (62,8%) . Jumlah ini
dua kali lebih besar dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan di RSUP Prof.
R. D. Kandou Manado pada 605 sampel apendisitis yang memperlihatkan bahwa
jumlah apendisitis akut dengan komplikasi perforasi yang menyebabkan peritonitis
yaitu sebesar 193 sampel (30%) (Thomas et al.,2016). Sama halnya dengan
penelitian yang dilakukan di RSUD Sanjiwani Gianyar terhadap 96 sampel
ditemukan jumlah apendisitis akut dengan komplikasi perforasi yang menyebabkan
peritonitis yaitu sebesar 23 sampel (24%) (Padmi, Widarsa, 2017). Terdapat
beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko perforasi pada apendiks seperti
terlambatnya didiagnosis, usia pasien terlalu muda atau tua (<2 tahun atau >70
41
tahun), dan pasien dengan perforasi sering memiliki tampilan yang atipikal
sehingga memperpanjang waktu diagnostik (Sarosi, 2016).
Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap 102 sampel apendisitis di RSUP
Haji Adam Malik didapatkan prevalensi peritonitis pada apendisitis sebagai berikut:
= (63+1) X 100%
102
= 62,8%
Tabel 4.3 Distribusi frekuensi peritonitis pada apendisitis berdasarkan jenis kelamin
Diagnosis
Apendisitis akut Apendisitis akut
Jenis Total
No dengan peritonitis dengan peritonitis
kelamin
generalisata lokalisata
N % N % N %
1 Laki-laki 41 64 1 1,6 42 65,6
2 Perempuan 22 34,4 0 0 22 34,4
Total 63 98,4 1 1,6 64 100
Dari tabel 4.3 dapat dilihat bahwa dari 64 buah sampel penelitian, pada sampel
yang didiagnosis apendisitis akut dengan peritonitis generalisata terdapat 41 sampel
(64%) berjenis kelamin laki-laki dan 22 sampel (34,4%) berjenis kelamin
perempuan. Sedangkan pada apendisitis akut dengan peritonitis lokalisata dijumpai
1 sampel (1,6%) berjenis kelamin laki-laki. Pada penelitian ini ditemukan bahwa
jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki sebesar 42 sampel (65,6%). Perbandingan
42
antara laki-laki dan perempuan adalah 1,75:1. Hasil penelitian ini sesuai dengan
teori yang mengatakan bahwa laki-laki lebih berisiko terkena apendisitis
dibandingkan dengan perempuan dengan rasio 1:1 sampai 3:1(Petroianu,2012).
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Sahid Behesti
Medical Center Iran pada 128 sampel apendisitis perforasi ditemukan 94 sampel
(73,4%) berjenis kelamin laki-laki dan 34 sampel (26,6%) berjenis kelamin
perempuan (Nouri et al., 2017). Temuan dalam penelitian ini selaras dengan
penelitian di RSUP Prof. R. D. Kandou Manado pada 605 sampel ditemukan 363
sampel (56%) berjenis kelamin laki-laki dan 287 (44%) berjenis kelamin
perempuan (Thomas et al.,2016). Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan
di RSUP Dr. M. Djamil Padang pada 98 sampel peritonitis dimana dijumpai 67
sampel (68,4%) berjenis kelamin laki-laki dan 31 sampel (31,6%) berjenis kelamin
perempuan (Japanesa et al., 2016).
Diagnosis
Apendisitis akut Apendisitis akut
Total
No Usia dengan peritonitis dengan peritonitis
generalisata lokalisata
N % N % N %
1 0-9 tahun 9 14 0 0 9 14
2 10-19 tahun 21 32,8 1 1,6 22 34,4
3 20-29 tahun 16 25 0 0 16 25
4 30-39 tahun 4 6,3 0 0 4 6,3
5 40-49 tahun 7 10,9 0 0 7 10,9
6 50-59 tahun 6 9,4 0 0 6 9,4
Total 63 98,4 1 1,6 64 100
43
Dari tabel 4.4 dapat dilihat bahwa dari 64 buah sampel penelitian, pada sampel
dengan diagnosis apendisitis akut dengan peritonitis generalisata, kelompok usia
terbanyak adalah 10-19 tahun yaitu 21 sampel (32,8%). Peringkat kedua adalah
kelompok usia 20-29 tahun yaitu 16 sampel (25%), kemudian diikuti oleh
kelompok usia 0-9 tahun yaitu 9 sampel (14%), 40-49 tahun yaitu 7 sampel (10,9%),
50-59 tahun yaitu 6 sampel (9,4%) dan 30-39 tahun yaitu 4 sampel (6,3%). Pada
sampel apendisitis akut dengan peritonitis lokalisata hanya dijumpai 1 sampel
(1,6%) pada kelompok usia 10-19 tahun. Maka didapatkan kelompok usia
terbanyak adalah 10-19 tahun yaitu berjumlah 22 sampel (34,4%) yang terdiri dari
21 sampel (32,8%) apendisitis akut dengan peritonitis generalisata dan 1 sampel
(1,6%) apendisitis akut dengan peritonitis lokalisata. Sedangkan kelompok usia
yang paling sedikit adalah 30-39 tahun yaitu 4 sampel (6,3%). Hasil ini sesuai
dengan literatur yang mengatakan bahwa apendisitis umumnya paling sering terjadi
pada kelompok usia 10-19 tahun (Jacobs, 2012). Hasil ini juga selaras dengan
penelitian yang dilakukan di RSUP Prof. R. D. Kandou Manado pada 193 sampel
apendisitis perforasi dijumpai kelompok usia terbanyak adalah 10-19 tahun yaitu
69 sampel (35,7%) dan kelompok usia yang paling sedikit adalah 40-49 tahun dan
50-59 tahun dengan jumlah sampel masing-masing 15 sampel (7,8%) (Thomas et
al.,2016). Penelitian ini juga tidak jauh berbeda dengan penelitian di RSUP Dr. M.
Djamil Padang pada 98 sampel peritonitis dimana dijumpai kelompok usia yang
paling banyak adalah 10-19 tahun yaitu 24 sampel (24,5%) dan kelompok usia yang
paling sedikit adalah kelompok usia ≥ 80 tahun yaitu 1 sampel (1%) (Japanesa et
al., 2016). Temuan ini sesuai dengan teori bahwa apendisitis dapat terjadi pada
semua usia namun jarang terjadi pada usia yang ekstrem (Petroianu,2012).
44
Tabel 4.5 Distribusi frekuensi peritonitis pada apendisitis berdasarkan gejala klinis
Diagnosis
Apendisitis akut Apendisitis akut Total
No Gejala Klinis dengan peritonitis dengan peritonitis (%)
generalisata lokalisata
Ya(%) Tidak(%) Ya(%) Tidak(%)
1 Nyeri perut kanan bawah 63(98,4) 0(0) 1(1,6) 0(0) 64(100)
2 Mual atau Muntah 41(64) 22(34,4) 1(1,6) 0(0) 64(100)
3 Penurunan nafsu makan 23(35,9) 40(62,5) 1(1,6) 0(0) 64(100)
4 Peningkatan suhu (≥37,3 oC) 19(29,7) 44(68,7) 1(1,6) 0(0) 64(100)
5 Diare 6(9,4) 57(89) 0(0) 1(1,6) 64(100)
6 Leukositosis (>10000) 59(92,2) 4(6,2) 1(1,6) 0(0) 64(100)
Dari tabel 4.5 dapat dilihat bahwa dari 64 buah sampel penelitian, pada sampel
dengan diagnosis apendisitis akut dengan peritonitis generalisata didapatkan 63
sampel (98,4%) mengalami nyeri perut kanan bawah, 41 sampel (64%) mengalami
mual atau muntah, 23 sampel (35,9%) mengalami penurunan nafsu makan, 19
sampel (29,7%) mengalami demam, 6 sampel (9,4%) mengalami diare, dan 59
sampel (92,2%) mengalami leukositosis. Sedangkan pada sampel dengan diagnosis
apendisitis akut dengan peritonitis lokalisata, 1 sampel mengalami semua gejala
klinis diatas kecuali diare.
Maka didapatkan gejala klinis yang paling banyak dialami pada sampel adalah
nyeri perut kuadran kanan bawah yaitu sebesar 64 sampel (100%) . Hal ini sesuai
dengan teori bahwa nyeri akut abdomen yang menjalar ke kuadran kanan bawah
abdomen yang terjadi lebih dari beberapa jam, disertai adanya nyeri tekan pada titik
Mc Burney, menjadi tanda yang paling kuat untuk memprediksi apendisitis akut
(Siftri & Madoff,2015). Gejala klinis yang paling sedikit dialami sampel adalah
diare yaitu berjumlah 6 sampel (9,4%). Hal ini sesuai dengan teori bahwa diare
dapat terjadi pada awal apendisitis, tetapi hal ini jarang terjadi (Sarosi, 2016).
45
Tabel 4.6 Distribusi frekuensi peritonitis pada apendisitis berdasarkan lama rawatan
Diagnosis
Apendisitis akut Apendisitis akut
Lama Total
No dengan peritonitis dengan peritonitis
rawatan
generalisata lokalisata
N % N % N %
1 ≤ 3 hari 11 17,2 0 0 11 17,2
2 4-7 hari 35 54,7 0 0 35 54,7
3 8-14 hari 9 14 1 1,6 10 15,6
4 >14 hari 8 12,5 0 0 8 12,5
Total 63 98,4 1 1,6 64 100
Dari tabel 4.6 dapat dilihat bahwa dari 64 buah sampel penelitian, pada sampel
dengan diagnosis apendisitis akut dengan peritonitis generalisata terdapat 11
sampel (17,2%) dengan lama rawatan ≤ 3 hari, 35 sampel (54,7%) dengan lama
rawatan 4-7 hari, 9 sampel (14%) dengan lama rawatan 8-14 hari, dan 8 sampel
(12,5%) dengan lama rawatan >14 hari. Sedangkan pada sampel dengan diagnosis
apendisitis akut pada peritonitis lokalisata terdapat 1 sampel (1,6%) dengan lama
rawatan 8-14 hari. Maka didapatkan lama rawatan yang paling banyak pada sampel
adalah 4-7 hari yaitu sebesar 35 sampel (54,7%). Temuan penelitian ini selaras
dengan penelitian yang dilakukan di RSUP Dr. M. Djamil Padang pada 98 sampel
peritonitis dimana dijumpai lama rawatan terbanyak adalah 4-7 hari sebanyak 45
sampel (45,9%), diikuti oleh 28 sampel (28,6%) dengan lama rawatan 8-14 hari, 17
sampel (17,3%) dengan lama rawatan ≤ 3 hari, 4 sampel (4,1%) dengan lama
rawatan >14 hari, dan 4 sampel (4,1%) dengan lama rawatan yang tidak disebutkan
(Japanesa et al., 2016). Diagnosis dini, perawatan suportif yang intensif, pemberian
antimikroba pada waktu yang tepat dan tindakan operasi yang cepat untuk
mengontrol sumber infeksi memainkan peranan penting dalam menentukan
prognosis pasien (Cavallaro et al.,2008).
46
Tabel 4.7 Distribusi frekuensi peritonitis pada apendisitis berdasarkan kejadian sepsis
Diagnosis
Apendisitis akut Apendisitis akut
Total
No Sepsis dengan peritonitis dengan peritonitis
generalisata lokalisata
N % N % N %
1 Ya 7 10,9 1 1,6 8 12,5
2 Tidak 56 87,5 0 0 56 87,5
Total 63 98,4 1 1,6 64 100
Dari tabel 4.7 dapat dilihat bahwa dari 64 buah sampel penelitian, pada sampel
dengan diagnosis apendisitis akut dengan peritonitis generalisata terdapat 7 sampel
(10,9%) yang mengalami sepsis yang merupakan komplikasi dari peritonitis , dan
56 sampel (87,5%) tidak mengalami sepsis. Pada apendisitis akut dengan peritonitis
lokalisata terdapat 1 sampel (1,6%) yang mengalami sepsis. Maka terdapat 8 sampel
(12,5%) yang mengalami sepsis dari total sampel. Hasil penelitian ini lebih besar
daripada penelitian yang dilakukan di dua rumah sakit di Kamerun yaitu rumah
sakit Limbe dan Buea pada 53 sampel peritonitis generalisata akibat apendisitis
dijumpai 2 sampel (3,8%) yang mengalami sepsis (Mefire et al.,2016). Temuan
penelitian ini didapati tiga kali lebih besar daripada penelitian yang dilakukan di
RSUP Dr. M. Djamil Padang pada 98 sampel peritonitis dimana dijumpai 4 sampel
(4,1%) yang mengalami sepsis dan 94 sampel (95,9%) yang tidak mengalami sepsis
(Japanesa et al., 2016). Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya keterlambatan
diagnosis dan pemberian terapi serta adanya kondisi komorbid dan faktor risko lain
yang memperburuk keadaan pasien sehingga risiko untuk terjadinya sepsis menjadi
lebih besar.
47
Tabel 4.8 Distribusi frekuensi peritonitis pada apendisitis berdasarkan kondisi keluar
Diagnosis
Apendisitis akut Apendisitis akut
Kondisi Total
No dengan peritonitis dengan peritonitis
Keluar
generalisata lokalisata
N % N % N %
1 Hidup 57 89 1 1,6 58 90,6
2 Meninggal 6 9,4 0 0 6 9,4
Total 63 98,4 1 1,6 64 100
Dari tabel 4.8 dapat dilihat bahwa dari 64 buah sampel penelitian, pada
sampel dengan diagnosis apendisitis akut dengan peritonitis generalisata terdapat
57 sampel (89%) dengan kondisi keluar dalam keadaan hidup dan 6 sampel (9,4%)
dalam keadaan meninggal. Pada sampel dengan diagnosis apendisitis akut dengan
peritonitis lokalisata terdapat 1 sampel (1,6%) dengan kondisi keluar dalam
keadaan hidup. Hasil penelitian didapatkan angka kematian pada apendisitis dengan
peritonitis adalah 9,4%. Angka ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang
dilakukan di RSUP Dr. M. Djamil Padang pada 98 sampel peritonitis dimana
didapatkan angka kematian peritonitis adalah 10,2% (10 sampel) (Japanesa et al.,
2016). Menurut kepustakaan, pada pasien tanpa penyakit komorbid dan menderita
peritonitis lokalisata, angka kematiannya dibawah 10%. Angka kematian ini
meningkat menjadi >40% pada pasien lansia atau pasien immunocompromised.
Keberhasilan pengobatan tergantung pada beberapa hal yaitu koreksi abnormalitas
elektrolit, restorasi volume cairan dan stabilisasi sistem kardiovaskular, terapi
antibiotik yang sesuai dan koreksi bedah untuk setiap kelainan yang mendasarinya
(Jacobs, 2012).
48
5.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dari data yang diperoleh, adapun kesimpulan yang
dapat diambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
5.2 SARAN
Pada penelitian ini dari 132 data rekam medis yang tercatat ternyata hanya
102 data rekam medis yang benar dan sesuai dengan kriteria inklusi. Oleh
sebab itu, kepada pihak rumah sakit diharapkan dapat meningkatkan sistem
pencatatan yang lebih baik dan lengkap agar pembaca dapat memahami
dengan benar dan untuk mencegah terjadinya ketidakselarasan antara data
rekam medis dengan jumlah pasien yang terdaftar di rumah sakit.
2. Peneliti selanjutnya
49
DAFTAR PUSTAKA
Baird, D. L. H., Simillis, C., Kontovounisios, C., et al. 2017, ‘Acute Appendicitis’,
British Medical Journal, vol. 1703, p.1.
Cavallaro, A., Catania, V., Cavallaro, M., et al. 2008, ‘Management of Secondary
Peritonitis: Our Experience’, Annali Italiani di Chirurgia, vol. 79, no. 4,
pp.255-257.
Dani, Dr. T., Ramachandra, Prof. L., Nair, Dr. Rajesh., & Sharma, Dr. D. 2015,
‘Evaluation of Prognosis in Patients with Perforation Peritonitis Using
Mannheim’s Peritonitis Index’, International Journal of Scientific and
Research Publications, vol. 5, no. 5, p. 6.
Doklestitc, S. K., Bajec, D. D., Djukic, R. V., et al. 2014, ‘Secondary Peritonitis-
Evaluation of 204 Cases and Literature Review’, Journal of Medicine and
Life, vol. 7, no. 2, p. 132.
Dorland, W. A Newman. 2002, Kamus Kedokteran Dorland 29th edn, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Espejo, O. de J. A., Mejia, M. E., & Guerrero, L. H. U. 2014, ‘Acute Appendicitis:
Imaging Findings and Current Approach to Diagnostic Images’, Rev
Colombia Radiology, vol. 25, no. 3, p.3882.
Ghosh, P.S., Mukherjee, R., Sarkar, S., Halder, S.K., Dhar, D. 2016, ‘Epidemiology
of Secondary Peritonitis: Analysis of 545 Cases’, International Journal of
Scientific Study, vol. 3, no. 12, pp. 83-87.
Inci, E., Hocaoglu, E., Aydin, S., et al. 2011, ‘Efficiency of Unenhanced MRI in
the Diagnnosis of Acute Appendicitis: Comparison with Alvarado Scoring
System and Histopathological Results’, European Journal of Radiology,
vol. 80, no. 2, p.253.
Jacobs, D. O.2015, ‘Acute Appendicitis and Peritonitis’ in Harrison’s Principles of
Internal Medicine, 19thedn, eds. D. L. Kasper, S. L. Hauser, J. L. Jameson,
A. S. Fauci, D. L. Longo, J. Loscalzo, McGraw-Hill Education, Inc., United
States of America, p.1985
Japanesa, A., Zahari, A., & Rusjdi, S. R.2016, ‘Pola Kasus dan Penatalaksanaan
Peritonitis Akut di Bangsal Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang’, Jurnal
Kesehatan Andalas, vol. 5, no. 1, pp.209-213.
Kaewlai, R., Lertlumsakulsub, W., & Srichareon, P. 2015, ‘Body Mass Index, Pain
Score and Alvarado Score are Useful Predictors of Appendix Visualization
at Ultrasound in Adults’, Ultrasound in Medicine & Biology, vol. 41, no. 6,
p.1607.
50
51
Sifri, C.D., & Madoff, L.C. 2015, ‘Appendicitis’ in Mandell, Douglas, and
Bennett’s Principles and Practice of Infectious Disease, 8thedn, eds. J. E.
Bennett, R. Dolin & M. J. Blaser, Elsevier, Inc., Philadelphia, pp. 982-984.
Skipworth, R. J. E., & Fearon, K. C. H. 2005, ‘Acute abdomen : peritonitis’,
Surgery (Oxford), vol. 23, no. 6, p.98.
Thomas,G., Lahunduitan, I.,Tangkilisan, A.2016, ‘Angka Kejadian Apendisitis di
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Oktober 2012-September
2015’, Jurnal e-Clinic, vol. 4, no. 1, p.231-236.
Vasser, H. M., & Anaya, D. A. 2012, ‘Acute Appendicitis’in Netter’s Infectious
Diseases, eds. E. C. Jong, D. L. Stevens, Elsevier, Inc., Philadelphia, p. 243.
Widjaja, S. 2006, ‘Saluran Pencernaan’ in Kumpulan Kuliah Patologi FKUI, ed. S.
Himawan, Balai Penerbitan FKUI, Jakarta, pp.216-218.
Wyers, S. G.,& Matthews, J. B. 2016, ‘Surgical Peritonitis and Other Diseases of
the Peritoneum, Mesentery, Omentum, and Diaphragm’in Sleisenger and
Fordtran’s Gastrointestinal and Liver Disease, 10th edn, eds. M. Feldman,
L.S. Friedman & L.J. Brandt, Saunders, United States of America, pp. 636-
641.
52
CURRICULUM VITAE
Riwayat Pelatihan :
1. Pelatihan Manajemen Mahasiswa Baru (MMB) FK USU Tahun 2015
Riwayat Organisasi :
1. Anggota DANUS SCORA PEMA FK USU 2016
2. Kepala Divisi DANUS SCORA PEMA FK USU 2017
53
Riwayat Kepanitiaan :
1. Anggota Seksi Acara SRF FK USU 2016
2. Koordinator Acara Senjun Mahasiswa Kristen FK USU 2016
3. Anggota Seksi Danus Pengabdian Masyarakat SCORA PEMA FK USU
2016
4. Anggota LO SRF FK USU 2017
5. Wakil Koordinator LO Indonesia International Medical Olympiad 2017
6. Anggota Seksi Konsumsi Perayaan Paskah FK USU 2017
7. Anggota Seksi Acara Perayaan Natal FK USU 2017
54
PERNYATAAN
Prevalensi Peritonitis pada Pasien Apendisitis di RSUP Haji
Adam Malik Medan Periode 2017
Dengan ini penulis menyatakan bahwa skripsi ini disusun sebagai syarat
untuk memperoleh Sarjana Kedokteran pada Program Studi Pendidikan Dokter
pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan
hasil karya penulis sendiri.
Adapun pengutipan yang penulis lakukan terutama pada bagian tertentu dari
hasil karya orang lain dalam penulisan skripsi ini, telah penulis cantumkan
sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penelitian ilmiah.
Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian skripsi
ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian tertentu,
penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis
sandang dan sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
55
56
57
58
Jenis Kelamin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Laki-laki 62 60.8 60.8 60.8
Perempuan 40 39.2 39.2 39.2
Total 102 100.0 100.0
Usia
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 0-9 11 10.8 10.8 10.8
10-19 31 30.4 30.4 41.2
20-29 27 26.5 26.5 67.6
30-39 12 11.8 11.8 79.4
40-49 14 13.7 13.7 93.1
50-59 7 6.9 6.9 100.0
Total 102 100.0 100.0
Pendidikan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak sekolah 7 6.9 6.9 6.9
SD 20 19.6 19.6 26.5
SMP 16 15.7 15.7 42.2
SMA 55 53.9 53.9 96.1
S1 4 3.9 3.9 100.0
Total 102 100.0 100.0
59
Nyeriperutkuadrankananbawah
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 102 100.0 100.0 100.0
60
Diare
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 7 6.9 6.9 6.9
Tidak 95 93.1 93.1 100.0
Total 102 100.0 100.0
leukositosis
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 9 8.8 8.8 8.8
Ya 93 91.2 91.2 100.0
Total 102 100.0 100.0
Diagnosis
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Apendisitis Akut dengan 63 61.8 61.8 61.8
Peritonitis Generalisata
Apendisitis Akut dengan 1 1.0 1.0 62.7
Peritonitis Lokalisata
Apendisitis Akut,tidak 31 30.4 30.4 93.1
terspesifikasi
Apendisitis Lain 7 6.9 6.9 100.0
Total 102 100.0 100.0
61
Lama rawatan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid <=3 21 20.6 20.6 20.6
4-7 60 58.8 58.8 79.4
8-14 12 11.8 11.8 91.2
>14 9 8.8 8.8 100.0
Total 102 100.0 100.0
Sepsis
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Sepsis 8 7.8 7.8 7.8
Tidak ada 94 92.2 92.2 100.0
Total 102 100.0 100.0
62
63
Diagnosis
Apendisitis Apendisitis
Akut dengan Akut dengan Apendisitis
Peritonitis Peritonitis Akut,tidak Apendisitis
Generalisata Lokalisata terspesifikasi Lain Total
Penurunannafsumaka Ya 23 1 11 2 37
n Tidak 40 0 20 5 65
Total 63 1 31 7 102
64
Total 63 1 31 7 102
Tidak 57 1 30 7 95
Total 63 1 31 7 102
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76